Post on 20-May-2018
VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN
Pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan ekowisata ditujukan untuk
menciptakan hubungan timbal balik dan saling mengisi antara pelestarian
lingkungan, peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat lokal serta
kelayakan ekonomi dan usaha. Oleh karena itu, dalam implementasinya konsep
ekowisata dituntut untuk: (1) menjamin tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan
dan mempaduserasikan semua kepentingan secara berimbang, (2) memastikan
masyarakat secara aktif, kehidupan sosialnya terangkat serta nilai-nilai budaya
tetap terjaga, (3) memastikan pemanfaatan tersebut memberikan sumbangan
secara nyata pada peningkatan ekonomi lokal, regional dan nasional, serta (4)
memastikan penyelenggara usaha memiliki kelayakan finansial.
Hasil pengamatan peneliti, pengembangan wisata bahari di Kepulauan
Seribu, baik di P. Untung Jawa maupun di P. Pramuka telah melibatkan
masyarakat lokal. Demikian pula hasil analisis ekonomi, pengelolaan wisata alam
ini telah memberikan manfaat bagi masyarakat lokal. Kesempatan untuk
meningkatkan manfaat dari kegiatan ekowisata ini juga masih dapat ditingkatkan
melalui penetapan tarif masuk yang lebih tinggi. Dalam pemanfaatan sumberdaya
alam tidak dapat dipungkiri adanya dampak lingkungan berupa kerusakan
lingkungan yang semakin tampak, baik yang disebabkan oleh kegiatan wisata
maupun aktivitas penduduk. Agar tujuan dari konsep ekowisata sebagaimana
disebutkan di atas dapat tercapai, maka diperlukan kebijakan pengelolaan
ekowisata berbasis kawasan. Kebijakan yang dibuat harus melibatkan berbagai
pemangku kepentingan sehingga terjamin adanya sinergi dan koordinasi diantara
berbagai pemangku kepentingan tersebut. Koordinasi dan sinergi dengan setiap
stakeholder diyakini dapat berperan nyata dalam mensukseskan pengelolaan
ekowisata di suatu kawasan.
8.1 Peran Strategis Pemangku Kepentingan
Kebijakan pengelolaan diperlukan karena terkait dengan interaksi negatif
antara kegiatan wisata dengan kondisi fisik lingkungan. Hal ini telah menjadi
perhatian dari stakeholder wisata, seperti pemerintah, LSM, masyarakat setempat
dan sektor swasta, dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan dalam
pembangunan wisata dan turut mempengaruhi interaksi kegiatan ini dengan
kondisi fisik lingkungan. Berikut ini dijabarkan beberapa peran strategis para
stakeholder wisata di Kepulauan Seribu.
8.1.1 Sektor Publik
Perhatian utama pemerintah pada kegiatan wisata dikarenakan kegiatan ini
mampu menghasilkan manfaat ekonomi dan kesadaran bahwa manfaat konomi
tersebut juga berkurang jika sumberdaya alam yang menghasilkan jasa lingkungan
tersebut mengalami kerusakan. Walaupun demikian, prioritas pemerintah terhadap
perlindungan lingkungan selama dua dekade terakhir menunjukkan bahwa
pelestarian lingkungan masih belum menjadi prioritas pembangunan, bahkan
terkesan sebagai suatu kemewahan. Hal ini sejalan dengan hirarki O’Riordans’s
(1981) mengenai prioritas pembangunan, sebagaimana terlihat pada Gambar 13.
Tidak dapat dipungkiri peran sektor publik (pemerintah) sangat mendasar
dalam pengembangan ekowisata. Pemerintah memiliki otoritas untuk menyusun
kebijakan dan pengendalian tentang pemanfaatan kawasan dan sumberdaya alam
yang terdapat di dalamnya. Selain itu pemerintah yang tergabung dalam sektor
publik memiliki mekanisme kerjasama dan struktur vertikal dan horizontal yang
relatif kuat. Berkaitan dengan penyediaan modal, pemerintah memiliki alokasi
dana (meskipun seringkali terbatas) yang dapat diperuntukkan bagi pengadaan
infrastruktur pariwisata.
Sumber: O’Riordan (1981).
Gambar 14. Hirarki Tujuan Nasional
Pembangunan pariwisata di Indonesia merupakan urusan pemerintah yang
bersifat concurrent (urusan bersama antara pemerintah pusat dan daerah) dan
optional. Hal ini dikarenakan semua daerah memiliki potensi pariwisata namun
tidak semua bernilai unggul. Bagi daerah yang memiliki potensi wisata dan dapat
menjadikannya sektor unggulan dalam pembangunannya maka dapat menetapkan
sektor tersebut menjadi urusannya (optional). Hal tersebut diwujudkan melalui
upaya Pemda membentuk suatu unit kerja dalam mengurusnya. Sejauh ini,
dukungan pemerintah pusat terhadap pariwisata alam ditunjukkan dengan
sejumlah produk hukum yang mendukung keberadaan pariwisata alam dan
ekowisata, sebagaimana disajikan pada Tabel 19, dimana concern pemerintah
terhadap wisata alam dimulai ketika menerbitkan UU No.9 Tahun 1990 tentang
kepariwisatawaan.
Prioritas 1: keamanan nasional, kesehatan masyarakat,
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja
Prioritas 2: redistribusi kesejahteraan, pembangunan
wilayah, redistribusi pendapatan dan pemerataan
kesempatan sosial
Prioritas 3: perhatian lingkungan, pembangunan sistem
kontrol dan pengawasan, keselarasan ekologi
Tabel 19. Produk Hukum Terkait Ekowisata di Indonesia
Produk Hukum Perihal
UU No.9/1990 Kepariwisataan
UU No.5/1990 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
PP No. 18 /1994 Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman wisata Alam
SK Menhut No.
446/Kpts-II/1996
Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin
Pengusahaan Pariwisata Alam
SK Menhut No.
447/Kpts-II/1996 Pembinaan dan Pengawasan Pengusahaan Pariwisata Alam
SK Menhut No.
448/Kpts-II/1996
Pengalihan Kepemilikan Sarana dan Prasarana
Kepariwisataan Kepada Negara
SK Menhut No.
167/Kpts-II/1996
Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di
Kawasan Pelestarian Alam
Surat Edaran
Mendagri
No.660.1/836/V/
Bangda/2000
Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah
PP No.6/2007 Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
Hakikat pengembangan pariwisata di daerah tidak dapat lepas dari tiga
aspek, yaitu sosial budaya, ekonomi dan ekologi. Seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 15. Destinasi wisata diharapkan tidak merusak kondisi sosial budaya
masyarakat, menciptkan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat serta tidak
merusak lingkungan.
Gambar 15. Keterkaitan Aspek Pengembangan Pariwisata Daerah
Destinasi yang
mencerminkan
keseimbangan
ekologi sosial
budaya dan ekonomi
ekonomi
ekologi
sosial
budaya
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah
yang menjadikan sektor wisata khususnya wisata bahari sebagai sektor unggulan.
Hal ini tercermin dalam misi kabupaten yaitu mewujudkan wilayah Kepulauan
Seribu sebagai kawasan wisata bahari yang lestari dan menegakkan hukum yang
terkait dengan pelestarian lingkungan kebaharian dan segala aspek kehidupan.
Pemda sejauh ini telah melakukan beberapa langkah strategis terkait
pengembangan wisata bahari di wilayah ini. Upaya yang telah dilakukan antara
lain adalah:
1. Menetapkan kawasan pariwisata taman laut di Kecamatan Kepulauan Seribu
Utara sebagai "The International Marine Tourism Destination Area” sebagai
kawasan pariwisata eksklusif dan kawasan pariwisata teluk (Kecamatan
Kepulauan Seribu Selatan) sebagai kawasan pariwisata massal.
2. Peningkatan sarana dan prasarana dan perbaikan kualitas lingkungan. Hal ini
ditunjukkan dengan pembangunan jaringan listrik bawah laut yang hingga saat
ini sudah sampai pada tahap II (Tahap I berlokasi di Kecamatan Kepulauan
Seribu Utara dan Tahap II berlokasi Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan),
perbaikan Dermaga Muara Angke sebagai pintu gerbang masuk ke kawasan
Kepulauan Seribu dan peningkatan landasan lapangan terbang (air strip) di
P.Panjang dengan fasilitas penunjangnya.
3. Merevisi Tata Ruang Kabupaten. Saat ini 47 pulau diperuntukan sebagai
kawasan rekreasi dan pariwisata dimana pemanfaatannya harus berbadan
hukum dan harus memperoleh SIPPT, dimana 60 persen areal pemanfaatan
untuk komersial dan 40 persen untuk penyediaan fasilitas umum.
4. Sejumlah program pada tahun 2008, diantaranya rehabilitasi ekosistem laut
(mangrove, terumbu karang, padang lamun), pembangunan restoran apung di
P. Pramuka dan di P. Untung Jawa, menjadikan P. Lancang sebagai destinasi
baru setelah P. Untung Jawa.
5. Menetapkan areal perlindungan laut berbasis masyarakat, melalui SK Bupati
No.307 Tahun 2004, dimana pengelolaan areal perlindungan laut dilakukan
secara kolaboratif antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder lainnya.
Namun sejauh ini manfaat ekonomi dari keberadaan pulau-pulau wisata
belum dirasakan secara luas oleh masyarakat lokal. Artinya masih banyak hal
yang belum dilakukan oleh Pemda untuk meningkatkan manfaat ekonomi dari
keberadaan wisata bahari tersebut. Banyak hal strategis yang dapat dilakukan
dalam pengembangan wisata, diantaranya adalah:
1. Melakukan konsultasi kebijakan pengembangan daerah tujuan wisata. Sudin
Pariwisata dan Bappekab dapat menyusun arahan pengembangan (masterplan)
pariwisata melalui kerjasama dengan dinas yang lebih tinggi atau industri
wisata dalam melakukan pemasaran produk ekowisata.
2. Melakukan terobosan penting untuk memperbaiki kerangka dasar
pengembangan pariwisata secara umum, seperti perbaikan iklim investasi,
peningkatan keamanan wisatawan, peningkatan kebersihan.
3. Melakukan pengawasan dan arahan dalam perkembangan kegiatan wisata agar
tidak mengingkari prinsip keberlanjutan (sustainability). Dalam hal ini
pemerintah dapat bekerja sama untuk menciptakan tata kelola Taman
Nasional, termasuk dalam hal penyediaan infrastruktur wisata.
4. Bertanggungjawab dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan
infrastruktur kawasan ekowisata, terutama yang terkait dengan urusan logistik,
seperti fasilitas listrik, komunikasi, air bersih dan kebersihan.
5. Memiliki otoritas yang kuat untuk memfasilitasi kerjasama antar kelompok
masyarakat yang melakukan berbagai kegiatan di sekitar kawasan wisata,
misalnya dengan membentuk serikat pedagang kerajinan dan pengelola
kawasan wisata.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya sektor publik seringkali berhadapan
dengan keterbatasan pemahaman tentang prinsip ekowisata dan pembangunan
berkelanjutan. Kerjasama inter sektoral dan lintas sektoral masih seringkali
sebatas wacana dan sulit dalam praktiknya. Arogansi sektoral dan daerah yang
semakin kuat di kalangan pemerintah, terutama setelah otonomi daerah seringkali
menghambat kelancaran pengembangan ekowisata (Kusworo dan Damanik,
2003). Terkait dengan upaya perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan,
sektor publik terkesan kurang fleksibel untuk mengubah peraturan agar dapat
lebih konsisten dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
8.1.2 Sektor Swasta
Sektor swasta mempunyai modal yang sangat berharga baik dalam bentuk
uang maupun dalam bentuk pengetahuan, terutama di bidang manajemen usaha
dan pemasaran. Sektor swasta mempunyai pengalaman dan kemampuan yang
relatif baik untuk melatih tenaga kerja lokal tentang cara kerja di sektor
pariwisata, cara mengelola usaha kecil ataupun menjalin kemitraan (joint venture).
Bahkan selain menjadi investor dalam penyediaan akomodasi, terbuka peluang
bagi pihak swasta untuk ikut mendanai penyediaan infrastruktur pendukung
wisata atau memperbaiki fasilitas wisata, seperti jalan setapak, toilet umum dan
lainnya. Walaupun demikian sektor swasta umumnya mempunyai pemahaman
yang terbatas pada prinsip ekowisata dan pembangunan berkelanjutan. Orientasi
keuntungan jangka pendek seringkali menjadi pertimbangan utama. Selain itu
pengalaman yang terbatas dalam kerjasama dengan masyarakat lokal yang
pengetahuan tentang bisnisnya sangat minim dan dengan pemerintahan yang cara
kerjanya terlalu birokratis atau dengan lembaga donor internasional yang
menuntut efisien tinggi, sering menjadi penghalang bagi sektor ini.
8.1.3 Lembaga Swadaya Masyarakat
Lembaga ini dapat berperan paling tidak dalam tiga hal, yaitu: (1)
memberikan pengetahuan praktis tentang pengelolaan kawasan ekowisata dan
konservasi, (2) melakukan kontak langsung dan kerjasama dengan kelompok
sasaran, dan (3) membuka akses ke pihak-pihak yang berkepentingan. Kerjasama
yang dapat dilakukan oleh dan dengan pihak LSM, diantaranya adalah:
1. Sharing informasi mengenai pengetahuan dan pengalaman mengenai kondisi
ekologi dan sosial budaya masyarakat setempat yang dapat digunakan untuk
mengembangkan produk wisata.
2. Sebagai titik tolak kemitraan antara masyarakat lokal dengan pihak investor.
3. Melakukan kerja sama dengan donor internasional dalam pengembangan
wisata.
4. Bersama masyarakat lokal menginisiasi pembentukan unit usaha yang
mengkhususkan pada perjalanan minat khusus.
Hingga saat ini di Kepulauan Seribu sudah terdapat peran LSM terkait
dengan pengembangan ekowisata bahari. Sudah banyak program yang telah
dilakukan oleh LSM diantaranya adalah membangun suatu kerangka ekowisata
berbasis masyarakat lokal, melakukan capacity building di masyarakat lokal
terkait pengetahuan akan ekologi terumbu karang, memberikan pelatihan kepada
masyarakat lokal terkait keahlian menyelam, melakukan pendampingan dalam
tranplantasi karang, menjembatani antara masyarakat lokal dengan pemerintahan
daerah dan lain sebagainya.
8.1.4 Masyarakat Lokal
Kebijakan yang dipilih dalam pengelolaan kawasan wisata seharusnya
mampu menghasilkan model partisipasi masyarakat yang sejelas mungkin.
Partisipasi masyarakat sejak awal penyusunan rencana, pelaksanaan proyek,
pengelolaan dan pembagian hasilnya merupakan hal yang mutlak dan harus
ditegaskan sejak awal. Guna menumbuhkan partisipasi masyarakat maka perlu
diciptakan suasana kondusif yaitu suasana yang menggerakkan masyarakat untuk
menaruh perhatian dan kepedulian pada kegiatan pariwisata dan kesediaan untuk
bekerjasama secara aktif dan berlanjut. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
memfasilitasi peran masyarakat, adalah:
1. Memberikan pemahaman tentang urgensi peran masyarakat dalam
pengelolaan pariwisata. Hal ini memerlukan waktu, biaya dan tenaga
berpengalaman untuk mendampingi mereka. Harus diupayakan agar mereka
tidak hanya menjadi penerima program semata.
2. Mendorong partisipasi masyarakat dengan mengajak pemimpin lokal, asosiasi
lokal, gagasan dan harapan masyarakat lokal menjadi sentral dalam
penyusunan pariwisata.
3. Membentuk kelompok pemangku kepentingan lokal yang akan terlibat intensif
dalam pariwisata. Hal ini dapat melibatkan individu ataupun institusi. Jika
pada masyarakat terdapat tokoh kunci maka dapat diajak sebagai pelaku usaha
wisata atau terlibat dalam perencanaan pariwisata.
4. Memadukan manfaat yang diperoleh dengan kegiatan konservasi secara
langsung dan pastikan bahwa manfaat yang dirasakan dinikmati oleh
masyarakat setempat.
5. Mendorong organisasi-organisasi lokal dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, melalui aktivitas ekonomi, misal koperasi, asosiasi pengrajin dan
lainnya.
6. Memberikan pemahaman bahwa setiap kawasan memiliki situasi yang khusus
sehingga kesepakatan bersama selalu tidak mudah dicapai, jika kesepakatan
tercapai, maka akan ada kepentingan beberapa kelompok masyarakat yang
tidak terakomodir.
Peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata di P. Untung Jawa dan P.
Pramuka sangat terlihat. Masyarakat berperan sebagai penyedia jasa wisata,
sebagian pemilik modal lokal bertindak sebagai pemilik unit usaha, sebagian
lainnya yang tidak memiliki akses terhadap modal berperan sebagai tenaga kerja
lokal. Perbedaan peran masyarakat di kedua pulau, terlihat dalam pengelolaan
objek wisata. Objek wisata P. Untung Jawa dikelola oleh masyarakat setempat
dengan bantuan Sudin Pariwisata dan keberadaan organisasi pengelola ini telah
berlangsung selama lebih kurang lima tahun. Sedangkan di P. Pramuka walaupun
jumlah pengunjung semakin meningkat, hingga saat ini belum terbentuk suatu
organisasi pengelola kawasan wisata, selain itu peran pemerintah dalam
mendukung kegiatan wisata di pulau ini kurang terlihat. Hingga saat ini ekowisata
di P. Pramuka dilakukan masyarakat lokal dengan didampingi oleh sebuah LSM.
8.2 Preferensi Stakeholder terhadap Pengelolaan Wisata Bahari
Berdasarkan penjelasan sebelumnya telah diketahui peran dari masing-
masing stakeholder dalam pengelolaan pariwisata. Jika dianalisis lebih lanjut,
setiap stakeholder memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebutuhan utama
suatu kawasan wisata. Hal ini terkait dengan keadaan spesifik lokasi objek wisata
dan kepentingan masing-masing stakeholder.
Suatu bentuk wisata diskenariokan terdiri dari atribut upaya konservasi
alam, pelibatan masyarakat lokal, kelengkapan sarana dan prasarana serta
ketersediaan transportasi. Setiap atribut memiliki level (tingkat kepentingan) yang
berbeda, mulai dari tinggi, sedang dan rendah. Hasil conjoint analysis
menunjukkan, di kedua pulau setiap stakeholder memiliki preferensi yang
berbeda, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16 dan 17.
Wisatawan di P. Untung Jawa menginginkan upaya konservasi adalah hal
yang utama sedangkan pemilik unit usaha, tenaga kerja lokal dan masyarakat
mengharapkan penyediaan sarana dan prasarana wisata yang lebih lengkap.
Mereka berharap dengan semakin lengkapnya sarana dan prasarana maka
wisatawan pun akan semakin banyak yang datang sehingga dampak ekonomi
yang mereka rasakan akan semakin meningkat.
Wisatawan dan tenaga kerja lokal di P. Pramuka menunjukkan harapan
yang berbeda. Wisatawan menginginkan pemenuhan sarana dan prasarana,
sedangkan pemilik unit usaha dan masyarakat menginginkan upaya konservasi
yang paling utama, karena mereka yakin kedatangan wisatawan ke lokasi tersebut
disebabkan oleh kondisi alam yang masih baik. Sehingga bila alam semakin rusak
maka wisatawan yang datang akan semakin sedikit sehingga akan merugikan.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Perse
nta
se K
ep
en
tin
ga
n
Wisatawan Pemilik Unit
Usaha
TK Lokal Masyarakat
Stakeholder
Konservasi
Pelibatan Masyarakat
Sarana Prasarana
Transportasi
Gambar 16. Preferensi Stakeholder Pariwisata pada Atribut Wisata di Pulau
Untung Jawa
0
5
10
15
20
25
30
35
Perse
nta
se K
ep
en
tin
ga
n
Wisatawan Pemilik Unit
Usaha
TK Lokal Masyarakat
Stakeholder
Konservasi
Pelibatan Masyarakat
Sarana Prasarana
Transportasi
Gambar 17. Preferensi Stakeholder Pariwisata pada Atribut Wisata di Pulau
Pramuka
Sedangkan aparat pemerintah (yang diwakili oleh beberapa wakil dari
instansi Pemda) dan lembaga non pemerintah juga memiliki preferensi yang
berbeda. Bagi pemerintah yang terpenting bagi suatu kawasan wisata adalah
pemenuhan sarana dan prasarana sedangkan bagi LSM yang terpenting adalah
transportasi. Pihak LSM menganggap transportasi paling penting, karena atribut
ini dianggap faktor yang paling utama guna mendatangkan wisatawan. Tabel 20
berikut ini menunjukkan ringkasan preferensi utama dari masing-masing
stakeholder.
Tabel 20. Ringkasan Preferensi Stakeholder terhadap Atribut Wisata Alam
di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun 2008
Stakeholder Lokasi
P. Untung Jawa P. Pramuka
Wisatawan Konservasi Sarana Prasarana
Pemilik Unit Usaha Sarana Prasarana Konservasi
Tenaga Kerja Lokal Sarana Prasarana Sarana Prasarana
Masyarakat Sarana Prasarana Konservasi
Pemerintah Sarana Prasarana
LSM Transportasi
8.3 Pengelolaan Wisata yang Diharapkan
Pemilik dan tenaga kerja lokal memandang dan mengharapkan
pengelolaan pariwisata dilakukan oleh masyarakat lokal. Kedua pihak
beranggapan pengelolaan oleh masyarakat akan memberikan peluang lebih besar
bagi mereka untuk mencari nafkah dan menikmati dampak positif dari kegiatan
pariwisata tersebut. Prospek wisata yang ada saat ini menurut mereka bagus dan
kondisi lingkungan semakin baik dengan adanya kegiatan wisata (ditandai dengan
semakin lengkapnya sarana dan prasarana). Selain itu, mereka juga berpandangan
tiket diperlukan sebagai salah satu dana untuk membangun sarana dan pengontrol
wisatawan yang masuk ke pulau, besarnya tiket yang memadai adalah Rp 3 000
per orang. Menurut para tenaga kerja lokal, selama ini peran pemerintah telah
dirasakan walaupun pemerintah jauh lebih berperan dalam pembangunan di P.
Untung Jawa. Peran yang paling terasa adalah pembangunan sarana infrastruktur.
Demikian halnya dengan persepsi wisatawan akan bentuk suatu objek
wisata pada umumnya sama di kedua lokasi. Wisatawan lebih menyukai bentuk
wisata yang dikelola oleh masyarakat lokal, dengan alasan biayanya jauh lebih
murah dan masyarakat mendapat manfaat dari keberadaan kegiatan wisata.
Penilaian wisatawan terhadap kondisi lingkungan setelah adanya kegiatan wisata,
berbeda di dua lokasi. Wisatawan di P. Untung Jawa menyatakan bahwa kondisi
lingkungan semakin baik, hal tersebut ditunjukkan dengan semakin lengkapnya
sarana dan prasarana, taman bermain dan lokasi rumah makan yang tertata lebih
rapih. Sementara wisatawan di P. Pramuka memberikan penilaian semakin buruk
terhadap lingkungan, hal tersebut didasari pada kondisi terumbu karang yang
semakin banyak yang rusak dan banyaknya sampah di pinggir pantai.
Keberadaan tiket masuk sebesar Rp 3 000 per orang di P. Untung Jawa,
tidak dirasakan memberatkan oleh wisatawan. Menurut wisatawan tiket tersebut
dirasa cukup sesuai dan diperlukan untuk melengkapi sarana wisata. Akan tetapi
di P. Pramuka yang hingga saat ini belum diterapkan tiket masuk, umumnya (49
persen responden) wisatawan keberatan jika harus membayar tiket masuk. Hal ini
didasarkan pada belum lengkapnya sarana wisata di lokasi tersebut. Sebagian lain
yang menyatakan bersedia membayar, bahkan menyatakan nilai tiket yang layak
adalah Rp 5 000 per orang.
Terkait dengan skenario dana konservasi lingkungan yang telah dijelaskan
sebelumnya, wisatawan yang bersedia membayar jumlahnya jauh lebih tinggi di
P. Untung Jawa dibandingkan di P. Pramuka, namun dengan nilai yang lebih
kecil. Wisatawan di P. Untung Jawa bersedia membayar biaya ini maksimal Rp 3
000 per orang karena menurut mereka biaya yang dibebankan sudah cukup besar
terlebih di Tanjung Pasir mereka juga diminta biaya Rp 2 500 per orang di luar
biaya parkir (Rp 2 000 per motor atau Rp 5 000 per mobil). Sedangkan wisatawan
di P. Pramuka bersedia membayar hingga Rp 5 000 per orang.
Sebaliknya di P. Pramuka yang belum diterapkan tiket masuk, kesediaan
membayar dana konservasi di P. Pramuka jauh lebih tinggi dibandingkan
kesediaan biaya membayar tiket. Hal ini dikarenakan menurut mereka biaya
konservasi lebih bermanfaat dibandingkan tiket masuk, disamping alasan lain
seperti kekhawatiran mereka terhadap kejelasan pengelolaan tiket masuk. Hasil
penelitian menunjukkan tingkat pendapatan dan pendidikan wisatawan di P.
Pramuka turut mempengaruhi kesediaan membayar dana konservasi tersebut.
8.4 Identifikasi Strengthness, Weakness, Opportunities and Threats
Identifikasi Strengthness, Weakness, Opportunities and Threats (SWOT)
digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan serta peluang dan
ancaman pengembangan potensi objek wisata. Hasil analisis ini dapat dijadikan
sebagai salah satu dasar dalam merumuskan rekomendasi dan alternatif strategi
dalam pengembangan obyek wisata wisata bagi Pemda Kabupaten Administrasi
Kepulauan Seribu, sebagai stakeholder yang merencanakan pengembangan sektor
pariwisata di kawasan ini. Oleh sebab itu, sebagai stakeholder, Pemda perlu
mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh kawasan. Identifikasi
SWOT yang dilakukan berikut ini bersifat spesifik pulau.
8.4.1 Identifikasi SWOT Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Untung
Jawa
Kekuatan
1. Memiliki keragaman atraksi dan objek wisata berupa wisata alam (cagar alam
P. Rambut) dan sejarah (kepindahan masyarakat ke P. Untung Jawa).
2. Pemda melalui Sudin Pariwisata telah menjadikan pulau ini sebagai desa
wisata bahari.
3. Terdapat peran nyata dari pemerintah daerah, diantaranya: (1) Sudin
pariwisata menata kawasan objek wisata dan telah rutin memberikan pelatihan
kepada para pelaku usaha wisata, Sudin Koperasi dan UKM menyediaan
kredit bagi pemilik unit usaha wisata, Sudin Kebersihan rutin membersihkan
areal wisata dan Sudin Pekerjaan Umum membangun berbagai fasilitas untuk
masyarakat lokal dan wisatawan.
4. Sudah terdapat mekanisme pendanaan objek wisata, melalui penetapan tarif
masuk bagi wisatawan dan mekanisme penggunaannya sehingga jumlah turis
dan penerimaan wisata dapat lebih terkontrol.
5. Secara geografis, letaknya strategis karena dekat dengan daratan Tangerang
sehingga relatif mudah untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
6. Telah tersedia sarana penunjang kegiatan pariwisata seperti transportasi laut,
homestay, rumah makan, panggung hiburan, telekomunikasi, jalan lingkar
pulau dan kebersihan yang cukup baik.
7. Memiliki keterikatan sejarah dengan Perang RI – Belanda, namun saat ini
situs-situs sejarah tersebut belum dikelola dengan baik.
8. Jumlah kunjungan tinggi terutama pada libur tertentu seperti hari raya lebaran.
9. Sudah mengembangkan unit usaha makanan khas daerah (kripik sukun dan
manisan ciremai).
Kelemahan
1. Beberapa objek wisata penting dan potensial belum dikelola dengan baik,
misalnya beberapa objek wisata nampak kotor dan tidak terawat.
2. Budaya lokal belum dikemas menjadi objek wisata yang atraktif.
3. Minimnya upaya promosi, pemasaran dan membangun aliansi dengan pihak
swasta (travel agent).
4. Keadaan alam atau cuaca yang tidak menentu sangat bepengaruh terhadap
kelancaran transportasi air. Ini merupakan ancaman bagi perkembangan
pariwisata di P. Untung Jawa pada musim-musim tertentu.
5. Hutan mangrove dan beberapa pantai di bagian belakang pulau belum dikelola
dengan maksimal sebagai tujuan wisata.
6. Ketergantungan dalam kebutuhan bahan baku pangan dari daratan Jakarta dan
Tangerang.
Peluang
1. Skenario Rencana Strategis Kabupaten Tahun 2008-2013, yaitu menjadikan
Kepulauan Seribu sebagai destinasi wisata bahari yang berskala nasional dan
internasional
2. Pulau Untung Jawa merupakan pulau wisata baik bagi masyarakat dari
Tangerang dan sekitarnya maupun pulau-pulau di wilayah Kepulauan Seribu
di bagian Selatan, sehingga sangat berpeluang dikembangkan menjadi tujuan
wisata karena sebagai tujuan wisata yang murah dan memiliki peluang pasar
yang baik.
3. Letaknya dekat dengan beberapa resort (P.Bidadari), sehingga dimungkinkan
untuk menjalin kerjasama untuk menarik wisatawan resort berkunjung sejenak
ke Desa Wisata Bahari.
4. Adanya situs sejarah perang RI-Belanda dan situs sejarah kepindahan warga
ke P. Untung Jawa yang menarik khususnya bagi wisatawan manca negara
untuk melihatnya.
Ancaman
1. Kondisi jalan yang rusak dan antrian penyebrangan di Tanjung Pasir dapat
mengurangi minat wisatawan untuk berekreasi.
2. Berkembangnya objek wisata di lokasi sekitar Tangerang jika tidak dibarengi
dengan pengembangan wisata di P. Untung Jawa akan menjadi ancaman
tersendiri.
8.4.2 Identifikasi SWOT Pengembangan Wisata Bahari di Pulau Pramuka
Kekuatan
1. Memiliki potensi objek wisata alam bawah laut (terumbu karang) yang indah
sehingga menjadi daya tarik utama bagi wisatawan baik lokal maupun
mancanegara, selain terumbu karang di lokasi ini pun terdapat
pengembakbiakan penyu sisik dan wisata pendidikan menanam mangrove.
2. Sebagai salah satu tujuan wisata bawah laut yang letaknya relatif dekat dengan
ibukota.
3. Sebagai pusat administrasi kabupaten sehingga sarana dan prasarana
memadai, seperti dramaga, sekolah dan fasilitas olah raga.
4. Sudah ada upaya promosi, upaya pemasaran dan membangun aliansi dengan
pihak swasta (travel agent).
5. Tersedia pilihan sarana transportasi menuju daratan Jakarta baik dengan kapal
nelayan maupun kapal pesiar yang rutin setiap hari (saat cuaca baik).
6. Telah tersedia sarana penunjang kegiatan pariwisata seperti transportasi laut,
homestay, tempat penyewaan alat, pemandu (guide), rumah sakit dan
telekomunikasi, yang cukup baik.
7. Sudah ada pendampingan dari salah satu LSM yang memberikan pelatihan
dan advokasi kepada masyarakat dan tenaga kerja lokal.
8. Sudah dirintis program festival P.Panggang, baik budaya maupun bahari.
9. Merupakan salah satu lokasi lomba menyelam yang dekat dengan Jakarta,
baik tingkat provinsi maupun nasional.
10. Sudah mengembangkan unit usaha makanan khas daerah (kripik sukun dan
manisan ciremai).
11. Tersedia beberapa unit usaha penyewaan alat (diving dan snorkling) yang
lengkap dengan jasa pemandu (guide) milik investor lokal dan luar.
12. Keberadaan Balai TNLKS yang memiliki wilayah kerja di wilayah Utara turut
mendukung kegiatan pariwisata serta memudahkan dalam koordinasi dan
pertukaran informasi.
13. Terdapat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang lokasinya strategis dan
memiliki fasilitas chamber untuk para penyelam.
Kelemahan
1. Pemda melalui sudin pariwisata belum memiliki program yang jelas untuk
mengembangkan pulau ini menjadi destinasi wisata bahari. Pulau ini hanya
diperuntukkan sebagai ibukota kabupaten.
2. Belum ada aturan zonasi yang jelas antara kawasan wisata dan kawasan non
wisata, hal ini penting untuk menjaga kualitas lingkungan dan kenyamanan
wisatawan.
3. Kondisi sarana penerangan yang tidak stabil dimana listrik harus bergilir
membuat wisatawan tidak nyaman.
4. Budaya lokal seperti marawis dan pencak silat belum dikemas menjadi objek
wisata yang atraktif.
5. Keadaan alam atau cuaca yang tidak menentu. Hal ini sangat bepengaruh
terhadap kelancaran transportasi air dan menjadi ancaman bagi perkembangan
pariwisata di P. Untung Jawa pada musim-musim tertentu.
6. Keberadaan hutan mangrove belum dikembangkan secara maksimal sebagai
tujuan wisata.
7. Belum memiliki mekanisme pengelolaan wisata yang baik di antara
masyarakat, yang diakibatkan oleh tingginya rasa kecurigaan di antara
masyarakat. Sehingga belum tersedia suatu mekanisme pembayaran tiket yang
dirasakan penting sebagai salah satu upaya untuk pendanaan objek wisata
serta pengkontrolan jumlah pengunjung.
8. Sampah baik kiriman dari Jakarta maupun sekitar pulau belum mendapat
upaya lebih lanjut.
9. Ketergantungan dalam kebutuhan bahan baku pangan dari daratan Jakarta.
Peluang
1. Skenario Rencana Strategis Kabupaten Tahun 2008-2013, yaitu menjadikan
kepulauan Seribu sebagai destinasi wisata bahari yang berskala nasional dan
internasional.
2. Tren jumlah kunjungan yang semakin meningkat. Wisatawan awalnya
merupakan wisatawan resort namun saat ini mulai jenuh dengan atraksi di
resort dan merasa harga per kunjungan di resort sudah terlalu tinggi.
3. Sebagai salah satu tujuan klub-klub penyelam untuk melakukan latihan
sebelum mereka melakukan penyelaman di luar Jakarta.
4. Rencana pembuatan jalan lingkar pulau sebagai salah satu upaya untuk
menarik wisatawan.
5. Sudah ada investor dari luar pulau (Jakarta) yang menanamkan modalnya di
pulau, berupa pembangunan homestay skala besar dan rencana beberapa
investor untuk membuka usaha outbond (masih dalam penjajagan).
Ancaman
1. Aksi pencurian karang atau memancing dengan strum yang dilakukan para
wisatawan yang tidak bertanggung jawab dapat membahayakan ekosistem
terumbu karang.
2. Keberadaan pengumpul ikan hias di P.Panggang harus mendapat pengawasan
khusus jika tidak maka keberadaannya dapat mengancam keberadaan
ekosistem terumbu karang.
3. Rencana penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) berdampak pada
peningkatan harga tiket kapal Sepa dari Marina Ancol ke P. Pramuka menjadi
dua kali lipat (dari Rp 100 000 menjadi Rp 190 000 untuk satu kali perjalanan)
hal ini akan berdampak pada pengurangan minat wisatawan untuk berekreasi.
8.5 Analisis Stakeholder
Guna merumuskan suatu kebijakan terkait dengan pengelolaan wisata
bahari di kawasan Kepulauan Seribu, maka diperlukan suatu kerjasama dari
berbagai pihak untuk merumuskannya. Berbagai stakeholder dianggap berperan
penting dalam merumuskan suatu kebijakan. Adapun stakeholder tersebut adalah
Pemda, pelaku kegiatan wisata, masyarakat lokal serta LSM. Tentunya masing-
masing pihak memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang berbeda dalam
merumuskan suatu kebijakan.
Analisis stakeholder perlu dilakukan suatu untuk menentukan pihak-pihak
yang berkompeten dalam merumuskan kebijakan tersebut. Schmeer (2007)
menyatakan analisis ini merupakan proses sistematis untuk mengumpulkan dan
menganalisis informasi secara kualitatif untuk menentukan kepentingan siapa
yang harus diperhitungkan ketika mengembangkan atau menerapkan suatu
kebijakan. Stakeholder dapat diartikan sebagai individu, kelompok atau lembaga
yang kepentingannya dipengaruhi oleh kebijakan atau pihak yang tindakannya
secara kuat mempengaruhi kebijakan.
Setiap stakeholder memiliki pengaruh dan kepentingan dalam kebijakan
pengelolaan wisata. Stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi merupakan
stakeholder primer dimana kepentingannya dipengaruhi secara langsung oleh
kebijakan. Sedangkan stakeholder sekunder, kepentingannya dipengaruhi secara
tidak langsung. Adapun daftar sejumlah stakeholder di masing-masing lokasi
wisata serta pengaruh dan kekuatannya dapat dilihat pada Tabel 22 dan 23.
Kepentingan stakeholder dalam kebijakan pengelolaan wisata dipengaruhi oleh
faktor sosial, ekonomi dan budaya. Pengaruh stakeholder yang berbeda-beda
dalam kebijakan ini dipengaruhi oleh politik, birokrasi dan struktural. Hasil dari
kajian pada Tabel 21 dan 22 digunakan sebagai dasar dalam penyusunan matriks
kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam kebijakan pengelolaan wisata di
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu seperti yang ditunjukkan pada Gambar
18 dan 19.
Hasil analisis stakeholder menetapkan beberapa stakeholder primer yang
akan diikutsertakan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan wisata bahari di
wilayah Kepulauan Seribu. Pihak yang terlibat di kedua pulau tidak seluruhnya
sama. Stakeholder primer di P. Untung Jawa adalah Bappekab, Sudin Pariwisata
dan Sudin UKM dan Koperasi.
Gambar 18. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam
Pengelolaan Wisata di Pulau Untung Jawa Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tin
gkat
Pen
gar
uh
Tingkat Kepentingan
*5
*3*4
*1
*2
*6
*8*9 *10
*7
Keterangan:
1. Bappekab
2. Sudin Pariwisata
3. Sudin Perikanan dan Kelautan
4. Sudin PU
5. Sudin Kebersihan
6. Sudin UKM dan Koperasi
7. Masyarakat Pengelola
8. Investor Luar Pulau
9. Pemilik Unit Usaha Lokal
10. Masyarakat Lokal
Tabel 21. Analisis Stakeholder Wisata Bahari di Pulau Untung Jawa Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun 2008
Stakeholder Kriteria Evaluasi Keputusan
Kepentingan Sikap Kekuatan Pengaruh Total
S F P Keterlibatan Tingkat
Keterlibatan
Suku Dinas Pariwisata Mengembangkan pariwisata
Melakukan promosi dan
peningkatan atraksi wisata
Memberikan pelatihan kepada
unit usaha dan tenaga kerja
lokal
3 4 4 4 12 36 Terlibat Pengambil
keputusan
Badan Perencana Pembangunan
Kabupaten (Bappekab)
Membuat masterplan dan
rencana strategis
pengembangan wisata
Melakukan koordinasi dengan
instansi lain dalam
mengembangkan wisata
3 3 4 5 12 36 Terlibat Pengambil
keputusan
Suku Dinas Perikanan dan
Kelautan
Membina masyarakat nelayan
Rehabilitasi ekosistem laut
Koordinasi dengan sudin
pariwisata mengembangkan
wisata
2 3 4 3 10 20 Terlibat Pemberi
pertimbangan
Suku Dinas Pekerjaan Umum Membangun sarana dan
prasarana wisata
Meningkatkan fasilitas wisata
3 4 4 3 11 33 Terlibat Pengambil
keputusan
Suku Dinas Kebersihan Mengelola kebersihan
lingkungan dan sarana
prasarana wisata
3 4 4 3 11 33 Terlibat Pengambil
keputusan
Suku Dinas UKM dan Koperasi Pendampingan UKM
Pengembangan produk
3 3 4 3 10 30 Terlibat Pemberi
pertimbangan
140
Tabel 21. Lanjutan
Masyarakat pengelola wisata Mengelola kegiatan wisata
Meningkatkan pendapatan
masyarakat
3 4 3 2 9 27 Tidak Terlibat Pemberi
pertimbangan
Investor luar pulau Membuka lapangan pekerjaan
Meningkatkan keuntungan
2 3 5 2 10 20 Terlibat Penerima
informasi
Pemilik Unit Usaha Lokal Meningkatkan kesejahteraan
Meningkatkan aktivitas
ekonomi
3 2 2 2 6 18 Tidak Terlibat Penerima
informasi
Masyarakat lokal Memperoleh pekerjaan
Meningkatkan kesejahteraan
2 2 2 1 5 10 Tidak Terlibat Penerima
informasi
Keterangan: S: Sumberdaya Manusia, F: Finansial, P: Politik
Tabel 22. Analisis Stakeholder Wisata Bahari di Pulau Pramuka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Tahun 2008
Stakeholder Kriteria Evaluasi Keputusan
Kepentingan Sikap Kekuatan Pengaruh Total
S F P Keterlibatan Tingkat
Keterlibatan
Suku Dinas Pariwisata Mengembangkan wisata
Melakukan promosi dan
peningkatan atraksi wisata
Memberikan pelatihan kepada
unit usaha dan tenaga kerja
lokal
3 4 4 4 12 36 Terlibat Pengambil
keputusan
Sudin Dinas Pekerjaan Umum Membangun sarana dan
prasarana wisata
Meningkatkan fasilitas wisata
2 3 4 3 10 20 Terlibat Pemberi
pertimbangan
141
Tabel 22. Lanjutan
Badan Perencana Pembangunan
Kabupaten (Bappekab)
Membuat masterplan dan rencana
strategis pengembangan wisata
Melakukan koordinasi dengan
instansi lain dalam
mengembangkan wisata
3 3 4 5 12 36 Terlibat Pengambil
keputusan
Suku Dinas Perikanan dan
Kelautan
Membina masyarakat nelayan
Rehabilitasi ekosistem laut
Koordinasi dengan sudin
pariwisata mengembangkan
wisata
2 3 4 3 10 20 Terlibat Pemberi
pertimbangan
Suku Dinas Kebersihan Mengelola kebersihan lingkungan
dan sarana prasarana wisata
2 3 3 3 9 18 Tidak Terlibat Penerima
Informasi
Suku Dinas UKM dan Koperasi Pendampingan UKM
Pengembangan produk unggulan
2 3 4 3 10 20 Terlibat Pemberi
pertimbangan
Taman Nasional Laut Kepulauan
Seribu (TNLKS)
Mengelola TNLKS
Menetapkan kebijakan strategis
terkait pengelolaan TNLKS
3 4 4 3 11 33 Terlibat Pengambil
keputusan
Investor luar pulau Membuka lapangan pekerjaan
Meningkatkan keuntungan
3 3 5 2 10 30 Terlibat Pemberi
pertimbangan
Pemilik Unit Usaha Lokal Meningkatkan kesejahteraan
Meningkatkan aktivitas ekonomi
3 2 3 2 7 21 Tidak Terlibat Pemberi
pertimbangan
Masyarakat lokal Memperoleh pekerjaan
Meningkatkan kesejahteraan
2 2 2 1 5 10 Tidak Terlibat Penerima
Informasi
Lembaga Non Pemerintah
(LSM)
memberikan pengetahuan dan
pendampingan khusus tentang
kawasan wisata dan konservasi,
melakukan kontak langsung dan
kerjasama dengan masyarakat
sasaran
3 4 4 2 10 30 Terlibat Pemberi
pertimbangan
Keterangan: S: Sumberdaya Manusia, F: Finansial, P: Politik
142
Sedangkan stakeholder primer di P. Pramuka adalah Bappekab, Sudin
Pariwisata, Sudin UKM dan Koperasi, TNLKS serta LSM. Perbedaan mengenai
keberadaan TNLKS dan LSM di kedua pulau dikarenakan kedua pihak ini hanya
terdapat (memiliki wilayah kerja) di kawasan Kepulauan Seribu Utara dimana P.
Pramuka berada. Pihak-pihak inilah yang selanjutnya dianggap berkompeten
dalam merumuskan kebijakan pengelolaan wisata berbasis masyarakat lokal yang
ada di kawasan Kepulauan Seribu.
Gambar 19. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam
Pengelolaan Wisata di Pulau Pramuka Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu
8.6 Alternatif Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Wisata Bahari
Tahapan akhir penelitian ini adalah merumuskan alternatif rekomendasi
kebijakan pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal. Seluruh analisis
yang telah dilakukan sebelumnya, yang meliputi analisis dampak ekonomi,
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tin
gkat
Pen
gar
uh
Tingkat Kepentingan
*3
*4
*1
*2 *7
*6 *11
*5
*9 *8 *10
Keterangan:
1. Bappekab
2. Sudin Pariwisata
3. Sudin Perikanan dan Kelautan
4. Sudin PU
5. Sudin Kebersihan
6. Sudin UKM dan Koperasi
7. TNKL
8. Investor Luar Pulau
9. Pemilik Unit Usaha Lokal
10. Masyarakat Lokal
11. LSM
penilaian jasa lingkungan, analisis persepsi dan prefrensi serta SWOT, dipetakan
dan dijadikan bahan diskusi lebih lanjut. Peserta diskusi mendalam ini adalah para
stakeholder yang telah ditentukan sebelumnya. Konsep dari diskusi ini adalah
bagaimana menerapkan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) pada
wisata alam berbasis masyarakat lokal, dimana kegiatan ini harus menjaga
keseimbangan antara keuntungan yang dihasilkan tanpa mengorbankan
sumberdaya alam, kebudayaan, atau ekologi. IFTO (1994) menyatakan terdapat
empat kebutuhan utama untuk pemeliharaan jangka panjang dari daerah tujuan
pariwisata, yaitu: (1) populasi harus tetap sejahtera dan mempertahankan identitas
kebudayaan mereka, (2) daerah wisata harus tetap menarik bagi turis, (3) tidak ada
yang dilakukan untuk merusak ekologi, dan (4) terdapat kerangka politik yang
efektif. Adapun beberapa alternatif rekomendasi yang dihasilkan untuk
pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat lokal adalah sebagai berikut:
Kebijakan 1. Mempertegas Kebijakan dan Penguatan Kelembagaan
1. Mempertegas dan memperjelas kebijakan pengembangan wisata dan sektor
pendukungnya. Sejauh ini belum tersedia payung hukum dalam pengelolaan
maupun pengembangan wisata alam di kawasan ini. Kebijakan yang jelas dan
tegas diwujudkan dengan adanya Rencana Tata Ruang / masterplan
pengembangan wisata yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah.
Selain masterplan, Pemda juga harus memiliki Rencana Strategi (RENSTRA)
pengembangan sektor pariwisata untuk periode tertentu lengkap dengan
roadmap mencapai target pengembangan tersebut. Sebagai acuan
pengembangan objek wisata, Pemda juga harus memiliki Rencana Induk
Pengembangan Objek Wisata (RIPOW). Agar memiliki kekuatan hukum,
sebaiknya dokumen kebijakan tadi diperkuat dengan Peraturan Daerah
(PERDA).
2. Memperkuat organisasi pengelola pariwisata, baik lembaga pemerintah
maupun swasta. Berkaitan dengan lembaga pemerintah, Pemda harus
memperjelas tupoksi dinas pariwisata, pengembangan SDM pariwisata,
alokasi anggran yang memadai, pengembangan fasilitas lembaga pengelola
dan lain-lain. Selain itu, Pemda harus menciptakan iklim yang kondusif agar
pihak swasta mau investasi di sektor pariwisata, melakukan pembinaan dan
kerjasama dengan pihak swasta dalam pengembangan pariwisata.
Kebijakan 2. Pengembangan Sarana Transportasi dan Fasilitas Pendukung
1. Pemda harus membuat kebijakan yang terpadu untuk menyediakan sarana
transportasi air yang layak, aman dan nyaman.
2. Mempercepat pembangunan bandara udara di P. Panjang, sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan jumlah wisatawan.
Selanjutnya dalam pengoperasiannya, pemerintah harus memberikan insentif
atau subsidi kepada pihak swasta agar mau berinvestasi di jasa layanan
penerbangan, misal melalui pemberian keringanan pajak
3. Peningkatan atau pembangunan fasilitas pendukung kegiatan pariwisata
seperti akomodasi, telekomunikasi, restoran, keuangan dan lain-lain.
Pemerintah diminta untuk memberikan insentif kepada pihak swasta agar mau
berinvestasi di sektor ini.
Kebijakan 3. Membangun Sinergi Kebijakan di Bidang Pariwisata
1. Mengembangkan kebijakan yang komprehensif dan partisipatif.
2. Membangun sinergi kebijakan antara instansi terkait (contohnya antara Sudin
Pariwisata, Bappekab, Sudin Pekerjaan Umum, Sudin Perikanan dan Kelautan
dan TNLKS).
3. Membangun sinergi dan koordinasi antara sektor publik (Pemda dan TNLKS)
dan sektor swasta.
4. Membangun sinergi antara sektor publik, swasta, LSM dan masyarakat lokal.
Kebijakan 4. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
1. Bagi internal staf di Pemda, melalui: (1) peningkatan kapasitas staf di instansi
terkait dengan pengembangan wisata melalui kursus, pendidikan lanjutan,
studi banding ke berbagai daerah yang telah berhasil mengembangkan wisata
dan (2) rekruitmen staf baru dengan latar belakang pendidikan yang
mendukung pengembangan pariwisata khususnya ekowisata.
2. Bagi pelaku usaha, melalui: (1) pelatihan enterpreneurship (Small Medium
Enterpreneurship Training) untuk meningkatkan kemampuan manajemen
usaha, (2) meningkatkan keterampilan atau kreatifitas masyarakat untuk
menghasilkan produk handicraft yang artistik dan bernilai jual, dan (3)
pengembangan lembaga-lembaga keuangan mikro: koperasi, simpan pinjam
dan BPR.
3. Bagi masyarakat umum, melalui: (1) peningkatan kesadaran untuk memelihara
potensi wisata yang dimiliki, sehingga pada akhirnya diharapkan masyarakat
sebagai pengelola dari kegiatan wisata tersebut dan pemerintah sebagai
fasilitator dan (2) meningkatkan sikap masyarakat dalam memberikan
pelayanan pada wisatawan sehingga tercipta suatu “good service”.
4. Bagi institusi pendidikan, melalui: (1) membuka lembaga pendidikan
kepariwisataan (dapat dilakukan oleh Pemda atau swasta) dan (2) menjalin
kerjasama dengan pihak asosiasi pariwisata guna menyalurkan lulusan.
Kebijakan 5. Pengembangan dan Pemeliharaan Objek Wisata
1. Membangun zonasi secara partisipatif seperti yang telah dilakukan oleh
TNLKS.
2. Membangun organisasi dan kelembagaan pengelola objek wisata di tingkat
lokal. Hal penting yang harus diwujudkan, adalah: (1) organisasi pengelola di
tingkat lokal, (2) aturan main (rule of the game) organisasi, (3) job description
dari organisasi pengelola tersebut, dan (4) monitoring jalannya organisasi
tersebut.
3. Mengembangkan sistem pendanaan lingkungan untuk menjaga kelestarian
lingkungan, misalnya: (1) mengidentifikasi sumber dana potensial (donor)
yang peduli terhadap objek wisata tersebut, (2) mengidentifikasi sumber dana
di luar donor (retribusi, tiket masuk, ecological fee yang dibebankan pada
wisatawan), (3) mengembangkan mekanisme pengelolaan dana lingkungan
yang terkumpul, dan (4) kejelasan alokasi penggunaan dana retribusi.
Kebijakan 6. Promosi dan Pemasaran Pariwisata
1. Identifikasi pangsa pasar wisata, baik pasar domestik maupun asing, untuk
wisata minat khusus, wisata budaya, sejarah dan lain-lain.
2. Melakukan promosi melalui leaflet, poster, pemasangan iklan media cetak,
internet, penayangan iklan di media elektronik.
3. Melakukan promosi bersama (kerjasama regional) antara Pemda Provinsi DKI
Jakarta.
4. Menjalin kerjasama dengan biro perjalanan baik di Jabotabek maupun di
beberapa kota besar selain Jabodetabek.
5. Mendirikan Tourism Information Centre (TIC) di lokasi strategis.