Post on 31-Jan-2018
TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PERJANJIAN NGUYANG DAN
PELAKSANAANNYA DI DESA TLOGOREJO KECAMATAN
TEGOWANU KABUPATEN GROBOGAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (SI)
Dalam Ilmu Syariah
Oleh: Siti Nur Cahyati
052311023
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
ii
iii
Deklarasi
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis
menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang
telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun
pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang dijadikan sebagai bahan
rujukan.
Semarang, 11 Juni 2010 Deklarator Siti Nur Cahyati NIM: 052311023
iv
ABSTRAK
Manusia merupakan makhluk sosial yang berarti dia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat Desa Tlogorejo melaksanakan perjanjian nguyang. Perjanjian nguyang adalah perjanjian antara petani dengan penguyang, dimana petani meminjam uang kepada penguyang untuk menggarap sawah. Uang tersebut akan dibayar dengan padi dengan standar atau ukuran kwintalan, pada musim panen. Apabila padi tersebut tidak bisa diberikan pada waktu jatuh tempo (panen), maka petani akan memberikan padi pada musim panen berikutnya, dengan menambah 5% atau 10% padi. Dalam hal ini masyarakat Desa Tlogorejo beranggapan bahwa perjanjian nguyang itu termasuk utang piutang, ijon atau salam. Melihat fenomena ini penulis tertarik untuk menelitinya yang mengacu pada pokok masalahnya sebagai berikut: bagaimana pelaksanaan akad nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan? bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pelaksanaan akad nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan akad nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan dan untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan akad nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.
Jenis penelitian ini adalah lapangan (field research) dan metode pengumpulan datanya adalah dengan observasi, wawancara.
Hasil penelitian ini adalah perjanjian nguyang yang terjadi di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan yaitu perjanjian antara petani dengan penguyang. Dalam perjanjian nguyang tersebut petani meminjam uang kepada penguyang untuk menggarap sawah, utang tersebut akan dibayar dengan padi dengan standar atau ukuran kwintalan pada musim panen. Dan apabila petani tidak bisa memberikan padi pada waktu jatuh tempo (panen), maka padi tersebut diberikan pada panen berikutnya dengan menambah 5% atau 10% padi. Perjanjian nguyang tersebut memang pada awal ucapannya adalah meminjam uang, tetapi setelah melalui proses ternyata utang uang tersebut tidak dibayar dengan uang, melainkan dibayar dengan padi dengan standar atau ukuran kwintalan, dan harga sesuai dengan uang yang dipinjamkan oleh penguyang. Uang tersebut diminta duluan oleh petani, sedangkan padinya diberikan oleh penguyang pada musim panen. Dalam perjanjian nguyang tersebut menurut pandangan Islam adalah sah, dan termasuk akad salam yaitu akad jual beli barang pesanan diantara pembeli (muslam) dengan penjual (muslam ilaih) dengan spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka secara penuh. Namun dalam akad tersebut terdapat tambahan 5% atau 10% padi, apabila petani tidak bisa memberikan padi pada waktu jatuh tempo (panen), dengan tambahan tersebut sangat menyusahkan para petani. Maka dalam perjanjian nguyang tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam, karena termasuk kategori riba.
v
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sebagai hambanya yang
tidak luput dari kesalahan. Salawat dan salam kami sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang telah membawa panji-panji ke-islaman serta meletakkan
nilai-nilai hakiki sebagai pedoman hidup di dunia dan akhirat kelak.
Berkat taufiq, hidayah dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul : “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perjanjian
Nguyang Dan Pelaksanaannya Di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan” sebagai suatu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam {S. HI} pada fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang.
Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan
skripsi ini, yang terhormat :
1. Bapak Drs. Muhyyidin, M. Ag, selaku dekan fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang yang telah memberikan ijin
kepada penulis untuk mengkaji masalah dalam bentuk skripsi ini.
2. Ibu Dra.Hj. Siti Mujibatun,M.Ag, selaku pembimbing I dan bapak Nur
Fathoni selaku pembimbing II yang telah membina dan mengarahkan
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
vi
3. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing dan mengajar penulis
selama belajar di bangku perkuliahan.
4. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang serta Kepala Desa Tlogorejo beserta stafnya yang
telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian.
5. Ayah dan Ibunda, kakak-kakakku serta seseorang yang selalu berada
direlung hatiku yang telah memberikan support, motivasi, dukungan
hingga tersusunnya skripsi ini.
6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Kemudian atas jasa mereka, penulis sampaikan ucapan terimakasih dan
jazakum Allah khairan katsiran.
Meskipun telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyusunan skripsi
ini, namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dikarenakan
keterbatasan kemampuan penulis.
Akhirnya penulis senantiasa mengharapkan kritik yang kontruksif dan
inovatif demi kesempurnaan skripsi ini, teriring do’a allhumma infa’ bi hadza al-
bahtsi al-‘alami linafsi wa li al-qurai ajma’in, Amin.
Semarang, 11 Juni 2010 Penulis Siti Nur Cahyati
052311023
vii
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan
keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-
orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi
mereka yang tetap setia berada di ruang waktu kehidupan ku khususnya buat:
o Orang tuaku tersayang (Bp. Rasimin dan Ibu Siti Musahati) yang
selalu setia memberi semangat dan motivasi dalam semua hal terutama
dalam menyelesaikan studi.
o Kakak-kakakku (Zaenal, Kurmain. Rahmawati) dan beserta seluruh
keluarga yang kusayangi yang selalu memberikan semangat untuk ku
menjalani setiap hari ku dengan baik.
o Seluruh Teman yang selalu bersama-samaku (Fatim. Eni. Sofi) dalam
susah maupun senang dan selulu memberikan semangat untuk meraih
cita dan asa.
o Seluruh Teman kost Mbah Chalim (Fuzi. Fiqoh, Desi, Choris, Lili) yang
tak pernah lelah memberikan semangat.
o Seseorang yang selalu berada direlung hatiku yang selalu setia
memberikan motivasi dan semangat untuk selalu menjalani hari-hariku
dengan optimis dan tidak berputus asa
o Seluruh pembaca yang budiman dan pecinta ilmu pengetahuan
viii
MOTO
أيـها يا الذين تأكلوا ال آمنوا أموالكم بـيـنكم بالباطل أن إال تكون تجارة عن تـراض منكم تـقتـلوا وال أنـفسكم إن الله كان بكم رحيما
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.1(Q.S. An-nisaa’: 29)
1. Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. J-ART, 2005, hlm. 84.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................ iv
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................ v
HALAMAN KATA PENGANTAR.............................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... viii
HALAMAN MOTTO .................................................................................... ix
DAFTAR ISI................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 12
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ............................................... 12
D. Telaah Pustaka ......................................................................... 13
E. Metode Penelitian .................................................................... 16
F. Sistematika Penulisan Skripsi .................................................. 20
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD (PERJANJIAN)
A. Pengertian Akad....................................................................... 22
B. Rukun dan Syarat Akad ........................................................... 25
C. Bentuk-bentuk Akad ................................................................ 38
BAB III PERJANJIAN NGUYANG DAN PELAKSANAANNYA DI
DESA TLOGOREJO KECAMATAN TEGOWANU
KABUPATEN GROBOGAN
A. Keadaan Umum Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan ............................................................... 57
B. Pelaksanaan Perjanjian Nguyang di Desa Tlogorejo
Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan........................... 64
C. Persepsi Ulama Setempat Tentang Pelaksanaan Akad
Nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan ............................................................... 77
x
xi
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN
NGUYANG DAN PELAKSANAANNYA DI DESA
TLOGOREJO KECAMATAN TEGOWANU KABUPATEN
GROBAGAN
A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Akad Nguyang di Desa
Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.......... 80
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akad
Nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan ............................................................... 88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 94
B. Saran-Saran .............................................................................. 95
C. Penutup..................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hal muamalah duniawiyah yang berkembang sekarang ini
perilaku nabi sebagai wirausahawan dapat di teladani dengan menyiapkan diri
dan mulai membangun kompetensi sumber daya insani dengan dibekali
ketrampilan berniaga, dengan mulai dan mencari peluang bisnis, menjalin
kemitraan, mengembangkan produk, memahami aturan main, membangun
budaya atau sikap mental usahawan, hingga kemahiran bernegosiasi.1
Dunia usaha yang semakin berkembang pesat banyak kesepakatan
untuk mengadakan transaksi jual beli yang dituangkan dalam perjanjian.
Secara etimologis perjanjian yang dalam bahasa arab diistilahkan dengan
Mu’ahadah ittifa’ akad atau kontrak dapat diartikan sebagai perjanjian atau
persetujuan adalah suatu perbuatan dimana seseorang mengikatkan dirinya
pada seorang atau lebih.2
Dalam Islam perjanjian atau perikatan secara lughat adalah akad. Akad
secara bahasa berarti ikatan, mengikat (al-rabth) yaitu menghimpun atau
mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang
lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang
satu.3
1 Ali Yafie, Fiqh Perdagangan Bebas, Jakarta: Teraju, 2003, hlm. 3. 2 Syafi’i Rahmat, Fiqh Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006, hlm. 54. 3 Gufron A. Mas’adi, Fiqih Mu’amalah Kontekstual, cet.1, Jakarta : Raja Grafindo persada,
2002, hlm. 75
1
2
Sedangkan dalam istilah fuqaha perjanjian atau perikatan adalah ijab
dan Kabul (serah terima) menurut bentuk yang disyariatkan agama, nampak
bekasnya bagi yang diaqadkan itu”.4
Segala macam pernyataan akad atau serah terima, dilahirkan dari jiwa
yang saling merelakan untuk menyerahkan barangnya masing-masing kepada
siapa yang melakukan transaksi.5
Ada aktivitas ekonomi di Desa Tlogorejo yaitu pelaksanaan
perjanjian nguyang, masyarakatnya mayoritas beragama Islam. Yang patut
dikaji adalah mereka beranggapan bahwa nguyang itu termasuk utang piutang,
ijon atau salam.
Praktek seperti ini membingungkan dalam hukum Islam, karena
dalam utang piutang ada aturan-aturannya sehingga sah hukumnya menurut
hukum Islam.
Dalam istilah Arab yang sering digunakan untuk utang piutang adalah
al-dain (jamaknya al-duyun) dan al-qardh. Dalam pengertian yang umum,
utang piutang mencakup transaksi jual beli dan sewa-menyewa yang dilakukan
secara tidak tunai (kontan). Transaksi seperti ini dalam fikih dinamakan
mudayanah atau tadayun.
Sebagai sebuah transaksi yang bersifat khusus, istilah yang lazim
dalam fiqih untuk transaksi utang piutang khusus ini adalah al-qardh. Dengan
demikian cakupan tadayun lebih luas daripada al-qardh.6
4 Hamzah Ya,qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: CV Diponegoro, 1994.
hlm. 74. 5 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hlm. 12. 6 Ghufron A. Mas’adi,Op.Cit, hlm. 169
3
Secara bahasa al-qardh berarti al-qoth’ (terputus). Harta yang
dihutangkan kepada pihak lain dinamakan qardh karena ia terputus dari
pemiliknya7. Adapun yang dimaksud dengan utang piutang adalah
memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar
yang sama dengan itu.
Pengertian “sesuatu” dari definisi diatas mempunyai makna yang luas ,
selain dapat berbentuk uang, juga bisa saja dalam bentuk barang, asalkan
barang tersebut habis karena pemakaian.8
Pengertian al-qardh menurut istilah adalah penyerahan (pemilikan)
harta al-misliyat kepada orang lain untuk ditagih pengembaliannya, atau
dengan pengertian lain, suatu akad yang bertujuan untuk menyerahkan harta
misliyat kepada pihak lain untuk dikembalikan yang sejenis dengannya.
Utang piutang merupakan salah satu bentuk mu’amalah yang bercorak
ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Sumber ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Hadits) sangat kuat menyerukan
prinsip hidup gotong royong seperti ini. Bahkan al-Qur’an menyebut utang-
piutang untuk menolong atau meringankan orang lain yang membutuhkan
dengan istilah “menghutangkan kepada Allah dengan hutang baik.”9
Disyaratkan untuk sahnya pemberian utang ini bahwa pemberi utang
adalah orang yang boleh mengeluarkan sedekah. Maka, seorang wali
(pengasuh) anak yatim tidak boleh memberikan utang dari harta anak yatim
7 Ibid, hal.170 8 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 136 9 Ibid, hal.171
4
yang ia asuh tersebut. Disyaratkan juga diketahui nya jumlah dan ciri-ciri
harta yang dipinjamkan, agar dapat dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan
demikian, piutang tersebut menjadi utang di tangan orang yang meminjam,
dan ia wajib mengembalikan nya ketika mampu dengan tanpa menunda-
nundanya.
Akad utang piutang dimaksudkan untuk mengasihi di antara sesama
manusia, menolong mereka dalam menghadapi berbagai urusan, dan
memudahkan denyut nadi kehidupan. Akad utang piutang tidak bukan salah
satu sarana untuk memperoleh penghasilan dan bukan pula salah satu cara
untuk mengeksploitasi orang lain. Oleh karena itu, orang yang berhutang tidak
boleh mengembalikan kepada orang yang memberi utang kecuali apa yang
telah di utang nya atau serupa dengannya. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih,
“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat adalah riba.” Keharaman ini
berlaku jika manfaat dari akad utang piutang disyaratkan atau disesuaikan
dengan tradisi yang berlaku. Jika manfaat ini tidak disyaratkan dan tidak
dikenal dalam tradisi, maka orang yang berhutang boleh membayar utang nya
dengan sesuatu yang lebih baik kualitasnya dari apa yang di utang nya, atau
menambah jumlahnya, atau menjual rumahnya kepada orang yang memberi
utang.10
Begitu juga dalam jual beli salam juga ada aturan-aturannya sehingga
sah hukumnya menurut hukum Islam, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan
di bawah ini.
10 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,Jakarta; Dar fath Lili’lami al-Arabiy, 2009, hlm. 217
5
Secara bahasa jual beli (bai’) berarti mempertukarkan sesuatu dengan
sesuatu, kata bai’ memiliki cakupan makna kebalikannya yakni as-
syira’(membeli)11, namun demikianlah kata bai’ diartikan sebagai jual-beli.12
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan
Ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah
sama, yaitu tukar menukar barang dengan cara tertentu atau tukar menukar
sesuatu dengan yang sepadan menurut cara yang dibenarkan. Jual–beli (al–
buyu) adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan hak
milik dengan ganti yang dapat di benarkan (berupa alat tukar yang sah).13
Landasan syar’i yang menjadi dasar diperbolehkan transaksi adalah
surat al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:
وأحل الله البـيع وح رم الربا . . . Artinya: “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”. (al-Baqarah: 275).14
Ayat tersebut menjelaskan bahwasanya Allah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Jual beli yang dihalalkan adalah jual beli yang bersih
dan tidak mengandung riba serta memenuhi syarat dan rukun jual beli.
Dalam jual beli terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh
kedua belah pihak baik penjual dan pembeli. Adanya rukun dan syarat dalam
jual beli yang telah ditetapkan oleh syara’ adalah untuk dipenuhinya syarat
12 Ghufran A. Mas’adi, Op.Cit, hlm. 119. 13 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Perdana Kencana Media,
2005, hlm. 101. 14Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. J-ART, 2005,
hlm. 48.
6
dan rukun tersebut sehingga jual beli yang dilakukan sah dan bisa dibenarkan
oleh syara’15.
Salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli (muslam)
dengan penjual (muslam ilaih) dengan spesifikasi dan harga barang pesanan
harus sudah disepakati di awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan
dimuka secara penuh.16 Transaksi salam merupakan salah satu bentuk yang
telah menjadi kebiasaan di berbagai masyarakat.
Tujuan utama jual beli salam adalah saling membantu dan
menguntungkan kedua belah pihak. Maka, untuk kepentingan tersebut Allah
menetapkan peraturan salam.
Jual beli salam dibenarkan dalam islam sebagaimana firman Allah
SWT:
يا أيـها الذين آمنوا إذا تدايـنتم بدين إىل أجل مسمى فاكتبوه )٢٨٢: البقرة (
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282).17
Dasar hukum lainnya adalah hadist yang berkaitan dengan tradisi
penduduk Madinah yang didapati oleh Rasulullah pada awal hijrah beliau ke
sana, yaitu tradisi akad salaf (salam) dalam buah-buahan jangka waktu satu
tahun atau dua tahun, beliau bersabd:
15 Alaidin Koto, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.
50. 16 Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008,
hlm. 128 17 Departemen Agama RI,Ibid, hlm. 49
7
حدثناصدقةاخربناابن عيينةاخربناابن جنيح عن عبداهللا بن كثريعن ايب قدم النيب صلى اهللا عليه : املنهال عن ابن عباس رضي اهللا عنهماقال
من اسلف ىف : فقال , وسلم املدينةوهم يسلفون بالثمرالسنتني والثالث .شئ ففى كيل معلوم ووزن معلوم اىل اجل معلوم
Artinya : “Diceritakan oleh Sadaqah dikabarkan oleh Ibnu Uyaiynah
dikabarkan oleh Ibnu Najih mengabarkan kepada kita dari Abdillah
Ibnu Katsir dari Abi Minhal dari Ibnu Abbas ra. Berkata: Nabi SAW
datang ke Madinah dan melihat penduduk disana melakukan jual beli
salaf pada buah-buahan dengan dua atau tiga tahun, maka Nabi
berkata: barang siapa melakukan jual beli salaf, hendaknya ia
melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
pula, untuk jangka waktu yang diketahui. (HR. Bukhari).18
Rukun jual beli salam menurut jumhur ulama terdiri atas:
1. Orang yang berakad, baligh dan berakal
2. Barang yang di pesan harus jelas ciri-cirinya, waktunya, harganya.
3. Ijab dab qabul.19
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga sah
hukumnya. Diantara syarat-syarat yang dimaksud ada yang berkaitan
dengan penukaran dan ada yang berkaitan dengan barang yang dijual.
Syarat-syarat penukaran adalah sebagai berikut:
4. Jenisnya diketahui
5. Jumlahnya diketahui
6. Diserahkan di tempat yang sama.
18 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzabah
Bukhari Ju’fi, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al Fikr, 1992, hlm. 61 19 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003, hlm. 145-146
8
Sedangkan syarat-syarat barang (muslam fih) adalah:
1. Berada dalam tanggungan.
2. Dijelaskan dengan penjelasan yang menghasilkan pengetahuan tentang
jumlah dan ciri-ciri barang yang membedakannya dengan barang yang
lain sehingga tidak lagi sesuatu yang meragukan dan dapat
menghilangkan perselisihan yang mungkin akan timbul.
3. Batas waktu diketahui. 20
Dalam as-salam jika kedua pihak tidak menyebutkan tempat serah
terima jual beli pada saat akad, maka jual beli dengan cara as-salam tetaplah
sah, hanya saja tepat ditentukan kemudian, karena penyebutan tempat tidak
dijelaskan di dalam hadist. Apabila tempat merupakan syarat tentu maka
Rasulullah SAW akan menyebutkannya, sebagaimana ia menyebutkan
takaran, timbangan dan waktu.21
Dalam akad salam barang yang dipesan harus diserahkan pada waktu
yang ditentukan tidak boleh mundur juga bagaimana penyerahan barang
tersebut apakah barang itu diantar ke rumah pemesan atau di pasar atau
pemesan nantinya yang akan mengambil sendiri barang tersebut. Dalam
pesanan juga tidak boleh adanya khiyar syarat artinya kalau barangnya sudah
ada dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lantas tidak cocok akan
dikembalikan. Barang yang sudah sesuai dengan ketentuan harus diterima.22
20 Sayyid Sabiq,Op.Cit, hlm. 219 21 Syafi’I Rahmat, Op.Cit. hlm, 170
22 Imam Taqiyuddin Abu Baker Ibnu Muhammad Al-Hussaini, Kifayatrul Akyar, Terj. Ahmad Rifa’I, Semarang: Toha Putra, 1999, hlm. 196
9
Harga dalam akad salam harus dibayarkan secara kontan dalam majlis
akad, ini menurut Hanafiyah. Sedangkan menurut jumhur, harga pada kedua
akad tersebut harus dibayar tunai ketika akad berlangsung.23
Sedangkan dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang
secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli, sangat
bergantung kepada keputusan sepihak, si tengkulak yang sering kali sangat
dominan dan menekan petani yang posisinya sangat lemah.24
Hal ini berbeda dengan praktek nguyang yang dilaksanakan oleh
masyarakat di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.
Masyarakat Desa Tlogorejo dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, dengan tingkat ekonomi yang
berbeda-beda. Sehingga dalam memenuhi hidup mereka tidak lepas dari
campur tangan pihak lain. Masyarakat Desa Tlogorejo ini tidak memiliki
modal untuk mencari pekerjaan lain, maka kecenderungan masyarakat untuk
bekerja sebagai petani tepat sekali, meskipun sawah yang mereka miliki tidak
semua milik sendiri, ada sawah yang mereka beli dari orang lain untuk
digarap, guna mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka. Namun di Desa
Tlogorejo ini, para petani kesulitan mendapatkan uang untuk menggarap
sawah yang begitu banyaknya, disamping itu banyak tanaman yang diserang
hama, kenaikan harga pupuk dan obat-obatan terus meningkat, sedangkan
harga padi tidak stabil dan tidak seimbang kadang kala naik kadang kala turun,
23 Gufron A. Mas’adi, Op.Cit, hlm.145 24 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press, hlm. 111
10
sehingga walaupun bertani mereka tidak bisa mengandalkan padi yang
ditanam, serta tidak adanya usaha sambilan (sampingan).
Apabila seseorang petani sudah kekurangan uang dan mereka dituntut
untuk meningkatkan produksi pangan, upaya apapun harus dilaksanakan untuk
mencapai hasil atau produksi yang tertinggi. Untuk mencapai hasil tersebut
para petani Desa Tlogorejo melaksanakan perjanjian nguyang. Nguyang
adalah simbol dari bahasa masyarakat Desa Tlogorejo dalam hal utang
piutang di bidang pertanian. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian
nguyang adalah misalnya: A petani, sedang B penguyang. A berkata pada si B.
“B saya mau pinjam uang kepada saudara sebesar Rp.300.000,00, untuk
menggarap sawah”, lalu si B menjawab “saya mau pinjami kamu tetapi nanti
kalau panen saya minta dikembalikan dengan padi 2 kwintal”, karena si A
butuh maka terjadilah kesepakatan tersebut yang mana kalau panen si A harus
mengembalikan uang si B dengan padi 2 kwintal, padahal kalau padi tersebut
dijual secara langsung bisa mendapat uang Rp.600.000,00, maka kalau
dihitung si B mendapat untung Rp.300.000,00 dari hasil padi yang di dapat
dari si A.
Pada dasarnya perjanjian nguyang itu sudah berlangsung dari tahun ke
tahun yang semula hanya sekedar mengadakan hubungan muamalah
sebagaimana lazimnya makhluk sosial dan tidak disertai dengan niat atau
maksud tertentu, pada zaman dahulu seseorang untuk mendapatkan uang
dirasa lebih sulit dibandingkan mendapatkan padi. Dan kenyataannya budaya
semacam ini tidak berhenti disitu saja melainkan sampai sekarang banyak
11
bermunculan di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan,
ini digunakan sebagai ajang bisnis bagi orang-orang yang memiliki uang guna
mendapatkan padi yang melimpah untuk disimpan dan apabila harganya sudah
naik padi tersebut baru dijual begitu seterusnya.25
Dalam pelaksanaan perjanjian nguyang, yaitu perjanjian antara petani
dengan penguyang (orang yang memberi pinjaman) dilaksanakan secara lisan
atau tidak tertulis yaitu hanya menggunakan kesepakatan atau persetujuan
bersama berdasarkan kepercayaan. Cara perjanjian nguyang tersebut, petani
akan mendapatkan pinjaman uang dari penguyang untuk menggarap
sawahnya, utang tersebut akan dibayar dengan padi, dengan standar atau
ukuran perkwintalan yang mana padi tersebut diserahkan kemudian hari sesuai
dengan waktu yang ditentukan yaitu pada waktu panen.
Dengan latar belakang tersebut di atas penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dan membahas tentang pelaksanaan akad nguyang di
Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan untuk diketahui
secara jelas dan pasti hukumnya dalam hukum islam.
Untuk membahas permasalahan ini peneliti mengangkatnya dalam
bentuk skripsi dengan judul: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PERJANJIAN NGUYANG DAN PELAKSANAANNYA DI DESA
TLOGEREJO KECAMATAN TEGOWANU KABUPATEN
GROBOGAN.
25 Wawancara dengan bapak Marjono, pada tanggal 6 Desember, 2009, sebagai petani.
12
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan akad nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan
Tegowanu Kabupaten Grobogan?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan akad nguyang
di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan akad nguyang di Desa Tlogorejo
Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan akad
nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk kemungkinan sebagai bahan penelitian yang lebih lanjut
2. Sebagai kekayaan khazanah ilmu pengetahuan dalam keilmuan fiqh dalam
bidang mu’amalah.
13
D. Telaah Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada yang membahas secara
spesifik dan mendetail tentang perjanjian nguyang. Namun ada beberapa
skripsi yang membahas akad jual beli dan utang piutang, dalam konteks yang
berbeda dengan penelitian saat ini. Skripsi yang dimaksud adalah:
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Ketidakjelasan Waktu Penangguhan Pembayaran Dalam Perjanjian Jual Beli
Mebel (Studi Kasus Perjanjian Jual Beli Mebel Antara Pengrajin Visa Jati di
Jepara Dengan PT HMfurniture di Semarang). Yang disusun oleh Ana
Nuryani Latifah, dalam skripsi ini dijelaskan bahwa ketidakjelasan waktu
penangguhan pembayaran dalam perjanjian jual beli mebel dikarenakan pihak
perusahaan penerima barang harus menunggu pembayaran dari pihak asing,
baru setelah nantinya pihak eksportir membayar kepada perusahaan penerima
barang jadi akan membayar barang yang sudah dibuat oleh pengrajin. Akan
tetapi pihak perusahaan penerima barang jadi tidak menyebutkan waktu
pembayaran dalam perjanjian jual beli kepada pengrajin, sehingga pengrajin
terkatung-katung menunggu pembayaran yang ditangguhkan dan tidak
diketahui secara jelas waktunya. Dan pada akhirnya berakibat pada resiko
penipuan terhadap pihak pengrajin, yang sangat merugikan pengrajin.
Ketidakjelasan waktu penangguhan pembayaran dalam perjanjian jual
beli tidak diperbolehkan dalam hukum Islam, karena hal itu merupakan suatu
14
kedzaliman, dan cacatnya suatu perjanjian karena salah satu rukunnya tidak
dapat terpenuhi.26
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli
Melalui Internet (Studi Kasus Di Gramedia Toko Buku Online Webside WWW.
Gramediaonline. Com)”. Yang disusun oleh Ainur Rohmah, dalam skripsi ini
menjelaskan tentang dalam inti akad jual beli adalah adanya kesepakatan dari
kedua belah pihak, mengerti dan faham apa yang diinginkan oleh kedua belah
pihak sehingga tercapai kesepakatan.27
Skripsi yang berjudul “Utang Piutang Emas
dengan Pengembalian Uang di Kampung Pandugo Kelurahan Penjaringan
Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya dalam Perspektif Hukum Islam”.
Yang disusun oleh Lina Fadjria, dalam skripsi ini membahas tentang praktek
utang piutang emas dengan pengembalian uang di kampung Panndugo
Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya. Dan hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa praktek utang piutang di kampung
Pandugo tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam, karena yang menjadi
objek utang piutang tersebut merupakan barang yang tidak sejenis.28
26 Ana Nuryani Latifah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ketidakjelasan Waktu
Penangguhan Pembayaran Dalam Perjanjian Jual Beli Mebel (Studi Kasus Perjanjian Jual Beli Mebel Antara Pengrajin Visa Jati di Jepara Dengan PT HMfurniture di Semarang), (Skripsi IAIN Walisongo, 2009).
27 Ainur rohmah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Melalui Internet (Studi Kasus Di Gramedia Toko Buku Online Webside WWW. Gramediaonline. Com)”. Skripsi sarjana faktultas syari’ah jurusan mu’amalah, semarang: perpustakaan fakultas syari’ah IAIN Walisongo, 2006
28 Lina Fadjria, Skripsi dengan judul, Utang Piutang Emas dengan Pengembalian Uang di Kampung Pandugo Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya dalam Perspektif Hukum Islam, Pustakawan IAIN Sunan Ampel Surabaya, Digital Library IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009
15
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelunasan
Utang Sapi untuk Penanaman Tembakau Berdasarkan Ketentuan Kreditur di
Ds. Sejati Kec. Camplong Kab. Sampang Madura”. Yang disusun oleh
Junainah, dalam skripsi ini membahas tentang tinjauan hukum Islam terhadap
akad utang sapi di Ds. Sejati yang dilakukan secara lisan dan tanpa saksi.
Sedangkan pelunasannya mengikuti ketentuan kreditur, yakni dikembalikan
dengan sapi yang umur dan ukurannya sesuai lamanya berutang atau sejumlah
uang yang ditentukan langsung oleh kreditur. Selain itu jika berutang gagal
panen, maka dia mendapat perpanjangan waktu dengan tambahan 5% dari
jumlah pelunasan yang semula. Dan hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
akad yang dilaksanakan tanpa adanya saksi bisa menyebabkan akadnya tidak
sempurna. Sebab menurut pendapat ulama’ saksi dalam transaksi adalah
wajib. Sedangkan pelunasan yang berupa sapi adalah mubah. Demikian ini
karena terdapat kesesuaian antara hukum Islam yang mewajibkan utang
dikembalikan dengan benda yang sejenis dengan praktek utang sapi kembali
sapi. Utang sapi yang dikembalikan dengan sejumlah uang yang ditentukan
langsung oleh kreditur hukumnya haram. Sebab mengembalikan utang dengan
benda yang tidak sejenis, seperti sapi kembali uang itu diharamkan dalam
hukum Islam seperti penjelasan Hadis yang menerangkan adanya larangan
pengembalian utang perak dengan emas. Sedangkan perpanjangan waktu bagi
yang pailit dengan tambahan 5 % adalah haram. Hal ini dikarenakan jika ada
tambahan dalam pembayaran utang yang disyaratkan oleh kreditur dalam
16
akadnya, menurut kesepakatan ulama’ haram hukumnya. Sebab mengarah ke
riba nasi’ah.29
Dari beberapa skripsi di atas memang hampir mirip dengan perihal
yang penulis teliti, namun pada intinya berbeda meskipun dalam
pembahasannya mengenai jual beli dan utang piutang. Permasalahan yang
penulis teliti saat ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan akad nguyang di
Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.
E. Metode Penelitian
Metode merupakan sarana untuk menemukan, merumuskan, mengolah
data dan menganalisa suatu permasalahan untuk mengungkapkan suatu
kebenaran. Pada dasarnya metode merupakan pedoman tentang cara ilmuwan
mempelajari, menganalisa dan memahami suatu objek kajian yang
dihadapinya secara sistematis, metodologis dan dapat dipertanggungjawabkan.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu
suatu penelitian yang meneliti objek di lapangan untuk mendapatkan data dan
gambaran yang jelas dan konkrit tentang hal-hal yang berhubungan dengan
permasalahan yang di teiliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
29 Junainah, Skripsi dengan judul, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelunasan Utang
Sapi untuk Penanaman Tembakau Berdasarkan Ketentuan Kreditur di Ds. Sejati Kec. Camplong Kab. Sampang Madura, Skripsi Sarjana Syariah jurusan Mu’amalah IAIN Sunan Ampel Surabaya, D ital Lebrary IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009
17
dengan tujuan penelitian ini, didapat pencandraan secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.30
2. Sumber Data
Sumber data didapat di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan. Dalam hal ini pihak yang melaksanakan perjanjian
nguyang dengan permasalahan yang diteliti. Sumber data pendukung didapat
dari data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Adapun data-
data tersebut bisa berupa catatan, transkip, buku da dokumen-dokumen
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan dalam penelitian ini digunakan untuk
memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Ada
beberapa metode yang digunakan dalam pengumpulan data.
1. Observasi
Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah
melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrument.31
Dalam metode ini, peneliti melakukan pengamatan terhadap aktivitas
masyarakat petani Desa Tlogorejo, dalam melaksanakan perjanjian nguyang
yang sabenarnya.
30 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian,Jakarta, Rajawali Pers (cet. VII), 1992, hlm.
18
31Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998, hlm. 204
18
2. Wawancara (interview)
Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk
mengontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi, motivasi,
perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara yang
mengajukan dengan orang yang diwawancarai.32 Objek yang diwawancara
meliputi kepala desa dan stafnya, para ulama setempat, serta masyarakat
petani yang melaksanakan perjanjian nguyang.
4. Metode Analisis Data
Penelitian ini termasuk penelitian hukum non doctrinal. Yang pada
dasarnya menemukan hukum untuk suatu perkara in concreto. Tujuan
pokoknya adalah hendak menguji apakah postulat normative tertentu memang
dapat atau tidak dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in
concreto33. Bambang Sunggono yang mengutip pernyataan Soetandyo
Wignjosoebroto dalam artikelnya Penelitian Hukum Sebuah Tipologi”,
mengatakan proses search and research dalam penemuan hukum in concreto
melalui dua tahapan, yaitu :
1. Proses yang dikenal sebagai searching for the relevant facts yang
terkandung di dalam perkara hukum yang tengah dihadapi (sebagai bahan
premisa minor)
32Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologi ke Arah
ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007, hlm. 155 33 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cet. 6, 2003, hlm. 91
19
2. Proses searching for the relevant abstract legal prescriptions yang terdapat
dan terkandung dalam gugus hukum positif yang berlaku (sebagai bahan
premise mayor)34
Maksud dari metode penelitian hukum tersebut adalah mencari fakta-
fakta yang relevan yang kemudian disinkronkan dengan hukum in abstracto.
Sehingga ditemukan satu rumusan baru in concreto.
Pada tahapan pertama peneliti mencari fakta-fakta yang ada
relevansinya dengan perjanjian nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan
Tegowanu Kabupaten Grobogan melalui observasi dan wawancara. Kemudian
berlanjut pada tahapan kedua dimana peneliti mencari gugusan hukum yang
sesuai ada kontribusinya terhadap perjanjian nguyang. Dari bahan yang telah
terkumpul, kemudian penulis bahas dengan menggunakan kerangka berpikir
metode induktif,35 yaitu mengambil kesimpulan yang bersifat umum dari hal-
hal yang bersifat khusus.
34 Ibid, hlm. 92 35 Winarno Surakhmad, Metode dan Tehnik dalam bukunya “Pengantar Penelitian Ilmiah
Dasar Metode Tekhnik”,(Bandung:Transito)1994
20
F. Sistematika penulisan Skripsi
Secara garis besar pembahasan dalam skripsi ini terbagi dalam
beberapa sub yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis kemukakan latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian
serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD (PERJANJIAN)
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang pengertian akad,
rukun dan syarat akad, serta bentuk-bentuk akad.
BAB III : PERJANJIAN NGUYANG DAN PELAKSANAANNYA DI DESA
TLOGOREJO KECAMATAN TEGOWANU DAN
KABUPATEN GROBOGAN
Pada bab ini berisi tentang keadaan umum wilayah, pelaksanaan
perjanjian nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan dan persepsi ulama setempat tentang
pelaksanaan akad nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan
Tegowanu Kabupaten Grobogan.
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN
NGUYANG DAN PELAKSANAANNYA DI DESA
TLOGOREJO KECAMATAN TEGOWANU KABUPATEN
GROBOGAN
21
Dalam bab ini berisi tentang analisis terhadap pelaksanaan akad
nguyang yang terjadi di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan dan analisis hukum islam terhadap
pelaksanaan akad nguyang yang terjadi di Desa Tlogorejo
Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab terakhir ini penulis akan membagi tiga sub bab yang
meliputi: kesimpulan, saran-saran dan penutup.
22
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD (PERJANJIAN)
A. Pengertian Akad
Akad berasal dari kata al-‘aqd secara bahasa berarti ikatan, mengikat
(al-rabth) yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung
dan menjadi seperti seutas tali yang satu .1
Dalam al-Qur’an terdapat dua istilah yang berhubungan dengan
perjanjian yaitu, al-‘aqd (akad) dan al-‘ahdu (janji). Kata l-‘aqdu terdapat
dalam QS. Al-Ma’idah ayat 1 yaitu:
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.(QS.al-
Maidah: 1)2
Sedangkan istilah al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian
terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 76 yaitu:
☺ Artinya:” Bukan demikian, sebenarnya siapa yang menepati janji (yang
dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”(QS. Ali Imran: 76).3
1 Gufron A. Mas’adi,Loc.Cit 2 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm.107 3 Ibid, hlm. 60
22
23
Menurut istilah pengertian akad antara lain dikemukakan:
إرتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره فى محله .
Artinya: “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuna syara’ yang berdampak pada obyeknya.” 4
يجاب احدالطر فين مع قبول االخر او الكال م الواحد القائم مقا مھمامججموع ا
Artinya: “Berkumpulnya serah terima diantara dua pihak atau perkataan
seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.”
مجموع االيجاب والقبول ادعا يقوم مقا مھما مع ذلك االرتباط الحكمي
Artinya: “ Terkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang
menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum.”
ربط اجزاء التصرف بااليجاب والقبول شرعا
Artinya:” Ikatan atas bagian-bagian tasharruf menurut syara’ dengan cara
serah terima.”5
Akad seperti yang disampaikan definisi di atas merupakan salah satu
bentuk perbuatan hukum atau disebut dengan tasharruf. Musthafa az-Zarqa
mendefinisiskan tasharruf adalah segala sesuatu (perbuatan ) yang bersumber
dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat
hukum (hak dan kewajiban). 6 Menurut Musthafa az-Zarqa tasharruf memiliki
dua bentuk, yaitu: 7
4 Hamzah Ya’qub, Op.Cit, hlm. 71 5 Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalah, Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 46 6 Ghufron A. Mas’adi, Op cit, hlm. 77 7 Ibid, hlm. 78
24
a. Tasharruf fi’li (perbuatan). Tasharruf fi’li adalah usaha yang dilakukan
manusia dari tenaga dan badannya, seperti mengelola tanah yang tandus.
b. Tasharruf qauli (perkataan). Tasharruf qauli adalah usaha yang keluar dari
lidah manusia. Tidak semua perkataan manusia digolongkan pada suatu
akad. Ada juga perkataan yang bukan akad, tetapi merupakan suatu
perbuatan hukum. Tasharruf qauli terbagi dalam dua bentuk, yaitu
sebagai berikut:
1) Tasharruf qauli aqdi dalah suatu yang dibentuk dari dua ucapan dua
pihak yang saling bertalian, yaitu dengan mengucapkan ijab dan qabul.
Pada bentuk ini ijab dan qabul yang dilakukan para pihak ini disebut
dengan akad yang kemudian akan melahirkan suatu perikatan diantara
mereka.
2) Tasharruf qauli ghoiru aqdi merupakan perkataan yang tidak bersifat
akad atau tidak ada ijab dan qabul. Perkataan ini ada yang berupa
pernyataan dan ada yang berupa perwujudan.
a) Perkataan yang berupa pernyataan yaitu pengadaan suatu hak atau
mencabut suatu hak (ijab saja), seperti ikrar wakaf, ikrar talak,
pemberian hibah. Namun ada juga yang tidak sependapat mengenai
hal ini bahwa ikrar wakaf dan pemberian hibah bukanlah suatu
akad. Meskipun pemberian wakaf dan hibah hanya ada pernyataan
ijab saja tanpa ada pernyataan qabul kedua tasharruf ini tetap
termasuk dalam tasharruf yang bersifat akad.
25
b) Pernyataan yang berupa perwujudan yaitu dengan melakukan
penuntutan hak atau dengan perkataan yang menyebabkan adanya
nisbat hukum, seperti gugatan, pengakuan di depan hakim,
sumpah. Tindakan tersebut tidak bersifat mengikat, sehingga tidak
dapat dikatakan akad, tetapi termasuk perbuatan hukum.8
B. Rukun dan Syarat Akad
Dalam melaksanakan suatu akad, terdapat rukun dan syarat yang harus
dipenuhi. Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.9 Sedangkan syarat
adalah Sesutu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia
berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum
pun tidak ada.10
Mengenai rukun akad terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ahli fiqih. Di kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya
sighat al-‘aqd, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqd
(subjek akad) dan mahallul ‘aqd (objek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain
dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqd (perbuatan
hukum akad). Kedua hal tersebut berada di luar perbuatan akad. Berbeda
halnya dengan pendapat dari kalangan madzhab Syafi’i termasuk iamam
8 Gemala Dewi, Op.Cit, hlm. 48-49 9 Abdul Azis Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996, hlm. 1510 10 Ibid, hlm. 1691
26
Ghozali dan kalangan madzhab Maliki termasuk syihab al- karakhi, bahwa
al‘aqidain dan mahallul aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut
merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad. 11
Menurut jumhur ulama rukun akad adalah al-‘aqidain, mahallul ‘aqd,
sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-Zarqa menambah
maudhu’ul ‘aqd (tujuan akad). Ia tidak menyebut keempat hal tersebut dengan
rukun, tetapi dengan muqawimat ‘aqd (unsur-unsur penegak akad).12
Sedangkan menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, ke empat hal tersebut
merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya
suatu akad.13
1. Pihak-pihak yang berakad (al-‘aqidain)
Al-‘aqidain adalah orang yang melakukan akad, yaitu pembeli
dan penjual disyaratkan dewasa, berakal, baligh. Ulama Malikiyah dan
Hanafiyah mensyaratkan Aqid (orang yang berakad) harus berakal
yakni sudah mumayiz, anak yang agak besar yang pembicaraanya dan
jawaban yang dilontarkan dapat dipahami, serta berumur minimal 7
tahun. Oleh karena itu, dipandang tidak sah suatu akad yang dilakukan
oleh anak kecil yang belum mumayiz, orang gila dan lain–lain. Adapun
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan Aqid harus balig
(terkena perintah syara’) berakal dan telah mampu memelihara agama
dan hartanya. Dengan demikan ulama Hanabilah membolehkan seorang
11 Ghufron A. Ms’adi, Op cit, hlm.79 12 Ibid, hlm. 81 13 Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddiqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 23.
27
anak kecil membeli barang dan tasharruf atas seizin walinya.14 Untuk
lebih jelas tentang persyaratan aqid, berikut ini akan dijelaskan secara
terperinci.
1) Ahli Akad
Secara bahasa ahli adalah suatu kepantasan atau kelayakan.
Sedangkan menurut istilah adalah kepantasan seseorang untuk
menetapkan hak yang telah ditetapkan baginya dan pantas untuk
beraktifitas atas barang tersebut.
Ahli akad terbagi dua, yaitu ahli wujud dan ahli ahli ‘ad (
pemenuhan atau pelaksanaan kewajiban)
a. Ahli Wujub
Yaitu kepantasan atau kelayakan seseorang untuk menetapkan
suatu kemestian yang harus menjadi haknya, seperti kepantasan
menetapkan harga yang harus diganti oleh seorang yang telah merusak
barangnya atau menetapkan harga.15
b. Ahli ‘ada
Ahli ‘ada adalah kelayakan seseorang untuk memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan syara’ seperti shalat, puasa, dan
haji.16.
14 Hendi Suhendi, Op.Cit, hlm. 73. 15 Syafi’I Rahmat, Loc.Cit, 16 Ibid, hlm. 56
28
2) Al Wilayah ( Kekuasaan )
Wilayah menurut bahasa adalah penguasaan terhadap suatu
urusan dan kemampuan menegakkannya. Menurut istilah wilayah
adalah kekuasaan seseorang berdasarkan syara’ yang menjadikannya
untuk melakukan akad dan tasyarruf. Perbedaan antara ahli akad dan
wilayah, antara lain ahli akad adalah kepantasan seseorang untuk
berhubungan dengan akad, sedangkan al wilayah adalah kepantasan
seseorang untuk melaksanakan akad.17
2. Obyek akad (mahallul ‘aqd)
Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenisnya,
ciri-ciri dan ukuranya. Syarat barang yang diserahkan kemudian
haruslah dalam status tanggungan, kriteria barang tersebut menunjukan
kejelasan jumlah dan sifat–sifatnya yang membedakan dengan lainnya
sehingga tidak menimbulkan fitnah dan batas waktu diketahui dengan
jelas. 18
Dalam hal ini ma’qud alaih adalah obyek akad atau benda-
benda yang dijadikan akad yang bentuknya membekas dan tampak.
Barang tersebut dapat berbentuk harta benda seperti barang dagangan,
benda bukan harta seperti dalam akad pernikahan.
Dalam Islam, tidak semua barang dapat dijadikan objek akad,
misalnya minuman keras. Oleh karena itu, fuqaha menetapkan empat
syarat dalam objek akad berikut ini:
17 Ibid, hlm. 57 18 Sayid Sabiq Fiqih Sunnah Terj. Nor Hasanudin, Loc.Cit
29
1) Ma’qud ’Alaih (Barang) Harus Ada ketika Akad
Berdasarkan syarat ini, barang yang tidak ada ketika akad tidak
sah dijadikan objek akad seperti jual beli yang sesuatu yang masih di
dalam tanah atau menjual anak kambing yang masih berada dalam
kandungan induknya. Sebenarnya dalam beberapa hal syara’
membolehkan jual beli atas barang yang tidak ada, seperti menjual buah–
buahan yang masih di pohon setelah tampak buahnya dengan syarat-
syarat tertentu.19
Transaksi salam tidak mensyaratkan barang berada pada pihak
penjual akan tetapi hanya diharuskan ada pada waktu yang ditentukan.
Dalam as salam jika kedua belah pihak tidak menyebutkan
tempat serah terima jual beli pada saat akad, maka jual beli dengan cara as
salam tetaplah sah, hanya saja tempat ditentukan kemudian, karena
penyebutan tempat tidak di jelaskan di dalam hadist. Apabila tempat
merupakan syarat tentu maka Rasulullah SAW akan menyebutkannya,
sebagaimana ia menyebutkan takaran, timbangan dan waktu.20
2) Ma’qud ‘Alaih Harus Masyru’( sesuai dengan ketentuan syara)
Ulama fiqh sepakat bahwa barang yang dijadikan akad harus
sesuai dengan ketentua syara’. Oleh karena itu dipandang tidak sah, akad
atas barang yang diharamkan.
19.Syafi’I Rahmat, Op. Cit, hlm. 58 20 Ibid, hlm.170
30
3) Dapat Diberikan Waktu Akad
Disepakati oleh ahli fiqh bahwa barang yang dijadikan akad
harus dapat diserahkan ketika akad. Dengan demikian, ma’qud ‘alaih yang
tidak diserahkan ketika akad seperti jual beli burung yang masih ada di
udara tidak di pandang sebagai akad.
Akan tetapi dalam akad tabarru (derma) menurut imam Malik di
bolehkan, seperti hibah atas barang yang kabur, sebab pemberi telah
berbuat kebaikan, sedangkan yang diberi tidak mengharuskanya untuk
menggantikanya dengan sesuatu, sehingga tidak terjadi percekcokan.21
Transaksi salam tidak mensyaratkan barang berada pada pada
pihak penjual akan tetapi hanya diharusakan ada pada waktu yang
ditentukan.22
4) Ma’qud ‘Alaih Harus Diketahui Oleh Kedua Belah Pihak yang Akad
Ulama fiqh menetapkan bahwa ma’qud ‘alaih harus jelas
diketahui oleh kedua pihak yang berakad. Larangan sunnah sangat jelas
dalam jual beli gharar, dan barang yang tidak diketahi oleh pihak yang
berakad.23
5) Ma’qud ‘Alaih Harus Suci
Ulama selain Hanafiyah menerangkan bahwa ma’qud alaih
harus suci tidak najis dan tidak mutanajis. Dengan kata lain ma’qud ‘alaih
21 ibid, hlm. 60 22 Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 170. 23Syafi’I Rahmat, Op.Cit, hlm. 60
31
yang dijadikan akad adalah segala sesuatu yang suci, yang dapat
dimanfaatkan menurut syara’.24
Dalam akad salam barang yang dipesan harus bisa diserahkan
pada waktu yang ditentukan tidak boleh mundur juga bagaimana cara
penyerahan barang tersebut apakah barang itu diantar ke rumah pemesan
atau di pasar atau pemesan nantinya yang akan mengambil sendiri barang
tersebut. Dalam pesanan juga tidak boleh adanya khiyar syarat artinya
kalau barangnya sudah ada dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lantas
tidak cocok akan dikembalikan. Barang yang sudah sesuai dengan
ketentuan harus diterima.25
3. Pernyataan untuk mengikatkan diri ( sighah al-’aqd)
Sighat al-’aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang nelakukan
akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang
dinyatakan oleh salah satu dari seseorang yang berakad yang
mencerminkan kesungguhan kehendak untuk mengadakan akad.26
Para ulama menetapkan tiga syarat dalam ijab dan qabul, yaitu:
a) Ijab dan qabul harus jelas maksudnya, sehingga di pahami oleh
pihak yang melakukan akad
b) Antara ijab dan qabul harus sesuai
24 Ibid, hlm. 61 25. Imam Taqiyuddin Abu Baker Ibnu Muhammad Al-Hussaini,Loc.Cit 26 Gemala Dewi, Op-cit, hlm. 63
32
c) Antara ijab dan qabul harus bersambung dan berada di tempat yang
sama jika kedua belah pihak hadir, atau berada di tempat yang sudah
diketahui oleh keduanya.27
Segala macam pernyataan akad dan serah terima dilahirkan dari
jiwa yang saling merelakan untuk menyerahkan barangnya masing-
masing kepada siapa yang melakukan transaksi. Prinsipnya dalam Al-
Qur’an surat, An-Nisaa’ ayat 29
يا أيـها الذين آمنوا ال تأكلوا أموالكم بـيـنكم بالباطل إال أن تكون جتارة عن
تـراض منكم وال تـقتـلوا أنـفسكم إن الله كان بكم رحيما Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.28(Q.S. An-nisaa’: 29)
Segala macam pernyataan akad dan serah terima, dilahirkan dari
jiwa yang saling merelakan (taradli) untuk menyerahkan barangnya
masing-masing kepada siapa yang melakukan transaksi. Dengan
demikian penyerahan barang itu dapat diartikan sebagai ijabnya,
sekalipun tanpa kalimat penyerahan, dan sebaliknya penerimaan barang
itulah qabulnya, sekalipun tanpa kalimat yang diucapkan.
27.Syafi’I Rahmat, Op. Cit, hlm. 52. 28Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 84.
33
Ijab dan qabul dapat dilakukan dengan empat cara berikut ini:
a) Lisan
Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam perkataan secara
jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yang
dilakukan oleh para pihak .
b) Tulisan
Adakalanya suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat
dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung dalam
melakukan perikatan, atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya
lebih sulit, seperti perikatan yang dilakukan oleh badan hukum.
c) Isyarat
Suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan orang normal, orang cacat
pun dapat melakukan suatu perikatan, apabila cacatnya adalah suatu
wicara, maka dimungkinkan akad dilakukan dengan isyarat, asalkan
para pihak yang melakukan perikatan tersebut memiliki pemahaman
yang sama.
d) Perbuatan
Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, kini perikatan
dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan,
tertulis ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut ta’athi atau mu’athah
(saling memberi dan menerima) . adanya perbuatan memberi dan
menerima dari pihak yang saling memahami perbuatan perikatan
tersebut dan segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi pada
34
proses jual beli di supermarket yang tidak ada proses tawar
menawar.29
4. Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘aqd)
Maudhu’ul akad adalah maksud utama disyariatkanya maudhu
akad pada hakikatnya satu arti dengan maksud asli akad dan hukum akad.
Hanya saja, maksud asli akad di pandang sebelum terwujudnya akad:
hukum dipandang dari segi setelah terjadinya akad; sedangkan maudhu
akad berada di antara keduanya.
Pembahasan ini sangat erat kaitanya dengan hubungan antara
dzahir akad dan batinya. Diantara para ulama, ada yang memandang
bahwa akad yang sahih harus bersesuian antara zahir dan batin akad, akan
tetapi sebagian ulama lainya tidak mempermasalahkan masalah batin atau
tujuan akad.30
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menetapkan beberapa hukum
akad yang dinilai secara zahir sah, tetapi makruh tahrim yaitu:
a. Jual beli yang menjadi perantara munculnya riba.
b. Menjual anggur untuk dijadikan khamar.
c. Menjual senjata untuk menunjang pemberontakan atau fitnah, dan
lain-lain.
Adapun ulama Malikiyah, Hanabilah dan Syiah yang
mempermasalahkan masalah batin akad, berpendapat bahwa suatu akad
tidak hanya dipandang dari segi zahirnya saja, tetapi juga batin. Dengan
29 Gemala Dewi, Op.cit, hlm.64 30 Syafi’I Rahmat, Op. Cit, hlm. 57.
35
demikian, tujuan memandang akad dengan sesuatu yang tidak
bersesuaian dengan ketentuan syara’ dianggap batal.
Keinginan mengadakan akad terbagi dua, yaitu berikut ini;
a. Keinginan Batin ( Niat atau Maksud)
Keinginan batin dapat terwujud dengan adanya kerelaan dan
pilihan (ikhtiar). Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kerelaan dan
pilihan adalah dua hal yang berbeda sebab ikhtiar dapat dilakukan
dengan keridhaan atau tidak. Adapun menurut ulama selain
Hanafiyah, rida dan pilihan adalah sama.
b. Keinginan yang Zahir
Keinginan yang dzahir adalah sighat atau lafadz yang
mengungkapkan keinginan batin, apabila keinginan batin dan zahir
itu sesuai, akad dinyatakan sah. Akan tetapi, jika salah satunya tidak
ada, seperti orang yang zahirnya ingin jual beli, akadnya tidak sah
sebab keinginan batinya tidak ada.31
Tentang keinginan akad ini ada beberapa macam cabang yaitu:
a. Gambaran
Dalam akad terkadang hanya tampak zahirnya saja,
sedangkan batinya (tidak tampak). Akad seperti diatas, dalam
beberapa hal dikategorikan tidak sah menurut jumhur ulama, antara
lain:
31 Ibid, hlm. 62
36
1) Akad ketika gila, tidur, belum mumayiz, dan lain-lain.
2) Tidak menegerti apa yang diucapkan.
3) Akad ketika belajar, atau bersandiwara.
4) Akad karena kesalahan.
5) Akad karena dipaksa.32
b. Kebebasan dalam akad
Para fuqaha memberikan batasan dalam akad yang
menyangkut kebebasan akad dan kebebasan dalam menetapkan
syarat dalam akad.
1) Kebebasan dalam Akad
Para ulama telah sepakat bahwa keridhaan merupakan
landasan dalam akad, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an
surat An-Nisa ayat 29 di atas.
2) Kebebasan Bersyarat
Yakni kebebasan dalam memberikan syarat tentang
keabsahan akad. Dalam hal ini, di antara para ulama terbagi atas
beberapa pendapat:
a) Golongan Hanabilah yang berpendapat bahwa syarat akad
mutlak, yakni setiap syarat yang tidak didapatkan keharaman
menurut syara’ adalah boleh.
b) Golongan selain Hanabilah yang berpendapat bahwa dasar
dari syarat akad adalah batasan, yakni setiap syarat yang
32 Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, 146.
37
tidak menyalahi batasan yang telah ditetapkan syara’
dipandang sah.33
3) Kecacatan Keinginan atau Rida
Kecacatan keiginan atau rida adalah perkara-perkara
yang mengotori keinginan atau menghilangkan keridaan secara
sempurna, yang disebut kecacatan rida. Kecacatan rida terbagi
dalam tiga macam:
1) Pemaksaan
2) Kesalahan
3) Penipuan
Setiap akad memiliki dampak yaitu dampak khusus dan
dampak umum, dampak khusus adalah hukum akad. Yakni
dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau maksud
utamanya dilaksanakannya suatu akad, seperti pemindahan
kepemilikan dalam jual beli dan lain-lain. Dampak umum adalah
segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar
akad, baik dari segi hukum maupun hasil.34
33 Ibid, hlm. 147. 34 Syafi’i Rahmat, Op. Cit, hlm. 64-66.
38
C. Bentuk-bentuk Akad
Para ulama fiqih, mengemukakan bahwa pembagian bentuk akad dapat
dilakukan dari berbagai aspek dan sudut pandang yang berbeda-beda. Antara
lain dilihat dari penjelasan berikut ini.
1. Dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, maka akad terbagi dua,
akad sahih dan tidak sahih.
a. Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi hukum dan syarat-syarat
nya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlaku seluruh akibat hukum
yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang
berakad. Akad sahih menurut ulama’ Hanafi dan Maliki terbagi
menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
1) Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang
dilangsungkan dengan memenuhi hukum dan syarat nya dan tidak
ada penghalang untuk melaksanakannya.
2) Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap
bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan akad itu.
b. Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada
rukun atau syarat-syarat nya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu
tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama’
Hanafi membagi akad yang tidak sahih itu menjadi dua macam, yaitu
sebagai berikut:
39
1) Akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya
atau ada larangan langsung dari syara’, seperti akadnya orang gila
atau cacat pada sighat akadnya.
2) Akad fasid, yaitu akad yang pada dasarnya disyari’atkan, tetapi sifat
yang diakadkan itu tidak jelas, seperti adanya unsur tipuan.35
2. Dilihat dari segi penamaannya, para ulama fiqih membagi akad menjadi
dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh
syara’ serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa-
menyewa, perikatan dan lain-lain.
b. Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh
masyarakat sesuai dengan keperluan mereka disepanjang zaman dan
tempat, seperti istishna’, bai’ al-wafa dan lain-lain. 36
3. Dilihat dari segi disyari’atkannya akad atau tidak, terbagi dua yaitu
sebagai berikut:
a. Akad musyara’ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’,
umpamanyan jual beli, jual harta yang ada harganya dan termasuk juga
hibah, dan rahn (gadai)
b. Akad mamnu’ah, yaitu akad-akad yang dilarang syara’, seperti menjual
anak binatang yang masih dalam kandungan.
35 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, hlm. 108 36 Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, Op.Cit, hlm. 109
40
4. Dilihat dari sifat bendanya, akad dibagi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan
melaksanakan apa yang diakadkan itu, misalnya benda yang dijual
diserahkan kepada yang membeli.
b. Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu akad yang hasilnya semata-mata
berdasarkan akad itu sendiri.37
5. Dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad. Dari sudut ini dibagi dua
pula:
a. Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu.
Misalnya, pernikahan yang harus dilakukan dihadapan para saksi.
b. Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya, jual beli yang
tidak perlu di tempat yang ditentukan dan tidak perlu dihadapan
pejabat.38
6. Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad. Dari segi ini akad dibagi
empat macam:
a. Akad yang tidak dapat dibatalkan, yaitu ‘aqduzziwaj. Akad nikah tidak
dapat dicabut, meskipun terjadinya dengan persetujuan kedua belah
pihak. Akad nikah hanya dapat diakhiri dengan jalan yang ditetapkan
oleh syari’at, seperti talak, khulu’ atau karena putusan hakim.
b. Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, seperti
jual beli, shulh, dan akad-akad lainnya.
37 Ibid, hlm. 110 38 Ibid, hlm. 111
41
c. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak
pertama. Misal, rahn dan kafalah.
d. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggui persetujuan pihak yang
kedua, yaitu seperti: wadi’ah, ‘ariyah, dan wakalah.39
7. Dilihat dari segi tukar-menukar hak. Dari segi ini akad dibagi tiga:
a. Akad mu’awadlah, yaitu: akad-akad yang berlaku atas dasar timbal
balik seperti jual beli, sewa-menyewa, shulh dengan harta, atau shulh
terhadap harta dengan harta.
b. Akad tabarru’at, yaitu: akad-akad yang berdasarkan pemberian dan
pertolongan, seperti hibah dan ‘ariyah.
c. Akad yang mengandung tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi
mu’awadlah pada akhirnya, seperti qardh dan kafalah.40
8. Dilihat dari segi keharusan membayar ganti dan tidak, maka dari segi ini
dibagi tiga golongan:
a. Akad dhamanah, yaitu tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-
barang itu diterimanya, seperti jual beli, qardh menjadi dhamanah
pihak yang kedua sesudah Barang itu diterimanya.
b. Akad amanah yaitu tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan
oleh yang memegang barang , missal, syirkah, wakalah.
c. Akad yang dipengaruhi beberapa unsure, dari satu segi yang
mengharuskan dhamanah, dan dari segi yang lain merupakan amanah
yaitu: ijazah, rahn, shulh.
39 Ibid, hlm. 112 40 Ibid, hlm. 113
42
9. Dilihat dari segi tujuan akad dibagi menjadi empat golongan:
a. Yang tujuannya tamlik, seperti, jual beli, mudharabah.
b. Yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja, seperti rahn dan
kafalah.
c. Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan seperti wakalah, wasiat.
d. Yang tujuannya memelihara, yaitu: wadi’ah. 41
10. Dilihat dari segi waktu berlakunya, terbagi dua yaitu sebagai berikut:
a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang pelaksanaannya tidak
memerlukan waktu yang lama. Misalnya, jual beli dengan harga yang
ditangguhkan, shulh, qaradh dan hibah.
b. Akad mustamirah, dinamakan juga akad zamaniyah , yaitu akad yang
pelaksanaannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam
pelaksanaannya. Contoh: ijarah, ‘ariyah, wakalah dan syirkah.
11. Dilihat dari ketergantungan dengan yang lain, akad dari segi ini dibagi dua
juga, yaitu sebagai berikut:
a. Akad asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya
sesuatu yang lain, misalnya jual beli, ijarah, wadi’ah, ‘ariyah.
b. Akad tab’iyah, yaitu akad yang tidak dapat bediri sendiri karena
memerlukan sesuatu yang lain, seperti: rahn dan kafalah.42
41 Ibid, hlm. 114 42 Gemala Dewi, ,Op.Cit, hlm. 63
43
12. Dilihat dari maksud dan tujuannya, akad terbagi atas dua jenis, yaitu
sebagai berikut:
a. Akad tabarru’, yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni
semata-mata karena mengharap ridho dan pahala dari Allah, sama
sekali tidak ada unsure mencari “return” ataupun motif. Akad yang
termasuk dalam kategori ini adalah:
1) Hibah
Hibah adalah akad yang obyeknya mengalihkan hak milik
kepada orang lain secara Cuma-Cuma tanpa adanya bayaran.43
2) wakaf
Secara etimologis, istilah wakaf berasal dari kata waqf,
yang bisa bermakna habs (menahan). Istilah waqf sendiri
diturunkan dari kata waqafa-yaqifu-waqfan, artinya sama dengan
habasa-yahbisu-habsan (menahan).
Dalam syariat, wakaf bermakna menahan pokok dan
mendermakan buah atau dengan kata lain, menahan harta dan
mengalirkan manfaat-manfaatnya di jalan Allah.44
3) Wasiat
Wasiat adalah suatu akad dimana seseorang manusia
mengharuskan di masa hidupnya mendermakan hartanya untuk
orang lain yang diberikan sesudah wafatnya.45
43 Hasbi ash-Shiddieqy. Op. Cit, hlm. 98 44 Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm. 161 45 Ibid, hlm. 107
44
4) Rahn
Secara etimologi kata ar- rahn berarti tetap, kekal dan
jaminan. Akad rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan
barang jaminan atau agunan. Ada beberapa definisi rahn yang
dikemukakan para ulama fiqih.
Ulama Maliki mendefinisikannya dengan harta yang
dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat
mengikat. Ulama Hanafi mendefinisikannya dengan menjadikan
sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) itu baik,
seluruhnya maupun sebagian. Sedangkan ulama Syafi’i dan
Hambali mendefinisikan rahn dengan menjadikan materi
(barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar
utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar
utangnya itu.46
5) Wakalah
Secara etimologi wakalah berarti, al-hifdh (pemeliharaan)
seperti, firman Allah QS. Ali Imron (3): 173:.. “Cukuplah Allah
menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baiknya
pelindung.” Wakalah juga berarti al-Tafwidh (penyerahan),
pendelegasian, atau pemberian mandat. (QS. Hud (11): 56:
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan
Tuhanmu..”, al-Kahfi (18): 19.
46 Gemala Dewi, Loc-cit
45
Menurut para fuqada, wakalah berarti : “pemberian
kewenangan atau kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus
dilakukannya dan ia (penerima kuasa) secara syar’i menjadi
pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan.”47
6) Kafalah
Al-Kafalah menurut bahasa berarti al- Dhaman (jaminan),
hamdalah (beban), dan za’amah (tanggungan). Sedangkan
menurut istilah, para ulama mengemukakan definisi yang
berbeda-beda, antara lain adalah : “Menggabungkan satu dzimah
(tanggung jawab) kepada dzimah yang lain dalam penagihan,
dengan jiwa, utang, atau zat benda”.
Istilah kafalah menurut Mazhab Hanafi adalah
memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung
jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum. Dengan kata lain
menjadikan seseorang ikut bertanggungjawab atas tanggung
jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, utang,
atau barang. Meskipun demikian, penjamin yang ikut
bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berhutang, dan utang
pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki, Syafi’I da Hambali, kafalah
adalah menjadikan seseorang penjamin ikut bertanggungjawab
atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan atau pembayaran
47Ibid hlm. 137,
46
utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berhutang.
Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat
dibutuhkan dalam mu’amalah dan agar yang berpiutang tidak
dirugikan karena ketidakmampuan yang berhutang.48
7) Hiwalah
Hiwalah adalah akad pemindahan utang piutang satu pihak
kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak yang terlibat;
muhil atau madin, pihak yang memberi utang (muhal da’in) dan
pihak yang menerima pemindahan (muhal a’alaih). Di pasar
keuangan konvensiomal praktik hiwalah dapat dilihat pada
transaksi anjak piutang (factoring). Namun kebanyakan ulama
tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas
pemindahan utang atau piutang tersebut.49
8) ‘Ariyah
Menurut etimologi, al-ariyah berarti sesuatu yang
dipinjam, pergi, dan kembali atau beredar. Sedangkan menurut
terminologi fiqih, ada dua definisi yang berbeda. Pertama, Ulama
Maliki dan Hanafi, mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat
sesuatu tanpa ganti rugi. Kedua, Ulama Syafi’i dan Hambali
mendefinisikannya dengan kebolehan memanfaatkan barang
orang lain tanpa ganti rugi. Kedua definisi ini membawa akibat
hukum yang berbeda. Definisi pertama membolehkan peminjam
48 Ibid, hlm. 360 49 Ibid, hlm. 96
47
meminjamkan barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga.
Sedangkan definisi kedua tidak membolehkan. ‘Ariyah
merupakan sarana tolong-menolong antara orang yang mampu
dengan yang tidak mampu.50
9) Al qardh
Secara bahasa al-qardh berarti al-qoth' (terputus). Harta
yang dihutangkan kepada pihak lain dinamakan qardh, karena ia
terputus dari pemiliknya.51 Adapun yang dimaksud dengan utang
piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan
perjanjian dia akan membayar yang sana dengan itu.
Pengertian ” sesuatu “ dari definisi diatas mempunyai
makna yang luas, selain dapat berbentuk orang, juga bisa saja
dalam bentuk barang, asalkan barang tersebut habis karena
pemakaian.52
Utang piutang (al qardh) merupakan salah satu bentuk
muamalah yang berbentuk ta’awun (pertolongan) kepada pihak
lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sumber ajaran islam (al-
Qur’an dan al-Hadist) sangat kuat menyerukan prinsip hidup
gotong royong seperti ini. Bahkan al-Qur’an menyebut piutang
untuk menolong atau meringankan orang lain yang membutuhkan
50 Nasrun Haroen, Op.Cit, hlm. 238 51Gufron A. Mas’adi, Loc.Cit 52 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukun Perjanjian Dalam Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 136
48
dengan istilah “menghutangkan kepada Allah dengan hutang baik
“.53
b. Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan
mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi
semuanya. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah:
1) Murabahah
Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak
untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan
permohonan pembelian terhadap satu barang dengan keuntungan
atau tambahan harga dan transparan.54
2) As-Salam atau As-Salaf
As-salam dinamakan juga salaf (pendahuluan) yaitu jual
beli barang dengan kriteria tertentu dengan pembayaran sekarang
namun diterima kemudian.55 Para ahli fiqh menyebut juga Bai’al
Mahawij (karena kebutuhan mendesak) karena merupakan jual
beli barang yang tidak ada di tempat akad, dalam kondisi
mendesak bagi dua pihak yang melakukan akad pembeli (pemilik
uang) membutuhkan barang dan penjual (pemilik barang)
membutuhkan pembayarannya sebelum barang selesai untuk
memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan menanam hingga
53 Gufron A. Mas’adi, Op. Cit, hlm. 171 54 Gemala Dewi, Op cit, hlm. 111 55 Ibid, hlm 112
49
panen. Bentuk jual beli ini bagian dari kepentingan dan
kebutuhan.56
Transaksi salam merupakan salah satu bentuk yang telah
menjadi kebisaan di berbagai masyarakat. Orang yang
mempunyai perusahaan sering membutuhkan uang untuk
kebutuhan perusahaan mereka, bahkan sewaktu-waktu kegiatan
perusahaannya terhambat karena kekurangan bahan pokok.
Sedangkan si pembeli selain akan mendapatkan barang yang
sesuai dengan keinginannya, ia pun sudah menolong kemajuan
perusahaan saudaranya. Maka untuk kepentingan tersebut Allah
mengadakan peraturan salam.57
Definisi salam yang diberikan fuqaha berbeda-beda:
Menurut syafi’iyah salam ialah :
هوعقدعلى موصوف بذمةمؤجل بثمن مقبـوض مبجلس العقد
Artinya: Akad yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya lebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majelis akad.58
Menurut Malikiyah salam ialah :
بـيع يـتـقدم فيه رأس املال يتأخراملثمن ألجل
Artinya: Suatu akad jual beli yang modalnya dibayar terlebih
dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian.59
56 Sayyid Sabiq Op.Cit, hlm. 167 57 Gemala Dewi, Op. cit, hlm. 114 58 M. Ali Hasan,Op.Cit, hlm. 143 59 Ibid, hlm. 144
50
Adapun dasar hukum yang disyariatkan jual beli salam
bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma’ ulama.
Dasar hukum yang pertama firman Allah dalam surat Al-
baqarah ayat 281 yaitu:
يا أيـها الذين آمنوا إذا تدايـنتم بدين إىل أجل مسمى فاكتبوه
)٢٨٢: البقرة (Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282).60
Ayat diatas jelas hukum mubahnya dan perlunya ada
catatan yaitu kata istilah sekarang dengan data administrasi atau
pembukuan, seperti kwitansi dan buku-buku lainnya yang
diperlukan untuk ketertiban dan terjaminnya lupa atau perbuatan
penipuan, serta dalam jual beli hendaknya waktu untuk
pembayaran itu ditentukan.61
Berkenaan dengan ayat ini Ibu Abbas berkata: “saya
bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu
tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitabNya dan
diizinkanNya” lalu ia membaca ayat tersebut diatas.62
Dasar hukum diatas sesuai dengan tuntunan syari’ah,
prakteknya dibolehkan pula dengan penangguhan waktu
pembayaran dalam jual beli. Selama kriteria barang tersebut
60 Departemen Agama RI,Op.Citt, hlm. 49 61 Drs. Sudarsono. SH.M.Si, Pokok-pokok Hukum Islam, Cet ke 2, Jakrta: Rineka Cipta,
2001, hlm. 415 62 Syafi’I Antonio, Op.cit. hlm. 109
51
diketahui dengan jelas dan menjadi tanggungan pihak penjual,
dan pembeli yakin akan dipenuhinya kriteria tersebut oleh
penjual ada waktu yang telah ditentukan. Seperti jual beli yang
terkandung dalam ayat tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Ibu
Abbas bahwa selama itu juga ia tidak termasuk dalam larangan
Nabi SAW.
Maksud pelarangan tersebut adalah bahwa seseorang
menjual barang tidak dapat diserahkan kepada pembeli. Karena,
barang yang tidak dapat diserahkan berarti bukan miliknya,
sehingga jual beli tersebut merupakan gharar (menipu).
Sedangkan untuk jual beli barang yang memiliki kriteria tertentu,
ada jaminan dan ada prasangka kuat dapat dipenuhi tepat waktu,
maka bukan termasuk menipu.63
Dasar hukum lainnya adalah hadist yang berkaitan dengan
tradisi penduduk Madinah yang didapati oleh Rasulullah pada
awal hijrah beliau ke sana, yaitu tradisi akad salaf (salam) dalam
buah-buahan jangka waktu satu tahun atau dua tahun, beliau
bersabda:
حدثناصدقةاخربناابن عيينةاخربناابن جنيح عن عبداهللا بن كثريعن ايب قدم النيب صلى اهللا عليه : املنهال عن ابن عباس رضي اهللا عنهماقال
من اسلف ىف : فقال , وسلم املدينةوهم يسلفون بالثمرالسنتني والثالث . معلوم ووزن معلوم اىل اجل معلومشئ ففى كيل
63 Nasrun Haroen, Op.Cit, hlm. 111
52
Artinya: “Diceritakan oleh Sadaqah dikabarkan oleh Ibnu Uyaiynah dikabarkan oleh Ibnu Najih mengabarkan kepada kita dari Abdillah Ibnu Katsir dari Abi Minhal dari Ibnu Abbas ra. Berkata: Nabi SAW datang ke Madinah dan melihat penduduk disana melakukan jual beli salaf pada buah-buahan dengan dua atau tiga tahun, maka Nabi berkata: barang siapa melakukan jual beli salaf, hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui. (HR. Bukhari).64
Dan juga hadist dari Rifa’ah Bin Rafi’:
عن رفاعةابن رافع أن النيب صلي اهللا عليه وسلم سئل أي الكسب )رواه البزار(أطيب ؟ قال عمل الرجل بيده وكل بيع مربور
Artinya: Dari Rifa’ah bin Rafi’. Sesungguhnya Nabi SAW,
ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik, Nabi Muhammad SAW menjawab: seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur (HR. Bazzar)65
Salam, kata as-salaf memiliki pengertian yang sama
dengan as-salam. As-salam berasal dari bahasa penduduk Irak
dan kata as-salaf berasal dari bahasa penduduk Hijaz.
Wawazanin ma’lumin huruf all wawu disini berarti “au”
yakni menggunakan takaran dalam barang-barang yang dapat
ditakar atau menggunakan timbangan dalam barang-barang yang
akan digunakan.66
Menurut Hanafiyah, jual beli salam diperbolehkan dengan
alasan salam, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah
64 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzabah
Bukhari Ju’fi, Shahih Bukhari,Loc.Cit 65 Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, subul as Sulam, Kairo: Syirkah Maktabah
Mustafa al-Halabi, 1990, hlm. 4 66 Drs. Taufik Rahman, Hadits-Hadits Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm, 133
53
menjadi kebiasaan (urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama
yang mengingkarinya.
Menurut ulama Malakiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah akad
salam sah dengan alasan telah menjadi kebiasaan ummat manusia
dalam bertransaksi, dengan catatan terpenuhinya semua syarat
sebagaimana disebutkan dalam akan salam.67
Transaksi jual beli salam memiliki rukun dan syarat yang
harus dipenuhi sehingga sah hukumnya.
Rukun jual beli salam menurut jumhur ulama terdiri atas:
1. Orang yang berakad, baligh dan berakal
2. Barang yang di pesan harus jelas ciri-cirinya, waktunya,
harganya.
3. Ijab dab qabul.68
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga sah
hukumnya. Diantara syarat-syarat yang dimaksud ada yang
berkaitan dengan penukaran dan ada yang berkaitan dengan
barang yang dijual.
Syarat-syarat penukaran adalah sebagai berikut:
1. Jenisnya diketahui
2. Jumlahnya diketahui
3. Diserahkan di tempat yang sama.
67 Dimyaudin Adjuaini, Op.Cit, hlm. 138 68 M. Ali Hasan, Loc. Cit
54
Sedangkan syarat-syarat barang (muslam fih) adalah:
1. Berada dalam tanggungan
2. Dijelaskan dengan penjelasan yang menghasilkan
pengetahuan tentang jumlah dan ciri-ciri barang yang
membedakannya dengan barang yang lain sehingga tidak lagi
sesuatu yang meragukan dan dapat menghilangkan
perselisihan yang mungkin akan timbul.
3. Batas waktu diketahui. 69
Dalam as-salam jika kedua pihak tidak menyebutkan
tempat serah terima jual beli pada saat akad, maka jual beli
dengan cara as-salam tetaplah sah, hanya saja tempat ditentukan
kemudian, karena penyebutan tempat tidak dijelaskan di dalam
hadist. Apabila tempat merupakan syarat tentu maka Rasulullah
SAW akan menyebutkannya, sebagaimana ia menyebutkan
takaran, timbangan dan waktu.70
Dalam akad salam barang yang dipesan harus diserahkan
pada waktu yang ditentukan tidak boleh mundur juga bagaimana
penyerahan barang tersebut apakah barang itu diantar ke rumah
pemesan atau di pasar atau pemesan nantinya yang akan
mengambil sendiri barang tersebut. Dalam pesanan juga tidak
boleh adanya khiyar syarat artinya kalau barangnya sudah ada
dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lantas tidak cocok akan
69 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,Jakarta; Dar fath Lili’lami al-Arabiy, 2009, hlm. 219 70 Syafi’I Rahmat, Loc. Cit
55
dikembalikan. Barang yang sudah sesuai dengan ketentuan harus
diterima.71
Harga dalam akad salam harus dibayarkan secara kontan
dalam majlis akad, ini menurut Hanafiyah. Sedangkan menurut
jumhur, harga pada kedua akad tersebut harus dibayar tunai
ketika akad berlangsung.72
3) Al-Istishna’
Istishna’ merupakan salah satu bentuk dari jual beli salam,
hanya saja obyeknya yang diperjanjikan berupa manufacture
order atau kontrak produksi. Istishna’ didefinisikan dengan
kontrak penjual dan kontrak pembeli dan pembuat barang. Dalam
kontrak ini pembuat barang (Shani) menerima pesanan dari
pembeli (Mustashni) untuk membuat barang dengan spesifikasi
yang telah disepakati kedua belah pihak yang bersepakat atas
harga sistem pembayaran yaitu dilakukan di muka, melalui
cicilan, atau ditangguhkan sampai waktu yang akan datang.73
4) Ijarah
Ijarah menurut ulama Hanafi adalah transaksi terhadap
suatu manfaat dengan imbalan. Menurut ulama Syafi’i adalah
transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu disebut
mubah, dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Sedangkan, menurut Ulama Maliki dan Hambali adalah
71 Iman Taqiyuddin Abu Baker Ibnu Muhammad Al-Hussaini, Kifayatul Akhyar, Loc.Cit 72 Gufron A. Mas’adi, loc.Cit 73 Gemala Dewi, Op.Cithlm. 114
56
pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu
dengan suatu imbalan. 74
5) Mudharabah
Kata mudharabah diambil dari adh-Dlarrbu Fi al-Ardhi
yang artinya kepergian untuk berdagang.
Mudharabah juga disebut dengan qiradh. Yang mana, kata
qiradh berasal dari kata al-qardh yang artinya al-Qath’u
(pemotongan). Karena orang yang memiliki harta memotong
(mengambil, red) sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan
dan mengambil sebagian dari keuntungannya. Selain itu,
mudharabah juga disebut muamalah, yang maksudnya adalah
akad antara dua pihak yang mengharuskan salah satu dari
keduanya untuk menyerahkan sejumlah uang kepada yang lain
untuk diperdagangkan, dengan ketentuan keuntungannya dibagi
sesuai kesepakatan diantara keduanya. 75
6) Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama antara kedua belah
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-
masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan.76
74 Ibid, hlm 115 75 Sayyid Sabiq,Op.Citt, hlm. 276 76 Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, hlm. 90
BAB III
PERJANJIAN NGUYANG DAN PELAKSANAANNYA DI DESA
TLOGOREJO KECAMATAN TEGOWANU KABUPATEN
GROBOGAN
A. Keadaan Umum Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten
Grobogan
1. Letak Geografis
Sebagai lembaga pemerintahan yang terkecil dalam struktur
pemerintahan, pemerintahan desa maupun kelurahan mempunyai fungsi
yang strategis sebagai ujung tombak dalam membangun nasional dalam
sektor pertanian, perkebunan dan peternakan. Oleh karena itu pemerintah
desa atau kelurahan diharapkan dapat lebih memberdayakan segala potensi
yang ada di wilayah masing-masing.
Secara monografis Desa Tlogorejo terletak 40 Km sebelah selatan
Kabupaten Grobogan, luas daerah Desa Tlogorejo 327 ha, secara
administrasi batas wilayah Desa Tlogorejo adalah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Desa Tegowanu
Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kebonagung
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Rejosari (Demak)
Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukorejo.
Desa Tlogorejo merupakan daerah petani dengan ketinggian
kurang lebih 13 meter, suhu rata-rata berkisar 27 derajat Celsius,
sedangkan curah hujan berkisar sekitar 2000 mm per 1 tahun. Dengan
57
58
curah hujan yang demikian, maka tanah di Desa Tlogorejo tergolong tanah
yang agak subur dengan didukung oleh pengaturan irigasi yang cukup
baik.
Dengan melihat uraian diatas, maka tanah sawah di Desa Tlogorejo
dapat ditanami padi, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Disamping itu
tanah juga dapat dimanfaatkan sebagai lahan tambak, dan tanah di sekitar
pekarangan rumah dapat ditanami dengan kelapa dan pohon buah-
buahan.1
2. Keadaan Sosial dan Ekonomi
a. Keadaan Sosial
1) Umum
Kebudayaan yang terdapat di bumi nusantara ini sebagian
besar adalah peninggalan dari nenek moyang yang perlu kita
junjung tinggi, kebudayaan-kebudayaan tersebut adalah warisan
dari para leluhur yang perlu dilestarikan karena memang
mempunyai kandungan nilai yang luhur dan tidak terpengaruh oleh
kebudayaan luar, begitu juga dengan kebudayaan yang ada pada
masyarakat Desa Tlogorejo, oleh karena itu kebudayaan yang
beraneka ragam coraknya tersebut perlu dijaga dan dilestarikan.
Demikian pula dengan kebudayaan yang bersifat
tradisional, juga perlu digali, dikembangkan dan dilestarikan,
1 Data Mnografi Desa Tlogorejo, Bulan Desember 2009, hlm. 9
59
sehingga dapat memberikan nuansa dan corak yang khas dari
masing-masing daerah.2
2) Pendidikan
Dalam mencapai tujuan untuk mencerdaskan bangsa, maka
pemerintah senantiasa memperhatikan lembaga pendidikan, bahkan
sampai yang ada di pelosok desa, sehingga masyarakat mendapat
kesempatan untuk belajar atau memperoleh pengetahuan, baik
melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Di bawah ini adalah tabel mengenai fasilitas pendidikan,
jumlah tenaga pendidikan dan murid yang ada di Desa Tlogorejo.
Tabel I
Jumlah Sekolah, Guru dan Murid di Desa Tlogorejo
No. Tingkat
Pendidikan
Jumlah
Sekolah
Jumlah
Pengajar
Jumlah
Murid
1. TK 1 3 75
2. SD 3 27 500
3. SLTP 1 20 300
4. SLTA 1 10 50
5. Madrasah 2 28 600
6 TPQ 3 9 78
3) Kehidupan Beragama
Jumlah penduduk Desa Tlogorejo adalah 4.143, 99%
mayoritas pemeluk agama Islam, yaitu sebanyak 3.975 orang,
sedangkan pemeluk agama Kristen 88 orang dan pemeluk agama
2 Wawancara, Dengan Bapak Hadi Santoso Yang Menjabat Sebagai Carik, 10 April 2010
60
Budha 80 orang. Walaupun tidak semuanya penduduk Desa
Tlogorejo memeluk agama Islam, kehidupan agama di Desa
Tlogorejo berjalan dengan baik. Hal tersebut nampak pada
berjalannya kegiatan masyarakat yang tidak bersifat keagamaan,
seperti dalam bidang olah raga, gotong royong dan kerja bakti.
Untuk mengetahui sampai dimana pembangunan dalam
bidang keagamaan, berikutini adalah data tentang prasarana
peribadatan yang ada di Desa Tlogorejo.3
Tabel II
No. Tempat Ibadah Jumlah
1. Masjid 2 buah
2. Mushalla 18 buah
3. Gereja 1 buah
4. Wihara 1 buah
Karena Desa Tlogorejo adalah desa yang mayoritas
pendduknya beragama Islam, maka kegiatan yang dilakukan
penduduk Desa Tlogorejo tidak lepas dari kegiatan-kegiatan
keagamaan Islam yang dijalankan dengan baik. Kegiatan-kegiatan
itu diantaranya adalah:
a) Peringatan hari-hari besar Islam
Masyarakat Desa Tlogorejo selalu memperingati hari-
hari besar dalam Islam, seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha,
Isra’ Mi’raj dan Maulid Nabi. Dan memperingati Isra’ Mi’raj
3 Data Monografi, Op.Cit., hlm. 4
61
dan Maulid Nabi, masyarakat Desa Tlogorejo biasanya
mengadakan pengajian, baik pengajian dalam lingkup kecil,
setingkat RT, per mushalla, per masjid yang ada, tingkat dusun
sampai pengajian akbar yang diprakarsai oleh aparatur
pemerintah desa.4
b) Tahlilan dan Yasinan
Masyarakat Desa Tlogorejo sealu melakukan tahlilan
dan yasinan secara rutin, setiap RT yangada di Desa Tlogorejo
mempunyai jama’ah tahlil sendiri-sendiri. Kegiatan ini
dilaksanakan setiap malam Jum'at, yang pelaksanaannya
bertempat di rumah-rumah penduduk secara giliran.
Kegiatan tahlilan dan yasinan tersebut juga
dilaksanakan ketika ada masyarakat yang meninggal dunia,
biasanya pelaksanaannya adalah sampai tujuh malam berturut-
turut, malam ke-40 setelah meninggal atau yang disebut
matang puluh, malam ke-100 setelah meninggal yang biasa
disebut nyatus dan malam ke-1000 setelah meninggal atau yang
biasa disebut dengan nyewu.5
c) Manaqiban
Selain tahlil dan yasinan, masyarakat Desa Tlogorejo
juga melakukan kegiatan yang dinamakan manaqiban.
Manaqiban ini dilakukan oleh penduduk desa yang mempunyai
4 Wawancara, Dengan Bapak Masadi, 10 April, 2010 5 Wawancara, Dengan Bapak Solekhan, 11 April, 2010
62
hajat tertentu, semisal: ketika acara pemberian nama bagi anak,
acara aqiqah, dan syukuran pribadi penduduk, semisal ada
keluarga yang salah satu anggota keluarganya pulang dari
bekerja di luar negeri dan mendapat uang yang cukup banyak.
d) Berzanjinan
Masyarakat Desa Tlogorejo juga melaksanakan
kegiatan keagamaan yang dinamakan berzanjinan. Kegiatan ini
dilaksanakan di masjid, mushalla-mushalla yang rata-rata
diikuti oleh remaja dan juga tempat pengajian anak-anak, yang
dipimpin oleh ustadz dan guru ngaji dan hanya diikuti oleh
murid-murid pengajianya.6
b. Keadaan Ekonomi
Perekonomian masyarakat Desa Tlogorejo sebagian besar
ditunjang oleh hasil bumi atau pertanian, karena tanah di desa
Tlogorejo tergolong cukup subur dan pengairan disana juga cukup
untuk mengaliri seluruh area persawahan yang ada. Sebagian besar
dari mereka bermata pencaharian sebagai petani, dan dalam cara
bertani, mereka tidak lagi seperti petani-petani tradisional pada
umumnya. Dalam hal peralatan misalnya, untuk membajak tanah,
mereka tidak lagi menggunakan sapi atau lembu, akan tetapi
menggunakan traktor. Dalam masalah tanaman, mereka tidak selalu
6 Wawancara, Dengan Bapak Nur Fatkhi, 11 April, 2010
63
menanam padi dan jagung seperti dahulu. Tanaman yang mereka
tanam bervariasi, dari buah-buahan dan sayur-sayuran.7
Walaupun demikian bukan berarti semua penduduk desa
Tlogorejo bermata pencaharian sama yaitu sebagai petani. Selain
bertani, penduduk Desa Tlogorejo juga bervariasi dalam pekerjaannya.
Di bawah ini adalah tabel mengenai mata pencaharian penduduk desa
Tlogorejo.
Tabel III
Mata Pencaharian Penduduk Desa Tlogorejo
No. Mata Pencaharian Jumlah
1. Petani 1500 orang
2. Buruh tani 900 orang
3. Karyawan (swasta) 600 orang
4. Pedagang 200 orang
5. Peternak 150 orang
6. Montir 20 orang
7. Pegawai Negeri Sipil 11 orang
8. TNI / POLRI 2 orang
9. Pensiunan 7 orang
10. Lain-lain 70 orang
Jumlah 3.460 orang
7 Wawancara, Dengan Bapak Mulyono Yang Menjabat Sebagai Bayan Tani, 12 April,
2010.
64
Mengenai penggunaan tanah atau pemanfaatan tanah oleh
masyarakat Desa Tlogorejo dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.8
Tabel IV
Penggunaan Tanah di Desa Tlogorejo
No. Jenis Luas (Ha)
1. Tanah sawah 101 Ha
2. Tanah pekarangan 118 Ha
3. Tanah tegalan atau kebun 187 Ha
B. Pelaksanaan Perjanjian Nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan
Tegowanu Kabupaten Grobogan
Pelaksanaan perjanjian nguyang sebagian besar dilaksanakan sebelum
menggarap sawah. Karena pada dasarnya orang yang akan menggarap sawah
kekurangan uang, sehingga mereka mencari uang untuk ongkos mulai dari
persemaian bibit, penanaman, pemupukan dan pengobatan. Hal ini tidak lepas
dari pembiayaan yang cukup banyak.
Apabila seseorang petani sudah kekurangan uang dan mereka dituntut
untuk meningkatkan produksi pangan usaha apapun akan dilaksanakan untuk
mencapai hasil atau produksi yang tertinggi. Memang masalah pangan ini
benar-benar memerlukan penanganan yang serius dengan terus memanfaatkan
lahan yang ada.
Masyarakat Desa Tlogorejo beranggapan bahwa ngunyang itu
termasuk utang piutang, ijon atau salam.
8 Data Monografi, Op. Cit., hlm. 2
65
Perjanjian nguyang ini ada sebelum penguyang memberikan pinjaman
modal berupa uang kepada petani. Biasanya mereka didahului dengan akad
atau perjanjian bersama, yang istilahnya disebut dengan nama perjanjian
nguyang. Nguyang adalah simbol dari bahasa masyarakat Desa Tlogorejo
dalam hal utang piutang di bidang pertanian.
Sedangkan di dalam prakteknya perjanjian nguyang di Desa Tlogorejo
Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan hanya dilaksanakan oleh petani
dengan penguyang saja secara lisan, sehingga turut campurnya kepala desa
atau pejabat yang berwenang tidak diperlukan, jadi hanya dengan rasa saling
percaya saja ataupun berdasarkan adat kebiasaan setempat. Jadi secara
formalnya kepala desa tidak membantu keabsahan berlakunya perjanjian
nguyang dan mengenai akte perjanjian tidak begitu diperlukan, dan tidak
pernah dibuat antara petani dan penguyang.9
Di bawah ini disajikan beberapa kasus perjanjian nguyang. Kasus
perjanjian nguyang ini penulis peroleh dari Desa Tlogorejo Kecamatan
Tegowanu Kabupaten Grobogan, yaitu:
1. Kasus nguyang yang dilaksanakan oleh Artijah dengan Maryadi.
Menurut ibu Artijah sejak tahun 1960-an, perjanjian nguyang sudah
sdilaksanakan. Yang semula hanya sekedar mengadakan hubungan
muamalah sebagaimana lazimnya makhluk sosial dan tidak diketahui
masyarakat. Yang tahu perjanjian nguyang ini terungkap secara jelas dan
membudaya sekitar tahun 1980-an yaitu pada awalnya Artijah menggarap
9 Wawancara, Dengan Bapak Munasir Pada Tanggal 13 April 2010, Sebagai Petani
66
sawah, pada masa tanamannya memerlukan pemupukan, Artijah kehabisan
biaya. Oleh karena itu Artijah berusaha mencari pinjaman uang untuk
membeli pupuk, namun Artijah tidak memperoleh pinjaman. Ada tawaran
dari seorang laki-laki yang bernama Maryadi yang mau memberi pinjaman
dengan cara nguyang. Tidak ada jalan lain yang ditempuh oleh Artijah
kecuali menerima tawaran tersebut. Pertama Artijah hanya menerima
pinjaman Rp. 100.000,- dengan perjanjian nanti kalau panen utang tersebut
akan dibayar dengan padi 2 kwintal. Padahal pada waktu itu harga 1
kwintal padi kalau dijual langsung bisa mendapat uang Rp. 100.000,-
kalau 2 kwintal maka Rp. 200.000,- kalau dihitung Artijah rugi Rp.
100.000,-. Karena pada waktu akad Artijah butuh untuk memupuk
tanamannya maka itu tidak menjadi masalah.10
Ijab dari penyuyng: ibu Artijah saya akan meminjami kamu uang
sebesar Rp. 100.000,- dengan cara nguyang, yaitu saya meminta uang
tersebut dibayar dengan padi 2 kwintal, pada musim panen.
Qabul dari petani: ya.
Maksud dari pernyataan itu adalah bapak Maryadi ingin membeli
padi secara ijon. 11
Petani tersebut mempunyai hasil panen 1 ton, yang digunakan untuk
nguyang hanya 20%.
2. Kasus nguyang yang dilaksanakan oleh Abu Naim dengan Sawiyah.
10 Wawancara, Dengan Ibu Artijah Pada Tanggal 14 April 2010, Sebagai Petani 11 Ijon adalah jual beli barang yang belum jelas wujudnya, barang yang dibeli tidak
diukur atau ditmbang secara jelas dan spesifik. Seperti, menjual buah-bahan atau tanam-tanaman yang buahnya belum masak atau masih di pohon.
67
Kemudian pada tahun 1990-an, perjanjian nguyang awalnya
dilaksanakan oleh Abu Naim dengan Sawiyah. Pada awalnya Abu Naim
meminjam uang untuk menggarap sawah. Abu Naim memberanikan diri
minta pinjaman uang kepada Sawiyah sebesar Rp. 300.000,- untuk
membeli bibit padi dan membayar upah pekerja menanam padi (tandur),
yang mana pada waktu itu penguyang meminta utang tersebut dibayar
dengan padi 4 kwintal, seharga pinjaman tersebut, pada waktu panen.
Padahal pada waktu itu harga 1 kwintal padi kalau di jual langsung bias
mendapat uang Rp. 100.000,- kalau 4 kwintal maka Rp. 400.000,- karena
pada waktu itu Abu Naim butuh maka tidak menjadi masalah, karena kalau
panen biasanya sawah itu bisa menghasilkan kwintalan padi, jadi padi 4
kwintal oleh Abu Naim tidak menjadi masalah. Namun pada waktu itu
padinya diserang hama, sehingga musim panen, padi itu tidak bisa dipanen
“gabuk”. Akibatnya Abu Naim meminta agar padi itu diberikan pada
panen berikutnya dan ternyata panen berikutnya mengalami hal yang
sama. Sehingga pemberian padi ditunda lagi. Dan pada saat
mengembalikan padi tersebut Abu Naim menambah 10% padi, karena
Abu Naim tidak bisa memberikan padi pada waktu jatuh tempo.12
Ijab dari petani: ibu Sawiyah saya akan meminjam uang kepada
kamu sebesar Rp. 300.000,- untuk membeli bibit padi dan membayar upah
pekerja menanam padi (tandur).
12 Wawancara, Dengan Bapak Abu Naim Pada Tanggal 15 April 2010, Sebagai Petani
68
Qabul dari penguyang: ya, tetapi saya meminta utang tersebut
dibayar dengan padi 4 kwintal, pada musimpanen.
Maksud dari pernyataan itu adalah ibu Sawiyah ingin membeli padi
seharga uang yang dipinjamkan, dengan cara ijon. 13
Petani tersebut mengalami gagal panen, sehingga tidak bisa
memberikan padi kepada penguyang. Akibatnya petani meminta agar padi
tersebut diberikan pada panen berikutnya, penyuyang menjawab :ya, tetapi
dengan menambah 5% padi. Petani menjawab :ya. Namun pada panen
berikutnya mengalami hal yang sama, sehingga pemberian padi ditunda
lagi.
Petani tersebut meminta kepada penguyang agar padi tersebut
diberikan pada panen berikutnya lagi. Penguyang menjawab : ya, tetapi
harus menambah 5% padi lagi. Petani menjawab : ya.
Jadi keseluruhan padi yang akan diberikan oleh petani kepada
penguyang adalah 4 kwintal ditambah 10%.
3. Kasus nguyang yang dilaksanakan oleh Kasminah denga Maspuah.
Penulis menjumpai kasus perjanjian nguyang untuk usaha dagang.
Selanjutnya perjanjian nguyang tersebut dilaksanakan oleh Kasminah
dengan Maspuah pada tanggal 27 April 2000. Kasminah meminjam uang
Rp. 600.000,- untuk menggarap sawah, dengan perjanjian nanti kalau
panen utang tersebut dibayar dengan padi 5 kwintal. Padahal pada waktu
itu harga harga1 kwintal padi Rp. 150.000,-. Namun uang tersebut oleh
13 Ijon, Op.Cit
69
Kasminah digunakan untuk menambah modal dagang. Menurutnya tidak
ada jalan lain yang ditempuh kecuali mendapatkan uang dari penguyang
dan hal ini dianggap ringan, karena utang tersebut bisa dibayar pada
musim panen, jadi utang Rp. 600.000,-bila dibayar pada musim panen
berarti dibayar dengan padi 5 kwintal.14
Ijab dari petani: ibu Sawiyah saya akan meminjam uang kepada
kamu sebesar Rp. 600.000,- untuk menggarap sawah. Nanti akan saya
bayar dengan padi 5 kwintal, pada musim panen.
Qabul dari penguyang: ya.
Maksud dari pernyataan itu adalah ibu Kasminah ingin menjual padi
secara ijon. 15 Namun kenyataannta ibu Kasminah tidak mempunyai
garapan sawah, dan uang tersebut digunakan untuk usaha dagang. Jadi ibu
Kasminah tidak mempunyai hasil panen.
4. Kasus nguyang yang dilaksanakan oleh Rukinah dengan Tonaah.
Perjanjian nguyang tersebut dilaksanakan oleh Rukinah dengan
Tonaah pada tanggal 3 Desember 2007, yang dalam berakad adalah untuk
menggarap sawah. Dalam persetujuannya Rukinah mendapat pinjaman
uang sebanyak Rp. 600.000,- utang tersebut akan dibayar dengan padi 5
kwintal, pada musim panen. Namun uang tersebut oleh Rukinah digunakan
untuk menutup utangnya kepada orang lain, tidak digunakan untuk
menggarap sawahnya. Sehingga pada kenyataannya Rukinah tidak
mempunyai garapan sawah. Rukinah terpaksa harus mencari padi atau
14 Wawancara, Dengan Ibu Kasminah Pada Tanggal 16 April 2010, Sebagai Petani 15 Ijon, Op.Cit
70
mengembalikan dengan cara derep (buruh memotong padi) yang nantinya
hasil itu akan diberikan kepada penguyang.16
Ijab dari petani: ibu Tonaah saya akan meminjam uang kepada kamu
sebesar Rp. 600.000,- untuk menggarap sawah. Utang tersebut akan saya
bayar dengan padi 5 kwintal, pada musim panen.
Qabul dari penguyang: ya.
Maksud dari pernyataan itu adalah ibu Rukinah ingin menjual padi
secara ijon. 17
Petani tersebut tidak mempunyai hasil panen atau tidak mempunyai
garapan sawah. Sehingga Rukinah harus mencari padi atau membayar
utang tersebut dengan cara derep (buruh memotong padi) yang nantinya
hasil itu akan diberikan kepada penguyang.
5. Kasus nguyang yang dilaksanakan oleh Ratimah dengan Suliyah.
Perjanjian nguyang tersebut dilaksanakan oleh Rutimah pada
tanggal 25 April 2007. Ratinah meminjam uang kepada penguyang sebesar
Rp. 600.000,- untuk menggarap sawahnya. Uang tersebut akan
dikembalikan dengan padi 4 kwintal, pada musim panen. Padahal pada
waktu itu 1 kwintal padi kalau dijual dapat Rp. 200.000,- kalau 4 kwintal
maka Rp. 800.000,-. Karena Ratimah butuh maka itu tidak menjadi
masalah. Namun pada waktu itu padinya diserang tikus, sehingga padi itu
tidak bisa dipanen semua, yang bisa dipanen hanya 4 kwintal. Namun padi
itu oleh Ratimah tidak diberikan kepada penguyang, melainkan digunakan
16 Wawancara, Dengan Ibu Rukinah Pada Tanggal 17 April 2010, Sebagai Petani 17 Ijon, Op.Cit
71
untuk kebutuhan sendiri. Sehingga penguyang meminta uangnya kembali
atau membatalkan perjanjian tersebut.18
Ijab dari petani: ibu Suliyah saya akan meminjam uang kepada
kamu sebesar Rp. 600.000,- untuk menggarap sawah. Utang tersabut akan
saya bayar dengan padi 4 kwintal pada musim panen.
Qabul dari penguyan: ya.
Maksud dari pernyataan itu adalah ibu Ratimah ingin menjual padi
secara ijon. 19
Petani tersebut mempunyai hasil panen 4 kwintal. Namun padi
tersebut oleh ibu Ratimah tidak diberikan kepada ibu Suliyah, melainkan
digunakan untuk kebutuhan sendiri. Sehingga ibu Suliyah meminta
uangnya kembali atau membatalkan perjanjian tersebut.
6. Kasus nguyang yang dilaksanakan oleh Rokhani dengan Dasimah.
Perjanjian nguyang tersebut dilaksanakan oleh Rokhani pada
tanggal 27 November 2008, yang dalam berakad adalah untuk menggarap
sawah. Rokhani mendapat pinjaman uang sebanyak Rp. 500.000,- utang
tersebut akan dibayar dengan padi 3 kwintal pada musim panen. Padahal
pada waktu itu harga 1 kwintal padi kalau di jual langsung bias mendapat
uang Rp. 250.000,-. Jadi kalau 3 kwintal, maka Rp. 750.000,-. Kalau
dihitung Rokhani rugi uang Rp. 250.000,-karena pada waktu akad Rokhani
butuh untuk memupuk tanamannya maka itu tidak menjadi masalah.
Namun pada waktu itu padinya terkena banjir, sehingga musim panen padi
18 Wawancara, Dengan Ibu Ratimah Pada Tanggal 18 April 2010, Sebagai Petani 19 Ijon, Op.Cit
72
tidak bisa di panen. Akibatnya Rokhani meminta agar padi tersebut
diberikan pada panen berikutnya dengan menambah 5% padi.20
Ijab dari petani : ibu Dasimah saya akan meminjam uang kepada
kamu sebesar Rp. 500.000,- untuk menggarap sawah, utang tersebut akan
saya bayar dengan padi 3 kwintal, pada musim panen.
Qabul dari penguyang: ya.
Maksud dari pernyataan itu adalah bapak Rokhani ingin menjual
padi secara ijon. 21
Petani tersebut mengalami gagal panen, sehingga petani meminta
agar padi tersebut diberikan pada panen berikutnya. Penguyang menjawab
: ya, tetapi harus menambah 5% padi. Petani menjawab: ya.
7. Kasus nguyang yang dilaksanakan oleh Marjono dengan Sujiati.
Perjanjian nguyang tersebut dilaksanakan oleh Marjono pada
tanggal 28 April 2008, yang dalam berakad adalah untuk membeli bibit
padi. Dalam persetujuannya Marjono mendapat pinjaman uang Rp.
250.000,- utang tersebut akan dibayar dengan padi 2 kwintal, pada musim
panen. Namun pada masa tanamannya, memerlukan pemupukan Marjono
kehabisan uang. Oleh karena itu Marjono memberanikan diri meminjam
uang lagi kepada penguyang tersebut. Marjono meminjam uang Rp.
500.000,- yang akan dibayar dengan padi 3 kwintal. Jadi keseluruhan
utang marjono adalah Rp. 750.000,- akan dibayar dengan padi 5 kwintal.
Karena pada waktu itu Marjono butuh maka tidak menjadi masalah, karena
20 Wawancara, Dengan Bapak Rokhani Pada Tanggal 19 April 2010, Sebagai Petani 21 Ijon, Op.Cit
73
kalau panen biasanya sawah itu bisa menghasilkan tonan padi. Jadi padi 5
kwintal itu tidak menjadi masalah bagi Marjono.22
Ijab dari petani: ibu Sujiati saya akan meminjam uang kepada kamu
sebesar Rp. 250.000,- untuk menggarap sawah., yaitu untuk membeli bibit
padi. Utang tersebut akan saya bayar dengan padi 2 kwintal, pada
musimpanen.
Qabul dari penguyang: ya.
Maksud dari pernyataan itu adalah bapak Marjono ingin menjal padi
secara ijon. 23
Petani tersebut mempunyai hasil panen 2 ton, yang digunakan untuk
nguyang hanya 10%. Namun bapak Marjono meminjam uang lagi kepada
ibu Sujiati sebesar Rp. 500.000,- untuk memupuk tanamannya, utang
tersebut akan dibayar dengan padi 3 kwintal. Jadi keseluruhan utng
Marjono adalah Rp. 750.000,-,yaitu 15%. Yang akan dibayar dengan padi
5 kwintal. Jadi keseluruhan padi yang digunakan untuk nguyang adalah
25%.
8. Kasus nguyang yang dilaksanakan oleh Karsiman dengan Maryamah.
Perjanjian nguyang tersebut dilaksanakan oleh Karsiman pada
tanggal 30 November 2009, yang dalam ber akad adalah untuk menggarap
sawah, pada saat tanamannya baru berbuah diserang hama, pada waktu itu
Karsiman kehabisan modal, sehingga Karsiman harus mencari pinjaman
uang untuk membeli obat. Akhirnya mendapat pinjaman uang dari
22 Wawancara, Dengan Bapak Marjono Pada Tanggal 20 April 2010, Sebagai Petani 23 Ijon, Op.Cit
74
penguyang sebanyak Rp. 300.000,- utang tersebut akan dibayar dengan
padi 2 kwintal, pada waktu panen. Padahal pada waktu itu harga 1 kwintal
padi kalau dijua langsung bisa mendapat uang Rp. 300.000,- jadi kalau 2
kwintal maka Rp. 600.000,-. Kalau dihitung Karsiman rugi uang Rp.
300.000,- karena pada waktu akad karsimah butuh untuk mengobati
tanamannya maka itu tidak menjadi masalah.24
Ijab dari petani: ibu maryamah saya akan meminjam uang kepada
kamu sebesar Rp. 300.000,- untuk menggarap sawah, utang tersebut akan
saya bayar dengan padi 2 kwintal, pada musim panen.
Qabul dari penguyang: ya.
Maksud dari pernyataan itu adalah bapak Karsiman ingin menjual
padi secara ijon. 25
Petani tersebut mempunyai hasil panen 1 ton, yang digunakan untuk
nguyang hanya 20%.
9. Kasus nguyang yang dilaksanakan oleh Saripah dengan Kasmuri.
Perjanjian nguyang tersebut dilaksanakan oleh Saripah (sebagai
penguyang) pada tanggal 18 Desember 2009. Saripah memberi pinjaman
uang sebanyak Rp. 600.000,- kepada Kasmuri untuk menggarap sawahnya.
Utang tersebut akan dibayar dengan padi 3 kwintal pada musim panen.
Apabila Saripah sudah mendapatkan padi, maka padi tersebut akan
disimpan dan apabila harganya sudah naik padi tersebut baru dijual, begitu
24 Wawancara, Dengan Bapak Karsiman pada Tanggal 21 April 2010, Sebagai Petani 25 Ijon, Op.Cit
75
seterusnya. Dan itu digunakan sebagai ajang bisnis untuk mempunyai padi
yang melimpah.26
Ijab dari penguyang: bapak Ksmuri saya akan meminjami kamu
uang sebesar Rp. 600.000,- tetapi saya meminta utang tersebut dibayar
dengan padi 3 kwintal, pada musim panen..
Qabul dari petani: ya.
Maksud pernyataan itu adalah ibu Saripah ingin membeli padi
secara ijon.27
Petani tersebut mempunyai hasil panen 3 ton, yang digunakan untuk
nguyang hanya 10%. Dan apabila ibu Saripah sudah mendapatkan padi
dari bapak Kasmuri, maka tersebut akan disimpan dan apabila harga padi
sudah naik padi tersebut baru dijual, begitu seterusnya.
10. Kasus nguyang yang dilaksanakan oleh Darsono dengan Saimah.
Perjanjian nguyang ini dilaksanakan oleh Darsono (sebagai
penguyang) pada tanggal 26 April 2009. Darsono memberi pinjaman uang
sebanyak Rp. 900.000,- kepada Saimah untuk menggarap sawahnya, yaitu
untuk membeli bibit padi yang diserang tikus dan untuk membeli obat
padi. Utang tersebut akan dibayar dengan padi 4 kwintal, pada musim
panen. Apabila Darsono sudah mendapatkan padi dari Saimah, maka padi
tersebut oleh Darsono akan dijual sebagian, yaitu 2 kwintal, kemudian
26 Wawancara, Dengan Ibu Saripah Pada Tanggal 22 April 2010, Sebagai Penguyang 27 Ijon, Op.Cit
76
yang 2 kwintal akan disimpan dan apabila harga padi sudah naik padi
tersebut baru dijual.28
Ijab dari penguyang: ibu Saimah saya akan meminjami kamu uang
sebesar Rp. 900.000,- tetapi nanti saya meminta utang tersebut dibayar
dengan padi 4 kwintal, pada musim panen.
Qabul dari petani: ya.
Maksud pernyataan itu adalah bapak Darsono ingin membeli padi
secara salam. 29
Petani tersebut mempunyai hasil panen 1 ton, yang digunakan untuk
nguyang adalah hanya 40%. Dan apabila bapak Darsono sudah
mendapatkan padi dari ibu Saimah, maka padi tersebut akan dijual
sebagian yaitu 2 kwintal, kemudian yang 2 kwintal akan di simpan, dan
apabila harga padi sudah naik padi tersebut baru djual.
Jadi akad yang dijalani dalam perjanjian nguyang ini adalah petani
meminjam uang kepada penguyang, uang tersebut akan dibayar dengan padi
dengan standar atau ukuran kwintalan pada musim panen, dan apabila padi
tersebut tidak bisa diberikan pada waktu jatuh tempo (panen), maka orang
tersebut akan memberikan padi pada panen berikutnya dengan menambah 5%
atau 10% padi.
Adapun pelaksanaan perjanjian nguyang ini timbul karena ada para
petani yang memerlukan uang untuk menggarap sawahnya, mereka meminjam
28 Wawancara, Dengan Bapak Darsono Pada Tanggal 23 April 2010, Sebagai Penguyang 29 Salam adalah jual beli barang pesanan diantara penjual dengan pembeli dengan
spesifikasi dan harga barang pesanan harus sudah disepakatin diawal akad, sedangkan pembayaran dilakuan dimuka secara penuh.
77
uang kepada penguyang . Penguyang adalah seorang pedagang yang memiliki
modal. Para petani tersebut bisa meminjam uang ke saudara, ke rentenir atau
ke bank, tetapi para petani tersebut lebih memilih meminjam uang dengan
cara nguyang, karena mereka bisa mendapatkan uang dengan mudah dan
langsung menerima dan uang tersebut bisa dikembalikan dikemudian hari
yaitu pada waktu panen. Kemudian mengenai penyerahan barang pada saat
tenggang waktu yang di sepakati sudah jatuh tempo, penyerahan barang
dilakukan di tempat yang telah disepakati bersama. Biasanya mereka
meyerahkan padi tersebut di rumah petani, yaitu penguyang datang kerumah
petani atau petani akan menghantarkan padi tersebut ke rumah penguyang.
Pelaksanan perjanjian nguyang ini menjadi aktivitas atau biasa di
laksanakan oleh masyarakat Desa Tlogorejo. Dan perjanjian nguyang tersebut
hanya dilaksanakan oleh petani dengan penguyang saja secara lisan atau tidak
tertulis yaitu hanya menggunakan kesepakatan atau persetujuan bersama.
C. Persepsi Ulama Setempat Tentang Pelaksanaan Akad Nguyang di Desa
Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan
Pelaksanaan akad nguyang di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan, penulis mewawancarai kepada sebagian ulama
setempat, mereka mempunyai persepsi sama. Persepsi ulama setempat bahwa
pelaksanaan akad nguyang di Desa Tlogorejo kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan, sudah berlaku pelaksanaan tersebut sejak dahulu,
karena para petani sangat membutuhkan pertolongan orang lain, yaitu dengan
78
meminjam uang untuk menggarap sawahnya dan uang tersebut akan dibayar
dengan padi pada musim panen.
Masyarakat di Desa Tlogorejo mayoritas penduduknya beragama
Islam. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mayoritas bermata pencaharian
sebagai petani. Para petani tidak memiliki modal untuk mencari pekerjaan
lain, maka kecenderungan masyarakat untuk bekerja sebagai petani tepat
sekali, meskipun sawah yang mereka miliki tidak semua milik sendiri, ada
sawah yang mereka beli dengan cara tahunan untuk digarap guna mencukupi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Namun para petani kesulitan mendapatkan
uang untuk menggarap sawahnya yang begitu banyak, disamping itu banyak
tanaman yang diserang hama, kenaikan harga pupuk dan obat-obatan terus
meningkat, sedangkan harga padi tidak setabil dan tidak seimbang kadang kala
naik kadang kala turun, sehingga walaupun bertani mereka tidak bisa
mengandalkan padi yang ditanam, serta tidak adanya usaha sambilan
(sampingan). Jadi dengan adanya perjanjian nguyang ini dapat membantu para
petani dalam menggarap sawahnya. Namun juga bisa merugikan para petani,
karena meskipun padi tersebut diberikan pada musim panen. Pada musim
panen harga padi itu turun dan pada musim panen belum tentu padi dapat
dipanen karena gabuk.
Menurut bapak KH. Mustain dan KH. Fadhil, bahwa perjanjian
nguyang tersebut bukan termasuk utang piutang, karena yang dimaksud
dengan utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan
perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya, utang Rp.
79
1000,- maka akan dibayar Rp. 1000,- pula. Sedangkan dalam perjanjian
nguyang tersebut, utang uang dibayar dengan padi dengan standar atau ukuran
kwintalan pada musim panen. Hal ini bukan termasuk utang piutang, akan
tetapi termasuk akad salam, karena petani menjual hasil panennya (padi) pada
musim panen dan uangnya diminta duluan. Namun dengan adanya tambahan
5% atau 10% padi, maka perjanjian nguyang tersebut tidak sesuai dengan
hukum Islam, karena mengarah pada unsur riba. 30
30 Wawancara dengan Bapak KH. Mustain dan KH. Fadhil (Ulama atau tokoh
masyarakat) pada tanggal 24 April 2010
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN
NGUYANG DAN PELAKSANAANNYA DI DESA TLOGOREJO
KECAMATAN TEGOWANU KABUPATEN GROBOGAN
A. Analisis Terhadap Pelaksanaan Akad Nguyang di Desa Tlogorejo
Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari memang
harus terpenuhi segala kebutuhan dengan harta benda yang telah
dimilikinya. Jika kebutuhan telah mendesak padahal harta benda yang
telah dimiliki tidak memenuhi atau kurang dapat memenuhinya, sering
orang berhutang dengan terpaksa pada orang lain. Baik hutang yang
berupa uang atau barang yang akan dinyatakan gantinya pada waktu yang
lain. Sesuai dengan kebutuhan yang menjadi perjanjian antara kedua belah
pihak yang bersangkutan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
masyarakat Desa Tlogorejo melaksanakan perjanjian nguyang. Nguyang
adalah simbol dari bahasa masyarakat Desa Tlogorejo dalam hal utang
piutang di bidang pertanian. Pelaksanaan perjanjian nguyang ini menjadi
aktivitas atau biasa di laksanakan oleh masyarakat Desa Tlogorejo.
80
81
Pelaksanaan perjanjian nguyang tersebut digolongkan menjadi dua
kategori, yaitu:
1. Pelaksanaan perjanjian nguyang yang tujuannya murni untuk
menggarap sawah, akad yang dijalani adalah petani meminjam uang
kepada penguyang untuk menggarap sawah, uang itu akan dibayar
dengan padi pada musim panen dengan standar atau ukuran kwintalan,
dan apabila padi tersebut tidak bisa diberikan pada waktu jatuh tempo
(panen), maka petani tersebut akan memberikan padi pada panen
berikutnya dengan menambah 5% atau 10% padi.
2. Pelaksanaan perjanjian nguyang yang tujuannya tidak murni untuk
menggarap sawah, tetapi untuk tujan lain, akad yang dijalani adalah
petani meminjam uang kepada penguyang untuk menggarap sawah,
tetapi uang tersebut oleh petani tidak digunakan untuk menggarap
sawah melainkan untuk tujuan lain, yaitu untuk menutup utang, untuk
modal dagang dan untuk kebutuhan sendiri.
Berdasarkan kategori 1, bahwa perjanjian nguyang tersebut adalah
murni untuk menggarap sawah.
Perjanjian nguyang tersebut memang pada awal ucapannya adalah
meminjam uang, tetapi setelah melalui proses ternyata utang uang tersebut
tidak dibayar dengan uang, melainkan dibayar dengan padi dengan standar
atau ukuran kwintalan pada musim panen, dan harga sesuai dengan uang
yang dipinjamkan oleh penguyang Jadi penguyang mendapatkan harga
82
yang lebih murah dibandingkan dengan pembelian pada saat ia
membutuhkan padi tersebut.
Menurut penulis perjanjian nguyang yang dilaksanakan di Desa
Tlogorejo bukan termasuk utang piutang, ijon. Akan tetapi termasuk akad
salam, karena petani menjual hasil panennya (padi), ketika musim panen
dan uangnya diminta duluan.
Akad salam adalah akad jual beli barang pesanan diantara pembeli
(muslam) dengan penjual (muslam ilaih) dengan spesifikasi dan harga
barang pesanan harus sudah disepakati di awal akad, sedangkan
pembayaran dilakukan dimuka secara penuh.1 Transaksi salam merupakan
salah satu bentuk yang telah menjadi kebiasaan di berbagai masyarakat.
Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak
tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau
sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu.2
Tujuan utama jual beli salam adalah saling membantu dan
menguntungkan kedua belah pihak. Maka, untuk kepentingan tersebut
Allah menetapkan peraturan salam.
Definisi salam yang diberikan fuqaha berbeda-beda:
Menurut syafi’iyah salam ialah :
هوعقدعلى موصوف بذمةمؤجل بثمن مقبـوض مبجلس العقد
1 Dimyauddin Djuwaini,Loc.Cit 2 Hendi Suhendi, Op.Cit, hlm. 76
83
Artinya: Akad yang disepakati dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya lebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam suatu majelis akad.3
Menurut Malikiyah salam ialah :
بـيع يـتـقدم فيه رأس املال يتأخراملثمن ألجل
Artinya: Suatu akad jual beli yang modalnya dibayar terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian.4
Jual beli salam dibenarkan dalam Islam sebagaimana firman Allah
SWT:
يا أيـها الذين آمنوا إذا تدايـنتم بدي ن إىل أجل مسمى فاكتبوه
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282).5
Dasar hukum lainnya adalah hadist yang berkaitan dengan tradisi
penduduk Madinah yang didapati oleh Rasulullah pada awal hijrah beliau
ke sana, yaitu tradisi akad salaf (salam) dalam buah-buahan jangka waktu
satu tahun atau dua tahun, tanpa ada takaran atau timbangan yang jelas,
maka beliau bersabda:
حدثناصدقةاخربناابن عيينةاخربناابن جنيح عن عبداهللا بن كثريعن ايب قدم النيب صلى اهللا عليه : املنهال عن ابن عباس رضي اهللا عنهماقال
من اسلف ىف : فقال , وسلم املدينةوهم يسلفون بالثمرالسنتني والثالث .علوم اىل اجل معلومشئ ففى كيل معلوم ووزن م
3 M. Ali Hasan, Loc cit 4 Ibid, hlm. 144 5 Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 49
84
Artinya: “Diceritakan oleh Sadaqah dikabarkan oleh Ibnu Uyaiynah dikabarkan oleh Ibnu Najih mengabarkan kepada kita dari Abdillah Ibnu Katsir dari Abi Minhal dari Ibnu Abbas ra. Berkata: Nabi SAW datang ke Madinah dan melihat penduduk disana melakukan jual beli salaf pada buah-buahan dengan dua atau tiga tahun, maka Nabi berkata: barang siapa melakukan jual beli salaf, hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui”. (HR. Bukhari). 6
Hadits itu menunjukkan bahwa waktu-waktu itu tidak sampai, selain
bahwa dia itu diketahui, misalkan untuk buah-buahan atau tanaman maka
waktunya berdasarkan musim panen dan harus diketahui secara jelas
timbangannya dan ukurannya harus pula diketahui.
Rukun jual beli salam menurut jumhur ulama terdiri atas:
1. Orang yang berakad, baligh dan berakal
2. Barang yang di pesan harus jelas ciri-cirinya, waktunya, harganya.
3. Ijab dab qabul.7
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga sah
hukumnya. Diantara syarat-syarat yang dimaksud ada yang berkaitan
dengan penukaran dan ada yang berkaitan dengan barang yang dijual.
Syarat-syarat penukaran adalah sebagai berikut:
1. Jenisnya diketahui
2. Jumlahnya diketahui
3. Diserahkan di tempat yang sama.
6 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzabah
Bukhari Ju’fi, Shahih Bukhari, Loc.Cit 7 M. Ali Hasan, Loc.Cit
85
Sedangkan syarat-syarat barang (muslam fih) adalah:
1. Berada dalam tanggungan.
2. Dijelaskan dengan penjelasan yang menghasilkan pengetahuan tentang
jumlah dan ciri-ciri barang yang membedakannya dengan barang yang
lain sehingga tidak lagi sesuatu yang meragukan dan dapat
menghilangkan perselisihan yang mungkin akan timbul.
3. Batas waktu diketahui.8
Dalam as-salam jika kedua pihak tidak menyebutkan tempat serah
terima jual beli pada saat akad, maka jual beli dengan cara as-salam
tetaplah sah, hanya saja tepat ditentukan kemudian, karena penyebutan
tempat tidak dijelaskan di dalam hadist. Apabila tempat merupakan syarat
tentu maka Rasulullah SAW akan menyebutkannya, sebagaimana ia
menyebutkan takaran, timbangan dan waktu.9
Dalam akad salam barang yang dipesan harus diserahkan pada
waktu yang ditentukan tidak boleh mundur juga bagaimana penyerahan
barang tersebut apakah barang itu diantar ke rumah pemesan atau di pasar
atau pemesan nantinya yang akan mengambil sendiri barang tersebut.
Dalam pesanan juga tidak boleh adanya khiyar syarat artinya kalau
barangnya sudah ada dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan lantas tidak
cocok akan dikembalikan. Barang yang sudah sesuai dengan ketentuan
harus diterima. 10
8 Sayyid Sabiq,Op.Cit, hlm. 219 9 Syafi’I Rahmat, Op.Cit. hlm, 170 10 Imam Taqiyyudin Abu Baker Ibnu Muhammad Al-Hussaini, Kifayatul Akhyar, Loc.Cit
86
Harga dalam akad salam harus dibayarkan secara kontan dalam
majelis akad, ini menurut Hanafiyah. Sedangkan menurut jumhur, harga
pada kedua akad tersebut harus dibayar tunai ketika akad berlangsung.11
Jumhur fuqaha berpendapat, jika terjadi pemesanan buah-buahan
tetapi ketika tiba masanya, orang tersebut tidak dapat menyerahkannya.
Sehingga barang yang dipesan itu sudah habis dan sudah lewat musimnya.
Maka pemesan boleh memilih antara mengambil kembali harga atau
menunggu hingga tahun (musim) berikutnya. Pendapat ini dikemukakan
oleh Syafi’i, Abu Hanifah dan ibnul Qasim.
Mereka mengemukakan alasan, bahwa transaksi itu terjadi dengan
penjelasan sifat-sifat kongkrit dalam tanggungan. Dengan demikian,
selama tidak ada pembatalan, maka transaksi itu masih berlaku. Sedang
syarat kebolehannya tidak harus dari “musim buah tahun berjalan “, tetapi
hanya merupakan syarat yang dibuat oleh pemesan sehingga ia boleh
memilih.12
Dalam perjanjian nguyang tersebut, apabila petani tidak bisa
memberikan padi pada waktu jatuh tempo (panen) seharusnya padi
tersebut diberikan pada musim panen berikutnya tanpa ada tambahan 5%
atau 10% padi, karena barang salam itu barang tanggungan bagi pihak
yang tidak bisa mengembalikan pada waktu jatuh tempo.
11 Gufron A. Mas’adi, Loc.Cit 12 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj. Imam Ghazali, Jakarta: Pustaka Amani, 2002,
hlm. 25
87
Berdasarkan kategori 2, bahwa perjanjian nguyang teresbut tidak
murni untuk menggarap sawah, melainkan untuk tujuan lain yaitu untuk
menutup utang, untuk modal dagang dan untuk kebutuhan sendiri. Hal ini
merupakan realitas masyarakat, menurut mereka tidak ada jalan lain untuk
mendapatkan uang selain meminjam uang kepada penguyang, untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam perjanjian seperti ini tidak dipungkiri bahwa masyarakat
petani yang ekonominya kurang mampu, sangat membutuhkan
pertolongan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan penguyang
adalah pedagang yang memiliki modal.
Perjanjian nguyang yang dilakukan adalah hal yang sudah menjadi
kebiasaan masyarakat petani Desa Tlogorejo. Ketika peneliti
mewawancarai sebagian dari mereka , mereka mengatakan lebih memilih
meminjam uang dengan cara nguyang dari pada ke saudara, ke rentenir
atau ke bank. Karena meminjam uang dengan cara nguyang, mereka bisa
mendapatkan uang dengan mudah dan langsung menerima dan uang
tersebut bisa dikembalikan dikemudian hari yaitu pada waktu panen.
Meskipun nampaknya para petani suka melakukan perjanjian nguyang dan
rela memberikan tambahan 5% atau 10% padi, tetapi karena petani itu
sawahnya sewa maka tambahan tersebut sangat menyusahkan.
88
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akad Nguyang di Desa
Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan.
Akad nguyang yang dilaksanakan di Desa Tlogorejo adalah petani
meminjam uang kepada penguyang untuk menggarap sawah, uang
tersebut akan dibayar dengan padi pada musim panen dengan standar atau
ukuran kwintalan, dan apabila padi tersebut tidak bisa diberikan pada
waktu jatuh tempo, maka petani tersebut akan memberikan padi pada
panen berikutnya dengan menambah 5% atau 10% padi.
Dalam hukum Islam akad yang disepakati dengan membayar
harganya dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari. Hal ini
termasuk dalam akad salam, yaitu akad jual beli barang pesanan diantara
pembeli (muslam) dengan penjual (muslam ilaih) dengan spesifikasi dan
harga barang pesanan harus sudah disepakati di awal akad, sedangkan
pembayaran dilakukan dimuka secara penuh.13
Setiap jual beli haruslah memenuhi rukun dan syaratnya, rukun dan
syarat yang terdapat dalam jual beli salam adalah adanya orang yang
berakad, yaitu penjual dan pembeli. Dalam hal ini yang menjadi penjual
adalah para petani. Dimana mereka meminta uangnya terlebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan kemudian, yaitu pada musim panen.
Sedangkan yang disebut pembeli adalah para penuyang, yaitu pedagang
yang memiliki modal. Dimana mereka membeli padi yang belum ada, padi
tersebut akan diminta pada musim panen.
13 Dimyauddin Djuwaini,Loc.Cit
89
Setiap orang harus memenuhi kriteria atau syarat-syarat tersebut
untuk dapat melakukan jual beli salam. Jika kriteria tersebut tidak
terpenuhi maka akad tersebut tidak sah. Misal, akadnya anak kecil dan
orang gila. Maka mereka tidak boleh melakukan akad ini.
Dari penjelasan diatas dapat terlihat bahwa akad yang dilaksanakan
oleh petani dengan penguyang dalam akad nguyang adalah sah menurut
hukum Islam.
Rukun salam yang kedua adalah adanya obyek salam. Adapun syarat
obyek salam adalah barang yang dipesan adalah waktunya diketahui,
harganya diketahui, barangnya berada dalam tanggungan dan batas waktu
diketahui.
Dilihat dari segi obyek salam, akad nguyang telah memenuhi syarat
hukum Islam karena jumlah barangnya diketahui, waktunya, harganya dan
tempat penyerahan barangnya diketahui.
Setiap transaksi yang dilakukan harus disertai ijab dan qabul karena
merupakan unsur yang harus ada dalam sebuah akad. Pada prinsipnya
makna akad adalah kesepakatan dua kehendak. Seperti halnya yang terjadi
pada perjanjian nguyang, terjadi kesepakatan antara petani dengan
penguyang. Dalam setiap akad harus ada sighat al`aqd yakni ijab dan
qabul. Adapun ijab adalah Pernyataan pertama yang dinyatakan oleh salah
satu dari muta’aqidin yang mencerminkan kesungguhan kehendak untuk
mengadakan perikatan. Pernyataan ini dinyatakan oleh petani sebagai
penjual ”saya akan meminjam uang kepada saudara, uang tersebut akan
90
saya bayar dengan padi pada musim panen”, dan qabul adalah Pernyataan
oleh pihak lain setelah ijab yang mencerminkan persetujuan atau
persepakatan terhadap akad. Pernyataan ini dinyatakan oleh penguyang
sebagai pembeli ”ya”.
Demikianlah sighat ijab qabul yang antara kedua belah pihak,
dimana mereka harus mematuhinya, seperti dalam firman Allah dalam
QS. Al-Maidah: 1
يا ايـها الذين امنـوا اوفـوا بالعقود
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman penuhilah aqad-aqad itu”14
Dalam ijab qabul antara petani dengan penguyang saja dan
kesepakatan untuk melakukan perjanjian nguyang tersebut. Dengan
adanya ijab qabul ini, maka telah ada kesepakatan antara kedua belah
pihak untuk melakukan transaksaksi.
Dalam hukum Islam, syarat akad salam adalah ditentukan takaran,
timbangan dan waktunya secara jelas. Seperti dalam hadits nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari:
حدثناصدقةاخربناابن عيينةاخربناابن جنيح عن عبداهللا بن كثريعن ايب املنهال عن قدم النيب صلى اهللا عليه وسلم املدينةوهم : ابن عباس رضي اهللا عنهماقال من اسلف ىف شئ ففى كيل معلوم ووزن : فقال , يسلفون بالثمرالسنتني والثالث
.معلوم اىل اجل معلوم
14Departemen Agama RI, Op.Cit, hlm. 156
91
Artinya: “Diceritakan oleh Sadaqah dikabarkan oleh Ibnu Uyaiynah dikabarkan oleh Ibnu Najih mengabarkan kepada kita dari Abdillah Ibnu Katsir dari Abi Minhal dari Ibnu Abbas ra. Berkata: Nabi SAW datang ke Madinah dan melihat penduduk disana melakukan jual beli salaf pada buah-buahan dengan dua atau tiga tahun, maka Nabi berkata: barang siapa melakukan jual beli salaf, hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui. (HR. Bukhari). 15
Dalam perjanjian nguyang tersebut, sudah memenuhi. Jenisnya
diketahui, jumlahnya diketahui dan jangka waktunya juga diketahui.
Meskipun jenis barangnya tidak diketahui secara jelas, tetapi juga
disebutkan jenisnya yaitu padi.
Dalam hukum Islam perlu adanya catatan dalam melaksanakan
muamalah tidak secara tunai, untuk waktu yang ditentukan. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam Qs. Al-Baqarah ayat: 282.
يا أيـها الذين آمنوا إذا تدايـنتم بدين إ ىل أجل مسمى فاكتبوه
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah : 282).16
Perjanjian nguyang tersebut hanya dilaksanakan oleh petani dengan
penguyang saja secara lisan, tanpa ada catatan atau kwintasi, namun
perjanjian nguyang tersebut dilaksanakan dengan kesepakatan atau
persetujuan bersama, dengan saling percaya dan juga ada saksi. Bentuk
dari kepercayaan mereka adalah petani menerima uang duluan dan
penguyang akan menerima padi pada waktu yang ditentukan, yaitu pada
musim panen, meskipun pemberian padi tersebut kadang mundur.
15 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzabah
Bukhari Ju’fi,Op.Cit, hlm. 61 16 Departemen Agama RI, Loc. Cit
92
Meskipun nampaknya para petani rela memberikan tambahan 5%
atau 10% padi, tetapi karena petani itu sawahnya sewa maka itu sangat
menyusahkan para petani. Jadi tambahan tersebut mengarah pada unsur
riba.
Secara etimologi riba berarti kelebihan atau tambahan. Pengertian
riba secara etimologis kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan
tidak ada imbalan atau gantinya. 17
Para ulama fiqh membagi riba menjadi dua macam, yaitu riba al-
fadhl dan riba an-nasi’ah.
Riba al-fadhl adalah kelebihan pada salah satu harta sejenis yang
diperjual belikan dengan ukuran syara’, yaitu dengan timbangan atau
takaran tertentu, seperti kilogram. Misalnya, satu kg gula dijual dengan
1,1/4 kg gula lainnya. Kelebihan 1/4 kg dalam jual beli ini disebut dengan
riba al-fadhl.
Sedangkan riba an-nasi’ah adalah kelebihan atas piutang yang
diberikan orang yang ber utang kepada pemilik modal ketika waktu yang
disepakati jatuh tempo. 18
Dengan adanya tambahan 5% atau 10% dalam akad nguyang
tersebut, itu termasuk kategori riba nasi’ah, karena adanya perbedaan,
perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang
diserahkan kemudian.
17 Nasrun Haroen, Op.Cit, hlm. 181 18 Ibid, hlm. 183
93
Al-Qur’an dengan tegas melarang riba nasi’ah (basar maupun kecil),
diantara ayat al-Qur’an yang melarang riba nasi’ah adalah sebagai
berikut:
1. Al-Baqarah: 278-279
يا أيـها الذين آمنوا اتـقوا الله وذروا ما بقي من الر با إن كنتم مؤمنني فإن مل .
تـفعلوا فأذنوا حبرب من الله ورس وله وإن تـبتم فـلك رءوس أموالكم
ال تظلم
ون وال تظلمون .
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. ( QS. Al-Baqarah: 278-279). 19
Ayat tersebut, jelas mengharamkan riba nasi’ah. Al-Baqarah 278-
279 menegaskan haramnya riba meskipun kecil.
Perjanjian nguyang yang dilaksanakan di Desa Tlogorejo, dengan
menggunakan akad salam menurut pandangan Islam adalah sah. Namun
dengan adanya tambahan 5% atau 10% padi, maka dalam perjanjian
nguyang yang dilaksanakan di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu
Kabupaten Grobogan tidak sesuai dengan hukum Islam, karena termasuk
kategori riba.
19 Ibid, hlm. 48
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat penulis
simpulkan yaitu:
1. Praktek perjanjian nguyang yang terjadi di Desa Tlogorejo Kecamatan
Tegowanu Kabupaten Grobogan, merupakan perjanjian antara petani
dengan penguyang. Dalam perjanjian nguyang tersebut petani meminjam
uang kepada penguyang, uang tersebut akan dibayar dengan padi, dengan
standar atau ukuran kwintalan pada musim panen. Perjanjian nguyang
tersebut memang pada awal ucapannya adalah meminjam uang, tetapi
setelah melalui proses ternyata utang uang tersebut tidak dibayar dengan
uang, melainkan dibayar dengan padi dengan standar atau ukuran
kwintalan pada musim panen, dan harga sesuai dengan uang yang
dipinjamkan kepada penguyang.
2. Akad nguyang yang dilaksanakan di Desa Tlogorejo Kecamatan
Tegowanu Kabupaten Grobogan, menurut pandangan Islam adalah sah
dan termasuk akad salam, yaitu akad jual beli barang pesanan diantara
pembeli (muslam) dengan penjual (muslam ilaih) dengan spesifikasi dan
harga barang pesanan disepakati di awal akad, sedangkan pembayaran
dilakukan dimuka secara penuh. Namun dengan adanya tambahan 5%
atau 10% padi, pada saat petani tidak bisa memberikan padi pada waktu
94
95
jatuh tempo (panen). Maka dalam perjanjian nguyang tersebut tidak
sesuai dengan hukum Islam, karena termasuk kategori riba.
B. Saran-saran
Dalam skripsi ini penulis akan menyampaikan saran yang mungkin
perlu telah kembali. Kajian tentang perjanjian nguyang dan pelaksanaannya
di Desa Tlogorejo Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan, dalam
perjanjian tersebut menggunakan akad salam. Menurut pandangan Islam ini
adalah sah. Namun dalam akad nguyang tersebut terdapat tambahan, apabila
petani tidak bisa memberikan padi pada waktu jatuh tempo (panen).
Tambahan tersebut termasuk kategori riba. Hendaknya dalam akad nguyang
tersebut, apabila petani tidak bisa memberikan padi pada waktu jatuh tempo
(panen). Maka padi tersebut diberikan pada panen berikutnya tanpa ada
tambahan. Dalam hubungan muamalah termasuk perjanjian di mana
perjanjian itu telah dibuat hendaknya kita harus memperhatikan secara
terperinci dan lebih berhati-hati tentang perjanjian tersebut, jangan sampai
ada unsur penipuan yang mengakibatkan kerugian di antara salah satu pihak
dan jangan sampai perjanjian itu mengarah pada unsur riba.
96
C. Penutup
Puji syukur kehadirat Rabby yang telah melimpahkan rahmat, taufiq
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam tak lupa penulis junjungkan kepada baginda Nabi besar
Muhammad SAW yang telah membawa jalan kebenaran bagi ummat
manusia, dialah pahlawan revolusioner handal dan akhirul anbiya` yang
dapat menjadi inspirasi bagi penulis untuk mengerjakan skripsi ini. Tidak
lupa ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu demi
terwujudnya skripsi ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa karya skripsi ini masih banyak kekurangan
dan kekeliruan di sana-sini, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif
sangat kami harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata hanya dengan memohon ridha kepada Allah SWT, penulis
berharap semoga karya sederhana ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca khususnya. Teriring do’a allahumma infa’ bi hadza al-bahtsi
al aalmi linafsi wa li al-qura ajma’in Aminn.
DAFTAR PUSTAKA
Adjuaini Dimyaudin, Pengantar Fiqh Mumalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Antonio Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press.
Bungin Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologi ke Arah ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007
Dahlan, Abdul Azis ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. J-ART, 2005.
Dewi Gemala, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Perdana Kencana Media, 2005.
Fadjria Lina, Skripsi dengan judul, Utang Piutang Emas dengan Pengembalian Uang di Kampung Pandugo Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya dalam Perspektif Hukum Islam, Pustakawan IAIN Sunan Ampel Surabaya, Digital Library IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009
Haroen Nasrun, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Hasan M. Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzabah Bukhari Ju’fi, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al Fikr, 1992.
Imam Taqiyuddin Abu Baker Ibnu Muhammad Al-Hussaini, Kifayatul Akhyar, terj. Ahmad Rifa’I, Semarang :Toha Putra, 1999.
Junainah, Skripsi dengan judul, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelunasan Utang Sapi untuk Penanaman Tembakau Berdasarkan Ketentuan Kreditur di Ds. Sejati Kec. Camplong Kab. Sampang Madura, Skripsi Sarjana Syariah jurusan Mu’amalah IAIN Sunan Ampel Surabaya, D ital Lebrary IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009
Koto Alaidin, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Kunto Suharsini Ari., Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineke Cipta, cet.10, 1998
Latifah Ana Nuryani, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ketidakjelasan Waktu Penangguhan Pembayaran Dalam Perjanjian Jual Beli Mebel (Studi Kasus Perjanjian Jual Beli Mebel Antara Pengrajin Visa Jati di Jepara Dengan PT HMfurniture di Semarang), (Skripsi IAIN Walisongo, 2009).
Mas’adi A. Gufron, Fiqih Mu’amalah Kontekstual, cet.1, Jakarta : Raja Grafindo persada, 2002.
Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, subul as Sulam, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Halabi, 1990.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy Teungku, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Pasaribu Chairuman dan K. Lubis Suhrawardi, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
Rahman Taufik, Hadits-Hadits Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Rahmat Syafi’i, Fiqh Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006.
Rohmah Ainur, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Melalui Internet (Studi Kasus Di Gramedia Toko Buku Online Webside WWW. Gramediaonline. Com)”. Skripsi sarjana faktultas syari’ah jurusan mu’amalah, semarang: perpustakaan fakultas syari’ah IAIN Walisongo, 2006
Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah, Jakarta; Dar fath Lili’lami al-Arabiy, 2009.
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Cet ke 2, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Suhendi Hendi, Fiqih Mu’amalah, Jakarta , PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Syarifudin Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003. Suryabrata Sumadi, Metodologi Penelitian,Jakarta, Rajawali Pers (cet. VII), 1992
Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 6, 2003,
Surakhmad Winarno, Metode dan Tehnik dalam bukunya “Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik”,(Bandung:Transito)1994
Wawancara dengan bapak Marjono, pada tanggal 6 Desember, 2009, sebagai petani.
Ya’qub Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: CV Diponegoro, 1994.
Yafie Ali, Fiqh Perdagangan Bebas, Jakarta: Teraju, 2003.