S L E

27
Definisi dan Prevalensi Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun dimana organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue- bindingautoantibody dan kompleks imun. Sembilan puluh persen pasien adalah wanita umur subur; walaupun semua jenis kalmin, umur, dan kelompok ras dapat terkena, prevalensi SLE di Amerika Seikat adalah 15-50 dari 100.000 penduduk, prevalensi tertinggi diantara kelompok etnis pada penilitian ini adalah kelompok Afrika Amerika (Negro). Etiologi dan Patogenesis Mekanisme pathogenic dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnyatic klirens sel apoptotic dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotic; sehingga antige, autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.

description

s

Transcript of S L E

Page 1: S L E

Definisi dan Prevalensi

Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun dimana organ

dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-bindingautoantibody dan

kompleks imun. Sembilan puluh persen pasien adalah wanita umur subur; walaupun

semua jenis kalmin, umur, dan kelompok ras dapat terkena, prevalensi SLE di Amerika

Seikat adalah 15-50 dari 100.000 penduduk, prevalensi tertinggi diantara kelompok etnis

pada penilitian ini adalah kelompok Afrika Amerika (Negro).

Etiologi dan Patogenesis

Mekanisme pathogenic dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi antara faktor gen

predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini

termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada

kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun

adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan

inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnyatic klirens sel apoptotic dan

kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan

La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel

apoptotic; sehingga antige, autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan

untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit

berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti

dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon

tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta

Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan

suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal

menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu

CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus

dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target,

disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang

berikatan dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan

kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan

inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan

keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan

yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap

kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.

Page 2: S L E

Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respon imun

abnormal yang menghasilkan autoantibody pathogen dan deposisi kompleks imun pada

jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan

kerusakan organ irreversible.Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement

component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus;

HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin;

MBL, mannose-binding ligand; MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN,

phosphotyrosine phosphatase; UV, ultraviolet

SLE merupakan penyakit yang melibatkan banyak gen. Pada individu yang memiliki

predisposisi genetik, allel normal dari beberapa gen normal masing-masing berkontribusi

terhadap respon imun abnormal yang kecil; jika beberapa variasi jumlah berakumulasi ,

penyakit akan terjadi. Defisiensi homozigot pada komponen awal dari komplemen

(C1q,r,s; C2; C4) mengakibatkan predisposisi yang kuat terhadap kejadian SLE, namun

defisiensi ini jarang terjadi. Tiap gen meningkatkan resiko SLE sebanyak 1,5 hingga 3 kali

lipat. Beberaa allel gen kemungkinan berperan dalam mempengaruhi klirens sel

apoptotic (C1q,MBL) atau kompleks imun (FcR 2A dan 3A), kemunculan antigen (HLA-

DR2,3,8), Maturasi sel B (IL-10), aktivasi sel T (PTPN22) atau kemotaksis (MCP-1).

Tidak satupun hipotesis ini telah terbukti. Sebagai penambahan terhadap predisposisi

penyakit pada etnis tertentu, beberapa gen berpengaruh terhadap manifestasi

klinis penyakit ini (misal, FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nephritis; MCP-1 untuk arthritis

dan vasculitis). Suatu daerah pada kromosom 16 mengandung gen yang merupakan

predisposisi SLE, rheumatoid arthritis, psoriasis, dan Penyakit Chron’s, Terdapat pula

beberapa allel gen yang berfungsi sebagai proteksi. Semua kombinasi gen ini

mempengaruhi respon imun terhadap lingkungan eksternal dan internal; jika respon

tersebut terlalu tinggi atau berkepanjangan, penyakit autoimun akan terjadi.

Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang

memiliki respon antibody yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar

kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki

peningkatan resiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor

pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel ini,

sehingga menunjang respon imun yang memanjang.

Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1).

Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70%

pasien, kemungkinan dengan peningkatan apoptosis pada sel kulit atau dengan

mengubah DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenic. Sepertinya

beberapa infeksi memicu respon imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan

B yang mengenal self-antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik

dan produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai

autoantibody hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini,

menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun

sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibody dan sel B dan T yang pathogen cukup

untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi

yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetic. Anak dan

orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali

Page 3: S L E

umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan

bertahan pada sel tersebut dalam beberapa decade; Ia juga mengandung sekuens asam

amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang

dikenali oleh autoantibody pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara

predisposisi genetic, lingkungan, jenis kelamin, dan respon imun abnormal akan

mengakibatkan autoimunitas.

Patologi

Pada SLE, biopsy dari kulit yang terkena memperlihatkan deposisi Ig pada lapisan antara

dermal dan epidermal (dermal-epidermal junction/DEJ), jejas pada keratinosit basal, dan

peradangan yang didominasi oleh limfosit T pada DEJ dan sekitar pembuluh darah serta

pada sebagian kecil dari lapisan dermal. Kulit yang tidak terkena secara klinis juga dapat

memperlihatkan deposisi Ig pada DEJ.

Pada biopsy ginjal, pola dan keparahan jejas sangat penting dalam diagnosis dan

memilih penatalaksanaan yang tepat. Penelitian klinis lupus nephritis yang banyak

dipublikasi kebanyakan menggunakan klasifikasi World Health Organization (WHO).

Tetapi, the International Society of Nephrology (ISN) dan Renal Pathology Society (RPS)

telah mempublikasikan klasifikasi yang terbaru dan menyerupai klasifikasi WHO (Tabel 1)

yang ke

mungkinan akan mengganti standar WHO. Kelebihan dari klasifikasi ISN/RPS adalah

penambahan “a” untuk perubahan aktif dan “c” untuk kronis, sehingga memberikan

informasi kepada seorang dokter mengenai prognosis dari penyakit ini (dapat reversible

atau irreversible). Semua klasifikasi berfokus pada penyakit glomerular,

walaupun keberadaan penyakit tubular interstitial dan vaskuler juga penting dalam

manifestasi klinis. Pada umumnya, penyakit kelompok III dan IV, begitupula dengan

penyakit kelompok V yang disertai dengan kelompok III atau IV, sebaiknya ditangani

dengan imunosupresi yang agresif jira memungkinkan, karena terdapat resiko tinggi

gagal ginjal tahap akhir (end-stage renal disease/ESRD) jira pasien tidak ditangani atau

terlambat ditangani. Penanganan lupus nephritis tidak dianjurkan pada pasien dengan

penyakit kelopok I dan II atau dengan perubahan irreversible yang luas. Pada anak,

diagnosis SLE dapat ditegakkan berdasarkan gambaran histologis renal walaupun tanpa

kriteria diagnosis lainnya.

Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis

Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan immunofluorescence

Class II:Mesangial Proliferative Lupus Nephritis

Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matrix mesangial dengan mikroskop biasa disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan subendotel samara dapat terlihat dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron namun tidak tampak dengan mikroskop biasa.

Class III: Focal Lupus Nephritis

Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau ekstrakapiler terjadi pada <50%>

Class III (A): Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis

Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis

Class III (C): Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular—focal sclerosing lupus nephritis

Class IV: Diffuse Lupus Nephritis

Page 4: S L E

Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau ekstrakapiler yang melibatkan 50% dari seluruh glomerulus, biasanya dengan depsit imun yang difus, diserta atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi atas lupus nephritis segmental difus (IV-S) jika 50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika 50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi yang global. Segmentaldiartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus.

Class IV-S (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative

Class IV-G (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative

Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental proliferative dan lupus nephritis sclerosing

Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative dan lupus nephritis sclerosing

Class IV-S (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse segmental sclerosing

Class IV-G (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse global sclerosing

Class V: Membranous Lupus Nephritis

Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari pemeriksaan mikroskop dan dengan

immunofluoroscence atau mikroskop electron, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus nephritis kelas V dapat terjadi

dengan kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat didiagnosis. Lupus nephritis kelas V dapat

memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.

Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis

90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual

Diagnosis

Kriteria diagnosis Systemic Lupus Erythematous adalah beberapa gejala pada table 2

dibawah ini :

No Gejala Pengertian

1 Malar Rash (Butterfly

rash)

Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau

berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah

malar)

2 Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai

dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut atropi

dapat terjadi

3 Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan

bercak-bercak

4 Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat

ditemukan

Page 5: S L E

5 Arthritis arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer

disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi

6 Serositis Pleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui

ECG atau bukti adanya efusi pleura

7 Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler

8 Gangguan neurologik Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas

9 Gangguan

hematologik

Anemia atau leucopenia hemolytic (<4000/l)>

10 Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid

11 Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan

immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika

diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat

memicu ANA sebelumnya.

Tabel 2.Kriteri klinis untuk diagnosis SLE

Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibody.

Kriteria terkini untuk klasifikasi telah dijelaskan diatas dan sebuah algoritme klasifikasi

terdaftar pada gambar 2. Kriteria ini bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis SLE pada

pasien yang termasuk dalam suatu penelitian; penyusun penilitian menggunakan kriteria

ini pada beberapa individu untuk menilai kecenderungan terjadinya SLE. Kombinasi 4

dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien,

membuat pasien cenderung memiliki SLE (spesifitas dan sensitivitas secara berurutan

95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala semakin b dalam selang waktu tertentu.

Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama perjalanan penyakit;

pemeriksaan ANA berulang yang negative menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali

jika autoantibody lainnya ditemukan (Gambar 2). Antibodi IgG dengan jumlah banyak

pada DNA dan antibody pada antigen Sm spesifik untuk SLE dan mendukung diagnosis

terutama dengan keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa autoantibody pada

seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang

tersebut terjadi peningkatan resiko karena SLE secara klinis terjadi pada pasien setelah

beberapa tahun ditemukannya autoantibody.

Page 6: S L E

Gambar 2. Algoritme diagnosis dan penatalaksanaan SLE (klik gambar untuk

memperbesar)

Interpretasi dari Manifestasi klinis

Jika diagnosis SLE ditegakkan, penting untuk mengetahui tingkat keparahan dan

kemungkinan reversible pada penyakit ini dan untuk memperkirakan konsekuensi dari

beberapa intervensi terapeutik. Pada paragraf berikutnya, deskripsi dari beberapa

manifestasi penyakit bermulai dengan permasalahan yang relatif ringan dan

berkembang menjadi yang lebih mengancam nyawa.

Pembahasan umum dan Manifestasi sistemik

Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ; dalam selang

waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat

ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparajan SLE beragam mulai dari

ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami

eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang; remisi permanen sempurna

(Hilangnya gejala tanpa pengobatan) jarang terjadi.Gejala sistemik, utamanya malaise

dan myalgia/arthralgia, didapatkan kebanyakan. Penyakit sistemik yang berat

memerlukan terapi glukokortikoid dapat terjadi dengan demam, letih, berat badan

berkurang, dan anemia disertai atau tanpa manifestasi organ target lainnya.

Manifestasi Muskuloskeletal

Kebanyakan pasien SLE memiliki polyarthritis intermitten, berderajat mulai ringan hingga

kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi, paling

sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan kaki)

terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray sendi jarang ditemukan;

keberadaannya menandakan peradangan arthropathy non lupus seperti rheumatoid

Page 7: S L E

arthritis; beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi pada SLE. Jika

nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang, diagnosis nekrosis

iskemik tulang perlu dipertimbangkan, utamanya jika tidak ada manifestasi SLE aktif

lainnya. Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada pasien

yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan otot klinis,

peningkatan kadar creatinin kinase, MRI Scan positif, dan nekrosis otot dan peradangan

pada biopsy dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami myalgia tanpa

myositis yang jelas. Terapi glucocoticoid dan antimalaria dapat juga menyebabkan

kelemahan otot; efek samping ini mesti dibedakan dari penyakit aktif

Manifestasi Penyakit Kulit

Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE),

bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau “lainnya”. Lesi

discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran

eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana

semua bagian demal secara permanent rusak. Lesi dapat memburukkan rupa, terutama

pada wajah dan kulit kepala. Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal

atau injeksi lokal dan antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE

(walaupun setengahnya memiliki ANA yang positif); namun, diantara individu dengan

SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat

fotosensitive, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan

sekitar hidung –the ”buterfly rash”), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas,

dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan

serangan penyakit sistemik. SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan

psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat

fotosensitif; kebanyakan memiliki antibody terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya

termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis (“lupus

profundus”). Bercak dapat ringan atau berat;p mereka dapat menjadi manifestasi utama

penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum pada SLE; lesinya

mirip dengan ulkus pada sariawan.

Manifestasi Renal

Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan

infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini.

Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya

dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis

berdasar dari gambaran histologis (lihat “Patologi” diatas, dan table 1). Biopsi renal

berguna untuk merencanakan terapi terkini atau dimasa akan datang. Pasien dengan

bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki

hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam); sekitar setengah pasien

mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika glomerulonephritis

proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami ESRD

dalam 2 tahun diagnosis. Sehingga, imunosupresi agresif diindikasikan (kebanyakan

kortikosteroid sistemik disertai dengan obat sitotoxic), kecuali kerusakan irrversibel.

Etnis African American lebih cenderung mengidap ESRD dibandingkan dengan ras

Page 8: S L E

Kaukasia, bahkan dengan kebanyakan terapi terkini. Di Amerika Serikat, sekitar 20%

individu dengan lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10 tahun

diagnosis ditegakkan. Individu tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang agresif

dan dari komplikasi penyakit ginjal. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria (biasanya

nephrotik) memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa proliferasi pada

pemeriksaan biopsy ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan DPGN,

namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan

serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk

kebanyakan orang dengan lupus nephritis, percepatan atherosclerosis menjadi penting

setelah beberapa tahun , perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan tekanan

darah, hyperlipidemia, dan hyperglycemia.

Manifestasi Sistem Saraf

Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE, pada

beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas.

Penting untuk melakukan pendekatan diagnostic dengan menanyakan apakah gejalanya

akibat SLE atau penyakit lain (seperti infeksi pada individu immunocompromised). Jika

gejala berhubungan dengan SLE, sebaiknya ditentukan apakah mereka disebabkan oleh

proses difus atau penyakit oklusif vaskuler. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah

disfungsi kognitif, termasuk kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit

kepala juga umum terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan

SLE; jika lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang.

Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh lupus, penanganan seringkali

membutuhkan antiseizure dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi manifestasi

dominant pada SLE; hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat glukokortikoid. Yang

terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian glukokortikoid, pada dosis

prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis sembuh beberapa hari setelah

pemberian kortikosteroid diturunkan atau dihentikan. Myelopathy tidak jarang dan

seringkali menimbulkan kecacatan; terapi immunosupresif segera dimulai dengan

glukokortikoid merupakan standar terapi.

Oklusi Vaskuler

Prevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myocard meningkat pada

pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE

dengan antibody terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibody antifosfolipid ini

berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit

kronis berkaitan dengan percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat

disebabkan oleh oklusi fokal (baik noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau

dengan embolisasi dari plaq arteri carotid atau dari vegerasi fibrinous dari Libman-Sack

endocarditis. Pemeriksaan yang tepat untuk aPL (lihat dibawah) dan untuk sumber

emboli sebaiknya dilakukan pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan,

intensitas, durasi dari terapi antiinflamasi dan/atau antikoagulasi. Pada SLE, infark

myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan resiko

kejadian vaskuler dapat mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan

Page 9: S L E

lebih tinggi pada wanita < style="" lang="IT">Peran dari terapi statin pada SLE masih

dalam investigasi.

Manifestasi Pulmoner

Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau

tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespon dengan pemberian terapi

NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs); jika lebih berat, pasien membutuhkan

terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadu sebagai manifestasi SLE aktif

dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner yang

membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan fibrosis,

sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar; semua kemungkinan ini

membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini begitupula dengan

perawatan suportif.

Manifestasi Penyakit Jantung

Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya ini

berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung.

Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks

fibrinous. Keterlibatan endocardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular, kebanyakan

katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa terapi

glukokortikoid atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus myocarditis

atau endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan

dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik.

Seperti yang didiskusikan diatas, pasien dengan SLE mengalami peningkatan resiko

infark myocard, biasanya akibat percepatan terjadinya atherosclerosis, dimana

kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau kerusakan oksidatif pada

lipid dan pada organ.

Manifestasi Hematologik

Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya

normochromic normocytic, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolysis dapat cepat

dalam onsetnya dan berat, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi,

dimana efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu

mengandung limphophenia, bukan granulositopenia; ini jarang memudahkan terjadinya

infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Thrombositopenia merupakan masalah

yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi.

Terapi glukokortikoid dosis tinggi (misal, 1 mg/kg per hari dengan prednisone atau yang

seimbang) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama thrombositopenia berat.

Anemia hemolitik dan thrombositopenia rekuren atau berkepanjangan, atau penyakit

yang membutuhkan dosis yang sangat tinggi dari glukokortikoid harian, sebaiknya

ditangani dengan strategi tambahan.

Manifestasi Gastrointestinal

Page 10: S L E

Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu

serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebakan oleh peritonitis autoimun

dan/atau peritonitis. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine

aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik

secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang

melibatkan usus dapat mengancam nyawa; perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis

adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressice dengan glukokortikoid

dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi

merupakan indikasi dari terapi tambahan.

Manifestasi Okuler

Sindrom Sicca (Sindrom Sjögren's) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE

namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan

neuritis optic yang merupakan manifestasi berat: kebutaan dapat terjadi dalam beberapa

hari atau minggu. Immunosuppresi agresif dianjurkan, walaupun tidak ada penelitian

untuk membuktikan efektivitasnya. Komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk

katarak dan glaucoma.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu

diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai

terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk

mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.

Pemeriksaan Autoantibodi

Tabel 3 Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Antibody Prevalensi, %

Antigen yang Dikenali Clinical Utility

Antinuclear antibodies

98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE

Anti-dsDNA 70 DNA (double-stranded) Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubunfan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis.

Anti-Sm 25 Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA

Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia.

Anti-RNP 40 Kompleks protein pada U1 RNAγ

Tidak spesifik untuk SLE; jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE.

Page 11: S L E

Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein pada hY RNA, terutama 60 kDa dan 52 kDa

Tidak spesifik SLE; berkaitan dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupus subakut, dan lupus neonatus disertai blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis.

Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein pada hY RNA Biasanya terkait dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis

Antihistone 70 Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome, chromatin)

Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.

Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2glycoprotein 1 cofactor, prothrombin

Tiga tes tersedia –ELISA untuk cardiolipin dan β2G1, sensitive prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.

Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs’ langsung; terbentuk pada hemolysis.

Antiplatelet 30 Permukaan dan perubahan antigen sitoplasmik pada platelet.

Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE

Antineuronal (termasuk anti-glutamate receptor)

60 Neuronal dan permukaan antigen limfosit

Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.

Antiribosomal P 20 Protein pada ribosome Pada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS

Catatan: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay.

(Tabel 3) Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA

karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada

beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga

pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun

keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan

dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA

(bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar

internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara

laboratorium sangat tinggi. ELISA dan reaksi immunofluorosensi rpada sera dengan

dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar ~60% sensitivitas untuk SLE;

identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive

namun terhubung lebih baik dengan nephritis

Pemeriksaan Staandar untuk Diagnosis

Page 12: S L E

Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan

urinalysis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan

mempengaruhi keputusan penatalaksanaan

Pemeriksaan untuk Menilai Perkembangan Penyakit

Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang mengindikasikan status dari

keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung.

Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau

albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya

untuk menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibody anti-DNA,

beberapa komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi

(termasuk yang berikatan dengan reseptor C4d pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-2,

dan adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.1. Tidak ada yang disetujui

sebagai indikator terpercaya pada serangan atau respon dari intervensi. Dokter

sebaiknya menginformasikan kepada tiap pasien pemeriksaan laboratorium yang

berubah dapat memprediksi serangan. Jika terjadi, perubahan terapi berespon dengan

perubahan hasil laboratorium dapat mencegah suatu serangan. Sebagai tambahan,

karena meningkatnya prevalensi atherosclerosis pada SLE, dianjurkan untuk mengikuti

rekomendasi dari National Cholesterol Education Program untuk memeriksa dan

menangani, termasuk menilai SLE sebagai faktor resiko independent, seperti diabetes

mellitus

Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus

Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi.

Sehingam dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang

berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang

dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami

beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah

manifestasi penyakit membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan

organ, segera rencanakan terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial

reversible, dan (3) pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit dan

penanganannya. Terapi, dosis, dan efek samping terdaftar pada table 4.

Terapi Konservatif untuk Penanganan Keadaan yang Tidak Membahayakan Nyawa

Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibody untuk SLE, namun tidak

disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan diarahkan untuk

menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang sering digunakan. NSAID

merupakan analgesic/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk arthritis/arthralgia.

Namun 2 masalah penting dalam pemakaian NSAIDs. Pertama, pasien SLE dibandingkan

dengan populasi pada umumnya memiliki peningkatan resiko terjadinya meningitis

aseptic terinduksi NSAID, peningkatan serum transaminase, hipertensi, dan disfungsi

renal. Yang kedua, semua jenis NSAIDs, terutama yang mencegah siklooksigenase-2

secara spesifik, dapat meningkatkan resiko untuk infark myokard. Acetaminophen untuk

mengendalikan nyeri mungkin strategi yang baik, namun NSAIDs dapat lebih efektif pada

Page 13: S L E

beberapa pasien, dan perbandingan antara bahaya pada NSAID dengan kortikosteroid

belum diketahui. Antimalaria (hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat

meringankan dermatitis, arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan

kerusakan jaringan. Karena potensi toksik pada retina, pasien yang mendapatkan

antimalaria sebaiknya menjalani pemeriksaan ophtalmologi paling tidak tiap tahun. Jika

kualitas hidup belum cukup membaik dengan pemberian terapi konservatif ini, maka

dosis glukokortikoid sistemik mungkin diperlukan.

SLE Membahayakan Nyawa : Bentuk Proliferative dari Lupus Nephritis

Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau

organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.5–2 mg/kg per hari PO atau 1000 mg

methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.5–1 mg/kg

prednisone per hari). Bukti bahwa terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa

disimpulkan dari suatu penelitian retrospektif dari era predialisis; harapan hidup lebih

baik pada pasien dengan DPGN yang disembuhkan dengan glukokortikoid dosis tinggi

(40–60 mg prednisone harian selama 4-6 bulan) dibandingkan dengan dosis yang lebih

rendah. Saat ini, dosis tinggi direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat;

penelitian terkini pada intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis

tersebut. Setelah itu, dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya

hingga dosis maintenans mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga

20 mg tiap 2 hari. Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi

maintenans ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk

mencegah atau mengobati serangan. Usaha-untuk mengurangi kebutuhan glukokortikoid

dibutuhkan karena pada kebanyakan orang mengalami efek samping yang bermakna

(Tabel 4). Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa pemberian

glukokortikoid dosis tinggi melalui intravenaupus (Methylprednisolone 1000 mg/hari

selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan

pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal. Telah menjadi

umum pada praktek untuk memulai terapi SLE dengan pemberian glukokortikoid IV,

berdasar dari penelitian tentang lupus nephritis. Pendekatan ini harus dipertimbangkan

tingkat keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid

(infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dll)

Agen immunosupresif/sitotoksik yang diberikan dengan glukokortikoid direkomendasikan

untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif pada SLE melibatkan

agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus nephritis, dan selalu dengan

kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga, pemberiannya direkomendasikan untuk

mengatasi nephritis. Baik siklophosphamid atau micophenolat mofetil (inhibitor spesifik

limfosit) merupakan pilihan yang dapat diterima untuk mendapatkan erbaikan pada

pasien dengan penyakit yang berat; azathioprine (suatu analog purin dan antimetabolik)

dapat efektif namun lebih lama berespon. Pada pasien dengan biopsy ginjalnya

menunjukkan stadium III atau IV (klasifikasi ISN), terapi dini dengan kombinasi

glukokortikoid dan siklophosphamide mengurangi progresi ESRD dan meningkatkan

harapan hidup. Penelitian jangka pendek terhadap glukokortikoid disertai mycophenolate

mofetil menunjukkan bahwa regimen ini lebih aman dan tidak lebih jelek daripada

siklophosphamide dalam mempertahankan perbaikan setelah 6 bulan fase induksi. Jika

Page 14: S L E

siklophosphamide digunakan, dosis yang direkomendasikan adalah 500-700

mg/m2 secara intravena, setiap bulan selama 3 hingga 6 bulan, kemudian pemberiannya

dihentikan dan melanjutkannya dengan mycophenolate atau azathioprin. Insiden dari

gangguan ovarium, merupakan efek umum dari terapi siklophosphamide, dapat

dikurangi dengan terapi agonist hormone gonadotropin-releasing sebelum pemberian

siklophosphamide. Penelitian di Eropa menyimpulkam bajwa siklophosphamide dengan

dosis 500 mg tiap 2 minggu untuk 6 dosis sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi

dan durasi yang lebih lama yang direkomendasikan sebelumnya, selama masa 5-7

tahun. Pada umumnya mayoritas pasien adalah Kaukasia; tidak jelas apakah data itu

dapat belaku untuk etnis lainnya. Siklophosphamide dan mycophenolate mulai berespon

setelah 3-16 minggu terapi dimulai, dimana glukokortikoid berespon dalam waktu 24 jam

pertama. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang tinggi [misal, 265 mol/L (3,0 mg/dL)]

selama beberapa bulan dan angka kronisitas pada biopsy renal sepertinya tidak berspon

dengan baik. Durasi yang direkomendasikan untuk pemberian siklophosphamide masih

controversial. Terdapat data untuk menunjang penanganan (1) tiap bulan IV selama 6

bulan diikuti dengan 2 tahun dengan dosis seperempatnya, (2) selama 12 minggu diikuti

dengan azathioprine, dan (3) selama 6 bulan diikuti dengan azathioprine atau

myciophenolate. Pada umumnya, siklophosphamide dan glukokortikoid dapat dihentikan

jika sudah terjadi perbaikan yang jelas pada pasien; kemungkinan dari serangan

penyakit diturunkan dengan melanjutkan terapi dengan salah satu dari obat

sitotoksik/immunosupresif yang telah didiskusikan sebelumnya. Respon terhadap lupus

nephritis terhadap siklophosphamide dan glukokortikoid lebih baik pada etnis kaukasia

dibandingkan kaum African American, namun hasil dari penelitian jangka panjang

diperlukan sebelum rekomendasi ini divalidasi. Efek samping sepertinya kebanyakan

mempengaruhi pilihan pasien terhadap siklophosphamide yang memiliki angka tinggi

kejadian kegagalan ovarium dan testis seiring dengan akumulasi dosis obat yang

meningkat, mual dan malaise yang sering mengikuti tiap dosis IV adalah alopesia dan

infeksi oportunis.

Karena glukokortikoid disertai dengan siklophosphadie memiliki efek samping dan sering

tidak disukai oleh pasien, telah dilakukan penelitian terhadap terapi yang kurang toksik;

hal ini mengarah kepada penelitian terkini serta penggunaan mycophenolate.

Azathioprine disertai dengan glukokotikoid kemungkinan mengurangi angka serangan

SLE dan menjaga kebutuhan dosis glukokortikoid.

Table 4. Medications for the Management of SLE

Medication Dose Range Drug Interactions Serious or Common Adverse Effects

NSAIDs, salicylates (Ecotrina and St. Joseph's aspirinaapproved by FDA for use in SLE)

Doses toward upper limit of recommended range usually required

A2R/ACE inhibitors, glucocorticoids, fluconazole, methotrexate, thiazides

NSAIDs: Higher incidence of aseptic meningitis, transaminitis, decreased renal function, vasculitis of skin; entire class, especially COX-2-specific inhibitors, may increase risk for myocardial infarction

Salicylates: ototoxicity, tinnitus

Both: GI events and

Page 15: S L E

symptoms, allergic reactions, dermatitis, dizziness, acute renal failure, edema, hypertension

Topical glucocorticoids Mid-potency for face; mid to high potency other areas

None known Atrophy of skin, contact dermatitis, folliculitis, hypopigmentation, infection

Topical sunscreens SPF 15 at least; 30+ preferred

None known Contact dermatitis

Hydroxychloroquinea(quinacrine can be added or substituted)

200–400 mg qd (100 mg qd)

None known Retinal damage, agranulocytosis, aplastic anemia, ataxia, cardiomyopathy, dizziness, myopathy, ototoxicity, peripheral neuropathy, pigmentation of skin, seizures, thrombocytopenia

Quinacrine usually causes diffuse yellow skin coloration

DHEA (dehydroepiandrosterone) 200 mg qd Unclear Acne, menstrual irregularities, high serum levels of testosterone

Methotrexate b (for dermatitis, arthritis)

10–25 mg once a week, PO or SC, with folic acid; decrease dose if CrCl <>

Acitretin, leflunomide, NSAIDs and salicylates, penicillins, probenecid, sulfonamides, trimethoprim

Anemia, bone marrow suppression, leucopenia, thrombocytopenia, hepatotoxicity, nephrotoxicity, infections, neurotoxicity, pulmonary fibrosis, pneumonitis, severe dermatitis, seizures

Glucocorticoids, orala(several specific brands are approved by FDA for use in SLE)

Prednisone, prednisolone: 0.5–1 mg/kg per day for severe SLE

0.07–0.3 mg/kg per day or qod for milder disease

A2R/ACE antagonists, antiarrhythmics class III, 2,

cyclosporine, NSAIDs and salicylates, phenothiazines, phenytoins, quinolones, rifampin, risperidone, thiazides, sulfonylureas, warfarin

Infection, VZV infection, hypertension, hyperglycemia, hypokalemia, acne, allergic reactions, anxiety, aseptic necrosis of bone, cushingoid changes, CHF, fragile skin, insomnia, menstrual irregularities, mood swings, osteoporosis, psychosis

Methylprednisolone sodium succinate,

IVa(approved for lupus nephritis)

For severe disease, 1 g IV qd x 3 days

As for oral glucocorticoids

As for oral glucocorticoids (if used repeatedly); anaphylaxis

Cyclophosphamideb

IV

7–25 mg/kg q month x 6; consider mesna administration with dose

Allopurinol, bone marrow suppressants, colony-stimulating factors, doxorubicin, rituximab, succinylcholine, zidovudine

Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, hemorrhagic cystitis (less with IV), carcinoma of the bladder, alopecia, nausea, diarrhea, malaise, malignancy, ovarian and testicular failure

Oral 1.5–3 mg/kg per day

Decrease dose for CrCl <>

Mycophenolate mofetilb 2–3 g/d PO; decrease dose if CrCl <25>

Acyclovir, antacids, azathioprine, bile

Infection, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, lymphoma,

Page 16: S L E

acid–binding resins, ganciclovir, iron, salts, probenecid, oral contraceptives

lymphoproliferative disorders, malignancy, alopecia, cough, diarrhea, fever, GI symptoms, headache, hypertension, hypercholesterolemia, hypokalemia, insomnia, peripheral edema, transaminitis, tremor, rash

Azathioprineb 2–3 mg/kg per day PO; decrease frequency of dose if CrCl <>

ACE inhibitors, allopurinol, bone marrow suppressants, interferons, mycophenolate mofetil, rituximab, warfarin, zidovudine

Infection, VZV infection, bone marrow suppression, leukopenia, anemia, thrombocytopenia, pancreatitis, hepatotoxicity, malignancy, alopecia, fever, flulike illness, GI symptoms

PERHIMPUNAN REUMATOLOGI INDONEIA

LUPUS, Penyakit Seribu WajahOleh: Natsir Akil

 

Penyakit lupus juga dikenal dengan nama systemic lupus erytematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit

autoimun. Autoimun menggambarkan suatu kondisi dimana sistim imun didalam tubuh tidak mampu

membedakan antara kuman dan benda asing dari luar tubuh dengan sel-sel atau jaringan tubuh sendiri, sehingga

sistim imun menyerang sel-sel dan jaringan tubuh sendiri. Oleh karena penampilan penyakitnya  sangat beragam

dan gejala serta tanda-tandanya banyak menyerupai penyakit lain, maka penyakit ini juga dikenal dengan istilah

penyakit seribu wajah. Istilah ini menggambarkan bahwa pada penderita lupus bisa muncul gejala yang tidak

khas  dan samar-samar, yang menyebabkan kesulitan dalam mengenali penyakit lupus ini.  

Kata lupus pertama kali digunakan pada tahun 1200 sebelum masehi, untuk menggambarkan suatu kelainan

pada muka yang disebut dengan ulserasi. Kata lupus sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti serigala.

Istilah ini bersumber dari bercak pada dikulit yang terlihat menyerupai gigitan dari serigala.  Bercak kemerahan

yang khas pada lupus disebut malar butterfly rash, yaitu bercak kemerahan yang melintas diatas hidung dan

Page 17: S L E

menyebar ke kedua pipi yang gambarannya menyerupai kupu-kupu.  Selain mengenai kulit dan selaput lendir,

lupus juga menyerang sendi, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak. 

Lupus banyak dijumpai pada wanita, terutama wanita usia reproduktif  dibanding laki-laki, dan umur terbanyak

adalah pada 15-45 tahun, namun demikian pada anak-anak dan usia lanjut juga bisa ditemukan. Meskipun 90%

penderita lupus pemeriksaan laboratorium ANA (anti-nuclear antibody) nya positif, tidak ada satu pun

pemeriksaan laboratorium tunggal yang dapat memastikan seseorang menderita lupus. Banyak penderita

mengalami gejala-gejala lupus untuk beberapa tahun lamanya, sebelum mereka betul-betul ditetapkan menderita

lupus.

Sistim Imun dan Lupus

 

Setiap hari tubuh kita terpapar oleh berbagai benda asing, baik berupa kuman ataupun zat-zat kimia yang dapat

merusak tubuh. Tubuh tetap tidak mengalami gangguan apapun karena di dalamnya terdapat suatu sistim yang

disebut sistim imun (sistim kekebalan) yang membasmi kuman atau menetralkan benda asing yang masuk. Jika

tubuh terpapar oleh benda asing, ada dua respon imun yang akan terjadi, yang pertama adalah respon imun tidak

spesifik, yang merupakan kekebalan bawaan (innate immunity) yang memberikan respon terhadap benda asing

walaupun sebelumnya tidak pernah terpapar oleh benda asing tersebut. Respon imun yang kedua adalah respon

imun spesifik, merupakan respon imun didapat (acquired) yang timbul terhadap benda asing, terhadap mana

tubuh pernah terpapar sebelumnya dengan benda asing tersebut.

 

Sistim imun berfungsi melindungi tubuh terhadap setiap benda asing yang masuk terutama kuman yang dapat

menyebabkan infeksi. Kerja sistim imun tergantung pada kemampuan sistim imun mengenali molekul atau

antigen yang terdapat pada benda asing atau kuman dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk

menyingkirkan sumber  antigen bersangkutan. Proses pengenalan antigen dilakukan oleh unsur utama sistim

imun yaitu sel limfosit, yang kemudian diikuti oleh fase efektor yang melibatkan berbagai jenis sel. Pengenalan

antigen sangat penting dalam fungsi sistim imun normal, karena limfosit harus mengenal semua antigen yang

terdapat pada benda asing, yang potensial bisa menyebabkan gangguan pada tubuh, dan pada saat yang

bersamaan ia juga harus mengabaikan molekul-molekul jaringan tubuh sendiri.

 

Kondisi ini disebut toleransi, dimana sistim imun hanya akan bereaksi terhadap benda asing yang akan merusak

tubuh, sementara  dengan tubuh sendiri tidak akan bereaksi. Berkaitan dengan hal tersebut, limfosit pada

seseorang individu melakukan diversifikasi selama perkembangannya sedemikian rupa sehingga populasi

limfosit secara keseluruhan mampu mengenali seluruh benda/molekul asing dan membedakannya dari molekul

jaringan atau sel tubuh sendiri.

Page 18: S L E

 

Dalam keadaan normal sistim imun menghasilkan sesuatu protein yang disebut antibodi (protein kekebalan).

Antibodi ini berfungsi mempertahankan tubuh kita terhadap serangan benda asing, dengan cara menetralkan

benda asing yang masuk ke tubuh kita. Pada keadaan sistim imun tidak mampu mengenali diri sendiri, maka

terjadilah kondisi yang disebut autoimun yaitu sistim imun mengenali tubuh sendiri sebagai benda asing,

sehingga sistim imun akan menyerang dan merusak sel dan jaringan tubuh sendiri.

 

Kondisi inilah yang terjadi pada penderita lupus, dimana sistim imun pada penderita lupus tidak mampu

mengenali diri sendiri sehingga menyerang dan merusak organ atau jaringan tubuh sendiri. Selain itu sel-sel

sistim imun juga menghasilkan protein yang disebut autoantibodi, yang juga merusak jaringan dan sel tubuh

sendiri.

 

Penyebab Lupus dan Faktor Pencetus

 

Lupus adalah penyakit yang kompleks dan sampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mengapa seseorang

menderita lupus. Namun demikian kombinasi dari berbagai faktor antara lain lingkungan, hormonal, kelainan

pada sistim imun, dan faktor genetik diduga menjadi penyebab terjadinya lupus. Faktor lingkungan meliputi

paparan sinar matahari, merokok, stres, obat-obatan tertentu, dan infeksi virus. Faktor genetik berperan penting

sebagai faktor penyebab lupus. Meskipun demikian tidak semua orang yang punya kecenderungan (predisposisi)

genetik akan menderita lupus. Hanya sekitar 10% penderita lupus mempunyai orang tua atau saudara kembar

yang juga menderita lupus. Penting sekali untuk memperhatikan faktor-faktor yang dapat mencetuskan atau

memperberat gejala-gejala lupus. Beberapa faktor antara lain : paparan sinar matahari, kerja berat dan kurang

istirahat, mengalami stres, menderita infeksi, trauma, menghentikan obat-obat lupus, dan penggunaan obat-obat

tertentu.

 

Tanda-tanda dan gejala-gejala Lupus

 

Gejala dan tanda-tanda lupus berbeda antara satu penderita dengan penderita lain. Bahkan dikatakan tidak ada

dua orang yang mempunyai gejala dan tanda-tanda lupus yang sama. Penampilan lupus juga bisa menyerupai

banyak penyakit lain, sehingga penyakit lupus juga dikenal dengan istilah penyakit seribu wajah. Beberapa

penderita hanya memiliki sedikit gejala, sementara yang lainnya muncul dengan banyak gejala. Gejala dapat

hilang timbul. Pada saat gejala muncul atau bertambah berat (flare) penderita merasa sakit, dan pada saat gejala

menghilang (remisi) penderita merasa sehat.

 

Meskipun lupus dapat mengenai seluruh organ di dalam tubuh, pada kebanyakan kasus, lupus hanya mengenai

beberapa bagian dari tubuh. Sebagai contoh pada seseorang mungkin hanya mengalami pembengkakan pada

lutut dan demam. Pada penderita lain hanya merasakan kelelahan sepanjang hari atau hanya gangguan pada

ginjal.  Pada kasus yang lain, mungkin hanya ditemukan bercak kemerahan pada kulit.  Seiring dengan

Page 19: S L E

perjalanan waktu, gejala-gejala dapat muncul lebih banyak.  Perjalanan penyakit lupus lambat, dengan gejala-

gejala yang hilang timbul. Pada wanita yang menderita lupus, gejala-gejala dan diagnosis umumnya ditegakkan

antara umur 15-45 tahun. Namun demikian lupus juga dapat ditemukan pada anak-anak dan usia lanjut.

 

Pada beberapa orang, manifestasi lupus adalah ringan, namun pada yang lainnya lupus dapat muncul dengan

gejala yang berat dan dapat mengancam jiwa.  Gejala yang umum ditemukan pada penderita lupus adalah nyeri

dan kekakuan pada sendi tanpa disertai dengan pembengkakan, nyeri dan kelemahan pada otot, demam yang

tidak diketahui sebabnya, perasaan sangat lelah, bercak kemerahan pada muka yang menyerupai kupu-kupu

ataupun bercak kemerahan pada kulit di tempat lain, penurunan berat badan, sel darah merah yang rendah,

gangguan berpikir/mengingat ataupun kebingungan, gangguan pada ginjal, nyeri dada pada waktu menarik

napas yang dalam, timbul bercak kemerahan pada kulit jika terpapar sinar matahari, rambut rontok, ujung jari

tangan atau kaki pucat atau keunguan jika terkena hawa dingin. Sementara gejala-gejala yang jarang adalah

gangguan pembekuan darah, kejang-kejang, sariawan pada mulut atau hidung yang tidak nyeri, sakit kepala,

kelumpuhan pada anggota gerak (stroke), mata kering dan gangguan kejiwaan berupa perasaan sedih. 

 

Kewaspadaan Lupus

 

Perhimpunan Reumatologi Indonesia (Indonesian Rheumatism Assosiation - IRA) membuat suatu pedoman

didalam mewaspadai kemungkinan seseorang menderita lupus. Ada 11 kriteria, jika ditemukan 2 atau lebih dari

kriteria yang tersebut dibawah ini, maka kita perlu mewaspadai seseorang menderita lupus. Kriteria

kewaspadaan lupus meliputi:

 

1.     1. Wanita muda dengan terdapat kelainan pada 2 organ tubuh atau lebih.

2.    2. Terdapat gejala-gejala umum seperti kelelahan, demam tanpa adanya bukti menderita infeksi, dan

penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.

3.     3. Terdapat kelainan pada organ otot dan tulang seperti radang sendi (artritis), nyeri sendi (atralgia),

radang otot (miositis)

4.   4.  Kelainan pada kulit dan selaput lendir berupa bercak kemerahan pada muka yang menyerupai

kupu-kupu, kulit jadi merah jika terpapar matahari (fotosensitivitas), lesi pada selaput lendir mulut

(sariawan), rambut kepala rontok (botak), ujung-ujung jari tangan dan kaki menjadi pucat jika terkena

hawa dingin.

5.    5.  Gangguan pada ginjal antara lain kencing berwarna merah, terdapat protein dalam air seni

(proteinuria), bengkak seluruh badan akibat gangguan ginjal (sindroma nefrotik)

6.     6. Gangguan pada sistim saluran pencernaan dengan gejala-gejala mual, muntah, dan nyeri perut

7.     7. Gangguan pada paru berupa lesi pada jaringan paru, peningkatan tekanan pembuluh darah paru

(hipertensi pulmonal)

8.     8. Peradangan pada otot jantung (miokarditis) dan selaput jantung (perikarditis/endokarditis)

9.     9. Pembesaran organ limpa (splenomegali), hati (hepatomegali), dan jaringan limfe (limfadenopati)

Page 20: S L E

10.  10. Kekurangan sel-sel darah merah (anemia), sel-sel darah putih (leukopenia), dan sel-sel

pembekuan darah (trombositopenia)

11.  11. Gangguan kejiwaan (psikosis) dan gangguan pada saraf seperti kejang-kejang

 

Penatalaksanaan lupus

 

Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan lupus. Tujuan penatalaksanaan lupus adalah

mencegah terjadinya flare, mengatasi gejala yang muncul, dan yang terpenting adalah mencegah terjadinya

kerusakan organ. Penatalaksanaan lupus meliputi edukasi dan konseling, program rehabilitasi, dan pemberian

obat-obatan.

 

Obat-obatan yang dapat digunakan pada penderita lupus meliputi :

 

1.     1. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), obat ini dapat digunakan untuk mengatasi nyeri dan

pembengkakan pada sendi dan otot. Biasanya hanya digunakan pada lupus ringan dan organ vital

tidak mengalami gangguan. Perlu kehati-hatian dalam penggunaannya karena dapat menyebabkan

gangguan pada lambung, sakit kepala, penimbunan cairan di dalam tubuh, gangguan pada hati,

darah, dan ginjal. Obat ini juga dihindari penggunaannya pada wanita hamil setelah tiga bulan

pertama kehamilan. Demikian juga perlu kehati-hatian pada wanita menyusui

 

2.     2.Kortikosteroid atau steroid, obat ini digunakan untuk mengatasi pembengkakan dan nyeri pada

berbagai organ tubuh. Pada dosis besar, obat ini dapat menekan kerja sistim imun. Gejala lupus

memberi respon perbaikan yang cepat dengan pemberian obat ini. Begitu gejala membaik, maka

dosis obat ini perlu diturunkan perlahan-lahan sampai dengan dosis yang paling kecil yang masih

dapat mengontrol aktifitas penyakit. Selain efeknya yang kuat dalam mengatasi gejala lupus, obat ini

juga mempunyai banyak efek samping yang harus menjadi bahan pertimbangan didalam

penggunaannya. Efek samping jangka pendek meliputi bengkak pada muka (moon face), timbul

jerawat, nyeri ulu hati, nafsu makan meningkat, berat badan bertambah, dan perubahan suasana hati.

Efek samping ini biasanya menghilang setelah obat dihentikan. Efek samping jangka panjang meliputi

mudah mengalami memar, kulit dan rambut menipis, tulang keropos, peningkatan tekanan darah,

peningkatan gula darah, kelemahan pada otot, infeksi, dan katarak. Beberapa penderita mungkin

menderita luka, depresi, ataupun gagal jantung. Kortikosteroid dapat digunakan selama kehamilan.

 

3.     3. Obat anti malaria, obat ini digunakan untuk pencegahan dan pengobatan malaria, tetapi juga

mempunyai efek yang baik dalam mengatasi gejala lupus. Efektifitas obat ini terlihat baik pada lupus

dengan keterlibatan kulit dan muskuloskeletal, juga baik untuk mengatasi gejala kelelahan dan

inflamasi pada paru. Ada dua obat yang sering digunakan yaitu klorokuin dan hidroksiklorokuin. Efek

Page 21: S L E

samping yang utama akibat penggunaan obat ini adalah gangguan pada penglihatan. Sebelum

penggunaan obat anti malaria penderita disarankan untuk memeriksakan matanya ke dokter mata.

 

4.     4. Obat Immunosupressif, obat ini bertujuan menekan sistim imun pada penderita lupus, terutama

digunakan pada lupus yang berat. Obat-obatannya antara

lain azathioprine, cyclophosphamide,mycofenolate mofetil, dan methotrexate. Efek samping yang

dapat terjadi dengan penggunaan obat ini, antara lain mual, muntah, rambut rontok, gangguan pada

kandung kemih, penurunan kesuburan, kanker, dan infeksi.  

 

 Lupus dan kehamilan 

Karena kebanyakan penderita lupus adalah wanita dan diagnosis umumnya ditegakkan pada usia reproduktif,

maka isu kehamilan dan lupus menjadi hal penting. Beberapa hal yang perlu diketahui menyangkut lupus dan

kehamilan adalah tingkat kesuburan wanita lupus (fertilitas),  waktu yang tepat untuk hamil, risiko flare pada

saat hamil, kemungkinan bayi lahir dengan selamat, keamanan penggunaan obat-obat yang digunakan untuk

mengontrol lupus pada saat kehamilan dan menyusui, dan penggunaan kontrasepsi. Lupus biasanya tidak

mengurangi tingkat kesuburan wanita penderita lupus, namun demikian lupus akan meningkatkan risiko

terhadap kehamilan dan terjadinya komplikasi.

 

Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi kesuburan seorang penderita lupus adalah siklus menstruasi yang

tidak teratur yang bisa terjadi selama fase aktif dari lupus dan penggunaan obat steroid dengan dosis tinggi.

Gangguan ginjal yang terjadi akibat lupus dapat menyebabkan amenore(tidak mendapat haid). Pemberian obat

siklofosfamid juga dapat menyebabkan gangguan pada ovarium (indung telur). Sepertiga dari penderita lupus

mengalami perbaikan gejala selama kehamilan, sepertiga lagi makin memburuk, dan sepertiga sisanya tidak

mengalami perubahan gejala. Tidak ada pemeriksaan yang dapat memperkirakan siapa yang akan mengalami

perburukan gejala selama kehamilan, tetapi pada penderita lupus yang sudah mengalami remisi selama lebih

dari enam bulan memperlihatkan risiko yang rendah untuk terjadi kekambuhan (flare) dan bayinya dapat lahir

dengan normal.

 

Sejumlah penelitian mendapatkan bahwa hamil pada saat lupus dalam keadaan aktif, akan meningkatkan risiko

terjadinya flare selama kehamilan.  Demikian juga risiko terjadinya preeklampsia meningkat pada penderita

lupus. Risiko terjadinya gagal ginjal juga meningkat pada penderita lupus hamil dengan gangguan ginjal (lupus

nefritis) yang bisa mengakibatkan kematian.  Wanita hamil dengan lupus, khususnya yang mendapat

kortikosteroid mempunyai risiko untuk terjadinya peningkatan tekanan darah, kencing manis (diabetes), dan

komplikasi pada ginjal. Pada penderita lupus yang tidak ingin hamil, disarankan untuk menggunakan

Page 22: S L E

kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi pada penderita penderita lupus didasarkan pada kondisi penderita dan

diberikan secara individual.

 

Kontrasepsi oral merupakan pilihan bagi penderita dengan keadaan penyakit yang stabil, tanpa suatu kelainan

sindroma antifosfolipid (APS). Ada kekhwatiran penggunaan kontrasepsi oral, karena di dalam pil kontrasepsi

terdapat hormon estrogen yang dapat memicu kekambuhan dari lupus, tetapi dari beberapa penelitian dibuktikan

bahwa pendapat tersebut lemah. Sementara penggunaan spiral (IUD) tidak dianjurkan pada penderita lupus yang

mendapat obat steroid atau obat-obat penekan sistim imun, karena risiko terjadinya infeksi, sehingga pilihannya

adalah kondom. Konsultasi dengan para ahli sangat penting untuk menentukan kontrasepsi yang sesuai dengan

kondisi penderita.   

 

Pengelolaan diet pada penderita lupus

 

Saat ini belum ada patokan yang pasti mengenai pola diet yang harus dijalani oleh penderita lupus. Diet pada

penderita lupus mungkin perlu penyesuaian tergantung gejala, pengobatan yang diberikan, dan hal-hal lain.

Penderita lupus dengan lemak darah yang tinggi, perlu mengkonsumsi makanan rendah lemak. Diet rendah

lemak juga berguna untuk menghindari risiko menderita penyakit jantung. Beberapa penelitian juga

membuktikan bahwa diet rendah lemak akan menekan sistim imun yang over aktif. Pada keadaan suhu badan

yang tinggi perlu mengkonsumsi makanan dengan kalori tinggi.

 

Penderita lupus yang mengalami gangguan ginjal seharusnya menghindari makanan dengan kadar protein yang

tinggi, karena akan memperberat gangguan fungsi ginjal penderita lupus. Jika menggunakan steroid, yang dapat

menyebabkan paningkatan berat badan, maka perlu pengurangan kalori. Pada penderita lupus yang sedang

menggunakan steroid juga disarankan banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium, yang

berguna untuk menghindari terjadinya pengeroposan tulang (osteoporosis),  baik akibat penggunaan steroid,

maupun akibat penyakit lupusnya  sendiri. Oleh karena penderita lupus tidak diperbolehkan terpapar sinar

matahari, maka disarankan banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin D.

 

Olah raga dan lupus

 

Olah raga atau latihan pada penderita lupus tetap merupakan hal yang penting. Meskipun demikian latihan harus

disesuaikan dengan kondisi penderita dan derajat aktifitas penyakit, dan sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu

kepada dokter yang merawat sebelum memulai latihan. Dengan latihan diharapkan penderita lupus dapat

mempertahankan kekuatan otot, mencegah kekakuan sendi, mengatasi gejala kelelahan, dan mencegah

terjadinya peningkatan berat badan.

 

Organisasi American College of Rheumatology, menyarankan 4 bentuk latihan yang dapat dilakukan pada

penderita lupus yaitu :

Page 23: S L E

 

1.    1. Latihan kelenturan (flexibility exercise) yang meliputi latihan peregangan dan latihan ruang lingkup

sendi, bertujuan mencegah kekakuan dan meningkatkan kelenturan otot dan sendi,

2.     2. Latihan penguatan otot, bertujuan agar otot yang kuat dapat menopang sendi dengan lebih baik,

3.     3. Latihan aerobik, meliputi berjalan, bersepeda, dan berenang. Latihan ini bertujuan meningkatkan

fungsi jantung dan paru-paru

4.   4.Latihan body awareness, yang meliputi yoga, tai chi, dan pilates. Latihan ini bertujuan memperbaiki

postur tubuh, keseimbangan, dan koordinasi