Komplikasi Rinosinusitis Pada Orbita FIX

35
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFARAT FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2014 UNIVERSITAS HASANUDDIN KOMPLIKASI RINOSINUSITIS PADA ORBITA MENURUT CHANDLER OLEH Achmad Fikry C 111 10 140 Achmad Randi C 111 10 PEMBIMBING dr Tenri Sanna DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

description

DBFSFVSFBDAGBASFBSBAFBSFBxcBDFBADGBADGNADGNADFBXCBDGNDAGBXZVBDGBDAGANDGNDAGBADGB

Transcript of Komplikasi Rinosinusitis Pada Orbita FIX

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL

REFARATFAKULTAS KEDOKTERAN

DESEMBER 2014

UNIVERSITAS HASANUDDIN

KOMPLIKASI RINOSINUSITIS PADA ORBITA MENURUT CHANDLER

OLEH

Achmad Fikry C 111 10 140Achmad Randi C 111 10 PEMBIMBING

dr Tenri Sanna

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK KEPALA & LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014

KOMPLIKASI RINOSINUSITIS PADA ORBITA MENURUT CHANDLERI. PendahuluanRinosinusitis merupakan proses peradangan pada mukosa hidung atau sinus paranasal yang disebabkan oleh kuman tertentu, ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala dimana salah satunya harus berupa gejala sumbatan hidung/ kongesti atau sekret yang keluar dari hidung baik dari anterior ataupun posterior (koana), dengan gejala lain adalah nyeri wajah dan gangguan penghidu. Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), sekitar 14 % penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya. Di Jakarta berdasarkan Penelitian Darmawan dkk tahun 2005, jumlah penderita rinosinusitis pada anak di RSCM Jakarta tahun 1998-2004 adalah 163 orang, terdiri dari 90 lelaki (55,2%) dan 73 perempuan (44,8%).1,2,3Inflamasi yang terjadi pada mukosa hidung dan sinus akibat infeksi ataupun alergi menyebabkan obstruksi pada kompleks ostio-meatal (KOM) merupakan dasar terjadinya rinosiusitis. Berdasarkan periodenya rhinosinusitis dibedakan menjadi akut bila berlangsung selama < 12 minggu dan kronik bila berlangsung selama > 12 minggu. Pemeriksaan penunjang tomografi komputer dapat memperlihatkan perubahan pada mukosa kompleks osteomeatal dan/atau sinus paranasal, sedangkan kultur sekret dan tes sensitivitas dapat digunakan untuk menentukan kuman penyebab rinosinusitis dan untuk menentukan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab. 1,2,3,4Komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik dapat berupa komplikasi lokal (mukokel, osteomielitis), komplikasi intrakranial dan komplikasi orbita. Komplikasi orbita umumnya terjadi akibat perluasan infeksi rinosinusitis akut pada anak sedangkan pada anak yang lebih besar dan orang dewasa dapat disebabkan oleh rinosinusitis akut ataupun kronik. 2,3,4,6Penyebaran infeksi rinosinusitis ke orbita dapat melalui penyebaran langsung melalui defek kelainan bawaan, foramen atau garis sutura yang terbuka, erosi tulang terutama pada lamina papirasea dan tromboflebitis retrograd langsung melalui pembuluh darah vena yang tidak berkatup yang menghubungkan orbita dengan wajah, kavum nasi, dan sinus paranasal.Klasifikasi komplikasi orbita menurut Chandler terdiri dari (gambar.1) :1,2,3,4,61. Selulitis periorbita : peradangan pada kelopak mata yang ditandai dengan edema pada kelopak mata.

2. Selulitis orbita : peradangan dan edema sudah meluas ke orbita, ditandai dengan adanya proptosis, kemosis, dan gangguan pergerakan bola mata. Biasanya bisa meluas menjadi abses orbita dan kebutaan.

3. Abses periorbita (abses subperiosteal) : pembentukan dan pengumpulan pus antara periorbita dan dinding tulang orbita, yang ditandai dengan proptosis dengan perubahan letak bola mata, gangguan pergerakan bola mata dan penurunan visus.

4. Abses orbita : terdapat pembentukan dan pengumpulan pus di orbita ditandai dengan optalmoplegi, proptosis, dan kehilangan penglihatan

5. Thrombosis sinus kavernosus : sudah terjadi perluasan infeksi ke sinus kavernosus yang ditandai dengan proptosis, optalmoplegi, kehilangan penglihatan disertai perluasan tanda infeksi ke mata yang sehat dan tanda-tanda meningitis.

Gambar 1. Selulitis Periorbita, 2. Selulitis Orbita, 3. Abses Periorbita, 4. Abses Orbita, 5. Trombosis Sinus KavernosusII. Anatomi & Fisiologi Sinus Paranasalis & Cavum Orbita

Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid, sinus maksila, dan sinus sfenoid.Sinus-sinus ini pada dasarnya adalah rongga-rongga udara yang berlapis mukosa di dalam tulang wajah dan tengkorak. Pembentukannya dimulai sejak dalam kandungan, akan tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan etmoid.9 Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia 25 tahun. Pada sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter, dan tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan atau dua puluhan. Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum berdiferensiasi. Pertumbuhan pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang kemudian akan menjadi konka inferior. Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal, yang akan menjadi konka media, superior dan supreme dengan cara terbagi menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua.Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoid.Sinus-sinus kemudian mulai berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus yang dihasilkan merupakan struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara detail dalam penanganan sinusitis, terutama sebelum tindakan bedah.4,52.2. Sinus Frontalis

Sinus frontalis terdiri dari 2 sinus yang terdapat di setiap sisi pada daerah dahi, di os frontal. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada pada usia 8 tahun dan mencapai ukuran maksimal pada usia 20 tahun. 4,5

Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita yang disebut dengan tulang compacta dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.4,5 2.3. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus Maksilaris merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. 4,5Letak ostium Sinus maksilaris lebih tinggi dari dasar sehingga aliran sekret tergantung dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,caninus. Akar-akar gigi dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis dan ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.4,52.4. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sama halnya dengan sinus maksilaris, bahwa sinus etmoidalis ini telah ada saat lahir. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 ml cm dibagian posterior. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. 4,5

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. 4,5

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan dinding anterior sinus sfenoid. 4,5

Berhubungan dengan orbita, sinus etmoid dilapisi dinding tipis yakni lamina papirasea. Jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah akan masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma.4,5 2.5. Sinus SfenoidalisSinus sfenoidalis terletak di dalam os sfenoidalis dibelakang sinus etmoid posterior. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Pneumatisasi sinus spenoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun. Biasanya berbentuk tidak teratur dan sering terletak di garis tengah. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus dibagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. 4,5

Batas sinus sfenoidalis adalah sebelah anterior dibentuk oleh resesus sfenoetmoidalis di medial dan oleh sel-sel etmoid posterior di lateral. Dinding posterior dibentuk oleh os sfenoidale. Sebelah lateral berkontak dengan sinus kavernosus, arteri karotis interna, nervus optikus dan foramen optikus. Penyakit-penyakit pada sinus sfenoidalis dapat mengganggu struktur-struktur penting ini, dan pasien dapat mengalami gejala-gejala oftalmologi akibat penyakit sinus primer. Dinding medial dibentuk oleh septum sinus tulang intersfenoid yang memisahkan sinus kiri dari yang kanan. Superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa dan sebelah inferiornya atap nasofaring. 4,5

Rinosinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada yaitu maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena dalah sinus etmoidalis dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan didalam rongga kepala , serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati. 4,5

Gambar 2 . Anatomi hidung dan sinus (Hilger, 1997)1. Sinus frontal2. Sinus etmoid anterior

3. Aliran dari sinus frontal

4. Aliran dari ethmoid

5. Sinus etmoid posterior

6. Konka media

7. Sinus sphenoid

8. Konka Inferior

9. Hard palate

Gambar 3. Dinding lateral hidung (Hazenfield, 2009)

Gambar 4 . Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur2.5 Cavum OrbitaOrbita berbentuk piramida mengarah ke posterior, dengan canalis optikus sebagai puncaknya. Dinding orbita terbentuk dari tujuh tulang, antara lain : frontalis, zygomaticus, maxillaris, ethmoidalis, sphenoidalis, lacrimalis dan palatinus. Volume tiap orbita berkembang seiring dengan usia. Pada saat lahir, volume orbita kurang lebih 10,3 mm3. Volume ini akan menjadi dua kali lipat pada tahun pertama, menjadi kurang lebih 22,3 mm3 dan kemudian terus berkembang mencapai ukuran kurang lebih 39,1 mm3 pada usia 6-8 tahun. Pada orang dewasa, volume orbita diperkirankan kurang lebih 59,2 mm3 pada pria dan 52,4 mm3 pada wanita. 6,7

Gambar 5. Anatomi tulang penyusun Cavum Orbita

Atap orbita tersusun dari kedua palatum orbital os frontalis dan ala parva os sphenoidalis. Fossa glandula lakrimalis terletak dibagian atap, membujur antero-lateral dibelakang prosesus zygomaticus os frontalis. Dibagian tengah terdapat fossa trochlearis, tempat melekatnya trochlea, yang merupakan pulley untuk pergerakkan otot oblikus superior. 6,7Dinding medial orbita tersusun dari empat buah tulang, yaitu : prosesus frontalis os maksilaris, os lakrimalis, palatum orbita os ethmoidalis dan ala parva os sphenoidalis. Os ethmoidalis merupakan penyusun terbanyak pada bagian ini. Fosa lakrimalis tersusun atas prosesus frontalis os maksilaris dan os lakrimalis. Dibagian bawah, os lakrimalis ini membentuk canalis nasolakrimalis, yang tembus sampai meatus inferior nasal. Pada dinding medial ini jg terdapat bagian yang tipis dan belubang-lubang, yang disebut lamina papyracea. 6,7Lantai orbita terbentuk dari tiga tulang, antara lain : atap sinus maksilaris dari os maksilaris, os palatinus, dan palatum orbitalis os zygomaticus. Sulkus infraorbitalis membujur dibagian dasar, mengecil kearah anterior. Selain itu juga terdapat foramen infraorbita, yang terletak pada tepi os maksilaris. Lantai orbita ini elevasinya menurun skitar 20o dari posterior ke anterior. Pada sisi ini juga terdapat origo dari otot oblikus inferior, satu-satunya otot ekstraokuli yang tidak berorigo di apex orbita. 6,7Dinding lateral orbita merupakan bagian paling tebal dang paling kuat, yang tersusun dari dua tulang, yaitu os zygomaticus dan ala magna os sphenoidalis. Pada bagian lateral, terdapat tuberkel whitnall, yang merupakan tempat melekatnya ligamen otot rektus medialis, ligamen suspensorium dari bola mata, ligamen palpebra lateralis, aponeurosis otot levator, dan ligamen whitnall. 6,7III. Komplikasi Orbita3.1. Selulitis Periorbita

Selulitis periorbita yang biasa terjadi ialah selulitis preseptal, yaitu infeksi pada jaringan subkutan di anterior septum orbital. Selulitis preseptal harus dibedakan dengan selulitis orbita karena meskipun memiliki gejala yang hampir serupa, penatalaksanaan dan komplikasi yang mungkin terjadi dari kedua keadaan tersebut berbeda. Perlu diingat bahwa selulitis preseptal seringkali berkembang menjadi selulitis orbital karena vena- vena fasial tidak memiliki katup sehingga proses peradangan seringkali meluas ke posterior.6,8,9,10Organisme terbanyak penyebab selulitis preseptal adalah staphylococcus aureus dan streptococcus pyogenes. Selain itu, beberapa bakteri anaerob juga sering menjadi etiologi dari selulitis preseptal. Pada tahun 1985, penyebab tersering adalah haemophilus influenzae. Sebuah studi saat itu menunjukkan bahwa sekitar 40% pasien memiliki hasil kultur darah positif. Seiring dengan peningkatan penggunaan vaksin, tren ini menurun dan saat ini pada kultur darah, organisme penyebab selulitis seringkali tidak ditemukan atau negatif yang belum jelas diketahui alasan dan keterkaitannya dengan penurunan hasil positif dari h. influenzae.6,8,10Jalur masuk infeksi sendiri dapat dibagi menjadi:6,8,9 Infeksi eksogen, misalnya seperti trauma atau gigitan serangga

Penyebaran infeksi jaringan sekitar seperti sinusitis, dakriosistisis, atau hordeolum

Infeksi endogen, berasal dari penyebaran infeksi dari tempat yang jauh seperti

saluran napas atas melalui rute hematogen.

Selulitis preseptal bermanifestasi sebagai edema inflamasi pada kelopak mata dan kulit periorbital tanpa melibatkan orbita dan struktur di dalamnya. Maka itu, karakteristik dari penyakit ini adalah pembengkakan periorbital akut, eritema, dan hiperemia pada kelopak mata tanpa adanya gejala- gejala proptosis, kemosis, gangguan visus, dan gangguan gerakan bola mata. Mungkin juga terdapat demam dan leukositosis.6,8,9,10

Gambar 6. Selulitis periorbital sinistra

Gambar 7. CT-Scan potongan Axial menunjukkan selulitis periorbital dextraPengobatan selulitis preseptal menggunakan co-amoxiclav 500/125mg setiap 8 jam. Infeksi yang parah membutuhkan antibiotik IV. Pengobatan harus dimulai sebelum organisme penyebab teridentifikasi. Terapi antibiotik awal harus mengatasi stafilokokus, H. influenzae, dan bakteri anaerob. Selulitis pascatrauma, khususnya setelah gigitan hewan, harus diberikan antibiotik untuk mengatasi basil gram negative dan gram positif. Dekongestan hidung dan vasokonstriktor dapat membantu drainase PNS. Juga perlu diberikan analgesia dan NSAID untuk mengontrol nyeri dan demam. Konsultasi dengan otorlaringologis sejak dini bermanfaat. Sebagian besar kasus berespon cepat dengan pemberian antibiotik. Kasus yang tidak berespon mungkin membutuhkan tindakan bedah seperti drainase PNS melalui pembedahan. Pada selulitis praseptal supuratif diindikasikan drainase melalui pembedahan sejak dini. MRI bermanfaat untuk menentukan kapan dan dimana drainase harus dilakukan. Indikasi pembedahan lainnya adalah terdapatnya abses intrakranial atau subperiosteal, dan gambaran atipikal yang mungkin membutuhkan biopsi.9,10Dengan pengenalan dan penanganan yang tepat, prognosis untuk sembuh total tanpa komplikasi sangat baik. Morbiditas terjadi dari penyebaran patogen ke orbita yang dapat mengancam penglihatan dan berlanjut ke penyebaran CNS.9,103.2. Selulitis Orbita

Selulitis orbita adalah infeksi aktif jaringan lunak orbita yang terletak posterior dari septum orbita. Lebih dari 90% kasus selulitis orbita terjadi akibat kasus sekunder karena sinusitis bakterial akut atau kronis.6,8,11Selulitis orbita karena infeksi gigi (odontogen) merupakan kasus yang sedikit, hanya 25% dari semua kasus selulitis orbita. Sedangkan sinusitis yang disebabkan oleh faktor odontogen diperkirakan 1012% dari semua kasus sinusitis. Sumber infeksi dapat timbul dari semua gigi, terutama premolar dan molar superior.Penyebab dan faktor predisposisi selulitis orbita antara lain sinusitis, trauma okuli, riwayat operasi, dakriosistitis, sisa benda asing di mata dan periorbita, infeksi gigi (odontogen), tumor orbita atau intraokuler, serta endoftalmitis.8,9,11

Patogenesis selulitis orbita odontogen adalah melalui 3 rute dasar penyebaran infeksi yaitu sinus paranasalis, jaringan lunak premaksila atau melalui fossa infratemporalis dan fisura orbitalis inferior. Kasus terbanyak adalah melalui sinus paranasalis,terutama sinus maksilaris. Puncak gigi molar dan premolar superior terletak pada dasar sinus maksilaris, sehingga infeksi pada gigi-gigi ini dapat mengakibatkan sinusitis maksilaris yang pada gilirannya akan mengenai jaringan orbita.8,9,11

Kuman penyebab selulitis orbita odontogen pada umumnya polimikrobial, dengan proliferasi spesies aerob dan anaerob. Hasil kultur terdiri dari kuman aerob gram-positif (S.aureus dan epidermis, Streptoccosus) dan anaerob (Bacteroides) dan beberapa kuman oral patogen (Peptostreptococcus, Prevotella, Fusobacterium,dan Streptococcus hemolitik).10,11

Gambaran klinisnya antara lain demam (lebih dari 75% kasus disertai lekositosis), proptosis, kemosis, hambatan pergerakan bola mata dan nyeri pergerakan bola mata. Keterlambatan pengobatan akan mengakibatkan progresifitas dari infeksi dan timbulnya sindroma apeks orbita atau trombosis sinus kavernosus. Karena sebagian besar selulitis orbita merupakan manifestasi dari sinusitis, maka pemeriksaan CT Scan pada sinus paranasal merupakan keharusan. Dilakukan konsultasi dengan bagian otolaringologi untuk pemeriksaan sinus.9,10,11

Gambar 8. Pasien dengan selulitis orbita stadium abses pada mata kanan tampak protosis, kemosis dan adanya luka yang mengeluarkan nanah.

Gambar 9.Foto Waters dengan gambaran sinusitis maksilaris dan etmoidalis kanan serta penebalan kavum nasi

Gambar 10.CT Scan potongan aksial dengan kontras tampak deformitas orbita kanan akibat lesi di medial dan apeks orbita dengan gambaran gasforming.Terapi antibiotik harus berspektrum luas yang mencakup semua spesies tersebut termasuk kuman patogen oral. Selulitis orbita odontogen biasanya tidak memberikan respons terhadap pemberian antibiotika saja dan memerlukan insisi dan drainase. Menurut Pat dan Manning tindakan bedah orbita dan sinus pada kasus selulitis orbita dilakukan bila secara klinis dan radiologis didapatkan tanda-tanda supurasi, adanya penurunan visus pada pasien dengan immunocompromised, adanya komplikasi lebih berat seperti kebutaan dan defek pupil aferen dengan selulitis ipsilateral dan timbulnya tanda-tanda progresivitas pada orbita walaupun sudah diberikan antibiotika intravena.9,10,11

Apabila pada pemeriksaan klinis dan radiologis didapatkan tanda-tanda radang supuratif sehingga perlu dilakukan insisi dan drainase. Indikasi dilakukan enukleasi adalah painful blind eye yang disebabkan oleh endoftalmitis. Maccheron dan kawan-kawan melakukan tindakan enukleasi pada selulitis orbita dan panoftalmitis dengan painful blind eye dengan tujuan life saving. Tindakan ini untuk mencegah komplikasi lebih lanjut seperti septisemia dan pneumonia.10,11Pendekatan klinis terhadap diagnosis dan penatalaksanaan sinusitis telah mengalami perubahan selama beberapa tahun terakhir seiring dengan perkembangan di bidang mikrobiologi dan radiologi serta adanya teknik terbaru mengenai teknik bedah minimal invasif seperti Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Penggunaan teknik FESS memungkinkan untuk secara langsung mendapatkan visualisasi cavum sinus. FESS secara praktis menggantikan teknik Caldwell-Luc sebagai pilihan utama terapi bedah pada sinus maksilaris dan untuk mendapatkan drainase yang adekuat pada banyak kasus. Meskipun demikian teknik Caldwell-Luc masih digunakan pada kasus-kasus ekstirpasi benda asing dan beberapa kasus kiste serta tumor sinus maksilaris.10,11Keterlambatan pengobatan akan mengakibatkan progresifitas dari infeksi dan timbulnya sindroma apeks orbita atau trombosis sinus kavernosus. Komplikasi yang terjadi antara lain kebutaan, kelumpuhan saraf kranial, abses otak, dan bahkan dapat terjadi kematian.10,113.3. Abses Periorbita

Infeksi orbita dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu septikemia bakteri, luka tembus atau sekunder dari infeksi kulit. Sinusitis merupakan penyebab terbanyak dari infeksi akut orbita. Chandler dkk mengajukan sistem klasifikasi berdasarkan proses penyebaran penyakit dari selulitis periorbita sampai trombosis sinus kavernosus. Keterlibatan orbita disebabkan oleh penyebaran infeksi langsung dari tulang yang tipis, tromboflebitis atau tromboemboli pada sistem vena tanpa katup.3,10,12 Abses periorbita merupakan proses infeksi yang ditandai dengan kumpulan abses antara lamina papirasea dengan periorbita. Kumpulan pus antara lamina papirasea dan periorbita menyebabkan proptosis dan perpindahan bola mata. Perkembangan abses periorbita dapat menimbulkan komplikasi yang serius pada mata, abses serebri dan kehilangan penglihatan yang permanen. 3,10,12Insiden komplikasi orbita yang disebabkan oleh rinosinusitis ini semakin berkurang setelah ditemukannya antibiotik, terutama kehilangan penglihatan hingga kematian karena penyebaran ke intrakranial. Penelitian Neto menyebutkan bahwa dari 25 pasien sinusitis dengan komplikasi orbita pada tahun 1985-2004, 24 pasien mengalami selulitis periorbita dan sisanya abses subperiosteal (abses periorbita). Disebutkan juga bahwa kejadian paling sering pada laki-laki dengan rasio 2 : 1 dan paling sering terkena anak umur < 5 tahun.18 Hampir sama dengan Nwaogru dari 90 pasien, laki-laki lebih sering terkena (2 : 1), umur antara 3,5 66 tahun, ditemukan 47 pasien (52 %) didiagnosis sinusitis dengan komplikasi selulitis orbita, 9 orang (19,2 %) didiagnosis thrombosis sinus kavernosus. 3,10,12Komplikasi orbita ini umumnya terjadi pada anak-anak dengan rinosinusitis akut. Sedangkan pada orang dewasa komplikasi ini terjadi baik pada rinosinusitis akut ataupun rinosinusitis kronis. Hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti anatomi antara sinus paranasal dan orbita, kekebalan tubuh yang menurun terutama pasien dengan imunodefisiensi, serta faktor lingkungan seperti kebersihan, musim, ataupun alergen. Menurut Eviatar dan Nageswaran, keterlibatan sinus paranasal yang menimbulkan komplikasi orbita pada anak-anak terutama disebabkan oleh infeksi pada sinus etmoid. Hal yang berbeda dinyatakan oleh Nwaorgu yang menyatakan bahwa sinus maksila lebih berperan pada proses rinosinusitis yang menyebabkan komplikasi orbita baik anak ataupun dewasa. 3,10,12Keluhan yang dirasakan oleh pasien dapat berupa bengkak pada mata, nyeri, gangguan penglihatan disertai demam. Pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan konka inferior edema serta terdapat sekret seromukosa berwarna putih kekuningan. Ini sesuai dengan gejala rinosinusitis dengan komplikasi abses periorbita yaitu edema pada konka media, eritem dan terdapat sekret mukopurulen serta pemeriksaan mata ditemukan kemosis, proptosis, gangguan gerakan bola mata dan penurunan penglihatan. 3,10,12

Gambar 11 . Gambaran klinis abses periorbita

Gambar 12. Tomografi abses periorbita pada pasien rinosinusitisTerapi awal abses periorbita ialah dengan pemberian intravena anti-biotik, anti-inflamasi, dekongestan, dan mukolitik. Tindakan operatif dekompresi orbita dengan bedah sinus endoskopi fungsional karena tidak ada perbaikan setelah 48 jam pemberian antibiotik intravena dan sudah terdapat penurunan visus. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa terapi pembedahan pada rinosinusitis dengan komplikasi orbita diindikasikan bila : 3,10,121. Terlihat gambaran abses yang dibuktikan dengan tomografi komputer

2. Tidak terdapat perbaikan setelah 48 jam pemberian antibiotik yang adekuat

3. Komplikasi orbita yang berat seperti kebutaan atau reflek pupil yang meningkat

4. Penurunan fungsi penglihatan

5. Peningkatan tanda-tanda proptosis dan oftalmoplegi.Penanganan abses periorbita dapat dilakukan dengan melakukan drainase abses dengan dekompresi orbita. Dekompresi orbita dapat dilakukan melalui kantotomi lateral, kantolisis inferior atau insisi periosteum periorbita setelah pengangkatan lamina papirasea. Dekompresi orbita dapat dilakukan dengan pendekatan bedah sinus endoskopi. Menurut Froenhlich dkk seperti yang dikutip oleh Sciarretta dkk bahwa penanganan abses periorbita dengan pendekatan endoskopi dengan etmoidektomi anterior dan membuka bagian anterior lamina papirasea adekuat untuk drainase abses. Dekompresi orbita dengan pendekatan endoskopi merupakan pilihan dalam penanganan abses periorbita. Hal ini membutuhkan keahlian operator untuk mencegah komplikasi seperti diplopia, perdarahan intraorbita, kerusakan muskulus ekstraokuler dan keterbatasan gerak ekstraokuler. 3,10,12Prognosis pasien rinosinusitis dengan komplikasi orbita umumnya baik setelah ditemukannya antibiotik, pemeriksaan penunjang tomografi komputer hingga MRI, dan teknik pembedahan endoskopi yang minimal invasif. Komplikasi yang mungkin terjadi dapat berupa kehilangan penglihatan, gejala sisa neurologis hingga kematian. Eviatar serta Neto, menyebutkan dalam laporannya bahwa dari semua pasien sinusitis dengan komplikasi orbita yang diobati baik konservatif saja ataupun kombinasi dengan pembedahan, semuanya sembuh tanpa ada gejala sisa. Pasien tetap dianjurkan kontrol secara berkala untuk menilai keberhasilan operasi dan ada tidaknya gejala sisa ataupun kekambuhan. Pemberian obat antibiotik oral dan dekongestan tetap diberikan hingga infeksi sinus paranasal diyakini tidak ada lagi. 3,10,123.4. Abses Orbita

Abses orbita adalah kumpulan pus diantara jaringan lunak pada orbita (khurana). Secara klinis abses orbita dapat dicurigai dengan tanda-tanda proptosis berat, oftalmoplegia total, penanda kemosis, dan titik-titik pus dibawah konjungtiva, tetapi semua tanda-tanda ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT Scan.7,8,10

Gambar 13. Septum Orbital merupakan jaringan ikat yang meluas ke kelopak mata atas dan bawah

Abses sering diperoleh dari penyakit etmoid, tetapi dapat juga terjadi sepanjang atap orbita akibat rinosinusitis frontal. Infeksi pada orbita disebabkan oleh bakteri Streptokokus pneumoniae, Stafilokokus aureus, Streptokokus piogens, dan Haemofilus influenzae. Orbita dapat terinfeksi melalui cara, seperti: 7,8,10 Exogenous infectionCedera akibat penetrasi terutama berhubungan dengan retensi benda asing intraorbita dan operasi seperti pengeluaran isi bola mata, enukleasi, dakriosistektomi, dan orbitotomi Extension of infection from neighbouringTemasuk melalui sinus paranasal, gigi, wajah, kelopak mata, rongga intrakranial, dan struktuk intraorbita. Ini adalah cara paling umum untuk terjadinya infeksi pada orbita. Endogenous infectionCara ini jarang ditemukan, biasanya disebabkan infeksi metastasis abses payudara, sepsis, septikemia, dan tromboflebitis tungkai.

Gejala-gejala infeksi orbita adalah bengkak pada mata dan nyeri hebat yang semakin menigkat dengan pergerakan mata atau penekanan pada mata. Gejala lain yang menyertai seperti demam, mual, muntah, penonjolan bola mata, dan terkadang kehilangan pengelihatan. Tanda-tanda selulitis orbita diantaranya : 7,8,10 Pembekakan kelopak mata yang ditandai dengan perabaan keras dan kemerahan

Kemosis konjungtiva, dapat menonjol dan menjadi kering atau nekrosis.

Bola mata menonjol ke arah aksial.

Terbatasnya pergerakan bola mata ringan sampai berat.

Pemeriksaan fundus didapatkan kongesti vena-vena retina dan tanda-tanda papilitis atau papil edema.

Komplikasi abses orbita terjadi bila abses tersebut tidak ditangani dengan tepat, diantaranya adalah komplikasi ke bola mata seperti kebutaan, neuritis optik, dan oklusi arteri retina sentral. Komplikasi lainnya berupa abses temporal atau parotis, trombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak, dan septikemia. 7,8,10Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis diantaranya : 7,8,10 Kultur bakteri yang diambil melalui swab pada hidung dan konjungtiva dan sampel darah.

Darah rutin dapat ditemukan leukositosis

X-ray sinus paranasal untuk mengetahui hubungan abses orbita dengan sinusitis

USG orbita untuk mendeteksi abses intraorbita

CT scan dan MRI untuk mendeteksi abses orbita, abses periorbita, perluasan intrakranial, dan menentukan arah drainase abses orbita.

3.5. Trombosis Sinus Cavernosus

Trombosis sinus cavernosus (TSC) adalah suatu trombosis (bekuan darah) yang berada di dalam penbuluh darah pada sinus cavernosus. Trombosis sinus cavernosus pertama kali ditemukan sebagai komplikasi dari infeksi epidural dan subdural.13,14Sinus cavernosus adalah suatu rongga anatomis di dalam cranium yang terletak di posterior cavum orbita, lateral sella tursica, dan superior sinus sphenoidalis. Sinus cavernosus berisi anyaman pembuluh darah vena (vena opthalmicus superior dan inferior) dan arteri (arteri carotis interna), serta beberapa nervus, seperti : n. occulomotoris, n. trochlearis, n. opthalmicus, n. maksilaris, dan n. abducens. Pembuluh darah yang berada di dalam sinus cavernosus berfungsi untuk membawa darah ke otak sedangkan saraf-saraf cranial yang terdapat di sinus cavernosus berfungsi untuk mengontrol pergerakan mata dan sensorik dari muka bagian atas dan bagian tengah dari kepala dan wajah. 8,13,14 Gambar 14 . Arteri carotis interna & Sinus CavernosusTrombosis sinus cavernosus umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri (umumnya Streptococcus pneumoniae dan Stafilococcus aureus) yang menyebar dari daerah sekitarnya, seperti: telinga, hidung, mata, dan gigi (rahang atas). Penyebab lain yang jarang ditemukan adalah jamur (Aspergillus dan Rhizopus). TSC ini sangat jarang ditemukan. Kondisi ini dapat menyebabkan sakit di sekitar mata, kehilangan penglihatan, mata menonjol, mata tidak dapat digerakkan ke beberapa arah, dan mata sayu. 8,13,14

Gambar 15 . Gambaran klinis Trombosis Sinus CavernosusInfeksi yang terjadi di regio fasialis, seperti jerawat di area nostril, labii superior, atau nasal dapat menyebabkan inflamasi di daerah tersebut. Kondisi ini disebut selulitis yang dapat menyebar ke sinus cavernosus. Jika kondisi ini terjadi, darah di dalam sinus akan menjadi darah yang terinfeksi. Hal ini dapat terjadi karena pembuluh darah vena yang terdapat di TSC tidak mempunyai katub. Darah dapat mengalir ke regio-regio tertentu tergantung dari perbedaan tekanan dalam pembuluh darah. Gejala yang umumnya timbul dari thrombosis sinus cavernosus adalah : 8,13,14 demam (hipertermi),

sakit pada daerah sekitar dan belakang mata,

penurunan kesadaran,

takikardi,

kaku kuduk,

kejang,

susah menggerakkan mata,

paralisa wajah (kebas),

mata tampak sayu,

bengkak pada kelopak mata dan membran yang menutupi sklera,

mata tampak menonjol,

gangguan pendengaran, atau keluar cairan dari telinga,

keluar sekret berwarna kuning, hijau, atau merah (darah) dari sinus, dan

diplopia atau kehilangan penglihatan.

Untuk menegakkan diagnosa, dapat dilakukan beberapa tes seperti : 13,141. Tes pungsi lumbar, tes ini dilakukan dengan cara mengambil sampel cairan dari medulla spinalis (untuk menunjukkan tanda-tanda infeksi).

2. CT Scan

3. MRI

4. Kultur bakteri dapat dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab. Sampel dapat diambil dari darah, cairan atau pus dari tenggorokan atau hidung.

5. Dapat dilakukan angiography untuk menunjang diagnosa

Trombosis sinus cavernosus tidak menular dan bukan penyakit keturunan. Tidak ada predileksi ras dan jenis kelamin. Kondisi ini dapat terjadi pada semua usia. Trombosis sinus cavernosus dapat mengancam jiwa pasien sehingga memerlukan terapi segera. 2-3 dari 10 penderita dapat meninggal. Terapi yang dapat diberikan adalah antibiotik dosis tinggi (antibiotik spectrum luas), diberikan secara intravena selama 3-4 minggu. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi gejala inflamasi. Antikoagulan masih merupakan perdebatan untuk digunakan sebagai terapi dari TSC, beberapa literatur menyatakan pemberian antikoagulan dapat mengurangi resiko terjadinya septic emboli. Apabila kondisi penderita tidak bertambah baik, dokter dapat melakukan drainase bedah pada sinus. Angka kematian dari trombosis sinus cavernosus menurun seiring dengan banyaknya antibiotik dosis tinggi yang ditemukan. 8,13,14IV. Kesimpulan

Rinosinusitis merupakan proses peradangan pada mukosa hidung atau sinus paranasal yang disebabkan oleh kuman tertentu, ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala dimana salah satunya harus berupa gejala sumbatan hidung/ kongesti atau sekret yang keluar dari hidung baik dari anterior ataupun posterior (koana), dengan gejala lain adalah nyeri wajah dan gangguan penghidu. Komplikasi yang disebabkan oleh rinosinusitis dapat berupa komplikasi lokal (mukokel, osteomielitis), komplikasi intrakranial dan komplikasi orbita. Penyebaran infeksi rinosinusitis ke orbita dapat melalui penyebaran langsung melalui defek kelainan bawaan, foramen atau garis sutura yang terbuka, erosi tulang terutama pada lamina papirasea dan tromboflebitis retrograd langsung melalui pembuluh darah vena yang tidak berkatup yang menghubungkan orbita dengan wajah, kavum nasi, dan sinus paranasal. Sekarang banyak dikenal pengkalsifikasian komplikasi orbita salah satunya klasifikasi Chandler terdiri dari, Selulitis periorbita, selulitis orbita, abses periorbita (abses subperiosteal), abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus. Prinsip terapi yang dilakukan adalah pemberian antibiotik, antiinflamasi dan terapi simtomatik, apabila tidak berespon maka tindakan pembedahan sangat disarankan dengan bekerjasama dokter spesialis mata yang tentunya pembedahan rinosinusitis dilakukan oleh dokter spesialis THT-KL. DAFTAR PUSTAKA

1. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 1-16.2. N.V Deepthi, U.K. Menon, K. Madhumita. Chronic rhinosinusitis an overview. Amrita Journal of Medicine, 2012; 8:1-6.3. Effy Huriyati, Bestari, J. Budiman, Heru Kurniawan Anwar. Rinosinusitis kronis dengan komplikasi abses periorbita. Padang: Bagian THT-KL Univ.Andalas, 2012;1-8.4. Selvianti, Irwan Kristyono. Patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga, 2012; 1-19.5. Dwi Rita Anggraini. Anatomi dan fungsi sinus paranasal. USU Repisotory, 2006; 1-21. 6. Balasubramanian Thiagarajan. Orbital complications of sinusitis review. Ortoline, 2014; 1-14.7. Khurana A K. Comprehensive Ophthalmology 4th ed.New Age International Ltd. 20078. Balasubramanian Thiagarajan. Complications of sinusitis. Chennai: Stanlley Medical College, 2014; 1-7. 9. Pjerin Radovani, Dritan Vasili, Mirela Xhelili, Julian Dervishi. Orbital complications of sinusitis. Balkan Med J, 2013; 30: 151-4.10. Gusti G. Suardana, Michael Christian. Selulitis preseptal. Jakarta: Dep. Ilmu Kesehatan Mata Univ. Indonesia, 2013; 1-20. 11. Heni Riyanto, Balgis Desy, Hendrian Dwi Kaloso, Soebagyo. Orbital cellulitis and endophthalmitis associated with odontogenic paranasal sinusitis. JOI, 2009; 7: 1-4.12. Bestari J Budiman, Sri Mulyani. Rinosinusitis akut pada anak dengan komplikasi abses periorbita. Padang: Bagian THT-KL Univ.Andalas, 2010; 1-5. 13. Rahul S. Cavernous sinus thrombosis: Medscape Reference. 201114. James G. Cavernous sinus thrombosis. The Meck Manual Professional Edition., U.S.A., April 2014.