Post on 09-Nov-2021
eJournal Sosiatri-Sosiologi 2021, 9 (1): 170-184 ISSN 0000-0000, ejournal.sos.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2021
STUDI PERUBAHAN MODE PRODUKSI DARI ERA
PERTANIAN KE ERA PERTAMBANGAN BATUBARA DI
DESA MULAWARMAN KECAMATAN TENGGARONG
SEBERANG KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
Abdurrahman Sidik1
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menggambarkan pola
perubahan mode produksi yang terjadi pada kondisi Desa Mulawarman dari
sejarahnya sebagai desa tranmigrasi dan dijuluki sebagai daerah lumbung padi
sampai akhirnya berubah menjadi daerah yang di kepung area pertambangan batu
bara. Penelitian ini menggunakan jenis metode kualitatif yang bertujuan untuk
menganalisis dampak sosial, ekonomi, dan politik pada masyarakat yang lekat
dengan corak agraris beralih menjadi budaya industri di Desa Mulawarman,
Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara. Hasil dari
penelitian ini menunjukan bahwa sejak ditetapkannya Desa Mulawarman sebagai
desa transmigrasi tidak serta merta langsung menemui keberhasilan, konflik
horizontal terjadi antar sesama transmigran dari berbagai daerah pada generasi
pertama transmigrasi di desa ini, dan kemudian berhasil menemui kejayaannya
sebagai daerah lumbung padi. Sampai akhirnya masyarakat harus melepaskan
mekanisme ikatan sosialnya dengan tanah dan berubahnya nilai-nilai tradisi agraris
sejak terbitnya izin tambang dan beroperasi perusahaan pertambangan hampir di
seluruh wilayah Desa Mulawarman dan mengubahnya menjadi area pertambangan
batu bara. Dalam proses perjalanannya juga menemui konflik-konflik horizontal
ataupun vertikal dengan masyarakat lainnya dan juga dengan pihak perusahaan.
Kata Kunci : Mode Produksi, Transmigrasi, Pertanian, Pertambangan Batu Bara,
Konflik Sosial.
Pendahuluan
Pertambangan batu bara di Tenggarong Seberang mulai beroperasi di tahun
1982. Pada tahun awal beroperasinya perusahaan tambang batu bara sebenarnya
mampu berjalan berdampingan dengan lahan-lahan pertanian warga karena
pengoperasian sistem pertambangan menggunakan sistem (underground mining)
atau sistem pertambangan yang menggunakan jalur terowongan bawah tanah
dalam menggali hasil tambangnya, sehingga tidak menimbulkan dampak yang
signifikan pada kualitas tanah yang ada dipermukaan.
Hadirnya perusahaan tambang batu bara meningkatkan jumlah pendatang
dari beberapa daerah. Tenggarong Seberang menjadi kawasan yang banyak dihuni
oleh beragam suku, diantaranya; Suku Jawa, Bali, Kutai, Dayak, Banjar, Bugis,
Lombok, Sunda, dan beberapa suku dari Sumatera. Meningkatnya jumlah
1 Mahasiswa Program S1 Sosiatri-Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Mulawarman. Email: shitdick.as@gmail.com
Studi Perubahan Mode Produksi dari Era Pertanian ke Era Pertambangan (Sidik)
171
penduduk tidak jarang memicu gesekan dan konflik baik antar masyarakat maupun
masyarakat dengan perusahaan. Konflik yang sering terjadi yakni perebutan lahan
pertanian milik masyarakat dengan lahan pertambangan batu bara.
Perubahan-perubahan akibat adanya industri pertambangan batu bara yang
ada di Kecamatan Tenggarong Seberang terjadi hampir di seluruh desa yang
menjadi konsesi dari pertambangan batu bara. Salah satu contoh kasus adalah yang
terjadi di Desa Kerta Buana, desa ini adalah salah satu desa yang letaknya
bersinggungan langsung oleh konsesi perusahaan pertambangan batubara. Desa ini
mayoritas dihuni oleh penduduk transmigran dari Bali dan Lombok. Desa Kerta
Buana menjadi salah satu desa yang termarjinalkan akibat adanya industri
pertambangan batubara. Akibat sistem penambangan terbuka (open pit), lahan-
lahan pertanian warga ikut terkena imbasnya, limbah-limbah buangan dari batu
bara telah tercampur dengan saluran-saluran irigasi warga yang digunakan untuk
mengairi sawah-sawah mereka. Hal ini tentu saja mempengaruhi kualitas padi
yang dihasilkan dan hasil panen petani tidak sesuai dengan ongkos produksi
pertanian. Dan beberapa petani di Desa Kerta Buana akhirnya menjual tanah-tanah
mereka kepada perusahaan secara sukarela ataupun terpaksa. Perusahaan-
perusahaan melihat bahwa lahan pertanian warga mengandung batu bara yang
cukup melimpah sehingga mereka mengalih-fungsikan tanah-tanah tersebut untuk
kepentingan eksploitasi penambangan batu bara.
Adanya industri ekstraktif pertambangan batu bara, tentunya memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam aspek kehidupan sosial masyarakat sekitarnya.
Terutama pada wilayah-wilayah yang basisnya memang diperuntukkan sebagai
wilayah pertaniaan, menjadi problematika tersendiri ketika harus berdampingan
dengan pertambangan batu bara. Aktivitas pertambangan membutuhkan lahan
yang luas untuk mengambil potensi sumber daya alam yang ada, dengan cara
seperti ini otomatis juga menghancurkan ekosistem-ekosistem yang ada. Dengan
kata lain, pertambangan batubara merupakan salah satu penyebab hancurnya
sektor-sektor pertanian warga. Lebih ironis lagi ketika kabupaten Kutai
Kartanegara yang pada tahun 80an dijuluki sebagai lumbung padi Kalimantan
Timur, harus berakhir tragis ketika munculnya Perda No. 9 Tahun 2013 tentang
rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, adanya perda ini justru
semakin berpotensi membuat lahan-lahan pertanian warga dikonsesikan sebagai
kawasan pertambangan mineral dan batubara.
Sampai saat ini permasalahan tentang industri pertambangan dengan warga
sekitar yang terkena imbasnya langsung, belum menemukan titik temu. Lahan-
lahan pertanian warga justru semakin terhimpit oleh aktivitas pertambangan batu
bara dan krisis air bersih juga masih dirasakan warga sekitar. Permasalahan seperti
itu masih mudah kita jumpai terutama pada desa-desa yang ada di Tenggarong
Seberang salah satunya adalah Desa Mulawarman. Perubahan-perubahan pasca
adanya perusahaan tambang batu bara juga terjadi di desa ini. Dan oleh karena itu,
eJournal Sosiatri-Sosiologi, Volume 9, Nomor 1, 2021: 170-184
172
penelitian ini bermaksud untuk melihat perubahan-perubahan mode produksi dari
era pertanian dan setelah adanya industri pertambangan batu bara di Desa
Mulawarman.
Kerangka Dasar Teori
Pembentukan Tenaga Produksi
Mode produksi merupakan pendekatan ekonomi politik dalam melihat suatu
masyarakat. Metode ini berangkat dari pengkajian sejarah manusia dan masyarakat
sejak semula terbentuk. Marx bersama Engels menemukan bahwa perkembangan
sejarah masyarakat didasari oleh faktor materil yaitu produksi (menghasilkan)
sebagai sarana bertahan hidup sejak keberadaan masyarakat pertama. Mode
produksi ini memiliki dua aspek yaitu force of production (tenaga produksi) dan
relations of production (hubungan produksi) dimana yang pertama menentukan
(determinan) yang kedua.
Hubungan Produksi
Relasi sosial adalah sebuah produksi berjalan dalam ragam bentuk seiring
dengan karakter dan perkembangan dari alat produksi. (Marx, 1958:28). Secara
umum. Hubungan produksi yang ada sesuai dengan derajat perkembangan tenaga
produktif yang ada, dengan kecanggihan (jumlah) alat produksi yang ada, serta
dengan teknik dan organisasi kerja yang ada. Pada zaman perkakas batu yang
paling sederhana, hubungan produksi didasarkan pada klan yang bersama berburu
dan meramu dan untuk orientasi kolektif. Pertanian pada dasar irigasi dan dengan
bantuan perkakas besi menciptakan produk surplus yang cukup permanen yang
memungkinkan kelahiran masyarakat berkelas.
Totalitas dari relasi sosial produksi inilah yang membentuk sistem kehidupan
masyarakat yang berbeda-beda dalam setiap potongan sejarah kehidupan umat
manusia. Perkembangan dari materialitas alat produksi menjadikan relasi sosial
produksi memiliki karakter yang berbeda dan spesifik di dalam setiap fase
perkembangan sejarah masyarakat.
Intelektual dan Proses Pembentukannya
Di dunia modern, pendidikan teknis yang terikat erat dengan pekerja industri
bahkan pada tingkat primitif dan kualitatif sekalipun, dimana tiap-tiap kelas harus
membentuk basis untuk jenis baru intelektual. Sehingga sekolah adalah instrumen
tempat intelektual dari berbagai tingkatan dielaborasikan. Lebih jauh lagi, Gramsci
kemudian membuat perbedaan posisi antara intelektual kota dan desa. Menurutnya
“kaum intelektual telah berkembang seiring dengan perkembangan industri dan ini
terkait dengan prihal keuntungan dari sebuah industri. Kaum intelektual kota tidak
mempunyai inisiatif otonomis untuk menjelaskan rencana pembangunan.
Pekerjaan mereka akan mengartikulasikan hubungan antara kapitalis dengan
Studi Perubahan Mode Produksi dari Era Pertanian ke Era Pertambangan (Sidik)
173
massa, dan melaksanakan eksekusi atas rencana produksi yang diputuskan oleh
staf umum industri, yang mengendalikan tahap tahap dasar pekerjaan. Secara
keseluruhan, intelektual kota sudah sangat distandarkan, intelektual kota yang
tinggi lebih mudah di identifikasikan dengan staf umum industri atau posisi vital
dalam sebuah institusi”. (Gramsci, 2013:20)
Sedangkan intelektual desa sebagaian besar adalah jenis “tradisonal” yakni
mereka yang terhubung dengan massa sosial dari masyarakat pedesaan dan borjuis
kecil di kota, utamanya kota kota kecil. Tapi belum dielaborasikan dan digerakan
oleh sistem kapitalis. Jenis intelektual ini berhubungan dengan massa petani dan
administrasi lokal dan wilayah (pengacara, notaris dan sebagainya). Karena
aktivitas ini, mereka mempunyai fungsi politik sosial yang penting, karena mediasi
profesional sulit dipisahkan dari fungsi politik”. (Gramsci, 2013:20)
Teori Hegemoni (Antonio Gramsci)
Bahasa dan ilmu pengetahuan menjadi sarana yang penting untuk melayani
kepentingan hegemonik tadi sesuai dengan sistem yang di kehendaki. Oleh karena
itu pembangunan pembangunan ilmu yang integral dengan massa menjadi sangat
penting. Karena pengalaman Kapitalisme yang berhasil mengukuhkan dominasi
kesadaranya juga tidak lepas dari peran intelektual organik dalam klas borjuis itu
sendiri. Satus hegemonik sebuah gagasan akan ditentukan oleh kolaborasinya
dengan kekuatan ekonomi politik yang material. Gramsci tidak melulu hanya
membicarakan bagaimana kelas berkuasa membangun hegemoninya, namun juga
penekan terhadap gerakan rakyat dalam upaya membangun posisi hegemoniknya
di tengah situasi kapitalisme. Hegemoni perlu difahami sebagai sebuah cara atau
strategi untuk melegitimasi kekuasaan material (power and material force) yang
sudah dibangun. Sehingga, bukan hanya gagasan yang menentukan, tetapi basis
material apa yang menyebabkan gagasan tersebut bisa bertahan. Dalam perspektif
ini, kita dapat melihat bahwa hegemoni adalah cara peneguhan kekuasaan setelah
menguasi basis produksi. Maka intelektual organik bisa kita fahami sebagai
intelektual yang merepresentasikan kelompok sosial tertentu dalam relasi produksi
yang ada dalam masyarakat, dan membawa gagasan-gagasan untuk membuat
tatanan yang ia bentuk bisa bertahan secara hegemonik.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode penelitian
kualitatif, yaitu penelitian yang mendeskripsikan dan memahami suatu fenomena
yang dialami langsung oleh subjek penelitian. Data yang dihasilkan dari metode
ini berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang terlibat dan
merasakan langsung perubahan-perubahan sosial yang terjadi pasca adanya
industri pertambangan batubara.
eJournal Sosiatri-Sosiologi, Volume 9, Nomor 1, 2021: 170-184
174
Hasil Penelitian
Perubahan Mode Produksi Dari Era Pertanian Ke Era Pertambangan Batu
Bara Di Desa Mulawarman
Mode Produksi Pada Era Pertanian Tradisional (Era Kesakralan Tanah di Periode
1980an-1990an)
Ideologi Masyarakat pada Era Pertanian Tradisional
Tanah dalam pandangan masyarakat Jawa juga di simbolkan sebagai sosok
ibu yang melahirkan sebuah kehidupan di bumi. Begitu juga masyarakat
transmigran Jawa di Desa Mulawarman memaknai tanah sebagai tempat lahirnya
tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber dari kehidupan manusia di muka bumi,
sehingga mereka menghormati kedudukan dari tanah dan tidak menganggapnya
sebagai komiditas jual-beli. Menurut Keterangan Mbah Kholil, sebagai tokoh
masyarakat dan tokoh agama di Desa Mulawarman, mengatakan :
“Kami sebagai orang jawa menganggap tanah itu yaa sebagai ibu, karena dia
melahirkan berbagai macam tumbuhan termasuk padi. Jadi kami betul-betul
menghormati kedudukan dari tanah tersebut yang telah memberi kami
kehidupan. Tujuan kami bertani ya sebetulnya untuk memenuhi kehidupan
sehari-hari, bukan semata-mata ingin mencari keuntungan dari situ”
Para pemuda dan juga para ibu rumah tangga masih berkecimpung di seputar
dunia pertanian membantu pekerjaan di area persawahan. Kolektifitas dan
kebersamaan antar sesama masyarakat dapat dilihat pada corak masyarakat
agrikultur yang tidak mendikotomiskan peran perempuan ataupun laki-laki dalam
bekerja sehingga tercipta harmonisasi antar hubungan manusia dengan manusia
dan manusia dengan alamnya.
Praktik Budaya pada Era Pertanian Tradisional
Keseharian masyarakat desa memang selalu berkecimpung di dunia
pertanian. Kegiatan ini dilakukan setiap hari bersama-sama dan bahu-membahu
dalam proses penanaman padi. Kegiatan gotong royong seperti ini yang akhirnya
menciptakan suatu tradisi budaya yaitu, Tradisi Baritan atau tradisi orang-orang
Jawa pada saat prosesi penanaman padi. Tradisi Baritan sendiri merupakan tradisi
yang sudah turun-temurun dilakukan bersama-sama pada kalangan masyarakat
Jawa yang berprofesi sebagai petani. Tradisi ini bermakna sebagai sedekah bumi
dan wujud ucapan doa kepada Sang Hyang Widi agar tanah mereka diberikan
kesuburan dan keberhasilan dalam hasil panen. Dalam tradisi masyarakat Jawa
sendiri, tanaman padi memiliki arti sebagai perwujudan seorang dewi. Dalam
mitologi perwayangan kuno, dewi ini bernama Dewi Sri Pohaci yang menjelma
sebagai tanaman padi yang tertinggal oleh seorang petani ketika masa panen. Dewi
ini ditemukan menangis ditengah area persawahan oleh seorang kakek tua yang
melintasi area tersebut. Setelah kakek itu mendekat, lalu dewi itu berubah menjadi
tanaman padi yang tertinggal oleh petaninya. Dalam versi lain, sosok Dewi Sri
Studi Perubahan Mode Produksi dari Era Pertanian ke Era Pertambangan (Sidik)
175
Pohaci juga digambarkan menjelma sebagai seekor ular yang ada di persawahan
yang bertugas melindungi tanaman padi warga dari serangan hama-hama seperti
tikus. Cerita ini begitu dimaknai oleh seorang petani saat itu, sehingga mereka
sangat menghormati kedudukan dari tanaman padi tersebut dan tidak pernah
menyia-nyiakan walau hanya sebutir padi. (Menurut Keterangan Mbah Kholil,
Tokoh Masyarakat Desa Mulawarman).
Nilai-nilai dalam Tradisi Baritan juga kerap kali dibarengi dengan nilai-nilai
keagamaan seperti membaca sholawat nabi dan membaca doa-doa secara Islami.
Setiap tahunnya masyarakat juga mengadakan acara Bersih Desa dengan tujuan
mendoakan kesejahteraan dan kemakmuran desa agar tetap lestari dan sejahtera
masyarakatnya. Acara Bersih Desa biasa dilakukan pada pertengahan bulan
oktober sekaligus pada saat setelah Tradisi Baritan selesai dilakukan. Kegiatan ini
juga diramaikan oleh kesenian khas Jawa seperti pagelaran wayang kulit yang
biasanya menampilkan cerita tentang mitologi Jawa kuno yang berkaitan dengan
pertanian seperti cerita Dewi Sri Pohaci. (Menurut Keterangan Pak Mulyono,
Kades Desa Mulawarman)
Kondisi Desa pada Era Pertanian Tradisional
Desa Mulawarman mulai berbenah dan menemui era kejayaannya di sektor
pertanian sekaligus ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Kutai
Kartanegara pada tahun 1985 sebagai daerah penghasil padi atau lumbung padi di
Kabupaten Kutai Kartanegara. Jumlah lahan produksi dari sektor pertanian di desa
ini mencapai 500 Ha dan menghasilkan sekitar 7.000 - 8.000 Ton padi kering
setiap tahunnya. (Menurut keterangan Mulyono, Kades Desa Mulawarman).
Namun sekitar tahun 1990an, masyarakat kembali menemui permasalahan
terkait kepemilikan tanah yang juga kerap kali dialami warga. Salah satu
penyebabnya terjadi karena munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 terkait kepemilikan tanah yang harus dibuktikan dengan sertifikat tanah.
Beberapa warga yang sejak tahun 80an bisa menggarap tanah sesuai
kemampuannya, harus dibatasi dengan adanya peraturan tersebut. Tidak jarang hal
ini menyebabkan tumpang tindih kepemilikan lahan warga dan memicu konflik
dengan warga lainnya. (Menurut Keterangan Pak Tamsir, Ketua Gapoktan)
Mode Produksi Pada Era Underground Mining (Era Pergeseran Makna Keskralan
Tanah di Periode 2001-2005)
Ideologi Masyarakat pada Era Undergorund Mining
Sejak masuknya perusahaan pada tahun 2000 untuk mengeksplorasi dan
beroperasi menggunakan sistem underground mining (penambangan bawah tanah)
pada tahun 2001-2005. Pandangan masyarakat Desa Mulawarman lambat laun
mulai berubah dalam memandang nilai pada tanah dan tanaman padi. Akibat
hadirnya perusahaan tambang tersebut, pola pikir masyarakat memandang nilai
eJournal Sosiatri-Sosiologi, Volume 9, Nomor 1, 2021: 170-184
176
tanah berubah, dari yang awalnya memandang tanah secara sakral sebagai sumber
kehidupan dan kemakmuran beralih menjadi nilai jual yang tinggi. Hal ini
dikarenakan, perusahaan mulai melakukan pembebasan lahan-lahan pertanian
warga untuk tujuan pengoperasian pertambangan batu bara. Ganti rugi lahan
pertanian warga sendiri, dihargai dengan jumlah yang fantastis yaitu sekitar 500-
600 juta rupiah untuk setiap hektarnya. Sehingga, banyak warga yang tergiur
dengan jumlah uang tersebut dan mengubah pola pikir masyarakat terhadap nilai
tanah. (Menurut Keterangan Pak Suwardi, Tranmigran dari Jawa Tengah)
Praktik Budaya pada Era Underground Mining
Beberapa lahan pertanian warga yang telah dibebaskan oleh perusahaan dan
telah beralih fungsi menjadi area pertambangan bawah tanah memang tidak begitu
mempengaruhi dalam proses penanaman padi warga. Karena sistem ini, tidak
merusak lahan-lahan di permukaan yang digunakan oleh para petani. Namun,
banyaknya warga yang telah menjual lahannya ke perusahaan. Tentunya,
mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan setiap harinya oleh warga
desa. Masyarakat yang dahulunya menggunakan alat-alat dan bahan-bahan untuk
pertanian secara tradisional mulai beralih menggunakan alat dan bahan yang
berasal dari pabrikan. Meskipun penggunaan bahan-bahan tersebut lebih pragmatis
dan membuat proses hasil panen lebih cepat, namun lambat laun akan terjadi
pergeseran paradigma bagi para petani yang awalnya menganggap nilai padi akan
kesakralannya, beralih hanya memandang sebatas komoditas yang mempunyai
nilai jual.
Kegiatan seperti Tradisi Baritan lambat laun juga mulai menghilang karena
banyaknya warga yang menjual lahannya dan hanya tersisa beberapa orang saja
yang tidak menjual lahannya ke perusahaan. Hal ini tentunya, berdampak negatif
pada tradisi tanam padi tersebut. Tradisi bersih desa juga lambat laun hanya
dimaknai sebagai perayaan secara simbolik untuk merayakan hari ulang tahun
desa. Tidak lagi dimaknai warga desa sebagai hubungan harmonis antara manusia
dengan alamnya. (Menurut Keterangan Mbah Kholil, Tokoh Agama Desa
Mulawarman)
Kondisi Desa Mulawarman pada Era Underground Mining
Masuknya perusahaan tentunya tidak serta merta mudah. Oleh sebab iu,
pihak perusahaan melakukan pendekatan kepada elit-elit desa dalam upayanya
meyakinkan masyarakat yang bekerja sebagai petani agar mau menjual tanahnya
kepada pihak perusahaan. Hal ini disampaikan langsung oleh Pak Tamsir yang
dulu sempat menjadi bagian dari staf desa, ia mengatakan bahwa dibawah
kepemimpinan kepala desa saat itu, perusahaan memberikan kompensasi kepada
kepala desa setiap bulannya. Tidak berhenti disitu, perusahaan juga mencoba
melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat seperti salah seorang haji
Studi Perubahan Mode Produksi dari Era Pertanian ke Era Pertambangan (Sidik)
177
ternama dan beberapa staf keamanan di desa untuk meyakinkan kepada
masyarakat yang lain agar dapat menjual tanahnya, yang mana uang kompensasi
dari hasil tanah yang telah dijual tersebut dapat dipergunakan untuk keperluan naik
haji dan membeli kendaraan baru. Hal ini sesuai dengan pemikiran Gramsci
tentang relasi intelektual pada hubungan sosial masyarakat. Dimana dalam
kehidupan sosial masyarakat terdapat segelintir tokoh-tokoh yang memiliki
kedudukan status sosial yang mempengaruhi dan menghegemoni pandangan
kelompok sosial masyarakat yang lain. Lahirnya corak masyarakat kapital di Desa
Mulawarman, tentunya tidak bisa bisa dilepaskan dari pengaruh-pengaruh status
sosial para pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakatnya.
Di tahun 2001 perusahaan mulai beroperasi dengan menggunakan sistem
underground mining atau sistem penambangan menggunakan terowongan bawah
tanah. Pada sistem ini, dampak yang dirasakan pada sektor pertanian belum begitu
signifikan, karena permukaan tanah tidak rusak akibat proses penambangan ini
dan masyarakat masih bisa bercocok tanam. Beberapa warga yang telah mendapat
ganti rugi dari pembebasan lahan dari perusahaan akhirnya tidak bisa lagi bertani
di Desa Mulawarman. Jumlah ganti rugi lahan yang telah dibebaskan oleh
perusahaan dihargai untuk setiap hektarnya sekitar 500-600 juta bahkan ada yang
mendapat ganti rugi sampai milyaran rupiah. Beberapa warga ada yang mendapat
ganti rugi lahan seluas lebih dari 3 Ha. Hal ini menyebabkan beberapa warga ada
yang menderita gangguan jiwa akibat terkejut mendapat jumlah uang yang tidak
sedikit itu dari penjualan lahan mereka.
Banyaknya warga yang meninggalkan sektor pertanian, tentunya juga
berdampak terhadap hasil produksi padi di desa ini. Menurut keterangan Pak
Gabriel yang merupakan anggota kelompok tani dan juga sebagai bekas karyawan
perusahaan PT. Jembayan Muarabara yang ikut melakukan survei pada awal
masuknya perusahaan. Beliau mengatakan :
“Perusahaan tambang batubara pada awalnya melakukan survei lokasi
(eksplorasi) pada tahun 2001 dan mulai melakukan pembebasan lahan yang
dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat yang memiliki lahan mendapat ganti
rugi dari pembebasan lahan mereka oleh perusahaan hingga ratusan juta
rupiah untuk setiap hektarnya. Beberapa masyarakat Desa Mulawarman
yang bekerja sebagai petani akhirnya membeli tanah di desa lain untuk tetap
bisa melanjutkan aktivitas pertanian mereka seperti di Desa Buana Jaya,
Desa Suka Maju, Desa Bukit Pariaman, dan beberapa di Desa Bangun Rejo.
Letak desa-desa tersebut masih di dalam Kecamatan Tenggarong Seberang
yang memang tidak ada aktivitas pertambangan disana. Perusahaan mulai
beroperasi pada sekitar tahun 2001 dan masih menggunakan sistem
underground mining (penambangan bawah tanah) yang melakukan
penambangan di hulu Desa Mulawarman dan belum menimbulkan dampak
yang signifikan pada kondisi pada tanah maupun sektor pertanian. Namun,
eJournal Sosiatri-Sosiologi, Volume 9, Nomor 1, 2021: 170-184
178
sekitar tahun 2005 perusahaan beralih fungsi menggunakan sistem open pit
mining (penambangan terbuka)”.
Hadirnya perusahaan yang melakukan pembebasan lahan dengan ganti
rugi yang besar. Menyebabkan banyaknya para warga yang akhirnya ingin
menjual lahan pertanian mereka kepada perusahaan. Beberapa kali warga harus
bersengketa dengan warga lain yang mengalami tumpang tindih lahan terkait
permasalahan kepemilikan lahan mereka. Konflik ini tidak saja dialami oleh warga
transmigran, tetapi juga warga yang merantau dari daerah lain yang memiliki
lahan di Desa Mulawarman. Hal ini terus menjadi konflik yang berkelanjutan
ketika perusahaan beralih menggunakan sistem open pit mining. (Menurut
Keterangan Pak Tamsir, Ketua Gapoktan)
Mode Produksi Pada Era Open Pit Mining (Era Rusaknya Ruang Ekologis di
Periode 2005 - Sekarang)
Ideologi Masyarakat pada Era Open Pit Mining
Pergeseran dari underground mining ke open pit mining pada tahun 2005.
Tentunya berimbas juga pada pandangan warga terkait tanah. Tanah pada era ini,
semakin dianggap hanya sebatas komoditas jual beli. Tanah tidak lagi memiliki
nilai yang tinggi dalam arti kesakralan tanah bagi kehidupan manusia dan
hubungan yang harmonis antara manusia dengan alamnya. Hal ini sesuai dengan
pemikiran Marx tentang teori surplus-value atau teori nilai lebih yang diciptakan
oleh kapital, yang mengubah tanah dari nilai-guna menjadi nilai-tukar dan
mengubah makna dari tanah itu sendiri. Para pemuda pun, yang dahulunya selalu
berkecimpung dengan tanah dan pertanian, saat ini tidak tertarik lagi pada sektor
tersebut dan lebih memilih untuk bekerja sebagai karyawan perusahaan ketimbang
menjadi seorang petani. Beberapa generasi tua juga lambat laun terpaksa
meninggalkan sektor pertanian, karena dampak dari perusahaan tambang batu bara
yang semakin mendekati area pemukiman warga, turut berdampak pada kondisi
pertanian dan mempengaruhi kualitas padi warga Desa Mulawarman. (Menurut
Keterangan Pak Tamsir, Ketua Gapoktan)
Praktik Budaya pada Era Open Pit Mining
Pada era ini, pengaruh hadirnya perusahaan pertambangan batu bara
dirasakan paling berdampak pada tradisi dan budaya yang ada di Desa
Mulawarman ketimbang di era underground mining. Beberapa tradisi seperti
Tradisi Baritan tidak lagi kita jumpai saat ini. Hal tersebut, diakibatkan banyaknya
warga yang telah menjual lahan pertanian mereka ke perusahaan dan
meninggalkan kegiatan pertanian tersebut. Namun, beberapa tradisi lain seperti
Tradisi Bersih Desa masib bisa dijumpai setiap tahunnya. Meskipun, hanya
sebatas simbolitas perayaan saja. Karena jika menghubungkan makna tradisi
bersih desa dan baritan sangat erat kaitannya dengan sektor pertanian. Jika
Studi Perubahan Mode Produksi dari Era Pertanian ke Era Pertambangan (Sidik)
179
menggunakan kacamata Marx, maka dapat dilihat bahwa hal ini sesuai dengan
pandangan Marx terkait adanya akumulasi tanah yang dilakukan oleh kapital
sebelum terjadinya akumulasi modal. Akumulasi tanah berakibat pada
teralienasinya antara tenaga produksi (petani) dengan objeknya yaitu tanah, dan
juga hubungan produksinya yaitu antar sesama para petani. Hadirnya perusahaan
tidak hanya membuat dikotomis antara masyarakat dengan alamnya, tetapi juga
membuat dikotomi beberapa praktik budaya yang sebetulnya saling berkaitan satu
sama lain.
Pengoperasian menggunakan sistem open pit turut berdampak pada sektor
pertanian. Pertambangan mengubah kondisi tanah yang biasanya digunakan oleh
warga dalam menanam padi. Kondisi tanah menjadi lebih keras sehingga
masyarakat harus menggunakan traktor untuk menggemburkan tanah dan juga
harus menggunakan pupuk agar hasil panen berhasil. (Menurut Pak Tamsir, Ketua
Gapoktan Desa Mulawarman)
Kondisi Desa Mulawarman pada Era Open Pit Mining
Pengoperasian dengan menggunakan sistem open pit dimulai sejak tahun
2005, sistem dengan menggunakan open pit menimbulkan dampak yang signifikan
pada kondisi tanah dan sumber air warga yang biasa digunakan untuk saluran
irigasi sawah dan kebutuhan air sehari-hari masyarakat desa, karena sistem ini
membutuhkan lahan yang luas dan harus membongkar tanah yang ada di
permukaan dan menciptakan lubang-lubang raksasa. Dampak dari sistem ini
lambat laun mulai dirasakan masyarakat desa, masyarakat mulai mengeluh soal
debu, getaran dari proses blasting (peledakan tanah untuk mengambil batu bara),
kekeringan saat musim kemarau, banjir saat musim penghujan tiba, dan juga
mengganggu aktivitas warga yang bekerja di sektor pertanian terutama beberapa
lahan pertanian warga yang bersebelahan langsung dengan aktivitas penambangan.
Beberapa tanaman-tanaman produktif warga seperti buah dan sayur-sayuran juga
kerap kali di serang oleh gerombolan hewan seperti monyet dan babi hutan. Hal
ini adalah konsekuensi logis dari hilangnya tempat bagi hewan-hewan tersebut
akibat degradasi hutan oleh pertambangan dan berbalik menyerang warga yang
ada disekitar area tersebut dan menjadikan konflik baru antara warga dan juga
hewan-hewan liar.
Pada sekitar tahun 2007, masyarakat akhirnya melakukan gugatan kepada
perusahaan karena efek yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan yang
letaknya tidak jauh dari pemukiman warga tersebut. Masyarakat mengeluhkan
debu akibat aktivitas tersebut mengganggu pernapasan warga dan menyebabkan
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), getaran blasting yang juga menggetarkan
bahkan menimbulkan beberapa rumah retak, dan juga aktivitas penambangan yang
mengganggu hasil produksi dari pertanian warga. Pihak perusahaan pun akhirnya
beberapa kali juga memenuhi permintaan warga seperti memenuhi kebutuhan air
eJournal Sosiatri-Sosiologi, Volume 9, Nomor 1, 2021: 170-184
180
bersih untuk warga yang setiap minggunya dan mendapat uang kompensasi untuk
setiap KK pada setiap bulannya sebesar Rp. 300.000 dari PT. Kayan Putra Utama
Coal (KPUC) dan juga program CSR yang juga dilakukan oleh PT. Jembayan
Muarabara dalam upaya tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat
Desa Mulawarman.
Meskipun sudah memenuhi standar operasional yang dilakukan oleh
perusahaan kepada masyarakat. Namun, lambat laun pengoperasian lahan
pertambangan dari perusahaan-perusahaan tersebut semakin mendekati kawasan
pemukiman. Efek yang dirasakan warga semakin hari, semakin dirasa akibat
terhimpitnya lahan-lahan pertanian yang semakin habis dan juga pengaruhnya
terhadap aktivitas masyarakat sehari-hari. Tumpang tindih lahan milik masyarakat
dan perusahaan juga menyebabkan konflik-konflik agraria antar masyarakat
dengan sesama masyarakat ataupun antar masyarakat dengan perusahaan.
Beberapa petani yang berada di Desa Mulawarman akhirnya terpaksa hanya
meminjam lahan perusahaan untuk tetap melakukan aktivitas bertani mereka
dalam mencukupi kehidupan sehari-hari. Beberapa masyarakat yang dulunya
bertani juga sekarang saat ini hanya dapat berwirausaha seperti berjualan sembako
dan menanam tanaman palawija di sekitar pekarangan rumah mereka dengan sisa
lahan yang ada. Hal ini yang juga dirasakan langsung oleh transmigran dari Jawa
Tengah yaitu, Pak Suwardi. Beliau mengatakan :
“Saya mendapat ganti rugi lahan dari perusahaan sekitar tahun 2003 pada
saat itu, karena mayoritas masyarakat saat itu menjual tanah mereka. Jadi
saya juga ikut menjual tanah saya, dan saya membeli lahan di daerah separi
3 (Buana Jaya). Karena kondisi saya yang sudah tua ini, saya sekarang hanya
berjualan sembako dan usaha kerupuk nasi di rumah. Untuk lahan yang saya
beli di Separi 3, kadang-kadang juga saya bertani disana, tapi lebih sering
digarap orang lain lalu hasilnya kami bagi”.
Hal tersebut lumrah dijumpai pada warga-warga transmigran yang dahulu
berprofesi sebagai petani. Selain hanya mengharap bantuan dari perusahaan,
mereka juga berusaha dengan cara lain agar dapat memenuhi kehidupannya sehari-
hari setelah lahan pertanian mereka sudah tidak ada lagi ditambah kondisi tanah
yang sudah tidak sesubur seperti dulu lagi.
Melihat kondisi Desa Mulawarman yang sudah porak-poranda akibat
industri pertambangan batu bara. Pada tahun 2016, Kepala Desa Mulawarman
Mulyono di dampingi oleh Ketua LPM Desa Mulawarman Rusdan mewakili suara
masyarakat mulawarman melakukan tuntutan ke Jakarta kepada pemerintah pusat
untuk menemui Staf Bagian Kepresidenan terkait permasalahan tambang yang
semakin merengsek masuk ke pemukiman warga dan dampak yang ditimbulkan
semakin meresahkan warga. Akhirnya warga meminta agar segera dilakukan
relokasi untuk masyarat desa.
Studi Perubahan Mode Produksi dari Era Pertanian ke Era Pertambangan (Sidik)
181
Sekitar bulan April tahun 2017 tuntutan tersebut akhirnya digubris oleh
pemerintah, dan lewat pemerintah provinsi Kalimantan Timur Gubernur Awang
Faroek Ishak langsung meninjau ke lokasi untuk melihat kondisi dari Desa
Mulawarman dan mengadakan musyawarah bersama masyarakat dan pihak
perusahaan terkait di lapangan sepak bola Desa Mulawarman. Musyawarah itu
menghasilkan persetujuan di antaranya adalah pemerintah tidak mengabulkan
permintaan masyarakat Desa Mulawarman terkait relokasi warga, dikarenakan
jumlah masyarakat yang direlokasi memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan
beberapa daerah tujuan seperti misalnya dari pihak Desa Bangun Rejo yang hanya
mengizinkan 100 orang untuk relokasi ke desa mereka. Keputusan akhirnya,
pemerintah meminta kepada pihak perusahaan agar selalu mendengar tuntutan
masyarakat dan selalu memprioritaskan kesejahteraan masyarakat Desa
Mulawarman. Terutama terkait suplai air bersih untuk warga yang memang sulit
untuk didapat saat ini, serta program-program dalam sektor pertanian, perkebunan,
peternakan, maupun perikanan yang juga bermasalah sejak adanya industri
tambang batu bara.
Masalah terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pada sekitar bulan
september tahun 2019 muncul masalah baru, masyarakat mencoba melakukan
tuntutan ke perusahaan terkait pembangunan terowongan oleh PT. Jembayan
Muarabara yang mengalihkan akses jalan menuju ke Desa Mulawarman.
Masyarakat meminta agar pihak perusahaan segera menepati janji mereka terkait
perbaikan jalan yang berdebu saat kering dan licin ketika hujan tiba yang
menyebabkan beberapa warga desa mengalami kecelakaan. (Menurut Keterangan
Ketua Karang Taruna Desa Mulawarman, Heri Purnomo)
Kondisi Desa Mulawarman sendiri berubah drastis dari era keemasan desa
yang dijuluki sebagai lumbung padi sampai akhirnya di tahun 2000an menjadi
kawasan industri tambang batu bara.
Pandangan Hidup Masyarakat Desa Mulawarman Kedepannya Melihat Kondisi Desa Mulawarman saat ini yang telah dikepung area
pertambangan dan kurang lebih 90 persen wilayahnya telah menjadi konsesi dari
pertambangan batu bara dan saat ini hanya menyisakan sekitar 6-7 Ha lahan untuk
pertanian. Pihak pemerintah desa dan masyarakat pun berpikir cepat untuk
mengatasi permasalahan ini dan mengantisipasi krisis yang akan terjadi
kedepannya setelah perusahaan tambang batu bara sudah tidak lagi beroperasi dan
telah habis masa kontraknya.
Masyarakat desa mencoba membuat program tandingan agar tidak
bergantung lagi pada sektor pertanian jenis padi dan juga hanya menggantungkan
hidupnya kepada bantuan dari perusahaan. Beberapa program saat ini telah
dilakukan oleh pemerintah desa maupun masyarakat, seperti program kelompok
peternakan yang juga dibantu oleh perusahaan dimana setiap kelompok keluarga
eJournal Sosiatri-Sosiologi, Volume 9, Nomor 1, 2021: 170-184
182
(KK) mendapat jatah sepasang kambing untuk beternak. Namun, program ini juga
masih mengalami pasang-surut, bahkan beberapa warga ada yang menjual hewan
ternak mereka, karena dirasa tidak mengalami kemajuan dalam segi ekonomi
masyarakat. Hal ini disampaikan langsung oleh Pak Gabriel yang mengatakan
bahwa program ternak yang ditawarkan dari perusahaan dan pemerintah hanya
sebagai obat bius bagi para petani yang sudah tidak memilki tanah untuk bercocok
tanam. Program ini hanya membuang-buang anggaran, karena pada akhirnya para
kelompok tani yang beralih menjadi kelompok ternak kebingungan dengan
pemasaran dari hasil peternakan dan berujung pada penjualan ternak yang dijatah
oleh perusahaan kepada setiap KK tersebut. Menurut keterangan dari Pak Gabriel
sebagai anggota kelompok tani dan kelompok ternak, mengatakan :
“Beberapa program dari pemerintah dan perusahaan sudah banyak di desa
ini, tapi sampai saat ini belum dirasakan hasil yang maksimal. Kayak ternak
itu setiap KK dapat sepasang kambing jantan dan betina, tapi ujung-
ujungnya ya dijual lagi sama mereka. Karena masyarakat bingung untuk
pemasaran hasil peternakan ini harus kemana, pemerintah dan perusahaan
hanya memberikan kami kambingnya saja soalnya, untuk hasilnya ini yang
harusnya dipikirkan kembali”
Beberapa program lainnya seperti bercocok tanam di lahan bekas tambang
juga coba dikembangkan saat ini. Salah satu varietas tanaman yang di
budidayakan adalah jagung untuk pakan ternak dan juga bawang merah. Namun,
program ini juga masih banyak mengalami kendala seperti suplai air yang masih
belum memadai dan memerlukan perawatan yang ekstra. Program ini juga dirasa
belum mengalami kemajuan oleh beberapa warga desa.
Dari kelompok pemuda di desa saat ini juga mencoba budidaya pertanian
lewat sistem hidroponik dan budidaya perikanannya lewat sistem akuaponik. Salah
satu tokoh pemuda dan juga ketua karang taruna Desa Mulawarman Heri Purnomo
adalah salah satu yang menggagas program-program tersebut. Heri sebelummnya
juga bekerja sebagai karyawan di PT. Kayan Putra Utama Coal sebagai
Adminstrasi Produksi. Dia berhenti dari perusahaan di tahun 2017 setelah sekitar 9
tahun bekerja di perusahaan tersebut. Dan di tahun yang sama dia berhenti sebagai
karyawan, dia menjabat sebagai ketua karang taruna Desa Mulawarman dan
mencoba membuat program-program terutama untuk pemudanya agar tidak lagi
bergantung pada bantuan dari perusahaan. Kemandirian pemuda diasah lewat
program-program kreatif seperti budidaya lewat sistem hidroponik dan akuaponik
agar tercipta lewat kemandirian ekonomi bagi para pemudanya yang saat ini juga
masih banyak yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan.
Studi Perubahan Mode Produksi dari Era Pertanian ke Era Pertambangan (Sidik)
183
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Desa Mulawarman merupakan daerah lumbung padi yang mengalami
perubahan-perubahan seperti terjadinya degradasi lingkungan¸ hilangnya
sumber-sumber mata air, dan kesuburan tanah setelah hadirnya perusahaan
pertambangan batu bara.
2. Desa Mulawarman mengalami perubahan dalam segi hubungan sosial dan
budaya seperti hilangnya makna kesakralan pada tanah dan tradisi-tradisi
dalam pertanian seperti tradisi baritan¸ gotong royong pada masa tanam dan
panen padi, dan terjadinya klasifikasi dalam hubungan sosial masyarakat
setelah beroperasinya industri pertambangan batu bara yang membuat
polarisasi-polarisasi dalam hubungan masyarakat desa.
3. Kondisi Desa Mulawarman mengalami konflik-konflik horizontal antara
sesama masyarakat seperti tumpang tindih kepemilikan lahan dan juga
mengalami konflik vertikal seperti sengketa antara kepemilikan lahan warga
dan juga lahan perusahaan.
4. Masyarakat Desa Mulawarman mengalami kondisi yang cukup tragis dalam
kondisi pasca adanya industri pertambangan batu bara yang sebagian besar
mengalihfungsikan lahan-lahan pertanian warga. Sampai saat ini, masyarakat
desa mulawarman masih mencoba bertahan secara sosial dan ekonomi
meskipun dengan kondisi di tengah gempuran dari pertambangan batu bara.
Saran
1. Dalam membuat kebijakan apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak
tentunya baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah
daerah harus terlebih dahulu memperhatikan kondisi daerah yang akan
menjadi program dari sebuah pembangunan. Pembangunan harusnya
berangkat dan dilihat dari segi kultural masyarakat setempat. Memberikan Izin
Usaha Pertambangan (IUP) ke daerah yang notabene-nya adalah masyarakat
agrikultur tentu itu sangat kontradiktif dengan kepentingan masyarakat di
daerah tersebut.
2. Desa Mulawarman menjadi contoh buruknya regulasi yang diterapkan
pemerintah dalam membuat keputusan untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Masyarakat secara konstitusi dijamin untuk rasa aman dan berhak hidup layak
baik kondisi sosial, ekonomi, dan berhak merasakan lingkungan yang sehat.
Dengan melihat Desa Mulawarman, tentunya ini menjadi cerminan agar
kedepannya pemerintah tidak lagi semena-mena ketika menerbitkan Izin
Usaha Pertambangan (IUP) di daerah-daerah lain seperti di Desa
Mulawarman.
eJournal Sosiatri-Sosiologi, Volume 9, Nomor 1, 2021: 170-184
184
Daftar Pustaka
Fauzi, Noer. 2005. Memahami Gerakan – Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta: Insist Press
Gramsci, Antono. 2013. Prison notebook : Catatan – Catatan Dari Penjara.
Yogyakarta : Pustaka Belajar
Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja, 2011. Pengantar Ekonomi
Politik Marxist. Jakarta. Komite Sentral KPO-PRP
Kumasi, T.C. & Asenso-Okyere, K. 2011. Responding to Land Degradation in the
Highlands of Tigray, Northtern Ethiopia. IFPRI Discussion Paper 01142.
December 2011. Wahingotn, D.C. dan Ethiopia: Estern and Southern Africa
Regional Office.
Lorimer, Doug, 2013. Pokok-pokok Materialisme Historis : Pandangan Marxist
Terhadap Sejarah dan Politik. Yogyakarta : Bintang Nusantara
Marx, Karl 2005. Kapital Volume I. Sebuah Kritik Ekonomi Politik, Proses
Produksi Kapitalis Secara Menyeluruh. Jakarta. Hasta Mitra
________, 2006. Kapital Volume II. Proses Sirkulasi Kapital. Jakarta : Hasta
Mitra
________, 2007. Kapital Volume III. Proses Produksi Kapitalis Secara
Menyeluruh. Jakarta : Hasta Mitra
Muslim. 2008. Hukum. Pertambangan Indonesia. Jakarta : Raja Wali Press.
Purba, Junior. Listiana, Dana. Murlianti, Sri. 2018. Integrasi Sosial Transmigrasi
Bali di Desa Kerta Buana, Kec. Tenggarong Seberang, Kab. Kutai
Kertanegara 1980-2000an. Kalimantan Timur: BPNB KALBAR.