Post on 14-Nov-2021
SUNTINGAN TEKS SULUK PURWADUKSINA
Alfiyatun Rokhmah dan Murni Widyastuti
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
Depok, 64124, Indonesia
Email:alfiyatun.rokhmah17@gmail.com
Abstrak Skripsi ini menyajikan suntingan teks Suluk Purwaduksina PW. 117 koleksi FSUI yang sekarang tersimpan di ruang koleksi naskah Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Naskah ini bercerita tentang pengenalan ajaran agama Islam yang dituangkan dalam tanya jawab antara Rara Sujinah dengan Purwaduksina. Naskah ini termasuk dalam jenis naskah piwulang. Naskah berbentuk macapat yang ditulis dengan bahasa Jawa dan aksara Jawa Baru. Metode penelitian yang digunakan adalah metode filologi berdasarkan satu naskah dengan suntingan teks edisi kritis.
Kata Kunci: Suluk Purwaduksina, suntingan teks, naskah, suluk, piwulang
Abstract
This thesis presents text editing of Suluk Purwaduksina collection of FSUI which registered in University of Indonesia’s Central Library, and collection number is PW. 117. The manuscript tells about introduction of Islamic lesson described in dialogue between Rara Sujinah with Purwaduksina. Suluk Purwaduksina is piwulang text which is included as macapat’s form and written in Javanese language. Method used in this research is philological studies based on one manuscript and completed by critical edition.
Keyword: Suluk Purwaduksina, text editing, manuscript, suluk, piwulang
Pendahuluan
Kepulauan Nusantara yang terletak di kawasan Asia Tenggara sejak kurun waktu
yang cukup lama memiliki peradaban dan kebudayaan tinggi dari waktu ke waktu mengalami
perubahan. Di antara warisan peninggalan itu terdapat, antara lain naskah-naskah klasik.
Kebudayaan Indonesia yang dikenal sekarang merupakan penjelmaan dari perkembangan
kebudayaan Nusantara yang diwarnai oleh nilai-nilai agama yang pernah ada, seperti agama
Hindu, Budha, Kristen, dan Islam (Nabilah, 1996).
Naskah-naskah di Nusantara mengandung isi yang sangat kaya. Kekayaan itu
ditunjukkan dari aneka ragam aspek kehidupan yang dikemukakan dalam teksnya, misalnya
masalah sosial, politik, ekonomi, agama, kebudayaan, bahasa, dan sastra. Apabila dilihat dari
sifat pengungkapannya, dapat dikatakan kebanyakan isinya mengacu kepada sifat-sifat
historis, didaktis, religius, dan belletri (Barried, 1985:4).
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
Pigeaud (1967: 2) mengelompokkan teks-teks dalam naskah Jawa menjadi empat,
yaitu; 1. Religi dan Etika, termasuk di dalamnya adalah naskah-naskah yang mengandung
unsur-unsur Hinduisme, Budhaisme, Islam, ramalan, dan sastra wulang; 2. Sejarah dan
Mitologi; 3. Belle-letters; dan 4. Hukum, foklor, kesenian, dan kemanusiaan.
Berdasarkan pembagian tersebut di atas, peneliti mencoba mengkaji naskah Jawa
yang termasuk dalam kelompok pertama, yaitu karya sastra wulang yang berupa suluk.
Menurut pendapat Simuh (1988: 3), suluk merupakan kesusasteraan Jawa yang
mengungkapkan perpaduan (sinkretisme) antara ajaran mistik1 Islam dengan tradisi Kejawen
warisan Jawa-Hindu.
Naskah suluk yang akan diteliti adalah Suluk Purwaduksina koleksi FSUI yang
sekarang tersimpan di ruang koleksi naskah Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Katalog Naskah Fakultas Sastra Universitas
Indonesia Jilid 3B (Behrend dan Pudjiastuti, 1997), naskah Suluk Purwaduksina ini berkisah
tentang seorang puteri sebatang kara bernama Rara Sujinah yang berasal dari Mekah. Banyak
yang ingin melamarnya, namun selalu ditolaknya karena pelamar-pelamar itu tidak bisa
menjawab pertanyaan Rara Sujinah yang berkaitan dengan agama dan mistik Islam. Hingga
datang seorang pendeta dari Jawa bernama Purwaduksina berhasil menjawabnya dan
kemudian mereka menikah.
Naskah Suluk Purwaduksina ini merupakan naskah koleksi FSUI bernomor koleksi
PW.117. Naskah berbahasa Jawa dan ditulis dengan menggunakan aksara Jawa. Naskah
tersebut memiliki ketebalan 124 halaman. Naskah berbentuk macapat2 yang dibangun oleh
10 pupuh3, dengan setiap pupuhnya terdiri atas beberapa pada4, yaitu (1) Dandanggula-31, (2)
Asmarandana-59, (3) Sinom-13, (4) Pucung-57, (5) Dandanggula-27, (6) Asmarandana-32, (7)
Durma-29, (8) Pangkur-23, (9) Mijil-21, (10) Gambuh-3.
1 Dalam Suluk Sujinah (Mintosih, 1992: 4), mistik menurut Ensiklopesi umum (1973: 837) disebut sebagai menyatukan jiwa dengan Tuhan, dan mistisme merupakan kepercayaan yang meyakini adanya hubungan batin antara manusia dengan Tuhannya. Jika itu dapat dilakukan, maka lenyaplah sifat kemanusiaannya. 2 Macapat adalah suatu bentuk puisi Jawa yang menggunakan bahasa Jawa baru, diikat oleh persajakan yang meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu (Karsono, 2010: 13). 3 Pengertian pupuh adalah bagian dari suatu karangan berbentuk puisi, dapat disamakan dengan bab. Pupuh biasanya dikaitkan dengan nama pola metrum yang digunakan untuk membingkai wacana (Karsono, 2010: 12).4Pada dalam macapat dapat disamakan dengan bait. Dalam Baoesastra Djawa (Poewadarminta, 1939: 454), pada merupakan tanda dalam aksara Jawa yang digunakan untuk menandai berdirinya kalimat atau pembuka paragraf.
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari katalog, naskah Suluk Purwaduksina ini
berisi teks mengenai pengenalan agama Islam yang dituangkan dalam tanya jawab antara
Rara Sujinah dengan Purwaduksina. Dalam katalog disebutkan bahwa, dalam naskah tersebut
terdapat kolofon yang menyebutkan tanggal 13 Ruwah, Alip 1819 H (4 April 1890 M)
sebagai tahun penulisan naskah.
Naskah Suluk Purwaduksina bernomor PW.117 koleksi FSUI ini merupakan naskah
yang berisi teks Suluk Purwaduksina utuh atau bukan bagian dari naskah yang lain. Teks
Suluk Purwaduksina dalam katalog-katalog yang ada kebanyakan merupakan bagian dari
kumpulan naskah suluk di bawah judul Suluk Warni-warni (YKM/W. 317, Lor 4001 (4), Lor
8622a/B) atau di bawah judul Serat Kaklempakan (YKM/W.315, W.321), dan naskah
berjudul Serat Suluk Purwaduksina (MSB/P.188) memuat bermacam-macam teks piwulang
serta suluk, antara lain Suluk Purwaduksina, Serat Lokajaya, Serat Seh Malaya, dan teks-teks
lain.
Berdasarkan pengelompokkan jenis naskah oleh Pigeaud, naskah suluk termasuk
dalam kelompok pertama, yakni naskah yang berisi teks religius dan etika yang merupakan
salah satu jenis sastra wulang. Dalam Katalog Naskah Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Jilid 3B (Behrend dan Pudjiastuti, 1997), naskah ini termasuk dalam kategori naskah PW
(Piwulang). Secara umun teks wulang5 berisi tentang ajaran sosial kemasyarakatan, nasihat-
nasihat, dan petuah-petuah baik.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menyajikan suntingan teks Suluk Purwaduksina,
agar masyarakat luas dapat mengetahui ajaran-ajaran yang terkandung dalam naskah tersebut,
terutama ajaran mengenai agama dan mistik Islam yang berpadu dengan tradisi Kejawen
warisan Jawa-Hindu. Mengingat dewasa ini sudah jarang yang dapat membaca aksara Jawa.
Penggarapan naskah dilakukan dengan langkah kerja filologi.
Metode Penelitian
Penelitian terhadap naskah Suluk Purwaduksina ini dikerjakan dengan menggunakan
langkah kerja filologi. Karsono (2008: 81-104) menjelaskan langkah-langkah kerja dalam
penelitian filologi, yakni:
1. Inventarisasi Naskah
5Wulang ‘ajaran’, bhs. Jawa ‘pitutur’. W.J.S. Poewadarminta, Baoesastra Djawa, (Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij, 1939), hlm. 667.
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
Menurut Baried (1985: 67), inventarisasi naskah adalah pengumpulan dan pencatatan
naskah yang berjudul sama atau berisi cerita yang sama dari berbagai katalog naskah
yang terdapat di perpustakaan. Kegiatan ini bertujuan untuk mencari tahu hubungan
antara naskah satu dengan naskah lainnya.
2. Deskripsi Naskah
Menurut Karsono (2008: 82), deskripsi naskah adalah mengumpulkan informasi yang
berkaitan dengan fisik naskah yang menjadi objek penelitian. Guna memudahkan
tahap pemilihan naskah suntingan, Edwar Djamaris (2002: 11) menjelaskan bahwa,
semua naskah dideskripsikan dengan pola yang sama, yaitu nomor naskah, ukuran
naskah, keadaan naskah, tulisan naskah, bahasa, dan kolofon.
3. Penentuan Teks yang Disunting
Menurut Karsono (2008: 89), pemilihan naskah yang akan disunting disesuaikan
dengan tujuan penelitian dan metode kerja apa yang akan digunakan dalam penelitian.
Kriteria pemilihan teks yang akan disunting didasarkan pada keutuhan dan
kemandirian teks. Pengertian keutuhan adalah teks lengkap secara naratif, tidak
terpotong, hilang, atau bukan bagian dari jilid-jilid lain yang sebagiannya hilang,
sedangkan pengertian kemandirian teks adalah teks tidak tergantung pada teks yang
lain. Kriteria lain yang seringkali dijadikan tolak ukur adalah keberadaan fisik naskah
yang masih baik, terbaca, dan sedang tidak berada dalam kondisi perawatan, sehingga
tidak memungkinkan untuk diteliti.
4. Pertanggungjawaban Alihaksara
Menurut Karsono (2008: 89), pertanggungjawaban alihaksara diperlukan dalam setiap
melakukan suntingan suatu naskah, mengingat sistem tanda baca yang digunakan
dalam aksara Jawa memiliki perbedaan dengan aksara Latin, serta dalam tradisi tulis
naskah sering ditemukan kesalahan-kesalahan penulisan.
5. Kritik Teks
Kritik teks merupakan suatu usaha untuk mengembalikan teks ke bentuk aslinya
sebagaimana diciptakan oleh penciptanya dengan menggunakan berbagai metode dan
penggarapan. Menurut Robson (1978: 41), tujuan kritik teks ialah memperbaiki
kesalahan yang terjadi agar seluruh informasi dapat tersampaikan.
6. Rekonstruksi Teks dan Penyuntingan
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
Rekonstruksi teks dan penyuntingan, yakni penyuntingan bacaan-bacaan yang salah
secara bertahap sambil melakukan emendasi6. Penyuntingan bacaan dapat didasarkan
menurut bacaan yang benar pada naskah-naskah lain atau didasarkan menurut
pengetahuan dari sumber lain, sehingga dapat mendekati bacaan asli. Dalam
penelitian ini, rekonstruksi teks dan penyuntingan didasarkan pada kamus Baoesastra
Djawa karangan Porwadarminta (1939) dan Bausastra Jawa terbitan Balai Bahasa
Yogyakarta (2011).
Metode Suntingan Teks
Metode filologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah edisi berdasarkan satu
naskah, yakni naskah Suluk Purwaduksina PW.117 koleksi FSUI, dengan metode suntingan
teks edisi kritis atau standar.
Menurut pendapat Robson (1994: 24-25), suntingan teks edisi kritis atau edisi standar
merupakan usaha penerbitan naskah dengan membetulkan berbagai kesalahan yang bersifat
tekstual atau yang berkenaan dengan interpretasi dan dengan demikian terbebas dari kesulitan
mengerti isinya. Edisi kritis memberikan kesempatan pada penyunting untuk
mengidentifikasi masalah dalam teks dan menawarkan jalan keluar.7
Pada penelitian ini perbaikan pada suntingan teks mengacu pada teori Robson (1994:
24), yakni menggunakan alternatif pertama seperti yang dijelaskan dalam catatan kaki nomor
8. Akan tetapi, karena pada penelitian ini hanya menggunakan satu naskah, maka istilah
aparatus kritis tidak digunakan, sehingga diganti dengan menggunakan footnote (catatan kaki)
yang memberikan informasi di luar teks atau menyerankan sumber bacaan yang lebih baik.
Hasil Penelitian
Inventarisasi Naskah
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, yakni
dengan menggunakan sumber data dari beberapa katalog naskah yang terdapat di ruang
koleksi naskah Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia. Setelah dilakukan studi
6 Perubahan yang bersifat perbaikan pada naskah atau teks (KBBI, 1990: 227).
Menurut Karsono (2008: 100-101), emendasi merupakan perbaikan bacaan yang dilakukan berdasar keadaan korpus teks dan metode kerja yang dipilih, sehingga emendasi berkemungkinan didasarkan atas intuisi peneliti atau atau dari perbandingan atas varian bacaan yang ada.
7Ada dua alternatif, pertama, apabila penyunting merasa bahwa ada kesalahan dalam teks tersebut, ia dapat memeberikan tanda aparatus kritis untuk menyarankan bacaan yang lebih baik. Kedua, pada tempat-tempat tersebut penyunting dapat memasukkan koreksi ke dalam teks tersebut dengan tanda yang jelas yang mengacu pada aparatus kritis, yang pada bagian ini bacaan asli akan didaftar dan ditandai sabagai “naskah” (Robson, 1994: 25).
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
kepustakaan melalui beberapa katalog, ditemukan naskah yang satu korpus dengan naskah
Suluk Purwaduksina yang tersimpan di berbagai tempat, antara lain di Perpustakaan Pusat
Universitas Indonesia, Museum Sono Budoyo Yogyakarta, Keraton Mangkunagaran
Surakarta, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Berikut adalah tabel inventarisasi naskah Suluk Purwaduksina.
Koleksi
Fakultas Sastra
Universitas
Indonesia
Museum
Sonobudoyo
Yogyakarta
Keraton
Mangkunagaran
Perpustakaan
Nasional
Republik
Indonesia
Nomor
Koleksi PW.117/NR 62
P 188/PB
A.21 MN 306.1/A 85 Br 52
Judul Suluk
Purwaduksina
Serat Suluk
Purwaduksina
Suluk
Purwaduksina
Wawacan
Suluk
Purwadaksina
Jml.
Hlm. 124 303 - 17
Jml.
Baris/
Hlm.
21 / 11 - - 14
Bentuk Macapat Macapat Macapat Macapat
Bahasa Jawa Jawa Jawa Jawa
Aksara Jawa Jawa Jawa Pegon
Alas
Tulis Buku Tulis - - Kertas Eropa
Ukuran
Kertas 20 x 16,5 cm - - 16, 5 x 21 cm
Nomor
Rol 215.02 100 No.9 - 38.2
Pemilihan Naskah Suntingan
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
Berdasarkan data inventarisasi yang diperoleh dari katalog, penulis memutuskan
untuk menggunakan Suluk Purwaduksina PW.117 koleksi FSUI yang tersimpan di ruang
naskah Perpustakaan Pusat Universitas sebagai bahan suntingan. Naskah tersebut merupakan
naskah yang berisi teks Suluk Purwaduksina yang utuh, yakni bukan bagian dari naskah yang
lain. Keadaan naskah masih baik, tulisan jelas dan mudah dibaca, isi teks lengkap, serta
memiliki kolofon. Keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa naskah Serat
Suluk Purwaduksina (P 188/PB A.21) koleksi Museum Sono Budoyo berisi bermacam-
macam teks suluk, serta mempertimbangkan keterbatasan waktu dan keuangan. Demikian
juga dengan naskah Suluk Purwaduksina (MN 306.1/A 85). Naskah Wawacan Suluk
Purwadaksina (Br 52) disisihkan karena naskah ini merupakan ringkasan cerita yang terlihat
dari judul naskah Wawacan Suluk Purwadaksina.
Deskripsi Naskah Suluk Purwaduksina PW.117
Naskah Suluk Purwaduksina PW.117 yang merupakan naskah koleksi FSUI (Fakultas
Sastra Universitas Indonesia) yang sekarang menjadi FIB UI (Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia) ini telah dimikrofilmkan dengan nomor koleksi Rol 215.02.
Naskah Suluk Purwaduksina PW.117 bersampul kertas karton yang dilapisi kain berwarna
ungu dan pada sampul bagian dalam dilapisi kertas berwarna putih berukuran 16 x 20 cm.
Pada sampul bagian dalam terdapat tulisan dengan aksara Jawa berbunyi, ”Punika serat suluk
Purwaduksina, pethikan saking kitab martabat pitu”, kemudian di bawahnya terdapat tulisan
beraksara Latin yang bertuliskan, “Ini Soerat Soeloek Poerwa, doeksina pethikan dari kitab
martabat.” Pada sampul luar terdapat kertas putih berbingkai garis hitam berukuran 9,5 x 7,1
cm yang bertuliskan “Punika Serat Suluk Purwaduksina...”8. Tulisan tersebut ditulis dengan
aksara Latin. Sampul naskah berukuran 16,5 x 20,4 cm, dengan ketebalan punggung naskah
yang berukuran 1,6 cm. Pada punggung naskah terdapat kertas putih berukuran 7,3 x 4 cm
yang bertuliskan THP.62 Soeloek Poerwadoeksina PW.117 NR 62 yang merupakan nomor
koleksi dan kode naskah.
Naskah Suluk Purwaduksina PW. 117 mempunyai kolofon berupa sengkalan “Trustha
Condra Murtengrat” yang tertulis pada pupuh I pada 2 yang konvensinya sama dengan tahun
1819 atau tahun Alip 1819 H (4 April 1890 M). Tahun tersebut merupakan tahun ditulisnya
naskah.
8 Kelanjutan teks tidak terbaca karena kertasnya berlubang.
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
Secara umum kondisi fisik naskah dalam keadaan baik. Hal ini terlihat dari sampul
depan dan belakang naskah yang masih bagus, serta penjilidan naskah yang masih baik,
meskipun pada bagian dalam naskah ada beberapa halaman kertas yang terlepas dari
penjilidannya. Teks naskah ditulis dengan menggunakan aksara Jawa yang masih terbaca
jelas. Ukuran huruf dalam naskah termasuk sedang dengan gaya penulisan yang agak miring
ke kanan.
Alas tulis naskah adalah kertas bergaris yang berukuran 16 x 20 cm dengan jumlah
garis 23 baris. Alas tulis naskah berwarna putih yang sudah terlihat kecoklatan. Penulisan
teks dalam naskah menggunakan tinta berwarna hitam. Penomoran halaman menggunakan
angka Arab.
Pada halaman 112 hanya terdapat satu baris teks sambungan dari halaman
sebelumnya yang merupakan bagian penutup dari cerita teks Suluk Purwaduksina PW. 117.
Pada halaman 113 terdapat tulisan beraksara Jawa yang berdasarkan informasi dari katalog
merupakan mantra untuk mengambil kembang Wijaya Kusuma. Tulisan tersebut terdiri atas 9
baris dengan tulisan yang susah dibaca karena tinta yang kurang tebal dan huruf yang tidak
jelas. Berikut alih aksara dari teks tersebut,
// Ingsun angambil kembang jaya kusuma / esuk anom sore anom / kembang putra megar ana dasa / tan kasekti kaya keh / dak dohi kaya lintang / ya ingsun kembang jaya kusuma / pethikan saking damelanipun Bagus Tunirman / kaolipun Mas Gusti Allah amajangaken / manawi wonten tiyang mangangge payungan papah godhong gedhang / samongsa kabuwak kapendeta / lajeng kangge lambaran tilem / dipun{...} keparenga ingkang dadonga panuwun kula //
Terjemahan:
‘Saya mengambil bunga jaya kusuma. Pagi muda, sore muda. Ada sepuluh bunga putra yang mekar. Tidak sakti seperti yang lainnya. Tidak jauh seperti bintang. Iya, saya lah bunga jaya kusuma. Dipetik dari karya Bagus Tunirman. Mengutamakan firman Tuhan. Apabila ada orang yang berpayung pelepah daun pisang, ketika dibuang, ambillah untuk alas tidur. {...} izinkan saya berdoa permohonan saya.’
Pada halaman 120 terdapat tulisan beraksara latin pada baris ke 6 yang berbunyi,
“Ini soerat jang poenja R. Panewoe Pronodikoro. Hambanja Sri Padoeka djadi Panewoe Panoekawan seketaris kapilih, di Soerakarta”.
Terjemahan:
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
‘Ini surat yang punya R. Panewu Pronodikoro. Hambanya sri paduka yang terpilih menjadi abdi sekertaris di Surakarta.’
Pertanggungjawaban Alih Aksara
Alih aksara atau transliterai didefinisikan sebagai pemindahan dari satu tulisan ke
tulisan yang lain (Robson, 1994: 24). Baried (1985: 65) mendefinisikan bahwa, transliterasi
merupakan penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang
lainnya. Transliterasi sangat penting untuk memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis
dengan huruf daerah, mengingat dewasa ini banyak orang yang sudah tidak mengenal atau
tidak akrab lagi dengan tulisan daerah.
Dalam melakukan transliterasi diperlukan pedoman yang berhubungan dengan
pembagian kata, ejaan, dan pungtuasi9 (Baried, 1985: 65). Dalam transliterasi naskah Suluk
Purwaduksina PW. 117 dari aksara Jawa ke aksara Latin, penulis menggunakan suntingan
teks edisi standar dengan pedoman alih aksara sebagai berikut.
1. Ejaan, ejaan penulisan kata-kata pada alih aksara menggunakan Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin Yang Disempurnakan terbitan Balai Bahasa
Yogyakarta (2011) dan Pedoman Penulisan Aksara Jawa terbitan Yayasan Pustaka
Nusatama (2002), dengan penulisan kata-kata alih aksara yang didasarkan pada
kamus Baoesastra Djawa karangan Porwadarminta (1939) dan Bausastra Jawa
terbitan Balai Bahasa Yogyakarta (2011).
2. Perangkapan konsonan dalam sebuah kata bisa terjadi pada fonem yang sama atau
pada fonem yang terletak pada satu daerah artikulasi seperti /ny/ dengan /c/ atau /j/, /t/
dengan /d/, /p/ dengan /b/. Pengalihaksaraan perangkapan huruf pada naskah
disesuaikan dengan ejaan bahasa Jawa yang disempurnakan, yakni hanya
menggunakan satu huruf saja. Contoh dalam naskah: ‘lapalle’ (Pupuh
I, pada 2) dialihaksarakan lapale.
3. Tidak ada perbedaan dalam penulisan alih aksara pepet dan taling, yakni ditulis
dengan /e/. Contoh dalam naskah: wontěn dialihaksarakan
9Robson (1978: 33) menjelaskan ada dua macam pungtuasi: (1) tanda-tanda baca, (2) tanda-tanda metrum. Fungsi tanda-tanda baca ialah menandai pembagian antara kalimat dan di dalam kalimat; tanda-tanda metrum menunjukkan pembagian puisi, yakni baris, bait, dan pupuh.
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
wonten, soré dialihaksarakan sore, dan sakèh
dialihaksarakan sakeh.
4. Penggunaan footnote, footnote pada suntingan teks merupakan alternatif yang
diberikan untuk menyarankan bacaan yang lebih baik apabila terdapat kesalahan pada
teks serta catatan mengenai penambahan informasi yang diperoleh dari sumber lain di
luar teks yang perlu ditambahkan.
5. Tanda-tanda yang digunakan dalam suntingan teks naskah Suluk Purwaduksina PW.
117 antara lain:
§ Penanda awal-akhir pupuh ditandai dengan: //0//
§ Penanda awal-akhir bait ditandai dengan: //
§ Penanda awal-akhir baris ditandai dengan: /
§ Angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya pada awal bait menandakan nomor urut
bait dalam satu pupuh.
§ Tanda (...) digunakan untuk koreksi penambahan fonem atau kata pada
bacaan.
§ Tanda [...] digunakan untuk koreksi pengurangan fonem atau kata pada
bacaan.
§ Tanda {...} merupakan tanda hilangnya kata atau kalimat dalam
pengalihaksaraan yang disebabkan karena tidak terbacanya naskah atau
kerusakan pada naskah.
§ Tanda #halaman# digunakan untuk menandai pergantian halaman pada
suntingan. Contoh: Sabab datan #2# saget jarwani ( pupuh 1 halaman 2 baris
1).
§ Tanda Hubung (-), digunakan untuk penulisan reduplikasi. Contoh: kembang-
kembang, urut-urutanipun, abang-abang, dan lain-lain.
Alih Aksara dan Suntingan Teks
Berikut disajikan salah satu pupuh hasil suntingan naskah Suluk Purwaduksina PW.
117 yakni pupuh keempat.
//0// Sekar Pocung //0//
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
1. // Dhuh sang wiku asanget panuwun ulunya / sakehing pamejang / datan wonten
ingkang sisip / lamun tisna dasihe nyuwun jinarwan //
2. // Mung wolung bab tuwaning panuwun ulun / maskawining Allah / lan Mukamat10
kadi pundi / ping kaliye aras lan kursinipunika //
3. // Kaping tiga maskawin rina lan dalu / ping pat mas kawin / ting #34# lintang
kalawan ngilmi / kaping gangsal mas kawin lanang wanodya //
4. // Kaping nenem mas kawin wulan myang samsu / ingkang kaping sapta / mas
kawining bumi langit / kaping wolu mas kawin swarga naraka //
5. // Mung puniku / pangeran panuwun ulun / amba terangana / wijangna satunggiling
tunggil / sang pandhita amesem sarwi ngandika //
6. // Dhuh wong ngayu / patut dadi garwaningsun / kuninge sumringah / cahyane #35#
lir taru keksi / kapuk manis manise semu jetmika //
7. // Rungokena wong ngayu pamedharingsun / maskawining Allah / lan Mukamat iku
yayi / patemone nur Allah / lan uripira //
8. // Maskawine aras lan kursi puniku / patemoning rasa / lan cahya Mukhamat jati /
ana dene maskawin estri lan priya //
9. // Patemone jasat lan nyawa puniku / anunggale mirah / patemone #36# aras lan
kursi / patomoning babalung lan sungsumira //
10. // Rasa su[k]ci iya kalawan nyurbanyu / maskawining lintang / kalawan ngelmu ta
yayi / sajatine gih puniku gait dunya //
11. // Patemone ing daging lan rah puniku / nyata osikira / aneng jroning kalbu yayi /
maskawine langit kalawan bantala //
12. // Patemone sirolah lan utek iku / dalu lawan siyang / patemone netra yayi / #37#
putihira lan ireng ngirenging netra //
13. // Iya ruknyat puniku sajatosipun / patemon kawula / lawan Gusthine puniki / campuh
setiya lawa(n) pangrasanya //
14. // Maskawining swarga lan nraka iku / patemone mirah / ing budi lan nepsu yayi /
panunggale ameruhi dhirinira //
15. // Ananipun kang becik lan ala iku / kalamun wus menang / si becik lan alaneki /
sampun #38# nyata ngelmune medal karambat //
16. // Dhuh pukulun panunggale nyuwun tuduh / dados sesatunggalnya / Purwaduksina
ing nyaris / manunggale Allah kalawan Mukhamat //
10 Pelafalan orang Jawa untuk menyebut Nabi Muhammad.
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
17. // Kang maujut kalawan kang tan maujut / maskawining nendra / lan dunguk
langkung remit / patemone ing budi lawan Hyang Suksma //
18. // Sang retnayu [e]matur sanget anuwun / sampun kasinggiyan / sadaya dhawuh sang
yogi / #39# wonten malih anenggih panuwun kula //
19. // Kang sinebut iman pundi wujutipun / lan tokit11 punika / ing makripat ingkang
pundi / pan kawula nyuwun sumerep sadaya //
20. // Sang ngawiku alon pangandikanipun / tegese kang iman / jumenengira dhiri / kang
kakekat iya sajatining karsa //
21. // Tokit iku tingaling roh kang satuhu / mindeng pamendengnya / mring Allah Kang
Maha Su[k]ci / kang makripat liwung tan ngulati Allah //
22. // Anamaning yayi ing pituduh ingsun / suksma kang sanyata / iya sariran kapasthi /
iya raga suksma dharat uripira //
23. // Dhuh wong ayu ing galih yen wus katemu / amikir satungalnya / ana ing
ngananireki / ing ngaranan anenggih slira bathara //
24. // Wenang liru dhiri mring Hyang Maha Luhur / sakarsane dadya / katekan
sasedyaning reki / awan dadi iya ing saciptanira //
25. // Sang retna yu umatur sanget anuwun / pangeran kawula / gurulaki donya ngakir /
pun Sujinah klilana matur #41# ing tuwan //
26. // Kadi pundi nanggih jarumaning kalbu / lan ujar sakecap / meneng saenggon kang
pundi / lawan malih kang maningal sakedhepan //
27. // Tuwin laku satindak amba nyuwun wruh / terange sadaya / wijangna satunggiling
tunggil / Sang Seh Purwaduksina alon ngandika //
28. // Dhuh wong [ng]ayu lir wulan sumunar mancur / nyawane pun kakang / sugih
patakon patitis / rungokena sun wedharke takonira //
29. // Jarumanin ngati kasampurnanipun / ingkang aran manah / #42# mendhenge
langetan lali / ingkang ujar sakecap iku datira //
30. // Dene laku satindak panrimanipun / lan tingal sakedhap / tegese mring ekamaneki /
kang anginum sacegok kanyata iman //
31. // Dene mangan sapulukan tegesipun / mung Allah kacipta / kalawan sandhang
sasuwir / pujinira kawayang sajroning driya //
32. // Iya iku jatining ngurip wong ayu / dipunngrasa ing tyas / yaiku #43# ing ngaran
sumping / dene uwus anetepi ing makripat // 11Silap tulis dari tohid. Tohid: kayakinaning batin ‘keyakinan batin’ (Poewadarminta, 1939), hlm. 618), Arab: tauhid (Kamus Indonesia-Arab-Inggris, 1972: 306).
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
33. // Datanana ngamalira dhuh wong ayu / mung osiking driya / dadi sapa layaraning /
mung puniku yayi ing pituturing wang //
34. // Sang retna yu umatur dhateng anuwun / satuhu prawira / utama sabarang lantip /
kalilane matur malih pun Sujinah //
35. // Tiyang idhup kang sasya papucuk lampus / puniku kang lara / dene mawi ngolang
ngaling / mawi kejeng cengeng lan pongah pangeyan //
36. // Sang ngawiku ngandika yayi dipunwruh / kalane duk lara / ngalam topek araneki /
duk anembe ngrasani Kang Maha Mulya //
37. // Duk anuju ngrasa payah sarireku / nama ngalam tobat / wongah pangeyan kang
dhiri / ing ngaran ngalam sangatipunika //
38. // Kang pakumpul / saka liring rasa carub / ping tambah kang rasa / ing ngalam gaib
bolahi / lagi cengeng ngalam tabiranira //
39. // Jagat langgeng lagya bakal wruh wong ngayu / #45# kaping kalihira / cahyane
Mingkail12 mijil / warna abang pipi kiwa wijilira //
40. // kaping telu / cahyane Israil metu / kuning ujutira / saking netra gyanya mijil /
lawan malih cahya malekat kang medal //
41. // Jabarail apan ijo cahyanipun / saking pipi kanan / Ngijroil13 cahyane putih
wahnyanira tengah leres bathukira //
42. // Iya iku / katingal kabeh ing besuk / nadyan katingal nenggih kang #46# tigang
prakawis / amung lara baetan tumengkang pejah //
43. // Dhuh wong ngayu den emut sira ing besuk / yan cahya ing pethak / medal cahyane
Ngijroil / apapagih Ngijroil Kanjeng Mukhamat //
44. // Iyaiku tumeka wekasan lampus / dungkap lawang pisan / sagara panya kang nami /
mancat malih liwat sagara Istikar //
45. // Nulya laju nyawa liwat samudra gung / nglengko aranira / nyawa dungkap #47#
mancat malih / gya tumeka nenggih sagara Istigna //
46. // Sawusipun liwat ing nyawa puniku / tumeka samodra / kiyam aranira yayi / tan laju
tumeka rante sagara //
47. // Sawusipun liwat sagara puniku / ngaras kursi teka / miwah ing dhingdhing jalali /
nyawa dulu ing ngalam gaib kang nyata //
12 Pelafalan orang Jawa untuk menyebut malaikat Mikail. Dalam Q.S Al-Baqarah: 98, disebut Malaikat Mikail (Al-Qu’ran dan Terjemahannya, 2008: 15). 13 Pelafalan orang Jawa untuk menyebut malaikat Izrail. Dalam Q.S Al-Sajah: 11, disebut Malaikat Izrail (Al-Qu’ran dan Terjemahannya, 2008: 415).
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
48. // Tanana nyawa tan kandhek lumaku / tumeka ing ngalam / kiyal wus menga kang
kori / nyawa kandhek mangu-mangu duk tumingal //
49. // Samudra gung cahyane sumunar mancur / gumebyar lir kobar / ingkang garwa
matur malih / jarwakena sakeh ngalam lan samodra //
50. // Sang ngawiku angandika manis arum / mirah iki baya / wadon guruning pawestri /
yayi ingsun minongka14 sepuh kewala //
51. // Tegesipun / sakarapanya wewangun / kang aran Iptikar / jajengkunira ta yayi /
kang samudra Istigna wewuhdelira //
52. // Luwih agung #49# wening mancening umancur / kang sagara panya / sisikutira
yayi / kang sagara rante puniku ususnya //
53. // Kang sinebut sagara cahya ing jantung / kang sagara kiyam / ing dhadhanira ta
nini / malihira sagara cahya ing netra //
54. // Sang retna yu wot saha lon umatur / pangeran tuduhna / kakekate jalaldhi / lawan
aras kursi ingkang kakekatira //
55. // Tegesipun loh kalam amba nyuwun wruh / tuwan anuduhna / #50# Purwaduksina
lingnya ris / aras iku yayi ing pangambunira //
56. // Kang keh kalam yayi pangandikanipun / kakekate manah / margane ing kumba mijil
/ tatimbangan bau kering lawan kanan //
57. // Khakekate15 rasa lan pangngrasanipun / ingkang dhindhing jalal / wrana geng
jasat puniki / memanise Sujinah uleng-ulengan //
Petikan pupuh keempat di atas bercerita mengenai penjelasan Purwaduksina kepada
Rara Sujinah mengenai delapan mahar untuk pernikahan mereka, yakni pertama mahar Allah
dan Mukamat, kedua mahar aras dan kursinya, ketiga mahar siang dan malam, keempat
mahar bintang dan ilmu, kelima mahar laki-laki dan perempuan, keenam mahar bulan dan
matahari, ketujuh mahar langit dan bumi, dan kedelapan mahar surga dan neraka.
Penjabaran mengenai delapan mahar itu adalah, pertama, mahar Allah dan Mukamat
adalah pertemuan antara nur Allah dan kehidupan. Kedua, mahar aras dan kursi adalah
pertemuan antara rasa dan cahaya Mukamat jati. Ketiga, mahar siang dan malam adalah
pertemuan antara bagian putih dan hitam dalam mata kita. Keempat, mahar bintang dan ilmu
adalah kunci dunia, yakni pertemuan antara darah dan daging. Kelima, mahar laki-laki dan
14Silap tulis dari minangka(Poewadarminta, 1939: 316).15Silap tulis dari kakekat.Kakekat: kanyataan, kang sanyata ‘kenyataan, yang benar’ (Poewadarminta, 1939: 181), Arab: hakikah (Kamus Indonesia-Arab-Inggris, 1972: 107).
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
perempuan adalah adalah pertemuan antara jiwa dan raga, aras dan kursi, dan pertemuan
antara tulang dan sumsumnya. Ketujuh, mahar langit dan bumi adalah pertemuan antara
sirolah dan pikiran kita, atau pertemuan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Kedelapan,
mahar surga dan neraka adalah pertemuan budi dan nafsu, yakni antara kebaikan dan
keburukan.
Kesimpulan
Naskah Suluk Purwaduksina PW.117 ini berisi cerita tentang pengenalan ajaran
agama Islam yang dituangkan dalam tanya jawab antara Rara Sujinah dengan Purwaduksina.
Setelah dilakukan transliterasi dan dibuat ringkasan cerita setiap pupuhnya, isi teks naskah
Suluk Purwaduksina PW.117 ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok
berdasarkan kesamaan inti cerita setiap pupuhnya.
Pertama, Pupuh I dan II berisi tentang bab salat yang mencangkup hakikat salat dan
tata cara salat. Kedua, Pupuh III, IX, dan X berisi tentang ilmu yang mencangkup penjelasan
mengenai hakikat ilmu, nasihat dalam menuntut ilmu, dan nasihat mengenai pentingnya
mengetahui asal muasal suatu ilmu. Ketiga, Pupuh IV berisi penjelasan Purwaduksina
mengenai makna delapan mahar yang hendak diberikan kepada Rara Sujinah dalam
pernikahan mereka. Keempat, Pupuh V berisi tentang hakikat nyawa. Kelima, Pupuh VI dan
VII berisi penjelasan mengenai sifat wajib dan mustahil bagi Allah, serta perumpamaan sifat
wajib Allah jika diibaratkan dalam tubuh manusia. Keenam, Pupuh VIII berisi penjelasan
mengenai tapa dan macamnya.
Berdasarkan isi cerita, dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran Islam yang terdapat
dalam naskah Suluk Purwaduksina PW.117 adalah ajaran agama Islam orang Jawa yang
disebut Agami Jawi atau Kejawen, karena meskipun yakin adanya Allah dan mengakui
bahwa Muhammad adalah utusan Allah beserta para nabi lainnya, mengakui Al-Qur’an
sebagai kitab Allah, bersyahadat, melaksanakan salat serta berpuasa di bulan Ramadhan, juga
mempunyai keyakinan terhadap konsep-konsep makhluk gaib, kekuatan sakti, serta
melakukan berbagai ritus dan upacara keagamaan yang jauh dari ajaran Islam, sebagai
penandanya yakni tata cara beribadah seperti salat, wudhu dan berdzikir yang
diperumpamakan dengan alam, baik berupa tanda-tanda alam maupun anggota tubuh.
Daftar Pustaka
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
Amin, M. Darori. 2011. Konsepsi Manunggaling Kawula Gusti dalam Kesusasteraan Islam Kejawen. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khasanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.
Behrend, T.E. dan Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara FSUI Jilid 3B. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
____________________. (ed), dkk. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan.
____________________. 1994. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Keraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
____________________. 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2008. Al-Quran dan Terjemahannya. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema.
Djamaris, Edwar. Metode Penelitian Filologi. 2002. Jakarta: CV Manasco. Edi S. Ekadjati. 2000. Direktori Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Florida, Nancy K. 2000. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts Vol. 2 Manuscripts of
The Manungkunagaran Palace. New York: Cornell University Ithaca. Koentjacaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Lubis, Nabilah. 1996. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian
Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah. Mintosih, Sri. 1992. Suluk Sujinah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Kebudayaan. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin Yang Disempurnakan. 2011. Yogyakarta:
Balai Bahasa Yogyakarta Kementrian Pendidikan Nasional. Pigeaud, Theodore G. 1967. Literature of Java Catalogue Volume I. The Hague: Martinus
Nijhoff. Robson, S. O. 1978. Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
____________________. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.
Saputra, Karsono H. 2008. Pengantar Filologi Jawa. Jakarta : Wedatama Widya Sastra.
____________________. 2010. Sekar Macapat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI Press.
Siti Baroroh Barried. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, P & K.
Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Yayasan Pustaka Nusantara. 2002. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara.
Daftar Kamus
Abd. Bin Nuh, Oemar Bakry. 1972. Kamus Indonesia Arab Inggris. Jakarta: Mutiara.
Balai Bahasa Yogyakarta. 2011. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015
Poerwadarminta, W. J. S. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: J.B. Wolters Uitgevers-Maatschappij N.V.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990. Jakarta: Balai Pustaka.
Utama, Sutrisno Sastro. 2009. Kamus Lengkap Jawa-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Suntingan teks ..., Alfiyatun Rokhmah, FIB UI, 2015