Post on 10-Dec-2015
description
KEJANG PADA ANAK
A. KEJANG DISERTAI DEMAM
1. DEFINISI
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam
kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi
berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang
kebetulan terjadi bersama demam.
2. KLASIFIFKASI
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal adalah kejang
parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang
berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan
kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang
mengalami kejang demam.
3. ETIOLOGI
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti.
Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang
demam,yaitu:
1. Demamnya sendiri
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak
diketahui atau ensefalopati toksik sepintas
6. Gabungan semua faktor diatas
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang
demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak
sedang demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi
pertusis (DPT) dan morbili (campak).
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada
297 penderita kejang demam, 66(±22,2%) penderita tidak diketahui
penyebabnya.2 Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat
peradangan. Ada penderita yang mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian
tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan otrtis media akut. (lihat tabel ).
Penyebab demam pada 297 penderita KD
Penyebab demam Jumlah penderita
Tonsilitis dan/atau faringitis
Otitis media akut (radang liang telinga
tengah)
Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)
Enteritis/gastroenteritis disertai Dehidrasi
Bronkitis (radang saiuran nafas)
Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran
nafas)
Morbili (campak)
Varisela (cacar air)
Dengue (demam berdarah)
Tidak diketahui
100
91
22
44
17
38
12
1
1
66
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD
daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oteh kuman
Shigella mengaiami KD dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya
di mana angka kejadian KD hanya sekitar 1%, Lahat dkk mengemukakan bahwa
tingginya angka kejadian KD pada shigellosis dan salmonellosis mungkin
berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang dihasilkan kuman bersangkutan.
4. PATOFISIOLOGI
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa
faktor fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang.
Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui
proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit
dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).
Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi
rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:
a.Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
c.Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%.
Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron, dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion
kalium listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya dengan bantuan bahan yang
disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang
kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38oC,
sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat
terjadi pada suhu 40oC atau lebih.
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet
sedangkan otot pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis
disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang
tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya
aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam
lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
menjadi kejang.
5. MANIFESTASI KLINIK
Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang
cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39°C atau lebih
(rectal). Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik.
Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan
disertai kekakuan atau kelemahan,gerakan sentakan berulang tanpa didahului
kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari
8% yang berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti sendiri
setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak tampak
capek, mengantuk, tertidur pulas, dan tidak memberikan reaksi apapun untuk
sejenak atau disebut periode mengantuk singkat pasca kejang, tetapi setelah
beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis.
Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering bersifat
fokal atau unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood (lumpuh
sementara pasca serangan kejang) yang berlangsung beberapa jam sampai
beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang
menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama biasanya lebih sering terjadi
pada kejang demam yang pertama.
6. DIAGNOSIS
Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang
telah dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian Saraf
Anak IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang
demam, dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak
didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu.
Tetapi perlu diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula
tejadi pada kelainan lain, misalnya pada radang selaput otak (meningitis) atau
radang otak (ensefalitis).
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan
dengan usia kurang dari 1 tahun. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang
mempunyai nilai prognostic, EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan
kemungkinan terjadinya epilepsy atau kejang demam berulang dikemudian hari.
Saat ini pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam
sederhana. Pemeriksaan laboratorium tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi. Pasien dengan keadaan diare, muntah dan
gangguan keseimbangan cairan dapat diduga terdapat gangguan metabolisme
akut, sehingga pemeriksaan elektrolit diperlukan. Pemeriksaan labratorium lain
perlu dilakukan untuk mencari penyebab timbulnya demam.
7. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Saat Kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena.
Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/ Kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-
2 mg/ menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat praktis yang dapat diberikan oleh orang tua dirumah adalah diazepam
rectal. Efek samping berupa depresi pernafasan jarang ditemukan bila diberikan
secara rectal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/ kg atau diazepam rektal 5
mg untuk anak dengan berat badan < 10 Kg dan 10 mg untuk anak dengan berat
badan > 10 Kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibwah usia 3
tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2
kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, pasien dianjurkan ke rumah sakit.
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila
kejang tetap belum berhanti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-
20 mg/ Kg/ kali dengan kecepatan 1 mg/ Kg/ menit atau kurang dari 50 mg/ menit.
Bila kejang berhenti, dosis selanjutnya diberikan 12 jam setelah dosis awal dengan
dosis 4-8 mg/ kg/ hari. Bila dengan pemberian fenitoin kejang masih belum berhenti
pasien harus dirawat di ruang intensif.
Lorazepam tidak dianjurkan sebab meskipun digunakan secara rektal,
memerlukan waktu hingga 45 menit untuk di absorbsi.
b. Penatalaksanaan Demam
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam. Namun antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol
yang digunakan adalah 10-15 mg/ kg/ kali, diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari
5 kali. Ibuprofen dapat diberikan dengan dosis 5-10 mg/ kg/ kali, diberikan 3-4 kali
sehari.
Asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrome reye terutama pada anak
kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaanya tidak dianjurkan.
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/ Kg setiap 8 jam pada saat demam
dapat menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus. Begitu pula
dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 C. (19, 21, 22)
Diazepam diberikan selama durasi penyakit (sekitar 2-3 hari). Namun, pada dosis
yang cukup tinggi dapat menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat
pada 25-39 % kasus.
Diazepam sering diberikan pada anak dengan ambang batas kejang demam
yang sangat rendah terutama jika kejang terjadi secara berulang dan berlangsung
lama. Diazepam diberikan secara rektal pada saat :
Saat anak demam sebelum kejang
Secepatnya setelah anak kejang
Fenobarbital, carbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna
untuk mencegah kejang demam.
c. Obat Rumatan
Pengobatan rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan salah
satu ciri sebagai berikut :
Kejang lama berlangsung > 15 menit
Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang. (Misalnya :
hemiparesis, Paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus)
Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik.
Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila :
Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
Kejang demam > 4 kali per tahun.
Kelainan neurologis yang tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan
ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumatan.
Jenis antikonvulsan yang digunakan untuk pengobatan rumatan adalah asam
valproat dan fenobarbital. Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari
efektif dalam menurunkan resiko berulangnya kejang. Namun pemakaian fenobarbital
setiap hari dapat menimbulkan gangguan prilaku dan kesulitan belajar pada 40-50%
kasus. Pada sebagian kecil kasus, terutam yang berumur kurang dari 2 tahun, asam
valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa
kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek
samping, maka pengobatan rumatan hanya diberikan terhadap kasus selektif dan
dalam jangka pendek.
Obat rumatan pilihan pada saat ini adalah asam valproat. Dosis asam valproat
adalah 15-40 mg/ kg/ hari dinagi dalam 2-3 dosis. Fenobarbital juga dapat diberikan
dengan dosis 3-4 mg/ kg/ hari dibagi dalam 1-2 dosis. Pengobatan rumatan diberikan
hingga 1 tahun bebas kejang, kemudian obat dihentikan secara bertahap selama 1-2
bulan.
d. Edukasi
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Kecemasan ini
dapat dikurangi dengan memberikan penjelasan, diantaranya :
o Meyakinkan bahwa kejang demam sederhana sering terjadi dan mempunyai
prognosis yang baik
o Memberitahukan cara penanganan kejang. Terdapat beberapa hal yang harus
dilakukan bila anak kembali kejang :
Tetap tenang dan tidak panic
Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
Bila tidak sadar, pastikan anak tidur terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut dan hidung.
Walaupun ada kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke
dalam mulut.
Ukur suhu tubuh, observasi bentuk kejang dan lama waktu kejang
Tetap berada bersama pasien selama kejang
Berikan diazepam rektal. Diazepam tidak diberikan bila kejang telah berhenti.
Bawa ke dokter/ rumah sakit bila kejang berlangsung lebih dari 5 menit.
o Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
o Memberitahu bahwa resiko kerusakan otak dan perkembangan menjadi epilepsi
sangat kecil
o Pemberian obat-obatan memang efektif untuk mencegah rekurensi kejang tetapi
harus diingat adanya efek samping obat.
e. Vaksinasi
Kejang dapat terjadi setelah imunisasi dengan vaksin whole cell diphtheria-
pertussis-tetanus dan vaksin measles, namun hal ini bukan merupakan efek dari
komponen vaksin. Perjalanan kejang secara klinis sangat identik dengan kejang
demam, sehingga disebut sebagai kejang demam. Frekuensi kejang demam pada
vaksin DPT atau measles adalah 6-9 dan 24-25 per 100.000 anak setelah divaksinasi.
Vaksin pertusis acellular baru tidak menyebabkan demam, sehingga imunisasi dengan
vaksin ini tidak menyebabkan kejang demam. Tidak ada kontraindikasi untuk
melakukan vaksinasi terhadap anak yang mengalami kejang demam.
Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca
vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus/ 100.000 anak yang divaksinasi. Sedangkan angka
kejadian pasca vaksinasi MMR adalah 25-34/ 100.000 anak. Dianjurkan untuk
memberikan diazepam rektal atau oral bila anak demam, terutama setelah vaksinasi
DPT atau MMR. Beberapa dokter merekomendasikan pemberian parasetamol pada
saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.
8. KOMPLIKASI
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lebih lama (>15
menit) yaitu:
a. Kerusakan otak
b. Retardasi mental
c. Biasanya disertai apnoe, hipoksemia, hiperkapnea, asidosislaktat, hipotensi artrial,
suhu tubuh makin meningkat.
9. PROGNOSIS
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, biasanya terjadi
pada kejang lama atau kejang berulang baik umum maupun fokal.
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam
e. Kejang demam kompleks
Bila terdapat seluruh faktor diatas, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80%. Sedangkan bila tidak terdapat salah satu faktor diatas, kemungkinan
berulangnya kejang demam adalah 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam
paling besar pada satu tahun pertama setelah kejang.
Anak dengan kejang demam sederhana memiliki resiko yang sama untuk
mengalami epilepsi sebelum usia 7 tahun dengan populasi umum yaitu 1%. Faktor resiko
terjadi epilepsi meningkat di kemudian hari apabila :
a. Kelainan neurologis atau gangguan perkembangan yang jelas sebelum kejang pertama
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
d. kejang demam sederhana sebelum usia 9 bulan.
Masing-masing faktor resiko meningkat kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-
6%. Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10-49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumatan pada kejang demam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro Hd, Widodo Dp, Ismael S. Konsesus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2006
2. Ismael S. Kppik-Xi, 1983; Soetomenggolo Ts. Buku Ajar Neurologi Anak 1999.
3. Tumbelaka,Alan R.,Trihono, Partini P.,Kurniati,Nia.,Putro Widodo,Dwi. Penanganan
Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLVII.Cetakan pertama,FKUI-RSCM.Jakara,2005
B. KEJANG TANPA DISERTAI DEMAM
1. DEFINISI
2. ETIOLOGI
3. PATOFISIOLOGI
4. MANIFESTASI KLINIS
5. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
6. PENATALAKSANAAN
7. KOMPLIKASI
8. PROGNOSIS
ASFIKSIA NEONATORUM
1. DEFINISI
Asfiksia Neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga dapat menurunkan
O2 dan mungkin meningkatkan C02 yang menimbulkan akibat buruk dalam
kehidupan lebih lanjut.
Atas dasar pengalaman klinis, Asfikia Neonaiorum dapat dibagi dalam :
a. "Vigorous baby'' skor apgar 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak
memerkikan istimewa.
b. "Mild-moderate asphyxia" (asfiksia sedang) skor apgar 4-6 pada pemeriksaan
fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari lOOx/menit, tonus otot kurang baik
atau baik, sianosis, refick iritabilitas tidak ada
c. Asfiksia berat: skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis ditemukan' frekuensi
jantung kurang dari l00x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-
kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada.
Asfiksia berat dengan henti jantung yaitu keadaan :
o Bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelu lahir lengkap.
o Bunyi jantung bayi menghilang post partum.
2. ETIOLOGI
Asfiksia janin atau neonatus akan terjadi jika terdapat gangguan perlukaran
gas atau pengangkutang O2 dari ibu kejanin. Gangguan ini dapat timbul pada masa
kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sehagian hes;ir asfiksia bayi
baru lahir meriip;ik;in kcltiniutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama
kehamilan dan persalinan. memegang peran penting untuk keselamatan bayi atau
kelangsungan hidup yang sempurna tanpa gejala sisa.
Pengolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi terdiri dari:
a. Faktor Ibu
o Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anestesia
dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin.
o Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya
pengaliran oksigen ke plasenta dan kejanin. Hal ini sering ditemukan pada :
Ganguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani
uterus akibat penyakit atau obat.
Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.
Hipertensi pada penyakit akiomsia dan lain-lain.
b. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta,
misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
c. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam
pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan : tali pusat menumbung,
tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar janin dan jalan lahir dan lain-lain.
d. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baun lahir dapat terjadi karena :
o Pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan pada ibu secara
langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin.
o Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarah intrakranial. Kelainan
konginental pada bayi, misalnya hernia diafrakmatika atresia/stenosis saluran
pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.
3. MANIFESTASI KLINIS
Asfiksia biasanya merupakan akibat dari hipoksi janin yang menimbulkan tanda:
a. DJJ lebih dari 1OOx/mnt/kurang dari lOOx/menit tidak teratur.
b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
c. Apnea
d. Pucat
e. Sianosis
f. penurunan terhadap stimulus.
4. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis asfiksia dapat ditegakkan melalui :
a. Dengan mengamati 3 variabel yaitu : usaha nafas, denyut jantung dan warna kulit.
Bila bayi tidak bernafas atau nafas megap-megap, denyut jantung turun, dan kulit
sianosis atau pucat, maka secara klinis dapat ditegakkan diagnosis asfiksia
neonatorum
b. Dengan pemeriksaan analisa gas darah
c. Dengan skor apgar
Berdasarkan nilai APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity,
Respiration) asfiksia diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
o Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
o Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
o Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
o Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Nilai 0 1 2
Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur
Denyut jantung Tidak ada <100 >100
Warna kulit Biru atau pucat
Tubuh merah
jambu & kaki,
tangan biru.
Merah jambu
Gerakan/tonus otot Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi
Reflex (menangis) Tidak ada Lemah/lambat Kuat
Cara menghitung : Setelah bayi lahir pada pengamatan berturut-turut menit I,
V, dan X diamati dan dihitung jumlah skor apgar. Normal skor 10, disebut asfiksia
ringan bila skor 7, bila skor 4-6 disebut asfiksia sedang, asfiksia berat bila skor ≤ 3.
a. Anamnesis
o Gangguan/ kesulitan waktu lahir.
o Cara dilahirkan.
o Ada tidaknya bernafas dan menangis segera setelah dilahirkan.
b. Pemeriksaan fisik
o Bayi tidak bernafas atau menangis.
o Denyut jantung kurang dari 100x/menit.
o Tonus otot menurun.
o Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa
mekonium pada tubuh bayi.
o BBLR (berat badan lahir rendah)
c. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium: hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada
darah tali pusat jika:
o PaO2 < 50 mm H2O
o PaCO2 > 55 mm H2
o pH < 7,30
5. RESUSITASI NEONATORUM
Diperkirakan 10% bayi baru lahir membutuhkan bantuan untuk bernapas pada
saat lahir dan 1% saja yang membutuhkan resusitasi yang ekstensif. Penilaian awal
saat lahir harus dilakukan pada semua bayi. Penilaian awal itu ialah: apakah bayi
cukup bulan, apakah bayi menangis atau bernapas, dan apakah tonus otot bayi baik.
Jika bayi lahir cukup bulan, menangis, dan tonus ototnya baik, bayi dikeringkan dan
Dipertahankan tetap hangat. Hal ini dilakukan dengan bayi berbaring di dada ibunya
dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, dinilai
untuk dilakukan satu atau lebih tindakan secara berurutan di bawah ini:
a. Langkah awal stabilisasi (memberikan kehangatan, membersihkan jalan napas
jika diperlukan, mengeringkan, merangsang)
b. Ventilasi
c. Kompresi dada
d. Pemberian epinefrin dan/atau cairan penambah volume
Diberikan waktu kira-kira 60 detik (the Golden Minute) untuk melengkapi
langkah awal, menilai kembali, dan memulai ventilasi jika dibutuhkan. Penentuan ke
langkah berikut didasarkan pada penilaian simultan dua tanda vital yaitu pernapasan
dan frekuensi denyut jantung. Setelah ventilasi tekanan positif (VTP) atau setelah
pemberian oksigen tambahan, penilaian dilakukan pada tiga hal yaitu frekuensi
denyut jantung, pernapasan, dan status oksigenasi.
Setelah publikasi tahun 2005, telah diidentifikasi beberapa kontroversi dan
pada tahun 2010 dibuat kesepakatan. Berikut ini adalah rekomendasi utama untuk
resusitasi neonatus:
Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda vital
yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. Oksimeter digunakan untuk
menilai oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat diandalkan.
Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan udara
dibanding dengan oksigen 100%.
Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended
oxygen) , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan oksimetri.
Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya pengisapan
trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan
pada bayi dalam keadaan depresi (lihat keterangan pada Langkah Awal).
Rasio kompresi dada dan ventilasi tetap 3:1 untuk neonatus kecuali jika diketahui
adanya penyebab jantung. Pada kasus ini rasio lebih besar dapat dipertimbangkan.
Terapi hipotermia dipertimbangkan untuk bayi yang lahir cukup bulan atau
mendekati cukup bulan dengan perkembangan kearah terjadinya ensefalopati
hipoksik iskemik sedang atau berat, dengan protokol dan tindak lanjut sesuai
panduan.
Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama
10 menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi
setelah 10 menit.
Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi yang
tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk merekomendasikan lama
waktu untuk penjepitan talipusat pada bayi yang memerlukan resusitasi.
Langkah Awal
Langkah awal resusitasi ialah memberikan kehangatan dengan meletakkan
bayi di bawah pemancar panas, memposisikan bayi pada posisi menghidu/sedikit
tengadah untuk membuka jalan napas, membersihkan jalan napas jika perlu,
mengeringkan bayi, dan stimulasi napas.
Membersihkan jalan napas:
a. Jika cairan amnion jernih.
Pengisapan langsung segera setelah lahir tidak dilakukan secara rutin, tetapi
hanya dilakukan bagi bayi yang mengalami obstruksi napas dan yang memerlukan
VTP.
b. Jika terdapat mekonium.
Bukti yang ada tidak mendukung atau tidak menolak dilakukannya pengisapan
rutin pada bayi dengan ketuban bercampur mekonium dan bayi tidak bugar atau
depresi. Tanpa penelitian (RCT), saat ini tidak cukup data untuk
merekomendasikan perubahan praktek yang saat ini dilakukan. Praktek yang
dilakukan ialah melakukan pengisapan endotrakeal pada bayi dengan pewarnaan
mekonium yang tidak bugar. Namun, jika usaha intubasi perlu waktu lama
dan/atau tidak berhasil, ventilasi dengan balon dan sungkup dilakukan terutama
jika terdapat bradikardia persisten.
Menilai kebutuhan oksigen dan pemberian oksigen
Tatalaksana oksigen yang optimal pada resusitasi neonatus menjadi penting karena
adanya bukti bahwa baik kekurangan ataupun kelebihan oksigen dapat merusak bayi.
Persentil oksigen berdasarkan waktu dapat dilihat pada gambar algoritma.
Penggunaan oksimetri nadi (pulse oximetry) direkomendasikan jika:
Resusitasi diantisipasi
VTP diperlukan lebih dari beberapa kali napas
Sianosis menetap
Oksigen tambahan diberikan.
Pemberian oksigen tambahan
Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan udara atau
oksigen campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen untuk
mencapai SpO2 sesuai target. Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai
dengan udara kamar. Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah 90 detik
resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen ditingkatkan
sampai 100% hingga didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung kurang
dari 100 per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per menit
untuk mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari 100 per
menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi
denyut jantung.
Tekanan akhir ekspirasi
Banyak ahli merekomendasikan pemberian continuous positive airway pressure
(CPAP) pada bayi yang bernapas spontan tetapi mengalami kesulitan setelah lahir.
Penggunaan CPAP ini baru diteliti pada bayi prematur. Untuk bayi cukup bulan
dengan gawat napas, tidak ada cukup bukti untuk mendukung atau tidak mendukung
penggunaan CPAP di ruang bersalin.
Alat untuk ventilasi
Alat untuk melakukan VTP untuk resusitasi neonatus adalah Balon Tidak
Mengembang Sendiri (balon anestesi), Balon Mengembang Sendiri, atau T-piece
resuscitator. Laryngeal Mask Airway (LMA; sungkup larings) disebutkan dapat
digunakan dan efektif untuk bayi >2000 gram atau ≥34 minggu. LMA
dipertimbangkan jika ventilasi dengan balon sungkup tidak berhasil dan intubasi
endotrakeal tidak berhasil atau tidak mungkin. LMA belum diteliti untuk digunakan
pada kasus air ketuban bercampur mekonium, pada kompresi dada, atau untuk
pemberian obat melalui trakea.
Pemasangan intubasi endotrakeal
Indikasi intubasi endotrakeal pada resusitasi neonatus ialah:
Pengisapan endotrakeal awal dari bayi dengan mekonium dan tidak bugar.
Jika ventilsi dengan balon-sungkup tidak efektif atau memerlukan waktu lama.
Jika dilakukan kompresi dada.
Untuk situasi khusus seperti hernia diafragmatika kongenital atau bayi berat lahir
amat sangat rendah.
Kompresi dada
Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit
setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio
kompresi:ventilasi tetap 3:1. Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi
harus dinilai secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai
frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
Medikasi
Obat-obatan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. Namun, jika frekuensi
denyut jantung kurang dari 60 per menit walaupun telah diberikan ventilasi adekuat
dengan oksigen 100% dan kompresi dada, pemberian epinefrin atau pengembang
volume atau ke duanya dapat dilakukan.
Epinefrin
Epinefrin direkomendasikan untuk diberikan secara intravena dengan dosis intrvena
0,01 – 0,03 mg/kg. Dosis endotrakeal 0,05 – 1,0 mg/kg dapat dipertimbangkan sambil
menunggu akses vena didapat, tetapi efektifitas cara ini belum dievaluasi. Konsentrasi
epinefrin yang digunakan untuk neonatus ialah 1:10.000 (0,1 mg/mL).
Pengembang volume
Pengembang volume dipertimbangkan jika diketahui atau diduga kehilangan darah
dan frekuensi denyut jantung bayi tidak menunjukkan respon adekuat terhadap upaya
resusitasi lain. Kristaloid isotonik atau darah dapat diberikan di ruang bersalin. Dosis
10 mL/kg, dapat diulangi.
Perawatan pasca resusitasi
Bayi setelah resusitasi dan sudah menunjukkan tanda-tanda vital normal, mempunyai
risiko untuk perburukan kembali. Oleh karena itu setelah ventilasi dan sirkulasi
adekuat tercapai, bayi harus diawasi ketat dan antisipasi jika terjadi gangguan.
Nalokson
Nalokson tidak diindikasikan sebagai bagian dari usaha resusitasi awal di ruang
bersalin untuk bayi dengan depresi napas.
Glukosa
Bayi baru lahir dengan kadar glukosa rendah mempunyai risiko yang meningkat
untuk terjadinya perlukaan (injury) otak dan akibat buruk setelah kejadian hipoksik
iskemik. Pemberian glukosa intravena harus dipertimbangkan segera setelah
resusitasi dengan tujuan menghindari hipoglikemia.
Hipotermia untuk terapi
Beberapa penelitian melakukan terapi hipotermia pada bayi dengan umur kehamilan
36 minggu atau lebih, dengan ensefalopatia hipoksik iskemik sedang dan berat. Hasil
penelitian ini menunjukkan mortalitas dan gangguan perkembangan neurologik yang
lebih rendah pada bayi yang diberi terapi hipotermia dibanding bayi yang tidak diberi
terapi hipotermia. Penggunaan cara ini harus menuruti panduan yang ketat dan
dilakukan di fasilitas yang memadai.
Penghentian resusitasi
Penghentian resusitasi dipertimbangkan jika tidak terdeteksi detak jantung selama 10
menit. Banyak faktor ikut berperan dalam keputusan melanjutkan resusitasi setelah 10
menit
DAFTAR PUSTAKA
1. Wyllie J, et al. Part 11: Neonatal Resuscitation. 2010 International Consensus on
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science with
Treatment Recommendations. Resuscitation 2010;81S:e260-e287.
2. Kattwinkel J et al. Special Report Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Pediatrics 2010;126:e1400-e1413