Post on 21-Dec-2015
TINEA PEDIS
Andwi Putri Lika, S.KedPembimbing : dr. Mutia Devi, SpKK
Bagian/Departemen Ilmu Kulit dan KelaminFK UNSRI/RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
2013
PENDAHULUAN
Tinea pedis adalah dermatifitosis pada kaki, terutama pada sela jari dan
telapak kaki. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang
disebabkan golongan dermatofita. Dermatofita dibagi menjadi genera
Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencerna keratin. Patogen lain golongan non-dermatofita yang
menyebabkan tinea pedis adalah S. Dinidiatum, S. Hyalinum dan kadang-kadang
Candida spp.1,2,3
Tinjauan pustaka ini akan membahas tinea pedis terutama epidemiologi,
etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaan tinea pedis. Dengan memahami karakteristik penyakit ini,
diharapkan kita dapat mendiagnosis dan menatalaksana pasien dengan tinea pedis.
EPIDEMIOLOGI
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia, khususnya negara yang beriklim
panas dan memiliki kebiasaan menggunakan kaos kaki dan sepatu tertutup. Tinea
pedis banyak terjadi pada usia dewasa dan anak-anak di atas usia enam tahun.
Pada umumnya para penderita tinea pedis rata-rata berusia 15 tahun. Di Jepang,
diperkirakan lebih dari 20 juta orang menderita tinea pedis. Sebuah penelitian
menunjukkan di negara maju pada saat bersamaan sebanyak 10% dari total
populasi berpotensi terinfeksi jamur pada sela jari kaki. Angka kejadian tinea
pedis lebih tinggi pada orang yang menggunakan fasilitas kamar mandi umum dan
kolam renang.2,3,5
1
ETIOLOGI
Tinea pedis paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum,
sedangkan tinea pedis bentuk interdigitalis disebabkan oleh Trichophyton
mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum. Penyebab paling sering adalah
Trichophyton rubrum. Pada beberapa kasus terjadi infeksi kombinasi lebih dari
satu spesies pada satu lesi yang sama. Pada kasus lain, dapat juga terjadi infeksi
bersamaan dengan spesies berbeda yang ditemukan pada lesi berbeda pada waktu
yang sama. Infeksi berturut-turut adalah pasien yang sama terinfeksi organisme
yang berbeda di satu tempat sama pada kesempatan berbeda.2,3
Faktor predisposisi
Prevalensi tinea pedis sekitar 10%, terutama disebabkan oleh penggunaan
alas kaki modern, meskipun perjalanan keliling dunia juga merupakan faktor
predisposisi. Kejadian tinea pedis lebih tinggi di antara komunitas yang
menggunakan tempat umum seperti kamar mandi atau kolam renang. Kejadian
infeksi ini sering terjadi pada iklim hangat lembab yang dapat meningkatkan
pertumbuhan jamur, tetapi jarang ditemukan di daerah yang tidak menggunakan
alas kaki.2,5,6
PATOGENESIS
Trichophyton rubrum umumnya menyebabkan tinea pedis dengan menggunakan
enzim keratinase. Jamur dermatofit menyerang keratin superfisial kulit, dan
infeksi hanya terbatas pada lapisan ini. Dinding sel dermatofit juga mengandung
mannans (sejenis polisakarida) yang dapat menghambat respon kekebalan tubuh.
Trichophyton rubrum khususnya mengandung mannans yang dapat mengurangi
proliferasi keratinosit, sehingga menurunkan pengelupasan dan terjadi infeksi
kronis.7
Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan
keringat sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dimulai
dari terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang
2
mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam
jaringan epidermis dan merusak keratinosit.7
Suhu dan faktor serum, seperti globulin beta dan feritin, tampaknya
memiliki efek penghambatan pada pertumbuhan dermatofit. Tetapi, patofisiologi
ini tidak sepenuhnya dipahami. Sebum juga menghambat pertumbuhannya,
sehingga dermatofit memiliki kecenderungan menginfeksi kaki yang tidak
memiliki kelenjar sebasea. Faktor host seperti kulit pecah dan maserasi kulit
dapat menunjang invasi dermatofit. Manifestasi kulit tinea pedis juga tergantung
pada sistem kekebalan host dan infeksi dermatofit.7
MANIFESTASI KLINIS
Tipe Interdigitalis
Tipe interdigitalis biasanya terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan
tipis diantara jari 4 dan 5. Lesi dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan ke
sela jari yang lain. Sering terlihat maserasi. Aspek klinis berupa kulit putih dan
rapuh. Dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis,
limfangitis, limfadenitis, dan dapat pula terjadi erisipelas.2,6
Gambar 1. Tinea pedis interdigitalis. Maserasi dan terdapat opaque putih dan beberapa erosi2
3
Gambar 2. Tinea pedis pada bagian bawah jari kaki.2
Tipe Hiperkeratotik Kronik
Tipe hiperkeratotik kronik terlihat kulit menebal dan bersisik halus dan
seperti bedak pada seluruh kaki, dari tepi telapak kaki sampai punggung kaki.
Eritema biasanya ringan dan terlihat pada bagian tepi lesi. Tepi lesi dapat dilihat
papul dan kadang-kadang vesikel. 2,6
Gambar 3. Tinea pedis. Terdapat distribusi tipe moccasin. Bentuk arciform dari sisik yang
merupakan karakteristik2
Tipe Vesikulo-bulosa
Tipe vesikulo-bulosa biasanya diakibatkan karena infeksi T.mentagrophytes.
Diameter vesikel lebih besar dari 3mm. Jarang pada anak-anak, tapi etiologi yang
sering terjadi pada anak-anak adalah T.rubrum. Vesikel pustul atau bula pada kulit
tipis di telapak kaki dan area periplantar. 2,8,10
4
.
Gambar 4. Tinea pedis tipe bulosa. Vesicle pecah, bula, eritema, dan erosi pada bagian
belakang dari ibu jari kaki.2
Gambar 5. Tinea pedis tipe bulosa.5
Tipe akut ulserasi
Tipe akut ulserasi mempengaruhi kondisi telapak kaki. Tipe ini terkait
dengan maserasi dan penggundulan kulit. Infeksi sekunder oleh bakteri ganas
biasanya dari Gram negatif kombinasi dengan T.mentagrophytes menghasilkan
vesikel pustul dan ulserasi bernanah yang besar pada permukaan plantar. 2,8,10
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis tinea pedis biasanya dilakukan secara klinis dan pemeriksaan
daerah yang terinfeksi. Diagnosis yang digunakan biasanya dengan cara kulit
5
dikerok untuk preparat KOH, biopsi kulit, atau biakan dari daerah yang
terinfeksi.10
1. KOH
Hasil preparat KOH biasanya positif di beberapa kasus dengan maserasi kulit.
Pada pemeriksaan mikroskop KOH dapat ditemukan hifa septate atau
bercabang, arthrospore, atau dalam beberapa kasus, sel budding merupakan
bukti infeksi jamur.6
Gambar 6. Hasil Positif pada Pemeriksaan dengan KOH.2
2. Biakan
Biakan dari tinea pedis yang dicurigai dilakukan SDA(sabouraud’s dextrose
agar), pH asam dari 5,6 untuk media ini menghambat banyak spesies bakteri
dan dapat dibuat lebih selektif dengan penambahan suplemen kloramfenikol.
Proses ini selesai dalam 2-4 pekan. Dermatophyte test medium (DTM)
digunakan untuk isolasi selektif dan mengenali jamur dermatofitosis adalah
pilihan lain diagnostik, yang bergantung pada indikasi perubahan warna dari
oranye ke merah yang menandakan kehadiran dermatofit.6
3. Tes PAS
PAS menunjukkan dinding polisakarida-sarat dari organisme jamur yang
terkait dengan kondisi ini dan merupakan salah satu teknik yang paling
banyak digunakan untuk mendeteksi karbohidrat protein terikat
(glikoprotein). Tes ini dilakukan dengan mengekspos jaringan dari berbagai
substrat untuk serangkaian reaksi oksidasi-reduksi, sebagai hasil akhir,
elemen positif seperti karbohidrat, bahan membran basalis menjadi permen
6
apel merah (candy apple red). PAS kontras positif komponen ini tajam
terhadap latar belakang biru merah muda. Tidak seperti biakan pada SDA
atau DTM, hasil PAS dapat selesai sekitar 15 menit. PAS juga telah menjadi
tes diagnostik yang paling dapat diandalkan untuk tinea pedis dengan
keberhasilan 98,8% dan biaya paling efektif.6
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding klinis dari erupsi cutaneus kaki seperti kontak
dermatitis, psoriasis, dihydrosis, eczema, dermatitis atopic, keratoderma, liken
planus dan beberapa infeki bacterial seperti C.minutissimum, streptococcal
cellulitis dan lain-lain yang umumnya susah dibedakan dengan tinea pedis.5,10
Diagnosis banding dari tinea pedis dapat di bedakan berdasarkan tipenya.
Tipe interdigitalis memiliki diagnosis banding berupa psoriasis, “soft corns”,
koinfeksi bakteri, kandidiasis, erythrasma. Tipe hiperkeratotik kronik memiliki
diagnosis banding berupa psoriasis, keturunan atau yang diperoleh keratoderma
pada telapak tangan dan kaki, dishidrosis. Tipe vesikulo-bulosa memiliki
diagnosis banding berupa Pustular psoriasis, palmoplantar pustolosis, pyoderma
bakteri.2
DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis tinea pedis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Penegakan diagnosis biasanya dilakukan secara
klinis dan berdasarkan pemeriksaan dari daerah yang terinfeksi. Berdasarkan
gejala klinis, pasien tinea pedis biasanya mengeluhkan kelainan berupa maserasi
di sela jari ke-4 dan 5, tetapi semua sela jari dapat juga terinfeksi. Terlihat
maserasi kulit putih, dapat terbentuk fisura dan sering tercium bau tidak enak.
Lesi dapat meluas ke bawah jari kaki dan telapak kaki. Tinea pedis dapat juga
ditandai dengan beberapa vesikel, vesiko-pustulosa, kadang-kadang bula, di
telapak kaki dan jarang terjadi pada tumit. Selain itu, lesi berupa bercak dengan
skuama putih agak mengkilat, melekat dan relatif tidak meradang. Diagnosis pasti
cara kerokan kulit dengan penambahan KOH atau biakan dari daerah yang
terinfeksi. 9,10
7
PENATALAKSANAAN
Umum
Penyakit ini sering rekuren, maka faktor predisposisi perlu dihindari. Kaos
kaki yang dipakai sebaiknya menyerap keringat dan diganti tiap hari. Kaki harus
bersih dan kering. Hindari memakai sepatu tertutup, sepatu sempit, sepatu olah
raga dan sepatu plastik, terutama yang digunakan sepanjang hari. Kaki dan sela
jari dijaga agar selalu kering, terutama sesudah mandi. Dapat diberikan bedak
dengan atau tanpa antijamur.8
Khusus
Pengobatan tinea pedis dengan peradangan akut yang biasanya karena
infeksi sekunder oleh bakteri dapat diberi antibiotik sistemik, antara lain
eritromisin atau penisilin. Penggunaan dengan obat-obat topikal pada lesi basah
dapat dikompres terbuka dengan larutan kalium permanganat 1/5000 atau larutan
asam asetat 0.25% selama 15-30 menit, 2-4 kali sehari.12 Bila terjadi peradangan,
antibiotik topikal seperti gentamicin cukup efektif terhadap bakteri Gram (-) dan
berguna pada lesi interdigitalis yang lembab. Bila terjadi ulkus, maka dibutuhkan
antibiotik sistemik.6,8
Biasanya pada tinea pedis tidak dipakai obat antijamur sistemik, tapi jika
dipakai harus dikombinasi dengan obat antijamur topikal. Pengobatan sistemik
infeksi jamur pada tinea pedis dengan griseofulvin dosis 500-1000 mg/hari dapat
efektif. Dosis untuk anak adalah 10-20 mg/kgBB/hari. Lama terapi tergantung
pada respon terhadap lesi (pemeriksaan dengan KOH dan biakan secara berulang-
ulang seharusnya menunjukkan hasil negatif). Terbinafin dapat diberikan 250
mg/hari selama 1-2 pekan, itraconazole 200 mg 2x/hari selama 1 pekan, dan
fluconazole 150 mg 1x/pekan selama 4 pekan.6
Gel Ciclopirox 0,77% efektif dalam mengobati kasus tinea pedis
interdigitalis simpleks dan kompleks. Khususnya sifat antijamur, antibakterial,
dan antiinflamasi yang dimiliki ciclopirox memberikan keuntungan tersendiri bila
8
digunakan dalam pengobatan dermatofitosis kompleks. Selain itu formulasi gel
dapat membantu mengeringkan sela jari kaki yang lembab.11
PROGNOSIS
Infeksi berulang dapat dihindari dengan menghindari faktor risiko.
Persistensi sering terjadi bila infeksi disebabkan oleh Trichophyton rubrum varian
hiperkeratotik kronik.5
KESIMPULAN
Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela jari dan
telapak kaki. Tinea pedis terdapat di seluruh dunia, khususnya negara yang
beriklim panas dan budaya mengenakan kaos kaki dan sepatu tertutup. Tinea
pedis paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum, sedangkan tinea pedis
bentuk interdigitalis disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes dan
Epidermophyton floccosum.
Terdapat tiga tipe tinea pedis, yaiu tipe interdigitalis, tipe hiperkeratotik
kronik, tipe vesikulo-bulosa, dan tipe akut ulserasi. Diagnosis dermatofitosis
biasanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan sediaan
langsung dengan KOH dan biakan. Tinea pedis dapat didiagnosis banding
berdasarkan variasi klinisnya.
Penatalaksanaan tinea pedis meliputi umum dan khusus. Prinsip
penatalaksanaan umum adalah menghindari faktor predisposisi karena penyakit
ini sering rekuren. Sedangkan penatalaksanaan khusus tinea pedis bervariasi
bergantung pada tipe dan keparahan infeksi. Prognosis tinea pedis ditentukan oleh
agen infeksi dan keberhasilan pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
9
1. Canberk Y, Anshal B, Onar FD, Karabulut E. Ultrastructural alteration in the epidermis of patients with tinea pedis. Balkan Med J 2011; 28: p.151-6.
2. Verma S, Haffernan MP. Tinea Pedis. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008; p.1815-7.
3. Elewski BE, Hughey LC, Sobera JO, Hay R. Tinea Pedis. In: Bolognia J L, Lorizzo J L, Rapini R P. Dermatology. 2nd ed. Mosby Elsevier; 2008; p.1251-64.
4. Maruyuma R, Hiruma M, Yamauchi K, Teraguchi S, Yamaguchi H. An epidemiological and clinical study untreated patients with tinea pedis within a company in Japan. Mycoses 2003; 46: p.208-12.
5. Moore Mk, Hay RJ. Mycology. In: Berth-jones J. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed.1. Cambridge; Wiley-Balckwell, 2010; p.36.30-36.32.
6. James D William, Berger G Timothy, Elston M Dirk. Andrews’ disease of the skin; Diseases resulting from fungi and yeast . 10th edition. Canada; Saunders Elsevier, 2008; p.303-5.
7. Robbins, courtney M, dkk,2012, Tinea Pedis, Online artikel. Diunduh pada 18 Mei 2013; dari http://emedicine.medscape.com/article/1091684-overview.
8. Habif P.Thomas, Clinical Dermatology 5th Edition: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. Published by Mosby, Elsevier 2010: p.495-8.
9. Gawkrodger J. David, Dermatology An Illustrated Colour Text 4 th Edition. Published by Elsevier 2008: p.56-7.
10. Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. Asian journal of medical science. Tinea Pedis, 2011; p.134-5.
11. Gupta K. Aditya, Skinner R. Alayne, Cooper A.Elizabeth, International Journal of Dermatology, volume 42, supplement 1: Ciclopirox a broad spectrum antifungal with antibacterial and anti-inflammatory properties. September 2003: p.26-27.
12. H. Anwar Makatutu dan Margaretha Manginsengi. Dermatomikosis: Diagnosis dan Penatalaksanaan. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 1992: 61-63
10