Post on 31-Mar-2019
i
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENILAIAN PENERAPAN HUKUM
OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI DASAR PEMERIKSAAN KASASI OLEH
HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
KORUPSI BANK MANDIRI DENGAN TERDAKWA E.C.W NELOE
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
JUHARTINI
NIM. E0005026
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENILAIAN PENERAPAN HUKUM
OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI DASAR PEMERIKSAAN KASASI OLEH
HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
KORUPSI BANK MANDIRI DENGAN TERDAKWA E.C.W NELOE
Oleh
JUHARTINI
NIM. E0005026
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 1 Mei 2009
Dosen Pembimbing Co. Pembimbing
Kristiyadi, SH., M.Hum Budi Setiyanto, SH., M.H
NIP. 131569273 NIP. 131568283
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENILAIAN PENERAPAN HUKUM
OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI DASAR PEMERIKSAAN KASASI OLEH
HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
KORUPSI BANK MANDIRI DENGAN TERDAKWA E.C.W NELOE
Oleh
JUHARTINI
NIM. E0005026
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari : Selasa
Tanggal : 19 Mei 2009
DEWAN PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S.H., M.H :.................
Ketua
2. Budi Setiyanto, S.H., M.H : ................
Sekertaris
3. _____________________ _____________________.................... :
_____________________
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum
iv
NIP. 131570154
PERNYATAAN
Nama : Juhartini
NIM : E0005026
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi)
berjudul: Tinjauan Yuridis Tentang Penilaian Penerapan Hukum Oleh Judex
Facti Sebagai Dasar Pemeriksaan Kasasi Oleh Hakim Mahkamah Agung
Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Bank Mandiri Dengan Terdakwa
E.C.W Neloe adalah betul-betul karya sendiri. Hal-Hal yang bukan karya
saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 21 April 2009
yang membuat pernyataan
Juhartini
NIM. E0005026
v
ABSTRACT
Juhartini, E0005026, 2009. A JURIDICAL REVIEW ON THE ASSESSMENT OF LAW IMPLEMENTATION BY JUDEX FACTI AS A FOUNDATION OF APPEAL EXAMINATION BY THE SUPREME COURT’S JUDGE IN MANDIRI BANK CORRUPTION CRIME WITH THE ACCUSED E.C.W. NELOE. Law Faculty of Sebelas Maret University.
This research studies and answer the problem concerning the criteria that judex facti perhaps has made a mistake in applying the law as the foundation of appeal case examination by the Supreme Court’s judge in the Mandiri Bank corruption crime case with the accused E.C.W Neloe and the assessment whether there is or not the error law application by judex facti as the foundation of appeal case examination by the Supreme Court’s judge in the Mandiri Bank corruption crime case with the accused E.C.W Neloe.
This study belonged to a normative law research that was descriptive in nature. The research data employed was secondary one consisting of law materials (primary, secondary, tertiary). The type of study in this law research was what the judge decided in concerto and is systemized as the judges through, judicial process. The study employed a case approach. Technique of collecting data employed was documentary study or literary study. Technique of analyzing data used was content analysis.
The basis of appeal case examination on the freedom verdict in the Mandiri Bank corruption crime case with the accused E.C.W Neloe and friends include: firstly, the impure liberation reason that is misinterpretation on the criminal action element in the accusation letter, the inclusion of non-juridical element, beyond the authority; secondly, the reason of appeal on Article 253 clause (1) KUPHAP and Article 30 clause (1) of Act No. 5 of 2004 about the Amendment of Act No. 14 of 1985 about the Supreme Court in which the law regulation is not applied or applied improperly or breaking the prevailing law that is to state that the accused’s action belongs to the civil case but it is decided as free, the accusation is proved but is freed, is decided as free but is required to pay any case charge, the trial method is not implemented according to the Law that indicates the conviction that the accused is not guilty in the trial, beyond the authority limit that is the absolute authority because the material test is conducted to the word “can” in Act No. 31 of 1999 jo. Act No. 2000 of 2001 about the Eradication of Corruption Crimes, negligent in fulfilling the obligatory condition according to the legislation that threats such negligence with the cancellation of pertained verdict that only considers the witness a de charge proposed by the accused’s lawyer and does not consider the letter evidence. There is law error implementation by judexfacti based on the Supreme Court judge’s deliberation that judex facti makes the law error application, exceeds his authority, conducts material test, and makes the law verification implementation error.
vi
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul: “TINJAUAN JURIDIS TENTANG
PENILAIAN PENERAPAN HUKUM OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI
DASAR PEMERIKSAAN KASASI OLEH HAKIM MAHKAMAH AGUNG
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI BANK MANDIRI
DENGAN TERDAKWA E.C.W NELOE”.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian
persyaratan dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banyak hambatan yang
menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat
bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk
itu atas segala bentuk bantuannya, penulis sampaikan terima kasih kepada yang
terhormat:
1. Bapak. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan surat keputusan
ijin skripsi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
2. Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, S.H., M.S selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Suranto, S.H., M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Ibu Subekti, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik Penulis selama
menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
vii
5. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I yang senantiasa
membimbing, mengarahkan dan memberikan berbagai petunjuk dalam
penulisan skripsi ini.
6. Bapak Budi Setiyanto, S.H., M.H selaku Pembimbing II yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan memberikan berbagai petunjuk dalam penulisan skripsi ini.
7. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah memberikan ilmu kapada penulis selama menyelesaikan studi di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Ibundaku tercinta yang selalu mendoakan, memberikan semangat, berjuang
dan berkorban serta memberikan arti kehidupan yang sangat berharga bagiku.
9. Ayahandaku yang telah berjuang menghidupi keluarga.
10. Adekku Ayu dan Aster tersayang yang selalu menjadi semangat dan inspirasiku
menjalani hidup ini.
11. Lek Ernita, Kak Yan, keponakanku Nia,dan Intan di Bengkulu yang selalu
memberikan semangat.
12. Teman-teman terbaikku Rina-Rani, Lia, Ana, Mbak Selty, Mbak Wulan, Tina,
Dini, Leni, Cintya, Rose, Dita, Mbak Lia dan Anak-Anak Kost Annisa 1 yang
selalu memberikan bantuan, pengalaman, pengetahuan dan cerita hidup yang
unik kepadaku.
13. Teman-temanku angkatan 05 yang selalu semangat.
Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapat imbalan dari Allah SWT.
Penulis menyadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun diharapkan
skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi pembaca.
Surakarta, 8 Maret 2009
viii
Juhartini
E0005026
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................................ 8
F. Sistematika Skripsi .............................................................................. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 16
A. Kerangka Teori .................................................................................... 16
1. Tinjauan Umum Tentang Judex Facti (Hakim) dan Kekuasaan
Kehakiman ..................................................................................... 16
a) Pengertian Hakim ....................................................................... 16
b) Pengertian Hakim Agung ........................................................... 17
c) Kedudukan dan Kekuasaan Hakim ............................................ 17
d) Tugas, Kewajiban dan Tanggungjawab Hakim ......................... 19
ix
2. Tinjauan Umum Tentang Upaya Hukum Kasasi ............................ 21
a) Pengertian Kasasi ....................................................................... 21
b) Alasan Kasasi ............................................................................. 24
c) Putusan Yang Dapat Dimintakan Kasasi .................................... 25
d) Tata Cara Permohonan Kasasi ................................................... 26
e) Tata Cara Pemeriksaan Kasasi ................................................... 29
f) Putusan Mahkamah Agung ........................................................ 31
3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi .......................... 33
a) Pengertian Tindak Pidana ........................................................... 33
b) Pengertian Tindak Pidana Korupsi ............................................. 39
c) Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi ............................................. 41
d) Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi ..................................... 47
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 49
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 51
A. Hasil Penelitian .................................................................................... 51
1. Kasus Posisi ................................................................................ 51
2. Identitas Terdakwa ..................................................................... 52
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ................................................ 54
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ................................................. 54
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ................................ 55
6. Alasan Kasasi (Memori Kasasi) Jaksa Penuntut Umum............. 56
7. Alasan Kasasi (Kontra Memori Kasasi) Kuasa Hukum Terdakwa 56
8. Pertimbangan Mahkamah Agung ............................................... 57
9. Amar Putusan Mahkamah Agung .............................................. 57
B. Pembahasan ......................................................................................... 59
1. Kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah melakukan kesalahan
dalam menerapan hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan kasasi
oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana korupsi
Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe ................................ 59
2. Penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti
sebagai dasar pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah Agung
x
dalam perkara tindak pidana korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa
E.C.W Neloe ................................................................................... 86
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 104
A. Simpulan .............................................................................................. 104
B. Saran .................................................................................................... 106
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ xi
DAFATAR TABEL
1. Alasan Pembebasan Tidak Murni ........................................................ 82
2. Alasan Kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-
Undang No. 5 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung ....................................... 83
3. Pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung terhadap alasan kasasi
(memori kasasi) jaksa penuntut umum ............................................... 96
4. Bentuk dan jenis tindak pidana korupsi kasus korupsi Bank Mandiri
dengan terdakwa E.C.W Neloe dkk ................................................... 102
LAMPIRAN
xi
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adami Chazawi. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di
Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing.
______________.2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Adnan Buyung Nasution dkk. 1999. Menyingkap Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media.
Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
___________.2005. KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing.
Leden Marpaung. 2000. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali
Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Lexy J Moleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Lilik Mulyadi. 2000. Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
xii
M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP. Jakarta. Sinar Grafika.
Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Otje Salman dan Anton F. Susanto. 2005. Teori Hukum : Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung: Refika Aditama.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wirjono Prodjodikoro. 1974. Bunga Rampai Hukum. Jakarta : Ichtiar Baru
Undang-undang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Putusan No. 1144/K/Pid/2006.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004
Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankkan
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
xiii
Undang-Undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Makalah
Chatamarrasjid. 2005. Komisi Yudiasial Mewujudkan Checks and Balances
Untuk Menghindari Tirani Yudikatif. Makalah Disampaikan pada
Kuliah Perdana Mahasiswa Baru Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret, pada tanggal 27 Agustus 2005.
Rizky Argama. 2006. ”Tanggung Jawab Profesi Hakim Sebagai Aktor
Utama Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman di Indonesia”.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Kamus
Fockema Andreae. 1983. Kamus Istilah Hukum. Bina Cipta.
Garner. A. Bryan . 1999. Black’s Law Dictionary. St Paul Minn: West Group.
Hassan. Shadily. 2006. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
J.C.T.Simorangkir dkk. 2005. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
xiv
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi adalah suatu persoalan yang sangat populer saat ini. Korupsi
merupakan hal yang dapat merobohkan sendi-sendi kehidupan suatu bangsa.
Seluruh negara-negara di belahan dunia sangat gigih dalam memerangi
korupsi. Negara Indonesia sebagai negara yang tingkat korupsinya sangat
tinggi terus berupaya memberantas korupsi. Segala upaya dilakukan
pemerintah dalam memerangi korupsi. Di Indonesia korupsi merupakan suatu
budaya yang telah melekat serta berakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Di semua bidang di Indonesia tidak lepas dari korupsi. Bidang pemerintahan
yang memilki catatan tertinggi dalam jumlah korupsi yang memperjelas
bahwa korupsi di Indonesia sudah melembaga. Di bidang-bidang swasta
seperti perbankkan juga cukup mendukung tingginya angka korupsi di
Indonesia.
Pada bulan Mei 2005 polisi menangkap 3 (tiga) direktur Bank Mandiri
yang diduga melakukan korupsi, mereka adalah E.C.W Neloe selaku Direktur
Utama PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, I Wayan Pugeg selaku Direktur Risk
Management PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, M Soleh Tasripan selaku EVP
Coordinator Corporate & Gevernement PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Para direktur tersebut diajukan kepersidangan karena sebagai pemutus kredit
melakukan pemberian kredit Bridging Loan sebesar Rp. 160.000.000.000,00
(seratus enam puluh milyar rupiah) kepada PT. Cipta Garaha Nusantara (PT.
CGN). Pemberian kredit tersebut bertujuan untuk memberikan dana kepada
xv
PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) guna membeli aset-aset PT. Tahta
Medan. Para direktur tersebut langsung menyetujui pemberian kredit sebesar
Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah) kepada PT. Cipta
Graha Nusantara (PT. CGN) tanpa memperhatikan norma-norma umum
perbankkan dan asas-asas perkreditan yang sehat yaitu:
1. Memastikan bahwa pemberian kredit telah sesuai dengan ketentuan dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kredit (BPPK);
2. Memastikan bahwa pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat dan seksama serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit (ArtikeI 520 Kebijakan Perkreditan PT. Bank Mandiri (KPBM) Februari 2000 dalam Putusan No. 1144/K/Pid/2006).
Perkara tersebut diajukan dan diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dengan perkara No. 2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel. Pada tanggal 20 Februari
2006 perkara tersebut diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dengan putusan bebas. Putusan tersebut dijatuhkan dengan
pertimbangan bahwa perkara tersebut merupakan ruang lingkup hukum
perdata bukan ruang lingkup hukum pidana. Putusan majelis hakim tersebut
membuat sorotan publik karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
banyak menjatuhkan putusan bebas untuk perkara-perkara korupsi.
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan diperkirakan memiliki unsur-unsur pertimbangan yang
menurut teori hukum tidak sesuai. Di dalam putusannya majelis hakim
membebaskan ketiga terdakwa dari dakwaan jaksa penuntut umum padahal
dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan bahwa dakwaan jaksa
penuntut umum terbukti. Dapat dilihat dari pertimbangan majelis hakim
tersebut maka seharusnya putusan yang dijatuhkan adalah putusan lepas dari
segala tuntutan hukum pidana. Di dalam hukum pidana dikenal jenis-jenis
putusan (M.Yahya Harahap, 2000: 347-358):
1. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili
Pasal 156 ayat (2) KUHAP. Baik wewenang mengadili secara absolut
maupun relatif.
xvi
2. Putusan dakwaan batal demi hukum berdasarkan
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor
808/K/Pid/1984 tanggal 6 Juni yang menyatakan : “Dakwaan tidak
cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi
hukum”.
3. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat
diterima. Putusan ini dijatuhkan dalam hal tidak adanya aduan pada delik
aduan, nebis en idem, atau lampau waktu.
4. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari
segala tuntutan hukum. Putusan ini dijatuhkan bilamana dakwaan yang
didakwaan terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan
pidana.
5. Putusan bebas Pasal 191 ayat (1) KUHAP, dijatuhkan
bilamana terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana yang didakwakan.
6. Putusan pemidanaan pada terdakwa Pasal 193 ayat (1)
KUHAP. Putusan ini dijatuhkan bilamana terdakwa terbukti secara sah
dan menyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Berpedoman dari hukum positif yang ada tersebut maka menanggapi putusan
yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maka
jaksa penuntut umum menyatakan sikap tidak menerima putusan tersebut
dengan mengajukan upaya hukum kasasi.
Hukum positif Indonesia mengatur mengenai upaya hukum sebagai
upaya apabila para pihak tidak menerima atau tidak puas dengan putusan dari
majelis hakim tingkat pertama. Ada 2 macam upaya hukum yaitu upaya
hukum biasa dalam hukum pidana yaitu banding (Pasal 233 ayat (1) KUHAP)
xvii
dan kasasi (Pasal 244 KUHAP), dan upaya hukum luar biasa dalam hukum
pidana yaitu kasasi untuk kepentingan hukum dan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Untuk upaya
hukum yaitu kasasi yang diajukan terhadap putusan bebas maka penuntut
umum harus bisa membuktikan bahwa putusan bebas tersebut bukan
merupakan putusan bebas murni. Putusan Mahkamah Agung tanggal 15
Desember 1983 (Reg. No. 274 K/Pid/1983), memutuskan tentang persepsi
kata “bebas” pada Pasal 244 KUHAP yakni bebas murni, sedangkan terhadap
perkara yang terbukti bukan bebas murni dapat diajukan kasasi (M. Yahya
Harahap, 2000: 545). Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 275
K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 dan No. 1 K/Pid/2000 tanggal 22
September 2000 yang intinya berisi tentang kasasi untuk putusan bebas tidak
murni. Dalam mengajukan kasasi telah diatur secara tegas dan jelas mengenai
alasan-alasan dalam mengajukan kasasi. Di dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi sebagai berikut:
“Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan: a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan
sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya”. Di dalam Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang No. 5
Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah
Agung memuat alasan-alasan kasasi dalam Pasal 30 yang berbunyi sebagai
berikut:
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. selain menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
xviii
c. selain memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”.
Dalam Undang-Undang tersebut kemudian diadakan perubahan yaitu dalam
Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No 14 tahun 1985 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung pada Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”.
Pada intinya dari ketiga peraturan tersebut, KUHAP, Undang-Undang No 14
Tahun 1984 jo Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3
Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung alasan pengajuan kasasi adalah sama seperti yang
diatur didalam KUHAP. Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan
kehakiman tertinggi yang berwenang memeriksa dan memutus perkara dalam
tingkat kasasi mempergunakan dasar hukum tersebut dalam menerima dan
memeriksa perkara kasasi yang diajukan. Dalam putusan bebas perkara
korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe dkk yang dijatuhkan
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diperkirakan banyak
mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan hukum positif, maka
dapat dijadikan alasan untuk mengajukan kasasi oleh penuntut umum guna
mencapai keadilan. Mahkamah Agung dalam putusannya
No.1144/K/Pid/2006 yang intinya mengabulkan permohonan kasasi jaksa
penuntut umum, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No
2068/Pid. B/2005/PN. Jak. Sel, menjatuhkan pidana penjara 10 (sepuluh)
tahun kepada terdakwa E.C.W Neloe dkk dan denda sebesar Rp
xix
500.000.00,00 (lima ratus juta rupiah). Dalam menjatuhkan putusan tersebut
tentunya majelis hakim kasasi mempunya berbagai pertimbangan-
pertimbangan sebagai dasar dari putusan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dalam rangka penulisan hukum dalam bentuk skripsi
dengan judul: “TINJAUAN JURIDIS TENTANG PENILAIAN
PENERAPAN HUKUM OLEH JUDEX FACTI SEBAGAI DASAR
PEMERIKSAAN KASASI OLEH HAKIM MAHKAMAH AGUNG
DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI BANK MANDIRI
DENGAN TERDAKWA E.C.W NELOE”.
B. Rumusan Masalah
Permusan masalah dibuat dengan tujuan untuk memecahkan masalah
pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah
dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga
dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan
sesuai dengan yang dikehendaki.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas perumusan masalah
yang penulis kaji adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah
melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum sehingga menjadi dasar
pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara
korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe ?
2. Bagaimana penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex
facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah
xx
Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W
Neloe ?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu
yang hendak dicapai. Dan suatu penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai
berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui apa kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah
melakukan kesalahan dalam menerapkan hukum sehingga menjadi
dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung
dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe.
b. Mengetahui penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh
judex facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim
Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan
terdakwa E.C.W Neloe.
2. Tujuan Subyektif
a. Menambah dan memperluas pengetahuan penulis dalam bidang
hukum khususnya Hukum Acara Pidana dan Pidana.
b. Memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana dalam
ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
xxi
D. Manfaat Penelitian
Di dalam setiap penelitian diharapkan adanya manfaat yang dapat
diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dapat
diambil sehubungan dengan penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada
umumnya, hukum acara pidana dan pidana pada khususnya.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di
bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di
masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
b. Meningkatkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis dan
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret.
E. Metode Penelitian
Penelitian secara ilmiah adalah suatu metode yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala, dengan jalan menganalisanya dan
dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut,
xxii
untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang
ditimbulkan oleh fakta tersebut (Soerjono Soekanto, 1986: 2). Metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini
yaitu :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini
adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji:
2007: 13).
Tipe kajian dan konsep dalam penelitian hukum menurut
Soetandyo Wignyosoebroto ada 5 jenis yaitu (Otje Salman dan Anton
F.Susanto, 2005: 78):
1) Hukum sebagai asas kebenaran dan keadilan bersifat kodrati dan
universal.
2) Hukum adalah norma positif di dalam sistem Perundang-Undangan
hukum nasioanal.
3) Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inkonkreto dan
tersistematisasi sebagai judges through, judicial processes.
4) Hukum adalah pola perilaku sosial yang terlembagakan. Eksis sebagai
variabel sosial yang empirik.
5) Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial
sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka.
xxiii
Tipe kajian dan konsep dalam penelitian hukum ini termasuk
kedalam jenis yang ketiga yaitu hukum adalah apa yang diputuskan oleh
hakim inkonkreto dan tersistematisasi sebagai judges through, judicial
processes. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang
berupa putusan Mahkamah Agung yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap yaitu Putusan Mahkamah Agung No.1144/K/Pid/2006.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini
adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-
hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam
kerangka menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 1986: 10).
Penelitian yang bersifat deskriptif ini dimaksudkan untuk
menggambarkan semua data yang diperoleh yang berkaitan dengan judul
penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab
permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini penulis ingin memperoleh
gambaran yang lengkap dan jelas tentang apa yang menjadi kriteria
bahwa judex facti kemungkinan telah melakukan kesalahan dalam
menerapkan hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan kasasi dan
bagaimana penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh
judex facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim
Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan
terdakwa E.C.W Neloe.
3. Pendekatan Penelitian
xxiv
Dalam penelitian hukum yang berbentuk skripsi ini penulis
menggunakan pendekatan kasus yaitu kasus korupsi Bank Mandiri
dengan terdakwa E.C.W Neloe. Pendekatan kasus (case approach) dalam
penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma
atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang
dapat dilihat dalam Yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi
fokus penelitian (Johnny. Ibrahim, 2005: 321).
Kasus tersebut sangat menarik untuk diteliti karena terdakwa
diputus bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
padahal dakwaan jaksa penuntut umum dinyatakan terbukti tetapi
perbuatan terdakwa dinyatakan sebagai perbuatan dalam ruang lingkup
hukum perdata. Diperkirakan banyak sekali hal-hal di luar hukum positif
terdapat dalam putusan tersebut yang dijadikan dasar jaksa penuntut
umum dalam mengajukan kasasi.
Penulis menggunakan pendekatan kasus untuk mengetahui apa
yang menjadi kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah melakukan
kesalahan dalam menerapkan hukum, sehingga menjadi dasar
pemeriksaan kasasi dan bagaimana penilaian ada tidaknya kesalahan
penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar pemeriksaan kasasi oleh
hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan
terdakwa E.C.W Neloe dari putusan kasasi tersebut.
4. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan hukum yang
berbentuk skripsi ini adalah data sekunder. Dalam penelitian hukum
normatif data sekunder mencakup bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tertier (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
2007: 13).
xxv
5. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan hukum yang
berbentuk skripsi ini yaitu data sekunder yang meliputi:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari kaidah dasar, peraturan dasar, Perundang-Undangan, bahan
hukum yang tidak dikodifikasi, Yurispridensi, Traktat dan bahan
hukum dari zaman penjajahan yang sampai saat ini masih berlaku
(Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007: 13). Yang menjadi bahan
hukum primer dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini
adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankkan, Undang-
Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Jo
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung,
Undang-Undang No.5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun
2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 3 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung
No.1144/K/Pid/2006, Yurisprudensi.
b. Bahan Hukum Sekunder
xxvi
Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti, rancangan Undang-Undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan saterusnya (Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, 2007: 13). Yang menjadi bahan hukum
sekunder dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah
buku-buku, makalah atau literatur yang berkaitan atau membahas
tentang hukum acara pidana, hukum pidana, upaya hukum dan tindak
pidana korupsi.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder (Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, 2007: 13). Yang menjadi bahan hukum
tertier dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah
kamus istilah hukum, kamus hukum, black’s law dictionary, kamus
Inggris-Indonesia.
6. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat
pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan
atau observasi, dan wawancara atau interview (Soerjono Soekanto, 1986:
21). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan hukum
yang berbentuk skripsi ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka,
yaitu pengumpulan data sekunder yang berupa bahan hukum primer,
sekunder dan tertier.
xxvii
7. Teknik Analisis Data
Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang
dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan “content
analysis” (Soerjono Soekanto, 1986: 21). Teknik analisis data yang
digunakan dalam penulisan hukum yang berbentuk skripsi ini adalah
content analysis atau kajian isi.
Pengertian kajian isi menurut Weber adalah metodologi penelitian
yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan
yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Weber dalam Lexy
J.Moleong, 2007: 220). Pengertian kajian isi menurut Krippendroff
adalah teknik penelitian yang diamanfaatkan untuk menarik kesimpulan
yang replikatif dan sahih dari data atas dasar konteksnya (Krippendroff
dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220). Ciri-ciri content analysis atau kajian
isi menurut Guba dan Lincoln yaitu proses mengikuti aturan, proses
sistematis, kajian isi merupakan proses yang diarahkan untuk
menggeneralisasikan, kajian isi mempersoalkan isi yang
termanifestasikan, kajian isi menekankan analisis secara kuantitatif,
namun hal itu dapat pula dilakukan bersama analisis kualitatif (Guba dan
Lincoln dalam Lexy J.Moleong, 2007: 220).
F. Sistematika Skripsi
Sistematika skripsi yang disusun oleh penulis adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi.
xxviii
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu,
yang pertama adalah Kerangka Teori yang melandasi
penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah
yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yang meliputi:
Pertama mengenai Tinjauan Umum tentang Judex Facti
(Hakim) dan Kekuasaan Kehakiman diantaranya yaitu :
Pengertian Hakim, Pengertian Hakim Agung, Kedudukan dan
Kekuasaan Hakim, Tugas, Kewajiban dan Tanggungjawab
Hakim, Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Kasasi
diantaranya yaitu pengertian kasasi, alasan kasasi, putusan
yang dapat dimintakan kasasi, tata cara permohonan kasasi,
tata cara pemeriksaan kasasi, putusan Mahkamah Agung,
Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi
diantaranya pengertian tindak pidana, pengertian tindak pidana
korupsi, jenis-jenis tindak pidana korupsi, bentuk-bentuk tidak
pidana korupsi. Yang kedua mengenai Kerangka Pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu yang
pertama adalah Hasil Penelitian yang terdiri dari kasus posisi,
identitas terdakwa, dakwaan jaksa penuntut umum, tuntutan
jaksa penuntut umum, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, alasan kasasi (memori kasasi) dari jaksa penuntut
umum, alasan kasasi (kontra memori kasasi) dari kuasa hukum
terdakwa, pendapat Mahkamah Agung, Amar Putusan
Mahkamah Agung. Yang kedua adalah Pembahasan yang
terdiri:
1. Kriteria bahwa judex facti kemungkinan melakukan
kesalahan dalam menerapkan hukum sehingga menjadi
dasar pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah Agung
xxix
dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa
E.C.W Neloe.
2. Penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh
judex facti sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh
hakim Mahkamah Agung dalam perkara korupsi Bank
Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe.
BAB IV : PENUTUP
Bab akhir ini berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian
yang telah dilakukan penulis.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Judex Facti (Hakim) dan Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam Kamus Istilah Hukum terdapat pengertian judex facti
sebagai berikut:
Judex, hakim, sebagai dalam ungkapan tetap, judex facti, hakim
yang memeriksa duduknya perkara, sebagai kebalikan dari
Mahkamah Agung, yang dalam kasasi hanya mempertimbangkan
persoalan hukum, unsur judex, hakim tunggal (hakim Pengadilan
Negeri, hakim polisi, hakim anak-anak dsb, judex a quo, hakim
xxx
yang putusannya diminta orang naik banding hudex ad quem,
hakim, kepada siapa orang meminta banding (Fockema Andreae,
1983: 227).
Dalam Kamus Hukum terdapat pengertian judex adalah hakim, judex
facti adalah hakim mengadili fakta-fakta (bukan hakim kasasi)
(J.C.T.Simorangkir dkk, 2005: 78).
a) Pengertian Hakim
Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP
yang menyebutkan bahwa: “Hakim adalah pejabat peradilan negara
yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili”.
Selain di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam
Pasal 31 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: “Hakim adalah
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
Undang-Undang”.
b) Pengertian Hakim Agung
Pengertian hakim agung terdapat dalam Pasal 1 butir 4
Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial yang
menyebutkan bahwa: “Hakim Agung adalah hakim anggota pada
Mahkamah Agung”. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun
2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung).
c) Kedudukan dan Kekuasaan Hakim
xxxi
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka,
seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan
pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam
Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti
bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang.
Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu
kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak
dipengaruhi oleh kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kebebasan
hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan
tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang sedang
ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum
yang ada.
Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus
benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan
kejujuran dan kemauan baiknya. Wirjono Prodjodikoro berpendapat
bahwa perbedaan antara pengadilan dan instansi-instansi lain ialah,
bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu
secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-
macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Di
bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto
ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar
hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan
secara tepat hukum pidana yang mana telah dilanggar (Wirjono
Prodjodikoro, 1974 : 26-27).
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang
memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi
xxxii
kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat
hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada
penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil
akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggung jawab atas segala
yang diputuskannya.
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan
masalah bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan
keyakinannya dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim
dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum.
Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada
Yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal yang biasa disebut
dengan Doktrin.
Berhubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula
dijelaskan mengenai posisi hakim yang tidak memihak (impartial
judge). Istilah tidak memihak disini tidak diartikan secara harafiah,
karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak
kepada yang benar. Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan
tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Hal ini
secara tegas tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
berbunyi: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang”.
Hakim tidak memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak
menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian,
menurut hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah,
misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam
KUHAP (Andi Hamzah, 2005: 99-101).
d) Tugas, Kewajiban dan Tanggungjawab Hakim
xxxiii
Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim
adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. Sehingga
keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan
masyarakat Indonesia dengan berpedoman pada kode etik IKAHI
berdasarkan pada PANCA DHARMA HAKIM yakni Kartika,
Cakra, Candra, Tirta, Sari (Chatamarrasjid, 2005: 7).
Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim
mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum.
Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan
tertuang dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun kewajiban-kewajiban
hakim tersebut adalah sebagai berikut :
1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal
28 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004).
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa
(Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No.4 Tahun 2004).
3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah
bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa,
advokat, atau panitera (Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No.4
Tahun 2004).
4) Ketua majelis, hakim anggota, wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan
semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri
xxxiv
mesipun telah bercerai, dengan pihak yang diadili atau advokat
(Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang No.4 Tahun 2004).
5) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung
dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya
sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (Pasal 29
ayat (5) Undang-Undang No.4 Tahun 2004).
6) Sebelum memangku jabatannya, hakim untuk masing-masing
lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janjinya
menurut agamanya (Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No.4
Tahun 2004).
Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung jawab
profesi. Tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu (Rizky Argama, 2006: 11) :
1) Tanggung Jawab Moral
adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang
bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat
kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para
hakim bersangkutan.
2) Tanggung Jawab Hukum
adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat
melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu
hukum.
3) Tanggung Jawab Teknis Profesi
adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan
tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang
berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat
umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.
xxxv
2. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Kasasi
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau
banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini, (Pasal 1 butir 12 KUHAP). Upaya hukum
merupakan langkah untuk mencari keadilan.
a) Pengertian Kasasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti kasasi
sebagai berikut: “Pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh
Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan itu
menyalahi atau tidak sesuai benar dengan Undang-Undang, hak
kasasi hanyalah hak Mahkamah Agung” (Kamus Besar Bahasa
Indonesia dalam Leden Marpaung, 2000: 3). Dalam Kamus Istilah
Hukum Fockema Andreae dimuat arti kasasi sebagai berikut:
“Cassaatie, kasasi, pembatalan, pernyataan tidak berlakunya
keputusan Hakim rendahan oleh Mahkamah Agung demi
kepentingan kesatuan peradilan. Istimewa kasasi dari keputusan,
penetapan atau pernyataan lainnya oleh Mahkamah Agung,
karena melanggar bentuk yang diharuskan dengan ancaman batal,
karena melanggar ketentuan hukum atau melampaui kekuasaan
peradilan” (Fockema Andreae, 1983: 67).
Dalam buku Peristilahan Hukum dalam Praktek terbitan
Kejaksaan Agung (1985) dimuat arti kasasi sebagai berikut
(Kejaksaan Agung dalam Leden Marpaung, 2000: 4) :
Kasasi: pembatalan putusan atau perbaikan keputusan
pengadilan bawahan oleh Mahkamah Agung karena
pengadilan bawahan itu telah:
a. Melampaui batas kewenangannya;
xxxvi
b. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
sesuatu ketentuan Undang-Undang yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan;
c. Salah menerapkan atau melanggar sesuatu peraturan
hukum yang berlaku.
Mr. M.H.Tirtaamidjadja merumuskan pengertian kasasi sebagai
berikut:
Kasasi ialah suatu jalan hukum yang gunanya untuk
melawan keputusan-keputusan yang dijatuhkan dalam
tingkat tertinggi yaitu keputusan-keputusan yang tak dapat
dilawan atau tidak dapat dimohon bandingan, baik karena
kedua jalan hukum ini tidak diperbolehkan oleh Undang-
Undang, maupun oleh karena ia telah dipergunakan
(Mr.M.H. Tirtaamidjadja dalam Leden Marpaung, 2000:
4).
Prof. Oemar Seno Adji, SH menyatakan antara lain sebagai
berikut: “Kasasi ditujukan untuk menciptakan kesatuan hukum
dan oleh karenanya menimbulkan kepastian hukum. Ia (kasasi)
bertujuan untuk menciptakan suatu kesatuan hukum disamping
hendak menjamin kesamaan dalam peradilan” (Prof. Oemar Seno
Adji, SH dalam Leden Marpaung, 2000: 5). Mr.Wirjono
Projodikoro (Mantan Ketua Mahkamah Agung) menjelaskan arti
kasasi sebagai berikut: “Kasasi yang berarti pembatalan adalah
salah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi
atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain” (Mr.Wirjono
Projodikoro dalam Leden Marpaung, 2000: 4).
Dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang No. 14
Tahun 1985 Jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-
xxxvii
Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung dapat
diambil kesimpulan tentang arti kasasi adalah:
Pasal 29 Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang
No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang
Mahkamah Agung:
“Mahkamah Agung memutuskan permohonan kasasi
terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat
terakhir dari semua lingkungan peradilan”.
Pasal 30 Undang-Undang No 14 Tahun 1985 Jo Undang-Undang
No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut:
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan
putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua
lingkungan peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. selain menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku;
c. selain memenuhi syarat-syarat yang diwajibakan oleh
peraturan Perundang-Undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan”.
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Jo Undang-
Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang
berbunyi sebagai berikut:
xxxviii
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan
putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua
lingkungan peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan Perundang-Undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan”.
Jadi dari pengertian kedua Pasal tersebut dapat ditarik
kesimpulan kasasi adalah: pembatalan putusan atau penetapan
pengadilan tingkat banding atau terakhir karena tidak sesuai
dengan ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku. Tidak
sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku dapat
berupa:
a) tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang;
b) selain menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c) selain memenuhi syarat-syarat yang diwajibakan oleh
peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian
itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
b) Alasan Kasasi
xxxix
Alasan kasasi telah ditentukan secara limitatif oleh Undang-
Undang yaitu terdapat dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Alasan
kasasi yang dibenarkan menurut Pasal 253 ayat (1) KUHAP
adalah sebagai berikut:
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan
sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan Undang-Undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya.
Dalam Pasal 30 ayat (1) Undang- Undang No. 5 Tahun 2004 Jo.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
diatur mengenai alasan kasasi yang berbunyi :
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian
itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”.
c) Putusan Yang Dapat Dikasasi
1) Terhadap semua “Putusan Pengadilan Negeri” dalam
“Tingkat Pertama dan Tingkat Terakhir”.
2) Terhadap semua “Putusan Pengadilan Tinggi” yang
diambilnya pada “Tingkat Banding”.
3) Tentang Putusan Bebas
xl
Putusan bebas yang dapat dimintkan kasasi adalah
putusan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) atau
sering juga disebut sebagai putusan pembebasan yang
terselubung (verkapte vrijspraak) sedangkan untuk putusan
bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi. Dalam bukunya
M. Yahya Harahap menerangkan bahwa putusan bebas tidak
murni (niet zuivere vrijspraak) atau sering juga disebut
sebagai putusan pembebasan yang terselubung (verkapte
vrijspraak) yaitu (M. Yahya Harahap, 2000:545) :
- Apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada
“penafsiran yang keliru” terhadap sebutan tindak pidana
yang disebut dalam surat dakwaan.
- Apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan
telah melampaui kewenangannya:
· Baik hal itu menyangkut pelampauan wewenang
kompetensi absolut atau relatif.
· Maupun pelampauan wewenang itu dalam arti
apabila dalam putusan pembebasan itu telah turut
dipertimbangkan dan dimasukkan unsur-unsur
nonyuridis.
d) Tata Cara Permohonan Kasasi
Tata cara permohonan kasasi adalah sebagai berikut:
1) Permohonan Diajukan Kepada Panitera
Dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa
permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada
panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat
xli
pertama, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada
terdakwa. Jangka waktu diatur secara tegas di dalam Undang-
Undang.
2) Yang Berhak Mengajukan Permohonan Kasasi
Dalam Pasal 244 KUHAP ditegaskan bahwa yang
berhak mengajukan permohonan kasasi adalah terdakwa dan
atau penuntut umum. Dan menurut Keputusan Menteri
Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 No. M. 14-PW.07.03
pada angka 24 lampiran tersebut menyebutkan bahwa
dimungkinkan permintaan kasasi diajukan oleh seorang
kuasa, asal untuk itu terdakwa membuat “surat kuasa khusus”
secara tersendiri yang sengaja dibuat untuk, memberi kuasa
mengajukan permohonan kasasi (M. Yahya Harahap, 2000:
548).
3) Tenggang Waktu Mengajukan Permohonan Kasasi
Tenggang waktu yang dibenarkan Undang-Undang
untuk mengajukan kasasi adalah 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal putusan diberitahukan, Pasal 245 ayat
(1) KUHAP. Terlambat dari batas waktu 14 (empat belas)
hari mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan
kasasi menjadi gugur seperti yang ditegaskan dalam Pasal
246 ayat (2) KUHAP. Menurut hukum apabila permohonan
kasasi diajukan terlambat dari tenggang waktu 14 (empat
belas) hari maka dengan sendirinya hak untuk mengajukan
kasasi gugur, terdakwa dianggap menerima putusan, untuk itu
panitera membuat akta penerimaan putusan.
4) Akta Permohonan Kasasi
xlii
Bentuk dan pembuatan akta permohonan kasasi diatur
dalam Pasal 245 ayat (2) KUHAP, istilah dalam Pasal itu
adalah “surat keterangan”. Tidak ada perbedaan arti antara
surat keterangan dengan akta kasasi, hanya saja akta kasasi
adalah istilah yang lazim digunakan. Bentuk dan tata cara
pembuatan akta kasasi menurut Pasal 245 ayat (1) KUHAP
adalah sebagai berikut :
1) Panitera menulis permohonan dalam sebuah “Surat
Keterangan”.
2) Akta kasasi harus ditandatangani panitera dan pemohon.
3) Akta kasasi dilampirkan dalam “Berkas Perkara”.
5) Permintaan Kasasi Wajib Diberitahukan
Dalam ketentuan Pasal 245 ayat (3) KUHAP,
panitera “wajib” memberitahukan permintaan kasasi yang
diterimanya kepada pihak yang lain. Pihak yang lain disini
maksudnya adalah terdakwa pada satu pihak dan penuntut
umum pada pihak yang lain. Jadi panitera wajib
menyampaikan pemberitahuan baik kepada terdakwa apabila
penuntut umum yang mengajukan, kepada penuntut umum
apabila terdakwa yang mengajukan baik kedua-duanya,
terdakwa maupun penuntut umum apabila kedua-duanya
sama-sama mengajukan permohonan kasasi.
6) Pemohon Wajib Mengajukan Memori Kasasi
Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh
pemohon kasasi adalah membuat memori kasasi, Pasal 248
ayat (1) KUHAP. Kewajiban mengajukan memori kasasi
bersifat imperatif yaitu memiliki sanksi yang tegas, kerena
xliii
tanpa memori kasasi gugur haknya untuk mengajukan kasasi
Pasal 248 ayat (4) KUHAP. Tenggang waktu mengajukan
memori kasasi adalah 14 hari setelah permohonan kasasi
diajukan Pasal 248 ayat (1) KUHAP.
7) Tenggang Waktu Menyerahkan Memori Kasasi
Dalam Pasal 248 ayat (1) KUHAP telah ditentukan
tenggang waktu mengajukan memori kasasi yaitu 14 (empat
belas) hari sejak tanggal permohonan kasasi diajukan. Jadi
tenggang waktu tersebut telah diatur secara tegas apabila
tidak memenuhi atau melewati tenggang waktu yang diajukan
mengakibatkan gugur haknya untuk mengajukan kasasi.
8) Tanda Terima Penyerahan Memori
Dalam Pasal 248 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa
panitera menerima penyerahan memori kasasi, panitera
memberikan surat tanda terima. Surat tanda terima tersebut
sebagai bukti penyerahan memori kasasi bagi pemohon.
9) Kewajiban Panitera Memberi Bantuan
Kewajiban panitera memberikan bantuan untuk
membuat memori kasasi ditegaskan dalam Pasal 248 ayat (2)
KUHAP. Hal ini bertujuan untuk membantu terdakwa yang
awam tentang hukum guna membuat memori kasasi.
10) Kontra Memori Kasasi
Dalam Pasal 248 ayat (6) KUHAP yang intinya berisi
tentang memberikan hak kepada pihak lain untuk
mengajukan “kontra memori kasasi” atas kasasi yang
diajukan oleh pemohon kasasi. Kontra memori kasasi
xliv
merupakan “hak” dimana “hak” tersebut bisa digunakan bisa
juga tidak. Kontra memori kasasi sebagai tanggapan terhadap
memori kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi. Dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari panitera menyampaikan
kontra memori kasasi kepada pihak yang mengajukan
memori kasasi Pasal 248 ayat (7) KUHAP.
11) Tambahan Memori dan Kontra Memori
Dalam Pasal 249 ayat (1) KUHAP mengatur tentang
kesempatan untuk menambah memori kasasi atau kontra
memori kasasi dengan tenggang waktu selama 14 (empat
belas) hari. Menambah hal-hal yang dianggap perlu dalam
memori kasasi atau kontra memori kasasi guna kelengkapan
dari yang diajukan terdahulu.
e) Tata Cara Pemeriksaan Kasasi
Tata cara pemeriksaan kasasi adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan Dilakukan dengan Sekurang-kurangnya 3 (tiga)
Orang Hakim
Dalam Pasal 253 ayat (2) KUHAP diatur mengenai
pemeriksaan yang dilakukan oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang hakim. Jadi minimal harus 3 hakim apabila terjadi
pemeriksaan dengan hakim tunggal maka mengacu pada
ketentuan Pasal 253 ayat (2) KUHAP pemeriksaan tersebut
tidak sah.
2) Pemeriksaan Berdasar Berkas Perkara
xlv
Dalam pemeriksaan kasasi yang diperiksa adalah
berkas-berkas perkara Pasal 253 ayat (2) KUHAP yaitu berkas
(M. Yahya Harahap, 2000:575) :
- Berita acara pemeriksaan dari penyidik.
- Berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan.
- Semua surat-surat yang timbul dipersidangan yang ada
hubungannya dengan perkara.
- Putusan pengadilan tingkat pertama.
- Atau putusan tingkat terakhir (putusan tingkat
banding).
3) Pemeriksaan Tambahan
Apabila Mahkamah Agung berpendapat perlu adanya
pemeriksaan tambahan maka pemeriksaan tambahan dapat
dilakukan. Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan oleh
Mahkamah Agung dengan menjatuhkan “putusan sela”.
Putusan sela dijatuhkan sebelum Mahkamah Agung
menjatuhkan putusan akhir yang bertujuan untuk menambah
kelengkapan keterangan dalam mengambil putusan akhir.
Putusan sela tersebut dapat ditujukan kepada pengadilan yang
diperintahkan guna melakukan pemeriksaan tambahan dan
bisa juga pemeriksaan tambahan dilakukan sendiri oleh
Mahkamah Agung (M. Yahya Harahap, 2000: 575).
4) Tenggang Waktu Pemeriksaan Perkara yang Terdakwanya
Berada dalam Tahanan
Dalam Pasal 253 ayat (5) huruf b KUHAP, apabila
Mahkamah Agung mengeluarkan penetapan perintah
xlvi
penahanan terhadap terdakwa, dalam waktu 14 (empat belas)
hari sejak dikeluarkan penetapan, Mahkamah Agung “wajib”
memeriksa perkara tersebut. Di dalam perkara kasasi yang
terdakwanya ditahan Undang-Undang mewajibkan
Mahkamah Agung untuk memeriksa dalam waktu 14 (empat
belas) hari dari tanggal penetapan perintah penahanan
dikeluarkan sedangkan untuk perkara kasasi yang
terdakwanya tidak ditahan Undang-Undang tidak
memberikan ketentuan (M. Yahya Harahap, 2000: 576).
f) Putusan Mahkamah Agung
1) Menyatakan Kasasi Tidak Dapat Diterima
Putusan ini dijatuhkan dalam tingkat kasasi apabila
permohonan kasasi yang diajukan “tidak memenuhi syarat-
syarat formal” yang diatur dalam Pasal 244, Pasal 245, Pasal
248 ayat (1) KUHAP yaitu:
(a) Permohonan kasasi terlambat diajukan.
(b) Tidak mengajukan memori kasasi.
(c) Memori kasasi terlambat disampaikan.
2) Putusan Menolak Permohonan Kasasi
Putusan ini dijatuhkan pada tingkat kasasi oleh
Mahkamah Agung apabila (M. Yahya Harahap, 2000: 589) :
(a) Permohonan kasasi telah memenuhi syarat formal.
(b) Pemeriksaan perkara telah sampai menguji hukumnya.
(c) Akan tetapi putusan yang dimintakan kasasi tidak
mengandung kesalahan dalam penerapan hukum telah
xlvii
sebagaimana mestinya, cara mengadili sudah sesuai
dengan peraturan Perundang-Undangan, dan dalam
mengadili tidak melampaui batas wewenangnya.
Jadi putusan ini dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap
putusan yang dikasasi tidak melanggar ketentuan Pasal 253
ayat (1) KUHAP dan atau Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung, putusan yang dikasasi sudah
sesuai dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan atau
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung.
3) Mengabulkan Permohonan Kasasi
Putusan ini dijatuhkan apabila Mahkamah Agung
membatalkan putusan pengadilan yang dikasasi, Mahkamah
Agung berpendapat bahwa putusan pengadilan yang dikasasi
mengandung pelanggaran ketentuan Pasal 253 ayat (1)
KUHAP yaitu:
a. peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya;
b. cara mengadili tidak dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang;
c. pembatalan putusan atas alasan tidak berwenang
mengadili.
dan atau Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 tahun 2004
Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan
xlviii
atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung yaitu:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan Perundang-Undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
4) Pemberitahuan Putusan Mahkamah Agung
Pemberitahuan putusan Mahkamah Agung terhadap
terdakwa dan penuntut umum diatur dalam Pasal 257
KUHAP yang tata caranya berpedoman dalam Pasal 226 dan
Pasal 243 KUHAP yang berarti segala sesuatu yang
menyangkut (M. Yahya Harahap, 2000: 605):
- Pemberian petikan putusan kasasi kepada terdakwa atau
penasehat hukumnya.
- Pemberian salinan putusan kasasi kepada penyidik dan
penuntut umum maupun terhadap terdakwa atau penasehat
hukumnya yang berpedoman pada Pasal 226 KUHAP.
- Pengiriman salinan putusan dan berkas perkara kasasi.
- Pemberitahuan isi putusan kasasi kepada terdakwa, harus
berpedoman pada Pasal 243 KUHAP.
3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi
xlix
1) Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang
dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”.
Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan
demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada
penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit
itu (Adami Chazawi, 2002: 67). Srafbaar feit adalah delik,
peristiwa pidana: peristiwa yang diancam hukuman yang dapat
mengakibatkan tututan hukuman, khusus dalam hukum pidana
umum, berdasarkan ancaman hukuman dalam ketentuan Undang-
Undang ditetapkan sebelumnya (Fochema Andreae, 1983: 544).
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam
Perundang-Undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur
hukum sebagai terjemahan istilah srafbaar feit adalah (Adami
Chazawi, 2002: 67-76):
1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam
Perundang-Undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh
peraturan Perundang-Undangan menggunakan istilah tindak
pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti
Prof. Dr.Wirjono Prodjodikoro, S.H.
2. Peristiwa pidana digunakan oleh beberapa ahli hukum,
misalnya Mr. R.Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum
Pidana”, Mr.Drs. H.J van Schravendijk dalam buku pelajaran
tentang “Hukum Pidana Indonesia”,. Pembentuk Undang-
Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana,
yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum”
juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang
disebut strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam
beberapa literatur, misalnya Prof.Drs.E.Utrecht,S.H,
l
walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni
peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana). Prof.A.Zaenal
Abidin dalam buku beliau “Hukum Pidana I”. Prof.Moeljatno
pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku
beliau “Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan”,
walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan
pidana.
4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-
Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh
Mr.M.HTirtaamidjaja.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh
Mr.Karni dalam buku beliau “Ringkasan Tentang Hukum
Pidana”. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya “Buku
Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”.
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk
Undang-Undang dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951
tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
7. Perbuatan pidana digunakan oleh Prof.Mr.Moeljatno dalam
berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku “Azas-azas
Hukum Pidana”.
Nyatalah kini setidak-tidaknya dikenal ada 7 istilah dalam
bahasa kita sebagai terjemahan dari istilah srafbaar feit
(Belanda). Srafbaar feit terdiri dari 3 kata yakni straf, baar dan
feit. Dari 7 istilah yang digunakan sebagi terjemahan dari
strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan
hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.
Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak,
peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
li
Di dalam hukum pidana dikenal ada dua pandangan
tentang pengertian dari tindak pidana yaitu pandangan monisme
dan pandangan dualisme. Pandangan monisme berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana harus memenuhi
unsur yaitu:
1. Perbuatan orang atau korporasi;
2. Melanggar aturan hukum;
3. Sifat melawan hukum;
4. Kesalahan;
5. Mampu bertanggungjawab atau dapat dipidana.
Menurut pandangan monisme pelaku tindak pidana pasti
dipadana, tidak ada pemisahan antara tindak pidana (criminal act)
dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Para
ahli yang menganut pandangan monisme berdasarkan dari
rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana antara lain:
1. J.E Jonkers, yang merumuskan peristiwa pidana ialah
perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang
berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang
dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu
adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana.
3. H.J.Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh
dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan
dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam
lii
dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang oleh
karena itu dapat dipersalahkan.
4. Simons, yang merumuskan strafbaar feit adalah suatu
tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah
dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.
Pandangan dualisme berpendapat bahwa tindak pidana
(criminal act) berbeda dengan pertanggungjawaban pidana
(criminal responsibility) atau memisahkan antara tindak pidana
(criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal
responsibility). Menurut pandanagan dualisme pelaku tindak
pidana belum tentu dijatuhi pidana tergantung pada
kemampuannya untuk bertanggungjawab. Para ahli yang
menganut pandangan dualisme berdasarkan dari rumusan yang
mereka buat tentang tindak pidana antara lain:
1. Moeljatno, menggunakan istilah perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Pompe, yang merumuskan bahwa strafbaar feit itu sebenarnya
adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut
sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai
tindakan yang dapat dihukum.
3. Vos, merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan Perundang-
Undangan.
liii
4. R.Tresna, walaupun menyatakan sangat sulit untuk
merumuskan atau memberi definisi yang tepat perihal peristiwa
pidana, namun juga beliau menarik suatu definisi yang
menyatakan bahwa peristiwa pidana itu adalah sesuatu
perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan
dengan Undang-Undang atau peraturan Perundang-Undangan
lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa dalam
peristiwa pidana itu mempunyai syarat-syarat yaitu:
1) Harus ada suatu perbuatan manusia;
2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan
didalam ketentuan hukum;
3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat
yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;
4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman
hukumannya dalam Undang-Undang.
Dalam hal pertanggungjawaban dalam hukum pidana
menganut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder
schuld), walaupun tidak dirumuskan dalam Undang-Undang,
tetapi dianut dalam praktik. Tidak dapat dipisahkan antara
kesalahan dan pertanggungjawaban atas perbuatan. Orang yang
melakukan dengan kesalahan saja yang dibebani tanggungjawab
atas tindak pidana yang dilakukannya (Adami Chazawi,
2002:147).
liv
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sampai
saat ini menganut pandangan dualisme karena dalam KUHP kita
terdapat BAB III yaitu “Tentang Hal-Hal Yang Menghapuskan,
Mengurangi atau Memberatkan Pidana” khususnya Pasal 44, 48,
49, 50, 51. Pasal 44 KUHP berisi tentang tidak dipidana karena
jiwanya cacat. Pasal 48 KUHP berisi tentang perbuatan pidana
yang karena daya paksa tidak dipidana. Pasal 49 KUHP ayat (1)
KUHP berisi tentang pembelaan terpaksa tidak dipidana. Pasal 49
ayat (2) KUHP berisi tentang pembelaan terpaksa yang
melampaui batas. Pasal 50 KUHP berisi tentang melaksanakan
perbuatan ketentuan Undang-Undang tidak dipidana. Pasal 51
ayat (1) KUHP berisi tentang melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan penguasa yang berwenang tidak dipidana. Yang
termasuk ke dalam jenis alasan penghapus pidana yang berupa
alasan pembenar adalah Pasal 49 ayat (1) KUHP, Pasal 50 KUHP,
Pasal 51 ayat (1) KUHP dan yang termasuk alasan pemaaf adalah
Pasal 44 KUHP, Pasal 48 KUHP, Pasal 49 ayat (2) KUHP.
2) Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi berasal dari kata corruption, artinya kecurangan
atau perubahan, dan penyimpangan. Kata sifat corrupt berarti
juga buruk, rusak, tetapi juga menyuap, sebagai bentuk sesuatu
yang buruk (M.Dawam Rahardjo dalam Adnan Buyung Nasution
dkk, 1999: 19). Corruptie adalah terutama dipakai bagi pegawai
negara yang mendapat uang sogok yaitu menerima pemberian dan
sebagainya, sedangkan mereka tahu, bahwa pemberian ini
dimaksudkan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan
kewajiban jabatannya (Fochema Andreae, 1983: 83).
lv
Dalam Webster’s New American Dictionary (1985), kata
corruption diartikan sebagai decay (lapuk), contamination
(kemasukan sesuatu yang merusak) dan impurity (tidak
murni). Sedangkan kata corrupt dijelaskan sebagai “to
become rotten or putrid” (menjadi busuk, lapuk, buruk
atau tengik), juga “to induce decay in something originally
clean and sound” (memasukkan sesuatu yang lapuk atau
busuk dalam sesuatu yang semula berisi bersih dan bagus)
(Webster’s New American Dictionary (1985) dalam Adnan
Buyung Nasution dkk, 1999: 19).
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Corruptie
atau corruptus corrumpore (Fockema Andreae (1951) dalam Lilik
Mulyadi, 2000: 16). Carl Friedrich dalam artikelnya “Political
Pathologi” melukiskan korupsi sebagai berikut:
Pola korupsi dapat disebut terjadi apabila seseorang
pemegang kekuasaan yang ditugaskan untuk mengerjakan
sesuatu, yaitu seorang petugas (fungsionalis) dan penguasa
kantor telah diberi hadiah uang atau yang lain secara
melanggar hukum guna mengambil tindakan yang
menguntungkan pemberi hadiah dan dengan demikian
merugikan kepentingan umum (Carl Friedrich dalam
Adnan Buyung Nasution dkk, 1999: 24).
Jacob Van Klaveren dalam artikelnya “The Concept of
Corruption” mendefinisikan korupsi sebagai berikut:
Seorang pegawai yang korup memandang kantor umum
sebagai sebuah bisnis darimana ia berusaha mendapatkan
pendapatan sebanyak-banyaknya. Dengan demikian kantor
itu menjadi “unit maksimisasi”. Besarnya pendapatannya
lvi
tergantung pada keadaan pasar dan bakatnya untuk
menemukan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam
kurva permintaan masyarakat (Jacob Van Klaveren dalam
Adnan Buyung Nasution dkk, 1999: 24).
Dalam Black’s Law Dictionary terdapat arti korupsi sebagai
berikut:
Corruption
1. Deparavity, pervesion, or taint an impairment of
integrity, virtue, or moral principle, esp, the
impairment of a public official’s duties by bribery.
2. The act of doing simething with an intent to give some
advantege inconsistante with official duty and the
rights of other, a fiduciary’s of official’s use of a
station or office to procure some benefit either
personally or for someone else, contrary to the right’s
of other (Garner A. Bryan, 1999: 348).
Yang penulis terjemahkan sebagai berikut:
Korupsi
1. Keburukan, perbuatan yang tidak wajar, perusakan yang
mencemari kejujuran dan kebaikan atau prinsip moral yang
dilakukan oleh pejabat yang berwenang dengan penyuapan.
2. Perbuatan melakukan sesuatu dengan maksud memberikan
sesuatu keuntungan yang tidak wajar yang dilakukan oleh
pejabat yang berwenang yang bertentangan dengan hukum
yang berlaku.
lvii
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, ...”.
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat ditarik unsur-unsur
Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut :
1. unsur melawan hukum;
2. perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
3. dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
3) Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi
Jenis-jenis tindak pidana korupsi menurut Adami Chazawi
adalah sebagai berikut (Adami Chazawi, 2005: 20-31):
a) Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi
(1) Tindak Pidana Korupsi Murni
Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi
yang substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan
dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum
yang menyangkut keuangan negara, perekonomian negara,
dan kelancaran pelaksanaan tugas atau pekerjaan pegawai
negeri atau pelaksaan pekerjaaan yang bersifat publik.
lviii
Atas dasar kepentingan hukum yang dilindungi dalam hal
dibentuknya tindak pidana korupsi kelompok ini dapat
dibedakan lagi menjadi empat kelompok yaitu:
(a) Tindak pidana korupsi yang dibentuk dengan
substansi untuk melindungi kepentingan hukum
terhadap keuangan negara dan perekonomian negara.
Tindak pidana korupsi ini dimuat dalam Pasal 2, 3, 8
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
(b) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk
melindungi kepentingan hukum terhadap kelancaran
tugas-tugas dan pekerjaan pegawai negeri atau orang-
orang yang pekerjaannya berhubungan dan
menyangkut kepentingan umum. Tindak pidana
korupsi ini berasal dan termasuk kejahatan terhadap
penguasa umum dalam Bab VIII KUHP. Tindak
pidana korupsi yang dimaksud ialah Pasal 220, 231
KUHP, dan Pasal 5, 6 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (mengadopsi
Pasal 209 dan 210 KUHP).
(c) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk
melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan
umum bagi barang atau orang atau keselamatan
negara dalam keadaaan perang dari perbuatan yang
bersifat menipu. Tindak pidana korupsi ini
dirumuskan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
lix
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
substansinya mengadopsi dari rumusan Pasal 387 dan
388 KUHP (masuk bab kejahatan penipuan atau
bedrog).
(d) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk
melindungi kepentingan hukum mengenai
terselenggaranya tugas-tugas publik atau tugas
pekerjaan pegawai negeri. Tindak pidana korupsi ini
seperti yang dirumuskan dalam Pasal 8, 9, 10, 11, 12
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (mengadopsi dari Pasal 415,
416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435 KUHP).
(2) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni adalah tindak pidana
yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum
terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksaan
tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan
disini diatur dalam tiga Pasal yakni Pasal 21, 22, 24
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
b) Atas Dasar Subjek Hukum Tidak Pidana Korupsi
(1) Tindak Pidana Korupsi Umum
Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk-bentuk tindak
pidana korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada
orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri,
lx
akan tetapi ditujukan pada setiap orang termasuk
korporasi. Rumusan norma tindak pidana korupsi umum
berlaku untuk semua orang termasuk dalam kelompok
tindak pidana korupsi umum ini, ialah tindak pidana
korupsi yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15,
16, 21, 22, 24 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 220, 231
KUHP Jo Pasal 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau
Penyelenggara Negara
Tindak pidana korupsi pegawai negara dan atau
penyelenggara negara adalah tindak pidana korupsi yang
hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai
pegawai negeri atau penyelenggara negara. Rumusan
tindak pidana korupsi ini terdapat dalam Pasal 8, 9, 10, 11,
12, 12B dan 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (mengadopsi Pasal
421, 422, 429, 430 KUHP).
c) Atas Dasar Sumbernya
(1) Tindak Pidana Korupsi yang Bersumber pada KUHP
lxi
Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP
dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu:
(a) Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri
dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rumusan
tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak
pidana dalam KUHP. Formula rumusannya agak
berbeda dengan rumusan aslinya dalam KUHP yang
bersangkutan, tetapi substansinya sama. Yang
termasuk dalam kelompok ini antara lain tindak pidana
korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 5,
6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(b) Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada Pasal-
Pasal tertentu dalam KUHP dan ditarik menjadi tindak
pidana korupsi dengan mengubah ancaman dan sistem
pemidanaannya. Yang termasuk dalam kelompok ini
antara lain tindak pidana korupsi yang disebutkan
dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
merupakan hasil saduran dari Pasal 220, 231, 421, 422,
429, 430 KUHP menjadi tindak pidana korupsi.
(2) Tindak Pidana Korupsi yang oleh Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dirumuskan Sendiri sebagai Tindak Pidana Korupsi
lxii
Tindak pidana ini merupakan tindak pidana asli yang
dibentuk oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang termasuk
dalam kelompok ini ialah tindak pidana korupsi
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13,
15, 16, 21, 22, 24 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d) Atas Dasar Tingkah Laku atau Perbuatan Dalam Rumusan
Tindak Pidana
(1) Tindak Pidana Korupsi Aktif
Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi
positif adalah tindak pidana korupsi yang dalam
rumusannya mencantumkan unsur perbuatan aktif.
Perbuatan aktif atau perbuatan materiil yang bisa disebut
juga perbuatan jasmani adalah perbuatan yang untuk
mewujudkannya diperlukan gerakan tubuh atau bagian
dari tubuh orang. Tindak pidana korupsi aktif ini terdapat
dalam Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 16,
21, 22 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 220, 231, 421, 422, 429,
430 KUHP.
(2) Tindak Pidana Korupsi Pasif atau Tindak Pidana Korupsi
Negatif
Tindak pidana korupsi pasif adalah tindak pidana yang
unsur tingkah lakunya dirumuskan secara pasif.
lxiii
Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu
adalah tindak pidana yang melarang untuk tidak berbuat
aktif. Tindak pidana korupsi pasif terdapat dalam Pasal 7,
10 sub b, 23
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo 231 KUHP, 24 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e) Atas Dasar Dapat-Tidaknya Merugikan Keuangan dan atau
Perekonomian Negara
(1) Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara (tindak pidana formil).
(2) Tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat
menimbulkan kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara (tindak pidana formil dan materiil).
4) Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
a) Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang
lain, atau suatu korporasi (Pasal 2 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
b) Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan jabatan, atau
kedudukan (Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi).
lxiv
c) Tindak pidana korupsi suap dengan memberikan atau
menjanjikan sesuatu (Pasal 5 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
d) Tindak pidana korupsi suap pada hakim dan advokad (Pasal 6
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
e) Korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan
bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan
TNI dan NKRI (Pasal 7 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi).
f) Korupsi pegawai negeri menggelapkan uang dan surat berharga
(Pasal 8 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi).
g) Tindak pidana korupsi pegawai negeri memalsu buku-buku dan
daftar-daftar (Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi).
h) Tindak pidana korupsi pegawai negeri merusakkan barang, akta,
surat, atau daftar (Pasal 10 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi).
i) Korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang
berhubungan dengan kewenangan jabatan (Pasal 11 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
lxv
j) Korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara atau hakim,
adavokat menerima hadiah atau janji, pegawai negeri memaksa
membayar, meminta pekerjaan, menggunakan tanah negara, dan
turut serta dalam pemborongan (Pasal 12 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
k) Tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima gratifikasi
(Pasal 12 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi).
l) Korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
jabatan (Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi).
m) Tindak pidana yang berhubungan dengan hukum acara
pemberantasan korupsi.
n) Tindak pidana pelanggaran terhadap Pasal 220, 231, 421, 422,
429 dan 430 KUHP (Pasal 23 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
B. Kerangka Pemikiran
Dalam hal telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
E.C.W Neloe dkk dan pengadilan tingkat pertama menjatuhkan putusan bebas
terhadap para terdakwa. Jaksa penuntut umum dapat melakukan upaya hukum
yaitu kasasi, tetapi harus membuktikan bahwa putusan tersebut bukan
merupakan putusan bebas murni. Kasasi yang diajukan kepada Mahkamah
lxvi
Agung harus memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 253 ayat (1)
KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Jo.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Dalam memeriksa dan
memutus perkara kasasi Mahkamah Agung memilki berbagai pertimbangan.
Dalam perkara kasasi hakim Mahkamah Agung memeriksa sesuai dengan
ketentuan limitatif pengajuan kasasi yaitu Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No.
3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung, apakah judex facti melakukan kesalahan atau
tidak dalam penerapan hukum. Mengenai kerangka pemikiran akan penulis
gambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut:
Alasan Pembebasan Tidak Murni dan Pasal 253
ayat (1) KUHAP, Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun
2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
MA
Kasasi
Bebas
TP Korupsi
Hakim PT Hakim PN
Hakim (Judex Facti)
Ada / Tidak Kesalahan ?
lxvii
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
BAB III
Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
1. Kasus Posisi
E.C.W Neloe dan kedua rekannya yaitu I Wayan Pugeg dan
M.Soleh Tasripan dihadapkan dipersidangan dengan dakwaan
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut
dalam kurun waktu dari Juli 2002 sampai dengan April 2005.
Ketiganya didakwa melakukan tindakan melawan hukum dengan
memperkaya diri sendiri, orang lain maupun korporasi. Tindakan
tersebut dilakukan ketiga terdakwa yang berkasnya digabung dengan
cara memberikan kredit Bridging Loan kepada PT. Cipta Graha
Nusantara (PT. CGN) sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam
puluh milyar rupiah) dengan mengabaikan asas-asas perkreditan yang
sehat.
Putusan MA
lxviii
Kedudukan ketiga terdakwa sebagai pihak yang berwenang
memutus kredit. Kredit tersebut diberikan dengan tujuan untuk
pembelian aset-aset PT. Tahta Medan, pembangunan menara Tiara
Tower, dan renovasi hotel Tiara Medan. Padahal PT. Tahta Medan
telah dijual BPPN kepada PT. Trimanunggal Mandiri Persada. Dalam
nota kredit pembelian PT. Tahta Medan oleh PT. Cipta Graha
Nusantara (PT. CGN) dilkakukan kepada PT Manunggal Wiratama
padahal jelas bahwa PT. Tahta Medan telah dibeli oleh PT
Trimanunggal Mandiri Persada dengan harga ±Rp. 97.000.000.000,00
(sembialn puluh tujuh milyar). Jadi ada kelebihan dana sebesar ±Rp.
63.000.000.000,00 (enam puluh tiga milyar rupiah). Pemberian kredit
yang dilakukan oleh ketiga terdakwa sebagai pihak yang berwenang
memutus kredit jelas melanggar asas-asas perkreditan yang sehat dan
prinsip kehati-hatian karena telah salah dalam memberikan informasi
yaitu pembelian PT. Tahta Medan dari PT. Manunggal Wiratama yang
seharusnya adalah PT. Trimanunggal Mandiri Persada. Jaminan yang
diberikan PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN) kepada PT. Bank
Mandiri (Persero) Tbk, tidak sebanding dengan kredit yang diberikan.
Jaminan yang diberikan berupa surat tagihan hutang PT. Tahta Medan
padahal jelas PT. Tahta Medan dijual BPPN karena bermasalah tidak
mungkin perusahaan yang bermasalah atau tidak sehat dapat
mengembalikan hutang yang sangat besar jumlahnya. Pemberian
fasilitas kredit yang dilakukan oleh ketiga terdakwa kepada PT. Cipta
Graha Nusantara (PT. CGN) melanggar asas-asas perkreditan yang
sehat dimana PT. Cipta Graha Nusanatara (PT. CGN) adalah PT yang
baru berdiri selama 6 (enam) bulan sebelum ketiga terdakwa
menyetujui kredit. Menurut Ketentuan Pedoman Pelaksanaan Kredit
bahwa debitur harus memiliki neraca laba atau rugi selama tiga tahun
terakhir dan neraca tahun yang sedang berjalan dan untuk kredit lebih
lxix
dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) harus diaudit oleh
akuntan publik terdaftar.
Ketiga terdakwa didakwa dengan dakwaan subsider oleh jaksa
penuntut umum. Ketiga terdakwa tersebut dijatuhi putusan bebas oleh
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terhadap putusan
tersebut jaksa penuntut umum langsung mengajukan upaya hukum
kasasi. Dalam putusan bebas tersebut banyak terdapat unsur-unsur non
yuridis yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim yang
dijadikan alasan kasasi oleh jaksa penuntut umum.
2. Identitas Terdakwa:
I. Nama : EDWARD CORNELLIS
WILLIAM NELOE;
Tempat Lahir : Makassar;
Umur/ Tanggal Lahir : 61 tahun/ 7 Novenber 1944;
Jenis Kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat Tinggal : Jalan Permata Intan IV/ Blok X
Kav-A, Permata Hijau, Jakarta
Selatan;
lxx
Agama : Kristen;
Pekerjaaan : Mantan Direktur Utama PT. Bank
Mandiri (Persero) Tbk;
II. Nama : I WAYAN PUGEG;
Tempat Lahir : Gianyar;
Umur/ Tanggal Lahir : 58 tahun/ 17 Februari 1947;
Jenis Kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat Tinggal : Jalan Metro Pondok Indah No. 99,
Jakarta Selatan;
Agama : Hindu;
Pekerjaaan : Mantan Dir. Risk Management PT.
Bank Mandiri (Persero) Tbk;
III. Nama : M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM;
Tempat Lahir : Pati;
Umur/ Tanggal Lahir : 49 tahun/ 15 Agustus 1956;
Jenis Kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat Tinggal : Jalan Sriwijaya Raya No. 19
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan;
Agama : Islam;
lxxi
Pekerjaaan : Mantan EVP Coordinator Corporate
& Goverment PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk.
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Ketiga terdakwa tersebut di atas didakwa dengan bentuk
dakwaan subsider yang intinya sebagai berikut:
a. Primair
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat
(1) Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64
ayat (1) KUHP.
b. Subsidair
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat
(1) Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
c. Lebih Subsidair
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo
Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang
No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1)
KUHP.
d. Lebih Subsidair Lagi
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 ayat
(1) Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
lxxii
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Tuntutan jaksa penuntut umum intinya sebagai berikut:
a. Menyatakan terdakwa EDWARD CORNELLIS WILLIAM
NELOE, terdakwa I WAYAN PUGEG serta terdakwa M.
SHOLEH TASRIPAN, SE, MM telah bersalah melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat
(1) KUHP sebagaimana dalam dakwaan primair;
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa EDWARD CORNELLIS
WILLIAM NELOE, terdakwa I WAYAN PUGEG serta terdakwa
M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM dengan pidana penjara
masing-masing selama 20 (dua puluh) tahun dikurangi selama
terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah supaya terdakwa
tetap ditahan, dan membayar denda masing-masing sebesar Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) subsider 12 (dua belas)
bulan kurungan;
c. Menyatakan barang bukti berupa dokumen yang tercantum dalam
daftar adanya barang bukti dirampas untuk negara yang
diperhitungkan untuk pengembalian kerugian negara;
d. Menetapkan agar para terdakwa dibebani membayar biaya perkara
ini masing-masing Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
lxxiii
5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2068/Pid.B/2005/PN.
Jak. Sel, tanggal 20 Februari 2006 yang amar lengkapnya sebagai
berikut:
a. Menyatakan bahwa para terdakwa:
- EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE;
- I WAYAN PUGEG;
- M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM.
tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan kepada mereka;
b. Membebaskan para terdakwa tersebut dari seluruh dakwaan
tersebut;
c. Memerintahkan agar para terdakwa dibebaskan dari tahanan
negara;
d. Mengembalikan hak-hak para terdakwa dalam kedudukan,
kemampuan, harkat serta martabatnya;
e. Memerintahkan barang bukti berupa dokumen yang tercantum
dalam daftar barang bukti dikembalikan kepada masing-masing
terdakwa;
f. Membebankan kepada masing-masing terdakwa untuk membayar
biaya perkara ini sebesar Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus
rupiah).
lxxiv
6. Alasan Kasasi (Memori Kasasi) dari Jaksa Penuntut Umum
Alasan kasasi dari jaksa penuntut umum pada intinya sebagai berikut:
a. Putusan bebas yang dijatuhkan bukan putusan bebas murni.
b. Judex facti telah salah menerapkan hukum atau menerapkan
hukum tidak sebagaimana mestinya.
c. Judex facti telah melampaui batas wewenangnya.
Majelis hakim (judex facti) telah melanggar Pasal 253 ayat (1) huruf a
dan c KUHAP, dan Pasal 30 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang
No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
7. Alasan Kasasi (Kontra Memori Kasasi) Kuasa Hukum Terdakwa
Alasan kasasi dari kuasa hukum terdakwa pada intinya sebagai
berikut:
a. Unsur melawan hukum tidak terpenuhi atau tidak terbukti.
b. Penerapan hukum pembuktian tidak sebagaimana mestinya.
c. Pertimbangan hukum dalam putusan a quo yang saling
bertentangan.
d. Penerapan hukum salah atau hukum diterapkan secara tidak benar
Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 Undang-Undang No. 14
Tahun 1985 Jo Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang
Mahkamah Agung .
lxxv
e. Unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi
tidak terbukti.
8. Pertimbangan Mahkamah Agung
Pertimbangan Mahkamah Agung tentang alasan kasasi dari kuasa
hukum terdakwa dan jaksa penuntut umum yang pada intinya sebagai
berikut:
a. Kuasa Hukum Terdakwa
1) Mahkamah Agung tidak sependapat dengan kuasa hukum
terdakwa dalam menafsirkan unsur “setiap orang”.
2) Mahkamah Agung tidak sependapat dengan kuasa hukum
terdakwa dalam menafsirkan unsur “melawan hukum”.
3) Mahkamah Agung tidak sependapat dengan kuasa hukum
terdakwa karena telah dianalisis atas dasar fakta-fakta hukum
yang ada dan benar.
b. Jaksa Penuntut Umum
1) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa adalah terbukti
namun perbuatan tersebut berada dalam ruang lingkup hukum
perdata, maka putusan seharusnya merupakan pembebasan
tidak murni.
2) Pertimbangan aspek hukum korporasi dan tanggungjawab
korporasi.
3) Bank Mandiri sebagai badan hukum keperdataan.
lxxvi
9. Amar Putusan Mahkamah Agung
Amar Putusan Mahkamah Agung No. 1144/K/Pid/2006 yang diputus
pada hari Kamis tanggal 13 September 2007, intinya sebagai berikut:
§ Menolak permohonan kasasi para pemohon kasasi I/para terdakwa:
§ EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE;
§ I WAYAN PUGEG;
§ M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM.
§ Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi II jaksa
penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
§ Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel, tanggal 20 Februari 2006.
§ Mengadili Sendiri:
1. Menyatakan para terdakwa: I. EDWARD CORNELLIS
WILLIAM NELOE, II. I WAYAN PUGEG, III. M SHOLEH
TASRIPAN, SE,MM telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana: “Korupsi secara bersama-
sama dan berlanjut”;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa-terdakwa
I, II, III tersebut dengan pidana penjara masing-masing selama
10 (sepuluh) tahun;
3. Menetapkan lamanya terdakwa-terdakwa I, II, III berada dalam
tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum
tetap, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang
dijatuhkan;
lxxvii
4. Menghukum terdakwa-terdakwa I, II, III dengan hukuman
denda masing-masing sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak
dibayar, maka kepada masing-masing terdakwa dikenakan
hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6 (enam)
bulan;
5. Menetapkan barang bukti berupa dokumen yang tercantum di
dalam daftar barang bukti dirampas untuk negara;
6. Membebankan terdakwa I, II, III tersebut untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,00
(dua ribu lima ratus rupiah).
B. Pembahasan
1. Kriteria bahwa judex facti kemungkinan telah melakukan kesalahan
dalam menerapkan hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan kasasi
dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe.
Dasar pemeriksaan perkara kasasi berpedoman pada Pasal 253
ayat (1) KUHAP yaitu:
“Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP guna menentukan:
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
lxxviii
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
Undang-Undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya”.
dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-
Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yaitu:
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan
atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan
peradilan karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan”.
Berpedoman pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
2068/Pid. B/2005/PN.Jak.Sel tanggal 20 Februari 2006 yang pada
intinya membebaskan para terdakwa dari seluruh dakwaan jaksa
penuntut umum yang berarti putusan tersebut merupakan putusan
bebas. Berdasarkan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 275
K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 dan No. 1 K/Pid/2000 tanggal
22 September 2000 yang intinya berisi tentang kasasi untuk putusan
bebas tidak murni. Untuk putusan bebas yang dijatuhkan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan maka dapat dimintakan upaya hukum kasasi
dengan membuktikan bahwa putusan bebas yang dijatuhkan tersebut
bukan merupakan putusan bebas murni. Putusan bebas tidak murni
adalah (M.Yahya Harahap, 2000: 545) :
lxxix
- Apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada “penafsiran yang
keliru” terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat
dakwaan.
- Apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan telah
melampaui kewenangannya:
· Baik hal itu menyangkut pelampauan wewenang kompetensi
absolut atau relatif.
· Maupun pelampauan wewenang itu dalam arti apabila dalam
putusan pembebasan itu telah turut dipertimbangkan dan
dimasukkan unsur-unsur nonyuridis.
Yang pertama harus dilakukan jaksa penuntut umum sebelum
menguraikan alasan kasasi yang diatur dalam Pasal 253 ayat (1)
KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung adalah
membuktikan dan menguraikan bahwa putusan bebas yang dijatuhkan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah putusan bebas tidak murni
karena sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP putusan bebas
tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas yang dimaksud dalam
Pasal 244 KUHAP adalah putusan bebas murni.
Berdasarkan alasan kasasi dari jaksa penuntut umum yang
termasuk ke dalam alasan pembebasan tidak murni kategori pertama
yaitu “penafsiran yang keliru” terhadap sebutan tindak pidana yang
disebut dalam surat dakwaan adalah alasan nomor 1(c) dan alasan
nomor 2(a). Dalam alasan nomor 1(c) jaksa penuntut umum
lxxx
menyatakan bahwa majelis hakim tidak konsisten menerapkan
ketentuan tindak pidana yang didakwakan karena disatu sisi majelis
hakim dalam membuktikan unsur “barang siapa” dan unsur “yang
dengan melawan hukum” serta unsur “memperkaya orang lain atau
korporasi” berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan disisi lain membuktikan unsur “dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” berdasarkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
Alasan tidak konsisten yang dikemukakan jaksa penuntut umum
tersebut dikarenakan kesalahan mejelis hakim dalam menafsirkan
unsur tindak pidana yang didakwakan yang dalam hal ini penafsiran
mejelis hakim tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Penafsiran terhadap unsur tindak pidana korupsi atau terhadap
tindak pidana korupsi harus sesuai dengan Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penjelasan Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi bahwa tindak pidana (delik) korupsi merupakan tindak pidana
(delik) formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat. Dalam hal majelis hakim (judex facti) menggunakan
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
dalam menafsirkan unsur tindak pidana korupsi maka menurut penulis
lxxxi
hal tersebut tidak tepat atau salah. Dalam hal ini majelis hakim (judex
facti) telah salah atau keliru menafsirkan unsur “dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”. Penafsiran unsur tindak
pidana korupsi harus berpedoman pada Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya karena
sudah diatur secara tegas dan rinci jadi majelis hakim tidak perlu
mencari penafsiran diluar Undang-Undang tersebut.
Dalam alasan nomor 2(a) jaksa penuntut umum menyatakan
bahwa majelis hakim telah salah atau keliru dalam penafsirkan unsur
tindak pidana yang didakwakan yaitu unsur “dapat merugikan
keuangan negara” dengan alasan bahwa:
1) Menafsirkan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun
2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dimana Undang-Undang
tersebut berlaku untuk seorang bendahara sebagai subjek
hukumnya.
2) Tidak menafsirkan unsur tindak pidana yang didakwakan secara
utuh dan lengkap tentang unsur “dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara” akan tetapi hanya mendefinisikan
“kerugian negara”.
3) Majelis hakim tidak menggunakan penafsiran secara konkret
sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantaasn Tindak Pidana Korupsi.
4) Majelis hakim menyatakan unsur “setiap orang” yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya orang lain
lxxxii
maka seharusnya menyatakan unsur “dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara” juga telah terbukti.
5) Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 813/K/Pid/1987 Tanggal
29 Juni 1989 yang menentukan bahwa “jumlah kerugian keuangan
negara akibat perbuatan terdakwa tersebut tidak perlu pasti
jumlahnya, sudah cukup ada kecenderungan timbulnya kerugian
negara”, seharusnya majelis hakim menggunakan penafsiran secara
konkret seperti yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung
tersebut.
6) Penafsiran majelis hakim bertentangan dengan asas “vooltoid”
(telah selesai), karena perbutan terdakwa yang dengan melawan
hukum memperkaya orang lain telah selesai jadi tidak ada
hubungannya dengan pembayaran cicilan yang dilakukan PT. Cipta
Graha Nusantara.
7) Majelis mendasarkan penafsiran bahwa perbuatan para terdakwa
termasuk ke dalam ruang lingkup hukum perdata karena didasarkan
pada perjanjian kredit yang jatuh tempo per September 2007
sementara perbutan pidana para terdakwa telah selesai.
8) Majelis hakim telah salah menafsirkan unsur “dapat”, yaitu
menafsirkan kata “dapat” adalah suatu hal dapat atau suatu hal
yang tidak dapat, tidak bedasarkan penjelasan resmi Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
9) Majelis hakim menafsirkan kata “dapat” berdasarkan angan-angan
belaka dengan berpendapat bahwa kata “dapat” sudah saatnya
dihapuskan, sementara sudah ada penjelasan resmi Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
lxxxiii
10) Majelis hakim telah mempertimbangkan hal-hal yang tidak
didakwakan, karena didalam dakwaan jaksa penuntut umum tidak
mendakwakan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara ataupun menjunctokan dengan Undang-
Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
11) Majelis hakim telah memutarbalikkan fakta atas keterangan ahli
Muhamad Yusuf.
12) Majelis hakim telah memutarbalikkan fakta atas keterangan ahli
Prof. DR. Rudy Prasetya.
13) Majelis hakim telah memutarbalikkan fakta atas ketrangan ahli K.C
Komala.
Berdasarkan alasan nomor 2(a) tersebut, dalam menafsirkan
unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
menurut penulis majelis hakim (judex facti) telah salah atau keliru
menafsirkan unsur tersebut. Di dalam Pasal 2 ayat (1) Penjelasan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dijelasakan
bahwa tindak pidana (delik) korupsi merupakan delik formil yaitu
adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Jadi
telah ada atau belum adanya kerugian negara atau perekonomian negara
yang dalam jumlah tertentu tidak menjadi persoalan bagi jaksa maupun
hakim dalam membuktikan, menilai dan menjatuhkan putusan, apabila
unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan terpenuhi maka dapat
dijadikan dasar bagi majelis hakim dalam memutus perkara tindak
pidana (delik) korupsi.
lxxxiv
Penafsiran majelis hakim tentang unsur “dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara” berdasarkan Undang-
Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara menurut
penulis salah atau keliru karena sudah jelas ada ketentuan yang
mengatur secara rinci dan konkret yaitu dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penjelasan Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jadi apabila sudah ada aturannya
secara konkret tidak perlu mencari dasar hukum yang lain dalam
menilai suatu unsur tindak pidana (delik) korupsi kecuali tidak diatur
secara rinci dan konkret.
Dalam menilai suatu unsur tindak pidana (delik) harus dilakukan
dengan sangat hati-hati dan cermat apabila tidak maka putusan yang
dijatuhkan tidak sesuai atau tidak sejalan dengan tujuan penegakan
hukum yaitu keadilan. Dalam tindak pidana (delik) korupsi telah dibuat
aturan yang rinci dan konkret, aturan tersebut dijadikan pedoman guna
penegakan hukum bagi tindak pidana (delik) korupsi yang bertujuan
untuk memberantas penyakit korupsi di segala bidang. Apabila
pelaksanaan penerapan hukum tidak sesuai dan tidak sejalan dengan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka tujuan dari
adanya Undang-Undang tersebut yaitu memberantas tindak pidana
korupsi tidak bisa terwujud. Untuk alasan nomor 1(c) dan 2(a) penulis
masukkan ke dalam alasan pembebasan tidak murni kategori pertama
yaitu “penafsiran yang keliru”.
lxxxv
Berdasarkan alasan kasasi jaksa penuntut umum diatas yang
termasuk alasan pembebasan tidak murni kategori yang kedua yaitu
“melampaui wewenang absolut maupun relatif dan melampaui
wewenang dalam arti memasukkan dan mempertimbangkan unsur-
unsur non yuridis” yaitu alasan nomor 3(a) angka 1 dan angka 2, 5(e),
dan 5(f). Dalam alasan nomor 3(a) jaksa penutut umum menerangkan
bahwa majelis hakim (judex facti) telah melampaui batas wewenang
baik wewenang absolut maupun relatif serta turut mempertimbangkan
unsur-unsur non yurudis dalam putusannya dengan alasan yaitu
(pertimbangan majelis hakim (judex facti) dalam rekaman DVD Komisi
Pemberantasan Korupsi menit ke 11.25 sid 11.27 yang diucapkan pada
sidang Kamis 20 Februari 2006 dalam acara pembacaan putusan):
1) "Menimbang, bahwa akan tetapi rasa-rasanya sekarang di tubuh
Pemerintah Indonesia sudah ada pergeseran visi dan tujuan dalam
menangani perkara tindak pidana korupsi, kalau dulu masih
mementingkan aspek penegakan hukumnya, tetapi sekarang sudah
bergeser hanya mementingkan kembalinya uang negara dan
mengesampingkan aspek penegakan hukumnya. Kalau pada awalnya
dengan lantang pemerintah berkata mari kita berantas korupsi dan
kita tangkap serta adili semua pelakunya karena menyengsarakan
rakyat Indonesia, akan tetapi sekarang pemerintah dengan lembut
mengatakan, “anda akan diampuni dan tidak diajukan ke persidangan
asalkan saja anda mau membuat pernyataan bahwa anda mau
mengembalikan uang yang telah anda korup. Dan lewat media massa
sering dikatakan bahwa orang-orang yang dulu mendapat predikat
koruptor, sekarang dengan senyum melangkah di karpet merah bak
pahlawan penyelamat uang rakyat dan negara " ;
2) Majelis hakim (judex facti) telah melakukan uji materiil terhadap
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi karena dalam pertimbangan putusan halaman 225
lxxxvi
paragraf 2 yaitu: “Menimbang bahwa menurut majelis bahwa di
dalam Undang-Undang yang baru sudah saatnya kata "dapat" harus
dihapuskan karena bukan hal yang sulit untuk membuktikan adanya
kerugian negara itu. Melalui kerjasama lintas disiplin ilmu yang ada,
dari ahli accounting, ahli perbankan, ahli computer, dan ahli
komunikasi lainnya, maka yang semula dianggap sulit sehingga
meski dicantumkan kata “dapat” sekarang bukan lagi hal yang sulit
atau justru semakin sangat mudah ".
Dalam alasan nomor 5(d), 5(e) dan 5(f) di terangkan jaksa penuntut
umum sebagai berikut:
Alasan 5(d):
1) “Menimbang bahwa akan tetapi rasa-rasanya sekarang di tubuh
pemerintah Indonesia sudah ada pergeseran visi dan tujuan dalam
menangani perkara tindak pidana korupsi kalau dulu masih
mementingkan aspek penegakan hukumnya tetapi sekarang sudah
bergeser hanya mementingkan kembalinya uang negara dan
mengesampingkan aspek penegakan hukumnya. Kalau pada
awalnya dengan lantang pemerintah berkata mari kita berantas
korupsi dan kita tangkap serta adili semua pelakunya karena
menyengsarakan rakyat Indonesia, akan tetapi sekarang.
Pemerintah dengan lembut mengatakan, "please come in baby atau
welcome to Indonesia" anda akan diampuni dan tidak diajukan ke
persidangan asalkan saja anda mau membuat pernyataan bahwa
anda mau mengembalikan uang yang telah anda korup. Dan lewat
media massa sering dikatakan bahwa orang-orang yang dulu
mendapat predikat koruptor, sekarang dengan senyum melangkah
di karpet merah sebagai pahlawan penyelamat uang rakyat dan
negara" ;
lxxxvii
2) Bahwa apabila majelis hakim tidak melampaui kewenangannya
yaitu bila tidak melakukan uji materiel terhadap kebijakan
pemerintah dalam upaya menangani pengembalian kerugian
negara dalam permasalahan BLBI yang tidak relevan dalam
perkara a quo, maka perbuatan para terdakwa yang dengan
melawan hukum telah memperkaya orang lain adalah sudah dapat
merugikan keuangan negara, sehingga seharusnya unsur "dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" adalah
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; dengan
demikian seharusnya majelis hakim menyatakan para terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Alasan 5(e):
(1) Pelampauan kewenangan majelis hakim tersebut terlihat dalam
putusan a quo halaman 225 paragraf 2 dipertimbangkan sebagai
berikut : "Menimbang, bahwa menurut majelis hakim bahwa di
dalam Undang-Undang yang baru sudah saatnya kata dapat
dihapuskan karena bukan hal yang sulit untuk membuktikan adanya
kerugian negara itu. Melalui kerjasama lintas disiplin ilmu yang
ada, dari ahli accounting, ahli perbankan, ahli computer dan alat
komunikasi lainnya, maka yang semula dianggap sulit sehingga
mesti dicantumkannya kata “dapat”, sekarang bukan lagi hal yang
sulit atau justru semakin sangat mudah;
(2) Bahwa apabila majelis hakim, tidak melampaui kewenangannya
dalam melakukan uji materiel terhadap Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999, maka perbuatan para terdakwa yang melawan hukum
dan memperkaya orang lain adalah sudah dapat merugikan
keuangan negara, sehingga unsur "dapat merugikan keuangan
negara dan perekonomian negara" seharusnya adalah terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum; dengan demikian
seharusnya majelis hakim menyatakan para terdakwa bersalah
lxxxviii
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan
berlanjut sebagaimana didakwakan ;
Alasan 5(f):
1) "Menimbang, bahwa akan tetapi rasa-rasanya sekarang di tubuh
pemerintah Indonesia sudah ada pergeseran visi dan tujuan dalam
menangani perkara tindak pidana korupsi, kalau dulu masih
mementingkan aspek penegakan hukumnya, tetapi sekarang sudah
bergeser hanya mementingkan kembalinya uang negara dan
mengesampingkan aspek penegakan hukumnya. Kalau pada
awalnya dengan lantang pemerintah berkata mari kita berantas
korupsi dan kita tangkap serta adili semua pelaku-nya karena
menyengsarakan rakyat Indonesia, akan tetapi sekarang
pemerintah dengan lembut mengatakan, "please come in baby atau
welcome to Indonesia" anda akan diampuni dan tidak diajukan ke
persidangan asalkan saja anda mau membuat pernyataan bahwa
anda mau mengembalikan uang yang telah anda korup. Dan lewat
media massa sering dikatakan bahwa orang-orang yang dulu
mendapat predikat koruptor, sekarang dengan senyum melangkah
di karpet merah sebagai pahlawan penyelamat uang rakyat dan
negara" ;
2) Bahwa apabila majelis hakim tidak melampaui batas
kewenangannya mempertimbangkan unsur-unsur yang non
yuridis, maka perbuatan para terdakwa yang melawan hukum dan
memperkaya orang lain adalah sudah dapat merugikan keuangan
negara, sehingga unsur "dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara" seharusnya adalah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum; dengan demikian seharusnya majelis
hakim menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana
didakwakan.
lxxxix
Berdasarkan alasan nomor 3(a) angka 1, alasan nomor 5(d) dan
alasan nomor 5(f) tersebut, menurut penulis majelis hakim (judex
facti) telah melampaui batas wewenang karena dalam pertimbangan
tersebut tidak ada unsur yuridisnya. Pertimbangan majelis hakim
(judex facti) tersebut hanyalah sebuah pendapat atau opini mengenai
pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana (delik) korupsi oleh
pemerintah atau dengan kata lain majelis hakim (judex facti) telah
menilai kinerja pemerintah selama ini dalam rangka penegakan hukum
tindak pidana (delik) korupsi. Pertimbangan majelis hakim (judex
facti) tersebut tidak ada hubungannya dengan perkara korupsi yang
telah diperiksa dalam hal ini perkara korupsi Bank Mandiri dengan
terdakwa E.C.W Neloe, I Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan.
Berpedoman pada Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang pada
intinya bahwa majelis hakim (judex facti) mengadakan musyawarah
untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan
segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan persidangan. Jadi
menurut KUHAP putusan yang akan dijatuhkan majelis hakim (judex
facti) harulah berdasarkan surat dakwaan dan segala sesuatu yang
telah terbukti selama persidangan atau memberikan penilaian terhadap
segala sesuatu yang terbukti bukan menilai kinerja pemerintah dalam
hal penegakan hukum tindak pidana (delik) korupsi. Menurut
pendapat penulis salah atau keliru apabila majelis hakim (judex facti)
memasukkan unsur pertimbangan yang non jurudis apalagi tidak ada
hubungannya dengan perkara yang telah diperiksanya.
Berpedoman pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Segala putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
xc
memuat pula Pasal tertentu dari peraturan Perundang-Undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili”. Jadi menurut hukum positif baik KUHAP maupun
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
tidak mengakomodir tentang ketentuan non yuridis yang dapat
dijadikan dasar pertimbangan di dalam menjatuhkan suatu putusan.
Untuk alasan nomor 3(a) angka 2, dan alasan nomor 5(e)
menurut penulis majelis hakim (judex facti) telah melampaui batas
wewenang yaitu wewenang absolut. Majelis hakim (judex facti) telah
melakukan uji materiil terhadap kata “dapat” yang terdapat di dalam
rumusan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Uji
materiil terhadap Undang-Undang merupakan kompetensi absolut atau
wewenang absolut dari Mahkamah Konstitusi hal ini sesuai dengan
Pasal 24c ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” dan
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi pada
intinya sama yaitu “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
xci
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik dan;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Wewenang absolut dari pengadilan negeri adalah menurut Pasal
84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Pengadilan Negeri berwenang
mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam
daerah hukumnya”. Sebagaimana yang telah diatur didalam hukum
positif maka menurut penulis majelis hakim (judex facti) telah
melampaui batas wewenang absolut yaitu melakukan uji meteriil
terhadap kata “dapat” dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi karena salah atau keliru apabila Pengadilan Negeri
melakukan uji meteriil terhadap Undang-Undang yang wewenang
tersebut merupakan wewenang absolut dari kekuasaan kehakiman yang
lain yaitu Mahkamah Konstitusi.
Di negara Indonesia kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh 2
(dua) lembaga negara yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 24 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Pasal 2 Jo Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang pada intinya sama berbunyi “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
xcii
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Tugas dan wewenang dari masing-masing lembaga negara
pemegang kekuasaan kehakiman baik Mahkmah Agung dan Mahkamah
Konstisusi telah diatur di dalam peraturan Perundang-Undangan secara
tegas yaitu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang
No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14
tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Jadi dalam melaksanakan tugas
dan fungsi masing-masing telah ada aturan yang jelas dan tegas. Untuk
alasan nomor 3(a) angka 2 dan alasan nomor 5(e) penulis masukkan ke
dalam alasan pembebasan tidak murni kategori kedua yaitu “melampaui
wewenang absolut maupun relatif dan melampaui wewenang dalam arti
memasukkan dan mempertimbangkan unsur-unsur non yuridis” atau
ketegori alasan kasasi “tidak berwenang atau melampaui batas
wewenang” yaitu Pasal 253 ayat (1) huruf c KUHAP atau Pasal 30 ayat
(1) huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang No.
3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung.
Berdasarkan penjelasan penulis di atas maka alasan pembebasan
tidak murni telah terpenuhi. Alasan pembebasan tidak murni yang telah
terpenuhi yaitu majelis hakim (judex facti) telah salah atau keliru
menafsirkan unsur tindak pidana (delik) korupsi yaitu unsur “dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang disebut
dalam surat dakwaan, majelis hakim (judex facti) telah melampaui batas
xciii
wewenang yaitu wewenang absolut kerena telah melakukan uji materiil
terhadap kata “dapat” dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dan majelis hakim (judex facti) telah turut
mempertimbangkan dan memasukkan unsur-unsur non yuridis yaitu
pendapat tentang pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana (delik)
korupsi oleh pemerintah Republik Indonesia selama ini.
Yang kedua harus dilakukan jaksa penuntut umum adalah
menguraikan alasan kasasi dengan berpedoman pada Pasal 253 ayat (1)
KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Berdasarkan
alasan kasasi jaksa penunut umum di atas yang termasuk alasan kasasi
kategori Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP atau Pasal 30 ayat (1) huruf
b Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun
2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung. yaitu “peraturan hukum tidak diterapkan
atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya atau salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku” menurut penulis adalah alasan nomor
1(a), 1(b), 1(d), 4(a), 4(b), 4(c), 5(g).
Dalam alasan nomor 1(a) diterangkan oleh jaksa penuntut umum
bahwa pertimbangan majelis hakim (judex facti) sebagai berikut :
1) Menimbang bahwa benar menurut majelis hakim, bahwa pemberian
kredit itu termasuk dalam lingkup perjanjian (contract) yang
merupakan lingkup hukum perdata;
xciv
2) Menimbang bahwa oleh karena pemberian kredit itu adalah suatu
perjanjian, maka seharusnya persoalan ini juga harus dilihat secara
utuh dan menyeluruh tidak dipotong-potong, diawali dari SPK, nilai
besaran kreditnya, persyaratan yang ditentukan dalam Surat
Perjanjian Pemberian Kredit adanya restrukturisasi dan yang paling
penting adalah kapan waktu jatuh tempo pelunasan terjadi kredit
tersebut.
Berpedoman pada pertimbangan majelis hakim (judex facti)
tersebut menurut pendapat penulis majelis hakim (judex facti) tidak
menerapkan peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak
sebagaimana mestinya karena apabila dalam pertimbangannya majelis
hakim (judex facti) menilai bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh
para terdakwa merupakan ruang lingkup perjanjian (contract) yang
berarti masuk kedalam bidang hukum perdata maka berdasarkan Pasal
191 ayat (2) KUHAP maka putusan yang seharusnya dijatuhkan
terhadap para terdakwa adalah putusan lepas dari segala tuntutan
hukum bukan putusan bebas. Jadi jelas bahwa putusan majelis hakim
(judex facti) yang membebaskan para terdakwa adalah salah atau keliru,
kerena putusan bebas berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP adalah
apabila dari hasil pemeriksaan persidangan kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya secara sah dan meyakinkan
tidak terbukti maka terdakwa diputus bebas.
Putusan yang dijatuhkan majelis hakim (judex facti)
bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku dimana KUHAP
sebagai hukum positif sudah mengatur secara tegas tentang jenis-jenis
putusan yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan yaitu putusan bebas
Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan lepas dari segala tuntutan hukum
xcv
Pasal 191 ayat (2) KUHAP, putusan pemidanaan Pasal 193 ayat (1)
KUHAP.
Dalam alasan nomor 1(b) jaksa penuntut umum menerangkan
bahwa unsur setiap orang, unsur yang dengan melawan hukum hukum,
unsur memperkaya orang lain telah dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan oleh majelis hakim (judex facti) yaitu dalam pertimbangan
majelis hakim (judex facti) halaman 211 paragraf 1 dan paragraf 2.
Berpedoman pada alasan kasasi nomor 1(b) menurut penulis majelis
hakim (judex facti) tidak menerapkan peraturan hukum sebagaimana
mestinya atau peraturan hukum diterapkan tidak sebagaimana mestinya
karena antara dasar hukum pertimbangan dengan putusan yang
dijatuhkan tidak sesuai disatu sisi majelis hakim (judex facti)
menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan
terbukti tetapi putusan yang dijatuhkan putusan bebas, dan disatu sisi
majelis hakim (judex facti) perpendapat bahwa dakwaan jaksa penuntut
umum terbukti tapi bukan merupakan perbuatan pidana tetapi putusan
yang dijatuhkan putusan bebas.
Pertimbangan majelis hakim (judex facti) antara satu dan yang
lainnya saling bertentangan dan antara pertimbangan dengan jenis
putusan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan KUHAP, karena menurut
Pasal 191 ayat (1) KUHAP apabila dakwaan tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas, Pasal 191 ayat (2)
KUHAP apabila dakwaan terbukti tetapi bukan merupakan tindak
pidana (delik) maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum,
Pasal 193 ayat (1) KUHAP apabila terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan maka terdakwa dijatuhi pidana.
xcvi
Dalam alasan nomor 1(d) jaksa penuntut umum menguraikan
alasan yang pada dasarnya sama dengan alasan nomor 1(a) bahwa
apabila majelis hakim (judex facti) berpendapat bahwa perbuatan
terdakwa bukan merupakan tindak pidana melainkan hubungan
keperdataan maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Menurut penulis alasan ini benar karena sesuai dengan Pasal 191 ayat
(2) KUHAP. Berpedoman pada alasan tersebut maka menurut penulis
majelis hakim (judex facti) tidak menerapkan peraturan hukum atau
menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya.
Dalam alasan nomor 4(a), 4(b), 4(c) jaksa penutut umum
menerangkan bahwa majelis hakim (judex facti) dalam amar
putusannya menyatakan membebaskan para terdakwa tersebut dari
seluruh dakwaan tersebut dan membebankan kepada masing-masing
terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 7.500,00 (tujuh
ribu lima ratus rupiah) (amar putusan butir 2 dan butir 6). Berdasarkan
alasan kasasi tersebut maka menurut penulis majelis hakim (judex facti)
tidak menerapkan peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum
tidak sebagaimana mestinya karena menurut Pasal 222 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi “siapapun yang diputus pidana dibebani biaya perkara
dan dalam hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
biaya perkara dibebankan pada negara”. Jadi apabila majelis hakim
(judex facti) konsisten dengan putusannya maka para terdakwa tidak
dibebani biaya perkara karena KUHAP mengatur demikian secara tegas
dan jelas.
Dalam alasan nomor 5(g) jaksa penuntut umum menerangkan
bahwa majelis hakim (judex facti) telah mengadili perkara a quo di luar
dakwaan jaksa penuntut umum dengan alasan dalam menafsirkan unsur
xcvii
“dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” majelis
hakim (judex facti) menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara. Berdasarkan alasan kasasi tersebut
maka menurut penulis majelis hakim (judex facti) tidak menerapkan
peraturan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana
mestinya karena berdasarkan pada Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang
pada intinya berisi majelis hakim (judex facti) mengadakan
musyawarah sebelum menjatuhkan putusan harus didasarkan atas surat
dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang.
Jadi surat dakwaan menjadi pedoman bagi majelis hakim (judex facti)
dalam malakukan pemeriksaan selama persidangan dan dalam
menjatuhkan putusan.
Berdasarkan alasan kasasi jaksa penuntut umum di atas yang
merupakan alasan kasasi kategori Pasal 253 ayat (1) huruf b KUHAP
yaitu “cara mengadili tidak dilaksanakan menurut Undang-Undang”
menurut penulis adalah alasan nomor 3(a) angka 3. Dalam alasan kasasi
nomor 3(a) angka 3 jaksa penuntut umum menerangkan bahwa :
3(a) angka 3
- Bahwa pertimbangan majelis hakim tersebut memperlihatkan sikap
yang memihak kepada para terdakwa sehingga terbukti dengan sikap
majelis hakim yang demikian, maka majelis hakim telah menyatakan
para terdakwa tidak bersalah melakukan perbuatan korupsi
sebagaimana didakwakan ;
Berdasarkan alasan kasasi tersebut menurut penulis cara
mengadili yang dilakukan majelis hakim (judex facti) tidak
xcviii
dilaksanakan menurut Undang-Undang karena berdasarkan Pasal 158
KUHAP yang berisi yaitu “hakim dilarang menunjukkan sikap atau
mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah
atau tidaknya terdakwa”. Berbeda dengan pendapat jaksa penuntut
umum bahwa alasan nomor 3 (a) angka 3 dikategorikan sebagai alasan
bahwa majelis hakim (judex facti) telah melampaui batas
wewenangnya. Menurut penulis ketentuan yang diatur berdasarkan
Pasal 158 KUHAP itu berhubungan atau termasuk cara yang harus
dilakukan oleh majelis hakim (judex facti) dalam memeriksa perkara
atau menjalankan suatu proses peradilan. Tidak boleh menunjukkan
sikap mengenai salah atau tidaknya terdakwa di dalam sidang menurut
penulis merupakan cara yang diatur oleh Undang-Undang yaitu
KUHAP dalam menjalankan suatu peradilan khususnya peradilan
pidana.
Sikap atau pernyataan merupakan implementasi dari suatu
ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang yaitu KUHAP
berupa cara, yaitu cara mengadili yang harus diimplementasikan atau
diterapkan oleh majelis hakim (judex facti) dalam proses persidangan.
Apabila jaksa penuntut umum berpendapat bahwa alasan nomor 3(a)
angka 3 masuk ke dalam kategori lampau wewenang maka wewenang
yang mana, wewenang absolut atau relatif. Wewenang absolut berkaitan
dengan wewenang mengadili antar badan peradilan yang berada dalam
naungan Mahkamah Agung yang terdiri dari Pengadilan Negeri,
Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer
dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 2 Jo Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman),
sedangkan wewenang relatif adalah wewenang mengadili antar
pengadilan dalam suatu wilayah hukum tertentu atau wewenang
xcix
mengadili antara satu pengadilan negeri dengan satu pengadilan negeri
yang lain (M. Yahya Harahap, 2002: 92). Menurut penulis salah atau
keliru apabila alasan nomor 3(a) angka 3 dimasukkan ke dalam alasan
lampau wewenang karena tidak bisa dicari alasan wewenang yang mana
yang dilampaui majelis hakim (judex facti).
Berdasarkan alasan jaksa penuntut umum di atas yang
merupakan alasan kasasi kategori Pasal 30 ayat (1) huruf c Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung yaitu “lalai memenuhi syarat yang diwajibkan
peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan” menurut penulis adalah alasan
nomor 5(a), 5(b), dan 5(c). Dalam alasan nomor 5(a), 5(b), jaksa
penuntut umum menerangkan bahwa dalam pertimbangan majelis
hakim (judex facti) hanya mempertimbangkan keterangan saksi a de
charge yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa seperti yang
dituangkan dalam putusan halaman 226 sampai dengan halaman 228
putusan a quo. Berdasarkan alasan jaksa penuntut umum di atas
menurut penulis majelis hakim (judex facti) telah lalai memenuhi syarat
yang diwajibkan peraturan Perundang-Undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan bersangkutan karena menurut
Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP “pertimbangan yang disusun secara
ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa” maka dasar dari suatu pertimbangan adalah harus
berpedoman pada fakta dan keadaan berserta pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan selama persidangan. Fakta yang dimaksud
adalah fakta-fakta yang terungkap dipersidangan berdasarkan hasil dari
pembuktian jaksa penuntut umum.
c
Pembuktian dalam perkara pidana harus berdasarkan alat bukti
yang telah ditetapkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.
Apabila telah terpenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan
Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan memperoleh keyakinan hakim maka
terdakwa dapat atau boleh dijatuhi pidana hal ini sesuai dengan Pasal
183 KUHAP. Dalam majelis hakim (judex facti) hanya memasukkan
pertimbangan berdasarkan saksi a de charge saja maka menurut penulis
tidak tepat kerena semua keterangan yang diberikan ahli di depan
persidangan yang mendukung pembuktian tindak pidana (delik) yang
dilakukan terdakwa haruslah turut dipertimbangkan sebagai dasar
dalam menjatuhkan putusan. Dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP
memuat ketentuan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197
ayat (1) KUHAP yaitu salah satunya ketentuan dalam huruf d
mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hanya saksi a de charge
yang dijadikan pertimbangan menurut penulis hal tersebut melanggar
ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP.
Untuk alasan nomor 5(c) jaksa penuntut umum menerangkan
bahwa majelis hakim (judex facti) tidak mempertimbangkan alat bukti
surat seperti yang tertuang dalam putusan a quo halaman 228 sampai
dengan 229. Menurut penulis tidak mempertimbangkan alat bukti surat
berarti majelis hakim (judex facti) telah melanggar Pasal 197 ayat (1)
huruf d KUHAP karena berdasarkan pasal tersebut pertimbangan
disusun berdasarkan fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh selama pemeriksaan persidangan, mengingat surat merupakan
salah satu alat bukti yang ditetapkan Undang-Undang yaitu Pasal 184
ayat (1) KUHAP maka seharusnya alat bukti surat yang mendukung
ci
pembuktian tindak pidana (delik) yang dilakukan terdakwa turut
dijadikan pertimbangan guna menjatuhkan putusan.
Jadi berdasarkan alasan tersebut untuk alasan nomor 5(a), 5(b)
dan 5(c) penulis masukkan kedalam kategori “lalai memenuhi syarat
yang diwajibkan peraturan Perundang-Undangan yang mengancam
kalalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”. Berbeda
dengan pendapat jaksa penuntut umum bahwa alasan nomor 5(a), 5(b)
dan 5(c) dimasukkan ke dalam kategori “salah menerapkan hukum atau
menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya” yaitu Pasal
197 ayat (1) huruf d KUHAP.
Dalam putusan bebas kasus tindak pidana (delik) korupsi
dengan terdakwa E.C.W Neloe ini maka sesuai dengan Pasal 199 ayat
(1) KUHAP maka surat putusan bukan pemidanaan memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP kecuali huruf
e, f dan h yaitu tuntutan pidana sebagaimana dalam surat tuntutan, pasal
peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar
hukum dari putusan, serta hal memberatkan dan meringankan,
pernyataan kesalahan terdakwa disertai semua unsur yang telah
terpenuhi dalam tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Jadi untuk alasan Pasal 197
ayat (1) huruf d KUHAP tetap berlaku pada putusan bebas. Apabila
tidak dipenuhi maka Pasal 197 ayat (2) KUHAP berlaku dengan akibat
putusan batal demi hukum. Antara Pasal 197 ayat (1) dan Pasal 197
ayat (2) KUHAP saling berhubungan. Menurut penulis salah atau keliru
apabila jaksa penuntut umum hanya melihat Pasal 197 ayat (1) KUHAP
sebagai ketentuan yang berdiri sendiri karena Pasal 197 ayat (1)
cii
KUHAP memiliki akibat yang diatur di dalam Pasal 197 ayat (2)
KUHAP. Berdasarkan alasan tersebut maka alasan nomor 5(a), 5(b) dan
5(c) penulis masukkan ke dalam kategori “lalai memenuhi syarat yang
diwajibkan peraturan Perundang-Undangan yang mengancam kelalaian
itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan”.
Berdasarkan seluruh penjelasan penulis di atas maka alasan
kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang N0. 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung seluruhnya telah terpenuhi. Dengan terpenuhinya
alasan pembebasan tidak murni dan seluruh alasan kasasi Pasal 253
ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun
2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung maka
dapat dijadikan dasar pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah
Agung guna menjatuhkan putusan pada tingkat kasasi terhadap kasus
tindak pidana korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe.
Untuk memudahkan pemahaman terhadap pembahasan penulis di atas
di bawah ini akan penulis paparkan hasil pembahasan rumusan masalah
yang pertama yaitu dasar pemeriksaan kasasi oleh hakim Mahkamah
Agung dalam perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W
Neloe ke dalam bentuk tebel sebagai berikut:
Alasan Kasasi Putusan Bebas
Alasan Pembebasan Tidak Murni dan Alasan Kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP
dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No.
3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung
ciii
A. Alasan Pembebasan Tidak Murni
No Alasan Nomor Kategori Peraturan Yang Dilanggar
1 1(c), 2(a) Penafsiran keliru
terhadap tindak pidana
atau unsur tindak pidana
dalam surat dakwaan.
- Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
- Penjelasan Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
2 3(a) angka 1,
5(d), 5(f)
Memasukkan unsur non
yuridis sebagai dasar
pertimbangan.
- Pasal 182 ayat (4) KUHAP
- Pasal 25 ayat (1) Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan
Kehakiman
3 3(a) angka 2,
5(e)
Melampaui batas
wewenang yaitu
wewenang absolut.
- Pasal 24c ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945
- Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah
Konstitusi
- Pasal 12 ayat (1) Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan
Kehakiman
civ
Tabel. 1
B. Alasan Kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung
No Alasan Nomor Kategori Peraturan Yang Dilanggar
1 1(a), 1(b), 1(d),
4(a), 4(b), 4(c),
5(g)
- Peraturan hukum tidak
diterapkan atau
diterapkan tidak
sebagaimana mestinya
(Pasal 253 ayat (1)
huruf a KUHAP) atau;
- Salah menerapkan
hukum atau melanggar
hukum yang berlaku
(Pasal 30 ayat (1)
huruf b Undang-
Undang No. 5 Tahun
2004 Jo Undang-
Undang No. 3 Tahun
2009 Tentang
Perubahan atas
Undang-Undang No.
14 tahun 1985
- Pasal 182 ayat (4) KUHAP
- Pasal 191 ayat (2) KUHAP
- Pasal 222 ayat (1) KUHAP
cv
Tentang Mahkamah
Agung).
2 3(a) angka 2,
5(e)
Tidak berwenang atau
melampaui batas
wewenang yaitu
wewenang absolut
(Pasal 253 ayat (1)
huruf c KUHAP atau
Pasal 30 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No. 5
Tahun 2004 Jo Undang-
Undang No. 3 tahun
2009 Tentang
Perubahan atas Undang-
Undang No. 14 tahun
1985 Tentang
Mahkamah Agung).
- Pasal 24 c ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945
- Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah
Konstitusi
- Pasal 12 ayat (1) Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan
Kehakiman
3 3(a) angka 3 Cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut
Undang-Undang (Pasal
253 ayat (1) huruf b
KUHAP).
Pasal 158 KUHAP
4 5(a), 5(b), 5(c) Lalai memenuhi syarat
yang diwajibkan
peraturan Perundang-
Undangan yang
mengancam kelalaian
itu dengan batalnya
putusan yang
bersangkutan (Pasal 30
Pasal 197 ayat (1) huruf d
KUHAP
cvi
ayat (1) huruf c
Undang-Undang No. 5
Tahun 2004 Jo Undang-
Undang No. 3 Tahun
2009 Tentang
Perubahan atas Undang-
Undang No. 14 tahun
1985 Tentang
Mahkamah Agung).
Tabel. 2
Anatomi alasan kasasi jaksa penuntut umum terdiri dari 5 nomor yaitu:
1) 1 (a, b, c, d)
2) 2 (a)
3) 3 (a)
4) 4 (a, b, c)
5) 5 (a, b, c, d, e, f, g)
Seluruh alasan kasasi jaksa penuntut umum tersebut telah
penulis masukkan ke dalam seluruh alasan kasasi terhadap putusan
bebas yaitu alasan pembebasan tidak murni dan alasan kasasi Pasal 253
ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun
2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang
telah disertai dengan alasan dan penjelasannya.
2. Penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai
dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam
perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe.
cvii
Dalam pemeriksaan perkara di tingkat kasasi berpedoman pada alasan
kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No.
5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim Mahkamah Agung
berdasarkan penilaian pada alasan kasasi (memori kasasi) yang diajukan oleh
jaksa penuntut umum maupun alasan kasasi (kontra memori kasasi) yang
diajukan oleh kuasa hukum dari terdakwa. Penilaian terhadap alasan kasasi
atau memori kasasi dan kontra memori kasasi tersebut dijadikan dasar dalam
menentukan putusan terhadap perkara yang dimintakan kasasi.
Sebelum menjatuhkan putusan pada tingkat kasasi majelis hakim
Mahkamah Agung melakukan penilaian terhadap alasan kasasi atau memori
kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dan alasan kasasi (kontra
memori kasasi) yang diajukan oleh pengacara atau kuasa hukum terdakwa.
Berdasarkan pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung terhadap alasan
kasasi terdakwa (kontra memori kasasi terdakwa) yaitu mengenai alasan
kasasi ke-1 dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat majelis hakim
Mahkamah Agung alasan kasasi terdakwa ini tidak dapat dibenarkan karena
majelis hakim (judex facti) telah melakukan kesalahan dalam menafsirkan
pengertian “setiap orang” dengan “pengertian pelaku”. Menurut majelis
hakim Mahkamah Agung para terdakwa yang telah dihadirkan dipersidangan
termasuk pengertian “setiap orang atau perorangan sebagai pendukung hak
dan kewajiban yang dapat diminta pertanggungan jawab atas semua
perbuatan yang dilakukannya, kerena itu “unsur setiap orang” dalam rumusan
delik tersebut telah terpenuhi. Jadi majelis hakim (judex facti) telah
melakukan kesalahan dalam menafsirkan unsur setiap orang.
cviii
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk
korporasi, jadi para terdakwa yaitu Edward Cornellis William Neloe, I Wayan
Pugeg, dan M. Tasripan, SE, MM adalah orang perseorangan yang menurut
penulis termasuk ke dalam pengertian setiap orang. Di dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur secara tegas mengenai
pengertian setiap orang jadi dalam menafsirkannya harus sesuai dengan
Undang-Undang tersebut dan tidak perlu menafsirkan lain.
Mengenai alasan-alasan kasasi ke-2 dan ke-3 dapat disimpulkan
bahwa menurut pendapat majelis hakim Mahkamah Agung alasan kasasi
terdakwa (kontra memori kasasi terdakwa) tidak dapat dibenarkan kerena
tentang “sifat melawan hukum” telah cukup jelas diatur di dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jadi tidak perlu mengutip pendapat
para ahli hukum. Berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “yang dimaksud dengan “secara
melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan Perundang-Undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa
“merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan atau bahwa
tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
cix
Mengenai alasan-alasan ke-4 dan ke-5 majelis hakim Mahkamah
Agung tidak membenarkan alasan tersebut dengan alasan bahwa telah
dianalisis atas dasar fakta-fakta hukum yang ada dan benar. Jadi untuk
keseluruhan alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh terdakwa (kontra
memori kasasi terdakwa) semuanya tidak dibenarkan oleh majelis hakim
Mahkamah Agung.
Untuk alasan kasasi (memori kasasi) yang diajukan oleh jaksa
penuntut umum majelis hakim Mahkmah Agung memberikan pertimbangan-
pertimbangan. Didalam pertimbangan huruf A majelis hakim Mahkamah
Agung memberikan pertimbangan terhadap alasan kasasi jaksa penuntut
umum, dalam pertimbangan huruf B dan C memberikan pertimbangan dasar
hukum dan dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan yaitu dasar-dasar
hukum yang berkaitan dengan kasus korupsi oleh mantan-mantan direktur
Bank Mandiri. Dalam dasar hukum dan pertimbangan huruf B dan C
membahas mengenai terdakwa sebagai subjek hukum dan mengenai
perbankan serta alasan-alasan penjatuhan pidana terhadap para terdakwa.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf A
membenarkan alasan-alasan kasasi jaksa penuntut umum dengan alasan
bahwa majelis hakim (judex facti) telah salah menerapkan hukum. Majelis
hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa jaksa penuntut umum dapat
membuktikan bahwa putusan Pengadilan Negeri bukan putusan bebas murni
karena dasar-dasar pertimbangan “judex facti” adalah pemberian kredit yang
termasuk di dalam ruang lingkup hukum perdata jadi menurut majelis hakim
Mahkamah Agung perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa adalah
terbukti namun temasuk ke dalam ruang lingkup hukum perdata maka
seharusnya putusan yang di jatuhkan adalah lepas dari segala tuntutan hukum.
Menurut penulis pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung telah sesuai
dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
cx
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf A angka
1 menjelaskan bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum atau
menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya kerena lebih menekankan
pada aspek hukum perdata. Menurut pendapat penulis pertimbangan majelis
hakim Mahkamah Agung benar karena titik tekan atau fokus dari kasus yang
diperiksa judex facti adalah perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh para terdakwa, yaitu memberikan kredit bridging loan sebesar Rp.
160.000.000.000,00 (160 Milyar Rupiah) yang menyalahi prosedur Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankkan dan Kebijakan Perkreditan
Bank Mandiri kepada PT. Cipta Graha Nusantara jadi fokusnya pada
perbuatan yang telah dilakukan oleh para terdakwa sebagai pemutus kredit
bukan pada perjanjian kredit atau kontraknya.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf A angka
2 menjelaskan bahwa judex facti telah keliru dalam menerapkan hukum
khususnya didalam pembahasan “sifat melawan hukum”, dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan pengertian yang
jelas tentang sifat melawan hukum jadi tidak perlu mengutip dari pendapat
para ahli hukum. Menurut penulis pertimbangan majelis hakim Mahkamah
Agung benar karena dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
telah diatur tentang sifat melawan hukum untuk tindak pidana (delik) korupsi
yaitu dalam sifat melawan hukum yang materiil dan sifat melawan hukum
yang formil (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi). Jadi apabila dalam Undang-Undang nya sudah diatur secara
tegas dan jelas tidak perlu mencari pengertian atau pendapat lain.
cxi
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf A angka
3 menjelaskan bahwa judex facti telah melampaui wewenangnya karena
memberikan penilaian atas kebijakan pemerintah dalam praktek
pemberantasan tindak pidana (delik) korupsi . Menurut pendapat penulis
pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung benar karena menilai
kebijakan pemerintah bukan merupakan kompetensi atau wewenang dari
pengadilan negeri hal ini sesuai dengan Pasal 84 ayat (1) KUHAP
“Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak
pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf A angka
4 menjelaskan bahwa judex facti telah melakukan uji materiil terhadap salah
satu pasal dari Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu
mengusulkan kata “dapat” dihapuskan dari pasal tersebut. Menurut pendapat
penulis pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung benar karena dengan
mengusulkan kata “dapat” untuk dihapuskan berarti majelis hakim judex facti
telah melakukan uji meteriil terhadapat kata “dapat” dalam Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan hal tersebut adalah salah atau
keliru. Melakukan uji materiil Undang-Undang adalah wewenang absolut dari
Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 24c ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 12 ayat
(1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam pertimbangan mejelis hakim Mahkamah Agung huruf B angka
1 menjelaskan bahwa para terdakwa adalah subjek hukum yang berwenang
untuk memutuskan diberi atau tidak diberikannya kredir kepada debitur.
cxii
Menurut pendapat penulis pertimbangan majelis Mahkamah Agung benar
karena para terdakwa yaitu E.C.W Neloe adalah mantan Direktur Utama PT.
Bank Mandiri (Persero) Tbk, I Wayan Pugeg adalah mantan Direktur Risk
Management PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, dan M. Sholeh Tasripan
adalah mantan EVP Coordinator Corporate & Goverment yang
berkedudukan sebagai pemutus kredit diberikannya kredit sebesar Rp.
160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah) kepada saksi Edyson
Direktur Utama PT. Cipta Graha Nusantara.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf B angka
2 menjelaskan bahwa terdakwa harus atau wajib memenuhi atau tidak
melanggar Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Pebankkan dan ketentuan khusus
PT. Bank Mandiri yang dituangkan dalam Kebijakan Perkreditan Bank
Mandiri (KPBM). Menurut pendapat penulis pertimbangan majelis hakim
Mahkamah Agung benar karena berdasarkan fakta persidangan yang tertuang
pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2068/Pid.B/2005/PN.
Jak Sel tanggal 20 Februari 2006 menyatakan bahwa perbuatan terdakwa
telah terbukti tetapi perbuatan itu termasuk ke dalam ruang lingkup hukum
perdata, dapat diartikan bahwa perbuatan para terdakwa memberikan kredit
sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (160 Milyar) kepada PT.Cipta Graha
Nusantara yang melanggar Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankkan dan ketentuan khusus PT. Bank Mandiri yang dituangkan dalam
KPBM adalah terbukti.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf B angka
3 menjelaskan bahwa terdakwa telah melanggar prinsip kehati-hatian serta
asas perkreditan yang sehat pada hakekatnya telah mengabaikan prinsip-
prinsip “Good Corporate Governance” yang berada dalam ranah Undang-
cxiii
Undang Perbankkan, dan kemudian mengakibatkan timbulnya kerugian
negara yang jumlahnya amat besar. Menurut pendapat penulis pertimbangan
mejelis hakim Mahkamah Agung benar karena yang menjadi titik persoalan
dalam perkara ini adalah pemberian kredit yang melanggar aturan Undang-
Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 Tentang Pebankkan dan ketentuan khusus PT. Bank Mandiri
yang dituangkan dalam Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) dan
perbuatan tersebut termasuk ke dalam ranah hukum pidana yaitu tindak
pidana (delik) korupsi seperti yang diatur di dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi bukan kepada perjanjian (contract) kreditnya yang
termasuk ke dalam ruang lingkup perdata.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C yang
terdiri dari sembilan dasar pertimbangan yang berhubungan dengan kasus
korupsi para terdakwa yang khususnya pada pertimbangan mengenai
perbankkan, pertanggungjawaban para terdakwa sebagai direksi, perbuatan
para terdakwa, dan persoalan jatuh tempo. Dalam pertimbangan huruf C
angka 1 majelis hakim Mahkamah Agung menjelaskan bahwa Bank Mandiri
sebagai badan hukum keperdataan dimana dalam hal direksi melakukan
tindak pidana maka dapat dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum
pidana hal tersebut seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 tahun
1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang
Pebankkan. Dalam Undang-Undang Perbankkan diatur tentang sanksi pidana
dan sanksi administratif yang dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila
ada ketentuan yang dilanggar oleh dewan komisaris, direksi, atau pegawai
bank. Dalam pertimbangan huruf C angka 2 majelis hakim Mahkamah Agung
menjelaskan bahwa Bank Mandiri sebagai badan usaha “bank” sebagai bank
yang harus tunduk dengan peraturan Perundang-Undangan perbankkan yaitu
Undang-Undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
cxiv
No. 7 Tahun 1992 Tentang Pebankkan dan berdasarkan Undang-Undang
tersebut direksi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C angka
3 menjelaskan bahwa Bank Mandiri sebagai PT. Terbuka yang merupakan
milik negara atau sebagai BUMN dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan
mengenai penyelenggaraan pemerintahan seperti ketentuan tentang
pemberantasan korupsi. Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah
Agung huruf C angka 4 menjelaskan bahwa sebagai BUMN yang mengelola
kekayaan negara maka tindakan melawan hukum yang dilakukan direksi atau
pegawai Bank Mandiri yang merugikan atau dapat merugikan Bank Mandiri
dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi. Dalam pertimbangan majelis
hakim Mahkamah Agung huruf c angka 5 menjelaskan bahwa perbuatan para
terdakwa sebagai suatu yang tidak semata menyalahgunakan wewenang yaitu
menggunakan wewenang tidak sesuai tujuan, tetapi sebagai perbuatan di luar
hukum (out of law), karena itu bersifat sewenang-wenang (willekeur atau
arbitrary). Terdakwa meletakkan diri diatas hukum, bukan tunduk pada
hukum.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C angka
6 menjelaskan bahwa alasan tindakan, untuk menghindari Bank Mandiri akan
dituntut membayar sejumlah US.$. 31 juta adalah suatu alasan yang dibuat-
buat, karena bukan Bank Mandiri sebagai pemegang saham PT. Tahta Medan,
Pemegang saham adalah “Dana Pensiun Bank Mandiri”, suatu badan yang
mempunyai kedudukan hukum di luar Bank Mandiri (lihat keterangan
Komisaris Dana Pensiun Bank Mandiri). Dalam pertimbangan majelis hakim
Mahkamah Agung huruf C angka 7 menjelaskan bahwa persetujuan para
terdakwa dalam pengalihan utang pemohon kredit bertentangan dengan
logika atau akal sehat kerena PT. Tahta Medan dijual BPPN kerena
cxv
bermasalah dan tidak masuk akal apabila semua pinjaman pemohon kredit
dialihkan dan apakah mampu PT. Tahta Medan membayar kepada Bank
Mandiri, walaupun sudah mampu membayar itupun dilakukan tidak tepat
waktu.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C angka
8 menjelaskan bahwa mengenai pinjaman yang belum jatuh tempo, persoalan
hukum yang dihadapi adalah perbuatan para terdakwa yang merugikan negara
bukan soal jatuh tempo. Menurut penulis pertimbangan majelis hakim
Mahkamah Agung benar karena persoalan hukum dalam kasus ini adalah
perbuatan para terdakwa yang termasuk kedalam tindak pidana (delik)
korupsi bukan pada perjanjian (contract) kreditnya yang belum jatuh tempo.
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung huruf C angka 9
menjelaskan bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum yaitu dalam
unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” karena
unsur tersebut telah secara jelas terbukti dan perbuatan para terdakwa tersebut
telah selesai secara sempurna walaupun baru akan jatuh tempo tahun 2007.
Menurut penulis unsur “dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” jelas terbukti hal tersebut dapat dilihat dari pemberian
kredit bridging loan sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh
milyar rupiah) kepada PT. Cipta Graha Nusantara guna pembelian PT.Tahta
Medan dan membangun tiara tower dari PT. Tri Manunggal Mandiri Persada
yang mendapat sisa kredit sebesar Rp. 63.000.000.000,00 (enam puluh tiga
milyar rupiah) karena perbuatan para terdakwa dan pembangunan tiara tower
yang sampai saat ini terlantar jadi sudah sangat jelas adanya kerugian negara
(melanggar Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankkan).
cxvi
Majelis hakim Mahkamah Agung mempertimbangkan juga bahwa
semua unsur dakwaan primair jaksa penuntut umum telah terbukti secara sah
dan meyakinkan karena pemohon kasasi jaksa penunutut umum dapat
membuktikan bahwa judex facti telah salah menerapkan hukum pembuktian
dan pembebasan terdakwa bukanlah bebas murni, tidak ada alasan pemaaf
dan pembenar bagi terdakwa, hal yang memberatkan:
1. Para Terdakwa sebagai orang-orang yang secara profesional telah
berpengalaman berpengetahuan mengenai seluk beluk perbankan
melakukan perbuatan yang tercela, yang menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap perbankan ;
2. Jumlah kredit yang besar yang diberikan dalam keadaan kondisi Negara
dan masyarakat membutuhkan pembangunan ekonomi kerakyatan,
diberikan kepada pengusaha yang tidak bergerak di bidang usaha yang
produktif, dan cenderung KKN ;
3. Para Terdakwa sengaja melakukan perbuatan yang melanggar asas
kehatihatian, ketertiban umum dan nilai-nilai kepatutan ;
4. Dalam kondisi Negara sedang giat-giatnya memberantas korupsi,
malahan terdakwa melakukan perbuatan korupsi ;
Hal-hal yang meringankan :
- Para terdakwa belum pernah dihukum ;
Berikut ini penulis akan memaparkan bentuk dan jenis tindak pidana
korupsi dalam kasus korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe, I
Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan. Menurut pendapat penulis perbuatan
para terdakwa secara bersama-sama dengan melawan hukum memutus kredit
sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh milyar rupiah) yang
telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara termasuk ke
dalam bentuk tidak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang
lain atau suatu korporasi seperti yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
cxvii
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan para terdakwa
tersebut berdasarkan substansi objek tindak pidana termasuk kedalam jenis
tindak pidana korupsi murni kerena objeknya dalam kasus tersebut adalah
menyangkut keuangan negara dan perekonomian negara. Perbuatan para
terdakwa tersebut berdasarkan substansi subjek hukum tindak pidana korupsi
termasuk ke dalam jenis tindak pidana korupsi umum karena subjek dari
tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut adalah mantan-mantan direktur
Bank Mandiri sebagai perseorangan yang bukan pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena berpedoman pada pertimbangan majelis hakim
huruf C angka 3 yang menjelaskan bahwa Bank Mandiri adalah Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) jadi status pegawainya adalah pegawai swasta.
Perbuatan para terdakwa berdasarkan sumbernya temasuk ke dalam
jenis tindak pidana korupsi yang bersumber pada Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut yang telah dinyatakan
terbukti secara sah dan meyakinkan oleh majelis hakim Mahkamah Agung
memperkaya orang lain yaitu saksi Edyson selaku direktur utama PT. Cipta
Graha Nusantara yang mengakibatkan merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Perbuatan para terdakwa berdasarkan tingkah laku atau
perbuatan dalam rumusan tindak pidana termasuk ke dalam jenis tindak
pidana korupsi aktif karena telah memperkaya orang lain yaitu saksi Edyson
selaku direktur utama PT. Cipta Graha Nusantara dengan cara memberikan
kredit bridging loan sebesar Rp. 160.000.000.000,00 (seratus enam puluh
milyar rupiah).
cxviii
Perbuatan para terdakwa berdasarkan dapat atau tidaknya merugikan
keuangan negara dan atau perekonomian negara termasuk ke dalam jenis
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara kerena telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa adanya kelebihan kredit sebesar
Rp. 63.000.000.000,00 (enam puluh tiga milyar rupiah) yang diperoleh PT.
Tri Manunggal Mandiri Persada dan membangunan tiara tower yang sampai
saat ini terbengkalai jadi kerugian negara jelas ada. Untuk memudahkan
pemahaman atas pembahasan penulis terhadap rumusan masalah yang kedua
yaitu penilaian ada tidaknya kesalahan penerapan hukum oleh judex facti
sebagai dasar pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung
dalam perkara korupsi Bank Mandir dengan terdakwa E.C.W Neloe ke dalam
bentuk tabel sebagai berikut:
Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Untuk Alasan Kasasi (Memori
Kasasi) Jaksa Penuntut Umum
No Pertimbangan Hasil Pertimbangan
1 Huruf A angka 1 Judex facti telah salah menerapkan hukum atau
menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya.
2 Huruf A angka 2 Judex facti keliru dalam menerapkan hukum.
3 Huruf A angka 3 Judex facti telah melampaui batas wewenang.
4 Huruf A angka 4 Judax facti telah melakukan uji materiil Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
5 Huruf B angka 1 Para terdakwa sebagai subjek hukum yaitu pemutus
kredit sebesar Rp. 160.000.000,00 (seratus enam puluh
milayar rupiah) kepada saksi Edyson selaku direktur
utama PT. Cipta Graha Nusantara.
6 Huruf B angka 2 Para terdakwa harus atau wajib memenuhi atau tidak
melanggar Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang
cxix
Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankkan dan ketentuan khusus PT. Bank
Mandiri yang dituangkan dalam Kebijakan Perkreditan
Bank Mandiri (KPBM).
7 Huruf B angka 3 Para terdakwa melanggar Pasal 2 Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 Jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Tentang Perbankkan dan Artikel 530 Kebijakan
Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) yaitu tentang prinsip
kehati-hatian.
8 Huruf C angka 1 Bank Mandiri sebagai badan hukum keperdataan
dimana direksi dapat diminta pertanggungjawaban
menurut hukum pidana.
9 Huruf C angka 2 Bank Mandiri sebagai badan usaha “bank” sebagai bank
dimana direksi melakukan perbuatan melawan hukum
atau perbuatan lain yang bersifat kepidanaan, direksi
dapat diminta pertanggungjawaban pidana.
7 Huruf C angka 3 Bank Mandiri sebagai BUMN yang dapat diberlakukan
ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan seperti ketentuan tentang pemberantasan
korupsi.
8 Huruf C angka 4 Tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh direksi
atau pegawai Bank Mandiri yang merugikan atau dapat
merugikan Bank Mandiri dapat dikategorikan sebagai
perbuatan korupsi.
9 Huruf C angka 5 Perbuatan para terdakwa sebagai suatu yang tidak
semata menyalahgunakan wewenang yaitu
menggunakan wewenang tidak sesuai tujuan, tetapi
sebagai perbuatan di luar hukum (out of law), karena itu
bersifat sewenang-wenang (willekeur atau arbitrary).
Terdakwa meletakkan diri di atas hukum, bukan tunduk
cxx
pada hukum.
10 Huruf C angka 6 Alasan tindakan para terdakwa, untuk menghindari
Bank Mandiri akan dituntut membayar sejumlah US.$.
31 juta adalah suatu alasan yang dibuat-buat, karena
bukan Bank Mandiri sebagai pemegang saham PT.
Tahta Medan, Pemegang saham adalah “Dana Pensiun
Bank Mandiri”, suatu badan yang mempunyai
kedudukan hukum di luar Bank Mandiri (lihat
keterangan Komisaris Dana Pensiun Bank Mandiri).
11 Huruf C angka 7 Persertujuan para terdakwa sangat nyata bertentangan
dengan logika atau akal sehat. PT. Tahta Medan
dikuasai dan kemudian dijual BPPN karena bermasalah.
Apakah masuk akal, kalau semua pinjaman pemohon
kredit dialihkan kepada PT. Tahta Medan yang oleh
BPPN dilelang karena menjadi beban belaka. Apakah
masuk diakal kalau PT Tahta Medan dapat disulap
begitu kilat sehingga mampu membayar kepada Bank
Mandiri, dikatakan PT. Tahta Medan mampu membayar
dibuktikan dengan angsuran tetapi dari jumlah yang
sudah dibayar sangat kecil dibandingkan dengan
kewajiban, itupun dilakukan tidak tepat waktu.
12 Huruf C angka 8 Dikatakan masa pinjaman belum jatuh tempo, persoalan
hukum yang dihadapi adalah perbuatan terdakwa yang
merugikan negara, bukan soal jatuh tempo. Perbuatan
terdakwa yang dengan sengaja melanggar prinsip-
prinsip perbankan seperti asas kehati-hatian
menciptakan pinjaman yang tidak diatur oleh hukum,
tanpa menyetujui pengalihan utang kepada PT. Tahta
Medan yang bermasalah dan lain-lain hal seperti
dipertimbangkan di atas secara nyata telah merugikan
cxxi
Bank Mandiri sebagai Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang tidak lain dari kerugian negara.
13 Huruf C angka 9 Terbukti majelis hakim Judex Facti telah salah
menerapkan hukum, khususnya dalam unsur merugikan
atau dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Bahwa Judex Facti secara jelas
menyatakan karena telah terbukti unsur memperkaya
orang lain atau suatu korporasi yang dalam hal ini PT.
Cipta Graha Nusantara (PT. CGN), karena telah
menerima kucuran dana sebesar Rp. 160.000.000.000,00
(seratus enam puluh milyar rupiah) sebagai akibat dari
perbuatan para terdakwa secara kolektif didalam
jabatannya yang bersifat melawan hukum karena
melanggar prinsip kehati-hatian tidak cermat
sebagaimana digariskan didalam Pasal 2 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 sebagai-mana telah diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 Tentang Perbankkan, sehingga dengan Bridging
Loan PT. Cipta Graha Nusantara (PT. CGN), telah
memperoleh sisa kredit sebesar Rp. 63.000.000.000,00
(enam puluh tiga milyar rupiah) yang kemudian menjadi
keuntungan PT. Tri Manunggal Mandiri sebagai penjual
PT. Tahta Medan kepada PT. Cipta Graha Nusantara,
suatu keuntungan yang didapat karena terdakwa tidak
melaksanakan secara benar asas-asas perbankan yang
mengakibatkan kerugian negara.
14 Dakwaan JPU - Semua unsur-unsur dakwaan primair telah terbukti
secara sah dan meyakinkan karena pemohon kasasi
jaksa penuntut umum telah dapat membuktikan bahwa
Judex Facti telah salah menerapkan hukum
cxxii
pembuktian dan pembebasan para terdakwa bukanlah
pembebasan murni.
- Karena semua unsur dakwaan primair telah terbukti
dan pada diri para terdakwa tidak ada alasan pemaaf
dan pembenar, maka para terdakwa harus bertanggung
jawab atas perbuatannya dan kepada para terdakwa
harus dijatuhi pidana.
15 Hal
Memberatkan
1. Para terdakwa sebagai orang-orang yang secara
profesional telah berpengalaman berpengetahuan
mengenai seluk beluk perbankan melakukan
perbuatan yang tercela, yang menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankkan;
2. Jumlah kredit yang besar yang diberikan dalam
keadaan kondisi negara dan masyarakat
membutuhkan pembangunan ekonomi kerakyatan,
diberikan kepada pengusaha yang tidak bergerak di
bidang usaha yang produktif, dan cenderung KKN;
3. Para terdakwa sengaja melakukan perbuatan yang
melanggar asas kehatihatian, ketertiban umum dan
nilai-nilai kepatutan;
4. Dalam kondisi negara sedang giat-giatnya
memberantas korupsi, malahan terdakwa
melakaukan perbuatan korupsi.
16 Hal
Meringankan
Para terdakwa belum pernah dihukum.
Tabel. 3
Anatomi pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung untuk alasan kasasi
(memori kasasi) jaksa penuntut umum terdiri dari:
1) Haruf A angka (1, 2, 3, 4);
cxxiii
2) Huruf B angka (1, 2, 3);
3) Huruf C angka (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9);
4) Pertimbangan dakwaan jaksa penuntut umum;
5) Hal yang memberatkan;
6) Hal yang meringankan.
Semua pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung di atas telah
penulis paparkan dengan jelas disertai dengan pendapat dan alasannya.
Berdasarkan pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung tersebut maka
penulis simpulkan bahwa ada kesalahan penerapan hukum oleh judex facti yaitu:
1) Salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana
mestinya;
2) Keliru dalam menerapkan hukum;
3) Telah melampaui batas wewenangnya;
4) Telah melakukan uji materiil;
5) Salah menerapkan hukum pembuktian.
Bentuk dan Jenis Tindak Pidana (Delik) Korupsi Kasus Korupsi Bank Mandiri
dengan Terdakwa E.C.W Neloe dkk
No Kategori Bentuk Jenis
1 Berdasarkan
bentuknya.
- Tindak pidana korupsi
dengan memperkaya
diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi
cxxiv
seperti yang diatur di
dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
2 Berdasarkan
substansi objek
tindak pidana
korupsi.
- Tindak pidana korupsi
murni.
3 Berdasarkan
substansi subjek
hukum tindak
pidana korupsi.
- Tindak pidana korupsi
umum.
4 Berdasarkan
sumbernya.
- Tindak pidana korupsi
yang bersumber pada
Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
5 Berdasarkan
tingkah laku atau
perbuatan dalam
rumusan tindak
pidana.
- Tindak pidana korupsi
aktif.
6 Berdasarkan - Tindak pidana korupsi
cxxv
dapat atau
tidaknya
merugikan
keuangan negara
dan atau
perekonomian
negara.
yang dapat merugikan
keuangan negara dan atau
perekonomian negara.
Tabel. 4
cxxvi
BAB IV
Simpulan dan Saran
A. Simpulan
1. Kriteria bahwa judex facti telah melakukan kesalahan dalam menerapkan
hukum sehingga menjadi dasar pemeriksaan kasasi dalam perkara korupsi
Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe.
Telah terpenuhinya semua unsur alasan kasasi untuk putusan bebas pada
perkara korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe yaitu:
a. Alasan Pembebasan Tidak Murni
1) Penafsiran keliru terhadap unsur tindak pidana dalam surat
dakwaan yaitu salah menafsirkan kata “dapat” dan menafsirkan
unsur dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian
negara menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara.
2) Memasukkan unsur non yuridis yaitu memberikan pendapat dan
penilaian terhadap kinerja pemerintah selama ini dalam
cxxvii
penegakan hukum perkara-perkara korupsi di Indonesia, yang
dimasukkan sebagai pertimbangan putusan judex facti.
3) Melampaui batas wewenang, yaitu wewenang absolut karena
melakukan uji meteriil terhadap kata “dapat” dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Alasan Kasasi Pasal 253 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 ayat (1)
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 3 Tahun
2009 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung.
1) Peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya atau salah menerapkan atau melanggar
hukum yang berlaku yaitu menyatakan perbuatan terdakwa masuk
dalam ruang lingkup hukum perdata tapi diputus bebas, dakwaan
terbukti tapi diputus bebas, diputus bebas tapi dalam amar
putusan diperintahkan membayar biaya perkara.
2) Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut Undang-Undang
yaitu menunjukan sikap yakin bahwa para terdakwa tidak
bersalah dalam persidangan.
3) Melampaui batas wewenang yaitu wewenang absolut karena
melakukan uji materiil terhadap kata “dapat” dalam Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4) Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan peraturan Perundang-
Undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan yaitu hanya mempertimbangkan saksi
cxxviii
a de charge yang diajukan oleh kuasa hukum terdakwa dan tidak
mempertimbangkan alat bukti surat.
2. Ada kesalahan penerapan hukum oleh judex facti sebagai dasar
pemeriksaan perkara kasasi oleh hakim Mahkamah Agung dalam perkara
korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe yaitu:
Berdasarkan pertimbangan hakim Mahkamah Agung bahwa judex facti:
a) Salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana
mestinya;
b) Keliru dalam menerapkan hukum;
c) Telah melampaui batas wewenangnya;
d) Telah melakukan uji materiil;
e) Salah menerapkan hukum pembuktian.
Tindak pidana korupsi Bank Mandiri dengan terdakwa E.C.W Neloe dkk
termasuk ke dalam bentuk tidak pidana korupsi dengan memperkaya diri
sendiri, orang lain atau suatu korporasi seperti yang diatur di dalam Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan ke
dalam beberapa kategori jenis tindak pidana korupsi yaitu:
1) Tindak pidana korupsi murni;
2) Tindak pidana korupsi umum;
3) Tindak pidana korupsi yang bersumber pada Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
cxxix
4) Tindak pidana korupsi aktif;
5) Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara dan
atau perekonomian negara.
B. Saran
1. Untuk para praktisi hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim agar lebih hati-
hati dan cermat dalam mengkaji dan menilai suatu perkara yang sedang
ditangani baik dalam tingkat penyidikan, penuntutan, pada tahap
penjatuhan putusan sampai pada upaya hukum agar selalu mencerminkan
keadilan dan kepastian hukum guna mengembalikan kepercayaan
masyarakat pada hukum dan instansi penegak hukum.
2. Agar para penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim diharapkan
memiliki dan meningkatkan kemampuan, kualitas pengetahuan hukum
yang layak dan cukup agar memperkecil tingkat kesalahan dalam
penanganan perkara-perkara pidana pada khususnya misalnya banyak
dibekali dengan pendidikan dan pelatihan kemahiran dan sebagainya.
3. Para penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim harus dibekali dengan
pengetahuan hukum dan pengetahuan penunjang yang up to date agar
penanganan terhadap kasus-kasus yang merupakan tindak pidana khusus
yang sedang marak terjadi bisa menghasilkan suatu putusan yang
berkualitas jangan sampai terjadi seperti dalam kasus yang penulis angkat
diatas bahwa jaksa penuntut umum dalam mengklasifikasikan alasan
kasasi masih belum tepat dan tidak disertai dengan dasar hukum, judex
facti dalam memutus perkara masih bingung atau campur aduk antara
perkara pidana dan perdata, antara pertimbangan yang satu dengan
pertimbangan yang lain saling bertentangan, tidak menerapkan KUHAP
yang sebenarnya adalah hal pokok dalam penegakan hukum pidana, tidak
cxxx
memiliki kemampuan analisis yang tajam dan tepat dalam setiap
penggunaan dasar hukum bagi pertimbangan dalam menjatuhkan putusan.
4. Dalam pemilihan perekrutan bagi penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan
hakim khususnya harus dilakukan dengan jujur dan cermat karena untuk
penegak hukum dibutuhkan orang-orang yang berkualitas pintar dan
cerdas secara intelektual dan punya kepribadian yang baik dan luhur guna
mewujudkan keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.