Post on 13-Feb-2018
MAKALAH AGAMA ISLAM
“EUTHANASIA DALAM PANDANGAN ISLAM”
Dosen Pembimbing : Muh. Hasib Ardani, S.Kp., M.Kes
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Agama Islam
Disusun oleh kelompok 2 :
Dieta Suryaningsih (22020111130085)
Intan Septiana (22020111120015)
Restiana Rahmawati (22020111140105)
Nurul Imaroh (22020111130044)
Nur Alifah (22020111140106)
A 11.2
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap makhluk hidup termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang
dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai
permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Kematian merupakan salah satu proses
kehidupan yang masih mengandung misteri besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil
memecahkannya. Kematian manusia di sebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah
penyakit. Ada yang menderita penyakit ringan dan mudah disembuhkan, ada pula yang
menderita penyakit berat dan sukar disembuhkan. Agama menganjurkan untuk
mengobatinya. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit,
melainkan ia menurunkan pula obatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Perkembangan dunia yang semakin maju ditandai dengan peradaban manusia yang
semakin tampil gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta persoalan-persoalan norma dan hukum kemasyarakatan dunia yang dapat bergeser
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan.
Pada masyarakat modern seperti masyarakat di negara barat, kebutuhan dan aspirasi
masyarakat menempati kedudukan yang tinggi sehingga berdasarkan itu suatu produk hukum
baru di buat. Oleh sebab itu, dapat digambarkan bahwa apabila terjadi pergeseran nilai dalam
masyarakat, maka interprestasi terhadap hukum juga dapat berubah. Perbuatan yang dahulu
di anggap tabuh, pada waktu tertentu pandangan tersebut bisa saja berubah menjadi serba
boleh. Jika dahulu perbuatan mengakhiri hidup sendiri merupakan perbuatan yang tabuh dan
aneh, namun pada saat ini bukan lagi hal yang aneh bahkan sering terjadi dan dapat melalui
legalitas pengadilan seperti yang sering terjadi di beberapa negara barat. Proses pengakhiran
hidup dengan sengaja yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan disebut Euthanasia.
Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan bagi pasien yang menghadapi
penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan kritis
sehingga tak jarang pasien atau keluarganya meminta dokter untuk menghentikan pengobatan
terhadap yang bersangkutan. Kemudian dilema muncul dan menempatkan dokter atau
perawat pada posisi yang serba sulit. Dokter dan perawat merupakan suatu profesi yang
mempunyai kode etik sendiri sehingga mereka dituntut untuk bertindak secara profesional.
Pada satu pihak ilmu dan teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga
mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif).
Dokter dan perawat merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan
penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat mempunyai hak untuk memilih
yang harus dihormati dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk
memilih hidup atau mati. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa
kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta teknologi
kedokteran yang sedemikian maju. Oleh karena itu, penulis perlu membahas tentang
euthanasia dalam pandangan islam.
B. TUJUAN
1. Menjelaskan konsep euthanasia
2. Menjelaskan euthanasia dalam kehidupan
3. Menjelaskan euthanasia menurut FATWA ulama
- Terdahulu
- Kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN EUTHANASIA
Euthanasia berasal dari kata Yunani eu yang berarti baik dan thanatos yang berarti
mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah
kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal menjadi ringan atau mempercepat kematian seseorang yang
ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiabnya.
Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy
killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis
sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh. Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien
sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau
tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).
B. MACAM-MACAM EUTHANASIA
1. Dilihat dari kondisi pasien, tindakan euthanasia dapat dikategorikan menjadi dua
macam yaitu aktif dan pasif :
a. Euthanasia Aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti :
melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Hal-hal
yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi
pasien berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya
harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan
itu dilakukan.
b. Euthanasia Pasif adalah suatu tindakan yang membiarkan pasien/penderita dalam
keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis
sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi
padanya. Hal ini mungkin dikarenakan salah satu organ pentingnya telah rusak atau
lemah, seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke)
akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung.
2. Dilihat dari orang yang membuat keputusan, euthanasia dibagi menjadi:
a. Voluntary euthanasia yaitu jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit
b. Involuntary euthanasia yaitu jika yang membuat keputusan adalah orang lain, seperti
pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
3. Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu :
a. Euthanasia di luar kemauan pasien
Euthanasia tersebut adalah suatu tindakan euthanasia yang bertentangan dengan
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat
disamakan dengan pembunuhan.
b. Euthanasia secara tidak sukarela
Euthanasia semacam ini seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai
suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang
yang mengambil keputusan tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil
suatu keputusan, misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada
kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang
wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
c. Eutanasia secara sukarela.
Euthanasia ini dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih
merupakan hal kontroversial.
4. Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibagi menjadi:
a. Euthanasia agresif disebut juga euthanasia aktif adalah suatu tindakan secara sengaja
yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau
mengakhiri hidup seorang pasien. Euthanasia agresif dapat dilakukan dengan
pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan.
Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
b. Euthanasia non agresif, kadang juga disebut euhtanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai euthanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak
secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun
mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil"
(pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik
eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan
(www.scribd.com/doc/55407111/EUTANASIA)
C. KRITERIA MATI
Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi karena jantung
merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. Jantung digerakkan oleh pusat saraf
penggerak yang terletak pada bagian batang otak kepala. Apabila terjadi perdarahan pada
batang otak, maka denyut jantung terganggu. Tetapi perdarahan pada otak yang bersangkutan
tidak mati, kata Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi
perdarahan pada otak, penderita tidak mati. Jika batang otak betul-betul mati, maka harapan
hidup seseorang telah terputus.
Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak yaitu
kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian batang otak.
Kerusakan batang otak lebih fatal karena terdapat pusat saraf penggerak motor semua saraf
tubuh. Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan
seseorang mati bila batang otak menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
Para fuqaha menurut Dr. Peunoh Daly menentukan ukuran hidup matinya seseorang
dengan empat fenomena yaitu :
- Adanya gerak/nafas, gerakan sedikit/banyak.
- Adanya suara maupun bunyi yang terdapat pada mulut, jeritan tangis, dan rasa haus.
- Mempunyai kemampuan berfikir terutama bagi orang dewasa.
- Mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati.
Kriteria yang dikemukakan fuqaha berupa kriteria pertama dan kedua masih belum
menjamin, karena terkadang manusia tidak bernafas dan tidak bersuara pada saat comma.
Sedangkan kriteria ketiga yaitu kemampuan berfikir, hanya salah satu vitalitas otak,
kerusakan organ tidak fatal masih bisa dioperasi. Kriteria keempat, sulit dideteksi dengan
menggunakan alat canggih. Keempat kriteria tersebut dapat diterapkan di tempat yang tidak
terdapat alat ukur seperti disebutkan Prof. Mahar.
D. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EUTHANASIA
1. Faktor kemanusiaan
Faktor ini dilakukan oleh seorang dokter baik atas permintaan pasien atau
keluarganya atau kehendak dokter itu sendiri. Hal ini dilakukan oleh seorang dokter
karena merasa kasihan terhadap penderitaan pasiennya yang berkepanjangan, yang secara
medis sulit untuk disembuhkan. Dengan demikian seorang dokter mengabulkan
permintaan pasiennya.
2. Faktor Ekonomi
Faktor yang kedua ini diakui oleh wakil ketua Umum Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) Dr.Kartono Muhammad bahwa mengenai Euthanasia pasif
banyak dilakukan atas permintaan keluarga penderita yang tidak sampai hati melihat
keluarganya terbaring berlama-lama di rumah sakit. Oleh karena itu, mereka memilih
membawa pulang pasien dengan harapan biarlah ia meninggal di tengah familinya.
E. ALASAN DILAKUKAN EUTHANASIA
Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang. Dilakukannya aksi
tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari beberapa survey negara dan
penyaringan sumber, terdapat tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan:
1. Rasa Sakit yang Tidak Tertahankan
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien
tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penemuan
semakin gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung menyebabkan
presentase terjadinya “assisted suicide” berkurang.
Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stress yang disebabkan oleh
rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yang dinamakan “drugged state” atau
suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karena pengaruh obat.
Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit
yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut
memang dapat dilakukan dengan mengirim seseorang ke keadaan tanpa rasa sakit. Akan
tetapi mereka tetap harus di-euthanasia-kan karena cara tersebut tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit dapat dihilangkan. Namun adapun yang sudah sebegitu
parah bisa dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik.
Tapi euthanasia bukanlah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik untuk masalah
ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan dengan
menginformasikan pada setiap pasien yaitu apa saja hak-hak mereka sebagai seorang
pasien.
Meskipun begitu, beberapa dokter tidak dibekali dengan“pain management” atau
cara medis menghilangkan rasa sakit, sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus
bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit yang luar biasa. Jika hal ini
terjadi, hendaklah pasien tersebut mencari dokter lain. Dengan catatan dokter tersebut
haruslah seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu bukan yang akan membunuh
sang pasien. Ada banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang
tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang, namun juga dapat mengatasi
depresi dan penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.
2. Hak untuk Melakukan Bunuh Diri
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangkat hal
paling dasar dari semuanya, yaitu “hak”. Tapi jika kita teliti lebih dalam, yang kita
bicarakan di sini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang dibunuh, tetapi
memberikan hak pada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain,
euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati, tetapi hak untuk membunuh.
Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri hidupnya tapi
sebaliknya. Hal ini adalah persoalan mengubah hukum agar dokter, kerabat, atau orang
lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang.
Manusia memang punya hak untuk bunuh diri. Hal seperti itu tidak melanggar
hukum. Bunuh diri adalah suatu tragedi dan aksi sendiri. Euthanasia bukanlah aksi
pribadi, melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi kematian orang lain. Hal ini
dapat mengarah ke suatu tindakan penyiksaan pada akhirnya.
3. Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?
Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang
menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien tetap hidup.
Desakan melawan permintaan pasien menunda kematian dengan alasan hukum dan
sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan
lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak bijak, atau tidak terdengar
sebagai perilaku medis.
Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah,
bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien
merasa nyaman dengan sisa waktunya.
F. EUTHANASIA MENURUT KUHP DAN KODE ETIK KEDOKTERAN
Prinsip umum UU Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah jiwa
manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak untuk hidup secara wajar
sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan : “Barang siapa menghilangkan jiwa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
Berdasarkan pasal ini, dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia
melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang
bersangkutan karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia tidak
bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : “Barang siapa dengan
sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan hukuman
penjara selama-lamanya 15 tahun”.
Dokter dapat diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik
kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10
menyebutkan : “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk
melindungi ‘hidup’ makhluk insani”.
Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan :
1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
2. Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak
akan mungkin sembuh lagi.
Seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya
untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak
untuk mengakhirinya.
G. EUTHANASIA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
1. Kedudukan jiwa dalam Islam
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak
ayat Al-Qur’an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan
memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs). Meskipun jiwa merupakan hak asasi manusia,
tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.
Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau “nafs” itu
adalah :
a. Menurut Surat Al-Hijr ayat 23 :
“Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan,
dan kami (pulalah) yang mewarisi”.
b. Menurut Surat Al-Najm ayat 44 :
“Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan”.
Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa
milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan
Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa
manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat).
2. Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :
a. “Nash” yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman
terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syar’i).
b. “Tindakan” yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata
maupun sikap “tidak berbuat”. Unsur ini disebut unsur material (rukun maddi).
c. “Pelaku” yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-jawaban
terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral (rukun abadi).
Dari segi nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek tindakan
sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien
dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis
tertentu (neurasthenia).
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan berikut :
a. Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita
sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah lama. Pasien juga
mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah
dekat, harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia
meminta jalan yang lebih “nyaman” yaitu melalui euthanasia.
b. Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.
c. “Kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama dengan dokter
untuk mempercepat kematian pasien.
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang bisa atau
boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam surat Al-
Isra ayat 33 (juga Al-An’am : 151) :
“Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar”.
Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri
hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari 3 sebab yaitu :
a. Karena pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.
b. Janda secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
c. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah Islam.
Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan
dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh Muhammad Yusuf al-
Qardhawi mengatakan bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab
dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh karena itu, ia tidak boleh diabaikan
apalagi dilepaskan dari kehidupannya.
Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya
karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan untuk berjuang, bukan untuk lari dari
kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang
ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan disuruh sendiri
oleh si korban atau oleh walinya.Bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash
terhadap pelaku.
3. Hukum Euthanasia dalam Islam
a. Euthanasia Aktif
Syariat Islam jelas mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori melakukan pembunuhan dengan sengaja (al-qatl al-‘amâd). Walaupun
niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram
walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Tindakan tersebut bisa
dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang diharamkan.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun diri
sendiri, misalnya firman Allah Swt.:
بالحق ماللهال حر تي ال فس الن تقتلوا وال“Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. (QS al-An‘am [6]:
151).
رحيما بكم كان الله إن أنفسكم تقتلوا وال“Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepada kalian”. (QS an-Nisa' [4]: 29).
Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita)
tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat
aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui
dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda:
[ يشاكها وكة الش ى حت عنه بها الله كفر إال المسلم تصيب مصيبة من [ما
“Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan
dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya”.(HR al-Bukhari
dan Muslim).
b. Euthanasia Pasif
Mengenai euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam kategori
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter
bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan
harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada
pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Lalu, bagaimanakah hukumnya menurut syariat Islam?
Jawaban untuk pertanyaan tersebut bergantung pada pengetahuan kita tentang
hukum berobat (at-tadâwi) itu sendiri : apakah berobat itu wajib, mandûb (sunnah),
mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur
ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Namun, sebagian
ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan
Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:
180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998: 68) hukum berobat adalah mandûb, tidak
wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis, pada satu sisi Nabi SAW menuntut
umatnya untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarînah (indikasi) bahwa
tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.
Di antara hadis-hadis tersebut adalah yang dituturkan oleh Usama bin Syarik,
bahwa beberapa orang Arab pernah bertanya, “Ya Rasulullah, haruskah kami
berobat?”
Rasulullah saw bersabda, “Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah
kalian, karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia
membuat pula obatnya. (HR at-Tirmidzi).
Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kita untuk
berobat. Hanya saja, perintah (al-amr) tersebut tidak serta-merta berkonotasi wajib. Ini
sesuai dengan kaidah:
للطلب األمر في األصل“Perintah itu pada asalnya sekadar menunjukkan adanya tuntutan”.(An-
Nabhani, 1953).
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan
tersebut bersifat wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan
bahwa perintah di atas tidak wajib.
Di antaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, bahwa seorang
perempuan yang berkulit hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata,
"Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku
[saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!" Nabi saw. Lalu
berkata, "Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau,
aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu." Perempuan itu berkata,
"Baiklah aku akan bersabar." Lalu dia berkata lagi, "Sesungguhnya auratku sering
tersingkap [saat ayanku kambuh].Karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku
tidak tersingkap." Nabi saw, kemudian berdoa untuknya. (HR Bukhari).
Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadis ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat maka hadis terakhir ini
menjadi indikasi (qarînah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan
perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandûb), bukan wajib
(Zallum, 1998: 69), termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.
Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak
mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:
69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati
organ otaknya maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti
menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab, kematian otak tersebut
berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien.
Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk aktivitas
pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib. Karena itu, hukum euthanasia pasif
—dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien
(setelah matinya atau rusaknya organ otak)—hukumnya boleh (jâ'iz) bagi dokter. Jadi,
ketika dokter mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, ia tidak dapat dikatakan
melakukan pembunuhan terhadap pasien (Zallum, 1998: 69; Zuhaili, 1996: 500;
Utomo, 2003: 182).
Mempercepat kematian tidak dibenarkan.Tugas dokter adalah menyembuhkan,
bukan membunuh.Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada
keluarga.Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan
kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan.
Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien
sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi
kepastian hidup.Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ
utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar, bukan
batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien yang berada
di RS yang lengkap peralatannya.Tetapi bila pasien berada di RS yang sederhana,
sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari yang disebutkan itu, atau
biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih lengkap.Allah tidak
memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup memikulnya.Yang penting
disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat kematian pasien.
Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya akan
terhenti pula fungsinya. Memang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak, tetapi
jantung masih berdenyut.Apalagi jika batang otak sudah mengalami
pembusukan.Maka dalam kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh
dilaksanakan, umpamanya dengan mencabut selang pernafasan, masker oksigen,
pemacu jantung, saluran infus dan sebagainya. Maksudnya hanya sebagai langkah
menyempurnakan kematian.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Membunuh bisa di lakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembunuhan legal
yang sampai sekarang masih menjadi pro dan kontra. Pembunuhan legal inipun
beragam jenisnya
Kematian merupakan topik yang sangat di takuti oleh publik. Hal demikian
tidak terjadi dalam dunia kedokteran atau kesehatan modern, kematian tidaklah menjadi
suatu peristiwa yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu
yang dfinit dan dapat di pastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal
tersebut.
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang
yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan
agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang
diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
2. Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, Undang-
Undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut Islam yang menghukumnya dengan
haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter yang melaksanakan,
dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja. Sedangkan dokter yang melaksanakan
euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu terlaksananya
bunuh diri.
3. Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa
batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung,
paru-paru, dan korteks, dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi. Maka
tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan
pembunuhan.
B. SARAN
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia
ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :
1. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik
tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih
lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :
a. Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke
rumah.
b. Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud
melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
2. Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang
memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang
datang dari Allah.
3. Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah
jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian
bisa dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’an
Hadist
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts,
Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P., (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia :
Lippincott
Van Hoeve, (1987), Eksiklopedia Indonesia, Vol 2, Topik Euthanasia, Jakarta: Ikhtiar Baru,
hal 978
Erwan T.,Cs., (1979), Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana,
Jakarta: Aksara Baru, hal 137
Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 Tentang, belakunya kode
etik kedokteran indonesia bagi para dokter indonesia, 1988, Jakarta: yayasan penerbit Ikatan
Dokter Indonesia, Hal 392