Post on 17-Oct-2021
RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN DENGAN LEGISLATIF
TERHADAP PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Ahmad Bustomi Kamil
NIM :1111048000046
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436H/2015M
iv
ABSTRAK
AHMAD BUSTOMI KAMIL NIM 1111048000046. RELEVANSI
PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN DENGAN LEGISLATIF
TERHADAP PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA. (Analisis
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013).
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1436/2015 M.
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya pengujian Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Dengan dibatalkannya Pasal 3 Ayat (5) Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008, berdampak pada diselenggarakannya Pemilihan
Umum secara serentak antara Presiden dengan Legislatif untuk tahun 2019 dan
seterusnya. Pemilihan Umum tersebut diproyeksikan membawa implikasi pada
penguatan sistem presidensial di Indonesia. Namun apakah Pemilihan Umum
serentak mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial, serta variabel
apa saja yang mempengaruhi dalam rangka penguatan sistem presidensial.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris normatif dengan
menerapkan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus
(case approach). Menggunakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan Putusan 14/PUU-XI/2013 untuk membuktikan relevansi Pemilihan Umum
serentak terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemilihan Umum serentak Presiden
dengan Legislatif mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial di
Indonesia. Namun untuk memperkuat sistem presidensial tidak dapat hanya
mengandalkan pemilu serentak tapi perlu didukung variabel lain dalam rangka
memperkuat sistem presidensial di indonesia, seperti meningkatkan parliamentary
threshold, mengubah sistem kepartaian dan sistem pemilu legislatif atau
memperkokoh bangunan koalisi yang telah dibentuk dengan ketentuan yang lebih
jelas dan baku.
Kata kunci: sistem pemerintah presidensial, coattail effect, parliamentary threshold,
penguatan sistem presidensial.
Pembimbing : H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H.
Nur Rohim Yunus, LLM.
Daftar Pustaka: dari tahun 1990 s.d tahun 2015
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat
yang tidak terhingga banyaknya, Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman.
Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Robbil ‘alamin penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “RELEVANSI PEMILIHAN UMUM
SERENTAK PRESIDEN DENGAN LEGISLATIF TERHADAP PENGUATAN
SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA. (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013)”. Penelitian ini merupakan salah satu
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat
bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Sehingga dalam kesempatan kali
ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada terhormat :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah
memberikan arahan serta masukan dalam penyusunan skripsi.
3. H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing I yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
saran dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Nur Rohim Yunus, LLM. selaku dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan
masukan dan bimbingan yang berharga dalam penyusunan skripsi ini
5. Kedua orang tua yang saya sangat cintai dan sayangi, Bapak Kamiludin
dan Ibu Rahyuni Thahir yang telah mendoakan, mendukung dan menjadi
motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Hari-hari beliau sepenuhnya
untuk saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada kakak perempuan saya Ilan Kamilah serta adik-adik saya yakni Az-
Zahra Nabilah Kamil dan Muhammad Ikhlasul Kamil yang telah menjadi
inspirasi dan penyemangat, dan juga tidak lupa untuk keluarga besar yang
selalu mendoakan Penulis agar penelitian ini terselesaikan.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan Himpunan Mahasiswa Ilmu Hukum, Kelas
B Ilmu Hukum Angkatan 2011, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara
yang sekaligus menjadi keluarga yakni M. Rizki Firdaus, Azhar Nur Fajar
Alam, Moh Hisyam Rafsanjani, Zaimi Multazim, Muhammad Reza Haryo
vii
Mahendra Putra, Rizky Ramandika, Dwi Puji Apriyantik, Nanda Narenda
Putra, Gari Ichsan Putro, Ridwan Ardy Prasetya, Rizky Arisandi, Ade
Putra Indrawan, Marwan, Muhammad Khaidar Muiny.
8. Kawan-kawan AMPUH (Angkatan Muda Peduli Hukum), PSHK (Pusat
Studi Hukum Kelembagaan Negara) dan FKMB (Forum Komunikasi
Mahasiswa Betawi).
Akhir kata, atas jasa dan bantuan para semua pihak yang terlibat serta juga
memberikan masukan, semoga Alah memberikan balasan yang berlipat. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, masyarakat
serta para pembaca secara umunya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 09 Oktober 2015
Ahmad Bustomi Kamil
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..... ..... v
DAFTAR ISI …………………………………………………………....... .... ...viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………… .......... 1
B. BatasandanRumusanMasalah ................................................................ 6
C. TujuandanManfaatPenelitian ................................................................ 7
D. Tinjauan (Review) StudiTerdahulu………………………………...... . 8
E. KerangkaTeori…………………………………………………........... 9
F. MetodePenelitian………….............. …………………....................... 12
G. SistematikaPenulisan ……………………………………….... ......... 15
BAB II TEORI BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN
A. Paham Konstitusionalisme.................………………………… ... …. 17
B. Teori Pemisahan Kekuasaan dengan Prinsip Checks and Balances..19
ix
C. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan .............................................. 21
1. Bentuk Pemerintahan .................................................................... 21
a. Bentuk Pemerintahan Republik .............................................. 22
b. Bentuk Pemerintahan Monarki ............................................... 23
2. Sistem Pemerintahan ..................................................................... 24
a. Sistem Pemerintahan Parlementer........................................... 25
b. Sistem Pemerintahan Presidensial........................................... 27
c. Sistem Pemerintahan Campuran ............................................. 29
BAB III SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
A. Sistem Pemerintahan di Indonesia ...................................................... 31
1. Sistem Pemerintahan di Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945
2. Sistem Pemerintahan di Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
B. Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di
Indonesia ............................................................................................. 34
1. Kewenangan Eksekutif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di
Indonesia ....................................................................................... 34
2. Kewenangan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di
Indonesia ....................................................................................... 36
3. Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan
Presidensial di Indonesia ............................................................... 37
C. Variabel Yang Mempengaruhi Sistem Pemerintahan Presidensial ..... 39
x
1. Sistem Multipartai dalam Sistem Pemerintahan Presidensial ....... 40
2. Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensial ......................... 41
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 14/PUU-IX/2013 DALAM PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG
PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
A. Relevansi Pemilihan Umum serentak Presiden dengan Legislatif Terhadap
Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ................ 45
B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
14/PUU-XI/2013 ................................................................................. 56
C. Implikasi Pemilihan Umum Serentak Terhadap Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia ......................................................................................... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 66
B. Saran .................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia pada mulanya hidup dalam
suasana bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua).1 bellum
omnium contra omnes tercipta karna kondisi alamiah dimana manusia hidup
dalam situasi pranegara, jauh dari pemahaman tentang moral, institusi dan
undang-undang.2 Hal inilah yang menurutnya mendorong manusia untuk
mendirikan sebuah negara.
Sejak zaman dahulu, Motivasi paling umum yang mendorong manusia
untuk hidup dalam suatu negara adalah motivasi untuk menikmati kehidupan yang
lebih baik. Negara menjadi wadah untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini
terbukti dengan perkembangan pengorganisasian negara mulai dari
nachwachatersataat atau negara penjaga malam sampai pada doktrin walfare
state atau negara kesejahteraan yang menganjurkan tanggungjawab lebih kepada
negara untuk mengurusi kesejahteraan sosial.3
Secara umum unsur pokok terbentuknya sebuah negara yaitu: (1) Adanya
rakyat (masyarakat) tertentu; (2) Adanya daerah (wilayah) tertentu; (3) Adanya
pemerintahan yang berdaulat. Menurut Mahfud MD Pemerintahan adalah alat
1Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2012, Cet. Kesebelas), h. 83.
2Otto Gusti Madung, Filsafat Politik; Negara Dalam Bentangan Diskurusus Filosofis,
(Ledalero: Maumere, 2013, Cet. Pertama), h. 34.
3Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006,
Cet. Kedua), h. 2.
2
kelengkapan negara yang bertugas memimpin negara untuk mencapai tujuan
negara. Oleh sebab itu pemerintah seringkali menjadi personifikasi negara.4
Dalam menjalankan sebuah negara, dibutuhkan sebuah sistem pemerintahan
untuk menjaga kestabilan negara. Sistem pemerintahan digunakan untuk
menunjukkan bagaimana pemerintahan dalam suatu negara dijalankan. Di
dalamnya terdapat sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara
sebagai pemegang kekuasaan negara.
Menurut Carl J. Friedrich5 sistem adalah suatu keseluruhan terdiri dari
beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian
maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu
menimbulkan suatu ketergatungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah
satu bagian tidak bekerja dengan baik akan memengaruhi keselurahannya itu.
Adapun pengertian pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh organ
kekuasaan di dalam negara yaitu legislataif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi dalam
arti sempit, pemerintah (yang disebut bestuur) hanya mencakup organisasi fungsi-
fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan (eksekutif) yang bisa dilakukan oleh
Kabinet dan aparat-aparatnya dari tingkat pusat sampai ke daerah.6
Karena itu apabila berbicara tentang sistem pemerintahan pada dasarnya
adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara
4Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2001, Cet. Kedua), h. 64.
5Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, (Jakarta: Kencana, 2011, Cet. Kedua), h. 147.
6Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 66.
3
lembaga-lembaga negara menjalankan keuasaan negara itu, dalam rangka
menyelenggarakan kepentingan rakyat.7
Sri Soemantri8 memaknai sistem pemerintahan berkenaan dengan sistem
hubungan eksekutif dan legislatif. Ada dan tidak adanya hubungan antara
eksekutif dan legislatif melahirkan adanya sistem pemerintahan parlementer dan
sistem pemerintahan presidensial, yang dalam bahasa inggris disebut cabinet
government system dan presidential government system atau the fixed executive
system.
Dalam perkembangan negara modern, penyelenggaraan kekuasaan negara
didasarkan pada konstitusi.9 Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis atau
yang lazimnya disebut Undang-Undang Dasar. Melalui Undang-Undang Dasar
kita dapat melihat negara mulai dari bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem
pemerintahan dan jaminan hak asasi manusia.
Dalam konteks Indonesia, konstitusi tertulis tertuang dalam Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang telah mengalami perubahan menjadi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut
UUD NRI 1945). Di dalamya memuat mengenai bentuk negara dan bentuk
pemerintahan (Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945) serta sistem pemerintahan.
7Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, h. 148.
8Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, h. 148.
9Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekertariat Jendral MPR RI, 2012, Cet. Kedua), h.
117.
4
Sejak dahulu dikatakan bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial,
sekurang-kurangnya sistem itulah yang semula dibayangkan ideal oleh kalangan
perancang Undang-Undang Dasar 1945. Ciri-ciri penting yang ada di sistem
presidensial yakni10
:
1. Presiden melaksanakan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan;
2. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, oleh karenanya presiden
bertanggungjawab kepada rakyat;
3. Presiden tidak tunduk kepada parlemen dan sebaliknya presiden tidak
dapat membubarkan parlemen;
4. Presiden memiliki masa jabatan tetap;
5. Presiden memegang tanggungjawab pemerintahan.
Akan tetapi, sistem presidensial yang dianut UUD 1945 sebelum
amandemen adalah tidak murni, karena Presiden dalam menjalankan
pemerintahannya harus mempertanggungjawabkannya kepada MPR sebagai
lembaga parlemen yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.
MPR juga berwenang memberhentikan Presiden ditengah masa jabatannya karena
tuduhan pelanggaran haluan negara.11
Oleh karena itu salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945
(1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial.12
Hal ini dibuktikan dengan
dimuatnya ciri-ciri pokok sistem presidensial ke dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A
ayat (1), Pasal 7, Pasal 7C UUD NRI 1945.
10
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005, Cet. Kedua), h. 59-60.
11
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012, Cet. Kedua) h. 97-98.
12
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013, h. 78.
5
Dengan demikian, jelaslah bahwa negara Indonesia di era reformasi ini
menganut sistem presidensial. Karna ciri-ciri pokok sistem presidensial
disebutkan secara tegas dalam UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 menempatkan
presiden dalam posisi yang kuat dan strategis, karna presiden tidak dapat
dijatuhkan selain dari alasan yang diatur secara limitatif oleh UUD NRI 1945
(Pasal 7A UUD NRI 1945).
Dalam hal pengisian jabatan Presiden, Pasal 6A ayat (2) menyebutkan
bahwa “Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum”. Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “Tata cara
pelaksanaan pemilihan Presiden dan wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka lahirlah Undang-Undang pelaksana
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yakni Undang-Undang nomor 23 tahun
2003 yang sekarang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 42
tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang
menghendaki Pemilu Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut Pemilu Legislatif).
Terkait Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, telah dilakukan
permohonan Pengujian Undang-Undang oleh Effendi Gazali pada tanggal 10
januari 2013 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang pada
intinya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa model pelaksanaan Pemilu
6
Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
untuk pemilihan umum seterusnya dilakukan secara serentak.13
Menurut Mahkamah Konstitusi penyelenggaraan Pemilihan Presiden yang
dilakukan setelah Pemilu Legislatif melemahkan sistem presidensial yang hendak
dibangun oleh UUD NRI 1945. Negosiasi dan tawar-menawar (bargaining)
politik yang dilakukan dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan
dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintah, mempengaruhi jalannya roda
pemerintahan di kemudian hari.
Oleh karena itu, Presiden pada faktanya sangat bergantung pada partai-
partai yang mempunyai hak eksklusif dalam pencalonan Presiden (Pasal 6A ayat
(2) UUD NRI 1945) yang menurut Mahkamah Konstitusi dapat mereduksi posisi
Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem
pemerintahan presidensial yang dianut UUD NRI 1945.
Dari uraian di atas menarik untuk dikaji apakah pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden yang dilakukan secara serentak dengan pemilihan Anggota
DPR,DPD, dan DPRD mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem
presidensial yang dianut oleh UUD NRI 1945.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya pembahasan yang akan dibahas dalam
penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus
13
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, h. 88.
7
pada relevansi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara
serentak dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD terhadap penguatan
sistem presidensial yang dianut oleh UUD 1945.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka pokok permasalahan
yang akan diteliti adalah :
a. Apakah Pemilhan Umum serentak mempunyai relevansi terhadap
penguatan sistem presidensial yang dianut UUD NRI 1945?
b. Apa dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam
Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam pengujian Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden?
c. Apa implikasi pemilu serentak terhadap sistem pemilihan umum di
indonesia?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan, maka tujuan penulisan dalam skripisi
ini adalah:
a. Untuk mengetahui apakah pemilihan umum secara serentak mempunyai
relevansi terhadap penguatan sistem presidensial.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi republik
Indonesia dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013.
8
c. Untuk mengetahui implikasi pemilihan umum serentak terhadap sistem
pemilihan umum di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritis
Penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam
hukum tata negara khsususnya mengenai relevansi pemilu serentak
terhadap penguatan sistem presidensial yang dianut oleh UUD NRI 1945
serta mengetahui dampak pemilu serentak terhadap kefektivitan
pemerintahan. Selain itu dapat menambah pembendaharaan karya ilmiah
dengan memberikan konstribusi bagi perkembangan hukum tata negara di
Indonesia.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan menjadi kerangka acuan dan landasan bagi
penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi
pembaca khususnya mengenai relevansi pemilu serentak terhadap
penguatan sistem presidensial yang dianut UUD NRI 1945.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Jurnal
Sodikin, Jurnal RechtVinding Volume 3 Nomor 1 April tahun
2014 yang berjudul “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif dengan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) dan Penguatan Sistem
presidensial.
Hayat, Jurnal Konstitusi Volume 11 Nomor 3, September 2014
yang berjudul “Korelasi Pemilu Serentak dengan Multi Partai
Sederhana sebagai Penguatan Sistem Presidensial
9
Hukum Penelitian saya, Relevansi Pemilu Serentak Presiden dan Legislatif
Terhadap Penguatan Sistem Presdiensial di Indonesia.
Persamaan
Persamaan dari penelitian sebelumnya adalah sama-sama
menganalisis apakah pemilu serentak presiden dengan legislatif
berdampak pada penguatan sistem presidensial di Indonesia
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Nomor 14/PUU-XI/2013.
Perbedaan
Sodikin: Jurnal ini lebih mempersoalkan mengenai ambang batas
(presidential threshold) sebagai bentuk
pelemahan sistem presidensil yang tidak
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
Hayat: Jurnal ini meneliti bahwa sistem multi partai sederhana
mempunyai korelasi terhadap penguatan sistem
presidensial. Penelitian ini berangkat dari
perspektif efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan, bahwa sistem multi partai
sederhana sangat cocok diterapkan di dalam
sistem presidensial
Penelitian saya: skripsi saya meneliti apakah pemilu serentak
presiden dan legislatif mempunyai relevansi
terhadap penguatan sistem presidensial ditinjau
dari teori pemisahan kekuasaan dengan prinsip
Checks and Balances dan ciri-ciri pokok sistem
presidensial yang menghendaki kedudukan
antara eksekutif dan legslatif adalah sejajar.
E. Kerangka Teori
1. Konsep Negara Hukum
Konsep negara hukum selalu terkait dengan ide negara hukum. Ide
negara hukum muncul dari latar belakang terjadinya kesewenang-wenangan
penguasa.14
Ide negara hukum sudah dikenal sekitar 500 SM oleh bangsa
Yunani Kuno. Ide negara hukum pertama kali dikemukakan oleh Plato
14
Hotma P. Sibuea, Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010, Cet. Pertama), h. 10.
10
dalam karyanya Politea (the Republic), Politicos (the Stateman), dan Nomoi
(the Law). Dan ide atau gagasan negara hukum mucul lagi di eropa barat
sekitar abad -17-18.
Ide negara hukum secara garis besar menghendaki adanya pembatasan
kekuasaan negara berdasarkan hukum. Hukum memegang peranan tertinggi
dalam kekuasaan negara, yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam
penyelenggaran kekuasaan negara. Hal ini sejalan dengan teori kedaulatan
hukum yang mengatakan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak
pada raja, tidak juga pada negara tetapi berada pada hukum.15
Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julis Stahl,
dan lain-lain dengan menggunaka istilah Jerman yaitu Rechsstaat.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konseop negara hukum
dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Menurut
Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut Rechsstaat itu mencakup
empat elemen penting yaitu16
:
1. Perlindungan Hak Asasi Manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang
4. Peradilan tata usaha negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam
setiap negara hukum yang disebut dengan isitilah The Rule of Law, yaitu:
1. Supermacy of Law.
15
Hendra Nurthahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta:Bumi Aksara, 2008, Cet.Kedua), h. 37.
16
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h.
122.
11
2. Equality of Law.
3. Due Process od Law.
Profesor Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara
hukum klasik, dan negara hukum materil atau negara hukum modern.
Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil
dan sempit, yaitu peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan negara
hukum materil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di
dalamnya.
2. Teori Pemisahan Kekuasaan
Konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan ini dapat ditelusuri
kembali dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Goverment”
(1960) yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum
tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke
membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu
kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive
power), dan kekuasaan Federatif (federatif power).
Oleh Montesquieu (1689-1755) pemikiran John Locke diteruskan
dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan
negara menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu legilatif, eksekutif, dan yudikatif.
Panadngan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan doktrin separtion
of power di zaman sesudahnya.
Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara
struktural dalam organ-organ yang tidak saling mrncampuri urusan masing-
12
masing. Kekuasan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif,
kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembagan eksekutif, dan
demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh lembaga yudikatif.
Dalam pandangannya sebagai berikut17
:
“Again there is no liberty, if the judiciary power be not separetd from
legislative and executive. Were it joined with the legislative, the life and
liberty of the subject would be exposed to arbitratry control, for the judge
would then be legislator. Were it joined with the executive power, the judge
might behave with violence and oppresion.”
Yang diidealkan Montesquieu adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan
negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara.
Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh
saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika
tidak demikian, maka kebebasan akan terancam.
Konsepsi trias politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat
tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebuut
hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi
kekuasaan tersebut. Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan
antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan,
dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama
lain dengan prinsip checks and balances.
F. Metode Penelitian
17
Hotma P. Sibuea, Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, h. 25.
13
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian normatif yaitu penelitian
hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangun sistem norma. Sistem
norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta
doketrin (ajaran).18
2. Pendekatan penelitian
Sehubungan dengan jenis penelitian ini, maka pendekatan yang
digunakan adalah:
a. Pendekatan Sejarah;
b. Pendekatan Perundang-undangan.
c. Pendekatan Comparatif (Perbandingan)
3. Sumber Penelitian (bahan yang dijadikan rujukan)
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim.19
1) Perundang-undangan terdiri dari :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
18
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Cet. Pertama), h. 31.
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Kelima), h.
141.
14
b) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pendadilan. Tentunya
yang berkaitan dengan penelitian ini.20
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/kepustkaan (library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber seperti buku-buku yang
berkaitan dengan permasalahan, pendapat sarjana, surat kabar, artikel,
kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.
5. Metode Analisis dan Pengolahan data
Adapun untuk menganalisis data kualitatif ini penulis menggunakan
pola berpikir deduktif-induktif, yaitu deduktif-induktif ini digunakan untuk
menjelaskan bab II dan bab III. Setelah dijelaskan tentang inti dari
penelitian dan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan konkret yang
dihadapi.
6. Metode Penulisan
20
Peter Mahmud Marzuki, h. 141.
15
Dalam metode penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi ini, maka
penulis memberikan sistematikanya secara garis besar. Penulisan penelitian ini
dibagi menjadi lima bab, dimana setiap bab akan dibahas secara rinci sebagai
bagian dari keseluruhan penelitian ini dengan maksud untuk mempermudah
memahami penulisan penelitian ini. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut :
BAB 1 Pendahuluan
Merupakan pengantar untuk memahami garis besar dari seluruh
pembahasan. Dalam hal ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan,
pokok permasalahan, metode pembahasan, serta sitematika penulisan
penelitian ini.
BAB II Tinjauan Umum tentang Kekuasaan Negara
Dalam bab ini akan membahas secara komprehensif mengenai kekuasaan
negara, mulai dari paham konstitusionalisme, doktrin Pemisahan
Kekuasaan dengan prinsip Checks and Balances. Serta juga membahas
mengenai teori bentuk dan sistem pemerintahan
BAB III Sistem Pemerintahan di Indonesia
16
Dalam bab ini akan membahas mengenai sistem pemerintahan di
Indonesia, kemudian dilanjutkan membahas mengenai kedudukan
eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan presidensial di
Indonesia serta pola hubungan antar kedua lembaga tersebut. Dan juga
membahas megenai variabel yang mempengaruhi sistem presidensial
BAB IV Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
14/PUU-XI/2013
Bab ini merupakan inti dari penelitian ini yakni dengan melihat dasar
pertimbangan Hakim Mahkamah Konsitusi dalam Putusan Nomor
14/PUU-XI/2013 serta menganalisis Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor
14/PUU-XI/2013 terkait pemilu serentak.
BAB V Penutup
Dalam bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penullis
mencoba menyimpulkan dan memberikan usulan-usulan mengenai
permasalahan yang telah dibahas dalam penulisan penelitian ini.
17
BAB II
TEORI KEKUASAAN NEGARA
A. Paham Konstitusionalisme
Untuk mengetahui mengenai paham konstitusionalisme maka terlebih
dahulu memahami apa itu konstitusi. Istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia
berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Latin), “contitution” (bahasa
Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constituonnel” (bahasa Perancis),
“versfassung” (bahasa Jerman). Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis
yakni constituer yang berarti membentuk.1
Selama abad ke-16 dan abad ke-17 negara-negara bangsa (nation state)
mendapat bentuk yang sangat kuat, sentralistik dan berkuasa. Berbagai teori
berkembang untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan kekuasaan
yang kuat itu. Di Inggris pada abad ke-18, perkembangan sentralisme ini
mengambil bentuknya dalam doktrin „king-in parliament‟ yang pada dasarnya
mencerminkan kekuasaan tidak terbatas.2
Berawal dari kekuasaan yang liar dan tak terkendali, maka harus ada
konstitusi baik itu dalam sebuah negara republik, Federal, ataupun Serikat. Untuk
membatasi kekuasaan, semua konstiusi menjadikan kekuasaan sebagai pusat
perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan
1 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara;
Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, (Bandung: Fajar Media Bandung, 2013, Cet. Pertama),
h. 206.
2 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, h. 19.
18
dibatasi sebagaimana mestinya. Karena itu pembatasan kekuasaan pada umumnya
dianggap merupakan corak umum materi konstitusi.3
Pada perkembangan selanjutnya istilah konstitusi pada umumnya
dipergunakan untuk menujuk kepada segala peraturan mengenai ketatanegaraan
suatu negara yang secara keseluruhan menggambarkan sistem ketatanegaraan.4
Konstitusi menjadi hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelengaraan
negara.5 Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-
Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis.
Undang-undang dasar menempati tata urutan peraturan perundang-
undangan tertinggi dalam negara. Dalam undang-undang dasar termuat pemegang
kedaulatan tertinggi, struktur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan,
kekuasaan legislatif, kekuasaan peradilan dan berbagai lembaga negara serta hak-
hak rakyat.
Kebutuhan akan naskah undang-undang dasar merupakan suatu
keniscayaan. Seluruh negara memiliki undang-undang dasar walaupun, sampai
saat ini, Inggris dan Israel tidak dikenal memiliki suatu naskah undang-undang
dasar tertulis. Undang-undang dasar di Inggris dan Israel tidak pernah dibuat,
tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan.6
3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, h. 17.
4 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara;
Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, h. 207.
5 Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 117.
6 Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekertariat Jendral MPR RI, 2012, Cet. Kedua), h.
118.
19
Paham konstitusionalisme berawal dari dipergunakannya konstitusi sebagai
dasar hukum dalam penyelenggaraan negara. paham konstitusionalisme
mengemban the limited state (negara terbatas), dimana dalam penyelenggaraan
negara dan pemerintahan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan maka hal
tersebut tersebut harus dinyatakan dan diatur secara tegas dalam pasal-pasal
konstitusi. pada prinsipnya paham konstitusionalisme menyangkut prinsip
pembatasan kekuasaan.7
Pada prinsipnya paham konstitusionalisme adalah menyangkut prinsip
pembatasan kekuasaan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu pertama, hubungan antara pemerintah dengan
warga negara; dan kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu
dengan lembaga pemerintahan yang lain. Oleh karena itu, biasanya konstitusi
dimaksudkan mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan
kekuasaaan organ-organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga
negara yang satu dengan yang lain, dan mengatur hubungan kekuasaan antara
lembaga-lembagan negara dengan warga negara.8
B. Teori Pemisahan Kekuasaan dengan Prinsip Checks and Balances
Konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan ini dapat ditelusuri kembali
dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Goverment” (1960) yang
7 Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 119.
8 Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 120.
20
berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh
dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke membagi
kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif
(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan
federatif (federatif power).
Oleh Montesquieu (1689-1755) pemikiran John Locke diteruskan dengan
mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara menjadi 3
(tiga) cabang, yaitu legilatif, eksekutif, dan yudikatif. Pandangan Montesquieu
inilah yang kemudian dijadikan doktrin separtion of power di zaman sesudahnya.
Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam
organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasan
legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya
dilakukan oleh lembagan eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya
dilakukan oleh lembaga yudikatif.
Dalam pandangannya sebagai berikut9 :
“Again there is no liberty, if the judiciary power be not separetd from legislative
and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject
would be exposed to arbitratry control, for the judge would then be legislator.
Were it joined with the executive power, the judge might behave with violence and
oppresion.”
Yang diidealkan Montesquieu adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara
itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya
boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri
9 Hotma P. Sibuea, Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, h. 25.
21
urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka
kebebasan akan terancam.
Konsepsi trias politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat
tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebut hanya
berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan
tersebut. Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang
kekuasaan itu tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan, dan bahkan
ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan
prinsip checks and balances.10
C. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan
1. Bentuk Pemerintahan
Secara umum, seringkali terjadi pencampuran dalam menggunakan
istilah “bentuk pemerintahan” dan “sistem pemerintahan”. Padahal kedua
hal tersebut mempunyai perbedaan mendasar. Sri Soemantri melihat bentuk
pemerintahan sebagai penggambaran struktur organisasi yang dipilih dalam
menjalankan negara.11
Sedangkan sistem pemerintahan yaitu mengenai
hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat.12
10
Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
h. 35.
11
Hendra Nurtjhajo, Ilmu Negara; Pengembangan Teori bernegara dan Suplemen,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005, Cet. Pertama), h. 40.
12
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Cet. Pertama), h. 23.
22
Menurut Hanks Kelsen, bentuk pemerintahan diklasifikasikan menjadi
republik dan monarki. Jika kepala negara diangkat berdasarkan hak waris
atau keturunan maka bentuk pemerintahan tersebut disebut monarki.
Sedangkan jika kepala negara dipilih melalui pemilihan umum untuk masa
jabatan tertentu maka bentuk pemerintahan tersebut disebut republik.13
a. Bentuk Pemerintahan Republik
Bentuk pemerintahan republik telah dikenal sejak masa
pemerintahan Yunani klasik dan Romawi. Negara-negara kota (Polis
atau City State) di Yunani seperti Athena dan Sparta adalah republik.
Demikian pula Romawi, sebelum berkembang menjadi kerajaan atau
kekaisaran, adalah republik. Meskipun secara konseptual
pemerintahan Yunani klasik berbentuk republik, nama republik sendiri
itu tidak dikenal meskipun tulisan Plato Politea disalin dengan nama
republik.14
Pemahaman dan perwujudan bentuk republik berasal dari
Romawi, yaitu bahasa Latin res publica yang berarti segala sesuatu
berkenaan dengan (kepentingan) umum (rakyat). Baik di Yunani
Klasik maupun Romawi bentuk republik tidak dikaitkan dengan
jabatan presiden. Jabatan presiden yang dikaitkan dengan bentuk
republik pertama kali digunakan setelah revolusi Amerika Serikat dan
revolusi Perancis.
13
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 23.
14
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Pertama), h. 42.
23
Secara asasi paham republik mengandung makna bahwa
pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan
umum (rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan dalam
republik harus mencerminkan kehendak umum dan ditentukan
berdasarkan kehendak umum (rakyat). Hal ini hanya dimungkinkan
kalau kepala negara bukan raja. Raja yang turun-temurun tidak
memungkinkan keikutsertaan umum (rakyat) untuk memilih dan
dipilih sebagai kepala negara.15
Dalam konteks Indonesia, bentuk pemerintahan Indonesia adalah
republik. Bentuk pemerintahan tersebut dinyatakan secara tegas dalam
pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Negara indonesia
ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Hal tersebut
dimaksudkan sebagai prasyarat bahwa pemerintahan yang dijalankan
untuk kepentingan umum (rakyat).
b. Bentuk Pemerintahan Monarki
Bentuk pemerintahan kerajaan biasanya ditandai seorang raja,
kaisar, sultan yang menjadi kepala negara. Jabatan tersebut diduduki
secara turun-temurun dan dijabat seumur hidup. Contoh negara yang
berbentuk kerajaan atau monarki adalah Inggris, Belanda, Nowergia,
Swedia dan Thailand.
M. Solly Lubis mendefinisikan monarki atau kerajaan sebagai
pemerintahan dimana kekuasaan negara dipegang oleh “satu” orang
15
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, h.3.
24
yang menjalankan kekuasaan itu untuk kepentingan semua orang.16
Pengertian yang agak berbeda disampikan oleh A. Appodorai yang
mengartikan monarki sebagai pemerintahan oleh seorang individu
yang tidak tunduk pada pembatasan hukum apapun, melakukan segala
sesuatu atas kehendak sendiri.
Dari perbedaan kedua pandangan tersebut maka monarki atau
kerajaan dapat di bagi menjadi dua bentuk :
1) Monarki Absolute, dimana kekuasaan raja tidak dibatasi
oleh apapun.
2) Monarki Konstititusional, dimana kekuasaan raja dibatasi
oleh Konstitusi.
Dalam perkembangannya bentuk-bentuk kerajaan dengan
kekuasaan absolut telah banyak berkembang menjadi pemerintahan
kerajaan atau monarki yang tunduk pada hukum, tunduk pada
kehendak rakyat, tunduk pada konstitusi (Monarki Konstitusional),
seperti di Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Jepang dan Thailand.
2. Sistem Pemerintahan
Sri Soemantri17
memaknai sistem pemerintahan berkenaan dengan
sistem hubungan eksekutif dan legislatif. Ada dan tidak adanya hubungan
antara eksekutif dan legislatif melahirkan adanya sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan presidensial, yang dalam bahasa
16
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Mandar Maju, 1990, Cet. Keempat), h. 55.
17
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, h. 148.
25
inggris disebut cabinet government system dan presidential government
system atau the fixed executive system.
Sejalan dengan pandangan di atas, Jimly Asshddiqie mengemukakan
sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu
penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan
legislatif. Cara pandang yang demikian sesuai dengan teori dichotomy, yaitu
legislatif sebagai policy making (taak stelling) sedangkan eksekutif sebagai
policy executing (taat verwezenlijking).18
Dari penelusuran berbagai literatur terdapat varian sistem
pemerintahan. Giovanni Sartori membagi sistem pemerintahan menjadi tiga
kategori: presidentialism, parliamentary system, dan semi-presidentialism.
Lebih variatif lagi Denny Indrayana membuat kategorisasi sistem
pemerintahan, yaitu sistem presidensial, sistem parlementer, sistem hibrid
atau campuran, sistem kolegial dan sistem monarki.19
Meskipun terdapat banyak varian, sistem pemerintahan yang dibahas
dalam penelitian ini dibatasi pada sistem pemerintahan presidensial, sistem
parlementer, dan sistem campuran. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
memperlihatkan bahwa sistem kolegial dan sistem monarki tidak pernah
diterapkan.
a. Sistem Pemerintahan Parlementer
18
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 24.
19
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 25.
26
Tercatat dalam sejarah, Inggris merupakan tempat kelahiran
sistem pemerintahan parlementer. Dari berbagai macam sistem
pemerintahan yang dikemukakan tersebut, sistem parlementer
merupakan sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan di
seluruh dunia. Sejak Perang Dunia II dua pertiga dari negara-negara
dunia ketiga yang memilih sistem pemerintahan parlementer suskses
dalam transisi demokrasi.
Sistem pemeritahan parlementer merupakan sistem yang
ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggung jawab
kepada parlemen) ditambah dengan overwicht (kekuasaan lebih)
kepada parlemen. Dengan argumentasi itu, sistem parlementer
dilandaskan bahwa parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi
(parliament is soverign) atau dalam bahasa A.V Dicey parliamentary
supremacy.20
Di dalam sistem pemerintahan parlementer tugas atau kekuasaan
eksekutif diserahkan kepada badan yang disebut kabinet atau dewan
menteri. Kabinet ini nantinya dipimpin oleh seorang perdana menteri
yang mempertanggung jawabkan pemerintahannya kepada badan
perwakilan rakyat atau parlemen. Jadi dalam sistem ini kepala negara
tidak merupakan pimpinan yang nyata daripada pemerintahan, yang
memikul segala pertanggung jawaban pemerintahan adalah kabinet.
20
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, 28.
27
Dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa sistem
pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri sebagai berikut21
:
1) Kepala negara hanya sebagai lambang/simbol negara yang hanya
mempunyai tugas-tugas yang bersifat fomal;
2) Pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya/nyata adalah
perdana menteri sebagai pemimpin kekuasaan eksekutif beserta
para menteri-menterinya. Perdana menteri bertanggung jawab
kepada badan perwakilan rakyat;
3) Perdana menteri sebagai kepala pemerintahan terpilih atas
dukungan mayoritas di parlemen;
4) Masa jabatan perdana menteri beserta kabinet ditentukan
berdasarkan dukungan mayoritas di parlemen.
Dari kriteria di atas selain ada pemisahan antara kepala negara
(head of state) dan kepala pemerintahan (head of government),
karakter paling mendasar dalam sistem pemerintahan parlementer
adalah tingginya tingkat dependensi atau ketergantungan eksekutif
kepada dukungan parlemen. Apalagi, eksekutif tidak pilih langsung
oleh pemilih sebagaimana pemilihan untuk anggota legislatif.
b. Sistem Pemerintahan Presidensial
Jika sistem pemerintahan parlementer terkait dengan
perkembangan sistem parlementer Inggris, sistem pemerintahan
presidensial tidak dapat dipisahkan dari Amerika Serikat. Amerika
21
Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Cet. Pertama), h. 259-262
28
Serikat tidak hanya merupakan tanah kelahiran sistem presidensial,
tetapi juga sebagai contoh ideal karena memenuhi hampir semua
kriteria yang ada dalam sistem pemerintahan presidensial.
Menurut Jimly Asshiddiqie ada beberapa ciri penting dalam
sistem presidensial22
:
1) Presiden melaksanakan fungsi kepala negara dan kepala
pemerintahan;
2) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, oleh karenanya
presiden bertanggungjawab kepada rakyat;
3) Presiden tidak tunduk kepada parlemen dan sebaliknya presiden
tidak dapat membubarkan parlemen;
4) Presiden memiliki masa jabatan tetap;
5) Presiden memegang tanggungjawab pemerintahan.
Berdasarkan karakter yang dikemukakan salah satu karakter yang
utama adalah presiden memegang fungsi ganda yaitu sebagai kepala
negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Selain itu karakter sistem
presidensial juga dapat dilihat dari pola hubungan antara lembaga
eksekutif dengan legislatif. Pola yang bisa dilacak dengan adanya
pemilihan umum yang terpisah antara untuk memilih presiden dan
untuk memilih legislatif.
Pemilihan umum yang terpisah untuk memilih presiden dan untuk
memilih legilatif membawa dampak pada pemisahan kekuasaan
22
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945, h. 59-60.
29
karena keduanya mendapat mandat langsung dari rakyat. T. A.
Legowo mengungkapkan “.....karena petinggi-petinggi eksekutif
dipilih secara terpisah dengan legislatif, sistem presidensial
membawa ciri yang kuat pada pemisahan kekuasaan..”.23
c. Sistem Pemerintahan Campuran
Dalam sistem pemerintahan ini, badan eksekutif merupakan
bagian dari badan legislatif. Misalnya di Swiss yang disebut
Bundesrat (badan eksekutif) adalah badan pekerja dari
Bundesversammlung (badan legislatif). Dalam sistem ini badan
legislatif membentuk sub badan di dalamnya sebagai pelaksana tugas
pemerintah. Mekanisme kontrol terhadap badan legislatif dilakukan
langsung oleh rakyat melalui lembaga referendum.24
Lembaga referendum yaitu suatu pemungutan suara secara
langsung oleh rakyat yang berhak mengeluarkan suara untuk
menentukan tentang pendapat rakyat. Hal ini diterapkan di Swiss
dimana ada mekasnisme kontrol secara langsung dari rakyat yang
mengontrol tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan dari badan
legislatif, seperti Bundesversammlung yang ada di Swiss.
Referendum di Swiss ada dua macam yaitu25
:
23
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 41.
24
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju, h. 56.
25
Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, h. 268.
30
1) Referendum wajib, ini adalah referendum yang menentukan
berlaku atau tidaknya suatu undang-undang atau suatu peraturan;
2) Referendum tidak wajib, ini adalah pemungutan suara yang dapat
dituntut oleh rakyat, untuk menentukan apakah suatu undang-
undang yang telah berlaku itu akan boleh terus berlaku atau tidak,
atau perlu diadakan perubahan-perubahan ataukah tidak.
31
BAB III
SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
A. Sistem Pemerintahan di Indonesia
1. Sistem Pemerintahan di Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945
Sistem Pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen
Bahwa secara konstitusional Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan
Presidensial yang berarti bahwa pemegang kendali dan penanggung jawab
atas jalannya pemerintahan negara (eksekutif) adalah Presiden, sedangkan
para menteri hanyalah pembantu Presiden, dalam artian Presiden berperan
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, hal ini tertuang dengan
tegas di dalam:
a. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang
Dasar dan Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 dalam menjalankan kewajibannya
Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
b. Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara”, sedangkan ayat (2) berbunyi “Menteri-menteri
itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Hal ini memperkuat
penjelasan bahwa Presiden dalam UUD 1945 memiliki kewenangan di
dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara, dengan
kata lain bahwa menteri-menteri negara tersebut tidak bertanggung jawab
32
kepada Dewan Perwakilan Rakyat melainkan kepada Presiden sebagai
pembantu Presiden.
c. Penjelasan Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam
negara. Untuk menjalankan Undang-Undang, Dia mempunyai kekuasaan
untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementair).
Dilihat dari Pasal 1 ayat (2), Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945
menetapkan bahwa MPR memegang kedaulatan rakyat dan mengangkat
Presiden dan secara otomatis maka pertanggung jawaban Presiden adalah
kepada MPR selaku pemegang kedaulatan rakyat dan memilih Presiden.
Sedangkan menurut Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Presiden bersama
dengan DPR membentuk kekuasaan legislatif, dengan kata lain bahwa
Presiden sendiri berhak menciptakan hukum untuk mengatur pertanggung
jawaban kepada MPR atas dasar Pasal-Pasal yang bersangkutan, dan Presiden
bekerja sama dengan DPR dalam menjalankan proses legislasi. Presiden dapat
menolak Rancangan Undang-Undang hasil inisiatif dari DPR, maka artinya
bahwa kekuasaan legislatif dalam pembentukan Undang-Undang bukan
berada di tangan DPR melainkan berada di tangan Presiden. Kekuasaan
Presiden itupun ditambah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950
Tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa Presiden memiliki
kewenangan dalam mengangkat danm memberhentikan anggota-anggota
Mahkamah Agung, sehingga itu menyatakan bahwa Presiden juga memiliki
kekuasaan secara yudikatif.
33
Berdasarkan atas penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar (executive heavy) karena di
samping memiliki kekuasaan eksekutif, juga memiliki kekuasaan dalam
legislatif dan yudikatif sehingga mengakibatkan tidak adanya pemisahan
kekuasaan yang diatur secara tegas dalam UUD 1945.
2. Sistem Pemerintahan di Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
Sejak dahulu dikatakan bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial,
sekurang-kurangnya sistem itulah yang semula dibayangkan ideal oleh
kalangan perancang Undang-Undang Dasar 1945.1 Akan tetapi, sistem
presidensial yang dianut UUD 1945 sebelum amandemen adalah tidak murni,
karena Presiden dalam menjalankan pemerintahannya harus
mempertanggungjawabkannya kepada MPR sebagai lembaga parlemen yang
mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR juga
berwenang memberhentikan Presiden ditengah masa jabatannya karena
tuduhan pelanggaran haluan negara, lagi pula pengertian haluan negara itu
sendiri bersifat sangat luas yaitu dapat pengertian politik dan hukum
sekaligus.
Oleh karena itu salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945
(1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial. Dengan kesepakatan
memperkuat sistem pemerintahan presidensial maka ciri-ciri penting dalam
sistem pemetintahan presidensial diakomodir kedalam UUD NRI 1945. Dalam
1Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan Dalam UUD
194, h. 59-60.
34
Pasal 4 ayat (1). Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 7C UUD NRI 1945 jelaslah
bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensial.
Menurut Dasril Radjab2 dari pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945
bisa disimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD NRI
1945 adalah sistem pemerintahan presidensial karena:
1. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus merangkap kepala
pemerintahan yang memerintah penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari
(Pasal 4 UUD NRI 1945);
2. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka
tidak bertanggung jawab kepada parlemen baik kepada DPR ataupun
MPR (Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945);
3. Presiden dan DPR menempati kedudukan yang sejajar sehingga Presiden
tidak berwenang membubarkan parlemen (Pasal 7C UUD NRI 1945);
4. Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 ayat
(2) UUD NRI 1945;
5. Presiden melaksanakan tugas dan wewenangnya selama lima tahun atau
dalam masa jabatan yang tetap (fixed term) (Pasal 7 UUD NRI 1945).
B. Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di
Indonesia
1. Kewenangan Eksekutif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di
Indonesia
2Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju, h. 60.
35
Bila merujuk pada teori trias politica Montesquieu, dalam konteks
Indonesia maka eksekutif dalam hal ini adalah Presiden. Dalam Pasal 4 ayat
(1) UUD NRI 1945 mengatakan “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Maka dapat
dipahami bahwa untuk melihat kewenangan yang dimiliki Presiden tidak
hanya merujuk hanya pada BAB III UUD NRI 1945 tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara.
Berikut adalah kewewenangan yang dimiliki Presiden menurut UUD
NRI 1945:
a. Kewenangan dalam bidang eksekutif meliputi:
1) Menjalankan pemerintahan (Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945);
2) Menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-
Undang (Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945);
3) Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, Angkatan Udaara (Pasal 10 UUD NRI 1945);
4) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 ayat (1)
UUD NRI 1945);
5) Membuat perjanjian internasional dengan persejtujuan DPR (Pasal
11 ayat (2) UUD NRI 1945);
6) Menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12 UUD NRI 1945);
7) Mengankat duta dan konsul (Pasal 13 ayat (1) UUD NRI 1945);
36
8) Mengangkat dan memberhentikan mentri-menteri (Pasal 17 UUD
NRI 1945);
9) Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain (Pasal 15 UUD NRI 1945).
b. Kewenangan dalam bidang legislatif meliputi:
1) Berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 5 ayat
(1));
2) Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sebagai pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat (1)).
c. Kewenangan dalam bidang yudikatif meliputi:
1) Memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat (1));
2) Memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 14 ayat (2)).
Dengan kewenangan Presiden yang diatur dalam UUD NRI 1945,
menempatkan posisi yang kuat dan strategis bagi Presiden. Selain karna
mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat (dipilih secara langsung oleh
rakyat), presiden tidak dapat dijatuhkan selain dari alasan yang diatur secara
limitatif oleh UUD NRI 1945 (Pasal 7A UUD NRI 1945).
2. Kewenangan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di
Indonesia
Seperti pada pembahasan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan
adalah sistem hubungan mengenai eksekutif dan legislatif. Maka dalam
konteks Indonesia pemegang kekuasaan legislatif yakni membuat undang-
37
undang adalah DPR. hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam Pasal 20
ayat (1) UUD NRI 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang”.
Pasca Amandemen UUD 1945, selain dikembalikannya fungsi
legislasi kepada DPR, peningkatan peran DPR tidak hanya pada fungsi
legislasi tapi juga menyangkut fungsi pengawasan dan fungsi anggaran
(budget).3 Dalam menjalankan fungsinya tersebut DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Selain dari kewenangan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran
(budget), DPR mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian
Presiden kepada MPR (Pasal 7A UUD NRI 1945). Hal ini merupakan
bagian prinsip checks and balances atas peran Presiden yang tidak hanya
penting dan strategis tapi juga merupakan penerima mandat langsung dari
rakyat karna Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
3. Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial
di Indonesia
Hubungan Presiden dan DPR menjadi salah satu penentu dianutnya
sistem pemerintahan presidensial. Kedua lembaga ini mempresentasikan
hubungan lembaga eksektuif dan legislatif. Meskipun terdapat lembaga
negara lain yang digolongkan menjadi lembaga legislatif yaitu MPR dan
DPD, namun yang memegang kekuasaan legislatif secara nyata hanyalah
DPR menurut Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945.
3Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Deomkrasi: Serpihan Pemikiran
Hukum, Media dan Ham, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005, Cet. Kedua), h. 63.
38
Posisi Presiden dalam hubungannya dengan DPR adalah sejajar
dengan prinsip hubungan yang saling mengawasi dan mengimbangi (checks
and balances). Menurut UUD NRI 1945 dalam hal tertentu kebijakan
Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR seperti pengangkatan
duta dan penerimaan duta dari negara lain. Presiden dalam menyatakan
perang, membuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta
membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas harus
dengan persetujuan DPR.
Disisi lain, DPR dalam menjalankan fungsinya seperti fungsi
membentuk Undang-Undang harus dilakukan bersama-sama serta disetujui
bersama dengan Presiden meskipun kekuasaan membentuk Undang-Undang
ada di tangan DPR. Dalam fungsi anggaran dalam hal ini menentukan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Presiden mengajukan
rancangan APBN untuk dibahas bersama untuk mendapat persetujuan DPR,
apabila rancangan tidak mendapat persetujuan DPR maka Presiden
menjalankan APBN tahun sebelumnya.
Dari pola hubungan diatas menunjukan adanya prinsip checks and
balances diantara kedua lembaga tersebut. Dengan adanya prinsip checks
and balances ini kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol
dengan sebaik-baiknya, sehingga kekuasaan oleh aparat penyelenggara
negara atau pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan
39
lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan
ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.4
C. Variabel yang Mempengaruhi Sistem Pemerintahan Presidensial
Karateristik dasar sistem presidensial adalah keterpisahan antara eksekutif
dan legislatif (executive is not dependent on legislative). karna baik presiden
mapupun anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan
karateristik tersebut disatu sisi bisa dilihat sebagai kelebihan sistem presidensial
dalam hal stabilisasi pemerintahan karna eksekutif tidak bergantung pada
legislatif, namun disisi lain membawa dampak pada terbelahnya pemerintahan
(divide government) dapat beriimplikasi deadlock.5
Menurut Scott Maniwaring pemerintahan yang terbelah (divide government)
terjadi karna antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai-partai yang
berbeda. Karna keduanya mendapat mandat langsung dari rakyat, bisa saja
lembaga legislatif misalnya berbeda pandangan politik dengan presiden.6
Berikut adalah variabel yang mempengaruhi sistem presdiensial :
1. Sistem Multipartai dalam Sistem Presidensial;
2. Koalisi dalam Sistem Presidensial.
4Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan Gagasan
Penyempurnaan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014, Cet. Pertama), h. 143.
5Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,
Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, artikel diakses pada 18 Agustus 2015 dari
http://www.puskapol.ui.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/Makalah-Djayadi-Hanan.pdf, h. 2.
6Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, Jurnal Konstitusi, II, No. 1 (Juni, 2009), h. 118.
40
1. Sistem Multipartai dalam Sistem Pemerintahan Presidensial
Para ahli perbandingan politik, seperti Scott Mainwaring maupun
Juan J. Linz, sudah pernah mengingatkan bahwa secara teoritis sistem
presidensial dan sistem multipartai adalah “kombinasi yang sulit” dan
berpeluang terjadinya deadlock dalam relasi eksekutif dan legislatif.7 Scott
Mainwaring menambahkan bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif
sering timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang itu.
Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk
terhadap stabilisasi demokrasi.8
Dalam sistem presidensial multipartai, presiden yang terpilih
cenderung akan tidak memiliki dukungan mayoritas di legislatif. Banyaknya
partai yang ikut pemilu (termasuk partai presiden) membuat sangat sulit
bagi satu partai memenangkan pemilu secara mayoritas. Ini berujung pada
minoritasnya dukungan presiden di legislatif, sekalipun partainya adalah
pemenang pemilu.9 Hal ini terjadi pemilu presiden tahun 2004 dimana
presiden terpilih yakni SBY-JK hanya didukung 12 persen dari suara di
DPR. walaupun pada akhirnya merangkul beberapa partai politik untuk
mendapatkan dukungan mayoritas di DPR.10
7Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan Gagasan
Penyempurnaan, h. 170.
8Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 118.
9Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,
Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 2.
10
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 124.
41
Sistem Multipartai mulai diterapkan di Indonesia sejak tumbangnya
rezim Orde Baru. Pada awal kemunculan sistem multipartai yang ditandai
lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik,
memberikan peluang besar bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik.
Hal ini terbukti dengan bermunculannya ratusan partai politik dan 48
diantaranya dinyatakan memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 1999.11
Ditambah lagi sistem pemilu legislatif di Indonesia menggunakan sistem
proporsional yang cenderung menghasilkan terfragmentasinya partai politik
di parlemen.
Sistem multipartai tidak bisa dipungkiri dapat mempengaruhi kinerja
pemerintah terkait pelaksanaan sistem pemerintahan. Misalnya dalam fungsi
legislasi, banyaknya partai yang ada di parlemen mengakibatkan sulitnya
konsolidasi antar partai politik.12
Hal tersebut terjadi karna banyaknya
kepentingan yang dipertimbangkan. Ini menyebabkan menjadi tidak
efektinya sistem pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh Saiful
Mujani13
bahwa kesulitan sistem pemerintahan presidensial bukan saja pada
tidak mudahnya konsesus antara dua lembaga, antara eksekutif dan
legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan dilembaga legislatif itu sendiri.
2. Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensial
12
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 119
13
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 118.
42
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya karateristik dasar sistem
presidensial adalah keterpisahan antara eksekutif dan legislatif (executive is
not dependent on legislative). karna baik presiden mapupun anggota
legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan karateristik tersebut
disatu sisi bisa dilihat sebagai kelebihan sistem presidensial dalam hal
stabilisasi pemerintahan karna eksekutif tidak bergantung pada legislatif,
namun disisi lain membawa dampak pada terbelahnya pemerintahan (divide
government) yang dapat beriimplikasi deadlock.14
Menurut Scott Maniwaring15
pemerintahan yang terbelah (divide
government) terjadi karna antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh
partai-partai yang berbeda. Karna keduanya mendapat mandat langsung dari
rakyat, bisa saja lembaga legislatif misalnya berbeda pandangan politik
dengan presiden Hal ini diperparah jika sistem presidensial dikombinasikan
dengan sistem multipartai.
Oleh karnanya untuk mendapatkan dukungan di parlemen dan
terhindar dari divide government (pemerintahan yang terbelah), hal yang
biasa dilakukan dalam sistem pemerintahan presidensial adalah koalisi.
Dalam praktik, koalisi merupkan cara paling umum dilakukan pemerintah
yang mendapatkan dukungan minoritas (minority government). Seperti yang
14
Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu
Serentak, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 2.
15
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 118.
43
dikemukakan Jose Antonio Cheibub16
, presiden yang tidak mengontrol
kekuatan mayoritas di lembaga legislatif melakukan langkah seperti
lazimnya yang dilakukan pemenang minoritas pemilihan umum dalam
sistem parlementer yaitu melakukan koalisi untuk mendapatkan dukungan
mayoritas di lembaga legislatif.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, cara yang paling umum
dilakukan presiden adalah dengan membagikan posisi menteri kabinet
kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden di
lembaga legislatif. Dengan cara seperti itu, membagi kekuasaan dengan
semua partai politik yang mendukung pemerintah.
Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid Megawati
Soekarnoputri sampai era SBY praktik sistem pemerintahan di Indonesia
selalu menghadirkan minority government. Contohnya dalam pemilu
presiden tahun 2004 dimana SBY-JK menang secara mencolok dengan
mendapatkan suara sah 60.62%. namun tetap menghasilkan minority
government. Pasalmua partai politik pendukung awal SBY-JK hanya
mendapat 68 (12%) kursi di DPR. dengan kondisi itu, pemerintahan koalisi
menjadi pilihan yang tak terhindarkan.
Sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi dengan
mayoritas absolut (sekitar 70%) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono merangkul beberapa patai politik di luar
pendukung awal, tidak membuat pemerintahan menjadi lebih mudah
16
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 121.
44
menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan
kewenangan DPR. bahkan dalam banyak kejadian, partai politik yang
berada dalam barisan pendukung koalisi sering “mempersulit” agenda
pemerintah.17
17
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 115.
45
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 14/PUU-IX/2013 DALAM PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM
PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
A. Relevansi Pemilihan Umum Serentak Presiden dengan Legislatif Terhadap
Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia
Dalam penelitian ini yang menjadi pusat perhatian adalah Pemilu serentak
antara Presiden dan Legislatif. Dalam penelitian ini membuka ruang pertanyaan
apakah pemilu yang dilakukan secara serentak antara Presiden dan Legislatif
mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia.
Apakah yang dimaksud dengan penguatan sistem presidensial. Apakah hanya
pemilu serentak yang menjadi variabel dalam penguatan sistem presidensial.
Sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi1 dengan dibatalkannya
Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka mulai tahun 2019 praktik
penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden diselenggarakan secara serentak
dengan Pemilihan Umum Legislatif.
Pemilu serentak antara Presiden dan legislatif tidak hanya tercapainya
efisiensi anggaran dan waktu, tetapi juga membawa perubahan sistem
ketatanegaraan2, yakni:
1Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, h. 87.
2 Electoral Research Institute, “Pemilu nasional Serentak 2019”, artikel di akses pada
tanggal 18 Agustus 2015 dari
46
1. Meningkatan efektifitas pemerintahan karena diasumsikan pemerintahan
yang dihasilkan melalui keserentakan pemilu presiden dan pemilu
legislatif lebih stabil sebagai akibat adanya oleh coattail effect3yakni
keterpilihan calon presiden yang dari parpol atau koalisi parpol tertentu
akan mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari parpol atau
koalisi parpol tertentu pula. Itu artinya, penyelenggaraan pemilu serentak
berpotensi memperbesar dukungan politik DPR terhadap Presiden
terpilih.
2. Pembentukan koalisi politik4 yang mau tidak mau harus dilakukan
sebelum pemilu legislatif diharapkan dapat memaksa parpol mengubah
orientasi koalisi dari yang bersifat jangka pendek dan cenderung
oportunistik menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi, dan
platform politik. Efek berikutnya dari koalisi berbasis kesamaan ideologi
ini adalah tegaknya disiplin parpol, sehingga orientasi para politisi parpol
pun diharapkan bisa berubah dari perburuan kekuasaan (office-seeking)
menjadi perjuangan mewujudkan kebijakan (policy-seeking).
http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_03_08_18_33_POSITION%20PAPER%20PE
MILU%20SERENTAK%202019.pdf, h. 13.
3Dalam Tesisnya Shugart (1996) menyimpulkan bahwa bekerjanya sistem pemilu dalam
membentuk pemerintahan yang efektif dalam sistem presidensial, perlu mendapat perhatian
khusus. Menurut Shugart, jika waktu penyelenggaraan pemilu Presiden diserentakan dengan
pemilu legislatif akan menimbulkan coattail effect, yaitu (hasil) pemilihan Presiden akan
mempengaruhi (hasil) pemilihan anggota legislatif. Dalam Electoral Research Institute, “Pemilu
nasional Serentak 2019, h. 27.
4Pembentukan koalisi yang dimaksud didasarkan pada Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945
yang membuka ruang terjadinya koalisi.
47
Dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden yang dilaksanakan setelah Pemilu
Legislatif ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi
keterpilihannya sebagai Presiden dan untuk mendapatdukungan di DPR dalam
penyelenggaraan pemerintahan, calon Presiden terpaksa harus melakukan
negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai
politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di
kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih
banyak bersifat taktis dan sesaat. Hal tersebut membuat Presiden sangat
tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi
posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem
pemerintahan presidensial.5 Dengan demikian, menurut Mahkamah,
penyelenggaraan Pemilu Presiden harus menghindari terjadinya negosiasi dan
tawar menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat.
Oleh karenanya menurut Mahkamah Konstitusi6, pelaksanaan Pemilu
Presiden setelah Pemilu Legislatif tidak juga memperkuat sistem presidensial
yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan
partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat
melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah.
5Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, h. 81.
6Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, h. 81.
48
Inilah yang menjadi titik tolak kenapa pemilu serentak diproyeksikan dapat
memperkuat sistem presidensial. Karena dari pemilu serentak diharapkan koalisi
yang dibangunberbasis kesamaan ideologi, visi, dan platform politik. Namun
dalam rangka memperkuat sistem presidensial tidak dapat hanya mengandalkan
pemilu serentak. Ada beberapa variabel yang harus diperhatikan untuk
memperkuat sistem presidensial.
Dalam bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa karateristik sistem
presidensial adalah pemerintahan yang terbelah (divide government), dimana
Presiden dan legislatif dikuasai oleh partai yang berbeda. Hal tersebut disebabkan
karna pemilihan umum yang sejatinya terpisah antara untuk memilih Presiden dan
untuk memilih legislatif. Sekalipun presiden mendapat mandat langsung dari
rakyat, bukan berarti Presiden merupakan satu-satunya lembaga yang mendapat
mandat langsung dari rakyat karena mandat rakyat juga diberikan langsung
kepada lembaga legislatif. Bila mayoritas anggota legislatif menentukan pilihan
politik yang berbeda dengan Presiden, maka implikasi dari relasi antara Presiden
dan legislatif adalah deadlock (kebuntuan). Dukungan legislatif pun makin sulit
didapat jika pemerintahan presidensial dibangun dalam sistem multipartai.7
Banyaknya partai yang ikut pemilu menyebabkan sangat sulit bagi satu
partai untuk memenangkan pemilu secara mayoritas. Ini berujung pada
minoritasnya dukungan Presiden di parlemen, sekalipun partainya pemenang
7Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 116.
49
pemilu.8 Hal tersebut terjadi pada tahun 2004 dimana Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla terpilih sebagai pasangan Presiden dan Wakil
Presiden dengan perolehan suara 60.62% namum tidak memiliki basis dukungan
yang memadai di DPR.9
Sistem multipartai tidak bisa dipungkiri dapat mempengaruhi kinerja
pemerintah terkait pelaksanaan sistem pemerintahan. Misalnya dalam fungsi
legislasi, banyaknya partai yang ada di parlemen mengakibatkan sulitnya
konsolidasi antar partai politik.10
Hal tersebut terjadi karna banyaknya
kepentingan yang dipertimbangkan. Ini menyebabkan menjadi tidak efektinya
sistem pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh Saiful Mujani bahwa
kesulitan sistem pemerintahan presidensial bukan saja pada tidak mudahnya
konsesus antara dua lembaga, antara eksekutif dan legislatif, tetapi juga kekuatan-
kekuatan dilembaga legislatif itu sendiri.11
Sejalan dengan itu menurut J. Kristiadi12
, ketidakefektifan penyelenggaraan
pemerintahan disebabkan oleh kolaborasi sistem presidensial dengan multipartai
8Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,
Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 2.
9Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 114.
10
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 119
11
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 118.
12
Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri suci Asmawati, “Pengaturan Kepartaian Dalam
Mewujudkan Sistem Pemerintahan Presidensiil Yang Efektif”, Jurnal Konstitusi, II, No. 1 (Juni,
2009), h. 71.
50
tak terbatas. Penggabungan dua variabel tersebut adalah kombinasi yang tidak
kompatibel karena mengandung kelemahan, yaitu :
1. Pertama, akan menimbulkan kemacetan karena presiden tidak selalu
mendapatkan jaminan mayoritas di parlemen sehingga dipaksa harus selalu
melakukan koalisi atau deal-deal politik dalam menangani setiap isu politik.
Hal ini berbeda dengan sistem parlementer, dimana partai mayoritas atau
gabungan partai-partai yang berhasil membangun koalisi membentuk
pemerintahan, sehingga selalu ada jaminan dukungan pemerintah oleh
parlemen.
2. Kedua, akan menimbulkan permasalahan yang kompleks dalam
membangun koalisi di antara partai-partai politik. Koalisi partai dalam
sistem presidensial dan sistem parlementer memiliki tiga perbedaan.
Pertama, dalam sistem parlementer partai-partai menentukan atau memilih
anggota kabinet dan perdana menteri, dan partai-partai ini tetap bertanggung
jawab atas dukungannya terhadap pemerintah. Sementara itu dalam sistem
presidensial, presiden memilih sendiri anggota kabinetnya akibatnya partai-
partai kurang mempunyai komitmen dukungan terhadap presiden. Kedua,
berlawanan dengan sistem parlementer, dalam sistem presidensial tidak ada
jaminan partai akan mendukung kebijakan presiden meskipun presiden
mengakomodasi beberapa tokoh partai politik dijadikan anggota kabinet.
Ketiga, dalam koalisi semacam itu dorongan partai politik untuk
melepaskan diri dari atau keluar dari koalisi lebih mudah dibadingkan dalam
sistem parlementer.
51
Penerapan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem
multipartai berimplikasi pada minimnya dukungan yang diperoleh Presiden di
lembaga legislatif. Oleh karnanya untuk mendapatkan dukungan di parlemen hal
yang biasa dilakukan dalam sistem pemerintahan presidensial adalah koalisi.
Seperti yang dikemukakan Giovanni Sartori13
, Presiden tetap memerlukan
dukungan legislatif. Tanpa dukungan, Presiden akan menghadai situasi sulit yang
mengancam stabilitas pemerintah. Biasanya, situasi seperti itu akan menimbulkan
konflik antara Presiden dan lembaga legislatif.
Dalam praktik, koalisi merupakan cara paling umum dilakukan pemerintah
yang mendapatkan dukungan minoritas (minority government). Seperti yang
dikemukakan Jose Antonio Cheibub14
, presiden yang tidak mengontrol kekuatan
mayoritas di lembaga legislatif melakukan langkah seperti lazimnya yang
dilakukan pemenang minoritas pemilihan umum dalam sistem parlementer yaitu
melakukan koalisi untuk mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga legislatif.
Idealnya, untuk menjaga stabilitas pemerintahan dalam struktur politik
presidensial, partai Presiden haruslah partai mayoritas, yaitu partai yang didukung
suara mayoritas di parlemen, untuk menjamin stabilitas pemerintahan Presiden
terpilih agar presiden mudah mendapatkan dukungan secara politik dari parlemen
guna melancarkan kebijakan politik yang dibuat presiden.15
Namun, suara
13
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 120.
14
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 121.
15
Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta: PT.
Garmedia Pustaka Utama, 2010), h. 39.
52
mayoritas ini sulit diperoleh oleh partai Presiden dalam situasi multipartai, kecuali
mengandalkan kolasi partai politik di parlemen dan kabinet agar dapat meraih
suara mayoritas untuk menjamin stabilitas pemerintahan.
Menurut Scott Mainwaring16
pembentukan koalisi dalam sistem
presidensial jauh lebih sulit dibandingkan koalisi dalam sistem parlementer
karena:
1. Dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih
menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka
bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah.
Sedangkan dalam sistem presidensial, Presiden membentuk sendiri
kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai
politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung Presiden.
2. Berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem
presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri
di kabinet tidak mendukung pemerintah.
3. Secara umum keinginan partai politik untuk membubarkan koalisi
lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial
Dengan demikian untuk menghindari terjadinya divide government
(pemerintahan yang terbelah) yang berimplikasi pada deadlock (kebuntuan) dalam
relasi presiden dan legislatif serta untuk memperkuat sistem presidensial, maka
seperti yang dikemukakan Mark P. Jones dalam penelitiannya yang
mengungkapkan”.... all evidence indicates the functioning of presidential system
16
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 123.
53
is greatly enhanced when the president is provide with a majority or near-majoriy
in the legislature”.17
Dengan kata lain, memperkuat sistem presidensial sangat
terkait dengan tersedianya dukungan politik yang memadai di lembaga legislatif
bagi seorang presiden. Dukungan politik di dapat dengan menyederhankan partai
politik yang ada di parlemen atau memberikan kemungkinan tersedianya koalisi
partai yang cukup untuk mendukung kebijakan-kebijakan presiden. Dengan
dukungan politik yang memadai di legislatif, presiden dapat menciptakan dan
mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau
perlawanan di legislatif.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk memperkuat sistem
presidensial tidak bisa hanya mengandalkan pemilu serentak. Tapi juga dengan
menyederhanakan partai di parlemen atau mengadakan koalisi untuk mendapat
dukungan mayoritas di parlemen. Dengan begitu presiden dapat menciptakan dan
mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau
perlawanan di legislatif.
Dalam konteks Indonesia untuk menyederhanakan partai politik di
parlemen dapat ditempuh dengan cara meningkatkan parliamentary threshold
(ambang batas keterpilihan) atau menggunakan sistem pemilu proporsional
dengan district maginitude (besaran daerah pemilihan) yang kecil. Dengan
demikian partai yang ada diparlemen tidak terlalu banyak sehingga memudahkan
konsolidasi dalam rangka misalnya menjalankan fungsi legislasi.
17
Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu
Serentak, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 3.
54
Selanjutnya dalam masalah koalisi, menurut Bambang Cipto, koalisi adalah
suatu keharusan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakekat dari koalisi
itu sendiri adalah membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri
(autonomous), dan tahan lama (durable).18
Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat
(2) UUD NRI 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu.
Namun banyaknya partai politik yang ikut dalam pemilu menyebabkan koalisi
yang dibangun untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden terlalu “gemuk”
karena melibatkan banyak parpol. Gemuknya koalisi ini mengakibatkan
pemerintahan hasil koalisi tidak dapat berjalan efektif karena harus
mempertimbangkan banyak kepentingan.19
Contohnya saja dalam pemerintahan era Susilo Bamba Yudhoyono,
sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi dengan mayoritas absolut
(sekitar 70%) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono merangkul beberapa patai politik di luar pendukung awal, tidak
membuat pemerintahan menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda
ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. bahkan dalam banyak
kejadian, partai politik yang berada dalam barisan pendukung koalisi sering
“mempersulit” agenda pemerintah.20
18
Efriza, Political Explorer: Sebuah Kajian Ilmu Politik, (Bandung: Alfabeta, 2004), h. 316.
19
Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati, “Pengaturan Kepartaian Dalam
Mewujudkan Sistem Pemerintahan Presidensiil Yang Efektif”, h. 75.
20
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem
Presidensial”, h. 115.
55
Oleh karenanya koalisi yang dibangun hendaknya dalam rangka untuk
memperkuat sistem presidensial. Parpol harus mengubah orientasi koalisi dari
yang bersifat jangka pendek dan cenderung oportunistik menjadi koalisi berbasis
kesamaan ideologi, visi, dan platform politik. Efek berikutnya dari koalisi
berbasis kesamaan ideologi ini adalah tegaknya disiplin parpol, sehingga orientasi
para politisi parpol pun diharapkan bisa berubah dari perburuan kekuasaan (office-
seeking) menjadi perjuangan mewujudkan kebijakan (policy-seeking).21
Dengan
demikian akan terbentuknya koalisi yang permanen, bukan koalisi pragmatis yang
hanya mengharapkan bagi-bagi jabatan di kursi kementerian.
Selain itu regulasi di level undang-undang juga perlu mengatur model
koalisi yang lebih permanen agar terbentuk kekuatan politik mayoritas yang akan
menopang pemerintahan yang kuat dan efisien. Hal senada juga disampaikan oleh
Jimly Asshiddiqie22
untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan efektif
diperlukan adanya koalisi permanen. Koalisi ini bisa dikukuhkan di dalam
undang-undang. Jika saat ini tidak terbentuk koalisi permanen, maka sulit untuk
menjalankan pemerintahan dengan efektif.
Pengaturan pelembagaan koalisi tersebut sangat penting untuk menjaga agar
partai koalisi pendukung pemerintah konsisten untuk mendukung jalannya
pemerintahan agar tercipta stabilitas pemerintahan dan untuk menghindari peran
ganda diantara partai koalisi yang sewaktu-waktu bisa menyerang kebijakan
pemerintahan yang dianggap tidak sesuai. Koalisi partai politik yang dilakukan
21
Electoral Research Institute, “Pemilu nasional Serentak 2019”, h. 13.
22
Koalisi Permanen Dikukuhkan dalam Undang-Undang, diakses pada tanggal 1 September
2015 dari http://www.jimly.com/berita/show/164.
56
pemerintah bukanlah sebuah penyimpangan namun merupakan bentuk menjaga
keseimbangan dan stabilitas sistem politik dan pemerintahan
B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Secara keseluruhan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara
pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, menurut hemat penulis dapat disederhanakan
menjadi tiga bagian yakni: Pertama, merujuk pada praktik penyelenggaraan
Pemilu Presiden yang dilaksanakan setelah Pemillihan Umum DPR, DPD, dan
DPRD. Kedua, dengan melakukan penafsiran darioriginal intent (kehendak awal)
perumus perubahan UUD 1945 dan penafsiran sistematis. Ketiga, anggaran yang
dikeluarkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Pemilihan
Umum DPR, DPD, dan DPRD yang terpisah.
Pertama, dari praktik penyelenggaraan Pemilu Presiden pada tahun 2004
dan 2009 yang dilakukan setelah Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD
ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan
sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika
terpilih, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar
(bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat
mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan
tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat
57
daripada bersifat strategis dan jangka panjang, misalnya karena persamaan garis
perjuangan partai politik jangka panjang.
Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada
partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden
dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan
presidensial.23
Hal senada juga disampaikan oleh Hanta Yuda bahwa corak koalisi
yang dibangun di Indonesia tidak menjadikan kedekatan ideologi partai atau
common platform sebagai faktor determinan, tetapi lebih didasarkan pada political
intesert kekuasaan saja.24
Dengan demikian, menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pemilu Presiden
harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar menawar (bargaining) politik
yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan
koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal tersebut
sejalan dengan dipandangan Hamdi Muluk yang mengatakan dengan adanya
pemilu serentak mendorong partai-partai politik untuk sungguh-sungguh
mengedepankan ideologi dan platform partai, serta menghilangkan peluang
kompromi (politik dagang sapi) demi sebuah koalisi mengusung presiden.25
Kedua,dari sisi original intent (kehendak awal) perumus perubahan UUD
1945dan dari penafsiran sistematik yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi,
23
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, h. 81.
24
Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema ke Kompromi, h. 37.
25
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, h. 39.
58
menjelaskan bahwa apabila diteliti lebih lanjut makna asli yang dikehendaki oleh
para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan
Pemilihan Umum Presiden dilakukan serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga
Perwakilan. Hal itu secara tegas dikemukakan oleh Slamet Effendy Yusuf sebagai
salah satu anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI yang mempersiapkan
draft perubahan UUD 1945 yangmengemukakan bahwa para anggota MPR yang
bertugas membahas perubahan UUD 1945 ketika membicarakan mengenai
permasalahan ini telah mencapai satu kesepakatan bahwa “...yang dimaksud
pemilu itu adalah pemilu untuk DPR, pemiluuntuk DPD, pemilu untuk presiden
dan wakil presiden, dan DPRD. Jadi, diletakkandalam satu rezim pemilu.”
Diterangkan lebih lanjut secara teknis bahwa gambaran pelaksanaan Pemilu
nantinya akan terdapat 5 (lima) kotak, yaitu “... Kotak 1 adalahkotak DPR, kotak
2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah presiden dan wakilpresiden, dan kotak 4
adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRDkabupaten/kota.”
Dengan demikian, dari sudut pandang original intent dari penyusun
perubahan UUD 1945 telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme
penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden, bahwa Pemilihan Umum Presiden
diselenggarakan secara bersamaan dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan.
Hal demikian sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan
bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada dalam satu tarikan nafas,
yakni, “Pemilihan umumdiselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan
Dewan Perwakilan RakyatDaerah”. Berdasarkan pemahaman yang demikian,
59
UUD 1945 memang tidak memisahkan penyelenggaraan Pemilu Anggota
Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Presiden.
Selain itu, dengan menggunakan penafsiran sistematis atas ketentuan Pasal
6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, ”Pasangan calon Presiden danWakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
pesertapemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, frasa pemilihan
umum dalam rancang bangun UUD NRI 1945 merujuk pada Pasal 22E ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakanuntuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,Presiden dan
Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”,bila dicermati maka
kerangka konstitusi menghendaki bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden
sudah diusulkan sebelum pelaksanaan pemilihan umum diselenggarakan.
Dengan demikian, baik dari sisi metode penafsiran original intent maupun
penafsiran sistematis, kerangka konstitusi Pemilu Presiden dilaksanakan
bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan.
Menurut Mahkamah, dalam memaknai ketentuan UUD mengenai struktur
ketatanegaraan dan sistem pemerintahan harus mempergunakan metode
penafsiran yang komprehensif untuk memahami norma UUD 1945 untuk
menghindari penafsiran yang terlalu luas, karena menyangkut desain sistem
pemerintahan dan ketatanegaraan yang dikehendaki dalam keseluruhan norma
UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis;
Ketiga, yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah terkait
biaya yang dikeluarkan dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
60
penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan
secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan
penyelenggaraan lebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak
dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya. Hal
itu akan meningkatkan kemampuan negara untuk mencapai tujuan negara
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang antara lain untuk
memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu, Pemilihan Umum Presiden yang diselenggarakan secara serentak
dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan juga akan mengurangi pemborosan
waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat.
Hal tersebut sejalan dengan ayat Al-Quran dalam Surat Al-Nisa Ayat 58
yang berbunyi:
يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن إن الل
كان سميعا بصيرا ا يعظكم به إن الل نعم تحكموا بالعدل إن الل
Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan (menyuruh) kamu
melaksanakan (menunaikan/menyampaikan) amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran (pelajaran) yang sebaik-baiknya (sangat berharga) kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.4:58)
C. Implikasi Pemilihan Umum Serentak terhadap Sistem Pemilihan Umum di
Indonesia
Seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa telah dilakukan pengujian
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas permohonan
61
Effendi Ghazali pada tanggal 10 Januari 2013. Dalam putusannya, Mahkamah
Konstitusi membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14
ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.26
Namun yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini adalah Pasal 3
ayat (5) yang berbunyi: “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”. Dengan
dibatalkannya pasal tersebut berdampak pada model sistem Pemilihan Umum di
Indonesia. Berikut adalah penjelesan mengenai dampak atau implikasinya
terhadap sistem Pemilihan Umum di indonesia diantaranya:
1. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dengan Legislatif
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa penyelenggaraan
Pemilihan Umum Presiden pada tahun 2004 dan 2009 dilaksanakan setelah
Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD. Hal tersebut didasarkan pada
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 “Pemungutan suara untuk
pelaksanaa peilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah
pengumuman hasil pemilu bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD ” dan Pasal
3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.yang berbunyi: “Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota
DPR, DPD, dan DPRD”.
26
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, h. 87.
62
Praktik penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden yang di laksanakan setelah Pemilihan Umum DPR, DPD, dan
DPRD didasarkan karna pertimbangan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1)
UUD NRI 1945.27
Pasal 3 ayat (2) “Majelis Permusyawaratan rakyat
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Dan Pasal 2 ayat (1) “Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang ”. berdasarkan kedua
pasal tersebut karna Presiden dilantik oleh MPR, sehingga Pemilihan Umum
DPR, DPD, dan DPRD didahulukan agar terbentuk lembaga MPR yang
nanti MPR-lah yang melantik Presiden.
Sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dengan
dibatalkannya Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka mulai tahun
2019 praktik penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dilaksanakan
secara serentak dengan Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.
2. Efisiensi Anggaran Penyelenggaran Pemilihan Umum
Sekedar gambaran, pada tahun 2009, dana APBN yang digelontorkan
untuk penyelenggaraan pemilu mencapai Rp 8,5 triliun, sementara pada
27
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, h. 76.
63
tahun 2014 ini mencapai Rp 16 triliun, atau naik dua kali lipat.28
Sangat
disayangkan jika biaya yangsebesar itu tidak menghasilkan anggota dewan
dan pemimpin yang berkualitas, yang mampu membawa perubahan dan
kesejahteraan bagi bangsa ini.
Selama ini honor penyelenggara pemilu merupakan komponen
terbesar biaya pemilu. Honor petugas pemilu menyerap 65 persen biaya
pemilu.29
Itu berarti semakin banyak pemilu diselenggarakan, semakin
banyak anggaran yang dikeluarkan untuk membayar petugas karena honor
petugas dihitung berdasar jumlah kegiatan penyelenggaraan pemilu, bukan
berdasarkan beban pekerjaan masing-masing pemilu. Artinya, kalau dua
atau tiga pemilu disatukan penyelenggaraannya, honor petugas tetap dibayar
satu kegiatan penyelenggaraan pemilu.
Seperti yang dikemukakan oleh Komisioner Divisi Humas KPU, Dr.
Ferry Kurnia Rizkiyansyah30
, menyatakan jika Pemilu anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD dilaksanakan serentak maka terjadi
efisiensi dan efektivitas, setidaknya dalam tujuh hal: pemutakhiran data
pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas,
honorarium, dan uang lembur. Jumlah dana yang bisa dihemat dan
28
Annisya Rosdiana dan Dian Susanthy, Pemilu Lima Kotak: Dampak Putusan MK atas
UU Pilpres dan Masa Depan Kepemimpinan Indonesia, (Bogor: Beastudi Indonesia-Dompet
Dhuafa, 2014), h. 79.
29
Ramlan Subakti, Didik Supriyanto dan Hasyim Asy’ari, Menyderhanakan Waktu
Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, (Jakarta: Kemitraan Pembaruan
Tata Pemerintahan, 2011, Cet. Pertama), h. 32.
30
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, h. 11.
64
digunakan untuk pemenuhan Hak-Hak Konstitusional lain Warga Negara
berkisar 5 sampai 10 Trilyun Rupiah.
Dengan adanya penghematan anggaran dalam penyelenggaraan
Pemilihan Umum, hal tersebut sejalan dengan ayat Al-quran dalam Surat
Al-Isra ayat 27 yang berbunyi:
رين كانوا إخوان الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا إن المبذ
Artinya : “Sesungguhnya permboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan, dan syaitan itu adalah sangat ingkat kepada Tuhannya”.(QS.17:27)
3. Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia
Pemilu serentak antara Presiden dan legislatif tidak hanya tercapai
tujuan efisiensi anggaran dan waktu, tetapi juga berdampak pada sistem
pemerintahan di indonesia. Pertama, peningkatan efektifitas pemerintahan
karena diasumsikan pemerintahan yang dihasilkan melalui keserentakan
pemilu presiden dan pemilu legislatif lebih stabil sebagai akibat coattail
effect31
, yakni keterpilihan calon presiden yang dari parpol atau koalisi
parpol tertentu akan mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari
parpol atau koalisi parpol tertentu pula. Itu artinya, penyelenggaraan pemilu
serentak berpotensi memperbesar dukungan politik DPR terhadap Presiden
terpilih. Kedua, pembentukan koalisi politik32
yang mau tidak mau harus
dilakukan sebelum pemilu legislatif diharapkan dapat memaksa parpol
31
Electoral Research Institute, “Pemilu nasional Serentak 2019”, artikel di akses pada
tanggal 18 Agustus 2015 dari
http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_03_08_18_33_POSITION%20PAPER%20PE
MILU%20SERENTAK%202019.pdf, h. 13.
32
Pembentukan koalisi yang dimaksud didasarkan pada Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945
yang membuka ruang terjadinya koalisi.
65
mengubah orientasi koalisi dari yang bersifat jangka pendek dan cenderung
oportunistik menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi, dan platform
politik. Efek berikutnya dari koalisi berbasis kesamaan ideologi ini adalah
tegaknya disiplin parpol, sehingga orientasi para politisi parpol pun
diharapkan bisa berubah dari perburuan kekuasaan (office-seeking) menjadi
perjuangan mewujudkan kebijakan (policy-seeking).
Dengan demikian, dukungan politik DPR dan koalisi yang dibangun
dengan kesamaan ideologi, visi, dan platform akan menghasilpemerintahan
yang efektif yang mampu menciptakan dan mengimplementasikan semua
kebijakannya yang sepenuhnya untuk kepentingan umum (rakyat) baik
melalui produk legislasi ataupun anggaran dapat terealisasi sehingga rakyat
dapat merasakan.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemilu yang dilakukan secara serentak tersebut mempunyai relevansi
terhadap penguatan sistem Presidensial di Indonesia.Namun, untuk
memperkuat sistem presidensial tidak bisa hanya mengandalkan pemilu
serentak. Ada variabel lain yang mempengaruhi untuk memperkuat sistem
presidensial di Indonesia seperti sistem kepartaian dan koalisi yang dibangun.
Banyaknya partai yang ada di parlemen mengakibatkan sulitnya konsolidasi
antar partai politikmisalnya dalam fungsi legislasi, hal tersebut terjadi karena
banyaknya kepentingan yang dipertimbangkan. Ini menyebabkan menjadi
tidak efektinya sistem pemerintahan. Selain itu, dalam Pasal 6A ayat (2)
UUD NRI sebenarnya membuka ruang terjadinya pembentukan koalisi,
pembentukan koalisi yang sejatinya adalah membentuk pemerintahan yang
kuat (strong), mandiri (autonomous), dan tahan lama (durable). Namun
koalisi yang dibangun bukan koalisi didasarkan persamaan ideologi atau
persamaan platform tapi koalisi yang sifatnya pragmatisme yang syarat akan
politik transaksional. Tidak hanya itu koalisi partai politik yang terbangun
juga tidak memiliki aturan yang baku dan jelas dalam bentuk undang-undang
misalnya.
2. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbanganya menjelaskan bahwa: Pertama,
penyelenggaraan Pemilu Presiden yang dilaksanakan setelah Pemilu
Legislatif tidak juga memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang
67
hendak dibangun oleh UUD NRI 1945. Ditemukan fakta politik dalam
penyelenggaraan Pemilu Presiden pada tahun 2004 dan 2009, bahwa untuk
mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan dukungan DPR
dalam Penyelenggaran pemerintahan, calon Presiden terpaksa melakukan
negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan
partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan di
kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut padakenyataannya
lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategisdan jangka
panjang, misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka
panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung
pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi
Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem
pemerintahan presidensial. Kedua, berdasarkan sisi original intent (kehendak
awal) para perumus perubahan UUD 1945 dan berdasarkan penafsiran
sistematis dapat disimpulkan bahwa penyelenggaran Pemilu Presiden dan
Pemilu Legislatif dilakukan secara serentak.
3. Pemilu serentak membawa implikasi diantaranya : Pertama, peningkatan
efektifitas pemerintahan karena diasumsikan pemerintahan yang dihasilkan
melalui keserentakan pemilu presiden dan pemilu legislatif lebih stabil
sebagai akibat teori coattail effect, yakni keterpilihan calon presiden yang dari
parpol atau koalisi parpol tertentu akan mempengaruhi keterpilihan anggota
legislatif dari parpol atau koalisi parpol tertentu pula. Itu artinya,
penyelenggaraan pemilu serentak berpotensi memperbesar dukungan politik
68
DPR terhadap Presiden terpilih. Kedua, pembentukan koalisi politik yang
mau tidak mau harus dilakukan sebelum pemilu legislatif diharapkan dapat
memaksa parpol mengubah orientasi koalisi dari yang bersifat jangka pendek
dan cenderung oportunistik menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi,
dan platform politik. Efek berikutnya dari koalisi berbasis kesamaan ideologi
ini adalah tegaknya disiplin parpol, sehingga orientasi para politisi parpol pun
diharapkan bisa berubah dari perburuan kekuasaan (office-seeking) menjadi
perjuangan mewujudkan kebijakan (policy-seeking). Ketiga, efisiensi
anggaran dan waktu dalam penyelenggaraan Pemilu
B. Saran
1. Sistem pemilu idealnya didesain dalam rangka mendukung sistem kepartaian
dan sistem pemerintahan yang kuat dan efktif. Sistem multipartai saat ini tidak
kondusif jika dikombinasikan dengan sistem pemerintahan presidensial.
Presidensial terbukti hanya dapat berjalan efektif ketika dikombinasikan
dengan sistem dua partai atau setidaknya multipartai sederhana. Karena itu
strategi penyederhanaan jumlah partai politik menuju multipartai sederhana
dapat ditempuh melalui penerpan sistem distrik.
2. Dalam logika politik pemerintahan, sebenarnya bukan jumlah partai politik
perserta pemilu yang harus dibatasi, tetapi jumlah ideal kekuatan partai politik
yang perlu diberdayakan atau dirampingkan di parlemen. Dalam politik
keseharian, presiden atau pemerintah berhadapan dengan partai politik yang
69
ada di parlemen. Karena itu, meningkatkan Parlialmentari Threshold (PT)
dapat mengurangi jumlah partai politik yang ada di parlemen.
3. Koalisi yang terbangun cenderung masih didasarkan kepentingan yang
pragmatis, yaitu memenangi perebutan kekuasaan dan koalisi di parlemen
hanya berbasisi isu pragmatis temporer. Bangunan koalisi lebih bercorak
transaksional sehingga sulit membangun pemerintahan yang kuat dan efektif.
Oleh karenanya hendaknya koalisi yang dibangun berdasarkan persamaan
ideologi atau persamaan platform. Selain itu, regulasi di level undang-undang
tampaknya perlu mengatur model koalisis yang lebih permanen agar terbentuk
kekuataan politik mayoritas yang akan menopang pemerintahan yang kuat.
70
DAFTAR PUSTAKA
BUKUdan JURNAL
Ahmadi, Muhammad Fahmi dan Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press, 2005.
__________, Jimly. Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.
__________, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Deomkrasi: Sepihan
Pemikiran Hukum, Media dan Ham. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
__________, Jimly. Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekertariat
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
2006.
__________, Jimly. Pengantar Ilmu hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Sekertariat jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006.
Efriza, Political Explorer: Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung: Alfabeta, 2004.
.
Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana, 2009.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
_________, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
71
_________, Ni’matul. Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan
Gagasan Penyempurnaan. Yogyakarta: FH UII Press, 2014.
Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia.Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
__________, Saldi. “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi
dalam Sistem Presidensial”, Jurnal Konstitusi, II, No. 1 (Juni, 2009):
h.107 – 138.
Lubis, M. Solly. Ilmu Negara. Mandar Maju, 1990.
Maggalatung, A. Salman dan Yunus, Nur Rohim. Pokok-pokok Teori Ilmu
Negara; Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia. Bandung: Fajar
Media Bandung, 2013.
Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan.Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Madung, Gusti Gusti. Filsafat Politik; Negara Dalam Bentangan Diskurusus
Filosofis. Ledalero: Maumere, 2013.
Marzuki, Mahmud Peter . Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2009.
MD, Moh Mahfud. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2001.
Nurthahjo, Hendra. Filsafat Demokrasi. Jakarta:Bumi Aksara, 2008.
________, Hendra.Ilmu Negara; Pengembangan Teori bernegara dan Suplemen.
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005.
72
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014.Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekertariat Jendral MPR
RI, 2012.
Ramlan, Didik, dkk. Menyderhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu
Nasional dan Pemilu Daerah. Jakarta: Kemitraan Pembaruan Tata
Pemerintahan, 2011.
Rasjidi, Lili dan Rasjidi, Sonia Liza. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012.
Rosdiana, Annisya dan Susanthy, Dian. Pemilu Lima Kotak: Dampak Putusan MK
atas UU Pilpres dan Masa Depan Kepemimpinan Indonesia. Bogor:
Beastudi Indonesia-Dompet Dhuafa, 2014.
Satriawan, Iwan dan Asmawati, Dhenok Panuntun Tri Suci. “Pengaturan
Kepartaian Dalam Mewujudkan Sistem Pemerintahan Presidensiil Yang
Efektif”. Jurnal Konstitusi, II, No. 1 (Juni, 2009): h. 63 – 78.
Sibuea, P Hotma. Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Jakarta: Erlangga, 2010.
Tutik, Triwulan Titik.Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2011.
Yuda, Hanta. PresidensialismeSetengahHati Dari DilemakeKompromi. Jakarta:
PT. GarmediaPustakaUtama, 2010
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden.
73
PUTUSAN
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013
WEBSITE
Hanan, Dyajadi. “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu
Serentak, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, artikel diakses pada 18
Agustus 2015 dari http://www.puskapol.ui.ac.id/wp-
content/uploads/2015/02/Makalah-Djayadi-Hanan.pdf.
Electoral Research Institute, “Pemilu nasional Serentak 2019”, artikel di akses
pada tanggal 18 Agustus 2015 dari
http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_03_08_18_33_POSITI
ON%20PAPER%20PEMILU%20SERENTAK%202019.pdf.
Koalisi Permanen Dikukuhkan dalam Undang-Undang, diakses pada tanggal 1
September 2015 dari http://www.jimly.com/berita/show/164.
IkhtIsar PutusanPErkara nOMOr 14/Puu-XI/2013
tEntanG
kOnstItusIOnaLItas PEnYELEnGGaraan PEMILIhan uMuM PrEsIDEn Dan WakIL PrEsIDEn
Para Pemohon : Effendi Gazali, Ph.D., M.P.S.i.D, M.Si
Jenis Perkara : Pengujian undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (uu 42/2008) terhadap undang-undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 (uuD 1945).
Pokok Perkara : Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 uu 42/2008 mengenai konstitusionalitas penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan uuD 1945:
- Pasal 1 ayat (2) mengenai Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang Dasar;
- Pasal 4 ayat (1) mengenai kekuasaan pemerintah yang dipegang oleh Presiden Republik indonesia;
- Pasal 6A ayat (2) mengenai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum;
- Pasal 28D ayat (1) mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;
- Pasal 22E ayat (1) mengenai pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil selama lima tahun sekali;
- Pasal 22E ayat (2) mengenai pemil ihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
MAHKAMAH KONSTITUSIREPUBLIK INDONESIA
Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013
22
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
- Pasal 27 ayat (1) mengenai kewajiban warga negara menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali;
- Pasal 28D ayat (1) mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta nperlakuan yang sama di hadapan hukum;
- Pasal 28D ayat (3) mengenai hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan;
- Pasal 28H ayat (1) mengenai hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;
- Pasal 33 ayat (4) mengenai perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945;
1.2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara
Republik indonesia sebagaimana mestinya.
Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013
23
tanggal Putusan : Kamis, 23 Januari 2014, pukul 14.53 WiB
Ikhtisar Putusan :
Pemohon merupakan perorangan warga negara indonesia, mengajukan permohonan pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 uu 42/2008 terhadap uuD 1945.
Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) uuD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 29 ayat (1) huruf a undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat finaluntuk menguji undang-undang terhadap uuD 1945. Karena permohonan a quo adalah mengenai pengujian uu 42/2008 terhadap uuD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan dimaksud.
Mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (uu MK) beserta penjelasannya, Pemohon memenuhi persyaratan untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai perorangan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama) warga negara indonesia.
Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh uuD 1945, secara potensial dirugikan akibat diberlakukannya ketentuan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 uu 42/2008 terhadap uuD 1945, dengan alasan-alasan pada pokoknya sebagai berikut:a. Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 berbunyi, “Pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”. Ketentuan ini mengatur penyelenggaraan Pemilu menjadi dua kali pelaksanaan Pemilu (tidak serentak) yakni Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sehingga bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) uuD 1945;
b. Pelaksanaan Pemilu yang lebih dari satu kali tersebut telah menimbulkan banyak akibat yang merugikan hak konstitusional warga negara. Pertama, kemudahan bagi warga negara untuk melaksanakan Hak Pilihnya secara efisien terancam.Kedua, dana untuk menyelenggarakan Pemilu yang tidak serentak menjadi amat boros dan seharusnya digunakan untuk memenuhi hak-hak konstitusional lain warga negara;
c. Original intent ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) uuD 1945, dapat kita temukan ketika anggota MPR yang menyusun Amandemen Konstitusi pada tahun 2001, dengan jelas menyatakan bahwa Pemilihan umum memang dimaksudkan
Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013
24
untuk diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) Anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden;
d. Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 yang berbunyi, “Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD” bertentangan dengan Original intent Penyusun Konstitusi terutama Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Terhadap dalil perrmohonan Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:a. Penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem
pemerintahan menurut uuD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. uuD 1945 menempatkan Presiden dalam posisi yang kuat sehingga dalam masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan oleh DPR selain karena alasan dan proses yang secara limitatif telah ditentukan dalam uuD 1945. Menurut Mahkamah, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh uuD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh uuD 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) uuD 1945.
b. Dari sudut pandang original intent dari penyusun perubahan uuD 1945 telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan. Hal demikian sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada dalam satu tarikan nafas, yakni, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Selain itu, dengan mempergunakan penafsiran sistematis atas ketentuan Pasal 6A ayat (2) uuD 1945 yang menyatakan, ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013
25
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, adalah tidak mungkin yang dimaksud “sebelum pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) uuD 1945 adalah sebelum Pilpres, karena jika frasa “sebelum pemilihan umum” dimaknai sebelum Pilpres, maka frasa “sebelum pemilihan umum” tersebut menjadi tidak diperlukan, karena calon Presiden dengan sendirinya memang harus diajukan sebelum pemilihan Presiden. Dengan demikian menurut Mahkamah, baik dari sisi metode penafsiran original intent maupun penafsiran sistematis dan penafsiran gramatikal secara komprehensif, Pilpres dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan.
c. Penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraanlebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya. Hal itu akan meningkatkan kemampuan negara untuk mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan uuD 1945 yang antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, Pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflikatau gesekan horizontal di masyarakat;
d. Mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 9 uu 42/2008, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dalam pemilihan umum secara serentak maka ketentuan pasal persyaratan perolehan suara partai politik sebagai syarat untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dengan tetap mendasarkan pada ketentuan uuD 1945.
Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Pendapat berbeda (dissenting opinion):
Terhadap Putusan ini hakim Maria Farida yang memiliki pendapat berbeda dengan pendapat sebagai berikut:a. Telah diketahui tepat lima tahun yang lalu Mahkamah pernah memutus permohonan
pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008. Dalam Putusan Nomor 51-52-59/Puu-Vi/2008, bertanggal 18 Februari 2009, Mahkamah telah menyatakan, “...kedudukan Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 adalah konstitusional”. Hal demikian didasari bahwa Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 yang dianggap merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan bahwa
Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013
26
original intent Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 memang menentukan agar pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah “bersama-sama atau serentak”. Metode penafsiran original intent bukanlah segala-galanya. Selain metode tersebut masih banyak lagi metode yang dapat digunakan untuk memaknai suatu peraturan perundangundangan terutama dalam usaha menemukan hukum (rechtsvinding); Apabila metode penafsiran original intent digunakan terhadap Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 yang berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” maka Mahkamah harus juga konsisten untuk tetap mendasarkan rezim pemilihan umum hanya pada pemilihan “anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidaklah dapat dimasukkan ke dalam rezim pemilihan umum, sehingga Mahkamah tidak berwenang untuk mengadilinya karena original intent-nya tidak demikian. Konsekuensi tersebut harus dipahami agar konsistensi Mahkamah terhadap putusannya tetap terjaga;
b. Pasal 6A ayat (2) dan ayat (5), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 22E ayat (6) uuD 1945 Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut saya, secara delegatif uuD 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum, sehingga menjadi kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang untuk merumuskan mekanisme terbaik tata cara pemilihan umum, termasuk dalam penentuan waktu antarsatu pemilihan dengan pemilihan yang lain. Selain itu, aturan presidential threshold sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 uu 42/2008 merupakan kebijakan hukum terbuka yang pada prinsipnya tidak terkait dengan pengaturan serentak atau tidaknya pemilihan umum, baik Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan atau Pilpres;
c. Terkait dengan hal tersebut, saya konsisten dengan pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/Puu-Vi/2008, bertanggal 18 Februari 2009 Terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai kesulitan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pilpres secara terpisah seperti yang dilaksanakan saat ini atau yang dilaksanakan secara bersamaan (serentak) seperti yang dimohonkan Pemohon, hal itu bukanlah masalah konstitusionalitas norma, tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya berpendapat, permohonan Pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya.
Panitera Pengganti,
ttd
LuthfiWidagdoEddyono