UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …
Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS TERHADAP …
1
UNIVERSITAS INDONESIA
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSEKUSI PUTUSAN PEMELIHARAAN
ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUANYA
(Studi Kasus: Perceraian Dhani Ahmad Prasetyo dengan Maia Estianty
dengan Nomor Putusan Perkara: 1514/Pdt.G/2007/PAJS)
NASKAH RINGKAS
ZASKIA RIDYANTI PUTRI
0906627625
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK
JANUARI 2013
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
2
ABSTRAK
Nama : Zaskia Ridyanti Putri
Program Studi : Program Kekhususan Hukum tentang Sesama Anggota
Masyarakat
Judul :Tinjauan Yuridis Terhadap Eksekusi Putusan Pemeliharaan Anak
Akibat Perceraian Orang Tuanya (Studi Kasus: Perceraian
Dhani Ahmad Prasetyo dengan Maia Estianty dengan Nomor
Putusan Perkara: 1514/Pdt.G/2007/PAJS).
Perceraian merupakan salah satu peristiwa dalam hidup yang tidak diinginkan
oleh siapapun. Selain berdampak kepada masing-masing pihak, anak seringkali
menjadi pihak yang terkena dampak dari perceraian. Salah satu dampak yang paling
sering terjadi, yang menimpa anak, adalah mengenai pelimpahan hak atas
pemeliharaan anak. Salah satunya kasus yang penulis angkat ke dalam skripsi
penulis. Dalam studi kasus dalam skripsi penulis, hak pemeliharaan atas anak jatuh ke
pihak istri namun sampai saat penulis menulis skripsi ini ketiga anak mantan
pasangan suami istri tersebut masih berada di tangan sang mantan suami. Pihak yang
memiliki hak asuh anak seolah tidak berdaya dalam mengupayakan sebuah upaya
hukum guna bersama anak-anaknya padahal sudah jelas hak atas pemeliharaan anak
jatuh ke tangan nya. Pada skripsi penulis, penulis meninjau aspek yuridis dari
eksekusi anak atas hak pemeliharaan atas anak yang timbul akibat perceraian.
Kata kunci: pemeliharaan anak, eksekusi, hak, perceraian.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
3
ABSTRACT
Name : Zaskia Ridyanti Putri
Study Program : Specific Program of Law about the Relationship between
Peer of Community Member
Title : The Law Review on the Execution of the Decision of Child
Custody Due to Parental Divorce (Case Study: Case Divorce
between Ahmad Dhani Prasetyo and Maia Estianty with
Number of Case Decision: 1514/Pdt.G/2007/PAJS).
Divorce is one of the events in life that is not wanted by anyone. In addition to
the impact of each party, children are more likely to be affected by divorce. One of
the effects, that most commonly affect the children, is the transfer of rights over child
care/custody. One of these cases the authors adopted into this thesis. In the case study
of this thesis, custody of the children fell into the wife but to date the author wrote
this essay, three sons of former spouse are still in the hands of her ex-husband. Parties
who have custody of children as helpless in pursuing a legal remedy to their children
when it was clear the rights for the maintenance of children falling into their hands. In
this thesis, the legal aspects of the execution of the child to the custody of the
children resulting from divorce is analyzed and reviewed.
Keywords: Child custody, execution, right, divorce.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
4
PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1. Perkawinan merupakan
suatu ikatan yang sakral dimana di dalamnya terdapat kewajiban dan hak yang
dimiliki oleh masing-masing pihak, yaitu suami dan istri. Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengenal azas keseimbangan dalam perkawinan
dimana suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Azas
keseimbangan tersebut terurai dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini berbeda dengan apa yang di atur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dimana seorang istri tidak mempunyai kecapakan dimata
hukum. Perihal Perkawinan telah diatur menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan
Pemerintah no. 9 Tahun 1975.
Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang pengaturan Hak Asuh Anak, penulis
mengangkat masalah perkawinan yaitu perceraian Dhani Ahmad Prasetyo dengan
Maia Estianty. Penulis membahas kasus tersebut menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai
pelaksana Undang-undang Perkawinan, dan Undang-Undang No. 23 tentang
Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Kitab Undang-Undang
Hukum Pertada (KUH Perdata) sebagai akibat dari suatu perkawinan. Dhani Ahmad
Prasetyo adalah lelaki beragama Islam yang mempunyai pekerjaan sebagai
wiraswasta, dalam hal ini artis, yang merupakan pihak Tergugat dalam kasus
perceraian dengan mantan istrinya. Sedangkan Maia Estianty ialah seorang wanita
beragama Islam, yang memiliki pekerjaan yang sama dengan mantan suaminya, yang
dalam proses cerai ini merupakan pihak Penggugat. Mantan pasangan suami istri ini
menikah di Kantor Urusan Agama Tegalsari, Surabaya pada tanggal 26 Mei 1997,
1 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun 1974, TLN No.
3019, pasal 1.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
5
setelah sebelumnya menikah secara Islam pada tanggal 17 November 19962. Kasus
perceraian yang menimpa mantan pasangan suami istri ini termasuk ke dalam kasus
yang menempuh proses yang cukup lama. Perkara ini terus berlanjut sampai ke
tingkat Mahkamah Agung akibat ketidakpuasan Ahmad Dhani terhadap putusan
pengadilan yang menjatuhkan Hak Asuh Anak-anaknya kepada Maia Estianty.
Sebelum menggugat cerai ke Pengadilan Agama, Maia dan Dhani terlibat perang
dingin. Mereka saling adu argumen di media dan saling tuduh. Maia menuding Dhani
memiliki hubungan khusus dengan Mulan. Sedangkan Dhani menuduh wanita asal
Surabaya itu berselingkuh dengan salah satu pemilik televisi swasta di Indonesia.
Merasa yakin rumah tangganya tak bisa diperbaiki, akhirnya Maia menggugat cerai
Ahmad Dhani ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada 16 November 2007.
Perceraian pasangan ini juga diwarnai dengan aksi saling melapor ke polisi.
Maia melaporkan Dhani kepolisi dengan tuduhan melakukan kekerasan dalam rumah
tangga. Proses perceraian mereka juga berjalan alot karena pasangan ini saling tak
mau mengalah. Proses perceraian Ahmad Dhani dengan Maia Estianty yang
menyangkut harta gono gini juga mempersulit keadaan. Setelah meminta agar Maia
ikut menanggung hutang milyaran rupiah, Dhani melakukan somasi menuntut istrinya
itu membeberkan kekayaannya. Jika tidak bersedia, Maia dianggap menggelapkan
harta dan akan dilaporkan pidana. Menanggapi gugatan balik pihak Dhani, yang
meminta Maia agar ikut menanggung hutang bernilai puluhan milyar rupiah, pihak
Maia mempersilakan agar hal itu dibuktikan di Pengadilan. Persidangan mereka
merupakan persidangan yang paling lama hampir berjalan satu tahun lebih. Akhirnya,
Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan gugatan cerai yang diajukan
Maia pada 23 September 2008 dengan Nomor Putusan Perkara:
1514/Pdt.G/2007/PAJS. Dalam putusan perceraian Ahmad Dhani dan Maia Estianty
itu hakim juga memutuskan Hak Asuh Anak jatuh pada Maia dan Dhani wajib
memberikan nafkah untuk anak-anaknya sebesar Rp7.500.000/bulan bagi satu anak.
Bila memperhatikan amar putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan jelas
2 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
6
sudah bahwa Hak Asuh Anak jatuh kepada Maia Estianty dan Ahmad Dhani wajib
menafkahi anak mereka sebesar Rp7.500.000/bulan untuk satu orang anaknya. Meski
demikian, Maia tak bisa bersama ketiga anaknya. Hal ini merupakan suatu
kejanggalan yang terjadi dalam proses eksekusi Hak Asuh Anak tersebut. Dhani tak
memberikan izin Maia mendekati anak-anaknya padahal sudah jelas bahwa Hak Asuh
Anak jatuh ke tangan Maia Estianty. Mereka pun berseteru soal perebutan Hak Asuh
Anak. Untuk kasus ini, Maia dan Dhani melibatkan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia3 dan juga Kak Seto dari Komisi Nasional Perlindungan Anak
4. Dhani
mengajukan banding. Tetapi, karena belum memenuhi syarat banding, maka
bandingnya dibatalkan. Tak berhenti di situ, Dhani mengajukan kasasi Pada tanggal
12 Januari 2011, Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan yang
memenangkan Maia hasil dari kasasi yang diajukan oleh Ahmad Dhani. Hak
Asuh Anak berada di tangan Maia. Ahmad Dhani masih belum bisa menerima
dan sedang melakukan peninjauan kembali tentang keputusan MA tersebut.
Permasalahan hukum yang terdapat dalam kasus perceraian antara Ahmad
Dhani dan Maia Estianty ini membuat penulis tergerak untuk membahasnya sebagai
pokok bahasan dalam skripsi penulis. Penulis mengkhususkan pembahasan mengenai
hak asuh atas anak yang sampai saat ini masih jadi permasalahan diantara Ahmad
Dhani dan Maia Estianty. Berdasarkan hukum yang berlaku melalui putusan
pengadilan, jelas bahwa hak asuh ketiga anak Ahmad Dhani dan Maia Ahmad jatuh
kepada Maia Ahmad. Dengan begitu, Maia mempunyai hak untuk melakukan
eksekusi atas kepemilikan Hak Asuh Anak yaitu mengambil ketiga anaknya dari
Ahmad Dhani. Kemudian di lain pihak, Ahmad Dhani masih saja bisa tinggal dengan
ketiga anaknya walaupun ia tidak memiliki hak asuh atas ketiga anaknya. Hal tersebut
ia lakukan tanpa adanya alas hukum yang sah karena sampai tingkat Mahkamah
Agung pula, hak asuh atas anak masih jatuh ke tangan Maia Estianty. Berdasarkan hal
3 Lembaga Independen yang kedudukannya setingkat dengan Komisi Negara yang dibentuk
berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan Pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002 4 Komisi Nasional Perlindungan Anak adalah sebuah wahana masyarakat yang independen yang dibuat
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 81/HUK/1997 tentang
Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
7
tersebut, timbullah pertanyaan bagaimanakah pengaturan mengenai eksekusi atas Hak
Asuh Anak akibat perceraian? Apabila pihak yang tidak memiliki Hak Asuh Anak
tidak mau menjalankan putusan apakah hal tersebut termasuk sebuah pelanggaran
hukum dan apa dasar hukumnya karena seperti yang kita ketahui tidak ada peraturan
di Indonesia yang mengatur eksekusi terhadap manusia? Hal apa yang dapat
dilakukan oleh pihak yang memiliki hak asuh atas anak akibat perceraian terhadap
pihak yang tidak memiliki hak asuh tersebut agar ia bisa mendapatkan anak-anaknya?
Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis merasa perlu untuk
membahas mengenai eksekusi atas Pemeliharaan Anak akibat perceraian dengan studi
kasus perceraian Dhani Ahmad Prasetyo dengan Maia Estianty dengan Nomor
Putusan Perkara 1514/Pdt.G/2007/PAJS.
Amar putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan jelas
mengatakan bahwa hak atas pemeliharaan anak atas ketiga anak Maia-Dhani jatuh
ketangan Maia Estianty, namun pada praktek eksekusinya ketiga anak Maia-Dhani
masih berada dibawah asuhan Ahmad Dhani yang artinya menyalahi putusan hakim.
Berdasarkan fakta tersebut terdapat beberapa pokok permasalahan yang perlu
diperhatikan lebih lanjut, yakni sebagai berikut:
a. Bagaimana proses eksekusi putusan hak asuh atas anak terhadap perceraian
orang tuanya berdasarkan aturan hukum yang berlaku?
b. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang memiliki hak
asuh atas anak terhadap pihak yang tidak memiliki hak tersebut apabila pihak
yang tidak memiliki hak asuh atas anak tidak mau menjalankan putusan
hakim?
c. Apakah tindakan hukum yang dapat dilakukan kepada pihak yang tidak
memiliki hak asuh atas anak atas tindakannya yang tidak melaksanakan
putusan hakim?
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
8
PEMBAHASAN
Dhani Ahmad Prasetyo, atau yang lebih dikenal dengan Ahmad Dhani, dan
Maia Esianty, atau yang lebih dikenal dengan Maia Ahmad telah melaksanakan akad
nikah menurut Hukum Islam dengan pada hari Minggu tanggal 17 November 1996
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yaitu ayah penggugat (Maia Estianty) dan
saksi dari pihak tergugat (Dhani Ahmad Prasetyo) dan kemudian pernikahan tersebut
di catat oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Tegalsari
Kota Surabaya, Propinsi Jawa Timur pada hari Senin tanggal 26 Mei 1997 M,
bertepatan dengan tanggal 19 Muhararam 1418 H, Pukul 09.00 WIB dan sesudah
pencatatan akad nikah tersebut tergugat telah membaca dan menandatangani taklik
talak yang bunyinya seperti tertulis pada buku Nikah sesuai dengan Duplikat Kutipan
Akta Nikah No. Km.11.09/PW.01/32/2002 tanggal 29 Agustus 2002 (Bukti P.1)5.
Diketahui bahwa dari awal rumah tangga pasangan ini sudah tidak terdapat
kecocokan, salah satunya karena Maia merasa suaminya, Ahmad Dhani, telah
berselingkuh dengan perempuan lain. Sehingga pada akhirnya, pasangan ini
memutuskan untuk bercerai. Sewaktu niat bercerai tersebut ingin diwujudkan oleh
penggugat (Maia Estianty) ternyata pada tanggal 1 Januari 1997 Penggugat
mendapatkan suatu fakta bahwa Penggugat hamil anak pertama, oleh karena itu
Penggugat dan Tergugat sepakat untuk meresmikan pernikahannya di Kantor Urusan
Agama Tegalsari, Surabaya pada tanggal, 26 Mei 1997, dan sejak tanggal tersebut
pernikahan Penggugat dan Tergugat resmi tercatat di Kantor Urusan Agama
Tegalsari, Surabaya.6 Dari Pernikahannya tersebut, Maia Estianty dan Ahmad Dhani
dikaruniai 3 (tiga) orang anak.
Selama menjalani kehidupan perkawinan, pasangan ini dapat dikatakan sering
mengalami percekcokan. Menurut hemat penulis, berdasarkan apa yang penulis teliti
dari Putusan Cerai dengan Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal-hal yang
menjadi alasan dari adanya percekcokan yang terjadi diantara kedua belah pihak
adalah karena adanya Wanita Idaman Lain (WIL) yang kehadirannya tidak bisa
5 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 2.
6 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 3.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
9
diterima oleh penggugat. Selain itu, tabiat tergugat, yang menurut penggugat, sudah
melewati batas kewajaran juga menjadi alasannya. Misalnya, melarang penggugat
untuk bekerja, mengeluarkan semua barang-barang penggugat dari kamarnya sendiri,
hingga berbuat dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada penggugat.
Namun di sisi lain, tergugat mempunyai alasan dalam melakukan tindakan-
tindakannya. Tergugat merasa, seorang istri semestinya tidak bekerja, melainkan
tinggal dirumah untuk mengurus anak-anak, apalagi tergugat merasa telah mampu
menafkahi keluarganya tanpa istrinya harus bekerja. Kemudian, alasan tergugat
mengeluarkan barang-barang milik penggugat dan berbuat dan mengeluarkan kata-
kata kasar adalah karena tergugat merasa penggugat sudah tidak lagi bisa menjadi
isteri yang taat kepada suaminya. Namun tergugat juga membenarkan bahwa ia
mempunyai niat untuk berpoligami, yang tentu saja, tidak disetujui oleh penggugat.
Percekcokan yang terjadi antara pihak penggugat dan pihak tergugat seakan tidak
dapat dibendung lagi, hal ini menyebabkan penggugat dan tergugat akhirnya bercerai.
Penggugat memasukkan gugatannya ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada
tanggal 12 November 2007, dan terakhir diperbaiki dengan surat tertanggal 8 Januari
2008, dengan Nomor Register Perkara: 1514/Pdt.G/2007/PAJS tanggal 16 November
2007.
Dalam gugatannya, permasalahan yang disoroti oleh penulis adalah mengenai
pembagian Hak Atas Pemeliharaan Anak (Hadlanah). Dalam gugatannya, Maia
Estianty, selaku penggugat, meminta kepada pengadilan untuk menjatuhkan hak atas
pemeliharaan ketiga anaknya agar jatuh kepada dirinya. Berdasarkan dalil yang
terdapat di gugatan penggugat, seorang ibu di mata agama lebih diutamakan untuk
memegang hak pengasuhan dan pemeliharaan anak (hadlanah) karena dialah yang
berhak untuk melakukan hadlanah dan menyusui, sebab seorang ibu lebih dapat
memahami dan mengerti bagaimana cara mendidik anak, juga karena ibu mempunyai
rasa kesabaran untuk melakukan pekerjaan mendidik dan mengurus anak yang hal
tersebut tidak memiliki seorang ayah.7 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 105 huruf
(a) Kompilasi Hukum Isalm tersebut, maka sangat berdasarkan dan beralasan apabila
7 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 13.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
10
hak hadlanah/pemeliharaan anak atas ketiga anak penggugat dan terguga berada
dalam pengasuhan penggugat.8
Selain meminta Hak Pemeliharan Atas Anak, penggugat juga mempuyai
pertimbangan lainnya, yaitu bahwa mengingat ketiga orang anak penggugat dan
tergugat tersebut masih membutuhkan biaya untuk hidup dan pendidikan, sehingga
dengan ini penggugat mengajukan perincian biaya-biaya hidup dan biaya-biaya
pendidikan perbulan yang dibutuhkan anak-anak dan harus ditanggung tergugat,
maka sangat berdasar hukum tergugat sebagai ayah dari kedua orang anaknya wajib
untuk memberikan nafkah hidup dan biaya pendidikan untuk masa depan dan
kepentingan anak-anak penggugat dan tergugat dengan masing-masing anak sebesar
US$ 1500 (seribu lima ratus dollar amerika) per bulan atau sesuai kebutuhan
maksimal anak tersebut perbulannya.9 Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, akibat putusnya perkawinan karena perceraian
ialah; pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi istri. Bahwa berdasarkan
ketentuan pasal tersebut di atas, maka wajar dan sangat berdasarkan hukum apabila
tergugat diwajibkan untuk memberikan biaya penghidupan bagi penggugat sebesar
US$ 2000 (dua ribu dollar amerika) per bulan yang harus dibayarkan paling lambat
tanggal 10 setiap bulan selama tergugat penggugat belum menikah lagi. Oleh karena
selama terjadinya problematika dalam rumah tangga antara penggugat dan tergugat
yang disebabkan karena perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara
penggugat dan tergugat, dan ternyata terungkap fakta bahwa tergugat memiliki
iktikad tidak baik untuk menghalang-halangi dan memisahkan penggugat untuk dapat
berkomunikasi dan bercengkrama dengan ketiga orang anak laki-laki penggugat dan
tergugat, maka penggugat memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara perdata gugatan berisi menetapkan penggugat selaku ibu kandung
tetap berhak untuk dapat berkunjung dan/atau bertemu setiap saat dengan anak-
anaknya di tempat kediaman dan/atau tempat tinggal penggugat, serta dapat
8 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 13-14.
9 Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 14.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
11
membawa tinggal bersama (berlibur), bercengkrama, beristirahat, dan berekreasi baik
dengan ataupun tanpa pemberitahuan terlebih dahulu di antara penggugat dengan
tergugat, dan untuk hal tersebut di atas tergugat tidak akan menghalang-halangi
penggugat dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai seorang ibu kandung.
Hal tersebut diatur sesuai dengan pasal 24 ayat 2 huruf b PP Nomor 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan10
.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam putusan dalam
pokok perkara menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak pengasuhan dan
pemeliharaan anak penggugat dan tergugat, sampai anak-anak tersebut dewasa.
Pemeliharaan anak (hadlanah) pada dasarnya adalah tanggungjawab kedua orang tua
yang melahirkannya. Oleh karena itu anak harus memperoleh jaminan pemeliharaan
dari orang yang berhak dengan pola pengasuhan yang terbaik semata-mata untuk
kepentingan anak. Fakta kehidupan menunjukkan bahwa tidak sedikit perkawinan
yang dibangun dengan susah payah pada akhirnya bubar di tengah jalan karena
kemelut rumah tangga yang semakin rumit. Akibat dari putusnya perkawinan akibat
perceraian tersebut, sedikit banyak berakibat terhadap anak yang dilahirkan dari
perkawinan. Mereka harus menanggung derita dimana harus memilih salah satu
pihak, ibu atau bapaknya, untuk tempat ia tinggal. Memang dikenal adanya istilah
Join Custody dimana kedua belah pihak sama-sama merawat dan membesarkan anak-
anak mereka. Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
akibat putusnya perkawinan kedua orang tua, tidak mengakibatkan berakhirnya
kekuasaan orang tua11
. Apabila sengketa pengasuhan (hadlanah) ini tidak dapat
diselesaikan secara damai melalui prosedur mediasi, maka pada akhirnya harus
ditempuh penyelesaian melalui jalur litigasi dengan putusan pengadilan.
Permasalahan yang kemudian timbul adalah, ketika putusan itu telah dijatuhkan oleh
pengadilan, lalu misalnya, pihak yang dikalahkan tidak mau menyerahkan anak
sebagai objek sengketa secara sukarela, maka biasanya akan ditempuh prosedur
eksekusi putusan.
10
Putusan Nomor: 1514/Pdt.G/2007/PAJS, hal. 17. 11
Hal yang sama juga diatur di dalam Children Act Inggris tahun 1989, yang mulai berlaku tanggal 14
Oktober 1991.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
12
Belum adanya peraturan yang rigid dan diakui keabsahannya oleh negara
Indonesia yang mengatur permasalahan mengenai eksekusi atas hak asuh anak
membuat pengaturan tentang eksekusi hak asuh anak semakin bias. Tidak ada
peraturan yang rigid tersebut yang membuat masyarakat Indonesia saling mengaitkan
peraturan-peraturan yang ada. Misalnya saja apabila di dalam suatu putusan yang
berisikan mengenai hak asuh anak lalu kemudian pihak yang tidak mendapatkan hak
asuh tidak mau memberikan anaknya, maka salah satu peraturan yang dapat dijadikan
panutan untuk mengatur mengenai upaya-upaya yang dapat membuat seseorang di
eksekusi adalah Pasal 196 HIR “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai
untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang
memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua
pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan
keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta
memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan
oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.” Pasal 195 menjelaskan bahwa
pelaksanaan putusan di pengadilan tingkat pertama adalah atas perintah dan dengan
pimpinan ketua pengadilan yang dalam prakteknya dijalankan oleh panitera. Pasal
196 HIR pun tidak secara langsung mengatur mengenai eksekusi atas seseorang,
melainkan hanya memberikan opsi untuk bagaimana agar seseorang mau
menjalankan putusan pengadilan, salah satunya menjalankan putusan pengadilan
mengenai hak asuh anak. Pada azasnya putusan Hakim yang sudah mempunyai
kekuatan hukum yang pasti yang dapat dijalankan. Pengecualiannya adalah apabila
suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai
dengan pasal 181 ayat (1) HIR / pasal 191 ayat (1) RBg12
. Dengan kata lain, dalam
hal eksekusi berlaku azas umum, yaitu eksekusi baru dapat dijalankan kalau putusan
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam arti bahwa putusan itu sudah tidak
ada upaya hukum banding dan kasasi13
. Tidak semua putusan yang mempunyai
12
Retnowulan Susantio, Ny.SH dan Iskandar Oeripkartawinata,SH. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, (Bandung: CV Mandar Maju 1995), hal. 130. 13
Abdul Manan, DR.DRS.SH.SIP, Mhum. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana 2005), hal. 118.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
13
kekuatan hukum tetap harus dijalankan. Putusan yang dapat dijalankan adalah
putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Adapun yang memberikan kekuatan
eksekutorial pada putusan pengadilan tertelak pada kepala putusan yang berbunyi
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu, putusan
yang mempunyai titel eksekutorial adalah putusan yang bersifat atau mengandung
amar condemnatoir. Sedangkan putusan pengadilan yang bersifat declaratoir dan
constitutif tidak dilaksanakan eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam
menjalankannya14
. Eksekusi pada hakikatnya tidak lain ialah realisasi daripada
kewajiban pihak yang kalah untuk memenuihi prestasi yang tercantum dalam putusan
pengadilan. Pihak yang menang dapat memohon kepada pengadilan yang memutus
perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa15
.
Dari ketentuan pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dapat dipahami bahwa ada perbedaan tanggung jawab pemeliharaan
yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih
menitikberatkan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban
suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan
Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya. Di samping itu,
pengajuan permohonan ke pengadilan yang berkaitan dengan pengasuhan anak juga
diatur dalam Pasal 31 ayat (1),(2), (3) dan (4) UU No.23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Jadi dengan adanya perceraian, hadlanah bagi anak yang belum
mumayyiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap
dipikulkan terhadap ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka
bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami mempunyai
kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan
dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung
jawabnya, bekas istri yang kebetulan diberi beban untuk melaksanakan Pengadilan
Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadlanah
14
Ibid. 15
Sudikno, 1998, hal. 21.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
14
sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran
itu dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 330 KUHP menguatkan dalil yang disebutkan dalam pasal 196 HIR,
yaitu, “(1) Barang siapa dengan sengaja mencabut orang yang belum dewasa dari
kuasa yang sah atasnya atau dari penjagaan orang yang dengan sah menjalankan
penjagaan itu, dihukum penjara selama tujuh tahun. (2) Dijatuhkan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan tahun, jika perbuatan itu dilakukan dengan memakai tipu
daya, kekerasan atau ancaman dengan kekerasan atau kalau orang yang belum
dewasa umurnya di bawah dua belas tahun“16
. Dengan adanya peraturan ini, pihak
yang memiliki hak asuh atas anak mendapatkan perlindungan hukum. Sebuah
gugatan di pengadilan mengenai suatu hak tidak lain dimaksudkan untuk memperoleh
keputusan yang dapat menjamin kepastian hukum. Dalam mengajukan gugatan hak
hadlanah di Pengadilan Agama sama dengan pengajuan gugatan tentang hak
keperdataan lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 142 dan 144 RBg. Gugatan
harus memenuihi syarat-syarat formal suatu gugatan yang meliputi identitas para
pihak, ada posita atau fundamentum petendi dan juga harus ada tuntutan atau petitum,
yang dalam tulisan ini tidak perlu dijelaskan secara rinci.
Eksekusi putusan hadlanah tidak diatur secara tegas dalam HIR - RBg., atau
peraturan perundangan lain yang berlaku khusus bagi Peradilan Agama. Belum
adanya hukum yang mengatur secara jelas mengenai eksekusi putusan hadlanah tidak
berarti bahwa putusan hadlanah itu tidak bisa dijalankan melainkan harus dapat
dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang berlaku secara umum. Menurut M.
Yahya Harahap, SH, dalam praktek Peradilan Agama dikenal dua macam eksekusi,
yaitu:
1. eksekusi riil atau nyata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 200 ayat (11)
HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg dan pasal 1033 Rv yang meliputi penyerahan,
pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu.
16
R. Soesilo, KUHP dengan Penjelasan, Bogor : Politeia, 1981
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
15
2. eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop
sebagaimana tersebut dalam pasal 200 HIR dan pasal 215 R.Bg. Eksekusi
yang terakhir ini dilakukan dengan menjual lelang barang-barang debitur, atau
juga dilakukan dalam pembahagian harta bila pembahagian ini in natura tidak
disetujui oleh para pihak atau tidak mungkin dilakukan pembahagian in natura
dalam sengketa warisan atau harta bersama17
.
Sejalan dengan perkembangan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan di
Pengadilan Agama tidak hanya terbatas dalam bidang hukum benda. Dalam
prakteknya sampai saat ini, eksekusi putusan Pengadilan Agama juga telah merambah
dalam eksekusi putusan hak pemeliharaan atau penguasaan atas anak (hadlanah).
Eksekusi putusan hadlanah dapat digolongkan ke dalam jenis eksekusi bentuk
pertama (eksekusi riil: melakukan sesuatu). Namun demikian, eksekusi putusan
hadlanah seringkali mengalami kendala yang cukup signifikan karena objek
perkaranya mengenai orang, sehingga tingkat keberhasilannya terbilang cukup rendah
bila dibandingkan dengan eksekusi di bidang hukum kebendaan. Hakim Pengadilan
Agama menghadapi kendala membuat putusan yang selaras dengan prinsip
kepentingan terbaik anak, khususnya terkait dengan legislasi dan mekanisme yang
digunakan dalam menyikapi masalah hak asuh ini. Umumnya putusan hakim tentang
hak asuh memuat dua legislasi: Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang
(Nomor 23 Tahun 2002) Perlindungan Anak (UUPA). Filosofi KHI adalah maternal
preference, mengatur bahwa anak (korban perceraian) yang belum mumayiz berada
di bawah penguasaan ibunya. Mumayiz berbeda dengan akil balig. Akil balig
merujuk pada dimensi fisik, yakni kematangan, antara lain, organ seksual yang
menjadi pembeda antara usia kanak-kanak dan usia pasca-kanak-kanak. Mumayiz
menyangkut kematangan psikologis anak (usia mental), yakni kemampuan anak
dalam membedakan baik dan buruk, benar dan salah, dan sejenisnya. Tuntutan bagi
hakim memahami psikologi perkembangan anak, yang jauh lebih pelik ketimbang
memahami kondisi akil balig, menjadi mutlak. Namun, karena tidak mudah, hakim
17
Yahya Harahap, Drs,SH.MH, Kedudukan Kewenangan Eksekusi Bidang Perdata¸(Jakarta: Pustaka
Kartini 1992), hal. 5.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
16
cenderung by default menjadikan ibu sebagai pemegang hak asuh atas anak, di sini
anak sebatas ditimbang berdasarkan usia biologisnya. Menjadikan KHI sebagai
pedoman kerja, hakim semakin mudah menjatuhkan putusan hak asuh hanya ke salah
satu pihak (sole custody) yang bercerai, dan pihak tersebut biasanya adalah ibu.
Kontras dengan UUPA tidak menaruh preferensi (keberpihakan) kepada gender
tertentu. UUPA menyebut hak anak untuk diasuh oleh kedua orang tuanya. Dengan
demikian, apabila hakim benar-benar konsekuen menjadikan UUPA sebagai legislasi,
hakim sepatutnya lebih mantap membuat putusan bahwa anak tetap diasuh kedua
orang tuanya (joint/shared custody) dituangkan dalam putusan, karena KHI "lebih
memudahkan" hakim, UUPA pun menjadi instrumen normatif yang tidak aplikatif.
Hak asuh tetap jauh lebih banyak diputuskan sebagai sesuatu yang bersifat tunggal,
yaitu dipegang oleh salah satu pihak yang bercerai. Apabila di analisis lebih lanjut,
menunjukkan bahwa eksekusi putusan hadlanah dipandang masih mengandung
kelemahan. Untuk itu, sekurangnya ada tiga hal harus dicermati dalam menyikapi hal
tersebut, yaitu:
1. tidak adanya peraturan yang terkompilasi mengenai eksekusi hak asuh
anak;
Permasalahnya adalah bahwa eksekusi putusan hadlanah itu bukan tidak ada
aturan hukumnya, namun belum ada aturan hukum yang terkompilasi yang
mengatur mengenai eksekusi atas pemeliharaan anak. Maka hal ini berarti
suatu kekosongan hukum acara yang harus ditemukan hukumnya melalui hak
deskresional hakim yang diberikan undang-undang. Pengadilan Agama
sebagai Law of Court terikat dengan asas pokok kekuasaan kehakiman bahwa:
“pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya (Ps. 16 ayat (1) UU No.4 Th. 2004). Oleh
karena itu hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (Ps.28 ayat (1) UU
No.4 Th. 2004). Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah bagaimana
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
17
menggabungkan kedua idealisme pemikiran tersebut sehingga melahirkan
kemajuan di bidang hukum tanpa kehilangan tujuan luhur hukum itu sendiri,
yakni keadilan untuk seluruh umat manusia berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Oleh karena itu, eksekusi terhadap anak sesuai dengan kelaziman
yang ada maka tidak ada eksekusinya, apalagi putusannya bersifat deklaratoir.
Kenyataan yang ada selama ini, pelaksanaan eksekusi anak hanya bersifat
sukarela, maksudnya tidak merupakan upaya paksa. Sedangkan para ahli
hukum yang memperbolehkan eksekusi terhadap anak dapat dijalankan
mengatakan bahwa perkembangan hukum yang dianut akhir-akhir ini
menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang putusannya bersifat
condemnatoir, jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut
dapat dieksekusi. Pengadilan mempunyai upaya paksa dalam melaksanakan
putusan ini. Jadi, seorang anak yang dikuasai oleh salah satu orang tua yang
tidak berhak sebagai akibat putusan perceraian atau permohonan talak, maka
Pengadilan Agama dapat mengambil anak tersebut dengan upaya paksa dan
menyerahkan kepada salah satu orang tua yang berhak untuk mengasuhnya18
.
Terlepas dari pendapat pro dan kontra para praktisi hukum, apabila kita
cermati dengan seksama sebenarnya eksekusi putusan hadlanah sudah sejalan
dengan ketentuan pasal 319h KUHPerdata alinea dua yang mengatakan bahwa
jika pihak yang senyatanya menguasai anak-anak yang belum dewasa itu
menolak menyerahkan anak-anak itu, maka para pihak yang menurut
keputusan pengadilan harus menguasai anak tersebut, mereka boleh meminta
melalui Juru Sita dan menyuruh kepadanya melaksanakan keputusan ini.
2. Pertimbangan aspek psikologi untuk kebaikan si anak;
Mempertimbangkan aspek psikologi semata-mata untuk kepentingan terbaik
bagi anak dalam memutuskan hak asuh anak adalah mutlak adanya. Oleh
sebab itu Hakim dengan ketajaman intuisi dan rasa keadilan yang dimilikinya,
18
Abdul Manan, DR.DRS.SH.SIP, Mhum. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana), hal. 436.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
18
dan setelah meneliti dan memeriksa dengan seksama semua fakta di
persidangan, akan berusaha dengan optimal untuk menentukan putusan yang
seadil-adilnya. Menurut hemat penulis, konsep pemikiran joint/shared
custody dalam amar putusan justru tidak aplikatif dan sulit diterapkan dalam
praktek.
3. Prosedur hukum eksekusi;
Untuk menjamin keabsahan eksekusi putusan hadlanah tersebut, maka
eksekusi itu harus melalui prosedur hukum yang berlaku dan harus pula
memenuhi syarat-syarat eksekusi. Apabila eksekusi tidak dilaksanakan sesuai
dengan prosedur dan peryaratan yang ditetapkan, maka eksekusi tidak sah dan
harus diulang.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Menurut aturan hukum yang berlaku di Indonesia, belum ada aturan yang
jelas yang mengatur mengenai proses eksekusi putusan hak asuh anak akibat
perceraian. Indonesia masih menerapkan peraturan yang sporadis. Majelis
Hakim di Indonesia, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama,
menerapkan aturan-aturan hukum yang belum dapat dijadikan satu patokan
khusus. Majelis Hakim cenderung menerapkan KHI pada mereka yang
beragama Islam atau yang tunduk pada hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan, peraturan-peraturan
tersebut pun merupakan peraturan yang lebih mengatur mengenai penjatuhan
atas hak asuh anak bukan proses eksekusi hak asuh anak itu sendiri. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia
Tahun 1991 tidak menyebutkan secara explicit terhadap nomenklatur hak
asuh anak (Hadlanah). Akan tetapi secara substantive, hadlanah dalam arti hal
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
19
pemeliharaan / pengasuhan anak, atau disebut dengan istilah kuasa asuh
orang tua menurut undang-undang perlindungan anak, telah disebutkan
dengan tegas dan menjadi bagian dari hukum keluarga. Sejalan dengan
perkembangan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan di Pengadilan
Agama tidak hanya terbatas dalam bidang hukum benda. Dalam prakteknya
sampai saat ini, eksekusi putusan Pengadilan Agama juga telah merambah
dalam eksekusi putusan hak pemeliharaan atau penguasaan atas anak
(hadlanah). Eksekusi putusan hadlanah dapat digolongkan ke dalam jenis
eksekusi bentuk pertama (eksekusi riil : melakukan sesuatu). Namun
demikian, eksekusi putusan hadlanah seringkali mengalami kendala yang
cukup signifikan karena objek perkaranya mengenai orang, sehingga tingkat
keberhasilannya terbilang cukup rendah bila dibandingkan dengan eksekusi di
bidang hukum kebendaan. Hakim Pengadilan Agama menghadapi kendala
membuat putusan yang selaras dengan prinsip kepentingan terbaik anak,
khususnya terkait dengan legislasi dan mekanisme yang digunakan dalam
menyikapi masalah hak asuh ini. Umumnya putusan hakim tentang hak asuh
memuat dua legislasi: Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang
(Nomor 23 Tahun 2002) Perlindungan Anak (UUPA). Filosofi KHI adalah
maternal preference, mengatur bahwa anak (korban perceraian) yang belum
mumayiz berada di bawah penguasaan ibunya. Mumayiz berbeda dengan akil
balig. Akil balig merujuk pada dimensi fisik, yakni kematangan, antara lain,
organ seksual yang menjadi pembeda antara usia kanak-kanak dan usia pasca-
kanak-kanak. Mumayiz menyangkut kematangan psikologis anak (usia
mental), yakni kemampuan anak dalam membedakan baik dan buruk, benar
dan salah, dan sejenisnya. Tuntutan bagi hakim memahami psikologi
perkembangan anak, yang jauh lebih pelik ketimbang memahami kondisi akil
balig, menjadi mutlak. Namun, karena tidak mudah, hakim cenderung by
default menjadikan ibu sebagai pemegang hak asuh atas anak, di sini anak
sebatas ditimbang berdasarkan usia biologisnya. Menjadikan KHI sebagai
pedoman kerja, hakim semakin mudah menjatuhkan putusan hak asuh hanya
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
20
ke salah satu pihak (sole custody) yang bercerai, dan pihak tersebut biasanya
adalah ibu. Kontras dengan Undang-undang Perlindungan Anak tidak
menaruh preferensi (keberpihakan) kepada gender tertentu. Undang-undang
Perlindungan Anak menyebut hak anak untuk diasuh oleh kedua orang
tuanya. Dengan demikian, apabila hakim benar-benar konsekuen menjadikan
Undang-undang Perlindungan Anak sebagai legislasi, hakim sepatutnya lebih
mantap membuat putusan bahwa anak tetap diasuh kedua orang tuanya
(joint/shared custody) dituangkan dalam putusan, karena KHI "lebih
memudahkan" hakim, Undang-undang Perlindungan Anak pun menjadi
instrumen normatif yang tidak aplikatif. Hak asuh tetap jauh lebih banyak
diputuskan sebagai sesuatu yang bersifat tunggal, yaitu dipegang oleh salah
satu pihak yang bercerai. Apabila di analisis lebih lanjut, menunjukkan bahwa
eksekusi putusan hadlanah dipandang masih mengandung kelemahan.
2. Belum adanya peraturan yang rigid dan diakui keabsahannya oleh negara
Indonesia yang mengatur permasalahan mengenai eksekusi atas hak asuh anak
membuat pengaturan tentang eksekusi hak asuh anak semakin bias. Tidak ada
peraturan yang rigid tersebut yang membuat masyarakat Indonesia saling
mengaitkan peraturan-peraturan yang ada. Misalnya saja apabila di dalam
suatu putusan yang berisikan mengenai hak asuh anak lalu kemudian pihak
yang tidak mendapatkan hak asuh tidak mau memberikan anaknya, maka
salah satu peraturan yang dapat dijadikan panutan untuk mengatur mengenai
upaya-upaya yang dapat membuat seseorang di eksekusi adalah Pasal 196
HIR “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi
keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan
permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua
pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat
menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang
dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di
dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan
hari.” Eksekusi pada hakikatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
21
pihak yang kalah untuk memenuihi prestasi yang tercantum dalam putusan
pengadilan (Law Enforcement). Pihak yang menang dapat memohon kepada
pengadilan yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan
tersebut secara paksa19
. Para ahli hukum yang memperbolehkan eksekusi
terhadap anak dapat dijalankan mengatakan bahwa perkembangan hukum
yang dianut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang
putusannya bersifat condemnatoir, jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka
putusannya dapat dieksekusi atau apabila dalam amar putusan tersebut telah
ditentukan bahwa hak asuh anak ini dapat dieksekusi walaupun ada upaya
hukum banding maupun kasasi atau tidak. Apabila amar putusan menyatakan
dapat dieksekusi walaupun ada upaya hukum banding maupun kasasi, maka
putusan tersebut dapat langsung di eksekusi. Sehingga, apabila pihak yang
tidak memiliki hak asuh anak tidak mau menyerahkan anak-anak tersebut
kepada pihak yang memiliki hak asuh terhadap anak tersebut, maka
Pengadilan Agama dapat melakukan pengambilan anak tersebut dengan upaya
paksa20
.
3. Mahkamah Agung RI khususnya Hakim Agung yang tergabung dalam Tim E
telah mengambil suatu keputusan pada tanggal 6 Juli 1999 yang lalu bahwa
masalah penguasaan anak dalam pelaksanaan eksekusinya merupakan upaya
paksa dan dapat dijalankan, apabila ada yang menghalangi terhadap
pelaksanaan dikemukakan bahwa barang siapa dengan sengaja mencegah,
merintangi, atau mengagalkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh salah
seorang pegawai negeri dalam menjalankan suatu peraturan perundang-
undangan di hukum penjara selama-lamanya 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu
atau denda setinggi-tingginya Rp9000,. Apabila dikaitkan dengan eksekusi
anak, maka secara hukum harus ada putusan yang telah berkekuatan hukum
19
Sudikno, 1998, hal. 21. 20
Abdul Manan, DR.DRS.SH.SIP, Mhum. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana), hal. 436.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
22
tetap lebih dahulu, sedangkan pelaksanaan eksekusinya dihalang-halangi.
Filosofinya menghalang-halangi terhadap pemeriksaan atau penyidikan berarti
sama saja dengan menghalang-halangi terhadap pelaksanaan hukum yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap21
. Pelaksanaan eksekusi terhadap
putusan hadhanah harus melalui prosedur hukum yang berlaku dan apabila
eksekusi tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan maka
eksekusi tidak sah dan harus diulang.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mempunyai beberapa saran terkait
dengan tinjauan yuridis mengenai peraturan eksekusi atas hak asuh anak akibat
perceraian di Indonesia, antara lain:
1. Perlunya di atur mengenai proses eksekusi atas manusia
terutama di bidang hukum perdata yang jelas agar tidak terjadi
kebingungan yang dialami masyarakat di bidang eksekusi
manusia. Diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
sebagai dasar hukum dalam perkara dalam studi kasus pada
karya ilmiah ini, tidak dapat dijadikan acuan untuk mengatur
eksekusi hak asuh atas anak karena KHI hanya dapat
diberlakukan kepada mereka yang beragama Islam atau mereka
yang menikah yang tunduk pada hukum Islam.
2. Perlu diberlakukan kejelasan mengenai batas usia dewasa
seorang anak dalam menentukan penjatuhan hak asuh kepada
salah satu pihak dan diatur lebih jelas mengenai alasan-alasan
penjatuhan hak asuh kepada salah satu pihak. Ketidak jelasan
mengenai batas kedewasaan yang ada, dimana dalam KHI
diberlakukan mumayyiz atau pada batas usia 12 tahun, yang
ternyata dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23
21
Ibid.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
23
Tahun 2002 adalah berbeda dimana usia dewasa seorang anak
adalah 18 tahun dan yang belum menikah. Ketidak jelasan
mengenai dasar pertimbangan dalam pemutusan perkara
mengenai hak asuh atas anak akibat perceraian, apakah
berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak, usia dewasa,
ataupun kesepakatan antara pihak suami dan pihak istri.
3. Perlu adanya sosialisasi lebih lanjut mengenai eksekusi atas
hak asuh anak dan perlu di berlakukan ketentuan uang paksa
atau dwangsom secara tegas kepada pihak yang tidak mau
menjalankan putusan hakim agar dapat memicu pihak tersebut
untuk taat kepada putusan hakim. Pada dasarnya telah terdapat
peraturan yang mengatur mengenai upaya paksa atas eksekusi
hak asuh anak, namun peraturan tersebut diatur secara limitatif
dan belum disosialisasikan dengan baik. Sehingga, agar
masyarakat mendapat pengetahuan yang cukup mengenai
eksekusi paksa terhadap hak asuh anak, sebaiknya dilakukan
sosialisasi yang lebih baik lagi terhadap peraturan tentang
eksekusi hak asuh anak.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012
24
DAFTAR REFERENSI
BUKU
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta:
Pustaka Kartini, 1992.
Manan, Abdul Dr.Drs.S,H.SiP, M.hum. Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2005.
Susantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata,SH. Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek. Bandung: CV Mandar Maju, 1995.
Wahyono Darmabrata, dan Surini Ahlan Sjarief. Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
PERATURAN
Undang-Undang
Indonesia. Undang-undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun
1974, TLN No. 3019.
Indonesia. Undang-undang Administrasi Kependudukan, UU No. 23 Tahun 2006, LN
No. 23 Tahun 2006, TLN No. 4674.
Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002, LN No. 23
Tahun 2002, TLN No. 3143.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan oleh
Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek voor Indonesie].
Diterjemahkan oleh Subekti. Jakarta: Pradnya Paramita, 1999.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Tinjauan yuridis..., Zaskia Ridyanti Putri, FH UI, 2012