Post on 11-Jan-2016
description
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum nasi dan
sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi yang terjadi pada
kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus paranasal.9 Secara histologi,
mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus
senantiasa berhubungan dengan kavum nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common
cold ditunjukkan bahwa mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses
inflamasi bersama-sama.10 Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga
menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan
berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.11 Fakta tersebut
menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep
“one airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan
cenderung berkembang ke bagian yang lain.9 Sejumlah kelompok konsensus menyetujui
pernyataan tersebut sehingga terminologi yang lebih diterima hingga kini adalah rinosinusitis
daripada sinusitis.9-13 Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi secara lebih jelas
dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur yang terdapat pada
kompleks ostiomeatal meatus medius.14
A. ANATOMI FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
1. HIDUNG
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip), 4) ala
nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubah hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1)
tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal;
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor) dan 3) tepi anterior kartilago septum.1
Gambar 1. Anatomi hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior
disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.1
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondirum pada bagian tulang rawan dan periosteum
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral
terdapat 4 buah konka, yaitu konka inferior yang terbesar dan letaknya paling bawah,
kemudian konka media, konka superior dan yang terkecil yaitu konka suprema yang biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid.1
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1
Gambar 2. Anatomi Kavum Nasi
Batas rongga hidung antara lain: 1
Inferior: dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum
Superior: atap hidung yang sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis yang
memisahkan rongga tengkorak dari rungga hidung. Lamina kribiformis merupakan
lempeng tulang berasal dari os etmoid yang berlubang-lubang tempat masukna serabut-
serabut saraf olfaktorius.
Posterior: atap rongga hidung yang dibentuk oleh os sfenoid
Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior
dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.1
Gambar 3. Kompleks Ostiomeatal
2. SINUS PARANASAL
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga
terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung.2
Sinus disusun oleh mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia
bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-
jalur yang sudah tertentu polanya. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang
bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius,
sedangkan lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada
sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di
rongga hidung.2
Fungsi sinus paranasal belum diketahui secara pasti, beberapa teori yang
dikemukakan antara lain sebagai pengatur kondisi udara, penahan suhu, membantu
keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara dan
membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.2
Gambar 4. Anatomi Sinus Paranasal
C. EPIDEMIOLOGI
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering terjadi dan memiliki efek yang signifikan pada
kualitas hidup dan kebutuhan perawatan kesehatan. Di Kanada, 2,89 juta orang menderita
rinosinusitis pada tahun 2006, dengan perkiraan 2/3 untuk rinosinusitis akut, dan 1/3 untuk
rinosinusitis kronik. Di Amerika Serikat pada tahun 2007, rinosinusitis akut dialami oleh 26
juta orang dan menyebabkan 12,9 juta kunjungan ke rumah sakit. Prevalensinya berkisar
antara 5% dari seluruh populasi. Prevalensi ini lebih tinggi ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki (5,7% : 3,4% untuk orang berusia >12 tahun) dan meningkat seiring
usia. Rinosinusitis akut berhubungan dengan merokok, sosial ekonomi rendah, riwayat alergi,
asma dan PPOK.5
D. ETIOLOGI
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis
terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi
seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostiomeatal, infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom Kartagenener, dan di
luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor
penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-
lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.4
E. PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar didalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikroba dan zat-zat yang
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan.6
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa
yang berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinositis non-
bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.6
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik
untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak
berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus
yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembengkakan polip dan kista.6
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Hemophylus influenzae (20-40%)
dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak,M. Catarrhalis lebih banyak ditemukan
(20%). Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumya bakteri yang
ada lebih condong ke arah bakteri negatif gram dan anaerob.4
Rinosinusitis dan Polip Nasi
Polip nasi dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan
yang mengakibatkan rinosinusitis, tetapi dapat juga timbul setelah ada rinosinusitis kronis.6
Pada patofisiologi sinusitis, permukaan mukosa ditempat yang sempit di komplek
osteomeatal sangat berdekatan dan jika mengalami oedem, mukosa yang berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka
terjadi gangguan drainase dan ventilasi dari sinus maksila dan sinus frontal, sehingga
akibatnya aktifitas silia terganggu dan terjadi genangan lendir sahingga lendir menjadi lebih
kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuh bakteri patogen. Bila sumbatan
berlangsung terus maka akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga bakteri anaerob pun
akan berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia.
Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertofi, polipoid atau terbentuk polip
dan kista.6
F. MANIFESTASI KLINIS
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa tekanan pada
muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat
disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.4
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis
akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi
menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata menandakan
sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis
sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada
sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. 4 Gejala lain adalah sakit
kepala, hiposmia/ anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak
pada anak. 4
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2
dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius,
gangguan ke paru seperti bronitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis.4
Pada rinosinusitis yang disertai polip nasi, gejala primer adalah hidung tersumbat, terasa ada
masa dalm hidung, sukar mengeluarkan ingus dan hiposmia atau anosmia. Gejala sekunder
termasuk post nasal drip, rinore, nyeri wajah, sakit kepala, telinga terasa penuh,
mengorok, gangguan tidur dan penurunan prestasi kerja.6
G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi
sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di
meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus
superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema
dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius 4
Rinosinusitis yang disertai polip biasanya terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Polip
yang sangat besar dapat mendesak dinding rongga hidung sehingga menyebabkan deformitas
wajah (hidung mekar). Polip kecil yang berada di celah meatus medius sering tidak terdeteksi
pada rinoskopi anterior dan baru terlihat pada nasoendoskopi.6
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-scan. Foto polos posisi
Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti
sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air
fluid level) atau penebalan mukosa.4
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. 4 Pada pemeriksaan CT-scan akan terlihat bagaimana sel-sel ethmoid dan
kompleks ostio-meatal tempat biasanya polip tumbuh. CT scan perlu dilakukan bila ada polip
unilateral, bila tidak membaik dengan pengobatan konservatif selama 4-6 minggu, bila akan
dilakukan operasi BESF dan bila ada kecurigaan komplikasi sinusitis.6
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya. 4
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari
meatus medius/ superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. 4
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus
inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,
selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. 4
Gambar 5. CT Scan pada polip nasi
Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan adalah tes alergi pada pasien yang diduga
atopi, biopsi bila ada kecurigaan keganasan dan kultur polip nasi.4
Beratnya Penyakit7
Derajat rinosinusitis dapat ditentukan berdasarkan skor total visual analogue
scale (VAS) dengan menanyakan seberapa besar gangguan dari gejala rinosinusitis pasien
terhadap kegiatan sehari-hari yang diukur dengan skor 0 – 10. Derajat rinosinusitis
diinterpretasikan sebagai berikut: Ringan = VAS 0-3
Sedang= VAS >3-7
Berat = VAS >7-10
Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien. Kriteria diagnosis rinosinusitis
antara lain:7
1. Rinosinusitis akut pada dewasa
Diagnosis: Berdasarkan gejala, pemeriksaan radiologis tidak diperlukan (foto polos
sinus paranasal tidak direkomendasikan). Gejala kurang dari 12 minggu:
Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± penurunan/ hilangnya penghidu
Dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi
Dengan validasi anamnesis tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti
air, hidung gatal dan mata gatal serta berair.
Common cold/ rinosinusitis viral akut didefinisikan sebagai: Lamanya gejala < 10
hari
Rinosinusitis non-viral akut didefinisikan sebagai: Perburukan gejala setelah 5 hari
atau gejala menetap setelah 10 hari dengan lama sakit < 12 minggu.
2. Rinosinusitis kronik pada dewasa
Gejala lebih dari 12 minggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± penurunan/ hilangnya penghidu
Dengan validasi anamnesis tentang gejala alergi, ingus seperti air, hidung gatal, mata
gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan alergi. (Foto
polos sinus paranasal/ tomografi komputer tidak direkomendasikan)
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding rinosinusitis tergantung dari gejala klinis pada pasien. Dari anamnesis bila
didapatkan keluhan hidung terseumbat dan berair, cairan putih kekuningan dapat difikirkan
adanyacommon cold, korpus alienum di hidung dan adenoitis. Jika ditemukan sakit kepala
dapat difikirkantension headache, migraine headache, cluster
headache atau reffered pain headache, sedangkan batuk kronik dapat difikirkan
pertusis, bronkitis, tuberkulosis, dan GERD.8
Pada polip nasi, diagnosis banding polip nasi termasuk tumor-tumor jinak yang dapat tumbuh
di hidung seperti kondroma, neurofibroma, angiofibroma dan lain-lain. Papiloma inversi
(Inverted papiloma) adalah tumor hidung yang secara histologis jinak tapi perangai klinisnya
ganas dapat menyebabkan pendesakan / destruksi dan sering kambuh kembali,
penampakannya sangat merupai polip. Tumor ganas hidung seperti karsinoma atau sarkoma
biasanya unilateral, ada rasa nyeri dan mudah berdarah, sering menyebabkan destruksi tulang.
Diagnosis banding lain adalah meningokel / meningoensefalokel pada anak. Biasanya akan
menjadi lebih besar pada saat mengejan atau menangis.8
I. TATALAKSANA
1. Penatalaksanaan Rinosinusitis4
Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah komplikasi; dan 3)
mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM
sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk
menghilagkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.
Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-
klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama
10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik
yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob.4
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti
analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCL atau
pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya
dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan
antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atauProetz displacement therapy juga
merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika
pasien menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis
kronik yang memerlukan operasi/ Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah
sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan
dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya
komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.4
2. Penatalaksanaan Polip6
a. Non Operatif
Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid. Baik bentuk
oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non -spesifik yang mengurangi
ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat- obatan lain tidak memberikan
dampak yang berarti
1) Kortikosteroid oral
Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip nasal adalah
kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi nonspesifik ini secara signifikan
mengurangi ukuran peradangan polip dan memperbaiki gejala lain secara cepat. Sayangnya,
masa kerja sebentar dan polip sering tumbuh kembali dan munculnya gejala yang sama dalam
waktu mingguan hingga bulanan
2) Kortikosteroid Topikal Hidung
Respon antiinflamasi non-spesifiknya secara teoritis mengurangi ukuran polip dan mencegah
tumbuhnya polip kembali jika digunakan berkelanjutan. Tersedia semprot hidung steroid
yang efektif dan relatif aman untuk pemakaian jangka panjang dan jangka pendek seperti
fluticson, mometason, budesonid dan lain-lain .
Follow up:
Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua kali setahun.
Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan follow up yang lebih
sering, terutama jika mereka sedang menerima kortikosteroid oral dosis tinggi atau
menggunakan semprot hidung steroid topikal dalam jangka lama.
Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi medikamentosa
gagal dan untuk pasien dengan infeksi / peradangan sinus berulang yang memerlukan
perawatan dengan berbagai antibiotik.
b. Operatif
Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari pasien diberi antibiotik dan kortikosteroid sistemik
dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi bakteri dan mengurangi inflamasi, karena
inflamasi akan menyebabkan edema dan perdarahan yang banyak, yang akan mengganggu
kelancaran operasi. Kortikosteroid juga bermanfaat untuk mengecilkan polip sehingga
operasinya akan lebih mudah. Dengan persiapan yang teliti, maka keadaan pasien akan
optimal untuk menjalani bedah sinus endoskopi dan kemungkinan timbulnya komplikasi juga
ditekan seminimal mungkin.
Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan
analgetik lokal, bisa juga dengan menggunakan alat yang sangat menguntungkan
seperti microdebrider yang dapat memotong langsung menghisap polip sehingga
perdarahan sangat minimal, yang terbaik ialah Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)
Skema penatalaksanaan rinosinusitis antara lain sebagai berikut:7
1. Rinosinusitis Akut Dewasa
(Gambar 6. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Pelayanan
Kesehatan Primer)
(Gambar 7. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis
THT)
2. Rinosinusitis Kronis pada Dewasa
(Gambar 8. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa Polip Hidung
Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer)
(Gambar 9. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung Pada Dewasa
Untuk Dokter Spesialis THT)
(Gambar 10. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Hidung Pada
Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT)
3. Rinosinusitis Akut pada Anak
(Gambar 11. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada anak)
4. Rinosinusitis Kronis pada Anak
(Gambar 12. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada anak)
J. KOMPLIKASI4
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi
berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut,
berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
Kelainan Orbita: Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita), yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal,
abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
Kelainan Intrakranial: Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis berupa:
Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat
sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus
maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga
menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan.
K. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan. Semakin
cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-obat simptomatis
bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan prognosis yang baik.
Polip nasi sering kambuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan
kepada penyebabnya, misalnya alergi. Tetapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab. Secara medikamentosa dapat diberikan
antihistamin, dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa
mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan
hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil
yang memuaskan.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto D, 4 E, Wardani RS. Hidung. Dalam Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2012; hal.118-122.
2. Soetjipto D, E. Sinus Paranasal. Dalam Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2012; hal.145-149.
3. Huvenne W, et al. Chronic Rhinosinusitis With and Without Nasal Polyps: What Is
the Difference? Current Allergy and Asthma Reports. 2009;(9):213 – 220.
4. 4 E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2012; hal.150-153.
5. Desrosiers M, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic
rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011;(7):2.
6. Budiman JB, Asyari A. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip
Nasi. Diakses
dari http://repository.unand.ac.id/17218/1/Penatalaksanaan_rinosinusiti
s _dengan_polip_nasi.pdf pada tanggal 9 Juli 2014.
7. Fokkens W, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. 2007.
Rhinology , Supplement
20; http://www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.
8. Brook I, et al. Acute Sinusitis Treatment & Management. 2013. Diakses
darihttp://emedicine.medscape.com/article/232670-treatment pada
tanggal 10 Juli 2014.9. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.
10. Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of chronic
rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85.
11. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 1-16.
12. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. American Family
Physician, 2001; 63:69-74.
13. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody FM, eds.
Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New York: Informa,
2007;1-12.
14. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani AK, eds.
Current diagnosis and treatment in otolaryngology – head and neck surgery. New York:
Mc Graw Hill, 2008; 273-281.