Post on 30-Nov-2015
description
TUGAS PRESENTASI KASUS
Epilepsi
Tutor :
dr. Qodri Santosa, Sp.A
Oleh :
Egi Dwi Satria
G1A009122
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO
2012
I. PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan gangguan pada susunan saraf pusat dengan ciri-ciri
terjadinya bangkitan kejang yang spontan dan berkala. Epilepsi merupakan salah
satu penyebab terbanyak morbiditas di bidan saraf anak. Masalah yang sering
ditimbulkan dari penyakit ini diantaranya adalah kesulitan belajar, gangguan
tumbuh kembang, dan menentukan kualitas hidup anak (Suwarba, 2011).
Insidensi epilepsi pada anak di berbagai Negara berkisar antara 4-6 per
1000 anak. Di Indonesia jumlah kasus epilepsi sekitar 700.000-1.400.000 kasus,
dengan perkiraan pertambahan setiap tahunnya 70.000 kasus, dan diperkirakan
40%-50% diantaranya adalah anak-anak (Suwarba, 2011).
Jumlah kejadian epilepsi pada anak di negara berkembang masih lebih
tinggi dibandingkan jumlah kejadian di negara maju. Hal ini diduga karena faktor
resiko gangguan atau infeksi saraf pusat yang dapat menjadi fokus epileptikus
masih banyak terjadi (Mustarsid, 2011).
Anak yang menderita epilepsi memerlukan evaluasi dan terapi yang sesuai
karena serangan yang berulang akan mempengaruhi kualitas hidup pasien baik
fisis, mental, maupun sosial. Epilepsi yang tidak terkontrol dapat meningkatkan
resiko mortalitas 2-3 kali populasi normal dan menurunkan kualitas hidup
pasiennya (Mustarsid, 2011).
Manifestasi klinis epilepsi merupakan kondisi yang akut dan berlangsung
sementara seperti penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, autonom
atau psikis yang dirasakan oleh pasien dan dapat disaksikan oleh orang lain
(Wishwadewa, 2008).
Atas berbagai latar belakang tersebut, epilepsi pada anak menjadi sangat
penting untuk dikaji lebih lanjut. Hal tersebut karena anak merupakan aset yang
sangat berharga baik bagi orang tua maupun bagi bangsa dan negara.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
International League Against Epilepsy (ILAE) mendefinisikan
epilepsi sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangunan epileptikm perubahan
neurologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat
bangkitan epileptik sebelumnya. Bangkitan epileptik didefinisikan sebagai
tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas
neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak (Fisher et al,
2005).
B. Etiologi dan Predisposisi
Epilepsi disebabkan oleh beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi
otak, antara lain (Harsono et al, 2008):
1. Idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai
predisposisi genetik.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-
Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan
ensefalopati difus.
3. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, kelainan neurodegeneratif.
Penyebab epilepsi dilihat dari umur, biasanya disebabkan paling
sering karena; pada bayi terjadi asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi kongenital pada
otak, atau infeksi; pada anak dan remaja kebanyakan epilepsi idiopatik
dan pada usia dewasa penyebabnya lebih bervariasi oleh karena idiopatik,
cedera kepala, tumor (Ikawati, 2009).
C. Patofisiologi
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara
intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi,
motorik, sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus adalah kejang
yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit
tanpa disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas
listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan
merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan
listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh; 1] kemampuan membran
sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang
berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama
amino butirat [GABA]; atau 3] meningkatnya eksitasi sinaptik oleh
transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang.
Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan
berlangsung terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak
sempurna
D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Bangkitan kejang yang terjadi perlu diketahui mengenai pola
serangan, keadaan sebelum, selama, dan sesudah serangan, lama
serangan, frekuensi serangan, waktu serangan terdaji dan faktor-faktor
atau keadaan yang dapat memprovokasi atau menimbulkan serangan.
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola
serangan, agar dapat diketahui fokus serta klasifikasinya. Ditanyakan
apakah ada gejala prodromal, aura, keadan selama serangan, dan
keadaan setelah terjadi serangan (Hasan, 2007).
Ditanyakan pula durasi serangan tersebut, dan waktu serangan.
Apakah ada rangsang tertentu yang menimbulkan serangan, misalnya
melihat televise, bernafas dalam, lapar, letih, menstruasi, obat-obatan
tertentu dan sebagainya (Hasan, 2007).
Riwayat penyakit keluarga ditanyakan apakah ada keluarga yang
menderita kejang, penyakit saraf, dan penyakit lainnya. Hal ini
misalnya perlu untuk mencari faktor resiko keturunan (Hasan, 2007).
Riwayat penyakit dahulu ditanyakan mengenai keadaan ibu ketika
hamil, misalnya penyakit yang diderita, perdarahan pervaginam, obat
yang dimakan. Secara teliti ditanyakan pula mengenai riwayat
kelahiran penderita, apakah letak kepala, letak sungsang, mudah atau
sukar, apakah digunakan cunam atau vakum ekstraksi atau seksio
kaesar, apakah terdapat perdarahan antepartum, ketuban pecah dini,
asfiksia. Penyakit apa saja yang pernah diderita. Bagaimana
perkembangan kecakapan mental dan motorik (Hasan, 2007).
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatric
dan neurologis. Diperiksa keadaan umum, tanda-tanda vital, kepala,
jantung, paru, abdomen, hati, dan limpa, anggota gerak dan
sebagainya (Hasan, 2007).
Pada pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran, kecakapan,
motorik dan mental, tingkah laku, berbagai proses intrakranium,
fundus okuli, penglihatan, pendengaran, saraf otak lain, sistem
motorik, sistem sensorik, reflek fisiologis dan patologis (Hasan,
2007).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah yang dilakukan pemeriksaan
darah tepi rutin. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi, misal
pemeriksaan gula darah dan elektrolit.
b. Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)
Pemeriksaan EEG dilakukan atas indikasi membantu menegakan
diagnosisi epilepsi, menentukan prognosis pada kasus tertentu,
mempertikambangkan pengehentian obat anti epilepi, membantu
menentukan letak fokus, dan bila ada perubahan bentuk bangkitan
dari bangkitan sebelumnya (Utomo, 2011).
c. Pemeriksaan radiologis
Indikasi pemeriksaan radiologi pada pasien epilepsi adalah pada
semua bangkitan pertama yang diduga kelainan structural, adanya
perubahan bentuk bangkitan, terdapatnya defisit neurologis fokal,
epilepsi dengan bangkitan parsial, bangkitan pertama diatas usia 25
tahun, dan untuk persiapan tindakan pembedahan epilepsy (Utomo,
2011).
4. Gold Standard Diagnosis
Baku emas untuk diagnosis epilepsi adalah pemantauan video EEG
secara simultan, yang mengaitkan temuan EEG dengan serangan.
Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk mengetahui tipe
bangkitan dan prognosis (Price dan Wilson, 2006).
E. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Obat-obat yang menginaktivasi kanal Na+
Inaktivasi kanal Na dapat menurunkan kemampuan saraf unruk
menghantarkan muatan listrik. Contoh obatnya adalah, fenitoin,
katbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, dan valproat.
b. Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitor GABAnergik
1) Agonis reseptor GABA : meningkatkan transmisi inhibitor
dengan meningkatkan kerja reseptor GABA, contoh :
benzodiazepine, barbiturate.
2) Menghambat GABA transaminase : meningkatkan konsentrasi
GABA, contoh : Vigabatrin
3) Menghambat Gaba Transporter : untuk memperlama aksi
GABA, contoh : tiagabin
4) Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal :
menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikula pool,
contoh : gabapentin
c. Penatalaksanaan pada status epileptikus
2. Nonmedikamentosa
a. Hindari faktor pemicu (jika ada)
b. Tidak memasukan makanan dan minuman ketika kejang dan
beberapa saat setelah kejang
c. Pengawasan oleh keluarga
d. Awasi tanda vital
F. Prognosis
1. Umumnya baik, 70-80% pasien yang mengalami epilepsi akan
sembuh, dan kurang daril 50%-nya akan bisa lepas obat.
2. 20-30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis, pada
keadaan ini pengobatan menjadi semakin sulit, dan 5% diantaranya
akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi
mental dan gangguan psikiatri neurologik, pada keadaan seperti ini
prognosis epilepsi dikatakan buruk.
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat epilepsi diantarnya adalah
sebagai berikut :
1. Gangguan kognitif, terdapat bukti jelas bahwa kejang dapat
menyebabkan defisit fungsi kognitif yang dapat bertahan sampai satu
jam atau lebih setelah kejang.
2. Penurunan daya ingat
3. Pemusatan perhatian, hal ini sering terjadi pada penderita epilepsi.
Penurunan atensi lebih sering terjadi pada anak dengan epilepsi
dibandingkan populasi umum
4. Gangguan psikiatri telah menjadi pusat perhatian sejak lama pada
pusat penanganan epilepsy kelas 3. Studi pada populasi menggunakan
kriteria DSM IV.
III. KESIMPULAN
1. Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidan
saraf anak
2. Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor
predisposisi yang dapat mencetuskan bangunan epileptikm perubahan
neurologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya.
3. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat disimpulkan bahwa An.
Rena, umur 6 tahun menderita epilepsy.
DAFTAR PUSTAKA
Wishwadewa, W N. et al. 2008. Kualitas hidup anak epilepsy dan faktor-faktor
yang mempengaruhi di departemen ilmu Kesehatan anak FKUI/RSCM
Jakarta. Sari pediatric. 10 : 272 -279
Murtasid. et al. 2011. Pengaruh obat anti epilepsy terhadap gangguan daya ingat
pada epilepsy anak. Sari Pediatric. 12 ; 302 – 306
Suwarba, I G N M. 2011. Insidens dan karakteristik klinis epilepsy pada anak.
Sari pediatric. 13 : 123 – 128
Fisher RS, Boas WE, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, et al. 2005. Epileptic
seizures and epilepsy: definition proposed by the International League
Against Epilepsy (ILAE) and the International Bureau for Epilepsy (IBE).
Epilepsia; 46(4):470-2
Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis Proses Proses
Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta : EGC. Hal.1158-1164
Utomo, Tranggono Y. 2011. Dosis dan Lama Pemberian Fenitoin Sebagai Faktor
Risiko Timbulnya Hiperplasia Ginggiva Pada pasien Epilepsi. Tesis. Program
pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro: Semarang
(Dipublikasikan)
Ikawati, Zullies. 2009. Epilepsi:Lecture Notes. (Online) Diakses di:
zulliesikawati.staff. ugm .ac.id/wp.../ epilepsy .pdf Pada tanggal 10
Desember 2012.
Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. 2008. Pendahuluan, definisi, klasifikasi,
etiologi, dan terapi. Dalam: Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Jakarta:
PERDOSSI hal.1-13