Tuli Kongenital (2)

50
BAB I PENDAHULUAN Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir yang disebabkan faktor- faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat kelahiran. Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli kongenital dibagi menjadi genetik herediter dan non genetik. 1,2 Prevalensi tuli kongenital di Indonesia diperkirakan 0,1 % dan akan bertambah setiap tahunnya 4710 orang, jika melihat angka kelahiran sebesar 2,2 % pada penduduk yang berjumlah 214.100.000 orang. Angka ini akan terus bertambah mengingat faktor resiko yang mengakibatkan tuli kongenital pada masa kehamilan dan kelahiran masih tinggi. WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara 2 . Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini. Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran pada anak diperlukan pemeriksaan fungsi pendengaran yang lebih sulit dibandingkan orang dewasa. Proses pendengaran pada anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi, dan 1

description

tht

Transcript of Tuli Kongenital (2)

Page 1: Tuli Kongenital (2)

BAB I

PENDAHULUAN

Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat

lahir yang disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada

saat kelahiran. Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli

total (deaf). Tuli kongenital dibagi menjadi genetik herediter dan non genetik. 1,2

Prevalensi tuli kongenital di Indonesia diperkirakan 0,1 % dan akan

bertambah setiap tahunnya 4710 orang, jika melihat angka kelahiran sebesar 2,2

% pada penduduk yang berjumlah 214.100.000 orang. Angka ini akan terus

bertambah mengingat faktor resiko yang mengakibatkan tuli kongenital pada

masa kehamilan dan kelahiran masih tinggi. WHO memperkirakan setiap tahun

terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara2.

Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan

berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah

makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini. Untuk

mengetahui adanya gangguan pendengaran pada anak diperlukan pemeriksaan

fungsi pendengaran yang lebih sulit dibandingkan orang dewasa. Proses

pendengaran pada anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek

tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi, dan

audiologi. Pada sisi lain pemeriksa diharapkan dapat mendeteksi gangguan pada

kelompok usia sedini mungkin, karena sebagian besar orangtua terlambat

mengetahui adanya kelainan pendengaran pada anak. 1,2

Penelitian terakhir menyebutkan bahwa anak dengan kelainan

pendengaran membutuhkan tindakan rehabilitasi/habilitasi sesegera mungkin,

bahkan juga anak usia 6 bulan yang telah diidentifikasi memiliki kelainan

pendengaran. Pemberian amplifikasi perlu dipertimbangkan untuk memberikan

rangsang stimulus pendengaran namun harus diperhatikan faktor penguatannya

sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang permanen. Sedangkan di negara

maju penggunaan implant koklear sudah banyak diterapkan pada anak dengan

kelainan kongenital, sedangkan di Indonesia implant koklear sulit untuk

diterapkan secara luas, mengingat keterbatasan biaya. 3,4

1

Page 2: Tuli Kongenital (2)

Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli kongenital

sebagai salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya2.

Melalui Komisi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendenganran dan Ketulian

(Komnas PGPKT) yang merupakan mitra pemerintah dalam koordinasi sumber

daya dalam melaksanakan kegiatan PGPKT untuk tercapainya Sound Hearing

2030, diharapkan kesadaran masyarakat meningkat melalui upaya promosi dan

prevensi secara bertahap untuk menurunkan faktor risiko kejadian tuli kongenital

sampai dengan 50% pada tahun 2015 dan 90% pada tahun 2030, peningkatkan

penemuan kasus dini dengan melakukan penyuluhan dan merujuk kasus ke

fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu, serta diharapkan penyediaan

sarana habilitasi yang sesuai dengan kebutuhan. 16

2

Page 3: Tuli Kongenital (2)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Telinga

Gambar 1. Anatomi telinga 5

Sistem auditorius terdiri dari tiga komponen yaitu telinga luar, tengah dan

dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang telinga dan membran timpani.

Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastis dan kulit. Liang telinga berbentuk

huruf S dengan rangka tulang rawan sepertiga luar sedangkan dua pertiga bagian

dalamnya terdiri dari tulang. Panjang dari liang telinga ini berkisar 2,5-3 cm. Pada

sepertiga bagian luar liang telinga banyak terdapat kelenjar serumen dan rambut

kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga. Pada dua pertiga bagian

dalam liang telinga sedikit dijumpai kelenjar serumen.7

3

Page 4: Tuli Kongenital (2)

Telinga tengah berbentuk kubus yang dibatasi oleh bagian-bagian seperti

berikut:

1. Batas luar : membran timpani

2. Batas depan : tuba eustachius

3. Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

4. Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis

5. Batas atas : tegmen timpani

6. Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis

horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap

bundar dan promontorium.

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung apabila dilihat dari arah liang

telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars

flaksida, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis

dua, yaitu bagian luar yaitu lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam

adalah epitel saluran nafas. Pars tensa memiliki satu lapisan lagi di tengah yaitu

lapisan yang terdiri serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan sebagai

radier dibagian luar dan sirkuler di bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian

bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari bagian umbo

bermula suatu reflek cahaya yaitu pada pukul 7 pada telinga kiri dan pukul 5 pada

telinga kanan. Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran dengan menarik garis

tengah pada longus maleus dan garis tegak lurus pada garis itu di umbo sehingga

didapati bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan dan bawah-belakang.

Tulang pendengaran pada telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus

maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus

melekat pada stapes. Stapes berhubungan dengan tingkap lonjong yang

berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang pendengaran ini adalah

persendian. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini

terdapat aditus ad antrum yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah

dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang

menghubungkan nasofaring dan telinga tengah.7

4

Page 5: Tuli Kongenital (2)

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan

vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis ujung atau puncak dari

koklea disebut helikotrema yang menghubungkan perilimfa skala timpani dengan

skala vestibuli. Kanalis semisirkularis berhubungan secara tidak lengkap dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea, pada

sebelah atas terlihat skala vestibuli, bawah tampak skala timpani dan duktus

koklearis pada skala media atau diantaranya. Dasar skala vestibuli disebut sebagai

membran vestibuli sedangkan dasar skala media disebut membran basalis. Pada

membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang

berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada membran basal melekat

sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam dan luar dan kanalis corti yang

membentuk organ korti.7

Organ korti memiliki dua tipe sel sensoris, sel rambut dalam sebanyak satu

baris dan sel rambut luar sebanyak tiga baris. Sel rambut dalam merupakan

reseptor murni yang mengantarkan sinyal suara menuju saraf pendengaran dan

pusat pendengaran. Sedangkan sel rambut luar memiliki fungsi sensoris dan juga

fungsi motorik yang berperan pada sensitifitas pendengaran dan amplifikasi

frekuensi tertentu secara selektif.1,3,6

Gambar 2. Irisan membujur koklea 5

5

Page 6: Tuli Kongenital (2)

2.2 Fisiologi Pendengaran

Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan keliang telinga

sehingga menggetarkan membran timpani. Getaran diteruskan ke tulang tulang

pendengaran, stapes akhirnya menggerakkan membran foramen oval kemudian

menggerakkan perilimfa dalam skala vestibuli. Dilanjutkan melalui membran

vestibuler yang mendorong endolimfa dan membran basal ke arah bawah,

perilimfa dalam skala timpani akan bergerak sehingga mendorong foramen

rotundum ke arah luar. Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimfa

dan mendorong membran basal dan menggerakkan perilimfa pada skala timpani.

Pada saat istirahat, ujung sel rambut berkelok-kelok dan dengan berubahnya

membran basal, ujung sel rambut menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi diubah

oleh adanya perbedaan ion kalium dan natrium menjadi aliran listrik yang

diteruskan ke nervus VIII yang diteruskan ke lobus temporal untuk dianalisis.1,6

Dalam koklea terdapat sistem transport ion yang unik di antara masing-

masing cairan. Di dalam skala timpani dan skala vestibuler terdapat cairan

perilimf dengan komposisi menyerupai cairan ekstraseluler, dimana mengandung

sedikit ion K+ dan tinggi akan ion Na+. Sedangkan skala media berisi cairan

endolimf dengan komposisi menyerupai cairan intraseluler atau sitoplasma,

dimana mengandung tinggi ion K+ dan sedikit ion Na+ dan Ca+. Kadar konsentrasi

ion-ion tersebut dipertahankan oleh adanya perputaran ion dari sel marginal stria

vaskular dan menyebabkan timbulnya potensial listrik pada endolimf sebesar

+80mV. Adanya penurunan dari potensial listrik ini akan sangat berpengaruh pada

sensitivitas terhadap rangsang akustik.3

Walaupun belum diketahui secara pasti, diperkirakan mekanisme

perputaran ion tersebut berkaitan dengan hubungan antarsel yang difasilitasi oleh

connexin junction. Berlokasi pada membrane sel 6 connexin dengan jenis yang

sama atau berbeda akan membentuk satu connexon, dan inilah yang akan

membuat pori-pori pada membran sel yang digunakan sebagai saluran untuk

pertukaran ion. Kelainan pada saluran ini akan mengganggu proses pertukan ion

antar sel dan secara keseluruhan akan menyebabkan kematian dari sel rambut dan

ketulian secara menetap.3

6

Page 7: Tuli Kongenital (2)

2.3 Perkembangan Auditorik

Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan

perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan

dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan 12 bulan pertama kehidupan terjadi

perkembangan otak yang sangat cepat.1

Berdasarkan penelitian bahwa koklea mencapai fungsi normal seperti

orang dewasa pada usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam

kandungan sudah dapat memberikan respon pada suara yang ada disekitarnya

namun reaksi janin masih reaksi seperti refleks moro, terhentinya aktivitas, dan

refleks auropalpebral. Kuccwara membuktikan respon terhadap suara berupa

refleks aurpalpebral yang konsisten pada janin usia 24-25 minggu.1

Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain9 :

Usia 0-4 bulan, kemampuan respons auditorik masih terbatas dan bersifat

refleks. Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara keras atau terbangun

ketika sedang tidur. Respons berupa refleks auropalpebral maupun refleks

Moro.

Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak di bidang

horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan otot leher cukup kuat

sehingga kepala dapat diputar dengan cepat ke arah sumber suara.

Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber bunyi dan bayi

dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat.

Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk mencari

sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan mampu melokalisir

bunyi dari segala arah dengan cepat.

Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak akan memberi

reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus yang sama. Hal ini disebabkan

karena anak sudah mampu memperkirakan sumber suara.

7

Page 8: Tuli Kongenital (2)

2.4 Tuli Kongenital

2.4.1 Definisi

Tuli kongenital ialah ketulian yang terjadi pada seorang bayi yang

disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir.1

2.4.2 Klasifikasi

Berdasarkan ISO derajat tuli terbagi atas:7

0-25 dB HL : normal

26-40 dB HL : tuli ringan

41-55 dB HL : tuli sedang

56-70 dB HL : tuli sedang berat

71-90 dB HL : tuli berat

>90 dB HL : tuli sangat berat

MenurutAmerican National Standart Institute, derajat tuli terbagi atas:6

16-25 dB HL : tuli sangat ringan

26-40 dB HL : tuli ringan, tidak dapat mendengar bisikan

41-70 dB HL : tuli sedang, tidak dapat mendengarpercakapan

71-95 dB HL : tuli berat, tidak dapat mendengar teriakan

>95 dB HL : tuli sangat berat, tidak dapat mendengar suara yang

menyakitkan bagi pendengaran manusia yang normal.4

Selanjutnya, ketulian dapat diklasifikasikan sebagai tuli konduktif (dimana

terdapat kegagalan gelombang suara mencapai telinga dalam melalui saluran

konduksi udara luar dan tengah), tuli sensorineural (dimana terdapat abnormalitas

atau kerusakan sel-sel sensoris dan serat saraf pada telinga dalam), dan tuli

campuran (gabungan tuli konduktif dan tuli sensorineural).4,6

2.4.3 Epidemiologi

Prevalensi tuli kongenital di Indonesia diperkirakan 0,1 % dan akan

bertambah setiap tahunnya 4710 orang, jika melihat angka kelahiran sebesar 2,2

% pada penduduk yang berjumlah 214.100.000 orang. Angka ini akan terus

bertambah mengingat faktor resiko yang mengakibatkan tuli kongenital pada

8

Page 9: Tuli Kongenital (2)

masa kehamilan dan kelahiran masih tinggi. WHO memperkirakan setiap tahun

terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara9.

2.4.4 Faktor Resiko

Faktor resiko yang dapat meningkatkan kecurigaan tuli kongenital

diantaranya:4,6,15

Riwayat keluarga dengan tuli kongenital

Adanya infeksi prenatal : infeksi TORCH

Lahir prematur dan berat badan lahir rendah

Persalinan yang sulit dan fetal distress pada saat kelahiran

Ikterus (menyebabkan tuli retrokoklear)

Mengkonsumsi obat-obat ototoksik

Adanya infeksi lainnya, seperti meningitis bakterialis

2.4.5 Etiologi

Gangguan pendengaran pada anak dapat berkembang dari penyebab yaitu

prenatal, perinatal dan post natal.1

A. Prenatal

Selama kehamilan periode yang paling penting adalah trimester pertama

sehingga setiap gangguan yang terjadi pada masa itu akan menyebabkan

ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada masa tersebut dapat

berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan. Beberapa jenis

obat yang ototoksik dan teratogenik yang dapat mengganggu organogenesis

dan merusak sel silia seperti salisilat, kina, neomisin, barbiturat, gentamisin

dan lain-lain. Adapun yang mempengaruhi masa prenatal ini adalah1

I. Infant faktor

Janin dapat lahir dengan kelainan pada telinga dalam yang dapat

disebabkan genetik maupun faktor nongenetik. Kelainan yang muncul

dapat sendiri maupun dapat merupakan bagian dari suatu sindrom.

Kelainan pada telinga dalam dapat berupa kelainan membranous labirin

atau kombinasi dari kelainan membran labirin dan tulang labirin. Yang

termasuk dari gangguan ini adalah;

9

Page 10: Tuli Kongenital (2)

Sheibe's dysplasia

Alexander's dysplasia

Bing-Siebeman dysplasia

Michel dysplasia

Mondini's dysplasia

Enlarge vestibular aqueduct

Semicircular canal malformation1

II. Maternal faktor

Adapun yang termasuk dari maternal faktor adalah;

Infeksi

Penggunaan obat-obatan semasa kehamilan

Terpapar radiasi pada trimester pertama1

B. Perinatal

Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor

resiko terjadinay gangguan pendengaran. Umumnya ketulian yang terjadi

akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tuli sensorineural bilateral

dengan derajat ketulian berat atau sangat berat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tuli kongenital saat kelahiran adalah :

Anoxia

Prematuritas dan berat badan lahir yang rendah

Trauma lahir

Jaundice neonatus

Meningitis neonates

Penggunaan obat-obat ototoksik sewaktu terapi meningitis1

C. Postnatal

Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi

selaput otak, perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga

menyebabkan tuli saraf dan konduktif.1

10

Page 11: Tuli Kongenital (2)

Adapun faktor yang mempengaruhi tuli kongenital setelah kelahiran adalah

A. Genetik

Gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik dapat memiliki

etiologi yang berbeda-beda dan diperkirakan sekitar 1% dari seluruh gen

manusia terlibat dalam proses pendengaran. Secara garis besar gangguan

pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik terbagi menjadi non-

syndromic hearing loss (NSHL) dan syndromic hearing loss (SHL).

Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi pada gen tunggal (single

gene) atau disebut monogenic form atau merupakan kombinasi mutasi pada

gen yang berbeda dan faktor lingkungan (multifactorial form). Sekitar 50%

kasus merupakan kelainan pendengaran bentuk monogenik; sedangkan faktor

perinatal dan infeksi selama usia bayi atau trauma bertanggung jawab untuk

sisanya. Gambaran perpindahan gen yang bermutasi dari generasi ke generasi

berikutnya dapat ditelusuri dari diagram yang disebut sebagai pedigree.3

I. Non-syndromic hearing loss (NSHL)

NSHL merupakan gangguan pendengaran tersendiri yang tidak memiliki

kaitan dengan kelinan fisik lainnya.NSHL mengenai sekitar 1 dalam 4000

orang. NSHL lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural.

NSHL terjadi pada 80% tuli genetik.Kelainan genetik pada penderita

NSHL memiliki 4 dasar kelainan, yaitu:3

Autosomal resesif

Gangguan pendengaran kongenital yang bersifat autosomal resesif

terjadi pada 75% dari seluruh tuli kongenital, dan berkaitan dengan

mutasi Connexin 26, yaitu hilangnya suatu nukleotida (guanine).

Connexin 26 merupakan protein protein yang terekspresikan pada

koklea, berperan dalam proses perputaran ion K+ dalam koklea.3

Autosomal dominan

X-linked

Kelainan mitokondria3

11

Page 12: Tuli Kongenital (2)

II. Syndromic hearing loss (SHL)

Kelainan bentuk fisik yang khas mungkin dapat berhubungan dengan

gangguan pendengaran yang bersifat sindromik (SHL). Terdapat lebih dari

100 sindrom, kebanyakan berhubungan dengan tuli sensorineural,

diantaranya adalah:3,4

Alport Syndrome

Kelainan ini mengenai sekitar 1 dari 200.000 orang.Memiliki

karakteristik gangguan ginjal progresif dan gangguan pendengaran

sensorineural. Lebih sering mengenai laki-laki dibanding wanita.

Gangguan pendengaran biasanya bersifat bilateral dan simetris, dengan

ketulian saraf progresif dan mengenai frekuensi tinggi.3

Pendred Syndrome

Pendred syndrome memiliki gejala khas yang dikenal dengan trias

gangguan pendengaran kongenital, goiter multinodul, dan penurunan

patologis dari hasil tes perklorat. Gangguan pendengaran biasanya

terjadi bilateral.3

Waardenburg Syndrome

Waardenburg syndromemengenai sekitar 2 dari 100.000 kelahiran dan

diperkirakan sebesar 2% dari seluruh masalah gangguan pendengaran

kongenital di Amerika. Kelainan klinis yang tampak adalah kelainan

pada tulang temporal termasuk atropi organ korti dan stria vaskular,

dengan penurunan jumlah sel saraf pada ganglion spiralis. Gambaran

klinis dari Waadenburg syndrome adalah kelainan lokasi dari kantus

medial dan punkta lakrimalijs, hyperplasia high nasal root, gambaran

albinisme melingkar pada rambut bagian depan, ketulian saraf

unilateral atau bilateral yang bersifat ringan sampai berat. 3

Usher Syndrome - Sensorineural Deafness

Usher syndrome mengenai sekitar 3 dalam 100.000 kelahiran hidup.

Kelainan bersifat progresif yang sering ditemukan adalah kebutaan

karena terjadinya retinitis pigmentosa, juga tuli saraf sedang sampai

berat. Kelainan histopatologi yang ditemukan adalah adanya

12

Page 13: Tuli Kongenital (2)

degenerasi epitel sensoris koklea. Tidak ditemukannya cochlear

microphonic mengindikasikan adanya gangguan pendengaran.3

Lainnya :

Branchio-Oto-Renal syndrome

X-linked Charcot Marie Tooth

Goldenhar syndrome

Jervell-Lange-Nielsen syndrome

Mohr-Tranebjaerg syndrome

Norrie disease

Stickler syndrome

Treacher Collins' syndrome 4

B. Non Genetik

Mondini Dysplasia

Deformitas tipe mondini ini dapat kita jumpai pada sindroma CHARGE

(Coloboma, Heart desease, Choanal Atresia, Retarded development,

Gonadal aplasia, dan Ear abnormalities).4

Sindroma pelebaran aquaduktus vestibular

Sistem vestibularis terdiri atas kanalis semisirkularis yang berjalan

sepanjang utrikula dan sakula. Pada sindrom ini, diameter dari sistem

tersebut meningkat (hal ini dapat diukur pada CT dan MRI resolusi tinggi)

sehingga menyebabkan tuli sensorineural.4

Malformasi lainnya yang dapat meningkatkan terjadinya tuli konduktif

antara lain: palatoskizis, malformasi osikular, fiksasi osikular, atresia liang

telinga luar, kolesteatoma kongenital.4

Obat teratogenik, seperti gentamisin dan thalidomide. 4

Infeksi, seperti Toxoplasmosis, Other (HIV, syphilis), Rubella,

Cytomegalovirus, Herpes (TORCH). 4

2.4.6 Gambaran Klinis

Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering memberikan gejala

berupa keterlambatan bicara (speech delayed). Gagal atau tidak berkembangnya

kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan tanda yang menunjukkan adanya

13

Page 14: Tuli Kongenital (2)

gangguan pendengaran dan perlu dievaluasi. Adapun beberapa gejala atau tanda

lain pada anak yang mengalami gangguan pendengaran antara lain:8

Tidak ada respon pada bunyi yang keras pada bayi umur 3-4 bulan atau

bayi tidak dapat mengetahui asal dari sumber bunyi.

Bayi hanya melihat ketika dia melihat ibu atau orang lain yang berhadapan

dengannya, sedangkan dia tidak akan melihat apabila tidak berhadapan

dengannya atau meskipun dengan memanggil namanya.

Pada bayi umur 15 bulan yang mengalami keterlambatan berbicara, tidak

akan dapat mengucapkan kata-kata mama.

Bayi atau anak tidak selalu respon ketika dipanggil.

Anak-anak dapat mendengar beberapa bunyi tetapi bunyi yang lainnya

tidak.

2.4.7 Pemeriksaan Diagnostik

Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun

derajat ketulian yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam

perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan

berbahasa. Untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin maka diperlukan

skrining pendengaran pada anak. Skrining pendengaran pada bayi baru lahir

(Newborn Hearing Screening) dibedakan menjadi:9

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS): dilakukan pada semua

bayi baru lahir, sebelum meninggalkan rumah sakit.

2. Targeted Newborn Hearing Screening: dilakukan khusus pada bayi yang

mempunyai faktor resiko terhadap ketulian.

Menurut ketentuan dari American Joint Committee of Infant Hearing

tahun 2000, gold standart untuk skrining pendengaran bayi adalah Automated

Otoacoustic Emissions (AOAE) dan Automated Auditory Brainstem Response

(AABR). Program skrining ini telah dijalankan pada tahun 2001 dan telah

diterapkan seutuhnya di Inggris.4

Telah banyak dibuat pedoman pemeriksaan pendengaran pada anak yang

teridentifikasi menderita gangguan pendengaran, baik melalui program penapisan

atau dirujuk untuk penilaian fungsi pendengaran. American Speech Language

Hearing Association (ASHA) merekomendasikan pemeriksaan pendengaran anak

14

Page 15: Tuli Kongenital (2)

secara komprehensif yang mencakup penilaian tingkah laku (behavioral),

elektrofisiologis, serta perkembangan motorik, wicara dan bahasa. Terdapat

berbagai macam pemeriksaan yang saling melengkapi satu dengan lainnya untuk

menentukan adanya gangguan pendengaran.10

Gambar 3. Skema Alur Pemeriksaan Pendengaran Bayi Baru lahir 15

Pemeriksaan elektrofisiologis berperan dalam memberikan data objektif

mengenai ambang dengar pada anak atau pasien yang sulit diperiksa (difficult-to-

test) dengan audiometri konvensional. ABR merupakan pemeriksaan yang andal

dalam menentukan fungsi pendengaran pada bayi dan anak kecil. Selain itu juga

dapat memperkirakan lokasi lesi. Terdapat dua jenis stimulus yang sering dipakai

pada pemeriksaan ABR, yaitu click (bunyi klik) dan tone burst (bunyi nada).

Kekurangan clickABR adalah tidak spesifik untuk frekuensi tertentu, dan untuk

mendapatkannya digunakan tone burst ABR, namun teknik ini membutuhkan

waktu yang lebih lama.11

1. Automated Otoacoustic Emissions (AOAE)

15

Page 16: Tuli Kongenital (2)

Gambar 4.Automated otoacoustic emissions9

OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari

luar yang tiba di sel-sel rambut luar koklea. OAE bermanfaat untuk

mengetahui apakah koklea berfungsi normal, berdasarkan prinsip

elektrofisiologik yang objektif, cepat, mudah, otomatis, non-invasif,

dengan sensitivitas mendekati 100%. Kerusakan yang terjadi pada sel-sel

rambut luar koklea, misalnya akibat infeksi virus, obat ototoksik,

kurangnya aliran darahyang menuju koklea menyebabkan sel-sel rambut

luar koklea tidak dapat memproduksi OEA.9 Pemeriksaan ini dapat

dilakukan untuk bayi yang baru berusia 2 hari.Selain juga untuk orang

dewasa. Pada bayi, pemeriksaan ini dapat dilakukan saat

beristirahat/tidur.Tesnya tergolong singkat dan tidak sakit, namun

memberi hasil akurat. Hasilnya dapat dikategorikan menjadi dua, yakni

pass dan refer. Pass berarti tidak ada masalah, sedangkan refer artinya ada

gangguan pendengaran hingga harus dilakukan pemeriksaan berikut.11

Tes ini melibatkan penempatan sebuah ear-piece kecil ke dalam telinga

luar bayi yang mengirimkeluar suara clicking yang lembut. Respons

“echo” kemudian diukur oleh komputer dan menunjukkan berfungsinya

tlinga tengah dan dalam (koklea) bayi. 12

Orang tua tetap dengan bayi mereka sementara tes dilakukan dan

dibutuhkan hanya beberapa menit untuk memberikan hasil. Partisipasi

tidak diperlukan dari bayi, dan mereka seringkali tertidur saat menjalani

tes. Jika tes tidak menunjukkan jawaban yang jelas, maka akan diulang. Ini

tidak berarti mereka memiliki gangguan pendengaran karena kadang-

kadang kondisi saat pemutaran tidak benar; mungkin bayi tidak tenang

atau mungkin masih terdapat cairan di saluran telinga saat kelahiran. Jika

16

Page 17: Tuli Kongenital (2)

setelah percobaan kedua AOAE, bayi masih tidak menunjukkan reaksi,

mereka akandialihkan untuk jenis tes pendengaran kedua yang disebut

automated auditory brainstem response (AABR).12

2. Automated Auditory Brainstem Response (AABR) atau Automated

Brain Evoked Response Audiometri (BERA)

Gambar 5.Automated auditory brainstem response9

Tes BERA dapat menggambarkan reaksi yang terjadi sepanjang jaras-jaras

pendengaran, dapat dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan dimulai

pada saat pemberian impuls sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk

gelombang.Pemeriksaan BERA mempunyai nilai objektifitas yang tinggi,

penggunaannya mudah, tidak invasif, dan dapat dipakai untuk

pemeriksaan anak yang tidak kooperatif, yang tidak bisa diperiksa secara

konvensional.9

3. Auditory Steady-State Response (ASSR)

Gambar 6.Auditory steady state response14

Dalam beberapa tahun terakhir telah berkembang sebuah teknik

pemeriksaan pendengaran objektif yang dapat menentukan ambang dengar

pada frekuensi tertentu secara spesifik, yaitu auditory steady-state

response (ASSR). Pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan

17

Page 18: Tuli Kongenital (2)

elektrofisiologis terhadap respons sistem pendengaran berupa gelombang

di otak yang dibangkitkan oleh stimulasi suara. Waktu yang dibutuhkan

untuk mendapatkan ambang dengar dengan teknik ASSR ini lebih cepat

karena dapat secara simultan memeriksa empat frekuensi masing-masing

pada kedua telinga. ASSR dapat memberikan informasi frekuensi spesifik

dibandingkan click ABR yang telah lebih dulu dikenal luas. Dengan

pemeriksaan ASSR intensitas dapat diberikan sampai 127,8 dB, sehingga

dapat mengidentifikasi ambang dengar pada subjek dengan gangguan

pendengaran sangat berat atau dengan kata lain dapat menentukan sisa

pendengaran. Pemeriksaan ASSR tidak dipengaruhi oleh soundfield

speaker atau hearing aid amplifier karena respons pada ASSR sifatnya

steady-state dan stimulusnya simultan, sehingga ASSR dapat digunakan

untuk memperkirakan ambang dengar pada pasien implan koklea atau

untuk kepentingan pemasangan alat bantu dengar.14

Kelemahan pemeriksaan ASSR ini adalah tidak dapat menentukan lokasi

lesi dan belum banyak data yang dipublikasikan mengenai pemeriksaan

hantaran tulang. Sampai saat ini penelitian mengenai ASSR masih banyak

dilakukan di sentra-sentra pendengaran terkemuka, namun belum ada data

mengenai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini.14

4. Timpanometri

Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi

(tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan

untuk membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif. Prosedur ini

tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan biasanya digunakan

pada anak-anak. Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah

sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di

saluran telinga. Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang

melalui telinga tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan kembali

sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.12

5. Auditory Brainstem Response (ABR)

Cara pemeriksaannya hampir sama dengan OAE. Bayi mulai usia 1 bulan

sudah dapat dilakukan tes ini, Automated ABR yang berfungsi sebagai

18

Page 19: Tuli Kongenital (2)

screening, juga dengan 2 kategori, yakni pass dan refer. Hanya saja alat ini

cuma mampu mendeteksi ambang suara hingga 40 dB. Sedangkan guna

mengetahui lebih jauh gangguan pendengaran yang diderita, lazimnya

dilakukan pemeriksaan lanjutan, dengan BERA (Brainstem Evoked

Response Audiometry).11

6. Visual Reinforced Audiometry (VRA)

Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada bayi usia 9 bulan sampai 2,5

tahun. Pemeriksaan ini berfungsi untuk mengetahui ambang dengar anak.

Tergolong pemeriksaan subjektif karena membutuhkan respons anak. Pada

tes ini selain diberikan bunyi-bunyi, alat yang digunakan juga harus dapat

menghasilkan gambar sebagai reward bila anak berhasil memberi jawaban.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan sambil bermain.11

7. Play Audiometry

Pemeriksaan yang juga berfungsi mengetahui ambang dengar anak ini

dapat dilakukan pada anak usia 2,5-4 tahun. Caranya dengan

menggunakan audiometer yang menghasilkan bunyi dengan frekuensi dan

intensitas berbeda. Bila anak mendengar bunyi itu berarti sebagai pertanda

anak mulai bermain misalnya harus memasukkan benda ke kotak di

hadapannya.11

8. Conventional Audiometry

Pemeriksaan ini dapat dilakukan anak usia 4 tahun sampai remaja.

Fungsinya untuk mengetahui ambang dengar anak. Caranya dengan

menggunakan alat audiometer yang mampu mengeluarkan beragam suara,

masing-masing dengan intensitas dan frekuensi yang berbeda-beda. Tugas

si anak adalah menekan tombol atau mengangkat tangan bila mendengar

suara.11

2.4.8 Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Bayi1

Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis dini

perlu dilakukan pada bayi baru lahir sebelum keluar dari rumah sakit dengan

tujuan untuk mengetahui sedini mungkin kejadian gangguan pendengaran pada

bayi karena tuli berat sejak lahir memiliki dampak luas pada perkembangan

19

Page 20: Tuli Kongenital (2)

berbicara berbahasa, gangguan kognitif perilaku sosial emosi dan kesempatan

bekerja.

Dengan demikian tuli sejak dini dapat diintervensi dapat dilakukan sedini

mungkin dan bukti memberikan peluang perkembangan yang lebih baik daripada

ketulian yang ditemukan pada anak yang lebih lanjut. Skrining sebaiknya pada

semua bayi yang baru lahir normal maupun bayi normal tanpa resiko. Negara

bagian Montana di AS merekomendasikan program 3-6 bulan untuk deteksi dan

intervensi dini yaitu skrining yang dilakukan sampai umur 1 bulan, diagnosis

dilakukan sebelum 3 bulan dan intervensi dilakukan pada umur 6 bulan dan

program ini disebut juga Joint Committe on Infant Hearing (2000) menetapkan

pedoman penegakan diagnosa terhadap ketulian sebagai berikutu

Untuk bayi 0-28 hari :

1. Riwayat keluarga dengan tuli sensori neural sejak lahir

2. Infeksi masa hamil (TORCHS)

3. Kelainan kraniofasialis termasuk kelainan pada pinna dan Hang telinga

4. Berat badan lahir < 1500gr

5. Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar

6. Obat ototoksik

7. Meningitis bakterial

8. Nilai apgar 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada menit kelima

9. Ventilasi mekanik 5 hari lebih di NICU

10. Sindroma yang berhubungan sengan riwayat keluarga dengan tuli

sensorineural sejak lahir

Untuk bayi 29 hari - 2 tahun

1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran,

keterlambatan bicara, berbahasa tau keterlambatan perkembangan.

2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak anak-

anak.

3. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang

diketahui mempunyai hubungan yang erat dengan tuli sensorineural,

konduktif dan gangguan tuba eustachius.

20

Page 21: Tuli Kongenital (2)

4. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural

termasuk meningitis bakterial.

5. Infeksi intrauterin seperti toksoplasmosis, rubela, CMV, herpes dan sifillis

6. Adanya faktor resiko tertentu pada masa neonatus terutama

hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal

yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan

extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)

7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang

progresif usher syndrome neurofibromatosis dan osteoporosis

8. Adanya kelainan neurogeneratif (Hunter syndrome) dan kelainan neuropati-

sensomotorik seperti Freiderick ataxia, Charrot Marie Tooth Syndrome.

9. Trauma kapitis

10. Otitis media yang berulang dan menetap disertai efusi telinga tengah minimal

3 bulan.

Bayi yang mempunyai salah satu faktor resiko tersebut mempunyai

kemungkinan mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi

yang tidak memiliki faktor resiko. Bila terdapat 3 faktor resiko kecendrungan

menderita ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak

mempunyai faktor resiko.Pada bayi baru lahir yang dirawat di ruang intensif

resiko mengalami ketulian 10 kali dibandingkan bayi normal.

Indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya mendeteksi sekitar

50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan

pendengaran tanpa memiliki faktor resiko dimaksud. Berdasarkan pertimbangan

tersebut makas saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada

bayi ditetapkan melalui program Newborn Hearing Screening (NHS).

Saat ini OAE (Otoacoustic emission) dan AABR (Automated Audiometry

Brainstem Response) merupakan tehnik pemeriksaan baku emas (gold standard)

dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dan sensitifitas mendekati

100%. 9 Namun di Indonesia, pemeriksaan tersebut hanya tersedia di rumah sakit

rujukan tingkat propinsi ataupun rumah sakit swasta. Sehingga belum mampu

menjangkau sasaran di daerah. Cara mudah untuk melakukan pemeriksaan

21

Page 22: Tuli Kongenital (2)

pendengaran apabila tidak ada sarana yaitu dengan memberikan bunyi-bunyian

pada jarak 1 m di belakang anak 9:

Bunyi pss – pss untuk menggambarkan suara frekwensi tinggi

Bunyi uh – uh untuk menggambarkan frekwensi rendah

Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir (frekwensi 4000 Hz)

Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekwensi 900 Hz )

Suara remasan kertas (frekwensi 6000 Hz)

Suara bel (frekwensi puncak 2000 Hz)

Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan

mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai

apabila9 :

Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi

Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti

Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata

Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata

2.4.9 Penatalaksanaan

Ada atau tidaknya ketulian seharusnya bisa dideteksi sejak bayi berusia 3

bulan. Pada pendengaran normal suara masuk akan diproses masuk dalam

kokhlea, sebuah saluran atau tuba yang berputar spiral mirip rumah siput dan

berisi organ-organ pendengaran. Getaran gelombang suara digetarkan ke kokhlea

sehingga terjadi gerakan pada cairan sel-sel rambut dam membran-membran di

dalamnya. Sel-sel rambut inilah yang mengirim sinyal saraf ke otak. Jika terjadi

kerusakan dan gangguan otomatis suara tidak dapat ditangkap dan diterjemahkan

otak.

Perlu untuk mengetahui derajat dan jenis dari tuli yang diperoleh dan

kelainan yang mengikuti seperti retardasi mental atau kebutaan serta kehilangan

pendengaran yang bersifat prelingual atau post lingual. Tujuan dari habilitasi pada

anak-anak dengan gangguan pendengaran adalah perkembangan bahasa dan

berbicara, bersosialisasi dan dapat mengeluarkan suara. 15

Adapun penatalaksanaan tuli kogenital adalah;

1. Pengawasan orang tua

22

Page 23: Tuli Kongenital (2)

Orang tua yang mempunyai anak yang tuli haruslah secara emosional

menerima kekurangan yang dihadapi anak mereka. Mereka haruslah diberitahu

tentang kekurangan yang dihadapi anak mereka dan bagaimana cara

menanganinya. Peran orang tua dalam habilitasi sangatpenting dimana untuk

penjagaan dan pemakaian dari alat bantu dengar, pemasangan telinga palsu

selama pertumbuhan menjadi dewasa, sering melakukan pemeriksaan,

memberikan pendidikan di rumah dan pemilihan dalam besuara. 15

2. Habilitasi

Pada penderita gangguan pendengaran, fungsi auditorik jelek atau tidak

ada sama sekali. Oleh sebab itu untuk mendapatkan informasi yang baik, mereka

perlu untuk meningkatkan kualitas pendengaran dengan amplifikasi pendengaran

atau implan koklea. Orang yang terdeteksi gangguan pendengaran biasanya

diberikan terapi alat bantu dengar (ABD) atau hearing aids sekitar enam bulan.

Selama ini pula dilakukan serangkaian tes untuk mengetahui respon pendengaran

dan kemampuan berkomunikasi. Jika tidak berpengaruh signifikan implantasi

kokhlea menjadi solusi berikutnya tuli akibat infeksi dan tuli konduktif atau

gangguan luar dan tengah umumnya bisa diobati atau dibantu dengan alat bantu

dengar begitupun tuli kogenital. 15

Hearing aid atau alat bantu pendengaran pada saat ini tersedia dalam

beberapa jenis. Tipe yang terbaik untuk dipilih tergantung pada tingkat kehilangan

pendengaran, bentuk telinga, gaya hidup dan kebutuhan akan pendengaran.

Berikut ada lima jenis alat bantu pendengaran : 15

Behind The Ear (BTE)

Jenis ABD ini diletakkan di belakang telinga dan dikaitkan di bagian atas

daun telinga. Alat ini ditahan oleh bentuk telinga sesuai dengan kanal

telinga sehingga suara dari alat bantu pendengaran ini diteruskan ke

gendang telinga. Jenis ini mudah untuk dimanipulasi dan segala tipe

rangkaian dapat sesuai dengan model ini. Seluruh ABD, tanpa

memperhatikan jenisnya, dibuat dengan bagian dasar yang sama. ABD

jenis BTE, seperti yang ditunjukkan dibawah ini, dapat diamati letak

mikrofon, tone hook, volume control, saklar on/off, dan baterai.

23

Page 24: Tuli Kongenital (2)

Gambar 7. Alat Bantu Pendengaran Jenis Behind The Ear15

In The Ear (ITE)

Jenis ini diletakkan di dalam daun telinga. Alat ini akan menutup saluran

telinga sepenuhnya. Seperti halnya BTE, jenis tipe ini mudah dioperasikan

dapat sesuai dengan kebanyakan rangkaian yang dikembangkan.

Gambar 8. Alat Bantu Pendengaran Jenis In The Ear15

In The Canal (ITC)

Jenis ini diletakkan di dalam saluran kanal telinga dan tidak terlalu tampak

kelihatan dibandingkan dengan jenis BTE ataupun ITE. Karena bentuknya

yang lebih kecil sehingga jenis ini pasti lebih sukar untuk dimodifikasi dan

tidak semua tipe rangkaian dapat pas untuk model ini.

Gambar 9. Alat Bantu Pendengaran Jenis In The Canal15

Completely-in-the-Canal (CIC)

Jenis alat bantu dengar yang satu ini dipasang jauh di dalam saluran kanal

telinga dan umumnya tidak dapat dilihat. Karena bentuknya yang begitu

kecil sehingga tidak semua tipe rangkaian dapat sesuai dengan model ini.

Jenis ini sangat sesuai untuk penderita yang amat parah. Pada dasarnya

24

Page 25: Tuli Kongenital (2)

cara kerja alat pendengaran ini sama dengan jenis BTE melainkan letaknya

saja yang berbeda.

Gambar 10. Alat Bantu Pendengaran Jenis Completely-in-the-Canal15

Bone Anchored Hearing Aids (BAHA)

Jenis alat bantu dengar tipe ini dipasang permanen di dalam kulit di

belakang telinga, yaitu sebuat lempeng titanium dan prossesor. Prinsip

kerjanya yaitu lempeng titanium menerima rangsang dari luar kemudian

diolah di prosessor dan dilanjutkan ke telinga bagian dalam melalui tulang.

Gambar 11. Bone Anchored Hearing Aids15

Cochlear implant (Implantasi Koklea) adalah alat pendengaran buatan

yang dirancang untuk menghasilkan sensasi pendengaran yang berguna yang

secara elektrikal merangsang saraf-saraf dalam pusat telinga. Implan koklea

dirancang untuk simpangan bagian–bagian rusak dari bagian dalam telinga dan

mengirim rangsangan listrik secara langsung ke saraf pendengar dimana

rangsangan tersebut kemudian ditafsirkan sebagai suara oleh otak. Alat ini

25

Page 26: Tuli Kongenital (2)

menyediakan kemampuan untuk sensasi pendengaran yang berguna dan

memperbaiki kemampuan berkomunikasi bagi orang yang kehilangan

pendengaran yang parah. Implantasi koklear adalah sebuah pilihan penting bagi

individu yang memperoleh sedikit atau tidak ada keuntungan dari sebuah ABD

konvensional.

Gambar 12. Implantasi Koklea 5

Prinsip kerja dari Implan koklea : 15

a) Gelombang suara masuk pada mikrofon yang ditempatkan pada headpiece.

b) Suara dikirim ke speech processor melalui sebuah kabel tipis yang

menghubungkan headpiece ke speech processor.

c) The speech processor mengubah suara tersebut menjadi sebuah sinyal khusus

yang dapat ditafsirkan oleh otak. Perubahan ini diselesaikan dengan suatu

program yang disebut speech processing strategies.

d) Sinyal khusus tersebut dikirim kembali melalui kabel yang sama ke

headpiece dan dikirim melewati kulit melalui gelombang radio ke alat yang

ditanam tersebut.

e) Sinyal tersebut berjalan melalui barisan elektroda di dalam pusat telinga dan

merangsang saraf pendengaran.

f) Saraf pendengaran kemudian mengirim sinyal – sinyal listrik ke otak dimana

siyal – sinyal listrik tersebut ditafsirkan sebagai suara.

26

Page 27: Tuli Kongenital (2)

Di Indonesia, implantasi koklea belum diterapkan secara luas karena

keterbatasan biaya. Pada tahun 2013, implantasi koklea di RSPAD Gatot Subroto

Jakarta dapat mencapai 100 juta rupiah untuk tiap pasiennya. Jumlah tersebut

sudah termasuk alat, biaya operasi dan biaya lainnya pasca operasi.17 Tercatat

sebanyak 68 pengguna implan koklear antara Juli 2002 hingga Maret 2012 di

salah satu rumah sakit swasta di Jakarta.

3. Pengembangan berbicara dan berbahasa15

Komunikasi adalah merupakan proses dua arah, tergantung dari

kemampuan menerima dan mengekspresi. Penerimaan informasi melalui visual,

pendengaran atau perabaan sementara ekspresi secara oral atau bahasa sinyal.

• Komunikasi oral auditorik

Metode ini digunakan orang yang normal dan cara komunikasi yang paling

baik. Metode ini dapat digunakan pada gangguan pendengaran sedang hingga

berat atau penderita dengan tuli post lingual. Alat bantu dengar digunakan

untuk menambahkan penerimaan auditori. Pada masa yang sama, latihan

untuk komunikasi melalui pembacaan bicara diterapakan seperti membaca

gerakan bibir, muka dan gerakan alami dari tangan dan tubuh. Kemampuan

ekspresi dirangsang dengan pembicaraan oral.

• Komunikasi manual

Komunikasi ini dengan bahasa isyarat atau metode penulisan jari tetapi

mempunyai kekurangan dimana ide yang sangat abstrak untuk diekspresikan

dan masyarakat umum tidak mengerti.

• Komunikasi total

Komunikasi ini memerlukan semua kemampuan input sensorium. Dimana

anak diajarkan untuk mengembangkan fungsi berbicara, membaca bahasa

bibir dan bahasa isyarat.Semua anak dengan tuli prelingual harus menjalani

ini. Alat bantu dengar berguna untuk penderita yang tuli total dan buta.

4. Pendidikan untuk anak tuli 15

Anak dengan penderita tuli sedang atau total dapat dimasukkan ke sekolah

anak dimana mereka diberikan tempat khusus di dalam kelas. Dengan

menggunakan alat batu dengar guru memakai mikrofon dan transmitter dan

27

Page 28: Tuli Kongenital (2)

anak yang tuli dapat mendengarkan suara guru mereka dengan lebih baik

tanpa gangguan kebisingan lingkungan

5. Pembedahan 15

Tergantung pada tuli kogenital yang tipe dan beratnya ketulian dan adanya

gangguan lain seperti cogenital stapes fixation, choloesteatoma dan lain-lain.

Atau dengan tindakan implan kokhlea untuk gangguan pendengaran karena

kerusakan dan efek dari fungsi kokhlea. Caranya dengan menanamkan sejenis

peranti digital di dalam telinga untuk menggantikan fungsi kokhlea yang

rusak. Lalu disambungkan dengan perangkat pengatur digital dan mikrofon di

bagian luar. Alat bekerja dengan menghindari bagian-bagian yang rusak di

telinga bagian dalam untuk menstimulasi serta pendengaran yang masih

tersisa kemudian mengirim sinyal ke otak sehingga pendengar tidak hanya

mampu mendengar kembali namun dapat juga mendengarkan musik.

Teknologi implan kookhlea juga sebenarnya sudah dilakukan 40 tahun yang

lalu.

28

Page 29: Tuli Kongenital (2)

BAB III

RINGKASAN DAN SARAN

3.1 Ringkasan

Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat

lahir dan merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada

perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Pada prinsipnya tuli

kongenital harus diketahui sedini mungkin. Untuk menegakkan diagnosis sedini

mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak. American Speech

Language Hearing Association (ASHA) merekomendasikan pemeriksaan

pendengaran anak secara komprehensif yang mencakup penilaian tingkah laku

(behavioral), elektrofisiologis, serta perkembangan motorik, wicara dan bahasa.

Menurut ketentuan dari American Joint Committee of Infant Hearing tahun 2000,

gold standart untuk skrining pendengaran bayi adalah Automated Otoacoustic

Emissions (AOAE) dan Automated Auditory Brainstem Response (AABR).

3.2 Saran

Diharapkan kepada pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani

masalah tuli kongenital ini dengan cara :

1. Kesadaran masyarakat meningkat melalui upaya promosi dan prevensi

secara bertahap untuk menurunkan faktor risiko kejadian tuli kongenital

sampai dengan 50% pada tahun 2015 dan 90% pada tahun 2030.

2. Peningkatan penemuan kasus dini dengan melakukan penyuluhan dan

merujuk kasus ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu.

3. Penyediaan sarana habilitasi yang sesuai dengan kebutuhan.

29

Page 30: Tuli Kongenital (2)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hendarmin H, Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak.

Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher,

edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2007. 32-36.

2. Wibisono. Tuli Kongenital. 2008. Http://vibizlife.com.

3. Bashiruddin J, et al. Gangguan pendengaran genetik. Dalam : Jurnal

Otolaringology Vol.36 No.3, Juli-September 2006

4. Scott, O. Congenital Deafness, 2011. From

http://www.patient.co.uk/doctor/congenital-deafness

5. Ghorayeb BY.2008. Anatomy of The Ear. Http://www.ghorayeb.com.

6. Shah RK, Lotke M. 2008. Hearing Impairment.

Http://emedicine.medscape.com.

7. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran. Dalam :

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi

keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

2007. 10-22.

8. University of Virginia. Hearing loss in Babies. 2010.

http://www.healthysystem.virginia.com.

9. Soetjipto, Darmiyanti. 2007. Tuli Kongenital. Komite Penanggulangan

Gangguan Pendengaran dan Ketulian.

10. Asbudi. 2009. Deteksi Pendengaran. Http://www.speech-therapy.co.cc.

11. Mikolai TK, et al. A Guide to Tympanometry for Hearing Screening. Maico

Diagnostic, 2006.

12. National Deaf Children’s Society (NDCS).2008Hearing tests for babies and

young children. www.deafnessresearch.org.uk

13. NN. 2008. How hearing tests are performed.

http://www.nhs.uk/Conditions/Hearingtests/Pages/How%20it%20is

%20performed.aspx

30

Page 31: Tuli Kongenital (2)

14. Eva A, Suwento R, Zizlavsky S, Indriatmi W. 2008.Uji diagnostik auditory

steady-state response dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak.

Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

15. Rundjan, L., Amir, I., Suwento, R., Mangunatmadja, I. Skrining Gangguan

Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi. Sari Pediatri. 2005. 149-154.

16. Societey for sound hearing. Sound hearing 2030.

http://www.soundhearing2030.org

17. Satoto, Budi. Implan Koklea untuk 13 anak tuna rungu. Sinar Harapan. 27

Maret 2013.

18. RSPIK. 2012. Klinik Cochlear Implant Rumash Sakit Pantai Indah Kapuk

Pertama di Indonesia. Sahabat Sehat.

31