Post on 01-Jul-2015
KAJIAN UMUMPERBANDINGAN UU No 22 TAHUN 1997
DENGAN UU No 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
I. PENDAHULUAN
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan bahan
berbahaya lainnya merupakan suatu kajian yang menjadi masalah dalam lingkup nasional
maupun secara internasional. Berbagai upaya yang dilakukan oleh dunia internasional
termasuk Indonesia sendiri dirasa masih belum dapat untuk mengurangi angka peredaran
gelap narkoba yang dilakukan oleh pelaku kejahatan terorganisir (organized crime) secara
signifikan. Masalah peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba ini memang melibatkan
sebuah sistem yang kompleks dan berpengaruh secara global serta dapat berkaitan erat
dengan Ketahanan Nasional sebuah bangsa. Baik secara langsung maupun tidak langsung,
dalam perkembangannya hingga saat ini penyalahgunaan narkoba tersebar secara luas
pada berbagai jenjang usia dan berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari jenjang usia muda
hingga tua, kelas ekonomi bawah sampai dengan menengah ke atas. Namun yang patut
mendapat perhatian lebih adalah adanya kecenderungan peningkatan angka yang
signifikan pada lapis usia produktif. Narkoba dan jenis psikotropika paling banyak
disalahgunakan oleh generasi muda yang merupakan penerus serta penopang kekuatan
Nasional di masa datang. Sungguh suatu hal yang amat memprihatinkan saat diketahui
bahwa semakin banyak generasi muda yang terlibat secara aktif baik itu cuma sebatas
sebagai pengguna atau bahkan sebagai pengedarnya. Hal ini tentu perlu mendapat
perhatian serius dari segenap elemen bangsa demi menyelamatkan masa depan Negara
Indonesia tercinta.
Pemerintah Indonesia sendiri telah bertekad bulat, bahwa penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkoba merupakan bahaya nyata yang harus ditangani secara dini
dengan melibatkan seluruh komponen bangsa yang ada baik oleh pemerintah, masyarakat,
serta organisasi-organisasi dan element bangsa lainnya yang terkait. Akan menjadi sangat
sulit bahkan mustahil dilakukan untuk mewujudkan Indonesia yang bebas Narkoba tanpa
adanya dukungan serta bantuan yang nyata dari segenap elemen masyarakat kita sendiri.
Hal tersebut bahkan akan menjadi bertambah sulit dengan semakin berkembangnya
modus operandi dari para pelaku tindak pidana narkoba, serta semakin meningkatnya
trend peningkatan peredaran gelap narkoba dari tahun ke tahun. Peningkatan ini bisa
terlihat dengan semakin bertambahnya jumlah kasus yang dilaporkan serta jumlah
tersangka yang terlibat, baik sebagai pengguna maupun sebagai pengedar narkoba.Dari
data statistika yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), peredaran shabu
(methamphetamine) terus meningkat sejak tahun 2006, hal tersebut digambarkan dari
bertambahnya jumlah kasus dan tersangka jenis shabu dan mencapai level tertinggi pada
tahun 2009 (10.742 kasus dan 10.183 tersangka). Demikian pula dengan jumlah penyitaan
shabu oleh Ditjen Bea dan Cukai tahun 2009 juga menunjukkan adanya peningkatan .
Hasil survey BNN tahun 2009 menyimpulkan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba
dikalangan pelajar dan mahasiswa adalah 4,7% atau sekitar 921.695 orang. Jumlah
tersebut sebanyak 61% menggunakan narkoba jenis analgesik, dan 39% menggunakan
jenis ganja,amphetamine,ekstasi dan lem (Jurnal Data P4GN, 2010 : 2). Penyalahgunaan
narkoba/napza ini memang harus menjadi perhatian segenap pihak dan menjadi tanggung
jawab kita bersama, ini disebabkan karena betapa buruk dan berbahanya efek negative
yang akan timbul akibat penyalahgunaannya. Kemungkinan paling buruk bahkan dapat
menyebabkan ketergantungan akut yang berujung pada kematian. Tidak cukup sampai
disitu, narkoba dapat dengan mudah menimbulkan efek addict (ketergantungan) yang
sangat sulit disembuhkan, terbukti dengan tingginya angka relaps (kambuh) pengguna
yang tidak hanya menjadi isu mendesak di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, kegiatan pencegahan dan penegakan hukum bukanlah tidak
dilakukan. Banyak kasus-kasus besar yang berhasil dibongkar baik dari pihak Kepolisian,
BNN, maupun pihak Bea dan Cukai.Bukan hanya pengguna maupun bandar kecil semata,
pengungkapan terhadap pabrik-pabrik pembuat narkoba juga gencar dilakukan. Salah satu
contoh yang cukup berhasil adalah terungkapnya Clandestein Lab di Depok yang
kemudian berujung pada terbongkarnya pabrik serupa di Daan Mogot, Jepara,
Temanggung dan Jogja. Hal itu memang merupakan prestasi yang cukup baik mengingat
banyaknya jumlah barang bukti yang berhasil disita oleh pihak yang berwajib kala itu.
Tidak hanya itu, pemerintah sendiri pada tanggal 14 September 2009 telah berhasil
menyusun dan mengesahkan undang-undang narkotika yang baru yakni undang-undang
nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Undang-undang tersebut adalah penyempurnaan
dari undang-undang 22 tahun 1997 yang dirasa kurang memberikan efek jera serta
mengurangi tingkat pencegahan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif terhadap
peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Beberapa pengamat hukum sendiri menilai
undang-undang baru ini lebih baik dari pada undang-undang sebelumnya walaupun juga
masih dirasa memiliki kekurangan pada beberapa bagian undang-undang tersebut.
Banyak pihak berharap dengan keberadaan undang-undang nomor 35 tahun 2009 ini
dapat mengurangi jumlah peredaran gelap narkotika serta secara luas dapat
menyelamatkan kehidupan bangsa agar terbebas dari penyalahgunaan narkoba itu sendiri.
II. PERBANDINGAN UU NO 22 TAHUN 1997 DENGAN UU NO 35 TAHUN 2009
Undang-undang nomor 22 tahun 1997 mengatur upaya pemberantasan terhadap
tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur
hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga
mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan
serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak
pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama
di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan
melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat
yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia
baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan
pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini
juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara
kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-
anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
1. Perluasan Jenis dan Golongan
Sebagaimana yang kita ketahui, pada undang-undang mengenai narkoba
sebelum UU No 35 tahun 2009 ini disahkan, Negara kita mengacu pada UU No 22
tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Pada
undang-undang terdahulu,jenis golongan untuk masing-masing Narkotika dan
Psikotropika dipisahkan secara jelas melalui lampiran jenis golongan di tiap-tiap
undang-undang. Hal ini diatur pada pasal 2 ayat (2) UU No 22 tahun 1997 yang
diikuti dengan lampiran untuk setiap jenis golongannya. Pada lampiran UU No 22
tahun 1997 dinyatakan bahwa Narkotika Golongan I terdiri dari 26 jenis narkotika,
sedangkan pada UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada bagian lampirannya
terdapat 65 jenis narkotika golongan I. Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I
ini dikarenakan digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I dan II kedalam
kategori Narkotika Golongan I. Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling
banyak diminati oleh para pecandu narkoba adalah jenis shabu dan ekstasi. Hal ini
diperkuat dalam pasal 153 point b yang menyatakan bahwa Lampiran mengenai jenis
Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I
menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hal ini
dimungkinkan karena maraknya penggunaan shabu dan ekstasi dikalangan
masyarakat Indonesia, sehingga secara serta merta ancaman pidana yang mengatur
mengenai penggunaan shabu dan ekstasi pada jenis Narkotika Golongan I semakin
bertambah berat dengan keluarnya UU No 35 tahun 2009 ini. Hal ini dipertegas
dalam pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa Narkotika Golongan I dilarang
digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dimana pada pasal 8 ayat (2)
dilanjutkan dengan pernyataan bahwa dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I
dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Hal ini berarti ada upaya untuk menekan penggunaan Narkotika Golongan I kepada
hal yang mengarah pada penyalahgunaan, dimana selanjutnya pada bagian penjelasan
dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:
a. Reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas
dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh
seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
b. Reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas
dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau ditentukan
oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam
Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 diatur juga mengenai Prekursor Narkotika
karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini
dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan
terhadap jenisjenis Prekursor Narkotika. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa
Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini. Pengertian ini diikuti dengan dikeluarkannya
lampiran (2) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengenai golongan dan jenis
prekusor itu sendiri. Hal ini sebelumnya tidak diatur dalam UU No 22 tahun
1997,namun seiring diketemukannya pabrik-pabrik pembuat narkoba yang berada di
Indonesia maka peredaran prekusor menjadi penting untuk dikendalikan,hal ini juga
diatur sebagaimana tercantum pada bagian VIII UU No 35 tahun 2009 yang
membahas tentang Prekusor Narkotika (pasal 48 sampai dengan pasal 52). Selain itu,
diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk
pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur
mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus,
pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana
mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan,
jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.
2. Pengobatan dan Rehabilitasi
Dalam hal pengobatan, UU No 35 tahun 2009 secara tegas menyatakan bahwa
untuk kepentingan pengobatan dan indikasi medis jenis narkotika yang dapat
dimiliki, disimpan atau dibawa hanyalah jenis narkotika Golongan II dan Golongan
III saja. Kemudian UU No 35 tahun 2009 juga menyatakan bahwa pihak yang wajib
menjalankan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bukan saja pecandu narkotika
seperti pada UU No 22 tahun 1997 namun juga terhadap korban penyalahgunaan.
Kemudian pada pasal 55 ayat (2) dikatakan bahwa Pecandu Narkotika yang sudah
cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat
kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
3. Pencegahan dan Pemberantasan
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki
jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur
mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional. Kemudian
dalam undang-undang terbaru ini juga mengatur mengenai Badan Narkotika
Nasional, dimana pada pasal 64 ayat (1) dikatakan bahwa Dalam rangka pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang
selanjutnya disingkat BNN. Tidak hanya itu, undang-undang ini juga mengatur
mengenai kewenangan dan kedudukan BNN sampai dengan di tingkat daerah, hal ini
tidak tercantum pada UU No 22 tahun 1997 .
4. Penyidikan
Pada UU No 22 tahun 1997 peranan Badan Narkotika Nasional tidak diatur
dalam perundang-undangan tentang narkotika. Pada UU No 35 tahun 2009, secara
jelas peranan dan kewenangan dari BNN sebagai badan Nasional diatur sedemikian
rupa terutama mengenai kewenangan penyidikan. Pada UU No 22 tahun
1997,penyidikan hanya dilakukan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
dan PPNS sesuai pasal 65,sedangkan pada undang-undang terbaru dikatakan pada
pasal 81 bahwa Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN
berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini, ditambah
dengan PPNS tertentu. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya
semakin canggih, Dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik
penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover
buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik
penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Selanjutnya, tehnik penyidikan ini juga
membuka peluang terhadap perluasan alat bukti elektronik sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 86 ayat (2) yang menyatakan bahwa :
Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Perluasan terhadap alat bukti khususnya yang menyangkut alat bukti elektronik ini
memang sangat dibutuhkan, hal ini mengingat sebagai salah satu tindak kejahatan,
peredaran narkotika merupakan jenis kejahatan dalam bentuk jaringan dimana antara
para pelaku sering tidak bertemu secara face to face bahkan nyaris tidak saling
mengenal satu dengan yang lain, dan komunikasi diantara para pelaku menggunakan
media alat komunikasi elektronik seperti handphone maupun media chatting.
Kemudian dalam hal lamanya waktu penangkapan, UU No 22 tahun 1997
hanya memberikan waktu 24 ja dalam menangkap di ikuti perpanjangan selama 48
jam apabila dalam pemeriksaan waktu tersebut tidak mencukupi (pasal 67). Pada
undang undang 35 tahun 2009,penangkapan dapat dilakukan selama 3 x 24 jam
kemudian dapat diperpanjang 3 x 24 jam lagi apabila pemeriksaan dirasa belum
mencukupi.Begitu pula dalam hal penyadapan, pada UU No 22 tahun 1997 waktu
penyadapan hanya selama 30 hari (pasal 66), namun pada undang-undang terbaru
penyadapan terkait peredaran narkotika ini diperpanjang menjadi 3 bulan (90 hari),
hal ini diatur pada pasal 77 ayat (1) yang menyatakan bahwa Penyadapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti
permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
surat penyadapan diterima penyidik.
5. Peran Serta Masyarakat
Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika
termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah
berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pada pasal 105 dinyatakan bahwa Masyarakat mempunyai hak dan tanggung
jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Berbeda dengan undang-undang
sebelumnya dimana peran masyarakat hanya sebatas pada kewajiban semata.
Perluasan makna hak dan kewajiban disini memberikan pertanggung jawaban dua
arah antara masyarakat dan penegak hukum/BNN dalam upaya bersama
memberantas peredaran narkotika ini. Selanjutnya adalah mengenai pemberian
penghargaan terhadap upaya pemberantasan narkotika ini, dimana pada UU No 22
tahun 1997 pasal 58 dimana pemerintah memberikan penghargaan kepada
masyarakat yang telah berjasa dalam mencegah dan memberantas peredaran gelap
narkotika, sedangkan pada UU No 35 tahun 2009 pemerintah juga memberikan
penghargaan kepada penegak hukum (pasal 109).
6. Ketentuan Pidana
Pada bagian ketentuan pidana ini telah terjadi beberapa perubahan yang cukup
prinsipal dan mendasar dari UU No 22 tahun 1997 ke UU No 35 tahun 2009 ini,
dimana pada undang-undang terdahulu jumlah pasal dalam ketentuan pidana ini
hanya berjumlah 23 pasal dan berkembang menjadi 35 pasal pada undang-undang
terbaru.Secara umum UU No 35 tahun 2009 ini memiliki ancaman hukuman pidana
penjara yang lebih berat daripada UU No 22 tahun 1997 demikian pula dengan
ancaman hukuman denda yang diberikan juga lebih berat. Beberapa pokok perubahan
tersebut diantaranya adalah :
a. Penggunaan sistem pidana minimal
Pada undang-undang terbaru dikenal sistem pidana minimal dimana pada undang-
undang sebelumnya hal tersebut tidak ada. Hal ini terutama pada para pelaku
penyalahgunaan narkotika Golongan I.
b. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melanggar penggunaan narkotika
baik jenis Golongan I , II ,maupun III dibandingkan UU No 22 tahun
1997,misalnya untuk Golongan I baik itu menyimpan , membawa maupun
memiliki dan menggunakan menjadi minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun,
kemudian di ikuti dengan semakin beratnya pidana denda dari Rp.500.000.000
(lima ratus juta rupiah) menjadi minimal Rp 800.000.000 (delapan ratus juta
rupiah) dan maksimal Rp.8.000.000.000 (delapan milyard rupiah).
c. Semakin beratnya hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang
banyak/jumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap narkotika Golongan I
yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon (jenis tanaman) atau barang bukti
melebihi 5 gram (untuk jenis bukan tanaman) maka pelaku di pidana dengan
pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana
dendanya ditambah 1/3.
d. Selanjutnya bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan
narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (Pasal 127 ayat
(3) UU No 35 tahun 2009).
e. Yang cukup menarik adalah apa yang tertera dalam pasal 128 UU No 35 tahun
2009 dimana orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang tidak
melaporkan maka dapat dipidana dengan pidana kurungan 6 bulan atau denda 1
juta rupiah (ayat 1), sedangkan untuk pecandu narkotika dibawah umur dan telah
dilaporkan sebagaimana pasal 55 ayat (1) maka dia tidak dapat dipidana,
kemudian untuk pecandu narkotika yang telah cukup umur dan sedang menjalani
rehabilitasi medis juga tidak dituntut pidana (ayat 3).
f. Adanya ancaman hukuman bagi PPNS dan Penyidik Polri/BNN yang tidak
menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada pasal 88 dan 89 (PPNS)
dan pasal 87,89,90,91(2,3),dan pasal 92 (1,2,3,4).
III. PENUTUP
Berbagai peraturan yang diterapkan dalam UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika
ini memang membawa perubahan jika dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya,
terutama mengenai perluasan jenis golongan narkotika. Perubahan tersebut sangat
signifikan karena sesuai dengan pengalaman dan apa yang sering terjadi di Indonesia,
jenis narkoba yang paling sering untuk disalahgunakan adalah jenis ganja,shabu dan
ekstasi. Sehingga penggolongan shabu dan ekstasi menjadi jenis Narkotika golongan I
dinilai cukup baik mengingat semakin beratnya ancaman pidana maupun ancaman pidana
denda yang diberikan undang-undang terbaru ini. Demikian pula dengan aturan mengenai
Badan Narkotika Nasional baik ditingkat pusat, provonsi maupun kabupaten sehingga
diharapkan dapat menciptakan kerja sama yang sinergis sebagai upaya penegakan hukum
terhadap penyalahgunaan narkotika serta dibarengi dengan upaya-upaya pencegahannya.
Namun demikian, perubahan yang ditetapkan dalam aturan di UU No 35 tahun
2009 tidaklah menjamin akan dapat mengurangi jumlah penyalahgunaan narkotika di
Indonesia.Hal ini tentu harus dibarengi dengan berbagai upaya pencegahan yang
dilakukan dengan segenap bantuan masyarakat dan komponen bangsa ini secara simultan.
Berbagai piranti hukum yang ada hanyalah sebuah hukum “mati” yang tidak akan ada
gunanya apabila tidak dijalankan secara baik dan benar. Dan yang paling penting bahwa
tugas untuk memerangi narkoba ini bukanlah tugas Polri atau tugas BNN semata, seluruh
masyarakat Indonesia harus berperan aktif dalam memerangi narkoba ini. Jika tidak maka
upaya memberantas narkoba dari Indonesia akan sangat sulit untuk terwujud dan
terlaksana dengan baik.