Post on 08-Mar-2019
TESIS
TINJAUAN YURIDIS PEKERJA FREELANCE BERDASARKAN
PRINSIP KEADILAN
YOFRIKO SUNDALANGI
P3600215031
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS PEKERJA FREELANCE BERDASARKAN
PRINSIP KEADILAN
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Kenotariatan
Disusun dan diajukan oleh :
YOFRIKO SUNDALANGI
P3600215031
Kepada
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2017
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Nama : Yofriko Sundalangi
N I M : P3600215031
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan tesis yang
berjudul” TINJAUAN YURIDIS PEKERJA FREELANCE
BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN.”, adalah benar-benar karya saya
sendiri. Hal yang bukan merupakan karya saya, dalam penulisan tesis ini
diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku.
Makassar, 7 Maret 2017
Yang membuat pernyataan,
(Yofriko Sundalangi)
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alaamiin puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Tak lupa pula shalawat serta salam terhatur
kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan dalam
perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran di muka bumi ini.
Adapun judul tesis ini adalah “TINJAUAN YURIDIS PEKERJA
FREELANCE BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN” dalam penelitian
tesis ini, penulis menyadari terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan
semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih
Gelar Magister Kenotariatan pada Progra Studi Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin. Penelitian tesis tidak akan terwujud tanpa
bantuan dari para pembimbing, dosen-dosen serta berbagai pihak. Untuk
itu melalui tulisan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor
Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya.
2. Ibu Prof Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya.
3. Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
vi
4. Ibu Prof. Dr. Marwati Riza, SH., M.Si., dan Bapak Dr. Zulkifli Aspan,
S.H., M.H. selaku penasihat dalam penulisan tesis ini yang telah
bersedia meluangkan waktunya dan memberikan bantuan dalam
materi tesis serta memberikan banyak pengetahuan bagi penulis
selama penulisan tesis ini.
5. Bapak Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H., Ibu Dr. Sakka Pati, S.H., M.H.,
Ibu Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A., selaku penguji penulis yang
telah memberikan banyak masukan-masukan dan arahan dalam
penyusunan tesis ini.
6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, yang telah memberikan
ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya selama
perkuliahan berlangsung.
7. Seluruh staf dan karyawan akademik Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Khususnya Staf Kenotariatan Ibu Eppy dan Pak Aksa
yang telah membantu dalam pengurusan administrasi.
8. Kedua orang tua Bapak Herman Jaya dan Ibu Lusciana Sodikim
atas doa yang tidak pernah putus dan dukungan serta segala
kebaikan mereka yang sampai kapanpun takkan pernah bisa untuk
terbalaskan.
9. Teman–teman Mahasiswa Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin (KOMPAR15I) terima kasih atas
kebersamaan selama ini.
vii
10. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis : Kak Tata, Kak Adjie, Awal,
Kak Uchi, Kak wen, Pman, Mba Ayu, Putri, Kak Ning, Dandos, Iky,
Koval, Try, Tibo, Ndes, Enah, Cece lina, Aswar+, Adli, Kak Heri
yang telah menjadi bagian dari keluarga baru penulis selama masa
perkuliahan di Kenotariatan.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang
Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat yang bernilai jariyah. Aamiin
Yaa Rabbal’alaamiin. Terima kasih.
Makassar, 12 Oktober 2017
Yofriko Sundalangi
viii
ix
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................. i
HALAMAN JUDUL .................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................. viii
ABSTRACT ............................................................................................. ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 8
E. Keaslian Penelitian ....................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 10
A. Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan ............................... 10
1. Pengertian Ketenagakerjaan ................................................... 10
2. Pihak-Pihak Dalam Hubungan Kerja ....................................... 11
xi
3. Hubungan Kerja dan Dasar Hukumnya ................................... 14
4. Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kerja ........ 31
5. Pengaturan Mengenai Upah Kerja .......................................... 35
B. Tinjauan Pekerja Freelance ....................................................... 52
C. Landasan Teori ............................................................................55
1. Teori Keadilan ......................................................................... 55
2. Teori Perlindungan ................................................................. 56
D. Kerangka Pikir ............................................................................. 57
E. Definisi Operasional ................................................................... 59
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 61
A. Tipe Penelitian ............................................................................ 61
B. Lokasi Penelitian ........................................................................ 61
C. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 61
D. Populasi dan Sampel ................................................................. 62
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 62
F. Analisis Data .............................................................................. 63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 64
A. Status dan Hubungan Hukum Antara Pengusaha Dengan
Freelance .................................................................................... 64
B. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Freelance Dalam
Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Ditinjau Dari
Prinsip Keadilan Dalam Masyarakat ......................................... 75
BAB V PENUTUP .................................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keadilan adalah harapan yang menjadi cita-cita dan keinginan
setiap orang. Keadilan adalah salah satu nilai kemanusiaan yang asasi,
sehingga memperoleh keadilan berupa hak asasi bagi setiap manusia.
Tegaknya keadilan dalam suatu masyarakat memberikan ketenangan dan
rasa aman dalam kehidupan sehari-hari serta kepercayaan yang timbal-
balik antara pemerintah dan rakyat, di samping menumbuhkan
kemakmuran dan kesejahteraan.
Setiap manusia secara alamiah memiliki kebutuhan dalam
kehidupannya, baik kehidupan yang bersifat primer maupun kebutuhan
yang bersifat sekunder. Berbagai upaya dilakukan manusia untuk
memenuhi kebutuhan itu. Salah satunya adalah bekerja sebagai freelance
pada perusahaan, dengan memasarkan dan menjualkan produk-produk
dari perusahaan tersebut. Hal ini akan melahirkan hubungan hukum
antara pemberi kerja dan penerima kerja yang menimbulkan hak dan
kewajiban para pihak agar tercapai tujuan yang diharapkan. Hubungan
hukum ini diatur dalam Hukum Ketenagakerjaan.
Hukum ketenagakerjaan merupakan hal yang sangat penting dalam
meningkatkan pembangunan nasional. Sehingga diperlukan suatu
langkah strategis untuk mengantisipasi setiap masalah ketenagakerjaan
agar kelangsungan pembangunan nasional tidak terganggu. Dalam alinea
keempat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen
2
keempat (selanjutnya disebut UUD 1945) disebutkan bahwa tujuan dari
Pembentukan Negara Indonesia adalah:
"Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial".
Penjabaran dari tujuan negara tersebut tertuang dalam Pasal 27
ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak
atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Demikian
pula dalam Pasal 28d ayat 2 UUD 1945, dikatakan bahwa setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja.
Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas dapat diartikan bahwa
pemerintah sangat memperhatikan usaha-usaha perlindungan bagi
kesejahteraan para pekerja. Hal ini diperkuat dengan pendapat Koko
Kosidin yang menyatakan bahwa Indonesia adalah suatu Negara hukum
dalam arti luas (Negara kesejahteraan) yang sangat memperhatikan
perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya. Indonesia juga sangat
memperhatikan upaya-upaya ke arah terciptanya kesejahteraan rakyat.1
Ketentuan Konstitusional di atas tersebut juga menunjukkan bahwa
pekerja sebagai warga negara berhak untuk memperoleh perlindungan
dalam melakukan pekerjaan guna mencapai kesejahteraan hidupnya.
1 Koko Kosidin, Aspek-Aspek Hukum Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan
Perseroan (Persero), Bandung : Disertasi, Universitas Padjadjaran, 1996 hlm. 13
3
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UUK),
pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Pekerja adalah seseorang yang bekerja
kepada orang lain dengan mendapatkan upah.2 Sedangkan defenisi
pekerja bedasarkan Pasal 1 angka 2 UUK adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Bertolak dari pengertian bahwa pekerja adalah orang yang
melakukan pekerjaan untuk orang lain (swasta) berarti sedikitnya harus
ada dua pihak yang terlibat dalam hubungan kerja yaitu orang yang
melakukan pekerjaan yang disebut pekerja dan orang yang memberikan
pekerjaan yang disebut dengan pengusaha.
Pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UUK adalah
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
UUK mengatur pula tentang segala hal yang berhubungan dengan
pekerja baik sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Hubungan hukum
yang terjadi antara pekerja dan pengusaha adalah bentuk suatu perjanjian
kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 UUK yang bunyinya
sebagai berikut:
2 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1974 hlm. 6
4
”Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban para pihak".
Hak dan kewajiban antara pemberi kerja dengan pekerja baru akan
ada setelah dibuat suatu perjanjian kerja seperti yang dimaksud dalam
Pasal 1 angka 14 UUK tersebut. Dengan demikian bila seseorang telah
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja berarti secara pribadi harus
bersedia bekerja dibawah perintah orang lain serta menerima upah.
UUK akan melekat pada setiap hubungan kerja, sehingga setiap
kegiatan yang memenuhi unsur dari hubungan kerja, maka wajib
mematuhi ketentuan dalam UUK. Dapat dikatakan bahwa telah terjadi
hubungan kerja jika sudah memenuhi unsur-unsur berupa:3
1. Adanya pekerjaan yang dilakukan.
2. Adanya perintah (bekerja atas perintah atasan).
3. Adanya upah.
Hubungan kerja yang dimaksud di dalam Pasal 1 angka 15 UUK
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Pada prinsipnya ketenagakerjaan memiliki banyak keterikatan.
Beberapa hal penting yang terkait adalah mengenai Jaminan Pekerja,
Waktu Kontrak Kerja, Pemberian Upah, dan sebagainya. Peraturan
ketenagakerjaan melarang pengusaha melakukan diskriminasi pemberian
upah terhadap para pekerja. Berdasarkan Pasal 88 ayat (1) UUK jo. Pasal
3 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78
3 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003 hlm. 83
5
Tahun 2015 Tentang Pengupahan menjelaskan upah diarahkan untuk
pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
pekerja.
Adapun pembagian jenis pekerja berdasarkan perjanjiannya, yaitu
pekerja tetap berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(selanjutnya disebut PKWTT) dan pekerja tidak tetap berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (selanjutnya disebut PKWT).
PKWT mengenal Perjanjian Kerja Harian atau Lepas yang telah
diatur dalam Pasal 10 Keputusan Menteri Pekerja dan Transmigrasi No.
100/men/IV/2004 yaitu untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-
ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada
kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas.
Jenis pekerja dalam Perjanjian Kerja Harian atau Lepas yaitu pekerja
harian atau lepas, yang biasa disebut freelance dalam masyarakat.
Istilah freelance berasal dari bahasa Inggris yang pertama kali
diperkenalkan oleh Sir Walter Scott (1771-1832) dari Britania Raya.
Freelance terdiri dari kata free (bebas) dan lance (tombak) yang artinya
tombak yang bebas. Menunjukkan bahwa tombak tidak disumpah untuk
melayani majikan apapun, bukan bahwa tombak tersedia gratis.
Pengertian lain dari freelance adalah seseorang yang bekerja sendiri dan
tidak berkomitmen kepada majikan jangka panjang tertentu.4
Jenis pekerja freelance terbagi berdasarkan satuan hasil dan
satuan waktu. Freelance berdasarkan satuan hasil umumnya merupakan
4 https://id.wikipedia.org/wiki/Tenaga_lepas, diakses 8 Desember 2016
6
pekerja dengan profesi tertentu dan menawarkan keahliannya sebagai
jasa dengan diberikan upah dari hasil kerjanya secara mandiri. Hubungan
kerjanya langsung berakhir setelah freelance menyelesaikan
pekerjaannya dan tanpa ada perjanjian kerja, contohnya penerjemah.
Sedangkan freelance berdasarkan satuan waktu, pada umumnya mereka
bekerja pada pengusaha dengan diberikan upah berdasarkan kehadiran.
Hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja, contohnya sales
marketing.
Jika kita perhatikan bahwa antara pengusaha dengan freelance
yang dipekerjakannya sudah memenuhi tiga unsur pada Pasal 1 angka
15, sehingga dapat dipastikan bahwa telah terjadi suatu hubungan kerja
sesuai dengan apa yang dimaksud di dalam UUK.
Secara sosiologis, pekerja memang merupakan pihak yang lebih
lemah dibanding pihak pengusaha. Pekerja adalah orang yang tidak
bebas dalam menentukan kehendaknya terhadap pengusaha, karena
dalam suatu hubungan kerja pengusaha telah memberikan batasan-
batasan yang harus diikuti oleh pihak pekerja.5 Sangat sulit bagi pihak
pekerja untuk menentang, dan bila mereka berkeras untuk menentang
maka mereka akan kehilangan mata pencaharian. Bagi pengusaha,
kehilangan seorang pekerja bukan persoalan karena masih ada ribuan
pekerja yang mencari pekerjaan.
Melihat kondisi dilapangan, freelance tidak memperoleh hak-
haknya sesuai dengan ketentuan ketenagakerjaan, diantaranya hubungan
5 Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan, Jakarta: Dss Publising, 2004 hlm. 2
7
kerja yang tidak jelas, pemberian waktu kerja serta melebihi ketentuan,
serta masih adanya diskriminatif dari pengusaha.
Berdasarkan keterangan dari beberapa freelance, mereka
menyebutkan bahwa selama bekerja hanya terikat dengan perjanjian kerja
secara lisan. Sehingga mereka memiliki posisi yang lemah,
mengakibatkan tidak ada keseimbangan antara hak-hak dengan
kewajiban-kewajiban yang telah dilaksanakannya. Selain mengenai
perjanjian kerja, mereka belum mendapatkan perlindungan kerja terutama
perlindungan upah yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka issue penelitian ini adalah bahwa
dalam hubungan kerja yang selama ini dilaksanakan antara pengusaha
dengan freelance belum sepenuhnya tunduk pada peraturan
Ketenagakerjaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas maka
dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah status dan hubungan hukum antara pengusaha
dengan freelance?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pekerja freelance
dalam Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan ditinjau
dari prinsip keadilan dalam masyarakat?
8
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui status dan hubungan hukum antara pengusaha
dengan freelance.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pekerja freelance
dalam Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan ditinjau
dari prinsip keadilan dalam masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, adalah
sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
sumber kepustakaan dalam bentuk sumbangan pemikiran penulis
dalam rangka pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai
hukum ketenagakerjaan.
2. Manfaat Praktis :
Penulis berharap hasil penelitian ini mampu memberikan
masukan kepada pemerintah agar dapat menjamin hubungan kerja
yang seimbang dalam pengaturan hak dan kewajiban pihak pekerja
dan pengusaha, sehingga pada akhirnya pekerja serta pengusaha
dapat saling merasakan ketentraman.
9
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi, penelusuran sementara, dan pemeriksaan
yang telah penulis lakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada,
ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai ”Tinjauan
Yuridis Pekerja Freelance Berdasarkan Prinsip Keadilan Dalam
Masyarakat". Oleh sebab itu keaslian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai
objektifitas dan kejujuran.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Ketenagakerjaan
1. Pengertian Ketenagakerjaan
Perkembangan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di
Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan sampai saat ini, telah
terjadi pergeseran istilah yang disebabkan oleh berbagai alasan baik
yang bersifat sosiologis maupun yuridis. Sampai saat ini belum ada
kesatuan pendapat mengenai pengertian mengenai hukum
ketenagakerjaan. Akan tetapi secara umum dapat dirumuskan, bahwa
hukum ketenagakerjaan itu adalah sekumpulan peraturan yang
mengatur hubungan hukum antara pekerja atau organisasi pekerja
dengan majikan atau pengusaha atau organisasi majikan dan
pemerintah, termasuk didalamnya adalah proses-proses dan
keputusan-keputusan yang dikeluarkan untuk merealisasikan
hubungan tersebut menjadi kenyataan.
Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa, hukum
ketenagakerjaan itu adalah suatu himpunan peraturan yang mengatur
hubungan hukum antara pekerja, majikan atau pengusaha, organisasi
pekerja, organisasi pengusaha, dan pemerintah.7
Didalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UUK menyebutkan
bahwa, ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan
tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
7 Darwin Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 1
11
Menurut Imam Soepomo, perburuhan atau ketenagakerjaan adalah
suatu himpunan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan
dengan kejadian saat seseorang bekerja pada orang lain dengan
menerima upah. Mr. Soetikno berpendapat bahwa, perburuhan atau
ketenagakerjaan adalah keseluruhan peraturan hukum mengenai
hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi
ditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai
keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan
hubungan kerja tersebut.8
Dari pengertian di atas, diketahui bahwa tenaga kerja
merupakan unsur yang sangat penting dalam hukum ketenagakerjaan
Mengingat faktor tenaga kerja dalam proses pembangunan ini harus
diperhatikan, oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk membina,
mengarahkan serta perlindungan bagi tenaga kerja untuk menciptakan
kesejahteraan yang berkaitan dengan yang dilakukannya.
2. Pihak-Pihak Dalam Hubungan Kerja
a. Pekerja atau Buruh
Dalam kehidupan sehari-hari masih terdapat beberapa
peristilahan mengenai pekerja. Misalnya ada penyebutan : buruh,
karyawan atau pegawai. Terhadap peristilahan yang demikian,
Darwan Prinst menyatakan bahwa maksud dari semua peristilahan
8 Hadi Setia Tunggal, Asas-Asas Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Harvarindo, 2014,
hlm. 12
12
tersebut mengandung makna yang sama; yaitu orang yang bekerja
pada orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya.9
Pasal 1 angka 2 UUK disebutkan bahwa, Tenaga Kerja
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik
didalam maupun diluar hubungan kerja, guna menghasilkan barang
atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
Dalam Pasal 1 angka 3 UUK menyebutkan bahwa,pekerja
atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Dari pengertian pekerja
tersebut jelaslah bahwa hanya tenaga kerja yang sudah bekerja
yang dapat disebut pekerja/buruh, namun memiliki makna yang
luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada
siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan
lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena
upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula
buruh/pekerja yang menerima imbalan dalam bentuk barang.
b. Pengusaha atau Majikan
Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini
juga sangat populer karena perundang-undangan sebelum
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan.
Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian
9 Darwin Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994,
hlm. 20
13
Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa majikan adalah orang
atau badan hukum yang mempekerjakan buruh.
Istilah majikan juga kurang sesuai dengan konsep Hubungan
Industrial Pancasila karena istilah majikan berkonotasi sebagai
pihak yang selalu berada di atas, padahal antara buruh dan
majikan secara yuridis adalah mitra kerja yang mempunyai
kedudukan sama, karena itu lebih tepat jika disebut dengan istilah
Pengusaha. Perundang-undangan yang lahir kemudian seperti
Undang-undang No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek, Undang-
undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok
Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 25 tahun 1997 yang dicabut
dan diganti dengan UUK menggunakan istilah Pengusaha. Pasal 1
angka 5 menjelaskan pengertian Pengusaha yakni:
1) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar
wilayah Indonesia.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pengaturan istilah
pemberi kerja ini muncul untuk menghindari orang yang bekerja
pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai Pengusaha.
14
3. Hubungan Kerja dan Dasar Hukumnya
Tjepi F. Aloewir mengemukakan bahwa pengertian
hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan
pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu
tertentu maupun tidak tertentu.10
Pasal 50 UUK mengatur bahwa hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau
buruh. Dalam Pasal 1 angka 15 UUK disebutkan bahwa, hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah,
dan perintah. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja atau
buruh.11
Hubungan kerja merupakan suatu hubungan yang timbul
antara pekerja dan pengusaha setelah diadakan perjanjian
sebelumnya oleh pihak yang bersangkutan. Pekerja menyatakan
kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima
upah dan sebaliknya pengusaha menyatakan pula kesanggupannya
untuk memperkerjakan pekerja dengan membayar upah. Dengan
demikian hubungan kerja yang terjadi antara pekerja dan pengusaha
adalah merupakan bentuk perjanjian kerja yang pada dasarnya
memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
10 Tjepi F. Aloewic, Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan
Penyelesaian Perselisihan Industrial, Cetakan ke-11, Jakarta: BPHN, 1996, hlm. 32 11
Hadi Setia Tunggal, Asas-Asas Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Harvarindo, 2014,
hlm. 71
15
Dari pengertian diatas dapat ditarik beberapa pengertian
perjanjian kerja serta unsur-unsur dalam perjanjian kerja yaitu syarat
sah perjanjian kerja, bentuk dan jangka waktu perjanjian kerja.
a. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda biasa disebut
Arbeidsovereenkoms, dapat diartikan dalam beberapa pengertian.
Pasal 1601a KUHPerdata memberikan pengertian perjanjian kerja,
yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan
dirinya untuk dibawah perintah pihak lain, si majikan untuk suatu
waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.
Pasal 1 angka 14 UUK mengatur bahwa Perjanjian Kerja
adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak.
Selain pengertian normatif seperti tersebut diatas, menurut
Imam Soepomo perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana
pihak ke satu (buruh), mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan
mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar
upah.12
Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUHPerdata
seperti tersebut diatas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja
adalah “dibawah perintah pihak lain”, ini menunjukkan bahwa
12
Dr. Lalu Husni, S.H., M.Hum., Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan ke-10, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 64
16
hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan
bawahan dan atasan (subordinasi).
Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial-
ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh yang
secara sosial-ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah
untuk melakukan pekerjaan tertentu. Sedangkan pengertian
perjanjian kerja menurut UUK sifatnya lebih umum, karena
menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.
b. Unsur-Unsur Dalam Perjanjian Kerja
Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar perjanjian bisa
dinyatakan sah dan mengikat sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya, haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada
pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat, kecakapan, suatu hal
tertentu, dan suatu sebab yang halal. Demikian juga dalam
perjanjian kerja, pada prinsipnya unsur-unsur seperti yang
ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata masih juga menjadi pegangan
dan harus diterapkan, agar suatu perjanjian kerja tersebut
keberadaannya bisa dianggap sah dan konsekuensinya dianggap
sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Walaupun
demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja, selain tetap
berpedoman pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, ternyata
masih ada unsur-unsur lain yang harus dipenuhi.
17
Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian kerja yaitu:13
1) Adanya unsur Work atau Pekerjaan.
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang
diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah
dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan
dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam
KUHPerdata Pasal 1603a yang berbunyi:
“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikannya dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”.
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi
karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya, maka
menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian
kerja tersebut putus demi hukum. Setiap pekerjaan dilakukan
oleh pekerja dan sesuai dengan yang tercantum dalam
perjanjian yang telah disepakati dengan ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam UUK.
Bahkan pada Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan, menyatakan bahwa upah
tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau
tidak melakukan pekerjaan. Ketentuan tersebut diatas, bisa
diartikan jika seseorang tidak mau bekerja, maka berarti
seseorang tersebut tidak berkehendak untuk mendapatkan
upah.
13 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 55
18
2) Adanya unsur Service dan Perintah.
Pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai manifestasi
adanya perjanjian kerja, haruslah tunduk dan berada di bawah
perintah orang lain, yaitu pemberi kerja atau majikan.
Pekerja di dalam melakukan pekerjaannya/kewajibannya harus
bermanfaat bagi si pemberi kerja, dan sesuai dengan apa yang
dimuat di dalam isi perjanjian kerja. Jika suatu pekerjaan yang
tujuannya bukan untuk memberikan manfaat bagi si pemberi
kerja, tetapi mempunyai tujuan untuk kemanfaatan si pekerja itu
sendiri, maka perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian
kerja.
3) Adanya unsur Time atau Waktu Tertentu.
Bahwa dalam melakukan hubungan kerja haruslah dilakukan
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian
kerja, dalam melakukan pekerjaan, pekerja tidak boleh
melakukan pekerjaan sekehendaknya dan pelaksanaan
pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan dan ketertiban umum. Jangka waktu saat
ini dikenal dua jenis yaitu PKWT dan PKWTT.
4) Adanya unsur Upah.
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja,
bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama orang bekerja
pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika
19
tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan
merupakan hubungan kerja.
Pekerja harus melakukan pekerjaan dibawah perintah orang lain
yaitu majikan, maka majikan sebagai pihak pemberi kerja wajib
pula memenuhi prestasinya, yaitu pembayaran upah, upah
adalah imbalan prestasi yang wajib dibayar oleh majikan
kepada pekerja.
c. Syarat Sah Perjanjian Kerja
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian
kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang
dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No 13. Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian
kerja dibuat atas dasar :
1) Kesepakatan kedua belah pihak;
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut
kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya, bahwa pihak-pihak
yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat,
mengenai hal-hal yang diperjanjikan.
2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat
perjanjian (tidak terganggu kejiwaan/waras) dan cukup umur
minimal 18 Tahun.
20
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320
KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan
merupakan objek dari perjanjian kerja antara pekerja dan
pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan
kewajiban para pihak.
4) Tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Objek perjanjian haruslah yang halal yakni tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah
satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Suatu perjanjian kerja harus secara tegas menyebutkan jenis
pekerjaan yang akan dikerjakan oleh pihak pekerja, untuk
menghindari permasalahan yang mungkin timbul kemudian hari.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus
dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut
sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan
atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian
dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena
menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan
syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan harus halal, disebut
sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Jika
syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
21
Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka akibat hukum dari
perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak-pihak yang tidak
memberikan persetujuan.
d. Bentuk Dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UUK, dapat
dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis. Secara normatif bentuk
tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak,
sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses
pembuktian. Namun dalam kenyataannya masih banyak
pengusaha yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara
tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia
maupun karena kelaziman sehingga atas dasar kepercayaan
membuat perjanjian kerja secara lisan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 54 UUK, perjanjian
kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat
keterangan:
1) Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
2) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
3) Jabatan atau jenis pekerja;
4) Tempat pekerjaan;
5) Besarnya upah dan cara pembayaran;
6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha
dan pekerja;
7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
22
8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat;
9) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Berdasarkan Pasal 56 UUK terdapat dua jenis perjanjian
kerja, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
1) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
R.I. Nomor Kep.100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(Kep.100/Men/VI/2004), yang dimaksud dengan PKWT adalah
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerjaan tertentu. Pasal 56 ayat (2) UUK, mengatur pula
bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas
jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus
dibuat secara tertulis (Pasal 57 ayat (1) UUK). Ketentuan ini
dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang
tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja.
Dalam pasal 59 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa
perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni:
23
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga (3) tahun;
Pekerjaan yang bersifat musiman; dan
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan
atau penjajakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa
perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
a) Isi PKWT
Syarat kerja dan ketentuan yang memuat hak dan kewajiban
antara pengusaha dan pekerja/buruh yang diperjanjikan dalam
PKWT diatur dalam Pasal 2 Kep.100/Men/VI/2004 jo. Pasal 54
ayat (2) UUK, mensyaratkan tidak boleh lebih rendah dari
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Pasal 54 ayat (2) UUK, bahwa yang dimaksud
dengan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan dengan
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah apabila di
perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama, isi perjanjian kerja baik kualitas maupun
kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan
24
atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang
bersangkutan.
b) Persyaratan pembuatan PKWT
Sesuai ketentuan Pasal 56 - Pasal 59 UUK, pembuatan
PKWT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:14
Didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu
pekerjaan tertentu.
Harus dibuat secara tertulis dan menggunakan Bahasa
Indonesia.
Tidak boleh ada masa percobaan.
Hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan
sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertertu.
Tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Pekerjaan bersifat musiman.
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.
Penjelasan Pasal 59 ayat (2) UUK, bahwa yang dimaksud
dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah
pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus,
tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan
musiman.
14
Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta
Pelaksanaannya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 6
25
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang
tidak bergantung pada cuaca atau suatu kondisi tertentu.
Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-
menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan
merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi
bergantung pada cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena
adanya suatu kondisi tertentu, pekerjaan tersebut merupakan
pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap
sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.
c) Perpanjangan dan Pembaruan PKWT
Berdasarkan Pasal 59 UUK, PKWT yang didasarkan atas
jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun
(PKWT I) dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka
waktu paling lama 1 tahun (perpanjangan PKWT pertama atau
PKWT kedua). Dalam hal pengusaha ingin melakukan
perpanjangan PKWT, maka paling lama tujuh hari sebelum
PKWT berakhir perusahaan telah memberikan pemberitahuan
secara tertulis maksud mengenai perpanjangan PKWT tersebut
kepada pekerja yang bersangkutan. Pembaruan PKWT (PKWT
ketiga) hanya boleh dilakukan 1 kali paling lama 2 tahun dan
pembaruan PKWT ini baru dapat diadakan setelah melebihi
masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya perjanjian kerja
waktu tertentu yang lama. Dalam masa tenggang waktu tiga
26
puluh hari ini tidak boleh ada hubungan kerja apa pun antara
pengusaha dan pemberi kerja.
d) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat
sementara
Perjanjian kerja waktu tertentu untuk pekerjaan yang sekali
selesai atau sifatnya sementara diatur dalam Pasal 3
Kep.100/Men/VI/2004 yaitu perjanjian kerja waktu tertentu yang
didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dan dibuat untuk
waktu paling lama tiga tahun. Dalam hal pekerjaan tertentu yang
diperjanjikan dalam perjanjian kerja waktu tertentu dapat
diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, perjanjian kerja
waktu tertentu tersebut putus demi hukum pada saat selesainya
pekerjaan. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas
selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu
pekerjaan dinyatakan selesai.
Pasal 3 Kep.100/Men/VI/2004 juga menentukan bahwa
perjanjian kerja waktu tertentu, dalam hal dibuat berdasarkan
selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu
pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan
pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu. Pembaruan
dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu tiga puluh hari
setelah berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu
tiga puluh hari tidak boleh ada hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan pengusaha.
27
e) PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman
Pengertian pekerjaan yang bersifat musiman diatur dalam
Pasal 4 Kep.100/Men/VI/2004, yaitu pekerjaan yang
pelaksanaannya bergantung kepada musim atau cuaca dan
hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim
tertentu.
Berdasarkan Pasal 5 Kep.100/Men/VI/2004, pekerjaan-
pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau
target tertentu dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu
tertentu sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan
untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman ini tidak
dapat dilakukan pembaruan berdasarkan ketentuan Pasal 7
Kep.100/Men/VI/2004.
f) Perjanjian kerja harian/lepas
Menurut Pasal 10 ayat (1) Kep.100/Men/VI/2004, pekerjaan-
pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan
volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat
dibuat perjanjian kerja harian/lepas.
Pasal 10 ayat (2) Kep.100/Men/VI/2004 pula mengatur
tentang waktu kerja untuk perjanjian kerja pekerja harian/lepas,
yaitu pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari atau lebih
selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja
harian/lepas berubah menjadi PKWTT.
28
Perjanjian kerja harian/lepas yang memenuhi ketentuan-
ketentuan sebagaimana dimaksud di atas menurut Pasal 11
ayat (1) Kep.100/Men/VI/2004, dikecualikan dari ketentuan
batasan jangka waktu PKWT pada umumnya. Maksud
dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada
umumnya adalah jangka waktu perjanjian kerja harian/lepas
tidak dibatasi oleh hanya satu kali perpanjangan dan/atau satu
kali pembaruan sebagaimana PKWT pada umumnya.
g) Peralihan PKWT menjadi PKWTT
Apabila syarat-syarat PKWT tidak terpenuhi maka secara
hukum PKWT dapat berubah menjadi PKWTT, hal ini diatur
pada Pasal 15 Kep.100/Men/VI/2004 yaitu apabila:
PKWT yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia dan huruf
latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan
kerja.
Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) atau Pasal 5
ayat (2) Kep.100/Men/VI/2004, maka PKWT berubah
menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru menyimpang dari
ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3)
Kep.100/Men/VI/2004, maka PKWTT berubah menjadi
PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.
29
Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya
perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
Kep.100/Men/VI/2004, maka PKWT berubah menjadi
PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap
pekerja dengan hubungan kerja PKWT sebagaimana
dimaksud dalam 4 point di atas, maka hak-hak pekerja dan
prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi PKWTT.
2) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
PKWTT diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 2
Kep.100/Men/VI/2004, yaitu perjanjian kerja antara pekerja
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang
bersifat tetap.
UUK juga mengatur tentang masa percobaan, yaitu dalam
Pasal 60 UUK bahwa PKWTT dapat mensyaratkan masa
percobaan selama tiga bulan. Hal ini salah satunya dilatar
belakangi oleh karena sifat perjanjian yang bersifat
berkelanjutan dan jangka panjang sehingga perusahaan
memerlukan waktu untuk evaluasi pekerja tersebut sebelum
menjadi pekerja tetapnya. Selama masa percobaan tersebut
30
pengusaha dilarang membayarkan upah di bawah upah
minimum yang berlaku.
Penjelasan Pasal 60 ayat (1) UUK, bahwa syarat masa
percobaan kerja dalam PKWTT harus dicantumkan dalam
perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan,
syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada
pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat
pengangkatan. Apabila tidak dicantumkan dalam perjanjian
kerja atau dalam surat pengangkatan, ketentuan masa
percobaan kerja dianggap tidak ada. Selanjutnya dalam Pasal
63 UUK ditentukan, PKWTT yang dibuat secara lisan, maka
pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja
yang bersangkutan.
Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat:
Nama dan alamat pekerja;
Tanggal mulai bekerja;
Jenis pekerjaan; dan
Besarnya upah.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1603L KUHPerdata,
jika diperjanjikan mengenai masa percobaan dalam PKWTT,
selama waktu itu (tiga bulan) masing-masing pihak berhak
mengakhiri seketika hubungan kerjanya dengan pemberitahuan
penghentian. Berakhirnya hubungan kerja terhadap PKWTT
31
umumnya pada usia pensiun yakni sampai dengan pekerja
berusia 55 tahun.
4. Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kerja
Setiap hubungan hukum yang lahir baik dari perikatan
maupun peraturan perundang-undangan selalu mempunyai dua aspek
yaitu hak dan kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya
tidak ada kewajiban tanpa hak.15
Hak dan kewajiban bukan merupakan kumpulan peraturan
atau kaidah, melainkan merupakan perimbangan kekuasaan dalam
bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada kewajiban
pada pihak lawan. Hak dan kewajiban merupakan kewenangan yang
diberikan kepada seseorang oleh hukum.16
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Hak
memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan,
kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah
ditentukan oleh undang-undang, aturan, dsb), kekuasaan yang benar
atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.
Menurut Darwan Prints, yang dimaksud dengan hak di sini
adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai
akibat dari kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan
kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa yang
harus dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atau statusnya.17
15 Ikhwan Fahrojih, Hukum Perburuhan, Malang: Setara Press, 2016, hlm. 35 16 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm. 41-43 17 Darwan Prints, Hukum Perburuhan Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 22-23
32
a. Hak dan Kewajiban Pekerja
Mengenai hak-hak bagi pekerja adalah sebagai berikut:
1) Hak mendapat upah/gaji (Pasal 1602 KUHPerdata, Pasal 88-97
UUK, Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan);
2) Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi
kemanusiaan (Pasal 4 UUK);
3) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan
kemampuannya (Pasal 5 UUK);
4) Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta
menambah keahlian dan keterampilan lagi (Pasal 9-30 UUK);
5) Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan
serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan
moral agama (Pasal 3 Undang-undang No. 3 Tahun 1992
tentang Jamsostek);
6) Hak mendirikan dan menjadi anggota Perserikatan Tenaga
Kerja (Pasal 104 UUK, Undang-undang No.21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh);
7) Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai
masa kerja 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada satu
majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi majikan
(Pasal 79 UUK);
8) Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan (Pasal 88-98
UUK);
33
9) Hak atas suatu pembayaran penggantian istirahat tahunan, bila
pada saat diputuskan hubungan kerja ia sudah mempunyai
masa kerja sedikit-dikitnya 6 bulan terhitung dari saat ia berhak
atas istirahat tahunan yang terakhir, yaitu dalam hal bila
hubungan kerja diputuskan oleh majikan tanpa alasan-alasan
mendesak yang diberikan oleh buruh, atau oleh buruh karena
alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh majikan (Pasal
150-172 UUK);
10) Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui bipartit, mediasi,
konsiliasi, arbitrase dan penyelesaian melalui pengadilan (Pasal
6-115 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial).
Di samping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan di
atas, pekerja juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:18
1) Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan;
2) Wajib mematuhi peraturan perusahaan;
3) Wajib mematuhi perjanjian kerja;
4) Wajib mematuhi perjanjian perburuhan;
5) Wajib menjaga rahasia perusahaan;
6) Wajib mematuhi peraturan majikan;
7) Wajib memenuhi segala kewajiban selama izin belum diberikan
dalam hal ada banding yang belum ada putusannya;
18 Ibid, hlm. 23
34
8) Kewajiban membayar ganti rugi dan denda, jika pekerja
melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik
disengaja atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum,
pekerja wajib membayar ganti rugi dan denda.
b. Hak dan Kewajiban Pengusaha
Hak pengusaha adalah sesuatu yang harus diberikan
kepada pengusaha sebagai konsekuensi adanya pekerja yang
bekerja padanya atau karena kedudukannya sebagai pengusaha.
Adapun hak-hak dari pengusaha yang harus dipenuhi oleh pekerja
adalah sebagai berikut:19
1) Mendapat hasil pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja;
2) Pekerja harus mentaati aturan atau petunjuk pengusaha;
3) Mendapatkan ganti rugi dari pekerja, apabila pekerja melakukan
perbuatan atau merugikan perusahaan;
4) Kewajiban para pihak dalam perjanjian kerja.
Adapun yang menjadi kewajiban pengusaha dengan adanya
hubungan kerja adalah:20
1) Kewajiban membayar upah, dalam hubungan kerja kewajiban
utama bagi pengusaha adalah membayar upah kepada
pekerjanya secara tepat waktu.
2) Kewajiban memberikan istirahat atau cuti, pihak majikan atau
pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat dan cuti
tahunan kepada pekerja secara teratur.
19 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 24 20 Ibid, hlm. 62-64
35
3) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan, majikan atau
pengusaha wajib mengurus perawatan atau pengobatan bagi
pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan. Dalam
perkembangan hukum ketenagakerjaan kewajiban ini tidak
hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah
majikan, tetapi juga bagi pekerja yang tidak bertempat tinggal
dirumah majikan.
4) Kewajiban mamberikan surat keterangan, kewajiban ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 1602a KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa majikan atau pengusaha wajib
memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi
tanda tangan.
5. Pengaturan Mengenai Upah Kerja
a. Pengertian upah
Upah merupakan hak dari pekerja yang diterimanya sebagai
imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Hak untuk
menerima upah itu timbul pada saat dimulainya hubungan kerja
dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Edwin B. Flippo
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan upah adalah harga
untuk jasa yang telah diterima atau diberikan oleh orang lain bagi
kepentingan seseorang atau badan hukum.21
Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan menentukan pengertian upah adalah
21
G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Jakarta: Bina Aksara, 1986, hlm. 93
36
hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-
undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Pasal 1 angka 30 UUK juga memberikan pengertian tentang
upah, yaitu hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk yang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa sesungguhnya upah
dibayarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, namun untuk
menjaga agar jangan sampai upah yang diterima terlampau
rendah, maka pemerintah turut serta dalam menetapkan standar
upah terendah melalui peraturan perundang-undangan yang
dikenal dengan upah minimum.
Eggi Sudjana memberikan pengertian upah dari sudut
pandang ekonomi yakni segala macam bentuk-bentuk penghasilan
yang diterima buruh/pegawai (tenaga kerja), baik berupa uang
37
maupun barang, dalam jangka waktu tertentu pada suatu kegiatan
ekonomi.22
Selanjutnya secara sederhana dapat dikemukakan bahwa
upah dapat diartikan sebagai pembayaran suatu imbalan yang
wujudnya dapat bermacam-macam, yang dilakukan atau diberikan
oleh pemberi kerja terhadap pekerja atas usaha, kerja dan prestasi
kerja atau pelayanan yang dilakukannya.
b. Komponen upah
Pada dasarnya upah harus diberikan dalam bentuk uang
yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Jika
upah ditetapkan dalam mata uang asing, pembayaran akan
dilakukan berdasarkan kurs resmi dari Bank Indonesia pada saat
pembayaran upah. Disamping itu pemberian upah dapat pula
berupa fasilitas, yaitu berupa kenikmatan dalam bentuk nyata yang
diberikan perusahaan kepada pekerja atau karena hal-hal khusus
atau untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, seperti fasilitas
antar jemput atau makan secara cuma-cuma.
Upah dapat dikelompokkan berdasarkan komponen, yang
terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap.
Berdasarkan hal tersebut, imbalan/penghasilan yang diterima oleh
buruh tidak selamanya disebut sebagai upah, karena bisa saja
imbalan tersebut bukan termasuk komponen upah. Surat Edaran
Menteri Tenaga Kerja No. 07/MEN/1990 tentang Pengelompokan
22 Eggi Sudjana, Buruh Menggugat Persfektif Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 89
38
Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah menentukan sebagai
berikut:
1) Termasuk komponen upah adalah:
a) Upah pokok merupakan imbalan dasar yang dibayarkan
kepada buruh menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang
besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian.
b) Tunjangan tetap ialah suatu pembayaran yang teratur
berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap
untuk buruh dan keluarganya yang dibayarkan bersamaan
dengan upah pokok, seperti tunjangan anak, tunjangan
kesehatan, tunjangan perumahan, tunjangan kehamilan,
tunjangan makan, tunjangan transport dapat dimasukkan
dalam tunjangan pokok asalkan tidak dikaitkan dengan
kehadiran buruh, dengan kata lain tunjangan tersebut
diberikan tanpa mengindahkan kehadiran buruh dan
diberikan bersamaan dengan dibayarnya upah pokok.
c) Tunjangan tidak tetap adalah suatu pembayaran yang
secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
buruh dan diberikan secara tidak tetap bagi buruh dan
keluarganya serta dibayarkan tidak bersamaan dengan
pembayaran upah pokok, seperti misalnya tunjangan
transport yang diberikan atas dasar kehadiran.
39
2) Tidak termasuk komponen pokok:
a) Fasilitas merupakan kenikmatan dalam bentuk nyata karena
hal-hal yang bersifat khusus untuk meningkatkan
kesejahteraan buruh, seperti fasilitas kendaraan antar
jemput, pemberian makanan secara cuma-cuma, sarana
ibadah, tempat penitipan bayi, koperasi, kantin dan
sejenisnya.
b) Bonus adalah pembayaran yang diterima buruh dari hasil
keuntungan perusahaan atau karena buruh berprestasi
melebihi target produksi yang normal atau karena
peningkatan produktivitas, yang besarnya diatur
kesepakatan.
c) Tunjangan Hari Raya ialah pendapatan pekerja yang wajib
dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau
keluarganya menjelang hari raya keagamaan yang berupa
uang atau bentuk lain.
Berdasarkan Pasal 96 UUK, bila komponen upah terdiri dari
upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok
sedikit-dikitnya 75% dari jumlah keseluruhan upah pokok dan
tunjangan tetap. Penentuan komponen upah ini perlu sebagai
dasar perhitungan upah untuk membayar upah lembur maupun
pesangon dan penghargaan masa kerja yang mencakup upah
pokok dan tunjangan tetap.
40
Secara umum upah adalah merupakan pendapatan, tetapi
pendapatan tersebut tidak selalu harus upah. Pendapatan dapat
berupa penghasilan lain, misalnya keuntungan dari hasil penjualan
barang yang dipercayakan kepada seseorang yang berupa income.
Upah berdasarkan jenisnya antara lain dapat disebutkan
sebagai berikut:
1) Upah nominal
Upah nominal ialah sejumlah uang yang dibayarkan kepada
para buruh yang berhak sebagai imbalan atas pengerahan jasa-
jasa dan pelayanannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian kerja di bidang industri atau
perusahaan ataupun dalam organisasi kerja, dimana dalam
upah tersebut tidak ada tambahan atau keuntungan lain yang
diberikan kepadanya. Upah nominal ini sering pula disebut
dengan upah uang sehubungan dengan wujudnya yang berupa
uang secara keseluruhan.
2) Upah nyata
Upah nyata ialah upah uang yang nyata benar-benar harus
diterima oleh pekerja. Upah nyata ini ditentukan oleh daya beli
upah tersebut yang akan banyak tergantung dari:
a) Besar atau kecilnya jumlah uang yang diterima;
b) Besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan.
41
Ada kalanya upah diterima dalam wujud uang dan fasilitas,
maka upah nyata yang diterima yaitu jumlah upah uang dan
nilai rupiah dan fasilitas.
3) Upah hidup
Dalam hal ini upah diterima seorang pekerja itu relatif cukup
untuk membiayai keperluan hidup yang lebih luas, yang tidak
hanya kebutuhan pokoknya saja yang dapat dipenuhi melainkan
juga sebagian dari kebutuhan sosial keluarganya. Upah hidup
ini dapat diterima pekerja apabila perusahaan dapat
berkembang dengan baik, sehingga menjadi perusahaan yang
kuat.
4) Upah minimum
Upah minimum dilihat dari segi kemanusiaan, sewajarnyalah
kalau buruh itu mendapatkan penghargaan yang wajar dan/atau
perlindungan yang layak. Dalam hal ini, maka upah minimum
sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup buruh
itu beserta keluarganya, walaupun dalam arti yang serba
sederhana, cost of living perlu diperhatikan dalam penentuan
upah.
5) Upah wajar
Upah wajar dimaksud sebagai upah yang secara relatif
dinilai cukup wajar oleh pengusaha dan para pekerjanya
sebagai imbalan atas jasa-jasa yang diberikan buruh kepada
pengusaha atau perusahaan, sesuai dengan perjanjian kerja
42
diantara mereka. Upah wajar ini sangat bervariasi dan bergerak
antara upah minimum dan upah hidup, yang diperkirakan cukup
untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan pekerja dan
keluarganya.
c. Dasar hukum sistem pengupahan di Indonesia
Perkembangan sistem pengupahan dalam hukum
ketenagakerjaan dapat dilihat dalam UUK secara rinci telah
mengatur ketentuan-ketentuan untuk memperbaiki kondisi
hubungan kerja di Indonesia, terutama dibidang pengupahan yang
diatur pada Bab X Bagian kedua UUK. Sedangkan dalam Undang-
Undang Perburuhan sebelumnya seperti Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1948 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tidak
ada mengatur secara rinci mengenai upah melainkan hanya
memuat hak pekerja untuk mendapat penghasilan yang layak.
Dalam hubungan kerja yang berdasarkan kepada UUK,
berbagai kebijakan dikeluarkan untuk memberikan perlindungan
upah. Dalam UUK menentukan setiap pekerja berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Maksud dari penghidupan yang layak adalah dimana
jumlah pendapatan pekerja dari hasil pekerjaannya mampu untuk
memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar,
yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan,
pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua. Kebutuhan
43
hidup secara wajar ini merupakan peningkatan dari kebutuhan
hidup minimum dan kebutuhan fisik minimum.
Salah satu kebijakan pengupahan yang ditetapkan
pemerintah agar mencapai penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan untuk setiap pekerja adalah ketetapan upah
minimum. Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan
kebutuhan layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi. Maksudnya adalah penetapan upah
minimum harus pula sebanding dengan produktivitas kerja dari
pekerja, sehingga tidak akan menimbulkan reaksi dari pengusaha
yang merasa penetapan upah minimum merupakan perlakuan tidak
adil karena dianggap terlalu berpihak kepada kelompok pekerja
sedangkan bagi pengusaha kebijakan upah minimum tersebut tidak
menguntungkan.
Intervensi pemerintah dalam rangka penetapan upah
minimum merupakan suatu langkah maju dalam sistem
pengupahan di Indonesia. Pada masa lalu dalam hubungan kerja di
Indonesia, upah hanya ditentukan oleh kesepakatan antara
pengusaha dengan pekerja, tanpa adanya campur tangan
pemerintah.
Dalam sistem pengupahan terdapat suatu prinsip no work no
pay, artinya bila buruh tidak bekerja maka upah tidak dibayar. Hal
ini seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi buruh, karena
kadangkala pekerja tidak melakukan pekerjaannya bukan karena
44
keinginan sendiri, tetapi disebabkan hal-hal yang diluar kendalinya.
Oleh karena itu pemerintah menetapkan suatu kebijakan
pengecualian terhadap prinsip no work no pay tersebut.
Pengecualian ini diatur dalam UUK dan PP Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan, dimana buruh tetap berhak menerima upah
dari pengusaha dalam hal sebagai berikut:
1) Jika pekerja sakit, termasuk pekerja perempuan yang sakit pada
hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak bisa
melakukan pekerjaan.
2) Jika pekerja sakit (maksudnya sakit luar biasa, bukan akibat
kecelakaan kerja) terus menerus sampai 12 bulan, maka upah
dibayarkan pengusaha diatur:
100% dari upah untuk 3 bulan pertama
75% dari upah untuk 3 bulan kedua
50% dari upah untuk 3 bulan ketiga
25% dari upah untuk 3 bulan keempat
3) Jika pekerja tidak masuk karena kepentingan khusus:
Pernikahan pekerja sendiri 3 (tiga) hari
Pernikahan anak 2 (tiga) hari
Khitanan atau baptis anak 2 (dua) hari
Istri melahirkan atau keguguran kandungan 2 (dua) hari
Meninggal anggota keluarga (suami/istri, orang tua/mertua,
anak/menantu) 2 (dua) hari
45
4) Jika pekerja menjalankan kewajiban terhadap negara, dalam hal
ini maksimal 1 (satu) tahun.
5) Jika pekerja memenuhi kewajiban agama, maksimal 3 (tiga)
bulan.
6) Jika pekerja tidak bekerja karena kesalahan pengusaha.
7) Jika pekerja melaksanakan hak istirahat.
8) Jika pekerja melaksanakan tugas serikat pekerja atas
persetujuan pengusaha.
9) Jika pekerja melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Pengecualian terhadap prinsip no work no pay ini
merupakan perkembangan dari sistem pengupahan pada
ketentuan Pasal 1602 b KUHPerdata, yaitu semuanya hanya
bergantung pada kebijaksanaan pengusaha saja untuk tetap
membayar upah atau tidak apabila buruh tidak bekerja.
Pengusaha diminta sedapat mungkin menghindarkan untuk
mempekerjakan pekerja lebih dari waktu kerja karena pekerja perlu
mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan
kebugarannya. Namun dalam hal-hal tertentu, apabila terdapat
kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera maka
pekerja yang melebihi waktu kerja diperbolehkan. Bagi pengusaha
yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja (kerja lembur),
hal ini juga berarti penambahan biaya produksi karena upah lembur
jelas lebih besar dari upah biasa. Perusahaan yang
46
mempekerjakan pekerja selama waktu kerja lembur berkewajiban
untuk:23
1) Membayar upah kerja lembur,
2) Memberikan kesempatan untuk istirahat secukupnya, dan
3) Memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1400
kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau
lebih dan tidak boleh digantikan dengan uang.
Upah lembur ialah upah yang diberikan oleh pengusaha
sebagai imbalan kepada pekerja karena telah melakukan pekerjaan
atas permintaan pengusaha yang melebihi dari jam dan hari
kerjanya yang diperjanjikan atau pada hari istirahat minggu, atau
pada hari-hari besar yang telah ditetapkan pemerintah.24
1) Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja, untuk jam kerja
lembur pertama harus dibayar upah sebesar satu setengah kali
upah sejam, dan untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus
dibayar upah sebesar dua kali upah se-jam.
2) Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan
dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja
40 (empat puluh) jam seminggu perhitungan upah kerja lembur
untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar dua kali upah sejam, dan
jam kedelapan dibayar tiga kali upah sejam dan jam lembur
kesembilan dan kesepuluh empat kali upah sejam.
23
Ibid, hlm. 123 24 Ibid, hlm. 122
47
3) Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek,
perhitungan upah lembur lima jam pertama dibayar dua kali
upah sejam, jam keenam tigak kali upah sejam, dan jam lembur
ketujuh dan kedelapan empat kali upah sejam.
4) Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan
dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja lima hari kerja dan
40 (empat puluh) jam seminggu, perhitungan upah lembur untuk
8 (delapan) jam pertama dibayar dua kali upah sejam, jam
kesembilan dibayar tiga kali upah sejam, kesepuluh dan
kesebelas empat kali upah sejam.
Perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan
upah lembur yang nilainya lebih baik dari ketentuan di atas,
perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku.25 Untuk
menetapkan perhitungan upah lembur harus diperhatikan nilai upah
perjam bagi setiap pekerja, dengan formulasi:26
1) Upah sejam bagi pekerja bulanan 1/173 upah bulanan.
2) Upah sejam bagi pekerja harian 3/20 upah sehari.
3) Upah sejam bagi pekerja borongan/satuan hasil kerja 1/7 rata-
rata hasil kerja sehari.
Hukum ketenagakerjaan di Indonesia juga mewajibkan
pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah dengan
memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan
kompetensi, serta melakukan peninjauan upah secara berkala
25 Ibid, hlm. 124 26
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 80
48
dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
Struktur upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah
sampai yang tertinggi. Skala upah adalah nilai nominal upah setiap
kelompok jabatan.27
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai dasar
dalam penyusunan struktur upah adalah:28
1) Struktur organisasi;
2) Rasio perbedaan bobot pekerjaan antar jabatan;
3) Kemampuan perusahaan;
4) Biaya keseluruhan tenaga kerja; dan
5) Upah minimum.
Adapun dasar pertimbangan dalam penyusunan skala upah
adalah:29
1) Tinggi rendahnya jarak antara golongan terendah dan tertinggi;
2) Jumlah jenjang golongan jabatan;
3) Jumlah rasio nilai antar golongan jabatan; dan
4) Kisaran upah terendah dengan tertinggi pada tiap golongan
jabatan.
Ketentuan hukum di bidang pengupahan di Indonesia diatur
dalam UUK dan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
sebagai ketentuan pokok, serta peraturan perundang-undangan
lain yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur
27 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2004, hlm 135 28
Ibid, hlm. 136 29 Ibid
49
tentang pengupahan sebagai ketentuan operasional dan ketentuan
penunjang. Ketentuan hukum tersebut saling melengkapi untuk
memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaksanaan
pengupahan dalam setiap hubungan kerja di Indonesia, karena
hukum itu sendiri bukanlah sekedar kumpulan peraturan-peraturan
yang masing-masing berdiri sendiri. Urgensi suatu peraturan
hukum ialah karena hubungannya yang sistematis dengan
peraturan-peraturan hukum lain.30
Adapun beberapa ketentuan yang penting sehubungan
dengan pengupahan, yaitu:
1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah
minimum (Pasal 90 ayat (1) UUK). Bila pengusaha tidak mampu
membayar upah minimum, maka dapat dilakukan
pertanggungan yang pelaksanaannya diatur menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan
antara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja tidak boleh
lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 91 ayat (1)
UUK).
3) Upah tidak dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan
(Pasal 93 ayat (1) UUK). Tetapi pengusaha wajib membayar
30
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm. 115
50
upah apabila pekerja tidak bekerja dengan alasan-alasan
tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) UUK.
4) Komponen upah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan
tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari
jumlah upah pokok dan tunjangan tetap (Pasal 94 UUK).
5) Tuntutan pembayaran upah pekerja dan segala pembayaran
yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah
melampaui jangka waktu 2 tahun sejak timbulnya hak (Pasal 96
UUK jo. Pasal 30 PP No. 8 Tahun 1981).
6) Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan
diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk
pekerjaan yang sama nilainya (Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1981).
d. Ketentuan hukum pengupahan dalam perjanjian kerja
Ketentuan hukum yang mengatur masalah pengupahan
sangat banyak jumlahnya mulai dari tingkat undang-undang sampai
peraturan daerah. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain:
1) Ketentuan pokok:
a) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
b) Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan.
51
2) Ketentuan operasional pengupahan:
a) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01 Tahun 1999 jo.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
226 Tahun 2000 tentang Upah Minimum.
b) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan.
c) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 49
Tahun 2004 tentang Struktur dan Skala Upah.
d) Peraturan Daerah tentang Penetapan Upah Minimum
Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Propinsi
(UMPS).
Upah dalam unsur suatu perjanjian kerja merupakan hukum
yang harus dilaksanakan oleh para pihak yang memuat perjanjian
kerja tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1338
KUHPerdata, yang menyatakan semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Dengan kata lain bahwa ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, termasuk upah adalah merupakan
undang-undang sebagai ketentuan hukum yang harus
dilaksanakan oleh pekerja dan pengusaha dengan syarat perjanjian
kerja tersebut dibuat secara sah.
Ketentuan hukum pengupahan dapat diatur dalam perjanjian
kerja dan berlaku sebagai ketentuan hukum bagi pihak-pihak yang
membuatnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
52
perundang-undangan. Dalam hal perjanjian kerja tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, perjanjian
tersebut dinyatakan batal demi hukum serta tidak berlaku sebagai
ketentuan hukum bagi pihak-pihak yang membuatnya.
B. Tinjauan Pekerja Freelance
Menurut Wikipedia, freelance (pekerja lepas) adalah seseorang
yang bekerja sendiri dan tidak berkomitmen kepada majikan dalam jangka
panjang tertentu. Freelance merupakan pekerjaan paruh waktu atau
pekerjaan lepas atau istilah yang biasa digunakan untuk orang yang
bekerja sendiri dan tidak harus berkomitmen untuk jangka panjang kepada
perusahaan, owner bisnis maupun pemilik usaha tertentu sehingga
kerjaan sebagai freelance tidak bersifat terikat dengan aturan perusahaan.
Dan orang yang melakukan pekerjaan freelance disebut sebagai
freelancer. 31
Bidang pekerjaan yang paling umum menggunakan pekerja lepas
(freelancer) ini biasanya dalam bidang penjualan (marketing, sales,
SPG/SPB,dll), musik, menulis, pemrograman komputer, desain web,
desain grafis, , fotografi, menerjemahkan /translate, editing dsb.
Praktek pekerja freelance sangat bervariasi. Beberapa memerlukan
klien mereka untuk menandatangani kontrak tertulis, sementara yang lain
dapat melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian lisan, yang mungkin
dilaksanakan melalui sifat pekerjaan tersebut. Beberapa pekerja freelance
31 http://jobsinfopedia.blogspot.co.id/2016/09/pengertian-kerja-sebagai-seorang.html
53
dapat memberikan perkiraan tertulis dari hasil kerja mereka dan meminta
pembayaran di muka dari klien mereka.
Pembayaran untuk pekerjaan freelance juga bervariasi. Pekerja
freelance mungkin mengenakan biaya pada klien mereka dalam hitungan
per hari, per jam, atau pada basis per-proyek. Daripada tarif tetap atau
biaya, beberapa pekerja freelance telah mengadopsi metode "harga
berbasis nilai" berdasarkan persepsi nilai dari yang mereka hasilkan untuk
klien. Dengan perubahan sendiri, pengaturan pembayaran dapat dimuka,
persentase dimuka, atau setelah penyelesaian pekerjaan / kontrak. Untuk
proyek yang lebih kompleks, kontrak dapat menetapkan jadwal
pembayaran berdasarkan tonggak atau hasil proyek.
Cara pembayaran freelance berbeda-beda tergantung kesepakatan
awal dengan klien. Ada yang dihitung per jam, per hari, per halaman,
ataupun per proyek yang sedang dikerjakan. Sistem pembayaran pun
bervariasi. Bisa full di depan, DP 50 persen atau dibayar hingga proyek
selesai. Karena hasil pekerjaan freelance berhubungan dengan hak
kekayaan intelektual, seringkali karya mereka tidak dihitung dengan uang,
melainkan seberapa besar manfaat yang diciptakan.32
Seorang freelancer memang tidak memiliki jaminan yang pasti
mengenai gaji bulanan, asuransi kerja ataupun pensiun karena sifat
pekerjaannya yang tidak mengikat. Akan tetapi, seorang freelancer pun
bisa mendapatkan beberapa keuntungan yang tidak bisa didapat seorang
pekerja tetap. Di antaranya adalah:
32 http://kepenakwae.blogspot.co.id/2013/01/pengertian-freelance.html
54
1. Fleksibilitas waktu: seorang freelancer bisa menentukan sendiri
jam kerjanya selama dia masih bisa memenuhi tenggat waktu
pekerjaan yang diberikan klien.
2. Fleksibilitas tempat: seorang freelancer bisa bebas menentukan
tempat kerjanya sendiri. Dia bisa bekerja dari rumah, di sebuah
kafe atau di pinggir pantai selama dia bisa mendapatkan
sambungan internet untuk mengirimkan hasil pekerjaannya
kepada klien. Oleh sebab ini juga banyak freelancer yang tidak
perlu merasakan terjebak di kemacetan layaknya para pekerja
tetap di kantor.
3. Potensi pendapatan yang jauh lebih besar: seorang freelancer
tidak terikat pada satu klien saja dan bisa mengambil job
(pekerjaan) dari banyak klien sekaligus. Seringkali seorang
freelancer berpengalaman bisa mendapatkan fee sebesar gaji
bulanan seorang pekerja kantoran dari satu klien saja. Maka
kalau dia bisa mengambil dua atau tiga klien sekaligus, otomatis
pendapatannya bisa berkali-kali lipat daripada kalau dia bekerja
di kantor.
4. Potensi mengembangkan jaringan: seorang freelancer bisa
punya kesempatan lebih besar untuk mengembangkan
jaringannya dengan berbagai orang dari berbagai profesi.
Keuntungan terbesar dari memiliki jaringan besar adalah
memiliki banyak kesempatan untuk mendapatkan proyek atau
mencari rekan kerja yang bisa diajak bergabung untuk memulai
55
sebuah usaha atau proyek ke depannya. Hal seperti ini yang
biasanya sulit didapat oleh orang yang hanya bekerja di kantor
sepanjang hari.
C. Landasan Teori
1. Teori Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil, berdasarkan Kamus Bahasa
Indonesia, adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat
sebelah. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap
orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang
lainnya, kapan seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu
keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum di mana
suatu skala keadilan diakui.33
Keadilan menurut Aristoteles dalam karyanya "Nichomachean
ethics”, artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata lain, keadilan adalah
kebajikan yang utama.34 Aristoteles menyatakan "justice consists of
treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their
inequality” (prinsip bahwa yang sama diperlakukan secara sama, dan
yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional).35
Prinsip ini beranjak dari asumsi "untuk hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak
sama, secara proporsional". Aristoteles membagi keadilan menjadi dua
bentuk, pertama keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh
33 Agus Santoso, Hukum, Moral, Dan Keadilan, Jakarta: Kencana, 2014, hlm. 85 34 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008, hlm. 36 35 Ibid.
56
pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan
bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan
proporsional. Kedua, keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin,
mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan
ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan
menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik
korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti atas miliknya
yang hilang.36
2. Teori Pelindungan
Imam Soepomo membagi perlindungan pekerja ini menjadi 3 (tiga)
macam yaitu:
a) Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang
berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada
pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan
sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal
pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu di luar
kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial;
b) Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan
dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan
pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan
prikehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan sebagai
anggota masyarakat dan anggota keluarga; atau yang biasa
disebut kesehatan kerja;
36
Abdul Ghofur Anshari, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006, hlm. 47-48
57
c) Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang
berkaitan dengan usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari
bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-
pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah
atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut
dengan keselamatan kerja.
D. Kerangka Pikir
Dalam penelitian ini dengan judul Tinjauan Yuridis Pekerja
Freelance Berdasarkan Prinsip Keadilan, penulis menitik beratkan pada
dua variabel penelitian yaitu variabel status dan hubungan hukum antara
pengusaha dengan freelance, dan variabel perlindungan hukum terhadap
hak-hak normatif pekerja freelance.
Untuk variabel pertama yaitu status dan hubungan hukum antara
pengusaha dengan freelance, penulis menetapkan indikator-indikator
yang ingin diteliti adalah mengenai status freelance selaku pekerja dan
pelaksanaan hubungan kerja yang merupakan dasar hubungan hukum.
Untuk variabel kedua yaitu perlindungan hukum terhadap hak-hak
normatif freelance, penulis menetapkan perlindungan hukum terhadap
hak-hak normatif tenaga kerja dalam Peraturan Perundang-Undangan
Ketenagakerjaan.
Dari kedua variabel yang ingin diteliti di atas maka output yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah terwujudnya kepastian hukum
bagi tenaga kerja freelance.
58
Tinjauan Yuridis Pekerja Freelance Berdasarkan
Prinsip Keadilan
Status dan Hubungan Hukum
Antara Pengusaha dan
Freelance
- Status
- Pekerja - Bukan Pekerja
- Hubungan Hukum
- Pekerjaan - Upah - Waktu Kerja
Perlindungan Hukum Terhadap
Pekerja Freelance
- Perlindungan Ekonomis
- Perlindungan Sosial
- Perlindungan Teknis
Terwujudnya Keadilan Hukum
Terhadap Hak Dan Kewajiban Pekerja
Freelance
59
E. Defenisi Operasional
1. Pekerja freelance adalah pekerja yang tidak terikat dalam jangka
waktu lama dan tidak memiliki majikan.
2. Status tenaga kerja yang dimaksud adalah kedudukan freelance,
pekerja atau bukan pekerja dalam suatu hubungan dengan
pengusaha.
3. Hubungan kerja adalah hubungan yang menghasilkan hak dan
kewajiban antara pengusaha dengan freelance berdasarkan perjanjian
kerja.
4. Perjanjian Kerja adalah perjanjian yang dibuat oleh pengusaha dengan
freelance yang mencakup hak dan kewajiban para pihak dalam
hubungan hukum antara lain pekerjaan, upah, dan waktu kerja.
5. Perlindungan hukum adalah perlindungan berdasarkan prinsip
keadilan yang diberikan kepada pekerja freelance dan juga merupakan
tujuan yang hendak dicapai dalam hubungan kerja antara pengusaha
dengan pekerja freelance.
6. Perlindungan Ekonomis adalah besarnya upah yang seharusnya
didapatkan freelance agar dapat memenuhi keperluan sehari-hari
baginya beserta keluarganya.
7. Perlindungan Sosial adalah perlindungan terhadap kesehatan kerja
freelance.
8. Perlindungan Teknis adalah perlindungan terhadap keselamatan kerja
freelance dalam melakukan pekerjaannya yang diberikan oleh
pengusaha.
60
9. Keadilan hukum adalah kesesuaian antara hak dan kewajiban yang
harus didapatkan oleh pekerja freelance dalam suatu hubungan kerja
secara proporsional.
61
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan secara yuridis empiris yaitu
mengumpulkan data dengan cara meneliti data sekunder terhadap data
primer di lapangan dan menelaah fakta yang ada sejalan dengan
pengamatan dilapangan kemudian dikaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang terkait karena hukum yang pada
kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam
masyarakat.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Makassar, khususnya pada
beberapa perusahaan, Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kota Makassar.
C. Jenis dan Sumber Data
Untuk mengumpulkan data, maka penulis menggunakan jenis dan
sumber data sebagai berikut:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden
seperti pekerja freelance, pengusaha, Dinas Ketenagakerjaan,
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan, internet dan bahan bacaan lainnya yang memiliki
relevansi dengan masalah yang akan diteliti.
62
D. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja freelance, pengusaha,
data-data dari Dinas Ketenagakerjaan, dan dari Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Kota Makassar.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode
snow-ball sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara
penulis menentukan sampel pertama dan sampel berikutnya didapatkan
dari sampel pertama secara berantai.
Metode snow-ball sampling ini digunakan secara khusus untuk
mendapatkan responden pekerja freelance yang diberikan kewajiban
waktu kerja oleh pengusaha.
E. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat, maka digunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
1. Data primer menggunakan teknik interview, yaitu dilakukan
wawancara langsung dengan mengajukan pertanyaan dan
meminta tanggapan kepada pekerja freelance, pengusaha, Dinas
Ketenagakerjaan Kota Makassar, Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Kota Makassar yang dianggap
dapat memberikan data dan informasi yang akurat sehubungan
dengan masalah yang diteliti.
2. Studi dokumentasi, mempelajari dan mengkaji serta menganalisis
data berupa standar upah minimum, keanggotaan BPJS.
63
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif
analisis bertujuan menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ada atau
realitas dan menggambarkan obyek yang menjadi pokok permasalahan.
64
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Status dan Hubungan Hukum Antara Pengusaha Dengan Freelance
Meningkatnya kebutuhan setiap orang saat ini menuntut mereka
untuk mencari penghasilan yang lebih. Bagi orang yang telah mempunyai
pekerjaan serta memiliki keahlian khusus, mereka menawarkan
keahliannya selaku freelance. Namun bagi orang yang memiliki tingkat
pendidikan rendah, mereka lebih memilih pekerjaan freelance dikarenakan
minim persyaratan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis melalui wawancara
dengan M. Basir37 bahwa :
Freelance adalah orang yang bekerja tanpa kontrak kerja, serta tidak dilindungi dalam UUK.
Adapun menurut Alias Muin38 :
freelance digolongkan dalam pekerja bukan penerima upah yang mendaftarkan dirinya secara mandiri dalam kesertaan jaminan sosial.
Dalam UUK tidak diatur tentang freelance. Namun menurut penulis,
freelance dapat dikategorikan sebagai pekerja berdasarkan Pasal 1 angka
3 UUK yang mengatur bahwa ”pekerja/buruh adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Freelance mendapatkan imbalan berupa komisi dari hasil pekerjaannya,
sehingga fenomena freelance dapat dikategorikan sebagai pekerja
berdasarkan ketentuan tersebut.
37Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan, wawancara dilakukan pada tanggal 17 Juli 2017. 38 Kepala Bidang BPU BPJS Ketenagakerjaan, wawancara dilakukan pada tanggal 18 Juli 2017.
65
Perjanjian kerja yang diatur dalam UUK mensyaratkan harus
memenuhi unsur-unsur yaitu adanya upah, pekerjaan, dan perintah.
Unsur-unsur tersebut harus dipenuhi secara kumulatif, baik untuk
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ataupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu.
Pekerja freelance idealnya bekerja secara mandiri tanpa memiliki
majikan, mereka tidak terikat dalam jangka waktu lama. Freelance tidak
memenuhi unsur-unsur dalam perjanjian kerja yaitu unsur perintah.
Perjanjian yang dibuat antara pekerja freelance dengan kliennya tidaklah
berupa perjanjian kerja tetapi merupakan perjanjian dua pihak, karena
dalam hubungannya freelance dengan kliennya hanya saling memenuhi
prestasi.
Perjanjian dua pihak atau timbal balik adalah suatu perhubungan
hukum harta benda antara dua pihak, yaitu satu pihak berjanji untuk
melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji tersebut. Perjanjian dua pihak tampak adanya prestasi
yang seimbang satu sama lain.
Prakteknya di lapangan, terdapat pengusaha yang mempekerjakan
pekerjanya secara freelance, tetapi diberikan perintah dan tidak ditentukan
kapan berakhirnya hubungan kerja.
66
I. Jenis Pekerjaan Freelance
Nama Perusahaan Bidang Usaha Freelance
Bandaraya Motor Dealer Motor 10
Seram Abadi Motor Dealer Motor 12
Media Grafikajaya Advertising 4
Alika Printing Advertising 2
Masagena Advertising 5
Sumber : Data primer diolah 2017
Menurut Alief Limowa, Kepala Cabang Bandaraya Motor39 bahwa
jenis pekerjaan yang mempekerjakan freelance meliputi usaha tenaga
pemasaran untuk penjualan pada dealer motor sebanyak 10 orang.
Adapun dalam bidang usaha yang sama yaitu di Seram Abadi Motor,
freelance yang dipekerjakan sebanyak 12 orang menurut Meike Tuinesia
selaku pemilik Seram Abadi Motor40.
Bidang usaha Advertising, menurut Abdul Kasim selaku pemilik
Media Grafikajaya41 dan Sitti Sarrah selaku pemilik Masagena42 bahwa
jenis pekerjaan yang mempekerjakan freelance meliputi usaha tenaga
pembantu untuk proses pencetakan sebanyak 4 orang pada Media
Grafikajaya dan 5 orang pada Masagena.
39 Wawancara pada tanggal 25 September 2017. 40 Wawancara pada tanggal 25 September 2017 41
Wawancara pada tanggal 27 September 2017 42 Wawancara pada tanggal 27 September 2017
67
Berbeda dengan freelance yang telah ada di atas, menurut Harun
Saleh, Supervisor Alika Printing Cabang Abdul Daeng Sirua43 bahwa jenis
pekerjaan yang mempekerjakan freelance hanya meliputi bidang jasa
untuk desain grafis sebanyak 2 orang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, freelance yang
dipekerjakan pada bidang advertising terbagi atas 2 jenis yaitu desain
grafis dan freelance tenaga pembantu. Sedangkan pada bidang dealer
motor, freelance dipekerjakan sebagai pemasaran.
Freelance pada desain grafis telah sesuai dengan idealnya pekerja
freelance yang tidak terikat dan tidak memiliki majikan. Hubungan kerja
yang dilakukan kebanyakan melalui media online seperti pada situs
freelance.com. Hubungan hukumnya pun jelas berakhir setelah masing-
masing pihak saling melakukan prestasinya.
Sedangkan freelance tenaga pembantu dan freelance pemasaran
terikat dengan peraturan perusahaan tempatnya bekerja, sehingga
muncul adanya hubungan atasan dan bawahan. Hubungan kerjanya juga
dilakukan secara terus-menerus tanpa ditentukan kapan berakhirnya
hubungan hukum.
Adapun larangan dari pengusaha terhadap freelance pemasaran
yaitu freelance yang bekerja padanya tidak diperbolehkan menjual produk
dari perusahaan lain, apabila freelance menjual produk dari perusahaan
lain maka pengusaha memutuskan hubungan hukum terhadap freelance
43 Wawancara pada tanggal 20 September 2017
68
tersebut. Hal ini jauh dari idealnya seorang freelance yang harusnya
bekerja secara mandiri.
II. Perbandingan Pekerja Kontrak dan Freelance
Nama Perusahaan Bidang
Usaha
Jumlah
Pekerja
Kontrak
Freelance
Bandaraya Motor Dealer Motor 38 10
Seram Abadi Motor Dealer Motor 23 12
Media Grafikajaya Advertising 6 4
Alika Printing Advertising 10 2
Masagena Advertising 2 5
Sumber : Data primer diolah 2017
Pekerja kontrak dipekerjakan untuk bagian operasional kantor
misalnya teknisi, staff dan admin. Jumlah pekerja kontrak pun lebih
banyak dibandingkan freelance. Adapun pada Masagena, freelance lebih
banyak 5 orang dari pekerja kontrak yang hanya berjumlah 2 orang.
Berdasarkan data di atas, jumlah freelance mengisi setengah dari
jumlah pekerja. Dapat dikatakan bahwa tenaga freelance mempunyai
peran penting terhadap perusahaan. Serta freelance merupakan pekerja
terhadap hubungannya dengan pengusaha.
Di dalam konteks hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang
jelas yaitu hubungan hukum privat atau hubungan hukum keperdataan,
yang mengatur hubungan antar orang-perorangan yang didasarkan pada
kontrak kerja atau perjanjian kerja.
69
Hubungan hukum adalah hubungan antar subjek hukum ataupun
antara subjek hukum dengan objek hukum, yang diatur oleh hukum dan
menimbulkan akibat hukum, yaitu hak dan kewajiban44. Setiap hubungan
hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua sisi. Sisi yang
satu ialah hak dan sisi lainnya adalah kewajiban, karena pada hakikatnya
sesuatu pasti ada pasangannya, tidak ada hak tanpa kewajiban atau
sebaliknya. Adanya pemenuhan prestasi yang harus dilaksanakan oleh
kedua belah pihak akan menciptakan keharmonisan ataupun
disharmonisasi dalam hubungan kerja.
Hubungan kerja pada dasarnya adalah hubungan antara kedua
belah pihak, yaitu pengusaha dengan pekerja, dengan suatu perjanjian
dimana pihak pekerja mengikatkan dirinya pada pihak pengusaha untuk
bekerja dengan mendapatkan upah, dan pengusaha menyatakan
kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.
Hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa
seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang
memerintahnya (pengusaha) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah
disepakati. Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal mengenai:
1. Pembuatan perjanjian kerja, yang merupakan titik tolak adanya
hubungan kerja.
2. Kewajiban pekerja, yaitu melakukan pekerjaan sekaligus
merupakan hak dari pengusaha atas pekerjaan tersebut.
44
Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 66
70
3. Kewajiban pengusaha, yaitu membayar upah kepada pekerja
sekaligus merupakan hak dari pekerja atas upah.
4. Berakhirnya hubungan kerja.
5. Cara penyelesaian perselisihan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Hubungan kerja merupakan hubungan saling ketergantungan
antara dua pihak. Di satu sisi pengusaha sangat membutuhkan bantuan
dari freelance dalam operasional usahanya. Sedangkan di sisi freelance,
yaitu memperoleh suatu pekerjaan tertentu yang menghasilkan
pendapatan, yang dapat digunakan untuk menopang kehidupannya dan
demi meningkatkan taraf hidupnya.
Pengusaha berhak menuntut prestasi dari freelance berupa
pekerjaan tertentu atas perintahnya dan sebaliknya, freelance
berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut dengan hak untuk menuntut
imbalan tertentu dari pihak pengusaha.
Hubungan kerja yang dilaksanakan oleh pengusaha dengan
freelance berawal dari hubungan hukum dimana dimulai dengan
perjanjian kerja antara keduanya untuk mengikatkan diri dalam perjanjian
kerja yang disepakati bersama. Perjanjian kerja tersebut harus memuat
syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak, agar ada aturan
yang mengikat satu sama lain.
Hubungan kerja antara pengusaha dengan freelance dilakukan
berdasarkan adanya suatu perjanjian kerja. Perjanjian kerja inilah yang
merupakan hubungan hukum. Hubungan kerja antara pengusaha dengan
71
freelance ada yang diupah berdasarkan satuan hasil. Serta ada juga
pengupahan yang berdasarkan kehadiran.
Tidak adanya aturan hukum yang jelas mengenai pekerja
freelance, mengakibatkan perjanjian kerja antara pengusaha dengan
freelance yang selama ini diterapkan berdasarkan keinginan sepihak dari
pengusaha. Ada yang diarahkan pada ketentuan pekerja borongan atau
pekerja harian/lepas. Namun perjanjian kerja yang dibuat ada yang secara
lisan.
Hubungan kerja melalui perjanjian kerja secara lisan adalah
hubungan kerja tanpa adanya penandatanganan surat perjanjian kerja,
sehingga hubungan kerja tersebut akan mengacu pada peraturan
ketenagakerjaan yang berlaku. Begitu pula halnya mengenai pengaturan
hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam perjanjian kerja lisan
juga mengacu pada peraturan ketenagakerjaan.
Berdasarkan hasil penelitian, menurut Sulianto45 freelance desain
grafis dalam menjalankan pekerjaannya tidak berdasarkan perjanjian kerja
dengan pengusaha, namun berdasarkan perjanjian dua pihak yang telah
disepakati. Freelance dengan pengusaha berada pada pihak yang
sederajat, tidak memiliki majikan. Sehingga tidak memerlukan perjanjian
kerja sebagai dasar hubungan hukumnya.
45 Freelance desain grafis, wawancara dilakukan pada tanggal 27 September 2017.
72
Berbeda dengan freelance pemasaran dan tenaga pembantu,
menurut Robert Lapan46 freelance pemasaran diikat perjanjian kerja tetapi
secara lisan. Serta tunduk pada peraturan perusahaan yang merupakan
perintah dari pengusaha.
Jenis perjanjian kerja yang hanya bisa dilakukan secara lisan yaitu
PKWTT. Berdasarkan Pasal 57 UUK mengatur bahwa PKWT harus dibuat
secara tertulis. Apabila dilakukan secara lisan maka dinyatakan sebagai
PKWTT. Adapun ketentuan Pasal 63 UUK mengatur bahwa dalam hal
PWKTT dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat
pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan.
Surat pengangkatan adalah surat keputusan perusahaan yang
dibuat dan ditandatangani oleh pimpinan atau kuasanya untuk
mengangkat pekerja dalam masa percobaan menjadi pekerja tetap. Selain
merupakan tanda bukti masa kerja pekerja juga sebagai bukti hukum.
Surat pengangkatan tersebut merupakan jaminan hukum terhadap
hak-hak pekerja. Surat pengangkatan berdasarkan Pasal 63 ayat (2) UUK,
sekurang-kurangnya memuat keterangan-keterangan sebagai berikut:
1. Nama dan alamat pekerja;
2. Tanggal pekerja mulai bekerja;
3. Jenis pekerjaan;
4. Besarnya upah.
46 Freelance pemasaran, wawancara dilakukan pada tanggal 26 September 2017.
73
Perjanjian kerja yang dibuat secara lisan serta tidak ada surat
pengangkatan akan dapat menguntungkan pengusaha, yaitu tidak
jelasnya kapan hubungan kerja kedua belah pihak dimulai. Freelance juga
sulit dalam membuktikan kebenaran dirinya sebagai pekerja yang bekerja
pada pengusaha dalam proses penyelesaian perselisihan pemutusan
hubungan kerja di Pengadilan Hubungan Industrial. Freelance juga tidak
mengetahui hak dan kewajibannya dalam menjalani hubungan kerja
dengan pengusaha, sehingga freelance tidak dapat menghindari
larangan/tata tertib yang diberlakukan oleh pengusaha yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja. Bahkan akibat
hukum yang timbul dari putusnya hubungan kerja pun tidak dapat
diketahui oleh freelance.
Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari beberapa
pekerja freelance di kota Makassar, sebagian besar menunjukkan
ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman mengenai tidak adanya
perlindungan hukum yang mereka dapatkan dengan menjadi freelance.
Adapun alasan mereka bekerja sebagai freelance yaitu karena
minimnya persyaratan kerja dan fleksibel yang diberlakukan oleh
pengusaha. Sedangkan alasan pengusaha mengikat pekerjanya dengan
hubungan freelance yaitu untuk mempermudah pekerja dalam
mendapatkan lapangan pekerjaan.
Pengusaha yang membuat perjanjian kerja secara lisan memberi
alasan yaitu karena belum ada peraturan ketenagakerjaan yang mengatur
74
secara jelas mengenai pekerja freelance. Serta hubungan kerja yang
diterapkan lebih mengutamakan sistem kerja kekeluargaan.
Bagi pengusaha yang mengarahkan perjanjian kerja pada
ketentuan pekerja borongan atau pekerja harian/lepas memberi alasan
yaitu karena cara pengupahan yang diberikan kepada freelance sama
dengan yang ditentukan dalam ketentuan pekerja borongan atau pekerja
harian/lepas.
Menurut pendapat penulis alasan-alasan tersebut hanya lebih
mengutamakan kepentingan pihak pengusaha saja, dikarenakan tidak
adanya peraturan yang jelas yang mengatur mengenai hubungan
freelance. Sehingga pengusaha bisa melakukan penyelundupan hukum
terhadap hubungan freelance.
Mengacu pada peraturan perundang-undangan, tanggung jawab
Negara terhadap pekerja di Indonesia pada hakikatnya telah diatur dalam
Undang-undang, antara lain Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang
menentukan bahwa :
"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan."
Selanjutnya pada Pasal 34 ayat (2) :
"Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat sesuai dengan martabat kemanusiaan."
Di dalam UUK mengatur peran pemerintah, yaitu dalam hal
perencanaan tenaga kerja, perluasan kesempatan kerja, pembinaan dan
pengawasan. Peran pemerintah dalam hal ini sesuai dengan fungsinya
yang diatur dalam Pasal 102 ayat (1) UUK, yakni menetapkan kebijakan,
75
memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan serta melakukan
penindakan terhadap segala pelanggaran peraturan ketenagakerjaan.
Permasalahan yang yang masih sering terjadi yaitu belum
optimalnya upaya Pemerintah dalam mengimplementasikan peraturan
perundang-undangan, pengawasannya di lapangan, serta menangani
kasus-kasus ketenagakerjaan di Indonesia.
Ada tiga pihak yang ikut berperan serta dalam penegakan hukum
ketenagakerjaan yaitu pekerja, pengusaha dan pemerintah. Pekerja
menjadi salah satu faktor terlaksananya seluruh aktivitas di segala bidang
kehidupan berbangsa bernegara. Partisipasi pekerja dapat turut
meningkatkan perekonomian sebuah negara, oleh karena itu pemerintah
perlu memberikan perlindungan bagi para pekerja yang juga merupakan
salah satu tujuan dari pembangunan ketenagakerjaan.
B. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Freelance Dalam Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Ditinjau Dari Prinsip Keadilan Dalam Masyarakat Tujuan hukum Ketenagakerjaan adalah melaksanakan keadilan
sosial dalam bidang ketenagakerjaan yang diselengarakan dengan jalan
melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan majikan. Pada dasarnya
Peraturan Perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan berlaku
terhadap semua pekerja tanpa membedakan statusnya.
Kejelasan mengenai pemahaman status freelance masih belum
jelas, khususnya jika dikaitkan dengan pola hubungan kerja yang
menimbulkan hubungan hukum dimana ada pemenuhan hak maupun
76
kewajiban antara freelance dengan pengusaha yang masih belum mampu
memberikan perlindungan hukum.
Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu
mempunyai dua segi yaitu hak dan kewajiban. Tidak ada hak tanpa
kewajiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Hak adalah
kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Hak memberi kenikmatan dan
keleluasaan kepada individu dalam melaksanakannya.47 Sedangkan
kewajiban merupakan norma hukum positif yang memerintahkan perilaku
individu dengan menetapkan sanksi atas perilaku yang sebaliknya.
Hak dan kewajiban bukan merupakan kumpulan peraturan atau
kaidah, melainkan merupakan kewenangan yang diberikan kepada
seseorang oleh hukum.48 Pada dasarnya tidak ada perbedaan bagi semua
bentuk perlindungan hak dan kewajiban pekerja maupun pemberi kerja di
Indonesia.
UUK mengatur tentang hak dan kewajiban seorang pekerja dalam
melaksanakan pekerjaannya, yang berfungsi untuk melindungi dan
membatasi status hak dan kewajiban pekerja dari para pemberi kerja yang
sesuai harkat dan martabat kemanusiaan.
Perjanjian Kerja Harian Lepas diatur dalam pasal 10 sampai
dengan pasal 12 Keputusan Menteri Nomor 100 tahun 2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian Kerja
Harian Lepas ini mengecualikan beberapa ketentuan umum Perjanjian
47 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm. 41-43. 48 Sudikno Mertokusumo, Loc.cit.
77
Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang mana dalam Perjanjian Kerja Harian
Lepas dimuat beberapa syarat antara lain:
1. Perjanjian Kerja Harian Lepas dilaksanakan untuk pekerjaan-
pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume
pekerjaan serta upah di dasarkan pada kehadiran;
2. Perjanjian kerja harian lepas dilakukan dengan ketentuan
pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1
(satu) bulan;
3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja
harian lepas berubah menjadi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak
Tertentu.
Bila merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pada pasal
15 ayat (1) disebutkan bahwa: “Pemberi Kerja secara bertahap wajib
mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan program Jaminan Sosial
yang diikuti”. Pemberi kerja selain penyelenggara Negara apabila tidak
melaksanakan ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada pasal 17 ayat (2) Undang-Undang nomor 24
tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat berupa:
1. teguran tertulis;
2. denda; dan/atau
3. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
78
Berdasarkan hasil penelitian dapat penulis kemukakan bahwa
terdapat bentuk penyelundupan maupun pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh pengusaha terhadap pemenuhan hak-hak normatif para
freelance, diantaranya perlindungan upah, perlindungan jaminan sosial,
serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
1. Perlindungan Upah
Salah satu hak normatif pekerja yang harus dilindungi adalah
upah. Upah merupakan bentuk prestasi dari pengusaha ketika pekerja
tersebut telah memberikan prestasi pula kepada pengusaha berupa
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah dilakukan.
Pasal 1 angka 30 UUK menegaskan bahwa:
"Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan." Seperti diketahui, tujuan orang bekerja adalah untuk
mendapatkan penghasilan atau upah guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Dengan demikian pengupahan merupakan aspek yang
sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap
pekerja/buruh. Mengingat pentingnya peran upah terhadap
perlindungan pekerja/buruh, maka hal ini secara tegas diamanatkan
dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi : setiap pekerja/buruh berhak
79
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
Pada penjelasan dari Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diterangkan, bahwa yang
dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari
hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup
pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan
dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi
dan jaminan hari tua.
Dari hal di atas terlihat, bahwa perlindungan terhadap
kesejahteraan para pekerja/buruh telah diberikan dengan baik oleh
Undang-¬undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
dimana ketentuan upah ini berlaku secara umum yaitu baik terhadap
pekerja/buruh yang diperkerjakan memakai Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) maupun pekerja/buruh yang diperkerjakan memakai
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Prinsip pengupahan yang dipakai oleh Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah :
a. Hak menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja
dan berakhir pada saat hubungan kerja putus;
b. Pengusaha tidak boleh mengadakan diskriminasi upah bagi
pekerja/buruh laki-laki dan pekerja/buruh wanita untuk jenis
pekerjaan yang sama;
80
c. Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan
pekerjaan {Pasal 93 ayat (1)};
d. Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap
dengan fomulasi upah pokok minimal 75% dari jumlah upah
pokok dan tunjangan tetap (Pasal 94);
e. Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala
pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi
kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak (Pasal 96).
Guna lebih memberikan upah yang layak sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, maka pemerintah menetapkan adanya upah
minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 88 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Terhadap upah minimun yang diterapkan, Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membaginya, yaitu
sebagaimana yang diatur pada Pasal 89 ayat (1) yang berbunyi : upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dapat terdiri dari :
a. Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau
kabupaten/kota;
b. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota.
81
Upah minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan
oleh para pengusaha untuk memberikan upah kepada pekerja di
dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1999 Tentang Upah
Minimum, menentukan bahwa upah minimum adalah upah bulanan
terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Upah
ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1
tahun, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur dan berlaku selama 1
tahun berjalan.
Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap,
dimana besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jumlah upah
pokok dan tunjangan tetap. Definisi tunjangan tetap adalah tunjangan
yang pembayarannya dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan
dengan kehadiran atau pencapaian prestasi kerja contohnya tunjangan
jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan komunikasi dan tunjangan
profesi. Berbeda halnya dengan tunjangan makan dan transportasi,
tunjangan itu bersifat tidak tetap karena perhitungannya berdasarkan
kehadiran atau prestasi kerja.
Upah Minimum Kabupaten/Kota adalah upah minimum yang
berlaku di daerah Kabupaten/Kota yang penetapannya harus lebih
besar dari Upah Minimum Propinsi (UMP).
Berdasarkan semua keterangan yang telah dikemukakan di atas
terlihat, bahwa jika dilihat terhadap pengaturan yang ada, perlindungan
82
yang diberikan terhadap semua pekerja/buruh dalam hal pengaturan
pengupahan adalah sama.
Pengusaha belum ada yang melaksanakan ketentuan upah
minimum tersebut terhadap pekerja freelance karena alasan jumlah
income yang diperoleh perusahaan setiap bulannya yang tidak
menentu, sedangkan disatu sisi harus membiayai pengeluaran rutin
setiap bulan yaitu biaya operasional kantor atau usaha. Sehingga
hanya bisa mengikat pekerja dengan hubungan freelance dan
diberikan upah berupa komisi berdasarkan jumlah hasil pekerjaan
yang dihasilkan oleh masing-masing freelance, tanpa tunjangan seperti
konsumsi dan tunjangan transportasi. Cara perhitungan besarnya
komisi oleh pengusaha terhadap freelance, berbeda-beda tergantung
kebijakan setiap pengusaha.
Menurut penulis, hal tersebut kurang tepat karena sudah
menjadi konsekuensi pekerjaan dan bukan merupakan suatu alasan
atau pelepasan kewajiban bagi pengusaha untuk dapat memberikan
upah di bawah minimum yang ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Sebagian besar pekerja freelance merasa upah yang selama ini
diterima sudah sesuai dengan dengan tugas pekerjaan dan cukup
memuaskan, walaupun belum sesuai dengan ketentuan pengupahan.
Penulis berpendapat bahwa pengusaha harus memberikan hak
upah minimum terhadap pekerja freelance, agar pekerja freelance
dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhannya beserta keluarganya,
83
walaupun dalam arti yang serba sederhana, cost of living perlu
diperhatikan dalam penentuan upah.
2. Perlindungan Jaminan Sosial
Dasar hukum kewajiban perusahaan/pengusaha dalam
pelaksanaan program BPJS Ketenagakerjaan adalah Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS. Pasal 15 ayat (1) menyebutkan
bahwa pemberi kerja atau perusahaan secara bertahap wajib
mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta pada program
jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, menentukan bahwa
pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh)
atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah)/bulan, wajib mengikut sertakan tenaga kerjanya dalam program
jaminan sosial tenaga kerja.
Seluruh pengusaha sektor formal maupun informal wajib
mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dan
Kesehatan. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala
Bidang Pemasaran BPJS Ketenagakerjaan Cabang Kota Makassar,
diketahui belum ada pengusaha yang mendaftarkan pekerja dengan
hubungan freelance untuk mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan.
Namun pekerja freelance dimungkinkan mendaftarkan dirinya secara
84
mandiri dalam program BPJS Ketenagakerjaan dengan kategori Bukan
Penerima Upah berdasarkan keterangan dari R . Harry Agung
Cahya49.
Pengusaha tidak mendaftarkan pekerja dengan hubungan
freelance sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, dengan alasan
hubungan yang dilakukan hanya sebatas saling memenuhi prestasi.
Sedangkan menurut pandangan sebagian freelance, program BPJS
Ketenagakerjaan sama pentingnya dengan BPJS Kesehatan, serta
mereka ada yang telah mengikuti asuransi kesehatan swasta. Adapun
alasan lain yang diberikan oleh freelance, yaitu karena belum
memahami tentang BPJS Ketenagakerjaan maupun manfaatnya.
Selain itu, alasan pelayanan BPJS yang selama ini dirasakan
oleh masyarakat dianggap lambat dan berbelit-belit jika dibandingkan
dengan asuransi swasta, walaupun iuran BPJS relatif lebih murah
dibandingkan asuransi swasta, sehingga baik pengusaha maupun
pekerja freelance tidak tertarik untuk mendaftarkan diri sebagai peserta
BPJS Ketenagakerjaan.
Penulis dapat mengatakan bahwa sebagian besar pekerja
freelance belum terdaftar pada program BPJS Ketenagakerjaan
dengan alasan tidak ingin maupun tidak didaftarkan oleh pengusaha.
49
Kepala Bidang Pemasaran BPJS Ketenagakerjaan Kota Makassar, Wawancara dilakukan pada tanggal 18 Juli 2017
85
3. Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja secara filosofi adalah suatu
pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan
baik jasmaniah maupun rokhaniah tenaga kerja pada khususnya dan
manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju
masyarakat adil dan makmur. Segi keilmuan adalah ilmu pengetahuan
dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Dalam bekerja tidak menutup kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja bagi semua pekerja. Untuk itu diperlukan
perlindungan yang jelas bagi setiap pekerja. Meskipun perusahaan
hanya diijinkan mempekerjakan tenaga kerja jika memiliki polis
asuransi yang berlaku untuk memenuhi kewajibannya atas terjadinya
cedera/kecelakaan di tempat kerja bagi semua tenaga kerja, terlepas
dari panjangnya kontrak kerja atau jam kerja. Namun itu saja tidak bisa
dijadikan jaminan perusahaan akan bertanggunjawab penuh apabila
terjadi kecelakaan kerja. Pengertian dari Perlindungan tenaga kerja
adalah perlindungan yang diberikan dalam lingkungan kerja itu sendiri,
dengan jalan memberikan tuntutan, maupun dengan cara
meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, perlindungan fisik
dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui norma yang berlaku. Dari
pengertian tersebut dapat dilihat fungsi perlindungannya sangat
penting. Namun perlindungan hukum terhadap freelance dalam UUK
86
tidak mengaturnya secara jelas, mengingat UUK sendiri tidak
membedakan pekerja penuh maupun pekerja waktu sehingga dalam
undang-undang perlindungan hukum bagi semua pekerja/buruh
diperlakukan sama.
Jika melihat pasal 99 UUK dinyatakan bahwa “setiap pekerja
berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.” Dari kata “setiap
pekerja” dapat diartikan bahwa semua pekerja tanpa kecuali baik
pekerja tersebut pekerja penuh atau paruh waktu, pekerja tetap
maupun sementara berhak menerima jaminan sosial tenaga kerja.
Pengertian jaminan sosial tenaga kerja telah ditentukan dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja pada pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “Jaminan Sosial
Tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam
bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dan
penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayan sebagai akibat
peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa
kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia.”
Upaya keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan untuk
melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktifitas
kerja yang optimal, dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit
akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan,
pengobatan, dan rehabilitasi. Dengan demikian, tujuan peraturan
keselamatan dan kesehatan kerja adalah:50
50
Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, 2003, hlm. 65
87
1. Melindungi pekerja dari resiko kecelakaan kerja.
2. Meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh.
3. Agar pekerja/buruh dan orang-orang di sekitarnya terjamin
keselamatannya.
4. Menjaga agar sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara
aman dan berdaya guna.
Pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja. adalah salah
satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat,
bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan
atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Jadi apabila terjadi kecelakaan kerja terhadap pekerja,
perusahaan wajib memberikan pertanggungjawaban yang sama tanpa
membedakan jenis dari pekerja itu sendiri sesuai dengan peraturan
undang-undang yang berlaku. Pertanggungjawaban yang harus
diberikan oleh perusahaan atas kecelakaan kerja yang dialami kepada
pekerja yaitu bisa berupa jaminan sosial tenaga kerja maupun berupa
santunan kecelakaan kerja.
Santunan kecelakaan kerja adalah santunan yang diberikan
yang diberikan kepada tenaga kerja yang mengalami kecelakaan.
Pemberian santunan/tunjangan juga telah diatur dalam Pedoman
Pembuatan Peraturan Perusahaan (Berdasarkan Instruksi Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga
Kerja No.INS.8/DP/1980, tgl. 16 April 1981) pada pasal 8 ayat 1 dan
88
ayat 2. Pasal 8 ayat 1 dalam pedoman tersebut menyatakan “Apabila
buruh mendapatkan kecelakaan sesuai dengan yang dimaksud dalam
Undang-Undang Kecelakaan Kerja, maka perusahaan akan
memberikan ganti kerugiaan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1951 Tentang Pernyataan Berlakunya
Undang-Undang Kecelakaan Nomor 33 Tahun 1947.” Dan padanya
ayat 2 dijelaskan bahwa “ Macam ganti kerugian seperti yang
dimaksud dalam ayat 1 tersebut diatas berupa biaya pengangkutan
buruh dari tempat kecelakaan ke rumahnya atau ke rumah sakit, biaya
perawatan dan pengobatan, biaya penguburan dan tunjangan
kecelakaan.”
Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem
manajemen perusahaan. Sistem keselamatan dan kesehatan kerja
adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan
yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan,
tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan
bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan
pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam
rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja,
guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.51
51 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, hlm. 82
89
Sebagian besar pengusaha yang mempekerjakan pekerja
freelance, tidak memerhatikan mengenai keselamatan dan kesehatan
kerja, dengan alasan pekerja freelance merupakan pekerja mandiri
yang sendiri dalam melakukan pekerjaannya. Pekerja freelance dapat
melakukan pekerjaannya dimana saja dan kapan saja, tidak ditentukan
oleh pihak pengusaha.
Dilain pihak yaitu pihak pekerja freelance berpendapat bahwa
mereka membutuhkan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja,
karena pekerjaan yang mereka lakukan ialah demi kepentingan
pengusaha.
Menurut pendapat penulis, pengusaha hanya melihat
pencapaian hasil pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja freelance,
tanpa memerhatikan keselamatan dan kesehatan kerja pekerja
freelance dalam menjalankan pekerjaannya.
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Status freelance pada bidang advertising dan dealer motor adalah
pekerja dalam hubungannya dengan pengusaha. Karena terdapat
unsur perintah, pekerjaan, dan upah dalam hubungan hukumnya.
Namun perjanjian yang dibuat hanya dalam bentuk tertulis dan tanpa
surat pengangkatan kerja.
2. Perlindungan hukum terhadap freelance belum sepenuhnya
terlindungi. Kewajiban mereka disamakan dengan pekerja kontrak,
sedangkan hak-hak normatifnya dibedakan seperti hak upah,
kesehatan dan keselamatan kerja. Upah yang diperoleh freelance
hanya berdasarkan satuan waktu atau satuan hasil. Sedangkan
mengenai kesehatan dan keselamatan kerja, freelance yang bertindak
secara mandiri untuk mendaftarkan dirinya pada BPJS
Ketenagakerjaan melalui jalur Bukan Penerima Upah.
B. Saran
1. Penggunaan istilah freelance harus dihapuskan yang kedudukannya
sebagai pekerja serta hubungan hukumnya harus berdasarkan
ketentuan dalam UUK.
2. Berdasarkan prinsip keadilan dari Aristoteles, pengusaha wajib
memberikan hak dan kewajiban terhadap pekerjanya secara
91
proporsional. Memberikan hak yang sama terhadap pekerja yang
diberikan kewajiban yang sama olehnya. Pengusaha hendaknya
menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban dalam hubungannya
dengan freelance, dan wajib memperhatikan ketentuan UUK agar
dapat memberikan perlindungan hukum.
92
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Abdul Khakim, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------------------, 2006, Aspek Hukum Pengupahan Berdasarkan UU
Nomor 13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta. Agus Santoso, 2014, Hukum, Moral, Dan Keadilan, Kencana, Jakarta. Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas
Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta.
Bambang Sunggono, 2005, Metodologi Penelitian Hukum, PT.
RajaGrafindo, Jakarta. Darwin Prinst, 2004, Hukum Perburuhan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung. Eggi Sudjana, 2002, Buruh Menggugat Perspektif Islam, Sinar Grafika,
Jakarta. F. X. Djumialdji, 2010, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika, Jakarta. G. Kartasapoetra, dkk, 1986, Hukum Perburuhan di Indonesia
Berlandaskan Pancasila, Bina Aksara, Jakarta. Hadi Setia Tunggal, 2014, Asas-Asas Hukum Ketenagakerjaan,
Harvarindo, Jakarta. Hardijan Rusli, 2011, Hukum Ketenagakerjaan: Berdasarkan UU No.
13/2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Terkait Lainnya, Ghalia Indonesia, Bogor.
93
Hartono, Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta.
Hidayat Muharam, 2006, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan
Serta Pelaksanaannya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
I Nyoman Putu Budiartha, 2016, Hukum Outsourcing, Setara Press,
Malang. Ikhwan Fahrojih, 2016, Hukum Perburuhan, Setara Press, Malang. Imam Soepomo, 2003, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan,
Jakarta. Lalu Husni, 2010, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta. Libertus Jehani, 2008, Hak-Hak Karyawan Kontrak, Forum Sahabat,
Jakarta. Mohd. Syaufii Syamsuddin, 2004, Norma Perlindungan Dalam Hubungan
Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta. Mokhammad Najih dan Solmin, 2014, Pengantar Hukum Indonesia,
Sejarah, Konsep Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia, Setara Press, Malang.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Sehat Damanik, 2004, Hukum Acara Perburuhan, Dss Publising, Jakarta. Sendjun H. Manulang, 1988, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di
Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta. Zaeni Asyhadie, 2015, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja, Rajawali Pers, Jakarta. Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta. Zainal Asikin, 2010, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers,
Jakarta.
94
----------------, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
B. Perundang-Undangan
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1981 Tentang Wajib
Lapor Ketenagakerjaan Di Perusahaan.
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. PER-
01/MEN/1999 Tahun 1999 Tentang Upah Minimum sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia No. KEP-226/MEN/2000 Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1953 Tentang
Kewajiban Melaporkan Perusahaan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan.
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Pengaturan, Perlindungan Dan Jasa Pelayanan Ketenagakerjaan Dalam
Wilayah Kota Makassar.
95
Surat Keputusan
Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 2500/XI/Tahun 2015
Tentang Penetapan Upah Minimum Kota Makassar Tahun 2016.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-
100/Men/Vi/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu
Internet
http://kepenakwae.blogspot.co.id/2013/01/pengertian-freelance.html
http://jobsinfopedia.blogspot.co.id/2016/09/pengertian-kerja-sebagai-seorang.html
http://en.m.wikipedia.org/wiki/Freelancer