Tinjauan pustaka Rinosinusitis

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DEFINISI Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus paranasal. 9 Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi bersama- sama. 10 Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis. 11 Fakta tersebut menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep “one airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain. 9 Sejumlah kelompok konsensus menyetujui pernyataan tersebut sehingga terminologi yang lebih diterima hingga kini adalah rinosinusitis daripada sinusitis. 9- 13 Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

description

ddddddddd

Transcript of Tinjauan pustaka Rinosinusitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum nasi dan

sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi yang terjadi pada

kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus paranasal.9 Secara histologi,

mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus

senantiasa berhubungan dengan kavum nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common

cold ditunjukkan bahwa mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses

inflamasi bersama-sama.10 Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga

menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan

berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.11 Fakta tersebut

menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep

“one airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan

cenderung berkembang ke bagian yang lain.9 Sejumlah kelompok konsensus menyetujui

pernyataan tersebut sehingga terminologi yang lebih diterima hingga kini adalah rinosinusitis

daripada sinusitis.9-13 Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi secara lebih jelas

dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur yang terdapat pada

kompleks ostiomeatal meatus medius.14

A. ANATOMI FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

1. HIDUNG

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)

pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip), 4) ala

nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka

tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang

berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubah hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1)

tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal;

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang

kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor) dan 3) tepi anterior kartilago septum.1

Gambar 1. Anatomi hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu

atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang

disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior

disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar

sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.1

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior

dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondirum pada bagian tulang rawan dan periosteum

pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral

terdapat 4 buah konka, yaitu konka inferior yang terbesar dan letaknya paling bawah,

kemudian konka media, konka superior dan yang terkecil yaitu konka suprema yang biasanya

rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin

etmoid.1

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu inferior, medius dan

superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding

lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada

meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada

meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat

muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1

Gambar 2. Anatomi Kavum Nasi

Batas rongga hidung antara lain: 1

Inferior: dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum

Superior: atap hidung yang sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis yang

memisahkan rongga tengkorak dari rungga hidung. Lamina kribiformis merupakan

lempeng tulang berasal dari os etmoid yang berlubang-lubang tempat masukna serabut-

serabut saraf olfaktorius.

Posterior: atap rongga hidung yang dibentuk oleh os sfenoid

Kompleks Ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang

dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk

KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger

nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi

dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior

dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan

patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.1

Gambar 3. Kompleks Ostiomeatal

2. SINUS PARANASAL

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan

karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,

mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid

kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga

terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga

hidung.2

Sinus disusun oleh mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia

bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-

jalur yang sudah tertentu polanya. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang

bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius,

sedangkan lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus

sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada

sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di

rongga hidung.2

Fungsi sinus paranasal belum diketahui secara pasti, beberapa teori yang

dikemukakan antara lain sebagai pengatur kondisi udara, penahan suhu, membantu

keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam perubahan tekanan udara dan

membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.2

Gambar 4. Anatomi Sinus Paranasal

C. EPIDEMIOLOGI

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering terjadi dan memiliki efek yang signifikan pada

kualitas hidup dan kebutuhan perawatan kesehatan. Di Kanada, 2,89 juta orang menderita

rinosinusitis pada tahun 2006, dengan perkiraan 2/3 untuk rinosinusitis akut, dan 1/3 untuk

rinosinusitis kronik. Di Amerika Serikat pada tahun 2007, rinosinusitis akut dialami oleh 26

juta orang dan menyebabkan 12,9 juta kunjungan ke rumah sakit. Prevalensinya berkisar

antara 5% dari seluruh populasi. Prevalensi ini lebih tinggi ditemukan pada perempuan

dibandingkan laki-laki (5,7% : 3,4% untuk orang berusia >12 tahun) dan meningkat seiring

usia. Rinosinusitis akut berhubungan dengan merokok, sosial ekonomi rendah, riwayat alergi,

asma dan PPOK.5

D. ETIOLOGI

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis

terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi

seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostiomeatal, infeksi tonsil,

infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom Kartagenener, dan di

luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor

penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan

sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah

lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-

lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.4

 E. PATOFISIOLOGI

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens

mukosiliar didalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikroba dan zat-zat yang

berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara

pernafasan.6

Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa

yang berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium

tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan

terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinositis non-

bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.6

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik

untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut

sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak

berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan

bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus

yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,

polipoid atau pembengkakan polip dan kista.6

Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut

adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Hemophylus influenzae (20-40%)

dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak,M. Catarrhalis lebih banyak ditemukan

(20%). Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumya bakteri yang

ada lebih condong ke arah bakteri negatif gram dan anaerob.4

Rinosinusitis dan Polip Nasi

Polip nasi dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan

yang mengakibatkan rinosinusitis, tetapi dapat juga timbul setelah ada rinosinusitis kronis.6

Pada patofisiologi sinusitis, permukaan mukosa ditempat yang sempit di komplek

osteomeatal sangat berdekatan dan jika mengalami oedem, mukosa yang berhadapan akan

saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka

terjadi gangguan drainase dan ventilasi dari sinus maksila dan sinus frontal, sehingga

akibatnya aktifitas silia terganggu dan terjadi genangan lendir sahingga lendir menjadi lebih

kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuh bakteri patogen. Bila sumbatan

berlangsung terus maka akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga bakteri anaerob pun

akan berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia.

Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertofi, polipoid atau terbentuk polip

dan kista.6

F. MANIFESTASI KLINIS

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa tekanan pada

muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat

disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.4

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis

akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi

menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata menandakan

sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis

sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada

sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.  4 Gejala lain adalah sakit

kepala, hiposmia/ anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak

pada anak. 4

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2

dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik,

gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius,

gangguan ke paru seperti bronitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah

serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat

menyebabkan gastroenteritis.4

Pada rinosinusitis yang disertai polip nasi, gejala primer adalah hidung tersumbat, terasa ada

masa dalm hidung, sukar mengeluarkan ingus dan hiposmia atau anosmia. Gejala sekunder

termasuk post nasal drip, rinore, nyeri wajah, sakit kepala, telinga terasa penuh,

mengorok, gangguan tidur dan penurunan prestasi kerja.6

 G. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi

sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di

meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus

superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema

dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius 4

Rinosinusitis yang disertai polip biasanya terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Polip

yang sangat besar dapat mendesak dinding rongga hidung sehingga menyebabkan deformitas

wajah (hidung mekar). Polip kecil yang berada di celah meatus medius sering tidak terdeteksi

pada rinoskopi anterior dan baru terlihat pada nasoendoskopi.6

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-scan. Foto polos posisi

Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti

sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air

fluid level) atau penebalan mukosa.4

CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai

anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan

perluasannya. 4 Pada pemeriksaan CT-scan akan terlihat bagaimana sel-sel ethmoid dan

kompleks ostio-meatal tempat biasanya polip tumbuh. CT scan perlu dilakukan bila ada polip

unilateral, bila tidak membaik dengan pengobatan konservatif selama 4-6 minggu, bila akan

dilakukan operasi BESF dan bila ada kecurigaan komplikasi sinusitis.6

Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.

Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya. 4

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari

meatus medius/ superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila

diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. 4

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus

inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya,

selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. 4

Gambar 5. CT Scan pada polip nasi

Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan adalah tes alergi pada pasien yang diduga

atopi, biopsi bila ada kecurigaan keganasan dan kultur polip nasi.4

Beratnya Penyakit7

Derajat rinosinusitis dapat ditentukan berdasarkan skor total visual analogue

scale (VAS) dengan menanyakan seberapa besar gangguan dari gejala rinosinusitis pasien

terhadap kegiatan sehari-hari yang diukur dengan skor 0 – 10. Derajat rinosinusitis

diinterpretasikan sebagai berikut: Ringan = VAS 0-3

Sedang= VAS >3-7

Berat = VAS >7-10

Nilai VAS > 5 mempengaruhi kualitas hidup pasien. Kriteria diagnosis rinosinusitis

antara lain:7

1. Rinosinusitis akut pada dewasa

Diagnosis: Berdasarkan gejala, pemeriksaan radiologis tidak diperlukan (foto polos

sinus paranasal tidak direkomendasikan). Gejala kurang dari 12 minggu:

Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

± penurunan/ hilangnya penghidu

Dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi

Dengan validasi anamnesis tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti

air, hidung gatal dan mata gatal serta berair.

Common cold/ rinosinusitis viral akut didefinisikan sebagai: Lamanya gejala < 10

hari

Rinosinusitis non-viral akut didefinisikan sebagai: Perburukan gejala setelah 5 hari

atau gejala menetap setelah 10 hari dengan lama sakit < 12 minggu.

2. Rinosinusitis kronik pada dewasa

Gejala lebih dari 12 minggu

Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/

obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):

± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah

± penurunan/ hilangnya penghidu

Dengan validasi anamnesis tentang gejala alergi, ingus seperti air, hidung gatal, mata

gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan alergi. (Foto

polos sinus paranasal/ tomografi komputer tidak direkomendasikan)

H. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding rinosinusitis tergantung dari gejala klinis pada pasien. Dari anamnesis bila

didapatkan keluhan hidung terseumbat dan berair, cairan putih kekuningan dapat difikirkan

adanyacommon cold, korpus alienum di hidung dan adenoitis. Jika ditemukan sakit kepala

dapat difikirkantension headache, migraine headache, cluster

headache atau reffered pain headache, sedangkan batuk kronik dapat difikirkan

pertusis, bronkitis, tuberkulosis, dan GERD.8

Pada polip nasi, diagnosis banding polip nasi termasuk tumor-tumor jinak yang dapat tumbuh

di hidung seperti kondroma, neurofibroma, angiofibroma dan lain-lain. Papiloma inversi

(Inverted papiloma) adalah tumor hidung yang secara histologis jinak tapi perangai klinisnya

ganas dapat menyebabkan pendesakan / destruksi dan sering kambuh kembali,

penampakannya sangat merupai polip. Tumor ganas hidung seperti karsinoma atau sarkoma

biasanya unilateral, ada rasa nyeri dan mudah berdarah, sering menyebabkan destruksi tulang.

Diagnosis banding lain adalah meningokel / meningoensefalokel pada anak. Biasanya akan

menjadi lebih besar pada saat mengejan atau menangis.8

I. TATALAKSANA

1. Penatalaksanaan Rinosinusitis4

Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan; 2) mencegah komplikasi; dan 3)

mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM

sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.

Antibiotik dan dekongestan merupakan pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk

menghilagkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus.

Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan

kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-

klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama

10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik

yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob.4

Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti

analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCL atau

pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya

dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan

antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atauProetz displacement therapy juga

merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika

pasien menderita kelainan alergi yang berat.

Tindakan Operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis

kronik yang memerlukan operasi/ Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah

sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan

dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi

adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya

komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.4

2. Penatalaksanaan Polip6

a. Non Operatif

Satu-satunya pengobatan yang efektif untuk polip nasal adalah kortikosteroid. Baik bentuk

oral maupun topikal, memberikan respon anti inflamasi non -spesifik yang mengurangi

ukuran polip dan mengurangi gejala sumbatan hidung. Obat- obatan lain tidak memberikan

dampak yang berarti

1) Kortikosteroid oral

Pengobatan yang telah teruji untuk sumbatan yang disebabkan polip nasal adalah

kortikosteroid oral seperti prednison. Agen anti inflamasi nonspesifik ini secara signifikan

mengurangi ukuran peradangan polip dan memperbaiki gejala lain secara cepat. Sayangnya,

masa kerja sebentar dan polip sering tumbuh kembali dan munculnya gejala yang sama dalam

waktu mingguan hingga bulanan

2) Kortikosteroid Topikal Hidung

Respon antiinflamasi non-spesifiknya secara teoritis mengurangi ukuran polip dan mencegah

tumbuhnya polip kembali jika digunakan berkelanjutan. Tersedia semprot hidung steroid

yang efektif dan relatif aman untuk pemakaian jangka panjang dan jangka pendek seperti

fluticson, mometason, budesonid dan lain-lain .

Follow up:

Pasien dengan gejala minimal dapat dimonitor sekali setahun atau dua kali setahun.

Pasien dengan gejala obstruktif yang mengganggu memerlukan follow up yang lebih

sering, terutama jika mereka sedang menerima kortikosteroid oral dosis tinggi atau

menggunakan semprot hidung steroid topikal dalam jangka lama.

Intervensi bedah pada polip nasal dipertimbangkan setelah terapi medikamentosa

gagal dan untuk pasien dengan infeksi / peradangan sinus berulang yang memerlukan

perawatan dengan berbagai antibiotik.

b. Operatif

Menjelang operasi, selama 4 atau 5 hari pasien diberi antibiotik dan kortikosteroid sistemik

dan lokal. Hal ini penting untuk mengeliminasi bakteri dan mengurangi inflamasi, karena

inflamasi akan menyebabkan edema dan perdarahan yang banyak, yang akan mengganggu

kelancaran operasi. Kortikosteroid juga bermanfaat untuk mengecilkan polip sehingga

operasinya akan lebih mudah. Dengan persiapan yang teliti, maka keadaan pasien akan

optimal untuk menjalani bedah sinus endoskopi dan kemungkinan timbulnya komplikasi juga

ditekan seminimal mungkin.

Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan

analgetik lokal, bisa juga dengan menggunakan alat yang sangat menguntungkan

seperti microdebrider yang dapat memotong langsung menghisap polip sehingga

perdarahan sangat minimal, yang terbaik ialah Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)

Skema penatalaksanaan rinosinusitis antara lain sebagai berikut:7

1. Rinosinusitis Akut Dewasa

(Gambar 6. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Pelayanan

Kesehatan Primer)

(Gambar 7. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis

THT)

2. Rinosinusitis Kronis pada Dewasa

(Gambar 8. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa Polip Hidung

Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer)

(Gambar 9. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung Pada Dewasa

Untuk Dokter Spesialis THT)

(Gambar 10. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Hidung Pada

Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT)

3. Rinosinusitis Akut pada Anak

(Gambar 11. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada anak)

4. Rinosinusitis Kronis pada Anak

(Gambar 12. Skema penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada anak)

J. KOMPLIKASI4

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi

berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut,

berupa komplikasi orbita atau intrakranial.

Kelainan Orbita: Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan

mata (orbita), yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan

maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.

Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal,

abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.

Kelainan Intrakranial: Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau

subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.

Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis berupa:

Osteomielitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat

sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus

maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.

Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus

paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga

menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya

disembuhkan.

K. PROGNOSIS

Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan. Semakin

cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-obat simptomatis

bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan prognosis yang baik.

Polip nasi sering kambuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan

kepada penyebabnya, misalnya alergi. Tetapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah

menghindari kontak dengan alergen penyebab. Secara medikamentosa dapat diberikan

antihistamin, dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa

mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan

sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan

hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil

yang memuaskan.6

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D, 4 E, Wardani RS. Hidung. Dalam Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2012; hal.118-122.

2. Soetjipto D, E. Sinus Paranasal. Dalam Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2012; hal.145-149.

3. Huvenne W, et al. Chronic Rhinosinusitis With and Without Nasal Polyps: What Is

the Difference? Current Allergy and Asthma Reports. 2009;(9):213 – 220.

4. 4 E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2012; hal.150-153.

5. Desrosiers M, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and chronic

rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011;(7):2.

6. Budiman JB, Asyari A. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip

Nasi. Diakses

dari http://repository.unand.ac.id/17218/1/Penatalaksanaan_rinosinusiti

s _dengan_polip_nasi.pdf pada tanggal 9 Juli 2014.

7. Fokkens W, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. 2007.

Rhinology , Supplement

20; http://www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.

8. Brook I, et al. Acute Sinusitis Treatment & Management. 2013. Diakses

darihttp://emedicine.medscape.com/article/232670-treatment pada

tanggal 10 Juli 2014.9. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from

microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.

10. Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of chronic

rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85.

11. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak S,

Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini

diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL

Univ.Airlangga,2004; 1-16.

12. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. American Family

Physician, 2001; 63:69-74.

13. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody FM, eds.

Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New York: Informa,

2007;1-12.

14. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani AK, eds.

Current diagnosis and treatment in otolaryngology – head and neck surgery. New York:

Mc Graw Hill, 2008; 273-281.