Post on 14-Jul-2016
description
JUMP 1
Proteinuria : Adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai
normalnya. Setidaknya tiga sampel urin harus diperiksa dengan stick testing untuk
mengkonfirmasi adanya proteinuria persisten. Ini memberikan estimasi kasar
konsentrasi protein sebagai berikut (Kallen, 2008) :
Trace = 5-20 mg / dL.
1 + = 30 mg / dL.
2 + = 100 mg / dL.
3 + = 300 mg / dL.
4 + = lebih besar dari 2.000 mg / dL
JUMP 3
1. Teori-teori geriatri
Mengenai masalah psikologik pada lansia, terdapat beberapa
teori seperti disengagement theory yang menunjukkan adanya
penarikan diri dari masyarakat dan diri pribadi lansia satu sama lain.
Teori ini dulunya dianggap mensukseskan proses menua. Namun
sekarang muncul anggapan bahwa sosial involvement (keterlibatan
sosial) dianggap lebih penting dan meyakinkan.
Selain itu daya ingat (memori) lansia memang banyak menurun
dari lupa sampai pikun bahkan demensia. Biasanya mereka masih
ingat betul peristiwa yang telah lama terjadi, namun malah lupa
mengenai hal-hal yang baru terjadi. Dibawah ini terdapat beberapa
stereotipe psikologik orang lansia. Biasanya tipe stereotipe ini sesuai
dengan pembawaan lansia pada saat muda. Tipe yang dikenal adalah
sebagai berikut :
a. Tipe konstruktif
Integritas baiak, dapat menikmati hidupnya, mempunyai
toleransi tinggi, humoristik, fleksibel, tahu diri.
Sifat ini dibawa sejak muda
Dapat menerima fakta proses menua, mengalami masa pensiun
dan menghadapi masa akhir dengan tenang.
b. Tipe ketergantungan
Pasif, tidak berambisi, masih tahu diri, tidak mempunyai
inisiatif, bertindak tidak praktis.
Biasanya dikuasai istrinya (pasangan hidup)
Senang mengalami pensiun, banyak makan dan minum, tidak
suka bekerja, senang berlibur.
c. Tipe defensif
Dulu mempunyai pekerjaan/jabatan tidak stabil
Selalu menolak bantuan
Emosinya tidak dapat dikontrol
Memegang teguh pada kebiasaannya
Bersifat kompulsif aktif
Takut menghadapi “menjadi tua” dan tidak menyenangi masa
pensiun
d. Tipe bermusuhan
Menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalannya
Selalu mengeluh, agresif, curiga, takut mati, iri hati pada orang
yang muda
Pekerjaan dulunya tidak stabil
Menjadi tua dianggapnya tidak ada hal-hal yang baik
e. Tipe membenci/menyalahkan diri sendiri
Kritis, menyalahkan diri sendiri, tidak mempunyai ambisi
Mengalami penurunan kondisi sosio-ekonomi
Mempunyai perkawinan yang tidak bahagia
Merasa menjadi korban dari keadaan
Menerima fakta pada proses menua
Tidak iri pada yang muda
Merasa sudah cukup mempunyai apa yang ada
Menganggap kematian membebaskannya dari penderitaan
Angka bunuh diri pada lansia tipe ini tinggi, apalagi untuk
mereka yang hidup sendirian
Orang lanjut usia juga memiliki kebutuhan tersendiri yang
harus diperhatikan karena kebutuhan LANSIA tidak bisa disamakan
dengan orang dewasa pada umumnya, antara lain :
- Makanan yang cukup dan sehat
- Pakaian dan kelengkapannya
- Perumahan/tempat tinggal/ tempat berteduh
- Perawatan dan pengawasan kesehatan
- Bantuan teknis praktis sehari-hari/bantuan hukum
- Transportasi umum bagi lansia
- Kunjungan/ teman bicara/ informasi
- Rekreasi dan hiburan sehat lainnya
- Rasa aman dan tentram
- Bantuan alat-alat pancaindera
2. Bagaimana fisiologi tidur dari lansia yang normal ?
Fisiologi tidur dapat diterapkan melalui gambaran aktivitas sel-
sel otak selama tidur, dan dapat direkam dengan elektroensefalograf
(EEG).Untuk merekam otak orang yang sedang tidur, digunakan
poligrafi EEG. Dengan cara ini kita dapat erekam stadium tidur adalah
sebagai berikut:
1. Stadium jaga (wake)
EEG : Pada keadaan rileks dan mata tertutup, gambaran didominasi
oleh gelombang alfa. Tidak ditemukan adanya kumparan tidur dan
kompleks K.
Elektrookuloagraf (EOG) : Gerakan mata berkurang, kadang-
kadang terdapat artefak yang disebabkan oleh gerakan kelopak
mata
Elektromiograf (EMG) : Kadang-kadang tonus otot meninggi
2. Stadium I
EEG : Terdiri dari gelombang campuran alfa, beta dan kadang-
kadang teta. Tidak terdapat kumparan tidur, kompleks K atau
gelombang delta
EOG : Tidak terlihat aktivitas bola mata yang cepat
EMG : Tonus otot menurun dibandingkan dengan stadium W.
3. Stadium II
EEG : Terdiri atas gelombang campuran alfa, teta dan delta.
Terlihat adanya kumparan tidur dan kompleks K.
EOG : Tidak terdapat aktivitas bola mata yang cepat.
EMG : Kadang-kadang terlihat peningkatan tonus otot secara tiba-
tiba, menunjukkan bahwa otot-otot tonik belum seluruhnya dalam
keadaan rileks.
4. Stadium III
EEG : Persentase gelombang delta antara 20- 50 %.
Tampakkumparan tidur.
EOG : Tidak tampak aktivitas bola mata yang cepat.
EMG : Gambaran tonus otot yang jelas dari Stadium II.
5. Stadium IV
EEG : Persentase gelombang delta mencapai lebih dari 50%.
Tampak kumparan tidur.
EOG : Tidak tampak aktivitas bola mata yang cepat
EMG : Tonus otot menurun dari pada stadium sebelumnya.
6. Stadium REM (Rapid Eye Movement)
EEG : Terlihat gelombang campuran alfa, beta dan teta. Tidak
tampak gelombang delta, kumparan tidur dan kompleks K.
EOG : Terlihat gambaran REM yang lebar
EMG : Tonus otot sangat rendah. Frekuensi di tinggi dan ereksi.
Stadium I dan II disebut sebagai tidur ringan, sedangkan
Stadium III dan IV sebagai tidur dalam. Stadium I, II, III dan IV
disebut Stadium non REM (NREM).
Stadium REM dikatakan sebagai tidur ringan, sehingga stadium
ini juga disebut sebagai paradoxical leep. Pada stadium REM, individu
mengalami peristiwa mimpi dengan intensitas tinggi sehingga panca
indera ikut terangsang.
Terdapat perubahan tidur secara subjektif dan objektif pada
usia lanjut. Survei epidemiologic menunjukkan bahwa pada usia lanjut
yang tinggal di rumah atau panti werda menunjukkan bahwa 15- 75
persen dari mereka tidak puas dalam lamanya dan kualitas tidur
malam. Pada usia lanjut wanita sehat secara subjektif lebih merasakan
kesulitan tidur dari pada pria.
Yang paling mencolok pada karakteristik tidur pada usia lanjut
ialah konfirmasi poligrafik pada upaya setelah dimulai tidur. Struktur
tidur pada usia lanjut berubah dengan meningkatnya stadium I
sehingga terjadi fragmentasi atau disrupsi dari struktur tidur.
Berkurangnya tidur mempunyai dampak pada pemulihan fungsi tidur.
Orang lanjut usia membutuhkan waktu lebih lama untuk msuk
tidur (berbaring lama di temnpat tidur sebelum tertidur) dan
mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya. Pada
usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal
yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang.
Dalam irama sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran
hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam.
Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur
badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan
GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang
menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur (Sudoyo,
2006).
Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang
sehat, juga tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari.
Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari, pada malam hari tidak
ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada
kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur
(Sudoyo, 2006).
JUMP 7
1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya (lemak sensitif)3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan pada orang dewasa yang masih muda.4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien (dosis kecil insomnia), dan bila perlu dengan memonitor kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya lebih rendah.5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk memelihara kepatuhan pasien6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang tidak diperlukan lagi (Manjoer, 2004)
Pada lansia yang mengalami gangguan tidur pada dasarnya lebih baik
memberi tata laksana terlebih dahulu untuk penyakit yang menyebabkan
gangguan tidur pada lansia. Hal ini dikarenakan adanya penurunan fungsi organ
tubuh pada lansia sehingga sebisa mungkin meminimalisir obat yang
masuk.Selain itu, menjaga pola hidup sehat lebih disarankan bagi lansia yang
mengalami gangguan tidur dibandingkan mengkonsumsi obat tidur dalam jangka
waktu lama.
Namun, beberapa keadaan gangguan tidur memang bisa diberikan obat
tidur misalnya obat transkuiliser minor (contoh : golongan benzodiazepin) dapat
diberikan kepada penderita insomnia akut, diberikan dosis kecil dan dalam waktu
yang tidak lama. Selain itu, akhir-akhir ini obat yang sedang marak dipakai
sebagai obat tidur adalah melatonin, namun sampai saat ini belum menunjukkan
hasil yang memuaskan dalam mengatasi gangguan tidur pada usia lanjut.
Benzodiazepine (BZDs) adalah obat yang paling sering digunakan untuk
mengobati insomnia pada usia lanjut. BZDs menimbulkan efek sedasi karena
bekerja secara langsung pada reseptor benzodiazepine.Efek yang ditimbulkan oleh
BZDs adalah menurunkan frekuensi tidur pada fase REM, menurunkan sleep
latency, dan mencegah pasien terjaga di malam hari. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam pemberian BZDs pada usia lanjut mengingat terjadinya
perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik terkait pertambahan umur.
Absorpsi dari BZDs tidak dipengaruhi oleh penuaan akan tetapi peningkatan masa
lemak pada lanjut usia akan meningkatkan drug-elimination half life, disamping
itu pada usia lanjut lebih sensitif terhadap BZDs meskipun memiliki konsentrasi
yang sama jika dibandingkan dengan pasien usia muda. Pilihan pertama adalah
short-acting BZDs serta dihindari pemakaian long acting BZDs. BZDs digunakan
untuk transient insomnia karena tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Penggunaan lebih dari 4 minggu akan menyebabkan tolerance dan
ketergantungan. Golongan BZDs yang paling sering dipakai adalah temazepam,
termasuk intermediate acting BZDs karena memiliki waktu paruh 8-20 jam.Dosis
temazepam adalah 15-30 mg setiap malam. Efek samping BZDs meliputi:
gangguan psikomotor dan memori pada pasien yang diterapi short-acting BZDs
sedangkan residual sedation muncul pada pasien yang mendapat terapi long
acting BZDs. Pada pasien yang menggunakan BZDs jangka panjang akan
menimbulkan resiko ketergantungan, daytime sedation, jatuh, kecelakaan dan
fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland WA, Newman. 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC
Tortora, Gerard J. 2011. Principles of Anatomy and Physiology 13th Edition. New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth (ed). 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Osman NI, Christopher R. Chapple. 2013. Focus On Nocturia In The Elderly.
Diakses dari : http://www.medscape.com/viewarticle/809746_6-
Sudoyo, Aru W et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran IPD FK UI.