Post on 24-Dec-2015
description
Definisi dan Prevalensi
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun dimana organ
dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-bindingautoantibody dan
kompleks imun. Sembilan puluh persen pasien adalah wanita umur subur; walaupun
semua jenis kalmin, umur, dan kelompok ras dapat terkena, prevalensi SLE di Amerika
Seikat adalah 15-50 dari 100.000 penduduk, prevalensi tertinggi diantara kelompok etnis
pada penilitian ini adalah kelompok Afrika Amerika (Negro).
Etiologi dan Patogenesis
Mekanisme pathogenic dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi antara faktor gen
predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini
termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada
kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun
adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan
inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnyatic klirens sel apoptotic dan
kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan
La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel
apoptotic; sehingga antige, autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan
untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit
berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti
dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon
tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta
Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan
suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal
menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu
CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus
dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target,
disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang
berikatan dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan
kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan
inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan
keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan
yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap
kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.
Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respon imun
abnormal yang menghasilkan autoantibody pathogen dan deposisi kompleks imun pada
jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan
kerusakan organ irreversible.Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement
component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus;
HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin;
MBL, mannose-binding ligand; MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN,
phosphotyrosine phosphatase; UV, ultraviolet
SLE merupakan penyakit yang melibatkan banyak gen. Pada individu yang memiliki
predisposisi genetik, allel normal dari beberapa gen normal masing-masing berkontribusi
terhadap respon imun abnormal yang kecil; jika beberapa variasi jumlah berakumulasi ,
penyakit akan terjadi. Defisiensi homozigot pada komponen awal dari komplemen
(C1q,r,s; C2; C4) mengakibatkan predisposisi yang kuat terhadap kejadian SLE, namun
defisiensi ini jarang terjadi. Tiap gen meningkatkan resiko SLE sebanyak 1,5 hingga 3 kali
lipat. Beberaa allel gen kemungkinan berperan dalam mempengaruhi klirens sel
apoptotic (C1q,MBL) atau kompleks imun (FcR 2A dan 3A), kemunculan antigen (HLA-
DR2,3,8), Maturasi sel B (IL-10), aktivasi sel T (PTPN22) atau kemotaksis (MCP-1).
Tidak satupun hipotesis ini telah terbukti. Sebagai penambahan terhadap predisposisi
penyakit pada etnis tertentu, beberapa gen berpengaruh terhadap manifestasi
klinis penyakit ini (misal, FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nephritis; MCP-1 untuk arthritis
dan vasculitis). Suatu daerah pada kromosom 16 mengandung gen yang merupakan
predisposisi SLE, rheumatoid arthritis, psoriasis, dan Penyakit Chron’s, Terdapat pula
beberapa allel gen yang berfungsi sebagai proteksi. Semua kombinasi gen ini
mempengaruhi respon imun terhadap lingkungan eksternal dan internal; jika respon
tersebut terlalu tinggi atau berkepanjangan, penyakit autoimun akan terjadi.
Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang
memiliki respon antibody yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar
kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki
peningkatan resiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor
pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel ini,
sehingga menunjang respon imun yang memanjang.
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1).
Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70%
pasien, kemungkinan dengan peningkatan apoptosis pada sel kulit atau dengan
mengubah DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenic. Sepertinya
beberapa infeksi memicu respon imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan
B yang mengenal self-antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik
dan produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai
autoantibody hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini,
menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun
sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibody dan sel B dan T yang pathogen cukup
untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi
yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetic. Anak dan
orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali
umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan
bertahan pada sel tersebut dalam beberapa decade; Ia juga mengandung sekuens asam
amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang
dikenali oleh autoantibody pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara
predisposisi genetic, lingkungan, jenis kelamin, dan respon imun abnormal akan
mengakibatkan autoimunitas.
Patologi
Pada SLE, biopsy dari kulit yang terkena memperlihatkan deposisi Ig pada lapisan antara
dermal dan epidermal (dermal-epidermal junction/DEJ), jejas pada keratinosit basal, dan
peradangan yang didominasi oleh limfosit T pada DEJ dan sekitar pembuluh darah serta
pada sebagian kecil dari lapisan dermal. Kulit yang tidak terkena secara klinis juga dapat
memperlihatkan deposisi Ig pada DEJ.
Pada biopsy ginjal, pola dan keparahan jejas sangat penting dalam diagnosis dan
memilih penatalaksanaan yang tepat. Penelitian klinis lupus nephritis yang banyak
dipublikasi kebanyakan menggunakan klasifikasi World Health Organization (WHO).
Tetapi, the International Society of Nephrology (ISN) dan Renal Pathology Society (RPS)
telah mempublikasikan klasifikasi yang terbaru dan menyerupai klasifikasi WHO (Tabel 1)
yang ke
mungkinan akan mengganti standar WHO. Kelebihan dari klasifikasi ISN/RPS adalah
penambahan “a” untuk perubahan aktif dan “c” untuk kronis, sehingga memberikan
informasi kepada seorang dokter mengenai prognosis dari penyakit ini (dapat reversible
atau irreversible). Semua klasifikasi berfokus pada penyakit glomerular,
walaupun keberadaan penyakit tubular interstitial dan vaskuler juga penting dalam
manifestasi klinis. Pada umumnya, penyakit kelompok III dan IV, begitupula dengan
penyakit kelompok V yang disertai dengan kelompok III atau IV, sebaiknya ditangani
dengan imunosupresi yang agresif jira memungkinkan, karena terdapat resiko tinggi
gagal ginjal tahap akhir (end-stage renal disease/ESRD) jira pasien tidak ditangani atau
terlambat ditangani. Penanganan lupus nephritis tidak dianjurkan pada pasien dengan
penyakit kelopok I dan II atau dengan perubahan irreversible yang luas. Pada anak,
diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran histologis renal walaupun tanpa
kriteria diagnosis lainnya.
Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis
Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan immunofluorescence
Class II:Mesangial Proliferative Lupus Nephritis
Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matrix mesangial dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan subendotel samara dapat terlihat dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron namun tidak tampak dengan mikroskop biasa.
Class III: Focal Lupus Nephritis
Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau ekstrakapiler terjadi pada <50%>
Class III (A): Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis
Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis
Class III (C): Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular—focal sclerosing lupus nephritis
Class IV: Diffuse Lupus Nephritis
Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau ekstrakapiler yang melibatkan 50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan depsit imun yang difus, diserta atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus nephritis segmental difus (IV-S) jika 50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika 50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi yang global. Segmentaldiartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus.
Class IV-S (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative
Class IV-G (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative
Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental proliferative dan lupus nephritis sclerosing
Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative dan lupus nephritis sclerosing
Class IV-S (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse segmental sclerosing
Class IV-G (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse global sclerosing
Class V: Membranous Lupus Nephritis
Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari pemeriksaan mikroskop dan dengan
immunofluoroscence atau mikroskop electron, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi
dengan kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus nephritis kelas V dapat
memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.
Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis
90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual
Diagnosis
Kriteria diagnosis Systemic Lupus Erythematous adalah beberapa gejala pada table 2
dibawah ini :
No Gejala Pengertian
1 Malar Rash (Butterfly
rash)
Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau
berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah
malar)
2 Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai
dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut atropi
dapat terjadi
3 Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan
bercak-bercak
4 Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat
ditemukan
5 Arthritis arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer
disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi
6 Serositis Pleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui
ECG atau bukti adanya efusi pleura
7 Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler
8 Gangguan neurologik Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas
9 Gangguan
hematologik
Anemia atau leucopenia hemolytic (<4000/l)>
10 Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid
11 Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika
diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat
memicu ANA sebelumnya.
Tabel 2.Kriteri klinis untuk diagnosis SLE
Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibody.
Kriteria terkini untuk klasifikasi telah dijelaskan diatas dan sebuah algoritme klasifikasi
terdaftar pada gambar 2. Kriteria ini bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis SLE pada
pasien yang termasuk dalam suatu penelitian; penyusun penilitian menggunakan kriteria
ini pada beberapa individu untuk menilai kecenderungan terjadinya SLE. Kombinasi 4
dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien,
membuat pasien cenderung memiliki SLE (spesifitas dan sensitivitas secara berurutan
95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala semakin b dalam selang waktu tertentu.
Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama perjalanan penyakit;
pemeriksaan ANA berulang yang negative menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali
jika autoantibody lainnya ditemukan (Gambar 2). Antibodi IgG dengan jumlah banyak
pada DNA dan antibody pada antigen Sm spesifik untuk SLE dan mendukung diagnosis
terutama dengan keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa autoantibody pada
seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang
tersebut terjadi peningkatan resiko karena SLE secara klinis terjadi pada pasien setelah
beberapa tahun ditemukannya autoantibody.
Gambar 2. Algoritme diagnosis dan penatalaksanaan SLE (klik gambar untuk
memperbesar)
Interpretasi dari Manifestasi klinis
Jika diagnosis SLE ditegakkan, penting untuk mengetahui tingkat keparahan dan
kemungkinan reversible pada penyakit ini dan untuk memperkirakan konsekuensi dari
beberapa intervensi terapeutik. Pada paragraf berikutnya, deskripsi dari beberapa
manifestasi penyakit bermulai dengan permasalahan yang relatif ringan dan
berkembang menjadi yang lebih mengancam nyawa.
Pembahasan umum dan Manifestasi sistemik
Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ; dalam selang
waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat
ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparajan SLE beragam mulai dari
ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami
eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang; remisi permanen sempurna
(Hilangnya gejala tanpa pengobatan) jarang terjadi.Gejala sistemik, utamanya malaise
dan myalgia/arthralgia, didapatkan kebanyakan. Penyakit sistemik yang berat
memerlukan terapi glukokortikoid dapat terjadi dengan demam, letih, berat badan
berkurang, dan anemia disertai atau tanpa manifestasi organ target lainnya.
Manifestasi Muskuloskeletal
Kebanyakan pasien SLE memiliki polyarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga
kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling
sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki)
terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray sendi jarang ditemukan;
keberadaannya menandakan peradangan arthropathy non lupus seperti rheumatoid
arthritis; beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika
nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis
iskemik tulang perlu dipertimbangkan, utamanya jika tidak ada manifestasi SLE aktif
lainnya. Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien
yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot klinis,
peningkatan kadar creatinin kinase, MRI Scan positif, dan nekrosis otot dan peradangan
pada biopsy dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa
myositis yang jelas. Terapi glucocoticoid dan antimalaria dapat juga menyebabkan
kelemahan otot; efek samping ini mesti dibedakan dari penyakit aktif
Manifestasi Penyakit Kulit
Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE),
bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau “lainnya”. Lesi
discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran
eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana
semua bagian demal secara permanent rusak. Lesi dapat memburukkan rupa, terutama
pada wajah dan kulit kepala. Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal
atau injeksi lokal dan antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE
(walaupun setengahnya memiliki ANA yang positif); namun, diantara individu dengan
SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat
fotosensitive, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan
sekitar hidung –the ”buterfly rash”), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas,
dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan
serangan penyakit sistemik. SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan
psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat
fotosensitif; kebanyakan memiliki antibody terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya
termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis (“lupus
profundus”). Bercak dapat ringan atau berat;p mereka dapat menjadi manifestasi utama
penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE; lesinya
mirip dengan ulkus pada sariawan.
Manifestasi Renal
Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan
infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini.
Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya
dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis
berdasar dari gambaran histologis (lihat “Patologi” diatas, dan table 1). Biopsi renal
berguna untuk merencanakan terapi terkini atau dimasa akan datang. Pasien dengan
bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki
hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam); sekitar setengah pasien
mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika glomerulonephritis
proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami ESRD
dalam 2 tahun diagnosis. Sehingga, imunosupresi agresif diindikasikan (kebanyakan
kortikosteroid sistemik disertai dengan obat sitotoxic), kecuali kerusakan irrversibel.
Etnis African American lebih cenderung mengidap ESRD dibandingkan dengan ras
Kaukasia, bahkan dengan kebanyakan terapi terkini. Di Amerika Serikat, sekitar 20%
individu dengan lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun
diagnosis ditegakkan. Individu tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif
dan dari komplikasi penyakit ginjal. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria (biasanya
nephrotik) memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa proliferasi pada
pemeriksaan biopsy ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan DPGN,
namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan
serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk
kebanyakan orang dengan lupus nephritis, percepatan atherosclerosis menjadi penting
setelah beberapa tahun , perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan tekanan
darah, hyperlipidemia, dan hyperglycemia.
Manifestasi Sistem Saraf
Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE, pada
beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas.
Penting untuk melakukan pendekatan diagnostic dengan menanyakan apakah gejalanya
akibat SLE atau penyakit lain (seperti infeksi pada individu immunocompromised). Jika
gejala berhubungan dengan SLE, sebaiknya ditentukan apakah mereka disebabkan oleh
proses difus atau penyakit oklusif vaskuler. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah
disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit
kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan
SLE; jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang.
Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh lupus, penanganan seringkali
membutuhkan antiseizure dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi manifestasi
dominant pada SLE; hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Yang
terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis
prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah
pemberian kortikosteroid diturunkan atau dihentikan. Myelopathy tidak jarang dan
seringkali menimbulkan kecacatan; terapi immunosupresif segera dimulai dengan
glukokortikoid merupakan standar terapi.
Oklusi Vaskuler
Prevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myocard meningkat pada
pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE
dengan antibody terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibody antifosfolipid ini
berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit
kronis berkaitan dengan percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat
disebabkan oleh oklusi fokal (baik noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau
dengan embolisasi dari plaq arteri carotid atau dari vegerasi fibrinous dari Libman-Sack
endocarditis. Pemeriksaan yang tepat untuk aPL (lihat dibawah) dan untuk sumber
emboli sebaiknya dilakukan pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan,
intensitas, durasi dari terapi antiinflamasi dan/atau antikoagulasi. Pada SLE, infark
myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan resiko
kejadian vaskuler dapat mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan
lebih tinggi pada wanita < style="" lang="IT">Peran dari terapi statin pada SLE masih
dalam investigasi.
Manifestasi Pulmoner
Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau
tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespon dengan pemberian terapi
NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs); jika lebih berat, pasien membutuhkan
terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadu sebagai manifestasi SLE aktif
dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang
membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis,
sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar; semua kemungkinan ini
membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini begitupula dengan
perawatan suportif.
Manifestasi Penyakit Jantung
Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya ini
berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung.
Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks
fibrinous. Keterlibatan endocardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakan
katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi
glukokortikoid atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus myocarditis
atau endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan
dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik.
Seperti yang didiskusikan diatas, pasien dengan SLE mengalami peningkatan resiko
infark myocard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana
kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau kerusakan oksidatif pada
lipid dan pada organ.
Manifestasi Hematologik
Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya
normochromic normocytic, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolysis dapat cepat
dalam onsetnya dan berat, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi,
dimana efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu
mengandung limphophenia, bukan granulositopenia; ini jarang memudahkan terjadinya
infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Thrombositopenia merupakan masalah
yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi.
Terapi glukokortikoid dosis tinggi (misal, 1 mg/kg per hari dengan prednisone atau yang
seimbang) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama thrombositopenia berat.
Anemia hemolitik dan thrombositopenia rekuren atau berkepanjangan, atau penyakit
yang membutuhkan dosis yang sangat tinggi dari glukokortikoid harian, sebaiknya
ditangani dengan strategi tambahan.
Manifestasi Gastrointestinal
Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu
serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebakan oleh peritonitis autoimun
dan/atau peritonitis. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine
aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik
secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang
melibatkan usus dapat mengancam nyawa; perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis
adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressice dengan glukokortikoid
dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi
merupakan indikasi dari terapi tambahan.
Manifestasi Okuler
Sindrom Sicca (Sindrom Sjögren's) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE
namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan
neuritis optic yang merupakan manifestasi berat: kebutaan dapat terjadi dalam beberapa
hari atau minggu. Immunosuppresi agresif dianjurkan, walaupun tidak ada penelitian
untuk membuktikan efektivitasnya. Komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk
katarak dan glaucoma.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu
diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai
terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk
mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.
Pemeriksaan Autoantibodi
Tabel 3 Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Antibody Prevalensi, %
Antigen yang Dikenali Clinical Utility
Antinuclear antibodies
98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double-stranded) Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubunfan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA
Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks protein pada U1 RNAγ
Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE.
Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein pada hY RNA, terutama 60 kDa dan 52 kDa
Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupus subakut, dan lupus neonatus disertai blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis.
Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein pada hY RNA Biasanya terkait dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis
Antihistone 70 Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome, chromatin)
Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.
Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2glycoprotein 1 cofactor, prothrombin
Tiga tes tersedia –ELISA untuk cardiolipin dan β2G1, sensitive prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.
Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs’ langsung; terbentuk pada hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan perubahan antigen sitoplasmik pada platelet.
Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE
Antineuronal (termasuk anti-glutamate receptor)
60 Neuronal dan permukaan antigen limfosit
Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.
Antiribosomal P 20 Protein pada ribosome Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS
Catatan: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay.
(Tabel 3) Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA
karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada
beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga
pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun
keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan
dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA
(bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar
internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara
laboratorium sangat tinggi. ELISA dan reaksi immunofluorosensi rpada sera dengan
dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar ~60% sensitivitas untuk SLE;
identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive
namun terhubung lebih baik dengan nephritis
Pemeriksaan Staandar untuk Diagnosis
Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan
urinalysis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan
mempengaruhi keputusan penatalaksanaan
Pemeriksaan untuk Menilai Perkembangan Penyakit
Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang mengindikasikan status dari
keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung.
Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau
albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya
untuk menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibody anti-DNA,
beberapa komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi
(termasuk yang berikatan dengan reseptor C4d pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-2,
dan adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.1. Tidak ada yang disetujui
sebagai indikator terpercaya pada serangan atau respon dari intervensi. Dokter
sebaiknya menginformasikan kepada tiap pasien pemeriksaan laboratorium yang
berubah dapat memprediksi serangan. Jika terjadi, perubahan terapi berespon dengan
perubahan hasil laboratorium dapat mencegah suatu serangan. Sebagai tambahan,
karena meningkatnya prevalensi atherosclerosis pada SLE, dianjurkan untuk mengikuti
rekomendasi dari National Cholesterol Education Program untuk memeriksa dan
menangani, termasuk menilai SLE sebagai faktor resiko independent, seperti diabetes
mellitus
Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi.
Sehingam dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang
berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang
dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami
beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah
manifestasi penyakit membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan
organ, segera rencanakan terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial
reversible, dan (3) pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit dan
penanganannya. Terapi, dosis, dan efek samping terdaftar pada table 4.
Terapi Konservatif untuk Penanganan Keadaan yang Tidak Membahayakan Nyawa
Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibody untuk SLE, namun tidak
disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan diarahkan untuk
menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang sering digunakan. NSAID
merupakan analgesic/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk arthritis/arthralgia.
Namun 2 masalah penting dalam pemakaian NSAIDs. Pertama, pasien SLE dibandingkan
dengan populasi pada umumnya memiliki peningkatan resiko terjadinya meningitis
aseptic terinduksi NSAID, peningkatan serum transaminase, hipertensi, dan disfungsi
renal. Yang kedua, semua jenis NSAIDs, terutama yang mencegah siklooksigenase-2
secara spesifik, dapat meningkatkan resiko untuk infark myokard. Acetaminophen untuk
mengendalikan nyeri mungkin strategi yang baik, namun NSAIDs dapat lebih efektif pada
beberapa pasien, dan perbandingan antara bahaya pada NSAID dengan kortikosteroid
belum diketahui. Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat
meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan
kerusakan jaringan. Karena potensi toksik pada retina, pasien yang mendapatkan
antimalaria sebaiknya menjalani pemeriksaan ophtalmologi paling tidak tiap tahun. Jika
kualitas hidup belum cukup membaik dengan pemberian terapi konservatif ini, maka
dosis glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan.
SLE Membahayakan Nyawa : Bentuk Proliferative dari Lupus Nephritis
Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau
organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.5–2 mg/kg per hari PO atau 1000 mg
methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.5–1 mg/kg
prednisone per hari). Bukti bahwa terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa
disimpulkan dari suatu penelitian retrospektif dari era predialisis; harapan hidup lebih
baik pada pasien dengan DPGN yang disembuhkan dengan glukokortikoid dosis tinggi
(40–60 mg prednisone harian selama 4-6 bulan) dibandingkan dengan dosis yang lebih
rendah. Saat ini, dosis tinggi direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat;
penelitian terkini pada intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis
tersebut. Setelah itu, dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya
hingga dosis maintenans mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga
20 mg tiap 2 hari. Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi
maintenans ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk
mencegah atau mengobati serangan. Usaha-untuk mengurangi kebutuhan glukokortikoid
dibutuhkan karena pada kebanyakan orang mengalami efek samping yang bermakna
(Tabel 4). Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa pemberian
glukokortikoid dosis tinggi melalui intravenaupus (Methylprednisolone 1000 mg/hari
selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan
pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal. Telah menjadi
umum pada praktek untuk memulai terapi SLE dengan pemberian glukokortikoid IV,
berdasar dari penelitian tentang lupus nephritis. Pendekatan ini harus dipertimbangkan
tingkat keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid
(infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dll)
Agen immunosupresif/sitotoksik yang diberikan dengan glukokortikoid direkomendasikan
untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif pada SLE melibatkan
agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus nephritis, dan selalu dengan
kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga, pemberiannya direkomendasikan untuk
mengatasi nephritis. Baik siklophosphamid atau micophenolat mofetil (inhibitor spesifik
limfosit) merupakan pilihan yang dapat diterima untuk mendapatkan erbaikan pada
pasien dengan penyakit yang berat; azathioprine (suatu analog purin dan antimetabolik)
dapat efektif namun lebih lama berespon. Pada pasien dengan biopsy ginjalnya
menunjukkan stadium III atau IV (klasifikasi ISN), terapi dini dengan kombinasi
glukokortikoid dan siklophosphamide mengurangi progresi ESRD dan meningkatkan
harapan hidup. Penelitian jangka pendek terhadap glukokortikoid disertai mycophenolate
mofetil menunjukkan bahwa regimen ini lebih aman dan tidak lebih jelek daripada
siklophosphamide dalam mempertahankan perbaikan setelah 6 bulan fase induksi. Jika
siklophosphamide digunakan, dosis yang direkomendasikan adalah 500-700
mg/m2 secara intravena, setiap bulan selama 3 hingga 6 bulan, kemudian pemberiannya
dihentikan dan melanjutkannya dengan mycophenolate atau azathioprin. Insiden dari
gangguan ovarium, merupakan efek umum dari terapi siklophosphamide, dapat
dikurangi dengan terapi agonist hormone gonadotropin-releasing sebelum pemberian
siklophosphamide. Penelitian di Eropa menyimpulkam bajwa siklophosphamide dengan
dosis 500 mg tiap 2 minggu untuk 6 dosis sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi
dan durasi yang lebih lama yang direkomendasikan sebelumnya, selama masa 5-7
tahun. Pada umumnya mayoritas pasien adalah Kaukasia; tidak jelas apakah data itu
dapat belaku untuk etnis lainnya. Siklophosphamide dan mycophenolate mulai berespon
setelah 3-16 minggu terapi dimulai, dimana glukokortikoid berespon dalam waktu 24 jam
pertama. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang tinggi [misal, 265 mol/L (3,0 mg/dL)]
selama beberapa bulan dan angka kronisitas pada biopsy renal sepertinya tidak berspon
dengan baik. Durasi yang direkomendasikan untuk pemberian siklophosphamide masih
controversial. Terdapat data untuk menunjang penanganan (1) tiap bulan IV selama 6
bulan diikuti dengan 2 tahun dengan dosis seperempatnya, (2) selama 12 minggu diikuti
dengan azathioprine, dan (3) selama 6 bulan diikuti dengan azathioprine atau
myciophenolate. Pada umumnya, siklophosphamide dan glukokortikoid dapat dihentikan
jika sudah terjadi perbaikan yang jelas pada pasien; kemungkinan dari serangan
penyakit diturunkan dengan melanjutkan terapi dengan salah satu dari obat
sitotoksik/immunosupresif yang telah didiskusikan sebelumnya. Respon terhadap lupus
nephritis terhadap siklophosphamide dan glukokortikoid lebih baik pada etnis kaukasia
dibandingkan kaum African American, namun hasil dari penelitian jangka panjang
diperlukan sebelum rekomendasi ini divalidasi. Efek samping sepertinya kebanyakan
mempengaruhi pilihan pasien terhadap siklophosphamide yang memiliki angka tinggi
kejadian kegagalan ovarium dan testis seiring dengan akumulasi dosis obat yang
meningkat, mual dan malaise yang sering mengikuti tiap dosis IV adalah alopesia dan
infeksi oportunis.
Karena glukokortikoid disertai dengan siklophosphadie memiliki efek samping dan sering
tidak disukai oleh pasien, telah dilakukan penelitian terhadap terapi yang kurang toksik;
hal ini mengarah kepada penelitian terkini serta penggunaan mycophenolate.
Azathioprine disertai dengan glukokotikoid kemungkinan mengurangi angka serangan
SLE dan menjaga kebutuhan dosis glukokortikoid.
Table 4. Medications for the Management of SLE
Medication Dose Range Drug Interactions Serious or Common Adverse Effects
NSAIDs, salicylates (Ecotrina and St. Joseph's aspirinaapproved by FDA for use in SLE)
Doses toward upper limit of recommended range usually required
A2R/ACE inhibitors, glucocorticoids, fluconazole, methotrexate, thiazides
NSAIDs: Higher incidence of aseptic meningitis, transaminitis, decreased renal function, vasculitis of skin; entire class, especially COX-2-specific inhibitors, may increase risk for myocardial infarction
Salicylates: ototoxicity, tinnitus
Both: GI events and
symptoms, allergic reactions, dermatitis, dizziness, acute renal failure, edema, hypertension
Topical glucocorticoids Mid-potency for face; mid to high potency other areas
None known Atrophy of skin, contact dermatitis, folliculitis, hypopigmentation, infection
Topical sunscreens SPF 15 at least; 30+ preferred
None known Contact dermatitis
Hydroxychloroquinea(quinacrine can be added or substituted)
200–400 mg qd (100 mg qd)
None known Retinal damage, agranulocytosis, aplastic anemia, ataxia, cardiomyopathy, dizziness, myopathy, ototoxicity, peripheral neuropathy, pigmentation of skin, seizures, thrombocytopenia
Quinacrine usually causes diffuse yellow skin coloration
DHEA (dehydroepiandrosterone) 200 mg qd Unclear Acne, menstrual irregularities, high serum levels of testosterone
Methotrexate b (for dermatitis, arthritis)
10–25 mg once a week, PO or SC, with folic acid; decrease dose if CrCl <>
Acitretin, leflunomide, NSAIDs and salicylates, penicillins, probenecid, sulfonamides, trimethoprim
Anemia, bone marrow suppression, leucopenia, thrombocytopenia, hepatotoxicity, nephrotoxicity, infections, neurotoxicity, pulmonary fibrosis, pneumonitis, severe dermatitis, seizures
Glucocorticoids, orala(several specific brands are approved by FDA for use in SLE)
Prednisone, prednisolone: 0.5–1 mg/kg per day for severe SLE
0.07–0.3 mg/kg per day or qod for milder disease
A2R/ACE antagonists, antiarrhythmics class III, 2,
cyclosporine, NSAIDs and salicylates, phenothiazines, phenytoins, quinolones, rifampin, risperidone, thiazides, sulfonylureas, warfarin
Infection, VZV infection, hypertension, hyperglycemia, hypokalemia, acne, allergic reactions, anxiety, aseptic necrosis of bone, cushingoid changes, CHF, fragile skin, insomnia, menstrual irregularities, mood swings, osteoporosis, psychosis
Methylprednisolone sodium succinate,
IVa(approved for lupus nephritis)
For severe disease, 1 g IV qd x 3 days
As for oral glucocorticoids
As for oral glucocorticoids (if used repeatedly); anaphylaxis
Cyclophosphamideb
IV
7–25 mg/kg q month x 6; consider mesna administration with dose
Allopurinol, bone marrow suppressants, colony-stimulating factors, doxorubicin, rituximab, succinylcholine, zidovudine
Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, hemorrhagic cystitis (less with IV), carcinoma of the bladder, alopecia, nausea, diarrhea, malaise, malignancy, ovarian and testicular failure
Oral 1.5–3 mg/kg per day
Decrease dose for CrCl <>
Mycophenolate mofetilb 2–3 g/d PO; decrease dose if CrCl <25>
Acyclovir, antacids, azathioprine, bile
Infection, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, lymphoma,
acid–binding resins, ganciclovir, iron, salts, probenecid, oral contraceptives
lymphoproliferative disorders, malignancy, alopecia, cough, diarrhea, fever, GI symptoms, headache, hypertension, hypercholesterolemia, hypokalemia, insomnia, peripheral edema, transaminitis, tremor, rash
Azathioprineb 2–3 mg/kg per day PO; decrease frequency of dose if CrCl <>
ACE inhibitors, allopurinol, bone marrow suppressants, interferons, mycophenolate mofetil, rituximab, warfarin, zidovudine
Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, pancreatitis, hepatotoxicity, malignancy, alopecia, fever, flulike illness, GI symptoms
PERHIMPUNAN REUMATOLOGI INDONEIA
LUPUS, Penyakit Seribu WajahOleh: Natsir Akil
Penyakit lupus juga dikenal dengan nama systemic lupus erytematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit
autoimun. Autoimun menggambarkan suatu kondisi dimana sistim imun didalam tubuh tidak mampu
membedakan antara kuman dan benda asing dari luar tubuh dengan sel-sel atau jaringan tubuh sendiri, sehingga
sistim imun menyerang sel-sel dan jaringan tubuh sendiri. Oleh karena penampilan penyakitnya sangat beragam
dan gejala serta tanda-tandanya banyak menyerupai penyakit lain, maka penyakit ini juga dikenal dengan istilah
penyakit seribu wajah. Istilah ini menggambarkan bahwa pada penderita lupus bisa muncul gejala yang tidak
khas dan samar-samar, yang menyebabkan kesulitan dalam mengenali penyakit lupus ini.
Kata lupus pertama kali digunakan pada tahun 1200 sebelum masehi, untuk menggambarkan suatu kelainan
pada muka yang disebut dengan ulserasi. Kata lupus sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti serigala.
Istilah ini bersumber dari bercak pada dikulit yang terlihat menyerupai gigitan dari serigala. Bercak kemerahan
yang khas pada lupus disebut malar butterfly rash, yaitu bercak kemerahan yang melintas diatas hidung dan
menyebar ke kedua pipi yang gambarannya menyerupai kupu-kupu. Selain mengenai kulit dan selaput lendir,
lupus juga menyerang sendi, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak.
Lupus banyak dijumpai pada wanita, terutama wanita usia reproduktif dibanding laki-laki, dan umur terbanyak
adalah pada 15-45 tahun, namun demikian pada anak-anak dan usia lanjut juga bisa ditemukan. Meskipun 90%
penderita lupus pemeriksaan laboratorium ANA (anti-nuclear antibody) nya positif, tidak ada satu pun
pemeriksaan laboratorium tunggal yang dapat memastikan seseorang menderita lupus. Banyak penderita
mengalami gejala-gejala lupus untuk beberapa tahun lamanya, sebelum mereka betul-betul ditetapkan menderita
lupus.
Sistim Imun dan Lupus
Setiap hari tubuh kita terpapar oleh berbagai benda asing, baik berupa kuman ataupun zat-zat kimia yang dapat
merusak tubuh. Tubuh tetap tidak mengalami gangguan apapun karena di dalamnya terdapat suatu sistim yang
disebut sistim imun (sistim kekebalan) yang membasmi kuman atau menetralkan benda asing yang masuk. Jika
tubuh terpapar oleh benda asing, ada dua respon imun yang akan terjadi, yang pertama adalah respon imun tidak
spesifik, yang merupakan kekebalan bawaan (innate immunity) yang memberikan respon terhadap benda asing
walaupun sebelumnya tidak pernah terpapar oleh benda asing tersebut. Respon imun yang kedua adalah respon
imun spesifik, merupakan respon imun didapat (acquired) yang timbul terhadap benda asing, terhadap mana
tubuh pernah terpapar sebelumnya dengan benda asing tersebut.
Sistim imun berfungsi melindungi tubuh terhadap setiap benda asing yang masuk terutama kuman yang dapat
menyebabkan infeksi. Kerja sistim imun tergantung pada kemampuan sistim imun mengenali molekul atau
antigen yang terdapat pada benda asing atau kuman dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk
menyingkirkan sumber antigen bersangkutan. Proses pengenalan antigen dilakukan oleh unsur utama sistim
imun yaitu sel limfosit, yang kemudian diikuti oleh fase efektor yang melibatkan berbagai jenis sel. Pengenalan
antigen sangat penting dalam fungsi sistim imun normal, karena limfosit harus mengenal semua antigen yang
terdapat pada benda asing, yang potensial bisa menyebabkan gangguan pada tubuh, dan pada saat yang
bersamaan ia juga harus mengabaikan molekul-molekul jaringan tubuh sendiri.
Kondisi ini disebut toleransi, dimana sistim imun hanya akan bereaksi terhadap benda asing yang akan merusak
tubuh, sementara dengan tubuh sendiri tidak akan bereaksi. Berkaitan dengan hal tersebut, limfosit pada
seseorang individu melakukan diversifikasi selama perkembangannya sedemikian rupa sehingga populasi
limfosit secara keseluruhan mampu mengenali seluruh benda/molekul asing dan membedakannya dari molekul
jaringan atau sel tubuh sendiri.
Dalam keadaan normal sistim imun menghasilkan sesuatu protein yang disebut antibodi (protein kekebalan).
Antibodi ini berfungsi mempertahankan tubuh kita terhadap serangan benda asing, dengan cara menetralkan
benda asing yang masuk ke tubuh kita. Pada keadaan sistim imun tidak mampu mengenali diri sendiri, maka
terjadilah kondisi yang disebut autoimun yaitu sistim imun mengenali tubuh sendiri sebagai benda asing,
sehingga sistim imun akan menyerang dan merusak sel dan jaringan tubuh sendiri.
Kondisi inilah yang terjadi pada penderita lupus, dimana sistim imun pada penderita lupus tidak mampu
mengenali diri sendiri sehingga menyerang dan merusak organ atau jaringan tubuh sendiri. Selain itu sel-sel
sistim imun juga menghasilkan protein yang disebut autoantibodi, yang juga merusak jaringan dan sel tubuh
sendiri.
Penyebab Lupus dan Faktor Pencetus
Lupus adalah penyakit yang kompleks dan sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mengapa seseorang
menderita lupus. Namun demikian kombinasi dari berbagai faktor antara lain lingkungan, hormonal, kelainan
pada sistim imun, dan faktor genetik diduga menjadi penyebab terjadinya lupus. Faktor lingkungan meliputi
paparan sinar matahari, merokok, stres, obat-obatan tertentu, dan infeksi virus. Faktor genetik berperan penting
sebagai faktor penyebab lupus. Meskipun demikian tidak semua orang yang punya kecenderungan (predisposisi)
genetik akan menderita lupus. Hanya sekitar 10% penderita lupus mempunyai orang tua atau saudara kembar
yang juga menderita lupus. Penting sekali untuk memperhatikan faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau
memperberat gejala-gejala lupus. Beberapa faktor antara lain : paparan sinar matahari, kerja berat dan kurang
istirahat, mengalami stres, menderita infeksi, trauma, menghentikan obat-obat lupus, dan penggunaan obat-obat
tertentu.
Tanda-tanda dan gejala-gejala Lupus
Gejala dan tanda-tanda lupus berbeda antara satu penderita dengan penderita lain. Bahkan dikatakan tidak ada
dua orang yang mempunyai gejala dan tanda-tanda lupus yang sama. Penampilan lupus juga bisa menyerupai
banyak penyakit lain, sehingga penyakit lupus juga dikenal dengan istilah penyakit seribu wajah. Beberapa
penderita hanya memiliki sedikit gejala, sementara yang lainnya muncul dengan banyak gejala. Gejala dapat
hilang timbul. Pada saat gejala muncul atau bertambah berat (flare) penderita merasa sakit, dan pada saat gejala
menghilang (remisi) penderita merasa sehat.
Meskipun lupus dapat mengenai seluruh organ di dalam tubuh, pada kebanyakan kasus, lupus hanya mengenai
beberapa bagian dari tubuh. Sebagai contoh pada seseorang mungkin hanya mengalami pembengkakan pada
lutut dan demam. Pada penderita lain hanya merasakan kelelahan sepanjang hari atau hanya gangguan pada
ginjal. Pada kasus yang lain, mungkin hanya ditemukan bercak kemerahan pada kulit. Seiring dengan
perjalanan waktu, gejala-gejala dapat muncul lebih banyak. Perjalanan penyakit lupus lambat, dengan gejala-
gejala yang hilang timbul. Pada wanita yang menderita lupus, gejala-gejala dan diagnosis umumnya ditegakkan
antara umur 15-45 tahun. Namun demikian lupus juga dapat ditemukan pada anak-anak dan usia lanjut.
Pada beberapa orang, manifestasi lupus adalah ringan, namun pada yang lainnya lupus dapat muncul dengan
gejala yang berat dan dapat mengancam jiwa. Gejala yang umum ditemukan pada penderita lupus adalah nyeri
dan kekakuan pada sendi tanpa disertai dengan pembengkakan, nyeri dan kelemahan pada otot, demam yang
tidak diketahui sebabnya, perasaan sangat lelah, bercak kemerahan pada muka yang menyerupai kupu-kupu
ataupun bercak kemerahan pada kulit di tempat lain, penurunan berat badan, sel darah merah yang rendah,
gangguan berpikir/mengingat ataupun kebingungan, gangguan pada ginjal, nyeri dada pada waktu menarik
napas yang dalam, timbul bercak kemerahan pada kulit jika terpapar sinar matahari, rambut rontok, ujung jari
tangan atau kaki pucat atau keunguan jika terkena hawa dingin. Sementara gejala-gejala yang jarang adalah
gangguan pembekuan darah, kejang-kejang, sariawan pada mulut atau hidung yang tidak nyeri, sakit kepala,
kelumpuhan pada anggota gerak (stroke), mata kering dan gangguan kejiwaan berupa perasaan sedih.
Kewaspadaan Lupus
Perhimpunan Reumatologi Indonesia (Indonesian Rheumatism Assosiation - IRA) membuat suatu pedoman
didalam mewaspadai kemungkinan seseorang menderita lupus. Ada 11 kriteria, jika ditemukan 2 atau lebih dari
kriteria yang tersebut dibawah ini, maka kita perlu mewaspadai seseorang menderita lupus. Kriteria
kewaspadaan lupus meliputi:
1. 1. Wanita muda dengan terdapat kelainan pada 2 organ tubuh atau lebih.
2. 2. Terdapat gejala-gejala umum seperti kelelahan, demam tanpa adanya bukti menderita infeksi, dan
penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
3. 3. Terdapat kelainan pada organ otot dan tulang seperti radang sendi (artritis), nyeri sendi (atralgia),
radang otot (miositis)
4. 4. Kelainan pada kulit dan selaput lendir berupa bercak kemerahan pada muka yang menyerupai
kupu-kupu, kulit jadi merah jika terpapar matahari (fotosensitivitas), lesi pada selaput lendir mulut
(sariawan), rambut kepala rontok (botak), ujung-ujung jari tangan dan kaki menjadi pucat jika terkena
hawa dingin.
5. 5. Gangguan pada ginjal antara lain kencing berwarna merah, terdapat protein dalam air seni
(proteinuria), bengkak seluruh badan akibat gangguan ginjal (sindroma nefrotik)
6. 6. Gangguan pada sistim saluran pencernaan dengan gejala-gejala mual, muntah, dan nyeri perut
7. 7. Gangguan pada paru berupa lesi pada jaringan paru, peningkatan tekanan pembuluh darah paru
(hipertensi pulmonal)
8. 8. Peradangan pada otot jantung (miokarditis) dan selaput jantung (perikarditis/endokarditis)
9. 9. Pembesaran organ limpa (splenomegali), hati (hepatomegali), dan jaringan limfe (limfadenopati)
10. 10. Kekurangan sel-sel darah merah (anemia), sel-sel darah putih (leukopenia), dan sel-sel
pembekuan darah (trombositopenia)
11. 11. Gangguan kejiwaan (psikosis) dan gangguan pada saraf seperti kejang-kejang
Penatalaksanaan lupus
Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan lupus. Tujuan penatalaksanaan lupus adalah
mencegah terjadinya flare, mengatasi gejala yang muncul, dan yang terpenting adalah mencegah terjadinya
kerusakan organ. Penatalaksanaan lupus meliputi edukasi dan konseling, program rehabilitasi, dan pemberian
obat-obatan.
Obat-obatan yang dapat digunakan pada penderita lupus meliputi :
1. 1. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), obat ini dapat digunakan untuk mengatasi nyeri dan
pembengkakan pada sendi dan otot. Biasanya hanya digunakan pada lupus ringan dan organ vital
tidak mengalami gangguan. Perlu kehati-hatian dalam penggunaannya karena dapat menyebabkan
gangguan pada lambung, sakit kepala, penimbunan cairan di dalam tubuh, gangguan pada hati,
darah, dan ginjal. Obat ini juga dihindari penggunaannya pada wanita hamil setelah tiga bulan
pertama kehamilan. Demikian juga perlu kehati-hatian pada wanita menyusui
2. 2.Kortikosteroid atau steroid, obat ini digunakan untuk mengatasi pembengkakan dan nyeri pada
berbagai organ tubuh. Pada dosis besar, obat ini dapat menekan kerja sistim imun. Gejala lupus
memberi respon perbaikan yang cepat dengan pemberian obat ini. Begitu gejala membaik, maka
dosis obat ini perlu diturunkan perlahan-lahan sampai dengan dosis yang paling kecil yang masih
dapat mengontrol aktifitas penyakit. Selain efeknya yang kuat dalam mengatasi gejala lupus, obat ini
juga mempunyai banyak efek samping yang harus menjadi bahan pertimbangan didalam
penggunaannya. Efek samping jangka pendek meliputi bengkak pada muka (moon face), timbul
jerawat, nyeri ulu hati, nafsu makan meningkat, berat badan bertambah, dan perubahan suasana hati.
Efek samping ini biasanya menghilang setelah obat dihentikan. Efek samping jangka panjang meliputi
mudah mengalami memar, kulit dan rambut menipis, tulang keropos, peningkatan tekanan darah,
peningkatan gula darah, kelemahan pada otot, infeksi, dan katarak. Beberapa penderita mungkin
menderita luka, depresi, ataupun gagal jantung. Kortikosteroid dapat digunakan selama kehamilan.
3. 3. Obat anti malaria, obat ini digunakan untuk pencegahan dan pengobatan malaria, tetapi juga
mempunyai efek yang baik dalam mengatasi gejala lupus. Efektifitas obat ini terlihat baik pada lupus
dengan keterlibatan kulit dan muskuloskeletal, juga baik untuk mengatasi gejala kelelahan dan
inflamasi pada paru. Ada dua obat yang sering digunakan yaitu klorokuin dan hidroksiklorokuin. Efek
samping yang utama akibat penggunaan obat ini adalah gangguan pada penglihatan. Sebelum
penggunaan obat anti malaria penderita disarankan untuk memeriksakan matanya ke dokter mata.
4. 4. Obat Immunosupressif, obat ini bertujuan menekan sistim imun pada penderita lupus, terutama
digunakan pada lupus yang berat. Obat-obatannya antara
lain azathioprine, cyclophosphamide,mycofenolate mofetil, dan methotrexate. Efek samping yang
dapat terjadi dengan penggunaan obat ini, antara lain mual, muntah, rambut rontok, gangguan pada
kandung kemih, penurunan kesuburan, kanker, dan infeksi.
Lupus dan kehamilan
Karena kebanyakan penderita lupus adalah wanita dan diagnosis umumnya ditegakkan pada usia reproduktif,
maka isu kehamilan dan lupus menjadi hal penting. Beberapa hal yang perlu diketahui menyangkut lupus dan
kehamilan adalah tingkat kesuburan wanita lupus (fertilitas), waktu yang tepat untuk hamil, risiko flare pada
saat hamil, kemungkinan bayi lahir dengan selamat, keamanan penggunaan obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol lupus pada saat kehamilan dan menyusui, dan penggunaan kontrasepsi. Lupus biasanya tidak
mengurangi tingkat kesuburan wanita penderita lupus, namun demikian lupus akan meningkatkan risiko
terhadap kehamilan dan terjadinya komplikasi.
Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi kesuburan seorang penderita lupus adalah siklus menstruasi yang
tidak teratur yang bisa terjadi selama fase aktif dari lupus dan penggunaan obat steroid dengan dosis tinggi.
Gangguan ginjal yang terjadi akibat lupus dapat menyebabkan amenore(tidak mendapat haid). Pemberian obat
siklofosfamid juga dapat menyebabkan gangguan pada ovarium (indung telur). Sepertiga dari penderita lupus
mengalami perbaikan gejala selama kehamilan, sepertiga lagi makin memburuk, dan sepertiga sisanya tidak
mengalami perubahan gejala. Tidak ada pemeriksaan yang dapat memperkirakan siapa yang akan mengalami
perburukan gejala selama kehamilan, tetapi pada penderita lupus yang sudah mengalami remisi selama lebih
dari enam bulan memperlihatkan risiko yang rendah untuk terjadi kekambuhan (flare) dan bayinya dapat lahir
dengan normal.
Sejumlah penelitian mendapatkan bahwa hamil pada saat lupus dalam keadaan aktif, akan meningkatkan risiko
terjadinya flare selama kehamilan. Demikian juga risiko terjadinya preeklampsia meningkat pada penderita
lupus. Risiko terjadinya gagal ginjal juga meningkat pada penderita lupus hamil dengan gangguan ginjal (lupus
nefritis) yang bisa mengakibatkan kematian. Wanita hamil dengan lupus, khususnya yang mendapat
kortikosteroid mempunyai risiko untuk terjadinya peningkatan tekanan darah, kencing manis (diabetes), dan
komplikasi pada ginjal. Pada penderita lupus yang tidak ingin hamil, disarankan untuk menggunakan
kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi pada penderita penderita lupus didasarkan pada kondisi penderita dan
diberikan secara individual.
Kontrasepsi oral merupakan pilihan bagi penderita dengan keadaan penyakit yang stabil, tanpa suatu kelainan
sindroma antifosfolipid (APS). Ada kekhwatiran penggunaan kontrasepsi oral, karena di dalam pil kontrasepsi
terdapat hormon estrogen yang dapat memicu kekambuhan dari lupus, tetapi dari beberapa penelitian dibuktikan
bahwa pendapat tersebut lemah. Sementara penggunaan spiral (IUD) tidak dianjurkan pada penderita lupus yang
mendapat obat steroid atau obat-obat penekan sistim imun, karena risiko terjadinya infeksi, sehingga pilihannya
adalah kondom. Konsultasi dengan para ahli sangat penting untuk menentukan kontrasepsi yang sesuai dengan
kondisi penderita.
Pengelolaan diet pada penderita lupus
Saat ini belum ada patokan yang pasti mengenai pola diet yang harus dijalani oleh penderita lupus. Diet pada
penderita lupus mungkin perlu penyesuaian tergantung gejala, pengobatan yang diberikan, dan hal-hal lain.
Penderita lupus dengan lemak darah yang tinggi, perlu mengkonsumsi makanan rendah lemak. Diet rendah
lemak juga berguna untuk menghindari risiko menderita penyakit jantung. Beberapa penelitian juga
membuktikan bahwa diet rendah lemak akan menekan sistim imun yang over aktif. Pada keadaan suhu badan
yang tinggi perlu mengkonsumsi makanan dengan kalori tinggi.
Penderita lupus yang mengalami gangguan ginjal seharusnya menghindari makanan dengan kadar protein yang
tinggi, karena akan memperberat gangguan fungsi ginjal penderita lupus. Jika menggunakan steroid, yang dapat
menyebabkan paningkatan berat badan, maka perlu pengurangan kalori. Pada penderita lupus yang sedang
menggunakan steroid juga disarankan banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium, yang
berguna untuk menghindari terjadinya pengeroposan tulang (osteoporosis), baik akibat penggunaan steroid,
maupun akibat penyakit lupusnya sendiri. Oleh karena penderita lupus tidak diperbolehkan terpapar sinar
matahari, maka disarankan banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin D.
Olah raga dan lupus
Olah raga atau latihan pada penderita lupus tetap merupakan hal yang penting. Meskipun demikian latihan harus
disesuaikan dengan kondisi penderita dan derajat aktifitas penyakit, dan sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu
kepada dokter yang merawat sebelum memulai latihan. Dengan latihan diharapkan penderita lupus dapat
mempertahankan kekuatan otot, mencegah kekakuan sendi, mengatasi gejala kelelahan, dan mencegah
terjadinya peningkatan berat badan.
Organisasi American College of Rheumatology, menyarankan 4 bentuk latihan yang dapat dilakukan pada
penderita lupus yaitu :
1. 1. Latihan kelenturan (flexibility exercise) yang meliputi latihan peregangan dan latihan ruang lingkup
sendi, bertujuan mencegah kekakuan dan meningkatkan kelenturan otot dan sendi,
2. 2. Latihan penguatan otot, bertujuan agar otot yang kuat dapat menopang sendi dengan lebih baik,
3. 3. Latihan aerobik, meliputi berjalan, bersepeda, dan berenang. Latihan ini bertujuan meningkatkan
fungsi jantung dan paru-paru
4. 4.Latihan body awareness, yang meliputi yoga, tai chi, dan pilates. Latihan ini bertujuan memperbaiki
postur tubuh, keseimbangan, dan koordinasi