Post on 07-Mar-2019
RESPONS NAHDLATUL ULAMA TERHADAP ISU-ISUIJTIHAD DAN TAKLID : DALAM ULASAN
BERITA NAHDLATOEL OELAMADI JAWA 1936-1939
SKRIPSIDiajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan MemperolehGelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)
Oleh :Dodi Mauludi Achmad
NIM : 103022027505
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTATAHUN 2011 M./1432 H.
ii
RESPONS NAHDLATUL ULAMA TERHADAP ISU-ISUIJTIHAD DAN TAKLID : DALAM ULASAN
BERITA NAHDLATOEL OELAMADI JAWA 1936-1939
SKRIPSIDiajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan MemperolehGelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)
Oleh :Dodi Mauludi Achmad
NIM : 103022027505
Pembimbing :
Dr. H. Abd. ChairNIP : 1954 1231 1983 03 1030
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTATAHUN 2011 M./1432 H
iii
PENGESAHAN PANITIA SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi ini berjudul “RESPONS NAHDLATUL ULAMA TERHADAPISU-ISU IJTIHAD DAN TAKLID : DALAM ULASAN BERITANAHDLATOEL OELAMA DI JAWA 1936-1939” telah diujikan dalam sidangMunaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta padatanggal 17 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu ( S 1 ) pada Jurusan Sejarah danPeradaban Islam.
Jakarta, 17 Maret 2011Sidang Munaqasyah
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MANIP. 19591222 199103 1 003
Sekretaris Merangkap Anggota
Sholikatus Sa’diyah, M.Pd19750417 200501 2 007
Anggota
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MANIP. 19591222 199103 1 003
Nurhasan, S. Ag, MANIP. 19690724 199703 1 001
Pembimbing
Dr. H. Abd. Chair, MANIP : 19541231 198303 1 030
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang saya ajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu ( S 1 ) di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan sari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 17 Maret 2011
Penulis
v
ABSTRAKSI
Ulama merupakan satu-satunya sumber rujukan bertindak dan informasimengenai paham dan wacana keislaman, mereka menjadi sumber rujukan danketaatan baik dalam perilaku sosial maupun politik serta peran media pers sebagaimedia yang tidak hanya menjadi penyalur berita-berita dan kabar-kabar saja,tetapi pers juga memiliki kamampuan untuk menyebarkan ide-ide dan pengaruhbagi masyarakat pembacanya. Selain itu pers juga merupakan suatu mediakomunikasi yang terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasiyang mengalir melalui media pers, dapat memiliki potensi membangkitkankesadaran kolektif, sehingga penggunaan media pers pada akhirnya dapatdipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial dan keagamaan sebagaisarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang ingin dicapainya.Dan dari sinilah isu-isu tentang ijtihad dan taklid berkembang yang dimulai daripara ulama melalui media yang sedang berkembang yaitu pers. Isu mengenaiijtihad dan taklid dimulai dari kritikan kepada para ulama tradisional yang masihdan menuntut sikap taklid pada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari empatimam madzhab fiqih, oleh karena itu gerakan pembaharu menolak taklid danmenganjurakan kembali pada sumber asli, yaitu al-Qu’an dan Hadits, yang harusdi reinterpretasikan melalui penalaran bebas (ijtihad) oleh ulama yang memenuhisyarat. NU dengan BNO-nya merespon atas kritikan tersebut yang memuat artikeldi dalamnya tentang masalah ijtihad dan taklid.
vi
KATA PENGANTAR
Tiada untaian kata yang terindah yang dapat penulis sampaikan, selain
rasa syukur ke hadirat Allâh SWT, yang telah memberikan kenikmatan tiada batas
kepada para hambaNya di alam fana ini. Salawat dan salam semoga senantiasa
tercurah dan terlimpah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para
sahabat dan pengikutnya yang senantiasa menjalankan sunnah-sunnahnya hingga
akhir zaman.
Karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi merupakan salah satu syarat untuk
mencapai gelar sarjana Strata Satu (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan diselesaikannya penulisan skripsi ini, tentunya tidak sedikit kesulitan,
hambatan yang penulis hadapi dan rasakan, baik yang menyangkut masalah
pengaturan waktu, pengumpulan data-data, dan lain sebagainya. Akan tetapi,
dengan keteguhan hati dan kemauan untuk berusaha keras serta dorongan dan
bantuan yang datang dari berbagai pihak, kesulitan dan hambatan tersebut sedikit
demi sedikit dapat teratasi dengan baik.
Penulis menyadari dan yakin, bahwa atas rahmat dan karuniaNya serta
dorongan berbagai pihak yang telah berkenan memberikan bantuan, fasilitas,
kemudahan, dan doa restu kepada penulis, skripsi ini selesai. Untuk itu, penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
mereka yang terlibat, dalam hal ini terutama kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, yang dengan ikhlas, tulus, dan sabar memberikan
kasih sayang, perhatian dan doa kepada penulis, sehingga penulis mampu
melanjutkan studi hingga ke tingkat perguruan tinggi. Terima kasih pula
vii
kepada kakak-kakakku, atas segala dorongan yang diberikan kepada penulis.
Semoga amal perbuatan beliau semua mendapat ganjaran yang setimpal dari
Allâh swt.
2. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, DR. Abd Wahid Hasyim, MA, Drs. H.
M. Ma’ruf Misbah, MA, selaku Ketua dan Sholikatus Sa’diyah, M.Pd,
sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang senantiasa melayani
penulis dalam urusan administrasi dan akademik.
3. DR. Abd Chair, MA, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu
di tengah kesibukannya bagi penulis untuk menyelesailan skripsi ini.
4. Segenap Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak berjasa dalam memberikan motivasi dan bimbingan
berupa ilmu, terutama selama penulis menjalankan studi di kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pihak Akademik, Pihak Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora,
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan lainnya, yang telah
memberikan pelayanan dan banyak menyediakan serta memberikan referensi
berupa data-data kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat selesai.
Penulis hanya bisa berdoa, semoga amal baik mereka diberikan ganjaran
yang setimpal, karena sesungguhnya Allâh Swt sebaik-baik pemberi balasan.
Ciputat, 17 Maret 2011
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ ii
ABSTRAKSI ....................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.................................................... 9
D. Metode Penulisan ........................................................................ 9
E. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 10
F. Sitematika Penulisan ................................................................... 11
BAB II PERKEMBANGAN IJTIHAD DAN TAKLID DI JAWA
ABAD KE-20
A. Pengertian Ijtihad dan Pengertian Taklid ................................... 13
B. Isu Ijtihad Dan Taklid di Masyarakat Jawa ................................ 20
C. Perkembangan Ijtihad dan Taklid pada Organisasi Keagamaan
di Jawa Abad ke-20 .................................................................... 22
BAB III ORGANISASI ISLAM DAN PERS ABAD KE-20 DI JAWA
A. Perkembangan Organisasi Islam Abad ke-20 di Jawa ................ 25
B. Perkembangan Pers Abad ke-20 di Jawa .................................... 31
ix
C. Hubungan Organisasi Islam dan Pers Abad ke-20 di Jawa......... 37
BAB IV ULASAN TERHADAP ISU-ISU IJTIHAD DAN TAKLID
DALAM PEMBERITAAN BNO DI JAWA
A. Terbentuknya BNO ..................................................................... 40
B. Diterbitkannya BNO Sebagai Media Sah NU............................. 42
C. Pandangan Kaum Pembaharu Tentang Ijtihad dan Taklid.......... 43
D. Pengertian Ijtihad dan Taklid Menurut NU ................................ 49
E. Ijtihad dan Taklid dalam Ulasan BNO di Jawa........................... 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 64
DATAR PUSTAKA ............................................................................................ 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ada beberapa organisasi sosial keagamaan yang berdiri pada paruh
pertama abad keduapuluh. Organisasi yang cukup besar antara lain al-Jam’iyah al-
Khairiyah (1905), al-Irsyad (1915), Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah dan
Persis serta Nahdlatul Ulama. Al-Jam’iyah al-Khairyah dan al-Irsyad, yang aktif
dalam bidang pendidikan, didirikan oleh orang-orang Arab. Mayoritas anggotanya
pun orang Arab1.
Bila melihat rentetan sejarah peradaban Islam di Indonesia, maka akan
ditemukan beberapa periode perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yaitu
sebagai berikut.
Pertama, periode ketika kepemimpinan ulama sangat dominan di
masyarakat Muslim. Kepemimpinan ulama berlangsung sejak Islam datang di
Indonesia hingga berlangsungnya masa penjajahan. Ulama merupakan satu-
satunya sumber rujukan bertindak dan informasi mengenai paham dan wacana
keIslaman, mereka menjadi sumber rujukan dan ketaatan baik dalam perilaku
sosial maupun politik, hingga penjajahan Belanda makin merata, peran ulama
tidak tergoyahkan, bahkan menjadi simbol perlawanan dalam perang-perang besar
melawan penjajah. Misalnya, Fatahillah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa,
Kiai Maja membantu perang Diponegoro, Imam Bonjol dalam perang Padri.
Periode sekitar tahun 1900 muncul “gerakan pembaharu.”
1 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta, LP3ES, 1996),hal. 84.
2
Kedua, peran ulama digantikan oleh pemimpin-pemimpin Islam yang
bergerak di bidang organisasi atau kepartaian dalam perpolitikan. Diawali oleh
peran pemimpin organisasi sosial keagamaan seperti Haji Abdul Karim Amirullah
(ayah HAMKA), Zaenul Labai al-Yunusi dan pemimpin-pemimpin organisasi
Sumatera Thawalib, di Sumatera ; Syaikh Ahmad Soorkati dari al-Irsyad, Haji
Adbul Karim dari Persyarekatan Ulama Majalengka, Kiai Haji Ahmad Dahlan
pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta, Ahmad Hasan dari Persis, dan organisasi
politik Serikat Islam dengan tokohnya HOS Tjokroaminito, H. Agus Salim,
Muhammad Rum, Syafruddin Prawiranegara, Hamka, dan lain-lain, dalam hal ini
Muhammad Natsir tahun 1936 mengatakan “Islam sesungguhnya bukan hanya
sistem agama saja, tetapi Islam meliputi seluruh aspek kehidupan baik spiritual,
politik, dan intelektual.2
Isu ijtihad dan taklid telah berkembang di Jawa sekitar awal abad ke-20
dan ditandai dengan datangnya para ulama yang membawa pandangan
pembaharu, yang mana Badri yatim mengatakan bahwa katalisator dari gerakan
pembaharu adalah Jamaluddin al-Afghani.3
Martin vab Bruinessen, menjelaskan bahwa isu mengenai ijtihad dan taklid
dimulai dari kritikan kepada para ulama tradisional yang masih dan menuntut
sikap Taklid pada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari empat imam madzhab
fiqih ortodoks abad pertengahan, oleh karena itu gerakan pembaharu menolak
taklid dan menganjurkan kembali pada sumber asli, yaitu al-Qu’an dan Hadits,
2 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : PT RajaGrafindoPersada, 2005), hlm. 307-308
3 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Cet XV-2003), hal. 257
3
yang harus direinterpretasikan melalui penalaran bebas (ijtihad) oleh ulama yang
memenuhi syarat.4
Memang benar bahwa perkembangan isu-isu Taklid dan ijtihad diawali
oleh para pelajar yang pulang dari belajarnya di Timur Tengah dan membawa
pandangan-pandangan pembaharuannya, Zaini Muchtarom menjelaskan dalam
buku Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, bahwa setelah warga
Indonesia mulai sadar berorganisasi dan sadar politik, para pemuka agama
membuat suatu organisasi untuk menghimpun ummat Islam, yang salah satunya
itu adalah Serikat Dagang Islam pada 1911, dan Muhammadiyah 1912 dan
lainnya.
Dari organisasi sosial keagamaan yang berdiri itu, isu tentang taklid dan
ijtihad mulai didengungkan sebagai dakwah untuk memurnikan ajaran Islam yang
berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, dan hal itu menimbulkan
kegelisahan kepada para masyarakat (pengikut ulama tradisional) karena mereka
mendapatkan kritik-kritik yang seperti Bruinnesen ungkapkan di atas, klimaksnya
pada tahun 1926 terbentuklah organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama untuk
menaungi para pengikut yang masih menjalani praktek taklid.
Dengan demikian gerakan pembaharuan Islam mempunyai tugas
memberantas hal-hal yang bersifat mitos dan tahayul yang sudah mengakar di
masyarakat sebagai perilaku yang tidak rasional. Sesungguhnya dalam gerakan
pembaharuan Islam tersebut selain mengembalikan rel Islam ke jalan yang
sebenarnya juga bernuansa mengedepankan penggunaan akal dalam menyikapi
masalah seperti yang terdapat dalam al-Qur’an.
4 Martin van Bruinessen, NU : Tradisi-Relasi-Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta :LKiS, Cet VII, 2009), hal. 20
4
Menurut G. F. Pijper,5 salah satu aspek dari gerakan pembaharuan
(reformisme) adalah berpegang teguh kepada dasar Islam tetapi tidak menutupi
bagi masuknya ilmu pengetahuan yang sudah muncul pada masa itu. Dengan kata
lain diperlukan suatu modernisme dalam Islam dengan mengedepankan pemikiran
melalui berbagai sarana dan salah satu sarana terpenting adalah melalui media
pers.
Kalau dilihat dari sudut pandang pada masa itu, pers dapat dianggap telah
membuat revolusi komunikasi, karena telah menggeser atau mengubah pola
komunikasi tradisional (lisan) menjadi tertulis dalam bentuk surat kabar atau
majalah. Di samping itu media cetak menampilkan sistem komunikasi terbuka,
siapa saja bisa membacanya. Sehingga aliran informasi bisa meningkat
intensitasnya, meski saluran itu lebih bersifat satu arah, tetapi lebih mempunyai
potensi membangkitkan kesadaran kolektif.6
Perubahan yang terjadi pada abad ke-19 menjadikan media pers sebagai
salah satu sarana untuk memperkenalkan produk-produk perdagangan dan
industri, serta sejak awal abad ke-20 menemukan bentuknya sebagai media untuk
melaporkan kegiatan lembaga atau organisasi dan juga untuk menyebarkan
aspirasi-aspirasinya, sehingga nantinya banyak organisasi sosial, budaya dan
politik masyarakat Indonesia yang menggunakan pers sebagai media penyalur
aspirasinya.
Kebangkitan organisasi massa Islam yang dipelopori Serekat Islam di
Surakarta pada tahun 1911 juga menggunakan surat kabar sebagai salah satu
5 G. F. Pijper, Beberapa Studi tentang Islam di Inonesia 1900-1942, (Jakarta : UI Press,1985), hal.103.
6 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah PergerakanNasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal.113
5
sarana untuk komunikasi antar anggotanya dan juga menyalurkan aspirasi mereka
baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah kolonial. Surat kabar yang
dimiliki SI adalah Oetoesan Hindia tahun 1913, yang terbit di Surabaya dengan
susunan redaksinya adalah Tjokroaminoto, Abd. Moeis, H. Agus Salim,
Wagnjadisastra dan Soerjopranoto. Surat kabar SI yang lain adalah Sinar Djawa
(Semarang), Pantjaran Warta (Betawi) dan Sarotomo (Surakarta).
Orgnisasi sosial keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah yang berdiri
sejak tahun 1912 juga memiliki beberapa majalah, seperti Mingguan Adil
(Surakarta) dan Papadanging Moehammadijah (Surakarta). Sementara di Jawa
Barat, khususnya di daerah Cirebon dan Majalengka terbit pers milik organisasi
Persarekatan Oelama yang didirikan oleh K. H. Abdul Halim di Majalengka
(1913), yaitu majalah bulanan Asj Sjoero (Majalengka, 1934), Soeara
Persjarikatan Oelama (Majalengka dan Cirebon, 1931) dan Soeara Islam
(Cirebon, 1921). Selain itu Sarekat Islam Cabang Cirebon juga memiliki organ
pers, yaitu surat kabar Fadjar (1921) dan Muhammadiyah memiliki organ pers
juga yaitu Soeara Muhammadiyah (1922).
Dengan demikian bisa kita lihat bahwa pentingnya pers sebagai media
yang tidak hanya menjadi penyalur berita-berita dan kabar-kabar saja, pers juga
memiliki kamampuan untuk menyebarkan ide-ide dan pengaruh bagi masyarakat
pembacanya. Selain itu pers juga merupakan suatu media komunikasi yang
terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasi yang mengalir
melalui media pers, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo7 dapat memiliki
potensi membangkitkan kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media pers
7 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasionaldari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid II, (Jakarta : Gramedia, 1990), hal. 113
6
pada akhirnya dapat dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial, dan
keagamaan sebagai sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang
ingin dicapainya.
Demikian pula dengan organisasi Nahdlatul Ulama yang lahir pada
tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926), bermula dari Komite Hijaz yang
didirikan oleh Kyai Wahab Hasbullah sebagai protes terhadap sikap dan tingkah
laku kalangan pembaharu. Kongres-kongres al-Islam selalu didominir oleh
kalangan pembaharu, sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan sering tidak
mencerminkan aspirasi kalangan ulama tradisional. Berdirinya NU memang
dirasakan suatu kebutuhan, sebab selama ini kalangan ulama tradisional tidak
mempunyai suatu organisasi yang teratur untuk membela kehidupan bermazhab
dan kepentingan mereka lainnya. Muhammadiyah yang berdiri sejak 1912,
sekalipun barangkali tidak anti mazhab namun gerakan-gerakannya bercorak
Islam non-mazhab.8
Kelahiran NU merupakan gerakan pengimbang terhadap gerakan kalangan
pembaharu. Hal ini, seperti dikatakan kyai Wahab Hasbullah, sudah dipikirkan
sejak sepuluh tahun sebelumnya.9
Dalam rangka untuk membentengi para pengikut ulama tradisional dari
paham-paham pembaharu yang menolak untuk bertaklid dan bermazhab, maka
dari itu NU menerbitkan majalah yang terbit 2 kali dalam sebulan, yakni pada
tanggal 1 dan tanggal 15 pada setiap bulannya, majalah itu adalah Berita
Nahdlatul Oelama, salah satu isinya banyak menerangkan tentang masalah ijtihad
8 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta : LP3ES, 1985), hal.70
9 Muhamad Umar Burhan, Sejarah Perjuangan Kyai Haji Abdul Wahab, (Bandung :Penerbit Baru, 1970), hal. 12
7
dan taklid. Pada masa itu banyak majalah-majalah yang mengkritik tentang
masalah ijtihad dan taklid, mereka mengkampanyekan dalam surat-surat kabar
dan majalah-majalah masing-masing organisasi keIslaman pada waktu itu, seperti
Soewara Muhammadijad sejak 1912, Fadjar yaitu surat kabar harian milik
Sarekat Islam sejak 1920, Soeara Persjarikatan Oelama sejak tahun 1929 dan
surat-surat kabar lainnya yang sezaman bahkan sampai sekarang. Pemberitaannya
yang mengkritik praktik mitos dan tahayul kemudian diberikan ulasannya yang
lebih rasional dan masuk akal sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah. 10
Berita Nahdlatul Oelama juga menjelaskan tentang pengertian ijtihad dan
taklid itu lebih rasional, masuk akal, sesuai juga dengan al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah, dengan demikian, diterbitkannya Berita Nahdlatul Ulama menjadi
pembenteng bagi pengikut para ulama tradisional.
Berita Nahdlatul Oelama merupakan lembaga dan media yang sah dari
organisasi NU pada masanya. Latar belakang dibentuk dan diterbitkannya Berita
Nadlatul Oelama adalah untuk berdakwah dan menyiarkan Islam yang masih
menganut ijtihad dan taklid. Media-media massa dan majalah-majalah milik
beberapa organisasi sosial politik keagamaan, menerbitkan juga seperti yang telah
ditulis diatas tentang beberapa media massa yang ditebitkan. Paham-paham
pembaharu secara langsung menafikan ijtihad dan taklid, dan menyerukan untuk
kembali kepada ajaran yang sebenarnya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan
warga NU yang masih menggunakan ijtihad dan taklid sebagai bahan acuan dan
ajaran menjadikan Berita Nahdlatul Oelama pegangan dan bahan informasi untuk
tidak terpengaruh terhadap paham pembaharu tersebut.
10 Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian AtasArtikel-Artikel KeIslaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942, (Jakarta :Laporan Awal Penelitian, 2006)
8
Oleh karenanya penulis memutuskan untuk memilih peristiwa ini sebagai
obyek kajian dengan judul, ”Respons Nahdlatul Ulama terhadap Isu-Isu Ijtihad
dan Taklid dalam Ulasan Berita Nahdlatul Oelama di Jawa 1936-1939”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dibahas di atas, maka perlu
adanya pembatasan dan perumusan masalah agar tidak terjadi kesalahpahaman
dan kesimpangsiuran dalam penggarapan skripsi ini. Penulis akan mengulas
artikel pemberitaan yang terdapat dalam majalah Berita Nahdlatul Ulama yang
terbit di Jawa antara tahun 1936-1939. Penulis ingin menjawab beberapa
pertanyaan sebagai pokok-pokok permasalahan yang menjadi inti dari skripsi ini.
Adapun beberapa permasalahan itu dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana isu tentang ijtihad dan taklid yang berkembang di masyarakat
antara tahun 1936-1939 ?
2. Mengapa banyak bermunculan pikiran ijtihad dan taklid di Jawa pada awal
abad ke-20?
3. Bagaimana NU menjelaskan ijtihad dan taklid dalam ajaran Islam dan
bagaimana menyikapi perdebatan tentang isu-isu ijtihad dan taklid dalam
pemberitaan ?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah :
1. Merekonstruksi suatu gerakan dakwah dan pemikiran yang dilakukan
organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama di pulau Jawa, melalui
pemberitaan.
2. Dengan bercermin dan melakukan refleksi terhadap gambaran
pemberitaan majalah yang menjdi obyek studi pada masa itu, bangsa
Indonesia, khususnya bagi golongan yang mempraktekkan paham-paham
pembaharu dalam Islam yang menyebutkan ajaran ijtihad dan taklid
sebagai ajaran yang mengandung unsus bid’ah dan sesat.
D. Metode Penulisan
Dengan menggunakan majalah sebagai media yang dapat memberikan
pengaruh bagi pembacanya, yang pada akhirnya dipergunakan oleh sebagian
kekuatan sosial, politik dan keagamaan sebagai sarana untuk mengaktualisasikan
ide-ide kondisi-kondisi yang ingin dicapainya.
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian kepustakaan (library research), dengan menggunakan Berita Nahdlatul
Oelama yang diterbitkan oleh organisasi keagamaan NU dan menggunakan
metode deskriptif-analitis dengan cara mengumpulkan yang paling sesuai dengan
pembahasan skripsi, kemudian dibandingkan antara data yang satu dengan data
yang lain agar dapat memperoleh data yang lebih akurat untuk di jadikan sumber
rujukan penyusunan skripsi. Untuk melengkapi penulisan skripsi, penelusuran
awal, sumber majalah ini penulis dapatkan dalam naskah asli yang dipegang oleh
10
perpustakaan yang ada di PBNU Jakarta. Selain itu sumber pustaka akan dicari
dari perpustakaan Nasional, perpustakaan Arsip Nasional RI (ANRI) dan
perpustakaan yang terdapat pada intern kampus UIN Jakarta.
Sumber-sumber yang sudah diperoleh akan dianalisa dengan
menggunakan ulasan wacana terutama untuk kategori artikel atau opini, karena
tulisan tersebut lebih bersifat subyektif pandangan dari penulis. Selain itu sumber-
sumber pustaka juga akan dianalisa dan diupayakan membuat eksplanasi dan hasil
interpretasi terhadap sumber-sumber primer maupun sumber sekunder. Pada
bagian akhir ini penulis akan melakukan proses historiografi yaitu penulisan yang
terstuktur sesuai kerangka yang telah dibuat berdasarkan poin permasalahan yang
tersebut di atas.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini menggunkan literatur jenis media pers yakni Berita
Nahdlotul Oelama yaitu majalah yang dikeluarkan resmi oleh Organisasi
keagaman NU, penulis membahas majalah sekitar tahun 1936-1939, tetapi tidak
juga mengenyampingkan media-media pers yang lain.
Setelah itu literatur yang menunjang untuk membahas penelitian ini adalah
literatur yang menjelaskan tentang pentingnya pers dalam menyampaikan opini
masyarakat dan opini suatu organisasi di awal abad ke-20 seperti buku yang di
tulis oleh Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, di sini
membahas tentang kepentingan media pers dalam menyampaikan aspirasi.
Juga yang menjadi rujukan bahwa perkembangan pers sebagai pembawa
organisasi politik, adalah buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid V yang disusun
11
oleh Marwati Djoened Poesponegoro, ed, salah satu yang menjelaskan teori
tentang pers pada awal abad ke-20 ini, setelah itu penulis lebih banyak
menggunakan literatur BNO, tetapi artikel yang ada di dalam BNO yang
menjelaskan tentang masalah isu-isu ijtihad dan taklid rupanya sudah dirangkum
menjadisebuah buku, yang berjudul Debat Tentang Ijtihad dan Taklid, buku ini
ditulis oleh pemimpin redaksi BNO sendiri yaitu Machfoezh Shiddiq, yang
diterbitkan oleh HBNO, Surabaya.
Berangkat dari tinjauan pustaka inilah, penulis berinisiatif untuk
menyusun karya akademik yang menyoroti tentang Respons Nahdlatul Ulama
terhadap Isu-Isu Ijtihad dan Taklid dalam Ulasan Berita Nahdlatul Oelama
di Jawa 1936-1939, dengan memperhatikan beberapa kelebihan dan kekurang
dari literarur-literatur di atas.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam tulisan ini maka secara sistematis
pembahasan dalam tulisan ini disusun sebagai berikut:
BAB I : Membahas tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metodologi
Penulisan, Tinjauan Pustaka dan Sitematika Penulisan.
BAB II : Membahas tentang perkembangan Ijtihad dan Taklid di Jawa abad ke-
20, setelah itu pengetian ijtihad, pengertian taklid dan isu tentang
ijtihad dan taklid di Masyarakat Jawa.
BAB III : Membahas organisasi Islam dan pers abad ke-20 di Jawa setelah itu,
perkembangan organisasi Islam abad ke-20 di Jawa, perkembangan
12
pers abad ke-20 dan hubungan antara organisasi sosia dengan pers
abad ke-20.
BAB IV : Membahas tentang respons dan ulasan terhadap isu-isu Ijtihad dan
Taklid dalam pemberitaan BNO di Jawa, setelah itu terbentuknya
BNO, diterbitkannya BNO sebagai media sah NU, pandangan kaum
pembaharu terhadap ijtihad dan taklid, pengertian ijtihad dan taklid
menurut NU dan ijtihad dan taklid dalam ulasan BNO di Jawa,
BAB V: Sebagai Penutup dalam tulisan ini, yang merupakan jawaban eksplisit
atas apa yang dipersoalkan dalam pembatasan dan perumusan masalah
dan sekaligus menyampaikan beberapa harapan peneliti dengan tulisan
(laporan dalam wujud skripsi ini) tertuang dalam kesimpulan dan saran.
13
BAB II
PERKEMBANGAN IJTIHAD DAN TAKLID DI JAWA ABAD 20
A. Pengertian Ijtihad dan Taklid
Agama Islam di Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
mengalami perkembangan yang sangat pesat, yang di tandai oleh adanya kegiatan
di bidang sosial, seperti terbentuknya organisasi yang bertujuan untuk
memperkuat ukhuwah atau jaringan antar ummat beragama karena, organisasi
Islam yang berdiri pada awal abad ke-20 itu ada hubungannya dengan usaha untuk
menjadikan Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan lepas dari segala bentuk
penjajahan.
Sebelumnya, ummat Islam menurut C. Geertz membentuk komunitas
lembaga yang disebut dengan pesantren dan pesantren itu berhasil membentuk
komunitas Muslim serta di luar pesantren ada yang disebut dengan paguyuban
pesantren.11 Setelah mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan
dan kondisi yang masih dalam kekangan penjajahan pihak Belanda, maka ummat
Islam mulai sadar dalam bidang sosial dan politik, oleh karena itu awal abad ke-
20 banyak berdiri organisasi-organisasi sosial dan politik dari kalangan ummat
Islam.
Dengan maksud mendalami agama Islam, banyak santri yang menuntut
ilmu ke Timur Tengah. Setelah pulang dari menuntut ilmu di Timur Tengah para
pelajar itu membawa pengetahuan yang didapat dari sana. Di mana pada wilayah
itu (Timur Tengah) semarak dengan perkembangan ajaran Wahabi yang dibawa
11 Zaini Muchtarom, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta :Salemba Diniyah, 2002), hal-45
14
oleh Muhammad ibn Wahab atau disebut dengan Islam reformis atau
pembaharuan dalam Islam yang bersifat intelektual.12
Gerakan pembaharuan mengajarkan solidaritas Pan Islam dan pertahanan
terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang
secara ilmiah dimodernisasi.13 Hal itu memberi pengaruh besar terhadap
kebangkitan Islam di Indonesia, terbukti pada awal abad ke-20 timbullah
organisasi Islam di Indonesia seperti Sarekat Dagang Islam di Bogor (1909) dan
di Solo (1911) Persyarikatan Ulama di Majalengka (1911), Muhammadiyah di
Yogyakarta (1912), Persatuan Islam di Bandung (1920-an), Nahdlatul Ulama
(1926), Perti (1930).14
Selanjutnya perkembangan itu berubah menjadi perdebatan yang mana
perdebatan itu dilakukan oleh golongan yang menamai dirinya sebagai pembaharu
dengan golongan yang menamai tradisionalis konservatif, di antaranya adalah
mengenai masalah apakah pintu ijthad masih terbuka dan penghilangan apa yang
disebut dengan taklid. Dari peristiwa inilah istilah ijtihad dan taklid mulai timbul
dari perbedaan pandangan para santri yang berpandangan reformis dengan para
santri yang bersifat tradisionalis konservatif.
Pengertian ijtihad menurut imam as-Suyuti adalah usaha seorang faqih
(seorang ahli fiqih) untuk menghasilkan hukum yang bersifat zhanni (persumtif),
dan Muhyiddin Abdusshomad menjelaskan tentang ijtihad adalah mencurahkan
segala upaya (daya pikir) secara maksimal untuk menemukan hukum Islam
tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Qur’an dan Hadits dengan
12 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hal. 1-2513 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Cet XV-
2003), hal. 25714 Ibid, hal. 258 (lebih lanjut baca Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1942)
15
menggunakan dalil-dalil umum (prinsip-prinsip dasar agama) yang ada dalam al-
Qur’an, Hadits, ijma’, qiyas serta dalil yang lain.15
Menurut ulama Ushul Fiqih, pengertian ijtihad adalah mengerahkan
seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan hukum-
hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya. Jadi pengertian
Ijtihad mengandung 2 faktor. Pertama adalah khusus untuk menetapkan hukum
dan penjelasnnya atau pengertian ijtihad yang sempurna dan dikhususkan bagi
ulama yang yang bermaksud untuk mengetahui ketentuan hukum-hukum dengan
menggunakan dalil-dalil secara terperinci. Faktor yang kedua adalah ijtihad
khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum. Seluruh ulama sepakat
bahwa sepanjang masa tidak akan terjadi kekosongan dari mujtahid dalam
kategori ini.
K.H. M Machfoezh Shiddiq (kepala redaksi BNO) menerangkan bahwa
ijtihad artinya menghabiskannya seorang ahli hukum dengan seantero kekuatan
ilmunya, sekiranya tidak dapat menambahi lebih dari yang sudah dia keluarkan di
dalam menentukan hukum-hukum mengambil dari dalil-dalil yang asal (al-Qur’an
dan Hadits, dll)16. Jadi ijtihad adalah mengerahkan segala upaya untuk
mengeluarkan hukum-hukum yang belum termaktup dalam dalil-dalil yang asal,
tetapi cara pngambilannya adalah menyandarkan dalil-dalil asal sebagai landasan
pengambilan hukum oleh seorang mujtahid.
Setelah pengertian ijtihad secara umum diketahui maka persyaratan apa
saja yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk menjadi mujtahid. Syarat pertama
15 K.H. Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU : Akidah-Amaliah-Tradisi, (Surabaya :Khalista, cet II 2008), hal. 37-38
16 Ch. M. Machfoezh Siddiq, Debat Tentang Ijtihad dan Taqlied, (Soerabaia, H.B.N.O,dihimpun dari Majalah BNO terbitan H.B.N.O), hal. 34
16
yang harus dipunya oleh seorang yang ingin menjadi mujtahid menurut ulama ahli
Ushul Fiqih adalah menguasai bahasa Arab dan dikuatkan lagi oleh imam Ghazali
bahwa seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan
kebisaan-kebisaan yang berlaku dikalangan mreka dengan maksud agar bisa
memahami betul uacapan yang yang dikeluarkan oleh orang Arab.
Kedua adalah mengetahui nasakh dan mansukh dalam al-Qur’an, yang
ketiga mengerti Sunnah (Hadits), yang keempat mengerti letak ijma’ dan khilaf,
kelima mengetahui qiyas dan yang terakhir adalah mengerti maksud-maksud
hukum.17 Setelah syarat-syarat telah ada maka mujtahid dibagi menjadi beberapa
tingkatan berdasarkan dengan kualitas sang mujtahid sendiri.
Tingkatan pertama adalah mujtahid muthlaq, kedua mujtahd muntasib,
ketiga mujtahid muqoyyad, keempat mujtahid madzhab dan kelima adalah
mujtahid murajjih.18 Maka dapat diambil kesimpulan bahwa ijtihad adalah
ketetapan hukum yang diambil oleh seorang yang disebut mujtahid dengan
melihat sang mujtahid itu berada di tingkatan yang ada dalam tingkatan seorang
mujtahid dan ia harus mempunyai syarat-syarat tertentu.
Saifuddin Zuhri menerangkan bahwa yang mendapatkan kewenangan
untuk berijtihad adalah seorang ahli hukum, maka beliau dengan tegas
menjelaskan, jadilah ahli hukum dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan
sebaliknya, berijtihad terlebih dahulu, baru menamakan dirinya ahli hukum.19 A.
Hasan menerangkan bahwa ijtihad adalah proses pemikiran ulang dan penafsiran
17 K.H. Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU….., hal. 41-4218 Ibid, hal. 42-4319 Saifuddin Zuhri, Sejarah Islam dan Perkembangannya di Indonesia, hal. 162
17
ulang hukum secara independen yang dikenal sebagai ijtihad.20 Menurut Ibrahim
Hosen,21 bahwa ijtihad berbicara hanya dalam masalah hukum taklifiy.
Ijtihad menurut arti bahasa adalah usaha yang optimal dan menanggung
beban berat, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan di dalam suatu
pekerjaan. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini erat kaitannya dengan pengertian
ijtihad menurut istilah. Berbagai macam pernyataan tentang pengertian ijtihad
secara terminologis dapat ditemukan. Perbedaan ini didasarkan pada pendekatan
yang digunakan. Bagi ulama yang berpikir holistik dan integral, ijtihad diartikan
sebagai segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam berbagai bidang ilmu,
termasuk bidang teologi, filsafat, dan tasawuf.
Bagi mereka, ijtihad tidak hanya terbatas dalam bidang fiqih. Di lain
pihak, para ahli usul fiqih berpendapat bahwa ijtihad hanya terbatas dalam bidang
fiqih saja. Namun demikian, mereka yang disebut terakhir ini berbeda pandapat
dalam merumuskan apa yang dimaksudkan dengan ijtihad itu. Perbedaan pendapat
itu, meskipun tidak begitu tajam, namun pada gilirannya akan berpengaruh
terhadap kedudukan dan bidang kajian atau sasaran ijtihad.22
Banyak penjelasan tentang istilah ijtihad, untuk tidak keluar dari tema
judul, maka pembahasan tentang Ijtihad dijelaskan secara umum dengan maksud
tidak terlalu banyak menjelaskan sehingga keluar dari tema yang ditentukan,
tetapi ini menjadi tolok ukur penjelasan untuk menerangkan pada bagian-bagian
berikutnya dalam skripsi ini.
20 A. Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung : Pustaka, 1984), hal. 10321 Ibrahim Hosen, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung : Mizan, 1996), hal. 23-2522 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta : Logos
Publishing House, 1995), hal. 12-13
18
Sebuah definisi pragmatis, selalu mengadopsi dari istilah asalnya sebelum
kemudian membentuk satu istilah tertentu secara definitif. Secara etimologi,
tercatat dalam kosa kata bahasa Arab, “al-Taklid” digunakan untuk arti
menjadikan ikatan tali pada leher termasuk mengikat tali pada leher hewan qurban
sebagai tebusan dalam ritual ihram.
Secara teminologi yang telah dirumuskan, taklid berfungsi untuk sebuah
pengertian untuk mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui atau
menelusuri dalil (suatu petunjuk untuk dijadikan dasar dalam menjelaskan
sesuatu). Secara umum, taklid dapat diartikan menyamai orang lain dalam
melaksanakan dan meninggalkan sesuatu, seperti mengusap sebagian kepala
mengikuti kepada madzhab syafi’i dan lainnya.
Dalam potret sejarah disebutkan bahwa taklid mulai menampakkan
bentuknya pada permulaan tahun keempat Hijriyah. Imam al-Syaukani dalam
keterangannya menyatakan bahwa sesungguhnya taklid belum pernah terjadi
kecuali setelah habisnya era terbaik. Kemudian terus berlanjut pada era-era
setelahnya. Begitu pula masa-masa kejumudan (stagnasi) yang ditandai dengan
pengultusan terhadap madzahib al-arba’ah mulai terjadi setelah usainya masa
keemasan pendirinya, setelah itu struktur peradaban manusia mulai mengalami
kemerosotan dengan ditandai mulai terbiasa pola hidup sesuai dengan tradisi para
pendahulu dengan bersikap diam terhadap gaya berpikir secara taklid dan tidak
memberi respons protes atau sejenisnya. Sesungguhnya, pengkultusan madzhab
ini dlakukan oleh orang-orang awam yang bertaklid untuk diri mereka sendiri
tanpa ada lisensi imam-imam madzhab.23
23 Team FKI , Esensi Pemikiran Mujtahid, (Kediri : PP. Lirboyo, 2003), hal. 5
19
Seiring dengan berkembangnya istilah ijtihad, maka seiring pula kata
taklid menjadi isu dari pergolakan atau perdebatan antara yang ingin
menghilangkan taklid seutuhnya dengan yang mempertahankan taklid sebagai
landasan. Pada bagian ini juga akan diterangkan apa itu taklid seobyektif
mungkin, dari pengertian hingga syarat-syarat sebagi muqallid, hingga pengertian
kepada apa yang disebut dengan isu taklid buta.
Pertama adalah pengertian taklid itu sendiri adalah taklid secara bahasa
adalah meletakkan “qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal
menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-akan perkara tersebut diletakkan
di lehernya seperti kalung. Adapun taklid menurut istilah adalah mengikuti
perkataan yang tidak ada hujjahnya. Syaikh Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi
menjelaskan bahwa taklid itu adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengerti dalil yang digunakan atas kesahihan pendapat tersebut, walaupun
mengetahui tentang kesahihan hujjah taklid itu sendiri.24
Dari pengertian di atas maka taklid dalam arti luas bukan berarti mengikuti
tanpa ada dasar, tetapi juga taklid dilakukan kepada orang yang mengetahui dalil.
Taklid ada persamaannya dengan ittiba’, justru ada yang mengatakan bahwa
ittiba’ itu adalah tinggkatan dari pada taklid. Machfoezh Siddiq menerangkan
bahwa ittiba’ itu adalah bagian dari taklid yang paling dasar. Maka menurut beliau
ada beberapa tingkatan dari pada taklid itu sendiri, menurut kapasitas keilmuan
seoarang yang dinamakan muqallid.
Tingkatan yang partama adalah tingkatan tertinggi dari seorang muqallid
yakni adalah al-Muntasib, satu tingkat di bawahnya adalah Ashabul Wuduh,
24 K.H. Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU….., hal. 44
20
derajat yang di bawahnya adalah Ahlut-Tarjih dan khuffazh. Tingkatan ini diatur
sesuai dengan tingkatan dari pada keilmuan dan pengetahuannya.25
Machfoezh ingin mengemukakan bahwa islilah taklid itu diharuskan untuk
orang yang tidak mempunyai dasar atau tidak mengetahui dasar-dasar tentang
ajaran Islam, tidak menutup juga kepada seseorang yang mengetahui dasar tetapi
tingkat kecerdasannya dan tingkat keilmuan dan pengetahuannya kurang
mumpuni untuk menjadi seorang mujtahid.
Oleh sebab itu taklid oleh golongan tertentu masih dipakai karena, kata
Taklid tersebut bukan pengertian yang negatif tetapi taklid di sini menerangkan
bahwa seseorang yang tidak mengetahui dalil-dalil atau yang mengetahui dalil
tetapi belum termasuk yang bisa melakukan Ijtihad, maka menurut beliau boleh
dan wajib bertaklid kepada imam-imam yang ditaklidi.26
Tetapi ada dari sebagian golongan yang mengartikan taklid itu adalah
mengikuti tanpa mengetahui dalil atau yang sering disebut dengan taklid buta,
yakni mengikuti tanpa mengerti dalil-dalil yang telah ada atau sekedar mengikut
saja, mereka tidak mau bertaklid karena golongan mereka itu menaruh derajat akal
di derajat yang tertinggi, rasional itu berada di derajat yang tertinggi dalam diri
manusia.
B. Isu Ijtihad dan Taklid di Masyarakat Jawa
.Memang benar bahwa perkembangan isu-isu taklid dan ijtidad diawali
oleh para pelajar yang pulang dari belajarnya di Timur Tengah dan membawa
pandangan-pandangan pembaharuannya, Zaini Muchtarom menjelaskan dalam
25 M. Machfoezh Siddiq, Debat Tentang…, hal. 36-3926 Ibid, hal. 40
21
buku Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, bahwa setelah warga
Indonesia mulai sadar berorganisasi dan sadar politik, para pemuka agama
membuat suatu organisasi untuk menghimpun ummat Islam, yang salah satunya
itu adalah Sarekat Dagang Islam pada 1911, dan Muhammadiyah 1912.
Memang pada awal abad ke-20 isu-isu ini sangat gencar sekali sampai-
sampai pada kongres kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres al-
Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan
sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di
Mekah karena sikapnya yang berbeda, maka dari itu dari hal tersebut terbentuklah
klomite Hijaz dan akhirnya tebentuklah organisasi NU satu tahun setelahnya.
Selain sebagai simbol untuk melawan perlawanan dari Belanda, para
Ulama juga berperan dalam menyebarkan isu-isu ijtihad dan taklid yang terjadi di
masyarakat Jawa, memang isu tentang ijtihad dan taklid berawal dari pandangan
ulama-ulama yang berpaham pembaharu yang mana para ulama tesebut
mengambil pemikiran Jamaludin al-Afghani seperti yang sudah diterangkan di
atas. Para ulama yang bertahan diri terhadap kritikan-kritikan tersebut adalah para
ulama tradisional dan pengikutnya yang memegang dan berpandangan masih
melakukan praktik taklid dan percaya bahwa ijtihad itu bisa dilakukan oleh orang-
orang yang benar-benar mumpuni dalam melakukan ijtihad, dan untuk masa itu
mereka beranggapan bahwa orang yang memang mumpuni dalam melakukan
ijtihad belum tampak adanya.
Dari kronologis itulah isu-isu tentang ijtihad dan taklid mulai tumbuh dan
berkembang di kalangan masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Perbedaan yang
terjadi hanyalah dalam masalah keagamaan tentang ijtihad dan taklid saja, tetapi
22
isu-isu tentang menjadikan Indonesia ini lepas dari penjajahan Belanda adalah hal
yang paling utama, para pemimpin organisasi-organisasi sosial keagamaan sering
terlibat bersama dalam memerdekakan negara Indonesia.
C. Perkembangan Ijtihad dan Taklid Pada Organisasi Keagamaan Di Jawa
Abad Ke-20
Munculnya gerakan pembaharuan Islam di awal abad XX di Timur
Tengah khususnya di Mesir Kairo yang dipelopori oleh Muhammad Rasyid Ridho
(1865 – 1935), Jamaluddin Al-Afghani (18-39-1897) dan Muhammad Abduh
(1849 – 1905). Gerakan ini dikenal dengan Gerakan Modernisme Islam (reformasi
Islam). Gerakan ini mempunyai dua orientasi : pertama, gerakan ini melepaskan
diri dari ortodoksi Mazhab Sunni abad pertengan (XIII – XIX) dan menyerukan
untuk menggali langsung sumber hukum Islam Al Qur’an dan Al Hadist. Menurut
mereka kemunduran umat Islam di dunia saat ini disebabkan terbelenggunya
pemikiran umat Islam yang disebabkan umat Islam taklid pada pemikiran (ijtihad)
para mujtahid abad pertengahan yang membawa dampak terhentinya proses
ijtihad umat Islam.
Tujuan yang kedua, modernisme yang diartikan gerakan umat Islam untuk
keluar dari zaman kebodohan dan kemunduran dengan menselaraskan kebutuhan
dewasa ini akan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan
bangsa barat untuk kemajuan dan mengangkat kembali peradaban Islam yang
luhur. Pengaruh pembaharuan Islam di Indonesia digerakkan oleh organisasi
Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta pada tahun 1926 oleh K.H. Ahmad
23
Dahlan.27 Organisasi ini pada awalnya hanya sekitar Yogyakarta dan dasawarsa
kedua organisasi ini mulai mengembangkan pengaruhnya di seluruh Jawa.
Muhammadiyah dikatakan sebagai organisasi yang bersifat reformis
sedangkan NU merupakan organisasi yang bersifat tradisional. Perbedaan sifat
dan orientasi inilah yang menimbulkan pertentangan. Dua kelompok reformis dan
tradisional yang terbentuk itu mempunyai perhatian yang berbeda, walaupun pada
intinya bertujuan sama yaitu memajukan umat. Golongan pembaharu lebih
memperhatikan Islam pada umumnya. Islam berarti kemajuan, Islam adalah
agama universal yang ajarannya telah diungkap para Nabi. Sebaliknya golongan
tradisi lebih banyak menghiraukan masalah agama atau ibadah belaka. Bagi
mereka Islam seakan-akan sama dengan fiqih dan dalam hubungan ini mengakui
taklid dan menolak itjhad bahkan banyak pula yang memperhatikan tasawuf.28
Bagi NU memperlakukan ajaran Islam menurut aliran Ahlussunnah wal
Jama’ah tidak terlepas dari pengakuan terhadap ajaran empat mazhab Islam
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dan peranan bimbingan ulama. Hal ini
ditegaskan oleh Hasyim Asyari (pendiri NU) perumus pengertian Ahlussunnah
wal Jama’ah, seperti yang dirumuskannya dalam Muktamar III (1928), yang
kemudian menjadi Muqodimah Qonun Asasi Nahdlatul Ulama (Pembukaan
Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama) :
Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Alloh dari kalangan Ahlussunah walJama’ah dan pengikut Mazhab Imam empat! Kalian sudah menuntut ilmu agama dariorang-orang yang hidup sebelum kalian, begitu pula generasi sebelumnya denganbersambung sanadnya sampai pada kalian dan kalian harus melihat dari siapa kalianmencari atau menuntut ilmu agama Islam.Berhubung dengan caranya menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalianmenjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama
27 Mengenai Gerakan Modernisme Islam di Indonesia. Lihat Peliar Noer, GerakanModern Islam di Indonesia 1900 – 1942 (Jakarta, LP3ES, 1982).
28 M. Ali Haidar, NU dan Islam di Indonesia : Pendekatan Fiqih Dalam Politik (Jakarta,Gramedia, 1994). Hal : 38.
24
Islam. Oleh karena itu janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapasaja yang memasuki rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya.
Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi lambang, ia merupakan
penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan pembaharuan bahwa
mempelajari dan memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Qur’an dan
Hadist tetapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama, mazhab, hadist (sunnah)
dan akhirnya pada sumber ulama Al Qur’an itu sendiri. Oleh sebab itu pengertian
Ahlussunah wal Jama’ah bagi NU adalah “para pengikut tradisi Nabi Muhammad
dan Ijma’ Ulama”.29 NU tidak menentang ijtihad (proses berfikir dialektik) tetapi
memikirkannya dalam konteks bagaimana suatu ijtihad dimengerti oleh umat.
Dengan kata lain para ulama memikirkan bagaimana ajaran Islam dapat dengan
mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh umat. Para ulama berpendapat bahwa Al
Qur’an Hadist disampaikan kepada kaum muslimin dalam bahasa yang tidak
mudah difahami dan penuh simbolisme yang dapat lebih mudah dimengerti
melalui tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh para imam dan ulama-ulama terpilih.
29 Einar Marhan Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta, Sinar Harapan, 1989). hal. 70.
25
BAB III
ORGANISASI ISLAM DAN PERS ABAD ke-20 DI JAWA
A. Perkembangan Organisasi Islam Abad ke-20 di Jawa
Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban
yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya.
Kemunduran progresif Kerajaan Turki Usmani yang merupakan pemangku
khalifah Islam, setelah abad ketujuhbelas, telah melahirkan kebangkitan Islam di
kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu. Yang terpenting di antaranya
adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (Salafiyah). Gerakan
ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam
abad ke-20 yang lebih bersifat intelektual.30
Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar
kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaharuan
pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau yang disusul oleh pembaharuan
pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam
semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial dan keagamaan,
seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911),
Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung
(1920-an), Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926) dan Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (Perti) di Candung, Bukittinggi (1930) : dan partai-partai politik,
sepersti Sarekat Islam Indonesia (SII) yang merupakan kelanjutan dari SDI,
Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang Panjang (1932) yang merupakan
30 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 25.
26
kelanjutan dan perluasan dari organisasi Pendidikan Thawalib, dan Partai Islam
Indonesia (PII) pada tahun 1938.31
Organisasi-organisasi sosial keagaman Islam dan organisasi-organisasi
yang didirikan kaum terpelajar baru di atas, menandakan tumbuhnya benih-benih
nasionalisme dalam pengertian modern. Namun kebanyakan anggotanya masing-
masing saling berhadapan sebagai dua belah pihak yang – walaupun dalam
banyak hal dapat bekerjasama - seringkali berbeda pendapat.32
Ada beberapa organisasi Islam yang berdiri pada paroh pertama abad ke-
20 di Jawa. Organisasi yang cukup besar antara lain al-Jam’iyah al-Khairiyah
(1905), Sarekat Dagang Islam (1909),Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1915),
Persyarikatan Ulama (1917) dan Nahdlatul Ulama yang didirikan pada tahun
1926.
Al-Jam’iyah al-Khairiyah yang lebih dikenal dengan nama Jamiat Khair,
didirikan di Jakarta pada tangggal 17 Juli 1905. Ini terbuka untuk setiap Muslim
tanpa asal usul, tetapi mayoritas anggota-anggotanya adalah orang-orang Arab.
Anggota-anggota dan pemimpin-pemimpin organisasi ini umumnya terdiri atas
orang-orang yang berada, yang memungkinkan penggunaan sebagian waktu
mereka kepada perkembangan struktur organisasi tanpa merugikan usaha
pencarian nafkah.
Dua bidang kegiatan sangat diperhatikan oleh organisasi ini. Pertama,
pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar. Kedua, pengiriman
31 Baca Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES,1980).
32 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003),hlm . 257-258.
27
anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pelajaran. Bidang kedua ini
terhambat oleh kekurangan biaya juga oleh karena kemunduran Khalifah.
Pentingnya Jamiat Khair terletak pada kenyataan bahwa ialah yang
memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam (dengan
anggaran dasar, daftar anggotanya yang tercatat, rapat-rapat berkala) dan yang
mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang modern (kurikulum, kelas-kelas
dan pemakaian bangku-bangku, papan tulis dan sebagainya). Ide-ide ini
berkumandang di kota-kota lain tetapi organisasi yang tumbuh di Jakarta seakan
membeku, ia cepat merasa puas dengan prestasi yang telah dicapai.
Jamiat Khair tetap merupakan sebuah organisasi kecil. Dimulai kira-kira
dengan 70 orang anggota, organisasi ini berkembang sangat lambat. Pada tahun
1915 tercatat kira-kira hanya 1.000 anggota. Pada tahun ini kemundurannya pun
kelihatan. Ia tidak dapat lagi mengemukakan bahwa ialah satu-satunya organisasi
dalam kalangan masyarakat Arab ataupun organisasi yang mempunyai ide-ide
pambaharuan. Ia tidak dapat menyaingi kegiatan al-Irsyad yang didirikan pada
tahun 1913 oleh anggota-anggota Jamiat Khair yang telah keluar dari organisasi
ini.33
Organisasi Serikat Islam pada awalnya merupakan perkumpulan
pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh R.M. Tirto Adi Suryo pada
tahun 1909 dengan tujuan untuk melindungi hak-hak pedagang pribumi Muslim
dari monopoli dagang yang dilakukan untuk pedagang-pedagang besar Tionghoa.
Kemudian tahun 1911 di kota Solo, Haji Samanhudi mendirikan organisasi
dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuan perkumpulan ini adalah untuk
33 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta : PT PustakaLP3ES, cet kedelapan 1996), hal. 69-71.
28
menghimpun para pedagang Islam agar dapat bersaing dengan para pedagang
asing seperti pedagang Tionghoa, India, dan Arab. Mengapa demikian? Karena
pada saat itu pedagang-pedagang tersebut lebih maju usahanya daripada pedagang
Indonesia dan keadaan itu sengaja diciptakan oleh Belanda. Adanya perubahan
sosial menimbulkan kesadaran kaum pribumi. Sebagai ikatan solidaritas dan
lambang kelompok, perlu ada ideologi gerakan.
SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam
dan perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H.
Samanhudi perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang
berpengaruh dan akhirnya pada tahun 1912 oleh pimpinannya yang baru yaitu
Haji Omar Said Cokroaminoto namanya diubah menjadi Sarekat Islam. Apa
alasan pengubahan nama tersebut? Hal ini dilakukan agar organisasi ini tidak
hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik.
Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tetapi
dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan
menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga
menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Pada 18 November 1912 M/8 Dzulhijjah 1330 H Persyarikatan
Muhammadiyah didirikan. Sembilan orang pengurus inti yang pertama adalah
Ketua: Ahmad Dahlan, Sekretaris: Abdullah Sirat, Anggota: Ahmad, Abdul
Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih.
Pada 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu
29
baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan
organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari pemerintah Hindia
Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya
kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain
sepersti Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain-lain tempat telah berdiri cabang
Muhammadiyah.
Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda.
Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama
lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al
Munir, Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah
(SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam
kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk
mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-
perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah,
yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda,
Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri Ta'ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.34
Muhammadiyah agak berbeda dengan Persis yang didirikan pada
permulaan tahun1920-an di Bandung. Hal ini tercermin pada sikap para
pendirinya. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah mendapatkan simpati karena
34 http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Muhammadiyah
30
pengertian dan toleransinya terhadap gerakan lain yang tumbuh di Masyarakat.
Hal yang pertama dilakukan oleh Dahlan adalah menumbuhkan minat masyarakat
terhadap Islam dan menumbuhkan rasa tanggung jawab serta penuh kebanggaan
sebagai orang Islam.35
Pendiri-pendiri al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, tetapi guru yang
dilihat sebagai tempat menerima fatwa ialah Syaikh Ahmad Soorkatti yang
sebagian besar umurnya dicurahkan bagi penelaahan pengetahuan. Al-Irsyad
sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat
Arab, maupun pada permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat Arab,
walaupun orang-orang Indonesia Islam bukan Arab, ada yang menjadi angotanya.
Lambat laun dengan bekerjasama dengan organisasi Islam yang lain, seperti
Muhammadiyah dan Persis, organisasi al-Irsyad meluaskan pusat perhatian
mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup persoalan
Islam umumnya di Indonesia. Ia juga turut serta dalam berbagai kongres al-Islam
pada tahun 1920-an dan bergabung pada Majlis Islam A’la Indonesia ketika
federasi ini didirikan pada tahun 1937. Pemuda-pemuda Indonesia asli juga
mempergunakan fasilitas al-Irsyad dalam bidang pendidikan.
Sebenarnya al-Irsyad memperhatikan vasilitas dan energi yang lebih besar
dari Jamiat Khair dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Kegairahan besar di
kalangan pendukung-pendukung al-Irsyad tercermin pada jumlah uang yang di
sumbang oleh mereka kepada organisasi tersebut. Kalangan masyarakat Arab di
kota-kota lain di Jawa segera menyusul inisiatif kawan-kawan mereka di Jakarta
35 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES, 1996),Hal.106-107.
31
dengan mendirikan cabang-cabang al-Irsyad di Cirebon, Bumiayu, Tegal,
Pekalongan, Surabaya dan lawang.36
Adapun Persarekatan Ulama merupakan organisasi gerakan pembaharuan
yang berdiri di Majalengka, Jawa Barat di sekitar 1917. Organisasi ini bergerak di
bidang pendidikan dan ekonomi. Sekolah yang didirikan oleh organisasi ini selain
memberikan pelajaran agama juga berbagai ilmu pengetahuan umum dan
keterampilan. Pendirinya Abul Halim, sekalipun berpegang teguh kepada mazhab
al-Syafi’i, namun dapat menerima fikiran-fikiran pembaharuan. Bahkan
hubungannya dengan kelompok pembaharu lebih dekat dibandingkan dengan
kelompok tradisional. Tradisi bermazhab tampaknya tidak selalu merupakan
penghambat untuk menerima fikiran-fikiran maju.37
B. Perkembangan Pers Abad ke-20
Perubahan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di Pulau Jawa pada
awal abad ke-20 merupakan suatu yang panjang akibat kebijakan pemerintah
kolonial Belanda selama abad ke-19. selain itu semakin terbukanya jaringan
komunikasi dengan dunia luar juga mempercepat perubahan-perubahan tesebut.
Hal ini diawali oleh pihak perseorangan dan swasta dari Belanda maupun Negara
Eropa lainnya.38
Hal yang menarik untuk dilihat juga adalah dampak dibukanya jalur
transportasi kereta api yang pada awalnya dibangun oleh pengusaha swasta
36 Baca Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES,1996).
37 Ibid, hal. 84.38 Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian Atas
Artikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942, (Jakarta :Laporan Awal Penelitian, 2006), hal. 14.
32
perkebunan. Sebagai contoh dibukanya jalur kereta api Yogyakarta-Surakarta
menuju Pelabuhan Semarang pada tahun 1870-an. Munculnya jalur kereta api ini
ternyata berdampak sangat besar terhadap mobilitas manusia dan barang dari
pedalaman menuju kota-kota pelabuhan di pesisir pantai, apalagi jalur ini di
perluas yang meliputi seluruh Pulau Jawa pada tahun 1890-an.39 Selain itu kota-
kota di Pulau jawa mulai tumbuh sejalan dengan ramainya kegiatan ekonomi
akibat proses produksi tanaman perkebunan dan industri yang menyertainya.
Kota-kota di Jawa selain tumbuh menjadi pusat birokrasi kolonial juga menjadi
kantor dagang, kantor perusahaan, atau agen-agen perdagangan ekspor-impor.
Dengan demikian terjadi perubahan pada masyarakat di mana dinamika perkotaan
kemudian menggantikan dinamika sejarah yang dahulu berpusat di wilayah
pedesaan.
Salah satu dampak akibat perkembangan ekonomi pada abad ke-19 adalah
munculnya surat kabar-surat kabar yang diterbitkan para pengusaha swasta
Belanda sebagai media periklanan (Advertentie) bagi produk-produk yang
diperdagangkan sehingga tidak heran mulai banyak penerbitan-penerbitan
Belanda yang muncul sejak pertengahan abad ke-19. salah satu contoh pers
Belanda yang bercorak advertentie adalah surat kabar Het Bataviasch Advertantie
Blad pada tahun 1851 dan Java Bode tahun 1852 keduanya didirikan oleh W.
Bruining dan terbit di Batavia.40
Sudah kita ketahui bahwa perubahan yang terjadi pada abad ke-19 media
pers kemudian menjadi salah satu sarana untuk memperkenalkan produk-produk
39 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia baru 1500-1900 : dari EmporiumSampai Imperium I, (Jakarta : Gramedia, 1993), hal. 363-367.
40 Abdurrachman Surjomiharjo,et. Al., Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia,(Jakarat : Kompas, 2002), hal. 41
33
perdagangan dan industri, serta sejak awal abad ke-20 menemukan bentuknya
sebagai media untuk melaporkan kegiatan lembaga atau organisasi dan juga untuk
menyebarkan aspirasi-aspirasinya, sehingga nantinya banyak organisasi sosial,
budaya dan politik masyarakat Indonesia yang menggunakan pers sebagai media
penyalur aspirasinya.
Sebetulnya surat kabar berbahasa Melayu dan berbahasa Jawa sudah terbit
sejak pertengahan abad ke-19, meskipun diterbitkan oleh pengusaha Eropa dan
Belanda. Sebagai contoh surat kabar Bromartani, yang diterbitkan di Surakarta
pada tahun 1855. Koran ini menggunakan bahasa Jawa Kromo (rendah).
Pemimpinnya adalah C. F. Winter, seorang Indo-Belanda yang lahir di Yogjakarta
yang sebelumnya seorang penerjemah bahasa Jawa untuk pemerintah Belanda.41
Kemudian koran yang berbahasa Melayu, yaitu mingguan Slompret Melayoe
diterbitkan sejak 1860 oleh G. c. T. van Drop. Dalam halaman depan Koran
tersebut disebutkan : “Soerat Kabar Bahasa Melajoe Rendah”.42
Selain diterbitkan oleh orang Belanda, surat kabar berbahasa Melayu juga
banyak didirikan oleh pengusaha Cina peranakan ( Tionghoa ) dan orang-orang
Jawa yang kebanyakan adalah anggota organisasi pergerakan politik, sosial dan
Islam sejak 1911-1940-an. Sepersti organisasi Serekat Islam, Perserikatan Ulama,
Muhammadiyah dan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan Islam. Pers Melayu
Tionghoa terbagi atas pers yang diterbitkan untuk kalangan sendiri, untuk
kalangan Bumi P[utra dan yang diterbitkan untuk semua golongan. Menurut Nio
41 Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindoneiaan 1885-1913, (Jakarta : Hastamitra, Pustaka Utan Kayu, 2003), hal 27.
42 Ibid, hal. 38-39.
34
Joe Lan, seorang penulis waktu itu, melihat bahwa pers Melayu Tionghoa sebagai
cikal bakal pers nasional Indonesia.43
Latar belakang munculnya pers Melayu Tionghoa selain karena
kepentingan ekonomi juga disebabkan banyak warga Tionghoa peranakan yang
tidak bisa berbahasa Belanda.44 Kebanyakan Pers Melayu Tionghoa yang terbit di
Batavia menggunakan bahasa Melayu dialek Betawi. Sementara itu organisasi
pergerakan nasional dan organisasi sosial budaya kaum Bumi Putra juga
mempergunakan bahasa Melayu untuk penerbitannya, selain tentunya bahasa
Jawa yang memang menjadi bahasa utama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Penggunaan bahasa Melayu dalam pers juga menjadi perhatian E. F. E.
Dewes Deker pada tahun 1909, pada waktu itu dia adalah pembantu editor pada
Koran Bataviasch Nieuws Blad di Batavia. Dia menilai bahwa kedudukan pers
berbahasa Melayu lebih penting daripada pers berbahasa Belanda. Hal ini
dikarenakan pers Melayu dapat langsung menarik pembaca mayoritas penduduk
pribumi.45 Beberapa contoh surat kabar Melayu Tionghoa adalah Li Po (1901),
Pewarta Soerabaja (1902), Kabar Perniagaan (1902), Warna Warta (1903), dan
lain-lain.
Sementara itu pers Melayu yang diterbitkan oleh kaum Bumi Putra adalah
Medan Prijaji, pada tahun 1907 oleh R.M. Tirtoadisurjo. Seorang pedagang
muslim yang sempat mendirikan Serekat Dagang Islam (SDI) pada Tahun 1905.
kemudian dari organisasi Boedi Oetomo (BO) cabang Surakarta membeli sebuah
43 Abdurrachman Soerjomihardjo, et, al., Berbagai Segi Perkembangan Pers diIndonesia, (Jakarta : Kompas, 2002), hal. 42-43.
44 Ibid., hal. 49.45 Marwati Djoened Poesponegoro, eds., Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1984), hal. 290.
35
surat kabar milik Cina peranakan yaitu Darmokondo Pada tahun 1910 seharga f.
50.000. Koran ini menggunakan bahasa Melayu dan Jawa.46
Dewes Dekker telah menilai kedudukan pers berbahasa Melayu lebih
penting daripada pers Belanda. Karena pers itu langsung dapat menarik pembaca-
pembaca pribumi.
Dalam waktu yang singkat pers itu dapat meluas ke segala arah, sungguh
pun kecepatan perkembangan dipengaruhi oleh pers Belanda dan Melayu-
Tionghoa di Indonesia. Pers Belanda itu sendiri telah pula mengalami perjuangan
yang panjang untuk tercapainya kebabasan pers. Perkembangan pers bumiputra
atau yang berbahasa Melayu menimbulkan pemikiran di kalangan pemerintahan
kolonial untuk menerbitkan sendiri surat kabar berbahasa Melayu yang cukup
besar dan dengan sumber-sumber pemberitaan yang baik.
Ciri-ciri pers berbahasa Melayu ialah lingkungan pembacanya yang dituju
atau yang menjadi langganan.
Pertama, surat kabar yang berisi berita atau karangan yang jelas hanya
golongan keturunan Cina, sepersti terjadi dengan surat kabar yang terbit di
Jakarta, Surabaya dan beberapa yang terbit di Semarang.
Kedua, surat kabar berbahasa Melayu, yang dibiayai dan dikerjakan oleh
orang-orang Cina, namun lingkungan pembacanya terutama ialah penduduk
bumiputra. Ketiga, surat kabar yang terutama dibaca oleh kedua golongan itu.
Menurut Dowes Dekker, secara krnologis surat kabar berbahasa Melayu
yang tertua ialah Bintang Soerabaja (1861). Isinya selalu menentang pemerintah
dan berpengaruh di kalangan orang-orang Cina dari partai modern di Jawa Timur.
46 Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian AtasArtikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942, (Jakarta :Laporan Awal Penelitian, 2006).
36
Lain surat kabar di Surabaya yang senada ialah Pewarta Soerabaja (1902),
pembacanya terbanyak ialah golongan Cina. Pemimpin redaksi kedua surat kabar
itu masing-masing ialah Courant dan H. Hommer.
Dalam pada itu salah satu surat kabar yang terpenting ialah Kabar
Perniagaan, yang didirikan oleh persusahaan Cina di Jakarta pada tahun 1902.
redaksinya ialah seorang Indonesia dan seorang Cina, yaitu F. D. J. Pangemanan
dan Gow Peng Liang. Surat kabar itu mungkin sekali pembacanya tersebar luas di
seluruh Jawa dan menyuarakan gerakan-gerakan Cina modern. Di Bogor juga
terbit mingguan Ho Po dibawah pimpinan Tan Tjien Kie.
Pelopor pers nasional ialah Medan Prijaji (waktu itu terbit sebagai
mingguan), yang sesuai dengan namanya merupakan golongan priyayi. Pemimpin
redaksinya ialah R. M. Tirtoadisuryo. Terbit pada tahun 1907 dan sejak tahun
1910 sebagai harian. Surat kabar yang terpenting di Semarang ialah Warna Warta
di bawah pimpnan J. P. H. Pangemanan. Karena seringnya menyerang pemerintah
kolonial Belanda, maka redakturnya beberapa kali diadili karena tulisan-
tulisannya.
Di Bogor sejak tahun 1905 terbit mingguan Tiong Hoa Wie Sin Ho
dibawah pimpinan Tan Soei Bing. Di Surakarta terbit Taman Pewarta (1901)
dengan Thjie Sian Liang dan mingguan Cina-Melayu Ik Po (1904) di bawah
redaksi Tan Soe Djwan. Surat kabar berbahasa Djawa-Melayu Djawi-Hisworo
(1905) dipimpin oleh Dirdjoatmodjo. Semarang memiliki surat kabar Slompret
Melayoe dipimpin oleh A. Appel, dan Taman Pengajar yang dipimpin oleh
seorang guru, Mas Boediardjo. Raden Djojosoediro memimpin Tjahaja Timoer
(1907) di Malang. Sutan Raja nan Gadang memimpin Warta Brita di Padang,
37
sedangkan di Sibolga dan Boen Sian memimpin Bintang Pasir (1907). Di Menado
J. A. Worotikan memimpin Pewarta Menado, sedangkan di Banjarmasin muncul
Pewarta Borneo dengan seorang Indo-Belanda M. Neys sebagai redaktur.
C. Hubungan Organisasi Islam dan Pers Abad 20
Kebangkitan organisasi massa Islam yang dipelopori Serekat Islam di
Surakarta pada tahun 1911 juga menggunakan surat kabar sebagai salah satu
sarana untuk komunikasi di antara anggotanya dan juga menyalurkan aspirasi
mereka baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah kolonial. Surat
kabar yang dimiliki SI adalah Oetoesan Hindia tahun 1913, yang terbit di
Surabaya dengan susunan redaksinya adalah Tjokroaminoto, Abd. Moeis, H.
Agus Salim, Wagnjadisastra dan Soejopranoto. Surat kabar SI yang lain adalah
Sinar Djawa (Semarang), Pantjaran Warta (Betawi) dan Sarotomo (Surakarta).
Organisasi sosial keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah yang berdiri
sejak tahun 1912 juga memiliki beberapa majalah, seperti Mingguan Adil
(Surakarta) dan Papadanging Moehammadijah (Surakarta). Sementara di Jawa
Barat, khususnya di daerah Cirebon dan Majalengka terbit pers milik organisasi
Persjarekatan Oelama yang didirikan oleh K. H. Abdul Halim di Majalengka
(1913), yaitu majalah bulanan Asj Sjoero (Majalengka, 1934), Soeara
Persjarkatan Oelama (Majalengka dan Cirebon, 1931) dan Soeara Islam
(Cirebon, 1921). Selain itu Serekat Islam Cabang Cirebon memiliki organ pers,
yaitu surat kabar Fadjar (1921) dan Muhammadiyah cabang memiliki organ pers
yaitu Soeara Muhammadiyah (1922).
38
Dengan demikian bisa kita lihat bahwa pentingnya pers sebagai media
yang tidak hanya menjadi penyalur berita-berita dan kabar-kabar saja, tetapi pers
juga memiliki kamampuan untuk menyebarkan ide-ide dan pengaruh bagi
masyarakat pembacanya. Selain itu pers juga merupakan suatu media komunikasi
yang terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasi yang
mengalir melalui media pers, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo47 dapat
memiliki potensi membangkitkan kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media
pers pada akhirnya dapat dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial dan
keagamaan sebagai sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang
ingin dicapainya.
Menurut G. F. Pijpers,48 salah satu aspek dari gerakan pembaharuan
(reformisme) adalah berpegang teguh kepada dasar Islam tetapi tidak menutupi
bagi masuknya ilmu pengetahuan yang sudah muncul pada masa itu. Dengan kata
lain diperlukan suatu modernisme dalam Islam dengan mengedepankan pemikiran
melalui berbagai sarana dan salah satu sarana terpenting adalah melalui media
pers.
Kalau dilihat dari sudut pandang pada masa itu, pers dapat dianggap telah
membuat revolusi komunikasi, karena telah menggeser atau merubah pola
komunikasi tradisional (lisan) menjadi tertulis dalam bentuk surat kabar atau
majalah. Disamping itu media cetak menampilkan sistem komunikasi terbuka,
siapa saja bisa membacanya. Sehingga aliran informasi bisa meningkat
47 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah pergerakan nasionaldari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Jakarta : Jilid II, Gramedia, 1990), hal. 113.
48 G. F. Pijpers, Beberapa Studi Tentang Islam di Inonesia 1900-1942, (Jakarta : UI Press,1985), hal.103.
39
intensitasnya, meski saluran itu lebih bersifat satu arah, tetapi lebih mempunyai
potensi membangkitkan kesadaran kolektif.49
Perubahan yang terjadi pada abad ke-19 media pers kemudian menjadi
salah satu sarana untuk memperkenalkan produk-produk perdagangan dan
industri, serta sejak awal abad ke-20 menemukan bentuknya sebagai media untuk
melaporkan kegiatan lembaga atau organisasi dan juga untuk menyebarkan
aspirasi-aspirasinya, sehingga nantinya banyak organisasi sosial, budaya dan
politik masyarakat Indonesia yang menggunakan pers sebagai media penyalur
aspirasinya.
Kenyataan media pers yang sangat efektif sebagai penyebarluasan
informasi yang bersifat massal, membuat organisasi-organisasi pergerakan
termasuk di dalamnya, organisasi keislaman yang menggunakan Koran dan
majalah sebagai alat untuk berdakwah dan pencerhan kebudayaan bagi umat
Islam.
49 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah PergerakanNasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal.113
40
BAB IV
RESPONS DAN ULASAN TERHADAP ISU-ISU
IJTIHAD DAN TAKLID DALAM PEMBERITAAN BNO DI JAWA
A. Terbentuknya BNO
Terbentuknya BNO dilatar belakangi karena surat kabar adalah suatu
sarana yang penting untuk menyebarkan missi NU kepada anggota-anggotanya
dan masyarakat pada umumnya pada waktu itu
BNO terbit pada tahun 1936 di Surabaya, salah satu pendirinya adalah
K.H. M. Machfoedz Shiddiq yang pada tahun 1937 dianggkat menjadi ketua
Tanfidziyah NU, sebelum BNO terbit, ada majalah yang di terbitkan oleh NU
yang bernama Swara Nahdlatul Ulama, tetapi majalah ini hanya untuk intern
pengurus NU saja dengan tulisan arab Melayu berbahasa Jawa dan ada yang
bertulisan dan berbahasa Arab.50 BNO terbit sebagian besarnya menggunakan
bahasa Melayu dengan tulisan latin, tetapi ada juga yang menggunakan tulisan
Melayu dengan bahasa Jawa tetapi sedikit terbitannya, pada tahun 1936 BNO
terbit hanya di kawasan Surabaya saja, tetapi pada tahun 1937 mulai
disebarluaskan di sebagian pulau Jawa.51
BNO terbit dua kali dalam sebulan, pada awal bulan dan pertengahan
bulan, di dalam isinya, BNO sering memuat artikel tentang masalah di dalam
negeri dan luar negeri, seperti masalah tentang konflik Palestina, kekuatan tentang
tentara Jerman di Eropa awal abad ke-20, sedangkan di dalam negeri BNO
mengulas tentang masalah ijtihad dan taklid, dan ajaran-ajaran Islam serta
50 Menapak Jejak Mengenal Watak, sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Yayasan saifudin zuhri, 1994), hal. 197-198
51 Ibid. hal. 192
41
informasi tentang masalah-masalah perekonomian dan juga forum iklan, tetapi
yang menarik adalah kolom tentang pembahasan ijtihad dan taklid, dari awal
diterbitkannya hingga pertengahan tahun 1938, masalah ini dengan secara
kontiniu terus ditulis.52
Setelah tahun 1939, BNO tidak lagi terbit dengan teratur karena telah
masuk tentara Jepang, jadi sempat fakum pada masa-masa pendudukan Jepang.
Setelah pendudukan Jepang berakhir, BNO juga tidak terbit lagi sebagai majalah
yang diterbitkan oleh Organisasi Nahdlatul Ulama.
Pimpinan redaksi BNO dari tahun 1936-1939 adalah K.H. M. Machfoedz
Siddiq (w. 4 Juli 1944), beliau adalah lulusan pesantren Tebuireng, Jombang dan
meneruskan pendidikannya di Mekkah. K.H. MachfoedzSiddiq adalah salah satu
pendiri dan menjadi pimpinan BNO dari tahun 1936-1939, selain menjabat
sebagai pimpinan BNO, pada tahun 1937 beliau diangkat menjadi ketua
Tanfidziah pusat NU, dan menjabat hingga tahun 1940.53
Beliau sengaja menerbitkan BNO dengan menggunakan bahasa latin
Melayu supaya dapat diterima oleh masyarakat luas. Menurut Douwes Dekker,
penggunaan bahasa Melayu dalam pers lebih penting daripada pers berbahasa
Belanda. Hal ini dikarenakan pers Melayu dapat langsung menarik pembaca
mayoritas.54
52 Analisis penulis pada BNO dari tahun 1936-193953 Menapak Jejak Mengenal Watak, sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama, (Jakarta
: Yayasan saifudin zuhri, 1994), hal. 9354 Marwati Djoened Poesponegoro, eds.,Sejarah Nasional Indonesia, Jilid V, (Jakarta :
Balai Pustaka, 1984), hal. 290
42
B. Diterbitkannya BNO Sebagai Media Sah NU
Kelahiran Nahdlatul Ulama itu merupakan gerakan pengimbang terhadap
gerakan kalangan pembaharu. Dalam rangka untuk membentengi para pengikut
ulama tradisional dari paham-paham pembaharu yang menolak untuk bertaklid
dan bermazhab, maka dari itu Nahdlatul Ulama menerbitkan majalah yang terbit
setiap 2 kali dalam sebulan, yakni pada tanggal 1 dan tanggal 15 pada setiap
bulannya, majalah itu adalah Berita Nahdlatul Oelama, salah satu isinya banyak
menerangkan tentang masalah ijtihad dan taklid. Pada masa itu banyak majalah-
majalah yang mengkritik tentang masalah ijtihad dan taklid, mereka
mengkampanyekan dalam surat-surat kabar dan majalah-majalah masing-masing
organisasi keislaman pada waktu itu, seperti Soewara Muhammadijad sejak 1912,
Fadjar yaitu surat kabar harian milik Serikat Islam sejak 1920, Soeara
Persjarikatan Oelama sejak tahun 1929 dan surat-surat kabar lainnya yang
sezaman bahkan sampai sekarang. Pemberitaannya yang mengkritik praktik mitos
dan tahayul kemudian diberikan ulasannya yang lebih rasional dan masuk akal
sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah. 55
Berita Nahdlatul Oelama juga menjelaskan tentang pengertian ijtihad dan
taklid itu lebih rasional, masuk akal, sesuai juga dengan al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah, dengan demikian, diterbitkannya Berita Nahdlatul Ulama menjadi
pembenteng bagi pengikut para ulama tradisional.
Berita Nahdlatul Oelama adalah merupakan lembaga dan media yang sah
dari organisasi Nahdlatul Ulama pada masanya. Latar belakang dibentuk dan
diterbitkannya Berita Nadlatul Oelama adalah untuk berdakwah dan menyiarkan
55 Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian AtasArtikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942, (Jakarta,Laporan Awal Penelitian, 2006)
43
Islam yang masih menganut dengan ijtihad dan taklid. Yang mana media-media
massa dan majalah-majalah milik beberapa organisasi sosial politik keagamaan,
menerbitkan juga seperti yang telah ditulis diatas tentang beberapa media massa
yang ditebitkan. Tentang paham-paham pembaharu yang secara langsung
menafikan ijtihad dan taklid, dan menyerukan untuk kembali kepada ajaran yang
sebenarnya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan warga Nahdlatul Ulama yang
masih menggunakan ijtihad dan taklid sebagai bahan acuan dan ajaran menjadikan
Berita Nahdlatul Oelama pegangan dan bahan informasi untuk tidak terpengaruh
terhadap paham pembaharu tersebut.
Dengan demikian bisa kita lihat bahwa pentingnya pers sebagai media
yang tidak hanya menjadi penyalur berita-berita dan kabar-kabar saja, tetapi pers
juga memiliki kamampuan untuk menyebarkan ide-ide dan pengaruh bagi
masyarakat pembacanya. Selain itu pers juga merupakan suatu media komunikasi
yang terbuka, sehingga siapa saja bisa membacanya. Aliran informasi yang
mengalir melalui media pers, menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo56 dapat
memiliki potensi membangkitkan kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media
pers pada akhirnya dapat dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial dan
keagamaan sebagai sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang
ingin dicapainya.
C. Pandangan Kaum Pembaharu Tentang Ijtihad dan Taklid.
Dengan melihat sejarah pembaharuan Islam di Indonesia maka sudah dua
abad yang lalu gerakan Islam di Indonesia bertujuan untuk menegakkan ajaran
56 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah PergerakanNasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid II, (Jakarta : Gramedia, 1990), hal. 113
44
Islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis Rasulullah dengan menghapuskan
khurafat, tahayul, dan hal-hal yang mistis dan mitos. Berserakan juga petunjuk-
petunjuk agama yang memerintahkan umat manusia untuk menggunakan akalnya,
yang antara lain :”gunakanlah pikiranmu wahai orang yang mempunyai akal (Q.S
al-Hasyr:59). Selain itu Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat
11, yang artinya: “…Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara
kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat”.
Dalam masalah ijtihad, sesungguhnya bukan hanya golongan pembaharu
yang menganggap pintu Ijtihad tetap terbuka bagi mereka yang mampu. Hanya
saja harus memenuhi beberapa persyaratan yang sangat ketat, sehingga tidak
sembarang orang mampu melakukannya. Adapun mengenai persoalan taklid,
sesungguhnya para anggota dari organisasi Islam sama-sama melakukan taklid.
Bedanya, kalau taklid di kalangan para pembaharu lebih ditujukan kepada
lembaga.57
Seperti di Jawa, yang pertama kali menggerakkan gerakan berpikir maju
tersebut adalah Jami’atul Khair tahun 1905 dan kemudian disusul K.H. Ahmad
Dahlan dengan gerakan Muhammadiyahnya yang didirikan di Yogyakarta tahun
1912, tahun yang sama berdiri Persatuan Umat Islam di Majalengka, tahun 1914
kemudian berdiri al-Islam wal Irsyad di Jakarta dan tahun 1923 berdiri Persatuan
Islam (PERSIS) di Bandung. Dalam memperjuangkan keberadaan Islam,mereka
berpandangan bahwa untuk menghadapi dunia modern dan kemajuan zaman
tidaklah dengan mengedepankan hal-hal yang berbau khufarat, mistik, tahayul,
perdukunan, penipuan dan sebagainya tetapi harus kembali kepada al-Qur’an dan
57 Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, (Jakarta : Yayasan Perkhidmatan, 1984),Hal. 14
45
Hadits Rasulullah yang sudah teruji kebenarannya sepanjang zaman selama
matahari masih bersinar.58
Gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh Muhammadiyah di
Jawa mengecam kehidupan keagamaan tradisi yang sarat dengan praktik
sinkretisme.59 Golongan tradisi lebih banyak menghiraukan soal-soal agama, din
atau ibadah belaka. Banyak pula yang memberikan perhatian pada tasawuf.
Walaupun golongan ini mengaku menjadi pengikut mazhab, umumnya Syafi’i,
mereka umumnya tidak mengikuti ajaran mazhab itu langsung, melainkan ajaran
imam yang datang kemudian. Golongan tersebut lebih banyak mengikui fatwa
yang telah ada dan bukan cara mengambil fatwa itu.
Golongan pembaharu lebih memberikan perhatian pada sifat Islam pada
umumnya. Bagi mereka Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam
juga berarti kemajuan, agama ini tidak akan menghambat usaha mencari ilmu
pengetahuan, perkembangan sains, kedudukan wanita. Islam ialah agama
universal, yang dasar-dasar ajarannya diungkapkan oleh para nabi, baik yang
dikenal maupun tidak.
Dalam pandangan golongan pembaharu, al-Qur’an dan Hadits dapat
dipahami dan diamalkan sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman. Untuk
itu, ijtihad perlu dihidupkan kembali. Menurut mereka, pendapat-pendapat ulama
terdahulu itu merupakan hasil ijtihad yang diperuntukan bagi pemisah problema-
problema sosial keagamaan yang terjadi pada masanya, yang belum tentu cocok
untuk memecahkan problema-problema masa kini, ijtihad perlu dihidupkan
58 L Stodddarrd, Dunia Baru Islam, (terj.), (Jakarta :1966) hal. 309-31059 Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian Atas
Artikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942, (Jakarta :Laporan Awal Penelitian, 2006) hal. 22
46
kembali dengan tetap mempertimbangkan hasil ijtihad ulama terdahulu. Ini
berarti, golongan pembaharu dalam menghidupkan kembali ijtihad, tidak serta
merta meninggalkan begitu saja pendapat-pendapat ulama terdahulu, tetapi
pendapat-pendapat tersebut diseleksi, dan dicari pendapat yang lebih kuat untuk
diterapkan pada masa sekarang.60
Golongan pembaharu menyebarkan ide-ide yang berbeda, tetapi secara
realita, pemikiran keagamaan golongan pembaharu dan tradisional banyak yang
sama. Golongan pembaharu yang berselogan kembali kepada al-Qur’an dan
Hadits, serta merasa perlu menghidupkan kembali “ijtihad”, dalam kenyataannya
tetap mengambil pendapat-pendapat para imam mazhab, maka sebagaimana
dikatakan oleh A. Mukti Ali, bahwa antara golongan pembaharu seperti
Muhammadiyah, persis dan lainnya dengan golongan tradisional seperti NU tidak
terdapat perbedaan yang prinsipil.61
Muhammad Abduh dalam Buku tulisan Harun Nasution yang berjudul
Pembaharuan Dalam Islam, mengatakan bahwa, masuknya berbagai macam
bid’ah ke dalam islam yang membuat umat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam
yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itulah yang mewujudkan masyarakat Islam yang
jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk menolong umat
Islam, paham-paham asing lagi salah itu harus dikeluarkan dari tubuh Islam. Umat
harus kembali ke ajaran-ajaran Islam yang semula, ajaran-ajaran Islam sebagai
terdapat di zaman salaf, yaitu zaman sahabat dan ulama-ulama besar.
Untuk menyesuaikan dasar-dasar dengan situasi modern perlu diadakan
interpretasi baru dan untuk itu perlu pintu ijtihad dibuka. ijtihad menurut
60 Ibid. hal. 1061 A. Mukti Ali, Pelbagai Persoalan Islam di Indonesia Dewasa Ini, (yogyakarta :
Yayasan NIDA, 1971), Hal. 15
47
pendapatnya bukan hanya boleh, malahan penting dan perlu diadakan. Tetapi
yang di maksudnya bukan tiap-tiap orang boleh mengadakan ijtihad. Hanya
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan yang boleh
mengadakan ijtihad. Yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, harus mengikut
pendapat mujtahid yang ia setujui pahamnya. ijtihad ini dijalankan langsung pada
Al-Qur’an dan Hadits, sebagai sumber yang asli dari ajaran-ajaran Islam.
Pendapat-pendapat ulama tidak mengikut. Bahkan ijma’ mereka pun tidak
mempunyai sifat maksum. Lapangan bagi Ijtihad sebenarnya ialah mengenai soal-
soal muamalah yang ayat-ayat dan haditsnya bersifat umum dan jumlahnya sedikit
itu. Hukum-hukum kemasyarakatan inilah yang perlu disesuaikan dengan zaman.
Adapun soal ibadah, karena ini merupakan hubungan manusia dengan tuhan dan
bukan manusia dengan manusia, tak menghendaki perubahan menurut zaman.
Oleh karena itu, ibadah bukanlah lapangan ijtihad sebenarnya untuk zaman
modern ini.
Dengan sendirinya taklid kepada ulama lama tak perlu diperintahkan,
karena Taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tak
dapat maju. Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang
menimbulkan taklid. taklid ini menghambat perkembangan bahasa Arab,
perkembangan susunan masyarakat Islam, syariat, sistem pendidikan dan
sebagainya. Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik,
dipandang Muhammad Abduh berlainan betul dengan sikap umat Islam terdahulu.
Al-Qur’an dan Hadits, katanya, melarang umat Islam bersifat taklid.62
62 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, cet ke-13, 2001). hal. 53-55.
48
Dalam masalah dunia, golongan pembaharu menuduh golongan taradisi
mengembil sikap yang menghambat kemajuan mereka sendiri dan pada umumnya
kemajuan umat Islam. Mereka terutama pada tahun-tahun permulaan gerakan
pembaharu, berada dalam keadaan jumud (beku) oleh karena mereka merasa puas
dengan cara dan perbuatan tradisional, Hal ini membawa kita pada kebebasan
kemerdekaan akal, suatu masalah yang erat hubungannya dengan masalah ijtihad
dan taklid. Para pembaharu berpendapat bahwa Islam “menghargai akal manusia
dan memperlindunginya daripada tindasan-tindasan”. Tetapi mereka pun melihat
bahwa kemerdekaan akal dapat menumbuhkan pemikiran yang mungkin
membawa pada kesesatan. Oleh sebab itu mereka katakan bahwa kemerdekaan
akal dan pikiran dapat membawa seseorang pada pikiran mulia, tetapi juga pada
kejahatan dan dalam hal ini agama diperlukan untuk mengarahkan kekuatan akal
itu pada jalan lurus.
Pada aspek aqidah yang berkaitan dengan perbuatan manusia.
Muhammadiyah salah satu dari golongan pembaharu berkeyakinan, bahwa
manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatanyya, sebab Tuhan telah memberi
kemerdekaan dan tanggung jawab kepada manusia untuk memilih antara
perbuatan baik dan buruk. Dalam pandangan Muhammadiyah, perbuatan manusia
adalah produk manusia itu sendiri. Seperti tercermin dalam keputusan majlis
Tarjih Muhammadiyah, sebagai berikut :
“Dengan demikian maka segala ketentuan adalah dari Allah danusaha adalah bagian manusia. Perbuatan manusia ditilik darikuasanya dinamakan hasil usaha sendiri”63
63 Majlis Tarjih Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, (Yogyakarta : PimpinanPusat Muhammadiyah, t.t.) hal. 19
49
Golongan pembaharu hanya mengikuti Al-Qur’an dan hadits saja sebagai
sumber-sumber dasar pemikiran meeka. Mereka berkeyakinan bahwa bab al-
ijtihad, pintu ijtihad masih dan tetap terbuka, mereka menolak taklid. Ini tidak
berarti bahwa mereka menyalahkan dan menolak para pendiri mazhab dan imam
lain yang mengikutinya, tetapi berpendapat bahwa fatwa dan pendapat para imam
ini, sebagaimana juga pendapat siapa pun, dapat diteliti terus. Dalam pikiran para
pembaharu berlakunya suatu fatwa, pemikiran atau perbuatan hendaklah dinilai
dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Ijtihad telah membawa para pembaharu Islam untuk lebih memperhatikan
pendapat dan bukan si empunya pendapat, yaitu orangnya. Oleh karena itu guru
kalangan modern, yang masih disebut kiyai atau syaikh, tidaklah ma’sum dari
kesalahan atau kekhilafan tidak seperti pandangan terhadap guru tradisi oleh
pengikutnya. Guru kalangan modern tidak memonopoli ajaran atau pengetahuan
masyarakat yang juga mempunyai hak seperti dia (guru itu sendiri) untuk
membicarakan dan menilainya.64
D. Pengertian Ijtihad dan Taklid Menurut NU
Masalah utama yang menarik minat Nahdlatul ulama adalah tetap masalah
agama, terutama bila menyangkut pengeluaran fatwa yang didasarkan atas ajaran
mazhab. Dalam kenyataan hanyalah mazhab Syafi’i yang banyak diikuti, walau
ketiga mazhab lain diakui. Masalah pokok dalam hubungan ini ialah apakah bab
ijtihad masih tetap terbuka ataukah sudah tertutup.
64 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam……. ,hal. 323-326
50
Salah satu tokoh Nahdlatul Ulama yaitu Machfoedz Siddiq, ketua umum
NU, menulis sebuah buku tentang masalah ini yang didasarkannya pada tulisan
seorang ulama bernama Waliy al-Lah al-Dahlawy al-Hindy (meninggal 1766M).
Ia mengakui prinsip pokok bahwa semua hukum Islam harus berdasarkan Al-
Qur’an dan Hadits. Dikatakan bahwa selama abad-abad pertma setelah nabi wafat,
ulama berselisih paham mengenai beberapa masalah tertentu, oleh karena belum
terdapat pengumpulan Hadits dan hukum pada umumnya.
Pandangan-pandangan yang dikemukakan golongan pembaharu khususnya
dalam hal pelembagaan ijtihad bagi seluruh umat Islam yang di ikuti dengan
penghapusan taklid bagi orang Islam, Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa,
benar Islam menganjurkan perkembangan pemikiran agar orang Islam tidak beku
akan tetapi tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk
mengembangkannya, disebabkan karena keterbatasan daya yang dimiliki tidak
sama tetapi berbeda–beda dan juga tidak semua orang dikaruniai Allah
sebagaimana tidak semua orang mempunyai kesempatan menuntut ilmu.65
Dalam masa yang dihadapi kini, yaitu abad keduapuluh, ketika mazhab
telah jelas, Machfoedz Shiddiq berpendapat bahwa hanya keempat pendiri
mazhab yang ada dapat disebut mujtahid benar-benar. Mereka adalah mujtahid
mustsaqil, yaitu mereka yang “melakukan ijtihad, mengetahui/mendapatkan
ketentuan hukum dari dalil yang pokok, yakni al-Qur’an dan Hadits.
Ia menambahkan bahwa tidak perlu dipersoalkan apakah akan
dipergunakan ijtihad atau taklid dalam hal-hal yang menyangkut hukum
mutawatir (yaitu yang masyhur, terkenal di kalangan umat seperti soal
65 K.H. Saifudin Zuhri, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalamPraktik, (Jakarta : PP. IPNU, 1976), hal. 16
51
sembahyang, puasa, dan zakat), tetapi semua hukum yang lain yang disebutnya
ghairu mutawatir (tidak terkenal di kalangan umat) menghendaki analisa,
pemeriksaan, penyelidikan, dan pengusutan dalil-dalilnya dengan kecerdasan
yang lebih dan pengetahuan yang luas. “Dalam soal ghairu mutawatir inilah,
masalah taklid dan ijtihad muncul. Menurut Shiddiq, mereka yang sanggup
melaksanakan ijtihad, yaitu yang memenuhi syarat-syarat untuk itu, “wajib”
melaksanakannya; kalau tidak sanggup melaksanakan Ijtihad, maka “wajiblah ia
taklid”.
Machfoedz Shiddiq berkesimpulan bahwa,”oleh karena mazhab-,mazhab
imam empat itu sudah cukup terkenal segala-galanya, dalil-salilnya juga, maka
bagi orang awam kita yang bertaklid kepadanya tidak usah mengenal dalil
imamnya.” Dan ia sandarkan lagi pembenaran taklid itu pada ayat-ayat Al-
Qur’an.66
Oleh karena itu Nahdlatul Ulama tetap berperinsip bahwa Islam memberi
kemerdekaan berpikir, tetapi di dalam kemerdekaan itu senantiasa berpegang pada
prinsip bahwa kemampuan otak tidak dapat mengalahkan wahyu Ilahi dan Sunnah
rasul sebab terhadap mazhab yang dikemukakan di atas justru diyakininya bahwa
pendiri-pendiri mazhab tersebut adalah orang yang memungkinkan memahami al-
Qur’an dan Sunnah Rasul SAW. Yang diberi gelar dengan mujtahid yaitu :
“orang yang sempurna padanya syarat ijtihad, mempunyaikemampuan mengistimbatkan hukum-hukum amaliyah dan dalil-dalil syar’i. mereka yang dinamakan mufti dan faqih pada masadahulu.”67
Bagi orang awam taklid atau mengikuti ulama mujtahid yang telah
memahami agama secara mendalam hukumnya wajib, sebab tidak semua orang
66 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam………,hal. 252-25467 T.M. Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqhi, (Jakarta : Mulia),hal. 185
52
mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mempelajari agama secara
mendalam.
Para kaum tradisional bertaklid kepada salah satu mazhab empat yang
telah dimaklumi oleh seluruh ahli ilmu, tentang keahlian dan kemampuan mereka
dalam ilmu Fiqh. Di samping itu telah dimaklumi pula ketinggian akhlak dan
taqwa mereka yang tidak akan menyesatkan umat. Mereka adalah orang yang
takut kepada Allah SWT dan telah meletakkan hukum bersumber Al-Qur’an dan
hadits, ijma’ dan qiyas. Namun, ketika kita boleh bertaklid, bukan kemudian kita
bertaklid kepada sembarang orang yang belum mutawatir kemasyhurannya. Kita
bertaklid kepada ulama yang telah diakui umat, baik akhlak dan sikapnya
Taklid buta atau taklid kepada sembarang orang tentu dilarang oleh
agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan kemampuan tentu wajib mengikuti
seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh para fuqoha’. Namun, untuk mencapai
derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun kemungkinan selalu ada.68
Ijtihad diperlukan setelah nabi wafat karena permasalahan selalu
berkembang. Sejak abad ke II dan III Hijriyah permasalahan hukum Islam telah
mulai perumusan hukum, di antaranya hasil dari al-Madzahibul-Arba’ah baik
dalam ibadah maupun mu’amalah. Telah diletakkan pula qaidah-qaidah Ushul
fiqh yang mampu memecahkan segala permasalahan yang timbul. Barang, kali
periode saat ini adalah periode pengamalan dalam agama, bukan periode ijtihad.
Walaupun, jika berijtihad itu hanya akan menghasilkan barang yang sudah
berhasil. Contohnya, dalam berwudlu’, bila ada ijtihad, maka tidak akan keluar
dari pendapat mazhab empat atau al-madzhibul arba’ah. Hal ini bukan berarti
68 http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10594
53
ijtihad ditutup mutlak. Dalam masalah-masalah yang berkembang baru di abad
teknologi ini seperti: cangkok mata, bayi tabung, dan lain-lain, ijtihad tetap dibuka
dengan berpedoman pada qaidah-qaidah ulama’ yang terdahulu dalam ilmu fiqh.69
Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh
Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti
dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid,
kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang
kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya,
baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw.
yang artinya : ”Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami
(agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut
tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.
E. Ijtihad dan Taklid dalam Ulasan BNO di Jawa.
Pada awal abad ke-20, perdebatan antara organisasi Islam sangat gencar
dan banyak diperbincangkan pada masyarakat di pulau Jawa. Masalah yang di
perbincangkan adalah masalah tentang furuiyah atau khususnya tenang apakah
pintu ijtihad itu masih tetap terbuka atau tidak dan bolehkah kita bertaklid ?.
Banyak surat kabar dan majalah yang di terbitkan oleh organisasi keagamaan
yang menjelaskan tentang hal itu. Salah satunya adalah BNO yang diterbitkan
oleh organisasi HBNO atau organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama pada
saat ini. Pada salah satu artikel di dalamnya dituliskan bahwa :
69 http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10594
54
“Soal jang ta’selesai diroending, ta’poeas dikoepas, dan senantiasa hangat soal ,,ijtihad dan taklid”. Pihak jang menjoekai danjang ta’soedi, tiada djemoe-djemoenja menjerang danmempertahankan. Kedoeanja beloem poeas dengan keteranganjang diberikan. Soal jang sesoengguhnja moedah dimengerti olehtiap-tiap kepala jang berotak, menjadi-katjau dan semakin ta’dimengerti orang, bahkan atjapkali peroendingan itoe keloeardari batas menoentoet yang chaq. Mendjadi medan perjoeanganberboeat kemenangan, sebalikja dari mengheningkan mendjadimengeroehkan. Kerisis Doenia Islam jang soedah hebat makin diperhebatkan poela, kasiaaannnnn!!!”70
Kutipan selanjutnya yaitu tentang ada indikasi dari pemerintahan Belanda
untuk memecah belah persatuan Islam di Indonesia dengan cara mengangkat
masalah ijtihad dan taklid :
“oemmat Islam jang koerang pengertian, bingoeng ta’tentoetoedjuannja. Lapangan pemetcah dan pembelah dan roda anginjaverdeel en heerch semakin mendapat boeah jang tjita ladz-dzahrasanja. 71
Jelas bahwa tetulis diatas, umat Islam di buat bingung tentang
permasalahan yang seharusnya mudah di jelaskan.
Pada masa itu, masalah tentang ijtihad dan taklid sangat gencar di
perbincangkan, BNO yang pada dasarnya adalah media pers yang sah yang
diterbitkan oleh organisasi Nahdlatul Ulama menyajikan sebuah wacana
berbentuk artikel, bukan untuk melawan pandangan-pandangan kaum pembaharu
melalui media pers pada saat itu, tetapi hanya menerangkan apa yang di sebut
ijtihad dan taklid itu, dari arti hingga syarat-syarat dan ketentuannya. Sebagai
mana yang terkutip dalam BNO pada tanggal 1 bulan Agustus 1936 yang isinya :
“Sekarang marilah kita terangkan apa jang nama idjtihad,menoeroet kitab2 oeshoel :Idjtihad, ertinja menghabiskannja orang ahli choekoem denganseantero kekoeatannja, sekira ta’ dapat memahami lagi lebih dari
70 Majalah Berita Nahdlatul Oelama, Tahun I, 1 April 1936, Terbit di Surabaya, hal. 1371 Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 April 1936, Tebit di Surabaya , hal. 24
55
jang soedah dia keloearkan, didalam menentoekan choekoem2mengambil dari dalil2nja jang asal (Alqoeran, Alhadits etc).72
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa, ijtihad itu masih ada tetapi pribadi
yang bagaimana dahulu yang boleh melakukan ijtihad. Islam menganjurkan
pemikiran agar orang Islam tidak beku, akan tetapi tidak semua orang mempunyai
kemampuan untuk mengembangkannya, disebabkan karena keterbatasan daya
yang dimiliki tidak sama tetapi berbeda-beda dan juga tidak semua orang
dikaruniai Allah akal yang cerdas sebagaimana tidak semua orang mempunyai
kesempatan menuntut ilmu.
Di bawah ini adalah sambungan artikel dari yang di atas yaitu tentang
syarat-syarat :
“Sjarathnja orang jang berchaq ijtihad :Pertama : Mengerti betoel akan seloek beloeknja Alqoer’an,sekalipoen tidak semoeanja, jalah pada bahagian2 jangdiidjtihadi, oempama perichal sembahjang, maka haroeslah iasoengoeh paham dan mengetahoei antero ajat2 jg. berkenaandengan chal sembahjang.Dari Alqoeran ia haroes mengerti betoel perichal jang ‘am,haroes, moethlaq, moeqojjad, moedjmal, moebajjan, nasihk,mansoekh dan sebahagianja dan seteroesnja.Dari chadits ia haroes mengerti betoel perichal chadits jangmoetawatir, achad, moersal, moettashil enz. dan mengetahoeipoela perihal achwalnja Rawi, dari pada mena’dil mentardjichdan mengetahoei poela perihal achwalnja Rawi ; dari padamenta’dil menterdjemah dan seteroesnja.Ketiga : Mengetahoei pendapat2nja shachabat, mana jangsepakat antara mereka dan mana jang khilaf dan bagaimanakhilaf itoe dan mana jang terlebih dekat kepada dalil.Keempat : mengerti betoel perihal qias jang djelas (njata) danjang samar, jang benar dan jang salah. enzKelima : mengerti benar perihal bahasa ‘Arab lengkap dengansegala2nja.73
72 Majalah Berita Nahdlatul Oelama, Tahun I, 1 Agustus 1936, Terbit di Surabaya, hal.19
73 Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 Agustus 1936, Terbit di Surabaya, hal.20
56
Dari keterangan di atas sudah jelas siapa yang boleh melakukan ijtihad
dan siapa yang tidak boleh, bukannya tidak boleh tetapi harus menyesuaikan diri
dengan kemampuan dan kredibilitas yang ada dalam ilmu pengetahuan.
K. H. Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam Dan
Perkembangannya Di Indonesia mengatakan, terdapat syarat-syarat yang
dimaksudkan dari tulisan Imam al-Ghazali dalam al-Wasith :
“syarat-syarat berijtihad secara terpercaya sebagaimanadilakukan dahulu oleh imam-imam mujtahidin, bagi seorangcalon piñata hukum Islam, sudah bisa dipastikan bahwa hal itutidak mungkin bisa dijumpai lagi pada masa ini.74
Jadi menurut Zuhri syarat-syarat berijtihad itu adalah :
1. Mengetahui bahasa Arab.
2. Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan al-Qur’an.
3. Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan al-hadits.
4. Mengetahui segi-segi qiyas dan Ijma’.
5. Pandai menghadapi usaha-usaha berlawanan.
Pada dasarnya BNO sebagai media pers Organisasi Nahdlatul Ulama,
menuliskan artikel tentang Ijtihad dan Taklid.
Pada artikel bulan November tanggal 15 dituliskan :
“… kalimat ijtihad, didalam kalangan kita, ditoejoekan kepadaIjtihad istiqlal (Ijtihad jang berdiri sendiri, bebas dari ikatan atauikoetan sesoeatoe Ijtihad imam2 jang dahoeloe). Adapoenmereka jang bagaimanapoen tinggi pengetahoeannja, tetapi tidakbebas dari mengikoeti imam2 jang dahoeloe, termasoek dalamgolongan Taklid, tetapi sekali lagi kami peringatkan bahwakalimat Taklid itoe loeas artinja dan sekali lagi kami peringatkanbahwa arti Taklid itoe jaitoe djika seseorang jang masih ada
74 Lihat : K. H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya diIndonesia, hal. 614
57
didalam lingkoengan sesoeatoe madzhab adalah ia berTaklidkepada madzhab itoe namaja…”75
Berkaitan dengan taklid, pada artikel sebelumnya diterangkan tentang apa
itu Taklid, Taklid itu dibagi menjadi beberapa bagian dari yang paling mendekati
sampai kepada yang derajat hanya mengikuti saja. Dalam artikelnya disebutkan
“…. Si A. B. C jang tidak koeasa memeriksa sendiri karenamemang tidak mempoenjai alat-alatnja memeriksa, patoetkahdipaksa mesti memeriksa sendiri2 ?. tentoe tidak boekan ? ‘agalkita sendiri (zonder meminta dalil Qoeran dan chaditsnja) soedahmengerti bahwa kewajiban mereka itoe ialah mendjalankanmana-mana jang bisa (koeasaa) dikerjakan, djikalau bisa, haroesmendjadi almoentashib, kalau tidak ja ashchaboelwudjuh, kalautidak ja ahloe’ttardjeh, kalau tidak, ja choeffazh, kalau tidak, jamengijahi, kalau tidak, ja……. Sampai dalam kalangan……noro boenteq (mengikoet) sadja sematjam kita”76
Tetapi ada pernyataan dari majalah Nibras yang terbit di Yogyakarta yang
isinya terkait dengan anjuran agar umat Islam tidak bersifat taklid buta. Hal ini
tergambar dalam sebuah artikel yang dimuat di dalamnya yang berjudul “Igama
jang Disahkan Toehan”, berikut kutipannya :77
“…. Adapoen Igama jang disahkan Toehan ijalah igamaIslam…madjoenja igama Islam di moeka boemi ini tidakdidjalanken dengan sendirinja sadja boeat mentjaripemangkoenja ataoe pemeloeknja…ketahoeilah bahwaperatoeranja igama kita Islam moedah mengerdjakannja setaberhikmah semoea, tetapi kita heran sebabnja kebanjakanpemangkoenja Islam soeka berbantah-bantah sehingga sampaimeadakan Partij Moeda dan Partaij Koena, Partaij Kjai ini danKjai itoe…apakah sebab mereka berbantah? Sebab kebanjakenmereka itoe tidak naoe meloeaskan pemandangannja, di dalamperatoeran Islam jang beralasan hadis-hadis Rosoelillah malahmereka soeka Taklid boeta saja kepada oelama-oelama jang
75 Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 November 1936, Terbit di Surabaya, hal.20
76 Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 September 1936, Terbit di Surabaya, hal.16
77 Imas Emilia, Laporan Awal Hasil Penelitian :Islam dan Rasionalisme : Kajian AtasArtikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di Pulau Jawa 1911-1942, (Jakarta:Laporan Awal Penelitian, 2006), hal. 24
58
meerka soekai dengan tanpa memikirkan soeatupoen peratoeranitoe, padahal kita orang Islam ini disoeroeh oleh Toehan boeatmeloeasken pemandangan di dalam peratoeran beralasan kepadaKitaboelloh dan Soennah Rosoel. Sebagai penoetoep kitaberseroe, lenjapkenlah sifat Taklid boeta dan toentoetlah ‘ilmoekedoenjaan dan keakhiratan dan bersihkan hati daripada sifatjang ditjela serta ichlas kepada Allah…” 78
Artikel di atas menegaskan bahwa sebenar-benarnya Islam adalah agama
yang menolak taklid buta yang membawa umat kearah kemunduran dan membuka
pintu ijtihad seluas-luasnya dengan tetap berlandaskan al-Qur’an dan Hadits.
Chairul Anam melukiskan bahwa, K. H. Achmad Siddiq menambahkan
bahwa :
“persoalan taklid tidak lepas dari tingkat kecerdasan manusi.Derajat kecerdasan manusia memang berbeda-beda, dari yangkelewat dungu sampai yang terlalu pintar. Karena perbedaan itu,maka berlakulah proses pertaklidan dalam pemahaman ajareanIslam.79
Diterangkan lagi di dalam BNO pada tanggal 1 Juli 1937 tentang mokallid
yaitu :
"….Moeqallid (pengikoet) ini, bertingkat2 soesoenannja,menoeroet keadaan dirinja masing2. ada jang moedjtahidmoentasib, ada jang moendjtahid mahdzab, ada jang ashchaboelwoedjoeh, ada jang moendjtahid fatwa, ada jang ahlittadjich,itoelah tingkatan jang tinggi2, hampir mendekati imam jangampoenja madzhab sendiri, kemoedian tingkatan itoe semakintoeroen, menoeroet sedikit banjak ‘ilmoenja, dan tjerdas atautoempoelnja (bebal) ‘akalnja, sampai kepada tingkatan tahoedalil, ialah taklid kelas orang seperti penoelis ini.Terang soedah bahwa tingkatan taklid itoe banjak, dari jangpaling atas (tinggi) menghampiri deradjat imamnja, sampaikepada tingkatan tidak kenal dalil imamnja, menoeroet tingkatanloeas dan tidaknja pengetahoean (‘ilmoenja), dan tjerdas ataubebalnja ‘akalnja. Maka hilang poela sangka2 bahwa arti Taklid
78 Majalah Nibras, terbit di Yogyakarta, dalam Didik Pradjoko, “Kenyataan yangTersembunyi : Dakwah Islamdalam Pers di Keresidenan Surakarta dan Yogyakarta 1916-1961,Kongrea NAsional Sejarah 1996: Studi Kompearatif dan Dinamika Regional, Depdikbud, 1997,hal. 4443-444
79. Chairul Anam, Pertumbuhan dan perkembangan NU, (Jatayu : cet I, 1985), hal. 165
59
itoe terkoeroeng didalam batas :,,Ikoet seorang imam dengantidak mengenal dalilnja” :”80
Sudah banyak keterangan yang ditulis di dalam BNO tentang masalah di
atas, yaitu tentang tingkatan taklid sampai dengan kepada mengikuti atau
mukallid, di bawah ini adalah lanjutan dari kutipan di atas tentang keadaan pada
waktu itu yang banyak yang menfonis bahwa taklid itu adalah mengikuti seorang
ulama dengan tidak mengenal dalilnya kutipannya sebagai berikut :
“…Akan tetapi pengertian toean~demikianlah setengah pembatjakita berkata~sebagai itoe tidak pernah kita dengar, sebab didalamkitab2 oeshoel jang kita kenal tidak ada pengertian sematjamitoe, tetapi semoeanja mengertikan bahwa taklid itoe ialahmengikoetnja seseorang pada seorang ‘oelama’ dengan tidakmengenal dalilnja.Djikalau toean kenal kitab2 ‘oelama ahli choekoem~dijawabsaja~dari jang ketjil sampai jang terbesar. Semoeanja menjatakanbahwa dirinja bertalid pada imam Sjafi’ie, adalah toeanmenjangka, bahwa mereka tidak kenal dalil imamnja ??? Sepertiimam Nawawi, pen Sjarach Shachih Moeslim, pen Sjarach kitabMoehadzab dan lain-lainnja itoe tidak kenal dalil ???Djikalau toean mengatakan bahwa mereka tidak kenal dalil,itoelah soeatoe kedoengoean jang tidak ada bandingannja danmoekabarah semata-mata. Djikalau toean katakan mereka kenaldalil bahkan lebih kenal, tahoelah toean akan loeasnja arti kataTaklid itoe. Oelangi keterangan2 diatas.”81
Keterangan diatas jelas menyatakan bahwa dengan bahasa sedikit keras
menuliskan tentang para ulama yang mengikuti 4 mazhab itu tidak mengenal dalil
dan hanya mengikuti saja atau berTaklid buta mungkin bahasanya.
Kita boleh bertaklid, bukan kemudian kita bertaklid kepada sembarang orang
yang belum mutawatir kemasyhurannya. Tentu taklid semacam itu justru akan
membawa kesesatan. Mereka bertaklid kepada ulama yang telah diakui umat, baik
akhlak dan sikapnya.
80 Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 1 Juli 1937, Terbit di Surabaya, hal. 2881 Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 1 Agustus 1937, Terbit di Surabaya, hal. 20
60
Tulisan selanjutnya dengan tegas dan keras menyatakan :
“… Setelah soedah mengerti tentang keterangan diatas, adakahdisana soeatoe soesoenan lebih baik, lebih praktisch, lebihsempoerna dan lebih oetama dari soesoenan diatas ??Bolehkah semoeanja disoeroeh idjtihad semoeanja ?, tentoetidak, sebab ‘akal ketjerdasan dan ‘ilmoe manoesia tidak samabanjak dan tadjamnja.Bolehkah semoeanja disoeroeh ittiba’ dalam arti kata wajibmengenal dalil ????Itoepun tidak boleh djadi, sebab tidak koerang2 orang jangoesahakan mengenal dalil, sedang mengenal choeroef sadjata’tahoe ? Djikalau kita bergaoel dengan oemat Islam sekarang,tahoelah kita, bahwa hamper 99% terdiri dari orang jang ta’kenaldalil, hendak dimengapakankah orang2 itoe ? Isi nerakasemoeakah sebab ta’shach ‘ibadahnja dan moe’amalahnja ??Dapatlah soedah kita ambil kesimpoelannja, bahwa membagiorang dalam doea bagian sadja, jaitoe moedjatahid en moettabi’(idjtihad atau ittiba’ dan arti kata mengenal dalil) tidak moengkinoentoek semoea oemmat Islam !!! Sekali lagi kami katakanatidak moengkin !!!”82
Pada bulan Oktober 1937 dituliskan :
“… Soenggoeh soedah djelas, bahwa soesoenan tingkatanidjtihad dan Taklid dalam arti kata taklid jang loeas tadi darita’kenal dalil sampai moedjtahid moentashib tidak dapat dioebahpoela, dan tidak akan ada djalan selain itoe.Dan djelaslah poela, bahwa menjingkatkan pembahagianmendjadi doea sadja, jaitoe idjtihad atau ittiba’, boekan sadjakeliroe, tetapi tidak moengkin, sebab tingkatan ketjerdasan otakmanoesia dan loeas pitjiknja pengetahoean (‘ilmoe)nja tidakhanja berada di doea tingkatan sadja, ada jang paling doengoe,sederhana, mengerti dan paling mengerti. Ada jang tidak poenja‘ilmoe sama sekali, ada jang sedikit, lebih banjak sedikit, serbatjoekoep, banjak, lebih banjak dan terlaloe banjak benar,betapakah mereka hendak disamakan djoea? Sjaioenmoestachil!!83
Dari keterangan di atas bahwa ittiba’ adalah bagian dari taklid juga tetapi
yang jauh dari pada tinggkatan Mujtahid muntasib yang menghendaki kepada
jajaran mujtahid, karena kecerdasannya dalam bidang ilmu pengetahuan seperti
82 Ibid83 Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 1 Oktober 1937, Terbit di Surabaya, hal. 20
61
yang diutarakan oleh Zuhri di atas. Yang lebih jelasnya manusia itu ada yang
paling dungu, sederhana, mengerti dan paling mengerti.
Dan pada tahun 1938 sempat fakum dikarenakan ada pendudukan tentara
jepang de Indonesia dan pada tahun 1939 dilanjutkan lagi penerbitan majalah
BNO tersebut, didalam isinya disambung pula tulisan tentang masalah ijtihad dan
taklid.
Pada akhir penjelasan dan juga akhir dari penjelasan yang ditulis pada
BNO yakni, ada keritikan kepada madjalah Islam Raya yang menjelaskan bahwa
penjelasan tentang Sahabat Umar itu juga bertaklid kepada Rasullullah, dari
kritikan itu, BNO dengan keras menuliskan bahwa penjelasan yang dimuat di
Madjalah Islam raya itu terlalu berlebihan karena menjatuhkan derajad nabi
Muhammad kepada derajat Mujtahid, dalam kutipannya dapat dilihat sebagai
berikut :
“….dan sebagai chasil idjtihadnja ia menyalahkan Sdn. ‘OemarIbnoe-Khaththab dan dikatakannja, bahwa beliau djoega taklid!!!Taklid kepada siapa? Kepada Rasoeloellah sh.’aw.??? dus NAbisoedah ditoeroenkan deradjatnja oleh si moedjtahid keparat(madjalah Islam Raya) dari deradjat Rasoel menjadi…. Seorangimam moedjtahid !!!”.84
BNO yang terbit sebelum diganti dengan Swara Nahdlatoel Oelama tidak
menuliskan lagi masalah tentang ijtihad dan taklid. Pada bulan Februari pimpinan
redaksi dari BNO sekaligus ketua Tanfidziayah NU yakni K. H. MachfoedzSiddiq
membuat buku dari masalah ijtihad dan taklid yang diterbitkan di BNO, buku itu
diberi judul “DEBAT TENTANG IDJTIHAD DAN TAKLID” cetakan pertama
dan diterbitkan di Surabaya.
84 Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun IV, 1 dan 15 Januari 1939, Terbit di Surabaya
62
Dari berbagai uraian di atas dapatlah dipahami bahwa sikap Nahdlatul
Ulama terhadap para golongan pembaharu pada prinsipnya tidak menyetujui
kalau pembaharuan itu diperuntukkan pada dasar-dasar agama, terutama di bidang
aqidah, namun pembaharuan/modernisasi tersebut bukanlah penghalang bagi
umat Islam selama pembaharuan tersebut menyangkut sikap dan pandangan umat,
atau cita-citanya yang dibawa oleh pembaharuan/modernisasi tersebut sanggup
melestarikan identitas ajaran pokok Islam.
Kalau ijtihad sebagai isu sentral dalam golongan pembaharu, maka NU
berpendapat bahwa disamping pintu Ijtihad itu masih terbuka, juga diperlukan
adanya pelembagaan mazhab sebagai konsekuensi dari kondisi umat yang tidak
mungkin lagi dapat mencapai tingkat mujtahid mutlak, sedang dalam kalangan
NU dibawah tingkatan mujtahid mutlak itu seperti mujtahid fatwa dan mujatahid
mazhab, dikategorikan sebagai mukallid.
NU dalam BNO ini adalah salah satu forum untuk merespon pandangan
tentang isu-isu ijtihad dan taklid yang memang pada awal abad ke-20 itu sedang
berkembangnya di masyarakat Indonesia khususnya di wilayah Jawa, karena di
Jawa peran ulama menjadi tokoh penting dalam keberagamaan dan juga sebagai
symbol perlawanan dari pada melawan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda.
Seperti yang sudah diterangkan di atas bahwa Ulama adalah tokoh kunci
dalam penyebaran isu-isu tentang ijtihad dan taklid yang menyebar pada
masyarakat Jawa, dan juga perkembangan pers, dengan demikian bisa kita lihat
bahwa pentingnya pers sebagai media yang tidak hanya menjadi penyalur berita-
berita dan kabar-kabar saja, tetapi pers juga memiliki kamampuan untuk
menyebarkan ide-ide dan pengaruh bagi masyarakat pembacanya. Selain itu pers
63
juga merupakan suatu media komunikasi yang terbuka, sehingga siapa saja bisa
membacanya. Aliran informasi yang mengalir melalui media pers, menurut
sejarawan Sartono Kartodirdjo85 dapat memiliki potensi membangkitkan
kesadaran kolektif, sehingga penggunaan media pers pada akhirnya dapat
dipergunakan oleh berbagai kekuatan politik, sosial dan keagamaan sebagai
sarana mengaktualisasikan ide-ide dan kondisi-kondisi yang ingin dicapainya.
85 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah pergerakan nasionaldari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid II, (Jakarta : Gramedia, 1990), hal. 113.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Isu Ijtihad dan Taqlid telah berkembang di Jawa sekitar awal abad ke-20
dan ditandai dengan datangnya para ulama yang membawa pandangan
pembaharu, bahwa katalisator dari gerakan pembaharu adalah Jamaluddin al-
Afghani. Dan isu mengenai Ijtihad dan Taqlid adalah dimulai dari kritikan kepada
para ulama tradisional yang bertaqlid pada ajaran-ajaran hukum salah seorang dari
empat imam madzhab fiqih abad pertengahan. Oleh karena itu gerakan pembaharu
menolak Taqlid dan menganjurkan kembali pada sumber asli, yaitu al-Qu’an dan
Hadits, yang harus di reinterpretasikan melalui penalaran bebas (Ijtihad) oleh
ulama yang memenuhi syarat.
Memang benar bahwa perkembangan isu-isu Taqlid dan Ijtidad diawali
oleh para pelajar yang pulang dari belajarnya di Timur Tengah dan membawa
pandangan-pandangan pembaharuannya, setelah warga Indonesia mulai sadar
berorganisasi dan sadar politik, para pemuka agama membuat suatu organisasi
untuk menghimpun ummat Islam, yang salah satunya itu adalah SDI pada 1911,
dan Muhammadiyah 1912 dan lainnya.
Peran ulama selain sebagai simbol untuk melawan perlawanan dari
Belanda, para Ulama juga berperan dalam menyebarkan isu-isu Ijtihad dan Taqlid
yang terjadi di masyarakat Jawa, memang isu tentang Ijtihad dan Taqlid berawal
dari pandangan ulama-ulama yang berpaham pembaharu yang mana para ulama
tesebut mengambil pemikiran Jamaludin al-Afghani seperti yang sudah
65
diterangkan di atas. Para Ulama yang bertahan diri terhadap kritikan-kritikan
tersebut adalah para Ulama tradisional yang memang para Ulama dan pengikutnya
memegang dan berpandangan masih melakukan praktek Taqlid dan percaya
bahwa Ijtihad itu bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar mumpuni
dalam melakukan Ijtihad, dan untuk masa itu mereka beranggapan bahwa orang
yang memang mumpuni dalam melakukan Ijtihad belum tampak adanya.
Setelah itu dalam menyikapi terhadap isu-isu Ijtihad dan Taqlid yang
gencar di dengungkan baik itu dalam dakwah yang nyata atau dengan dakwah
melalui media pers, NU itu serta menjelaskan tentang apa kritikan yang
dilontarkan tentang maslah taqlid dan Ijtihad, melalui dakwah yang nyata atau pun
dengan dakwah melalui media Pers, karena media pers pada awal abad 20 adalah
suatu hal yang sangat penting dalam menyebarkan inspirasi baik itu politik atau
pun itu suatu gagasan dari suatau organisasi.
Akhirnya tetap isu-siu tentang itu sampai sekarang masih sangat nyaring
suarnya, tetapi tidak senyaring pada awal-awal abad ke 20 yang mana memang
para ulama yang mendapatkan ide-ide pembaharuan sangat gencar sekali dalam
menyikapi isu-isu Taqlid dan Ijtihad itu. Dan sekarang isu itu masih tetap ada
tetapi pada dasarnya perbedaan yang terjadi yang muncul dari isu telah membuka
kesadaranbahwa perkembangan dalam pengetahuan Islam sangat pesat dan
berkembang hingga saat ini.
66
DAFTAR PUSTAKA
Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 Agustus 1936, Terbit di Surabaya
Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 April 1936, Tebit di Surabaya
Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 November 1936, Terbit diSurabaya
Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun I, 15 September 1936, Terbit diSurabaya
Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun II, 1 Agustus 1937, Terbit di Surabaya
Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun II, 1 Juli 1937, Terbit di Surabaya
Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun II, 1 Oktober 1937, Terbit di Surabaya
Majalah Berita Nahdlatul Oelama Tahun IV, 1 Januari 1939, Terbit di Surabaya
Majalah Berita Nahdlatul Oelama, Tahun I, 1 Agustus 1936, Terbit di Surabaya
Majalah Berita Nahdlatul Oelama, Tahun I, 1 April 1936, Terbit di Surabaya
Majalah Nibras, terbit di Yogyakarta, dalam Didik Pradjoko, “Kenyataan yangTersembunyi : Dakwah Islam dalam Pers di Keresidenan Surakarta danYogyakarta 1916-1961, Kongres Nasional Sejarah 1996 : StudiKompearatif dan Dinamika Regional, Depdikbud, 1997
Abdusshomad, K.H. Muhyiddin, Hujjah NU : Akidah-Amaliah-Tradisi, Surabaya: Khalista, 2008, cet II
Adam, Ahmat, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran keindoneiaan1885-1913, Jakarta, Hastamitra, Pustaka Utan Kayu, 2003
Ali, A. Mukti, Pelbagai Persoalan Islam di Indonesi Dewasa Ini, Yogyakarta,Yayasan NIDA, 1971.
Anam, Chairul, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Jatayu, 1985, cet I,
ash Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqhi, Jakarta, Mulia
Biro Administrasi Akademik & Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,Pedoman Akademik 2007-2008, Jakarta, Biro Administrasi Akademik &Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatulah, 2007
Burhan, Muhamad Umar, Sejarah Perjuangan Kyai Haji Abdul Wahab, Bandung,Penerbit Baru, 1970
67
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta,Logos Publishing House, 1995
Emilia, Imas, Laporan Awal Hasil Penelitian : Islam dan Rasionalisme : KajianAtas Artikel-Artikel Keislaman Dalam Surat Kabar dan Majalah di PulauJawa 1911-1942, Jakarta, Laporan Awal Penelitian, 2006
G. F. Pijper, Beberapa Studi Tentang Islam di Inonesia 1900-1942, Jakarta, UIPress, 1985
Hasan, A., Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung, Pustaka, 1984.
Hosen, Ibrahim, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung : Mizan, 1996
Irsyam, Mahrus, Ulama dan Partai Politik, Jakarta, Yayasan Perkhidmatan, 1984
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah PergerakanNasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta, BalaiPustaka, 1990
________________, Pengantar Sejarah Indonesia baru 1500-1900 : dariEmporium Sampai Imperium I, Jakarta, Gramedia, 1993
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1985
MajlisTarjih Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta, PimpinanPusat Muhammadiyah, t.t.
Menapak Jejak Mengenal Watak, Sekilas Biografi 26 Tokoh Nahdlatul Ulama,Jakarta, Yayasan saifudin zuhri, 1994
Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta,Salemba Diniyah, 2002
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 Jakarta, PTPustaka LP3ES, 1996, cet kedelapan
Poesponegoro, Marwati Djoened, eds., Sejarah Nasional Indonesi V, Jakarta,Balai Pustaka, 1984
Siddiq, Ch. M. Machfoezh, Debat Tentang Ijtihad dan Taqlied, Soerabaia,H.B.N.O
Soerjomihardjo, Abdurrachman, et, al., Berbagai segi Perskembangan Pers diIndonesia, Jakarta: kompas, 2002.
Stodddarrd, L., Dunia Baru Islam, Jakarta, 1966
68
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta, PTRajaGrafindo Persada :2005
Team FKI , Esensi Pemikiran Mujtahid, Kediri, PP. Lirboyo, 2003
van Bruinessen, Martin, NU : Tradisi-Relasi-Pencarian Wacana Baru,Yogyakarta, LKiS, 2009, Cet VII
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2003, Cet XV
Zuhri, K.H. Saifudin, Menghidupkan Nilai-Nilai Ahlus Sunnah wal Jama’ahdalam Praktek, Jakarta, PP. IPNU, 1976
Zuhri, Saifuddin, Sejarah Islam dan Perkembangannya di Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Muhuammadiyah
http://id.wikipedia.org/wiki/Sarekat_Dagang_Islam.
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10594
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=10594