Post on 03-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat
lahir yang disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada
saat kelahiran. Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli
total (deaf). Tuli kongenital dibagi menjadi genetik herediter dan non genetik. 1,2
Prevalensi tuli kongenital di Indonesia diperkirakan 0,1 % dan akan
bertambah setiap tahunnya 4710 orang, jika melihat angka kelahiran sebesar 2,2
% pada penduduk yang berjumlah 214.100.000 orang. Angka ini akan terus
bertambah mengingat faktor resiko yang mengakibatkan tuli kongenital pada
masa kehamilan dan kelahiran masih tinggi. WHO memperkirakan setiap tahun
terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara2.
Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan
berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah
makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini. Untuk
mengetahui adanya gangguan pendengaran pada anak diperlukan pemeriksaan
fungsi pendengaran yang lebih sulit dibandingkan orang dewasa. Proses
pendengaran pada anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek
tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi, dan
audiologi. Pada sisi lain pemeriksa diharapkan dapat mendeteksi gangguan pada
kelompok usia sedini mungkin, karena sebagian besar orangtua terlambat
mengetahui adanya kelainan pendengaran pada anak. 1,2
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa anak dengan kelainan
pendengaran membutuhkan tindakan rehabilitasi/habilitasi sesegera mungkin,
bahkan juga anak usia 6 bulan yang telah diidentifikasi memiliki kelainan
pendengaran. Pemberian amplifikasi perlu dipertimbangkan untuk memberikan
rangsang stimulus pendengaran namun harus diperhatikan faktor penguatannya
sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang permanen. Sedangkan di negara
maju penggunaan implant koklear sudah banyak diterapkan pada anak dengan
kelainan kongenital, sedangkan di Indonesia implant koklear sulit untuk
diterapkan secara luas, mengingat keterbatasan biaya. 3,4
1
Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli kongenital
sebagai salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya2.
Melalui Komisi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendenganran dan Ketulian
(Komnas PGPKT) yang merupakan mitra pemerintah dalam koordinasi sumber
daya dalam melaksanakan kegiatan PGPKT untuk tercapainya Sound Hearing
2030, diharapkan kesadaran masyarakat meningkat melalui upaya promosi dan
prevensi secara bertahap untuk menurunkan faktor risiko kejadian tuli kongenital
sampai dengan 50% pada tahun 2015 dan 90% pada tahun 2030, peningkatkan
penemuan kasus dini dengan melakukan penyuluhan dan merujuk kasus ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu, serta diharapkan penyediaan
sarana habilitasi yang sesuai dengan kebutuhan. 16
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Telinga
Gambar 1. Anatomi telinga 5
Sistem auditorius terdiri dari tiga komponen yaitu telinga luar, tengah dan
dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang telinga dan membran timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastis dan kulit. Liang telinga berbentuk
huruf S dengan rangka tulang rawan sepertiga luar sedangkan dua pertiga bagian
dalamnya terdiri dari tulang. Panjang dari liang telinga ini berkisar 2,5-3 cm. Pada
sepertiga bagian luar liang telinga banyak terdapat kelenjar serumen dan rambut
kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga. Pada dua pertiga bagian
dalam liang telinga sedikit dijumpai kelenjar serumen.7
3
Telinga tengah berbentuk kubus yang dibatasi oleh bagian-bagian seperti
berikut:
1. Batas luar : membran timpani
2. Batas depan : tuba eustachius
3. Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
4. Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
5. Batas atas : tegmen timpani
6. Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap
bundar dan promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung apabila dilihat dari arah liang
telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis
dua, yaitu bagian luar yaitu lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam
adalah epitel saluran nafas. Pars tensa memiliki satu lapisan lagi di tengah yaitu
lapisan yang terdiri serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan sebagai
radier dibagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian
bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari bagian umbo
bermula suatu reflek cahaya yaitu pada pukul 7 pada telinga kiri dan pukul 5 pada
telinga kanan. Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran dengan menarik garis
tengah pada longus maleus dan garis tegak lurus pada garis itu di umbo sehingga
didapati bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan dan bawah-belakang.
Tulang pendengaran pada telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus
maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus
melekat pada stapes. Stapes berhubungan dengan tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang pendengaran ini adalah
persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini
terdapat aditus ad antrum yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah
dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan nasofaring dan telinga tengah.7
4
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis ujung atau puncak dari
koklea disebut helikotrema yang menghubungkan perilimfa skala timpani dengan
skala vestibuli. Kanalis semisirkularis berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea, pada
sebelah atas terlihat skala vestibuli, bawah tampak skala timpani dan duktus
koklearis pada skala media atau diantaranya. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membran vestibuli sedangkan dasar skala media disebut membran basalis. Pada
membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang
berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada membran basal melekat
sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam dan luar dan kanalis corti yang
membentuk organ korti.7
Organ korti memiliki dua tipe sel sensoris, sel rambut dalam sebanyak satu
baris dan sel rambut luar sebanyak tiga baris. Sel rambut dalam merupakan
reseptor murni yang mengantarkan sinyal suara menuju saraf pendengaran dan
pusat pendengaran. Sedangkan sel rambut luar memiliki fungsi sensoris dan juga
fungsi motorik yang berperan pada sensitifitas pendengaran dan amplifikasi
frekuensi tertentu secara selektif.1,3,6
Gambar 2. Irisan membujur koklea 5
5
2.2 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan keliang telinga
sehingga menggetarkan membran timpani. Getaran diteruskan ke tulang tulang
pendengaran, stapes akhirnya menggerakkan membran foramen oval kemudian
menggerakkan perilimfa dalam skala vestibuli. Dilanjutkan melalui membran
vestibuler yang mendorong endolimfa dan membran basal ke arah bawah,
perilimfa dalam skala timpani akan bergerak sehingga mendorong foramen
rotundum ke arah luar. Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimfa
dan mendorong membran basal dan menggerakkan perilimfa pada skala timpani.
Pada saat istirahat, ujung sel rambut berkelok-kelok dan dengan berubahnya
membran basal, ujung sel rambut menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi diubah
oleh adanya perbedaan ion kalium dan natrium menjadi aliran listrik yang
diteruskan ke nervus VIII yang diteruskan ke lobus temporal untuk dianalisis.1,6
Dalam koklea terdapat sistem transport ion yang unik di antara masing-
masing cairan. Di dalam skala timpani dan skala vestibuler terdapat cairan
perilimf dengan komposisi menyerupai cairan ekstraseluler, dimana mengandung
sedikit ion K+ dan tinggi akan ion Na+. Sedangkan skala media berisi cairan
endolimf dengan komposisi menyerupai cairan intraseluler atau sitoplasma,
dimana mengandung tinggi ion K+ dan sedikit ion Na+ dan Ca+. Kadar konsentrasi
ion-ion tersebut dipertahankan oleh adanya perputaran ion dari sel marginal stria
vaskular dan menyebabkan timbulnya potensial listrik pada endolimf sebesar
+80mV. Adanya penurunan dari potensial listrik ini akan sangat berpengaruh pada
sensitivitas terhadap rangsang akustik.3
Walaupun belum diketahui secara pasti, diperkirakan mekanisme
perputaran ion tersebut berkaitan dengan hubungan antarsel yang difasilitasi oleh
connexin junction. Berlokasi pada membrane sel 6 connexin dengan jenis yang
sama atau berbeda akan membentuk satu connexon, dan inilah yang akan
membuat pori-pori pada membran sel yang digunakan sebagai saluran untuk
pertukaran ion. Kelainan pada saluran ini akan mengganggu proses pertukan ion
antar sel dan secara keseluruhan akan menyebabkan kematian dari sel rambut dan
ketulian secara menetap.3
6
2.3 Perkembangan Auditorik
Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan
perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan
dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan 12 bulan pertama kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat.1
Berdasarkan penelitian bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti
orang dewasa pada usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam
kandungan sudah dapat memberikan respon pada suara yang ada disekitarnya
namun reaksi janin masih reaksi seperti refleks moro, terhentinya aktivitas, dan
refleks auropalpebral. Kuccwara membuktikan respon terhadap suara berupa
refleks aurpalpebral yang konsisten pada janin usia 24-25 minggu.1
Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain9 :
Usia 0-4 bulan, kemampuan respons auditorik masih terbatas dan bersifat
refleks. Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara keras atau terbangun
ketika sedang tidur. Respons berupa refleks auropalpebral maupun refleks
Moro.
Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak di bidang
horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan otot leher cukup kuat
sehingga kepala dapat diputar dengan cepat ke arah sumber suara.
Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber bunyi dan bayi
dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat.
Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk mencari
sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan mampu melokalisir
bunyi dari segala arah dengan cepat.
Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak akan memberi
reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus yang sama. Hal ini disebabkan
karena anak sudah mampu memperkirakan sumber suara.
7
2.4 Tuli Kongenital
2.4.1 Definisi
Tuli kongenital ialah ketulian yang terjadi pada seorang bayi yang
disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.1
2.4.2 Klasifikasi
Berdasarkan ISO derajat tuli terbagi atas:7
0-25 dB HL : normal
26-40 dB HL : tuli ringan
41-55 dB HL : tuli sedang
56-70 dB HL : tuli sedang berat
71-90 dB HL : tuli berat
>90 dB HL : tuli sangat berat
MenurutAmerican National Standart Institute, derajat tuli terbagi atas:6
16-25 dB HL : tuli sangat ringan
26-40 dB HL : tuli ringan, tidak dapat mendengar bisikan
41-70 dB HL : tuli sedang, tidak dapat mendengarpercakapan
71-95 dB HL : tuli berat, tidak dapat mendengar teriakan
>95 dB HL : tuli sangat berat, tidak dapat mendengar suara yang
menyakitkan bagi pendengaran manusia yang normal.4
Selanjutnya, ketulian dapat diklasifikasikan sebagai tuli konduktif (dimana
terdapat kegagalan gelombang suara mencapai telinga dalam melalui saluran
konduksi udara luar dan tengah), tuli sensorineural (dimana terdapat abnormalitas
atau kerusakan sel-sel sensoris dan serat saraf pada telinga dalam), dan tuli
campuran (gabungan tuli konduktif dan tuli sensorineural).4,6
2.4.3 Epidemiologi
Prevalensi tuli kongenital di Indonesia diperkirakan 0,1 % dan akan
bertambah setiap tahunnya 4710 orang, jika melihat angka kelahiran sebesar 2,2
% pada penduduk yang berjumlah 214.100.000 orang. Angka ini akan terus
bertambah mengingat faktor resiko yang mengakibatkan tuli kongenital pada
8
masa kehamilan dan kelahiran masih tinggi. WHO memperkirakan setiap tahun
terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara9.
2.4.4 Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat meningkatkan kecurigaan tuli kongenital
diantaranya:4,6,15
Riwayat keluarga dengan tuli kongenital
Adanya infeksi prenatal : infeksi TORCH
Lahir prematur dan berat badan lahir rendah
Persalinan yang sulit dan fetal distress pada saat kelahiran
Ikterus (menyebabkan tuli retrokoklear)
Mengkonsumsi obat-obat ototoksik
Adanya infeksi lainnya, seperti meningitis bakterialis
2.4.5 Etiologi
Gangguan pendengaran pada anak dapat berkembang dari penyebab yaitu
prenatal, perinatal dan post natal.1
A. Prenatal
Selama kehamilan periode yang paling penting adalah trimester pertama
sehingga setiap gangguan yang terjadi pada masa itu akan menyebabkan
ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada masa tersebut dapat
berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis
obat yang ototoksik dan teratogenik yang dapat mengganggu organogenesis
dan merusak sel silia seperti salisilat, kina, neomisin, barbiturat, gentamisin
dan lain-lain. Adapun yang mempengaruhi masa prenatal ini adalah1
I. Infant faktor
Janin dapat lahir dengan kelainan pada telinga dalam yang dapat
disebabkan genetik maupun faktor nongenetik. Kelainan yang muncul
dapat sendiri maupun dapat merupakan bagian dari suatu sindrom.
Kelainan pada telinga dalam dapat berupa kelainan membranous labirin
atau kombinasi dari kelainan membran labirin dan tulang labirin. Yang
termasuk dari gangguan ini adalah;
9
Sheibe's dysplasia
Alexander's dysplasia
Bing-Siebeman dysplasia
Michel dysplasia
Mondini's dysplasia
Enlarge vestibular aqueduct
Semicircular canal malformation1
II. Maternal faktor
Adapun yang termasuk dari maternal faktor adalah;
Infeksi
Penggunaan obat-obatan semasa kehamilan
Terpapar radiasi pada trimester pertama1
B. Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor
resiko terjadinay gangguan pendengaran. Umumnya ketulian yang terjadi
akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral
dengan derajat ketulian berat atau sangat berat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tuli kongenital saat kelahiran adalah :
Anoxia
Prematuritas dan berat badan lahir yang rendah
Trauma lahir
Jaundice neonatus
Meningitis neonates
Penggunaan obat-obat ototoksik sewaktu terapi meningitis1
C. Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi
selaput otak, perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga
menyebabkan tuli saraf dan konduktif.1
10
Adapun faktor yang mempengaruhi tuli kongenital setelah kelahiran adalah
A. Genetik
Gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik dapat memiliki
etiologi yang berbeda-beda dan diperkirakan sekitar 1% dari seluruh gen
manusia terlibat dalam proses pendengaran. Secara garis besar gangguan
pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik terbagi menjadi non-
syndromic hearing loss (NSHL) dan syndromic hearing loss (SHL).
Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi pada gen tunggal (single
gene) atau disebut monogenic form atau merupakan kombinasi mutasi pada
gen yang berbeda dan faktor lingkungan (multifactorial form). Sekitar 50%
kasus merupakan kelainan pendengaran bentuk monogenik; sedangkan faktor
perinatal dan infeksi selama usia bayi atau trauma bertanggung jawab untuk
sisanya. Gambaran perpindahan gen yang bermutasi dari generasi ke generasi
berikutnya dapat ditelusuri dari diagram yang disebut sebagai pedigree.3
I. Non-syndromic hearing loss (NSHL)
NSHL merupakan gangguan pendengaran tersendiri yang tidak memiliki
kaitan dengan kelinan fisik lainnya.NSHL mengenai sekitar 1 dalam 4000
orang. NSHL lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural.
NSHL terjadi pada 80% tuli genetik.Kelainan genetik pada penderita
NSHL memiliki 4 dasar kelainan, yaitu:3
Autosomal resesif
Gangguan pendengaran kongenital yang bersifat autosomal resesif
terjadi pada 75% dari seluruh tuli kongenital, dan berkaitan dengan
mutasi Connexin 26, yaitu hilangnya suatu nukleotida (guanine).
Connexin 26 merupakan protein protein yang terekspresikan pada
koklea, berperan dalam proses perputaran ion K+ dalam koklea.3
Autosomal dominan
X-linked
Kelainan mitokondria3
11
II. Syndromic hearing loss (SHL)
Kelainan bentuk fisik yang khas mungkin dapat berhubungan dengan
gangguan pendengaran yang bersifat sindromik (SHL). Terdapat lebih dari
100 sindrom, kebanyakan berhubungan dengan tuli sensorineural,
diantaranya adalah:3,4
Alport Syndrome
Kelainan ini mengenai sekitar 1 dari 200.000 orang.Memiliki
karakteristik gangguan ginjal progresif dan gangguan pendengaran
sensorineural. Lebih sering mengenai laki-laki dibanding wanita.
Gangguan pendengaran biasanya bersifat bilateral dan simetris, dengan
ketulian saraf progresif dan mengenai frekuensi tinggi.3
Pendred Syndrome
Pendred syndrome memiliki gejala khas yang dikenal dengan trias
gangguan pendengaran kongenital, goiter multinodul, dan penurunan
patologis dari hasil tes perklorat. Gangguan pendengaran biasanya
terjadi bilateral.3
Waardenburg Syndrome
Waardenburg syndromemengenai sekitar 2 dari 100.000 kelahiran dan
diperkirakan sebesar 2% dari seluruh masalah gangguan pendengaran
kongenital di Amerika. Kelainan klinis yang tampak adalah kelainan
pada tulang temporal termasuk atropi organ korti dan stria vaskular,
dengan penurunan jumlah sel saraf pada ganglion spiralis. Gambaran
klinis dari Waadenburg syndrome adalah kelainan lokasi dari kantus
medial dan punkta lakrimalijs, hyperplasia high nasal root, gambaran
albinisme melingkar pada rambut bagian depan, ketulian saraf
unilateral atau bilateral yang bersifat ringan sampai berat. 3
Usher Syndrome - Sensorineural Deafness
Usher syndrome mengenai sekitar 3 dalam 100.000 kelahiran hidup.
Kelainan bersifat progresif yang sering ditemukan adalah kebutaan
karena terjadinya retinitis pigmentosa, juga tuli saraf sedang sampai
berat. Kelainan histopatologi yang ditemukan adalah adanya
12
degenerasi epitel sensoris koklea. Tidak ditemukannya cochlear
microphonic mengindikasikan adanya gangguan pendengaran.3
Lainnya :
Branchio-Oto-Renal syndrome
X-linked Charcot Marie Tooth
Goldenhar syndrome
Jervell-Lange-Nielsen syndrome
Mohr-Tranebjaerg syndrome
Norrie disease
Stickler syndrome
Treacher Collins' syndrome 4
B. Non Genetik
Mondini Dysplasia
Deformitas tipe mondini ini dapat kita jumpai pada sindroma CHARGE
(Coloboma, Heart desease, Choanal Atresia, Retarded development,
Gonadal aplasia, dan Ear abnormalities).4
Sindroma pelebaran aquaduktus vestibular
Sistem vestibularis terdiri atas kanalis semisirkularis yang berjalan
sepanjang utrikula dan sakula. Pada sindrom ini, diameter dari sistem
tersebut meningkat (hal ini dapat diukur pada CT dan MRI resolusi tinggi)
sehingga menyebabkan tuli sensorineural.4
Malformasi lainnya yang dapat meningkatkan terjadinya tuli konduktif
antara lain: palatoskizis, malformasi osikular, fiksasi osikular, atresia liang
telinga luar, kolesteatoma kongenital.4
Obat teratogenik, seperti gentamisin dan thalidomide. 4
Infeksi, seperti Toxoplasmosis, Other (HIV, syphilis), Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes (TORCH). 4
2.4.6 Gambaran Klinis
Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering memberikan gejala
berupa keterlambatan bicara (speech delayed). Gagal atau tidak berkembangnya
kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan tanda yang menunjukkan adanya
13
gangguan pendengaran dan perlu dievaluasi. Adapun beberapa gejala atau tanda
lain pada anak yang mengalami gangguan pendengaran antara lain:8
Tidak ada respon pada bunyi yang keras pada bayi umur 3-4 bulan atau
bayi tidak dapat mengetahui asal dari sumber bunyi.
Bayi hanya melihat ketika dia melihat ibu atau orang lain yang berhadapan
dengannya, sedangkan dia tidak akan melihat apabila tidak berhadapan
dengannya atau meskipun dengan memanggil namanya.
Pada bayi umur 15 bulan yang mengalami keterlambatan berbicara, tidak
akan dapat mengucapkan kata-kata mama.
Bayi atau anak tidak selalu respon ketika dipanggil.
Anak-anak dapat mendengar beberapa bunyi tetapi bunyi yang lainnya
tidak.
2.4.7 Pemeriksaan Diagnostik
Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun
derajat ketulian yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam
perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan
berbahasa. Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan
skrining pendengaran pada anak. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir
(Newborn Hearing Screening) dibedakan menjadi:9
1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS): dilakukan pada semua
bayi baru lahir, sebelum meninggalkan rumah sakit.
2. Targeted Newborn Hearing Screening: dilakukan khusus pada bayi yang
mempunyai faktor resiko terhadap ketulian.
Menurut ketentuan dari American Joint Committee of Infant Hearing
tahun 2000, gold standart untuk skrining pendengaran bayi adalah Automated
Otoacoustic Emissions (AOAE) dan Automated Auditory Brainstem Response
(AABR). Program skrining ini telah dijalankan pada tahun 2001 dan telah
diterapkan seutuhnya di Inggris.4
Telah banyak dibuat pedoman pemeriksaan pendengaran pada anak yang
teridentifikasi menderita gangguan pendengaran, baik melalui program penapisan
atau dirujuk untuk penilaian fungsi pendengaran. American Speech Language
Hearing Association (ASHA) merekomendasikan pemeriksaan pendengaran anak
14
secara komprehensif yang mencakup penilaian tingkah laku (behavioral),
elektrofisiologis, serta perkembangan motorik, wicara dan bahasa. Terdapat
berbagai macam pemeriksaan yang saling melengkapi satu dengan lainnya untuk
menentukan adanya gangguan pendengaran.10
Gambar 3. Skema Alur Pemeriksaan Pendengaran Bayi Baru lahir 15
Pemeriksaan elektrofisiologis berperan dalam memberikan data objektif
mengenai ambang dengar pada anak atau pasien yang sulit diperiksa (difficult-to-
test) dengan audiometri konvensional. ABR merupakan pemeriksaan yang andal
dalam menentukan fungsi pendengaran pada bayi dan anak kecil. Selain itu juga
dapat memperkirakan lokasi lesi. Terdapat dua jenis stimulus yang sering dipakai
pada pemeriksaan ABR, yaitu click (bunyi klik) dan tone burst (bunyi nada).
Kekurangan clickABR adalah tidak spesifik untuk frekuensi tertentu, dan untuk
mendapatkannya digunakan tone burst ABR, namun teknik ini membutuhkan
waktu yang lebih lama.11
1. Automated Otoacoustic Emissions (AOAE)
15
Gambar 4.Automated otoacoustic emissions9
OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari
luar yang tiba di sel-sel rambut luar koklea. OAE bermanfaat untuk
mengetahui apakah koklea berfungsi normal, berdasarkan prinsip
elektrofisiologik yang objektif, cepat, mudah, otomatis, non-invasif,
dengan sensitivitas mendekati 100%. Kerusakan yang terjadi pada sel-sel
rambut luar koklea, misalnya akibat infeksi virus, obat ototoksik,
kurangnya aliran darahyang menuju koklea menyebabkan sel-sel rambut
luar koklea tidak dapat memproduksi OEA.9 Pemeriksaan ini dapat
dilakukan untuk bayi yang baru berusia 2 hari.Selain juga untuk orang
dewasa. Pada bayi, pemeriksaan ini dapat dilakukan saat
beristirahat/tidur.Tesnya tergolong singkat dan tidak sakit, namun
memberi hasil akurat. Hasilnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni
pass dan refer. Pass berarti tidak ada masalah, sedangkan refer artinya ada
gangguan pendengaran hingga harus dilakukan pemeriksaan berikut.11
Tes ini melibatkan penempatan sebuah ear-piece kecil ke dalam telinga
luar bayi yang mengirimkeluar suara clicking yang lembut. Respons
“echo” kemudian diukur oleh komputer dan menunjukkan berfungsinya
tlinga tengah dan dalam (koklea) bayi. 12
Orang tua tetap dengan bayi mereka sementara tes dilakukan dan
dibutuhkan hanya beberapa menit untuk memberikan hasil. Partisipasi
tidak diperlukan dari bayi, dan mereka seringkali tertidur saat menjalani
tes. Jika tes tidak menunjukkan jawaban yang jelas, maka akan diulang. Ini
tidak berarti mereka memiliki gangguan pendengaran karena kadang-
kadang kondisi saat pemutaran tidak benar; mungkin bayi tidak tenang
atau mungkin masih terdapat cairan di saluran telinga saat kelahiran. Jika
16
setelah percobaan kedua AOAE, bayi masih tidak menunjukkan reaksi,
mereka akandialihkan untuk jenis tes pendengaran kedua yang disebut
automated auditory brainstem response (AABR).12
2. Automated Auditory Brainstem Response (AABR) atau Automated
Brain Evoked Response Audiometri (BERA)
Gambar 5.Automated auditory brainstem response9
Tes BERA dapat menggambarkan reaksi yang terjadi sepanjang jaras-jaras
pendengaran, dapat dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan dimulai
pada saat pemberian impuls sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk
gelombang.Pemeriksaan BERA mempunyai nilai objektifitas yang tinggi,
penggunaannya mudah, tidak invasif, dan dapat dipakai untuk
pemeriksaan anak yang tidak kooperatif, yang tidak bisa diperiksa secara
konvensional.9
3. Auditory Steady-State Response (ASSR)
Gambar 6.Auditory steady state response14
Dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang sebuah teknik
pemeriksaan pendengaran objektif yang dapat menentukan ambang dengar
pada frekuensi tertentu secara spesifik, yaitu auditory steady-state
response (ASSR). Pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan
17
elektrofisiologis terhadap respons sistem pendengaran berupa gelombang
di otak yang dibangkitkan oleh stimulasi suara. Waktu yang dibutuhkan
untuk mendapatkan ambang dengar dengan teknik ASSR ini lebih cepat
karena dapat secara simultan memeriksa empat frekuensi masing-masing
pada kedua telinga. ASSR dapat memberikan informasi frekuensi spesifik
dibandingkan click ABR yang telah lebih dulu dikenal luas. Dengan
pemeriksaan ASSR intensitas dapat diberikan sampai 127,8 dB, sehingga
dapat mengidentifikasi ambang dengar pada subjek dengan gangguan
pendengaran sangat berat atau dengan kata lain dapat menentukan sisa
pendengaran. Pemeriksaan ASSR tidak dipengaruhi oleh soundfield
speaker atau hearing aid amplifier karena respons pada ASSR sifatnya
steady-state dan stimulusnya simultan, sehingga ASSR dapat digunakan
untuk memperkirakan ambang dengar pada pasien implan koklea atau
untuk kepentingan pemasangan alat bantu dengar.14
Kelemahan pemeriksaan ASSR ini adalah tidak dapat menentukan lokasi
lesi dan belum banyak data yang dipublikasikan mengenai pemeriksaan
hantaran tulang. Sampai saat ini penelitian mengenai ASSR masih banyak
dilakukan di sentra-sentra pendengaran terkemuka, namun belum ada data
mengenai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini.14
4. Timpanometri
Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi
(tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan
untuk membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif. Prosedur ini
tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan biasanya digunakan
pada anak-anak. Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah
sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di
saluran telinga. Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang
melalui telinga tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali
sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.12
5. Auditory Brainstem Response (ABR)
Cara pemeriksaannya hampir sama dengan OAE. Bayi mulai usia 1 bulan
sudah dapat dilakukan tes ini, Automated ABR yang berfungsi sebagai
18
screening, juga dengan 2 kategori, yakni pass dan refer. Hanya saja alat ini
cuma mampu mendeteksi ambang suara hingga 40 dB. Sedangkan guna
mengetahui lebih jauh gangguan pendengaran yang diderita, lazimnya
dilakukan pemeriksaan lanjutan, dengan BERA (Brainstem Evoked
Response Audiometry).11
6. Visual Reinforced Audiometry (VRA)
Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada bayi usia 9 bulan sampai 2,5
tahun. Pemeriksaan ini berfungsi untuk mengetahui ambang dengar anak.
Tergolong pemeriksaan subjektif karena membutuhkan respons anak. Pada
tes ini selain diberikan bunyi-bunyi, alat yang digunakan juga harus dapat
menghasilkan gambar sebagai reward bila anak berhasil memberi jawaban.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan sambil bermain.11
7. Play Audiometry
Pemeriksaan yang juga berfungsi mengetahui ambang dengar anak ini
dapat dilakukan pada anak usia 2,5-4 tahun. Caranya dengan
menggunakan audiometer yang menghasilkan bunyi dengan frekuensi dan
intensitas berbeda. Bila anak mendengar bunyi itu berarti sebagai pertanda
anak mulai bermain misalnya harus memasukkan benda ke kotak di
hadapannya.11
8. Conventional Audiometry
Pemeriksaan ini dapat dilakukan anak usia 4 tahun sampai remaja.
Fungsinya untuk mengetahui ambang dengar anak. Caranya dengan
menggunakan alat audiometer yang mampu mengeluarkan beragam suara,
masing-masing dengan intensitas dan frekuensi yang berbeda-beda. Tugas
si anak adalah menekan tombol atau mengangkat tangan bila mendengar
suara.11
2.4.8 Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Bayi1
Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis dini
perlu dilakukan pada bayi baru lahir sebelum keluar dari rumah sakit dengan
tujuan untuk mengetahui sedini mungkin kejadian gangguan pendengaran pada
bayi karena tuli berat sejak lahir memiliki dampak luas pada perkembangan
19
berbicara berbahasa, gangguan kognitif perilaku sosial emosi dan kesempatan
bekerja.
Dengan demikian tuli sejak dini dapat diintervensi dapat dilakukan sedini
mungkin dan bukti memberikan peluang perkembangan yang lebih baik daripada
ketulian yang ditemukan pada anak yang lebih lanjut. Skrining sebaiknya pada
semua bayi yang baru lahir normal maupun bayi normal tanpa resiko. Negara
bagian Montana di AS merekomendasikan program 3-6 bulan untuk deteksi dan
intervensi dini yaitu skrining yang dilakukan sampai umur 1 bulan, diagnosis
dilakukan sebelum 3 bulan dan intervensi dilakukan pada umur 6 bulan dan
program ini disebut juga Joint Committe on Infant Hearing (2000) menetapkan
pedoman penegakan diagnosa terhadap ketulian sebagai berikutu
Untuk bayi 0-28 hari :
1. Riwayat keluarga dengan tuli sensori neural sejak lahir
2. Infeksi masa hamil (TORCHS)
3. Kelainan kraniofasialis termasuk kelainan pada pinna dan Hang telinga
4. Berat badan lahir < 1500gr
5. Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar
6. Obat ototoksik
7. Meningitis bakterial
8. Nilai apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada menit kelima
9. Ventilasi mekanik 5 hari lebih di NICU
10. Sindroma yang berhubungan sengan riwayat keluarga dengan tuli
sensorineural sejak lahir
Untuk bayi 29 hari - 2 tahun
1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran,
keterlambatan bicara, berbahasa tau keterlambatan perkembangan.
2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak anak-
anak.
3. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang
diketahui mempunyai hubungan yang erat dengan tuli sensorineural,
konduktif dan gangguan tuba eustachius.
20
4. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
termasuk meningitis bakterial.
5. Infeksi intrauterin seperti toksoplasmosis, rubela, CMV, herpes dan sifillis
6. Adanya faktor resiko tertentu pada masa neonatus terutama
hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal
yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)
7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang
progresif usher syndrome neurofibromatosis dan osteoporosis
8. Adanya kelainan neurogeneratif (Hunter syndrome) dan kelainan neuropati-
sensomotorik seperti Freiderick ataxia, Charrot Marie Tooth Syndrome.
9. Trauma kapitis
10. Otitis media yang berulang dan menetap disertai efusi telinga tengah minimal
3 bulan.
Bayi yang mempunyai salah satu faktor resiko tersebut mempunyai
kemungkinan mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi
yang tidak memiliki faktor resiko. Bila terdapat 3 faktor resiko kecendrungan
menderita ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak
mempunyai faktor resiko.Pada bayi baru lahir yang dirawat di ruang intensif
resiko mengalami ketulian 10 kali dibandingkan bayi normal.
Indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya mendeteksi sekitar
50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan
pendengaran tanpa memiliki faktor resiko dimaksud. Berdasarkan pertimbangan
tersebut makas saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada
bayi ditetapkan melalui program Newborn Hearing Screening (NHS).
Saat ini OAE (Otoacoustic emission) dan AABR (Automated Audiometry
Brainstem Response) merupakan tehnik pemeriksaan baku emas (gold standard)
dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dan sensitifitas mendekati
100%. 9 Namun di Indonesia, pemeriksaan tersebut hanya tersedia di rumah sakit
rujukan tingkat propinsi ataupun rumah sakit swasta. Sehingga belum mampu
menjangkau sasaran di daerah. Cara mudah untuk melakukan pemeriksaan
21
pendengaran apabila tidak ada sarana yaitu dengan memberikan bunyi-bunyian
pada jarak 1 m di belakang anak 9:
Bunyi pss – pss untuk menggambarkan suara frekwensi tinggi
Bunyi uh – uh untuk menggambarkan frekwensi rendah
Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir (frekwensi 4000 Hz)
Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekwensi 900 Hz )
Suara remasan kertas (frekwensi 6000 Hz)
Suara bel (frekwensi puncak 2000 Hz)
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan
mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai
apabila9 :
Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi
Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti
Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata
2.4.9 Penatalaksanaan
Ada atau tidaknya ketulian seharusnya bisa dideteksi sejak bayi berusia 3
bulan. Pada pendengaran normal suara masuk akan diproses masuk dalam
kokhlea, sebuah saluran atau tuba yang berputar spiral mirip rumah siput dan
berisi organ-organ pendengaran. Getaran gelombang suara digetarkan ke kokhlea
sehingga terjadi gerakan pada cairan sel-sel rambut dam membran-membran di
dalamnya. Sel-sel rambut inilah yang mengirim sinyal saraf ke otak. Jika terjadi
kerusakan dan gangguan otomatis suara tidak dapat ditangkap dan diterjemahkan
otak.
Perlu untuk mengetahui derajat dan jenis dari tuli yang diperoleh dan
kelainan yang mengikuti seperti retardasi mental atau kebutaan serta kehilangan
pendengaran yang bersifat prelingual atau post lingual. Tujuan dari habilitasi pada
anak-anak dengan gangguan pendengaran adalah perkembangan bahasa dan
berbicara, bersosialisasi dan dapat mengeluarkan suara. 15
Adapun penatalaksanaan tuli kogenital adalah;
1. Pengawasan orang tua
22
Orang tua yang mempunyai anak yang tuli haruslah secara emosional
menerima kekurangan yang dihadapi anak mereka. Mereka haruslah diberitahu
tentang kekurangan yang dihadapi anak mereka dan bagaimana cara
menanganinya. Peran orang tua dalam habilitasi sangatpenting dimana untuk
penjagaan dan pemakaian dari alat bantu dengar, pemasangan telinga palsu
selama pertumbuhan menjadi dewasa, sering melakukan pemeriksaan,
memberikan pendidikan di rumah dan pemilihan dalam besuara. 15
2. Habilitasi
Pada penderita gangguan pendengaran, fungsi auditorik jelek atau tidak
ada sama sekali. Oleh sebab itu untuk mendapatkan informasi yang baik, mereka
perlu untuk meningkatkan kualitas pendengaran dengan amplifikasi pendengaran
atau implan koklea. Orang yang terdeteksi gangguan pendengaran biasanya
diberikan terapi alat bantu dengar (ABD) atau hearing aids sekitar enam bulan.
Selama ini pula dilakukan serangkaian tes untuk mengetahui respon pendengaran
dan kemampuan berkomunikasi. Jika tidak berpengaruh signifikan implantasi
kokhlea menjadi solusi berikutnya tuli akibat infeksi dan tuli konduktif atau
gangguan luar dan tengah umumnya bisa diobati atau dibantu dengan alat bantu
dengar begitupun tuli kogenital. 15
Hearing aid atau alat bantu pendengaran pada saat ini tersedia dalam
beberapa jenis. Tipe yang terbaik untuk dipilih tergantung pada tingkat kehilangan
pendengaran, bentuk telinga, gaya hidup dan kebutuhan akan pendengaran.
Berikut ada lima jenis alat bantu pendengaran : 15
Behind The Ear (BTE)
Jenis ABD ini diletakkan di belakang telinga dan dikaitkan di bagian atas
daun telinga. Alat ini ditahan oleh bentuk telinga sesuai dengan kanal
telinga sehingga suara dari alat bantu pendengaran ini diteruskan ke
gendang telinga. Jenis ini mudah untuk dimanipulasi dan segala tipe
rangkaian dapat sesuai dengan model ini. Seluruh ABD, tanpa
memperhatikan jenisnya, dibuat dengan bagian dasar yang sama. ABD
jenis BTE, seperti yang ditunjukkan dibawah ini, dapat diamati letak
mikrofon, tone hook, volume control, saklar on/off, dan baterai.
23
Gambar 7. Alat Bantu Pendengaran Jenis Behind The Ear15
In The Ear (ITE)
Jenis ini diletakkan di dalam daun telinga. Alat ini akan menutup saluran
telinga sepenuhnya. Seperti halnya BTE, jenis tipe ini mudah dioperasikan
dapat sesuai dengan kebanyakan rangkaian yang dikembangkan.
Gambar 8. Alat Bantu Pendengaran Jenis In The Ear15
In The Canal (ITC)
Jenis ini diletakkan di dalam saluran kanal telinga dan tidak terlalu tampak
kelihatan dibandingkan dengan jenis BTE ataupun ITE. Karena bentuknya
yang lebih kecil sehingga jenis ini pasti lebih sukar untuk dimodifikasi dan
tidak semua tipe rangkaian dapat pas untuk model ini.
Gambar 9. Alat Bantu Pendengaran Jenis In The Canal15
Completely-in-the-Canal (CIC)
Jenis alat bantu dengar yang satu ini dipasang jauh di dalam saluran kanal
telinga dan umumnya tidak dapat dilihat. Karena bentuknya yang begitu
kecil sehingga tidak semua tipe rangkaian dapat sesuai dengan model ini.
Jenis ini sangat sesuai untuk penderita yang amat parah. Pada dasarnya
24
cara kerja alat pendengaran ini sama dengan jenis BTE melainkan letaknya
saja yang berbeda.
Gambar 10. Alat Bantu Pendengaran Jenis Completely-in-the-Canal15
Bone Anchored Hearing Aids (BAHA)
Jenis alat bantu dengar tipe ini dipasang permanen di dalam kulit di
belakang telinga, yaitu sebuat lempeng titanium dan prossesor. Prinsip
kerjanya yaitu lempeng titanium menerima rangsang dari luar kemudian
diolah di prosessor dan dilanjutkan ke telinga bagian dalam melalui tulang.
Gambar 11. Bone Anchored Hearing Aids15
Cochlear implant (Implantasi Koklea) adalah alat pendengaran buatan
yang dirancang untuk menghasilkan sensasi pendengaran yang berguna yang
secara elektrikal merangsang saraf-saraf dalam pusat telinga. Implan koklea
dirancang untuk simpangan bagian–bagian rusak dari bagian dalam telinga dan
mengirim rangsangan listrik secara langsung ke saraf pendengar dimana
rangsangan tersebut kemudian ditafsirkan sebagai suara oleh otak. Alat ini
25
menyediakan kemampuan untuk sensasi pendengaran yang berguna dan
memperbaiki kemampuan berkomunikasi bagi orang yang kehilangan
pendengaran yang parah. Implantasi koklear adalah sebuah pilihan penting bagi
individu yang memperoleh sedikit atau tidak ada keuntungan dari sebuah ABD
konvensional.
Gambar 12. Implantasi Koklea 5
Prinsip kerja dari Implan koklea : 15
a) Gelombang suara masuk pada mikrofon yang ditempatkan pada headpiece.
b) Suara dikirim ke speech processor melalui sebuah kabel tipis yang
menghubungkan headpiece ke speech processor.
c) The speech processor mengubah suara tersebut menjadi sebuah sinyal khusus
yang dapat ditafsirkan oleh otak. Perubahan ini diselesaikan dengan suatu
program yang disebut speech processing strategies.
d) Sinyal khusus tersebut dikirim kembali melalui kabel yang sama ke
headpiece dan dikirim melewati kulit melalui gelombang radio ke alat yang
ditanam tersebut.
e) Sinyal tersebut berjalan melalui barisan elektroda di dalam pusat telinga dan
merangsang saraf pendengaran.
f) Saraf pendengaran kemudian mengirim sinyal – sinyal listrik ke otak dimana
siyal – sinyal listrik tersebut ditafsirkan sebagai suara.
26
Di Indonesia, implantasi koklea belum diterapkan secara luas karena
keterbatasan biaya. Pada tahun 2013, implantasi koklea di RSPAD Gatot Subroto
Jakarta dapat mencapai 100 juta rupiah untuk tiap pasiennya. Jumlah tersebut
sudah termasuk alat, biaya operasi dan biaya lainnya pasca operasi.17 Tercatat
sebanyak 68 pengguna implan koklear antara Juli 2002 hingga Maret 2012 di
salah satu rumah sakit swasta di Jakarta.
3. Pengembangan berbicara dan berbahasa15
Komunikasi adalah merupakan proses dua arah, tergantung dari
kemampuan menerima dan mengekspresi. Penerimaan informasi melalui visual,
pendengaran atau perabaan sementara ekspresi secara oral atau bahasa sinyal.
• Komunikasi oral auditorik
Metode ini digunakan orang yang normal dan cara komunikasi yang paling
baik. Metode ini dapat digunakan pada gangguan pendengaran sedang hingga
berat atau penderita dengan tuli post lingual. Alat bantu dengar digunakan
untuk menambahkan penerimaan auditori. Pada masa yang sama, latihan
untuk komunikasi melalui pembacaan bicara diterapakan seperti membaca
gerakan bibir, muka dan gerakan alami dari tangan dan tubuh. Kemampuan
ekspresi dirangsang dengan pembicaraan oral.
• Komunikasi manual
Komunikasi ini dengan bahasa isyarat atau metode penulisan jari tetapi
mempunyai kekurangan dimana ide yang sangat abstrak untuk diekspresikan
dan masyarakat umum tidak mengerti.
• Komunikasi total
Komunikasi ini memerlukan semua kemampuan input sensorium. Dimana
anak diajarkan untuk mengembangkan fungsi berbicara, membaca bahasa
bibir dan bahasa isyarat.Semua anak dengan tuli prelingual harus menjalani
ini. Alat bantu dengar berguna untuk penderita yang tuli total dan buta.
4. Pendidikan untuk anak tuli 15
Anak dengan penderita tuli sedang atau total dapat dimasukkan ke sekolah
anak dimana mereka diberikan tempat khusus di dalam kelas. Dengan
menggunakan alat batu dengar guru memakai mikrofon dan transmitter dan
27
anak yang tuli dapat mendengarkan suara guru mereka dengan lebih baik
tanpa gangguan kebisingan lingkungan
5. Pembedahan 15
Tergantung pada tuli kogenital yang tipe dan beratnya ketulian dan adanya
gangguan lain seperti cogenital stapes fixation, choloesteatoma dan lain-lain.
Atau dengan tindakan implan kokhlea untuk gangguan pendengaran karena
kerusakan dan efek dari fungsi kokhlea. Caranya dengan menanamkan sejenis
peranti digital di dalam telinga untuk menggantikan fungsi kokhlea yang
rusak. Lalu disambungkan dengan perangkat pengatur digital dan mikrofon di
bagian luar. Alat bekerja dengan menghindari bagian-bagian yang rusak di
telinga bagian dalam untuk menstimulasi serta pendengaran yang masih
tersisa kemudian mengirim sinyal ke otak sehingga pendengar tidak hanya
mampu mendengar kembali namun dapat juga mendengarkan musik.
Teknologi implan kookhlea juga sebenarnya sudah dilakukan 40 tahun yang
lalu.
28
BAB III
RINGKASAN DAN SARAN
3.1 Ringkasan
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat
lahir dan merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada
perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Pada prinsipnya tuli
kongenital harus diketahui sedini mungkin. Untuk menegakkan diagnosis sedini
mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak. American Speech
Language Hearing Association (ASHA) merekomendasikan pemeriksaan
pendengaran anak secara komprehensif yang mencakup penilaian tingkah laku
(behavioral), elektrofisiologis, serta perkembangan motorik, wicara dan bahasa.
Menurut ketentuan dari American Joint Committee of Infant Hearing tahun 2000,
gold standart untuk skrining pendengaran bayi adalah Automated Otoacoustic
Emissions (AOAE) dan Automated Auditory Brainstem Response (AABR).
3.2 Saran
Diharapkan kepada pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani
masalah tuli kongenital ini dengan cara :
1. Kesadaran masyarakat meningkat melalui upaya promosi dan prevensi
secara bertahap untuk menurunkan faktor risiko kejadian tuli kongenital
sampai dengan 50% pada tahun 2015 dan 90% pada tahun 2030.
2. Peningkatan penemuan kasus dini dengan melakukan penyuluhan dan
merujuk kasus ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu.
3. Penyediaan sarana habilitasi yang sesuai dengan kebutuhan.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Hendarmin H, Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher,
edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2007. 32-36.
2. Wibisono. Tuli Kongenital. 2008. Http://vibizlife.com.
3. Bashiruddin J, et al. Gangguan pendengaran genetik. Dalam : Jurnal
Otolaringology Vol.36 No.3, Juli-September 2006
4. Scott, O. Congenital Deafness, 2011. From
http://www.patient.co.uk/doctor/congenital-deafness
5. Ghorayeb BY.2008. Anatomy of The Ear. Http://www.ghorayeb.com.
6. Shah RK, Lotke M. 2008. Hearing Impairment.
Http://emedicine.medscape.com.
7. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi
keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2007. 10-22.
8. University of Virginia. Hearing loss in Babies. 2010.
http://www.healthysystem.virginia.com.
9. Soetjipto, Darmiyanti. 2007. Tuli Kongenital. Komite Penanggulangan
Gangguan Pendengaran dan Ketulian.
10. Asbudi. 2009. Deteksi Pendengaran. Http://www.speech-therapy.co.cc.
11. Mikolai TK, et al. A Guide to Tympanometry for Hearing Screening. Maico
Diagnostic, 2006.
12. National Deaf Children’s Society (NDCS).2008Hearing tests for babies and
young children. www.deafnessresearch.org.uk
13. NN. 2008. How hearing tests are performed.
http://www.nhs.uk/Conditions/Hearingtests/Pages/How%20it%20is
%20performed.aspx
30
14. Eva A, Suwento R, Zizlavsky S, Indriatmi W. 2008.Uji diagnostik auditory
steady-state response dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak.
Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
15. Rundjan, L., Amir, I., Suwento, R., Mangunatmadja, I. Skrining Gangguan
Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi. Sari Pediatri. 2005. 149-154.
16. Societey for sound hearing. Sound hearing 2030.
http://www.soundhearing2030.org
17. Satoto, Budi. Implan Koklea untuk 13 anak tuna rungu. Sinar Harapan. 27
Maret 2013.
18. RSPIK. 2012. Klinik Cochlear Implant Rumash Sakit Pantai Indah Kapuk
Pertama di Indonesia. Sahabat Sehat.
31