Post on 29-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks yaitu
pendengaran dan keseimbangan, memiliki struktur anatomi yang sangat rumit. Indera
pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-
hari. Sangat penting untuk perkembangan normal, pemeliharaan bicara, dan kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.
Embriologi, anatomi dan fisiologi adalah modal untuk memahami fungsi, selain itu tentunya
patologi dan pengobatan telinga. Mengaitkan ilmu-ilmu dasar dengan disiplin ini pada
akhirnya adalah untuk lebih memahami penatalaksanaan penyakit telinga dan keseimbangan.
Fungsi keseimbangan kita lebih mendasar dan lebih penting daripada fungsi pendengaran.
Suatu organisme dapat bertahan tanpa pendengaran, tetapi tidak dapat bertahan tanpa
keseimbangan dengan lingkungannya. Karena itu secara filogenetik, mekanisme
keseimbangan sebagai bagian dari orientasi organisme terhadap lingkungan berkembang
terlebih dahulu dari pendengaran. Telinga mengandung bagian vestibulum dari
keseimbangan, namun orientasi kita terhadap lingkungan juga ditentukan oleh kedua mata
kita dan alat perasa pada tendon dalam. Jadi telinga merupakan organ pendengaran dan
keseimbangan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 ANATOMI
Anatomi Telinga Luar
Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius eksternus,
dipisahkan dari telinga tengah oleh struktur seperti cakram yang dinamakan membrana
timpani. Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih setinggi mata. Aurikulus
melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago, kecuali lemak dan
jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu pengumpulan gelombang suara
dan perjalanannya sepanjang kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius
eksternus adalah sendi temporal mandibular. Kaput mandibula dapat dirasakan dengan
meletakkan ujung jari di meatus auditorius eksternus ketika membuka dan menutup mulut.
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral mempunyai
kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua pertiga medial tersusun atas
tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada membrana timpani.
Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi
substansi seperti lilin yang disebut serumen. Mekanisme pembersihan diri telinga mendorong
sel kulit tua dan serumen ke bagian luar tetinga. Serumen nampaknya mempunyai sifat
antibakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit.
2
Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan
enam isi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak
tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah
umbo dari membran timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah.
Telinga tengah berbentuk kubus dengan:
Batas luar : membran timpani
Batas depan : tuba eustachius
Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
Batas belakang : auditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
Batas atas : tegmen timpani (meningen/ otak)
Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah, kanalis semi sirkularis horizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar
(round window), dan promontorium.
Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fossa kranii media.
Pada dinding bagian atas dinding posterior terdapat auditus ad antrum tulang mastoid
dan dibawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis
dan tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju ke leher stapes. Saraf
korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah stapedius dan berjalan ke lateral depan
menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah lewat sutura
petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf lingualis dan
menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke ganglion submandibularis dan
serabut-serabut pengecap dari duapertiga anterior lidah.
Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang berada di sebelah
superolateral menjadi sinus sigmoideus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus.
Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang aurikularis saraf vagus
masuk ke telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis
karotikus. Di atas kanalis tersebut, muara tuba eustakius dan otot tensor timpani yang
menempati daerah superior tuba kemudian membalik, melingkari prosesus
cochleariformis dan berinsersi pada leher maleus.
Dinding lateral dari telinga tengah adalah tulang epitimpanum di bagian atas,
membrana timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah.
3
Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium
yang menutup lingkaran cochlea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintas
promontorium. Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak di atas
fenestra ovalis mulai dari prosesus cochleariformis di anterior hingga piramid stapedius
di posterior.
Rongga mastoid berbentuk seperti piramid dengan puncak mengarah ke kaudal.
Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fossa
kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak di bawah dura mater pada daerah tersebut.
pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Tonjolan kanalis semi
sirkularis lateralis menonjol ke dalam antrum. Di bawah kedua patokan ini berjalan
saraf fasialis dalam kanalis tulangnya untuk keluar dari tulang temporal melalui
foramen stilomastoideus di ujung anterior krista yang dibentuk oleh insersio otot
digastrikus. Dinding lateral mastoid adalah tulang subkutan yang dengan mudah dapat
dipalpasi di posterior aurikula
Gambar. Telinga tengah dengan batas-batasnya
Membrana Timpani
Membrana timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncaknya,
umbo, mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya bulat. Penting untuk disadari
bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus
dan inkus, meluas melampaui batas atas membrana timpani, dan bahwa ada bagian
hipotimpanum yang meluas melampaui batas bawah membrana timpani. Membrana timpani
tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah di mana
tangkai maleus dilekatkan dan lapisan mukosa bagian dalam lapisan fibrosa tidak terdapat
4
diatas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membrana timpani yang disebut
membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid).
Gambar. Membrana timpani
Tuba Eusta ch ius
Tuba eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian
lateral tuba eustakius adalah bagian yang bertulang. Sementara duapertiga bagian medial
bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang,
sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan
melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot levator palatinum dan tensor
palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringeal dan saraf mandibularis. Tuba
eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana
timpani.
Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk
pendengaran (cochlea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga nervus kranial
VII (nervus fasialis) dan VIII (nervus cochlea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari
komplek anatomi. Cochlea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirin.
Ketiga kanalis posterior, superior dan lateral terletak membentuk sudut 90o satu sama lain
dan mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan. Organ akhir reseptor ini
distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan seseorang.
Cochlea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua setengah
lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan organ Corti. Di
5
dalam tulang labirin, namun tidak sempurna mengisinya, Labirin membranosa terendam
dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan langsung dengan cairan
serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus cochlearis. Labirin membranosa tersusun atas
utrikulus, akulus, dan kanalis semisirkularis, duktus cochlearis, dan organan Corti. Labirin
membranosa memegang cairan yang dinamakan endolimfe. Terdapat keseimbangan yang
sangat tepat antara perilimfe dan endolimfe dalam telinga dalam, banyak kelainan telinga
dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu. Percepatan angular menyebabkan gerakan
dalam cairan telinga dalam di dalam kanalis dan merang-sang sel-sel rambut labirin
membranosa. Akibatnya terjadi aktivitas elektris yang berjalan sepanjang cabang vestibular
nervus kranialis VIII ke otak. Perubahan posisi kepala dan percepatan linear merangsang sel-
sel rambut utrikulus. Ini juga mengakibatkan aktivitas elektris yang akan dihantarkan ke otak
oleh nervus kranialis VIII. Di dalam kanalis auditorius internus, nervus cochlearis, yang
muncul dari cochlea, bergabung dengan nervus vestibularis, yang muncul dari kanalis
semisirkularis, utrikulus, dan sakulus, menjadi nervus cochlearis (nervus kranialis VIII).
Yang bergabung dengan nervus ini di dalam kanalis auditorius internus adalah nervus fasialis
(nervus kranialis VII). Kanalis auditorius internus membawa nervus tersebut batang otak.
2. 2 FISIOLOGI
Fisiologi Pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara adalah getaran
udara yang merambat dan terdiri dari daerah – daerah bertekanan tinggi karena kompresi
(pemadatan) molekul – molekul udara yang berselang seling dengan daerah – daerah
bertekanan rendah karena penjarangan (rafaction) molekul tersebut. Suara ditandai oleh nada,
intensitas, dan timbre. Nada suatu suara ditentukan oleh frekuensi getaran. Semakin tinggi
frekuensi maka semakin tinggi nada. Telinga manusia dapat mendeteksi gelombang suara
dengan frekuensi dari 20 – 20000 siklus per detik, tetapi paling peka terhadap frekuensi
antara 1000 – 4000 siklus per detik. Intensitas atau kepekaan suatu suara bergantung pada
amplitude gelombang suara, atau perbedaan tekanan antara daerah pemampatan yang
bertekanan tinggi dan daerah penjaranganyang bertekanan rendah. Kepekakan dinyatakan
dalam desibel (dB). Timbre atau kualitas suara bergantung pada nada tambahan yaitu
frekuensi tambahan yang menimpa nada dasar.
6
Proses pendengaran dimulai dari masuknya gelombang suara melalui pinna lalu dibawa ke
dalam meatus auditus eksterna hingga mencapai membran timpani. Gelombang suara yang
mencapai membran timpani akan menggetarkan membran timpani. Telinga tengah akan
memindahkan gerakan bergetar membran timpani ke cairan telinga dalam. Perpindahan ini
dipermudah dengan adanya rantai yang terdiri dari tulang – tulang pendengaran ( maleus,
inkus, stapes) yang berjalan melintasi telinga tengah. Ketika membran timpani bergetar maka
rantai tulang tersebut akan melanjutkan gerakan dengan frekuensi yang sama ke jendela
oval.Tekanan di jendela oval akibat setiap getaran yang dihasilkan menimbulkan getaran
seperti gelombang pada cairan telinga dalam frekuensi yang sama dengan frekuensi
gelombang suara semula. Namun, karena dibutuhkan tekanan yang lebih besar untuk
menggerakkan cairan terdapat dua mekanisme yang berkaitan dengan sistem tulang
pendengaran untuk memperkuat tekanan gelombang suara dari udara untuk menggetarkan
cairan di cochlea. Pertama, karena luas permukaan membran timpani jauh lebih besar
dibandingkan luas permukaan dari jendela oval, terjadi peningkatan tekanan ketika gaya yang
bekerja di membran timpani disalurkan ke jendela oval.(tekanan = gaya / luas permukaan).
Kedua, efek pengungkit tulang-tulang pendengaran menghasilkan keuntungan mekanis
tambahan. Kedua mekanisme ini bersama-sama meningkatkan gaya yang timbul pada jendela
oval sebesar dua puluh kali lipat dari gelombang suara yang langsung mengenai jendela oval.
Stapes yang bergetar oleh karena gelombang suara akan menggetarkan jendela oval lalu
cairan perilimfe akan bergerak menuju jendela bundar melewati helikotrema dan pada saat
stapes tertarik dari jendela oval maka cairan akan kembali menuju jendela oval dari jendela
bundar. Gelombang tekanan frekuensi yang berkaitan dengan penerimaan suara mengambil
jalan pintas. Gelombang tekanan di skala vestibule akan menembus membran Reissner masuk
ke dalam duktus cochlearis dan kemudian melalui membran basiliaris ke skala timpani,
tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol keluar masuk bergantian.
Perbedaan utama jalur ini adalah bahwa transmisi gelombang tekanan melalui membran
basiliaris menyebabkan membran ini bergerak naik turun. Pada saat membran basiliaris
bergerak naik, maka akan membuka saluran – saluran ion gerbang mekanis di sel-sel rambut
terbuka sehingga akan menyebabkan Ca2+ dan K+ masuk ke dalam sel sehingga terjadi
depolarisasi sedangkan pada saat membran basiliaris bergerak turun, maka akan menutup
saluran – saluran ion gerbang mekanis di sel-sel rambut tertutup sehingga akan menyebabkan
Ca2+ dan K+ tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga terjadi hiperpolarisasi. Adanya
gerakan naik turun dari membran basiliaris akan menyebabkan depolarisasi hiperpolarisasi
7
secara bergantian sehingga timbullah aksi potensial berjenjang pada sel – sel reseptor yang
akan menghasilkan neourotansmitter yang bersinaps pada ujung-ujung serat saraf aferen yang
membentuk saraf cochlearis. Saraf cochlearis akan bergabung dengan saraf vestibularis
menjadi saraf vestibulocochlearis ( N.VIII), dari sini aksi potensial akan disalurkan sebagian
ke inferior kollikulus dan sebagian lagi diteruskan ke medulla oblongata lalu ke lemniskus
lateralis selanjutnya ke mesensefalon dan terakhir ke korteks pendengaran pada lobus
temporalis area broadmann 41. Di lobus temporalis, informasi dari saraf akan diterjemahkan
menjadi persepsi suara.
2. 3 PEMERIKSAAN TELINGA
Alat yang diperlukan untuk pemeriksaaan telinga adalah lampu kepala, corong telinga,
otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset telinga dan garputala. Telinga luar diperiksa
dengan inspeksi dan palpasi langsung sementara membrana timpani diinspeksi, seperti telinga
tengah dengan otoskop dan palpasi tak langsung dengan menggunakan otoskop pneumatic.
Pasien duduk dengan posisi badan condong sedikit kedepan dan kepala lebih tinggi sedikit
dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan membran timpani.
Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah belakang daun telinga (retro-
aurikuler) apakah terdapat tanda peradangan atau sikatriks bekas operasi. Dengan menarik
daun telinga ke atas dan ke belakang, liang telinga akan menjadi lebih lurus dan akan lebih
mempermudah melihat keadaan liang telinga dan membran timpani. Pakailah otoskop untuk
melihat lebih jelas bagian-bagian membran timpani. Otoskop dipegang dengan tangan kanan
untuk memeriksa telinga kanan pasien dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri.
Supaya otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop ditekankan
pada pipi pasien.
Bila terdapat serumen didalam liang telinga yang menyumbat maka serumen ini harus
dikeluarkan. Jika kondisinya cair dapat dengan kapas yang dililitkan, bila konsistensinya
padat atau liat dapat dikeluarkan dengan pengait dan bila berbentuk lempengan dapat di
pegang dan dikeluarkan dengan pinset. Jika serumen ini sangat keras dan menyumbat seluruh
liang telinga maka lebih baik dilunakan dulu dengan minyak atau karbogliserin. Bila sudah
lunak atau cair dapat dilakukan irigasi dengan air supaya liang telinga bersih.
8
Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala dan dari hasil pemeriksaannya dapat
diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif atau tuli perseptif (sensorineural).
Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi telinga luar merupakan prosedur yang paling sederhana tapi sering terlewat.
Aurikulus dan jaringan sekitarnya diinspeksi adanya
Deformitas, lesi,
Cairan begitu pula ukuran,
Simetris dan sudut penempelan ke kepala.
Gerakan aurikulus normalnya tak menimbulkan nyeri. Bila manuver ini terasa nyeri, harus
dicurigai adanya otitis eksterna akut. Nyeri tekan pada saat palpasi di daerah mastoid dapat
menunjukkan mastoiditis akut atau inflamasi nodus aurikula posterior. Terkadang, kista
sebaseus dan tofus (deposit mineral subkutan) terdapat pada pinna. Kulit bersisik pada atau di
belakang aurikulus biasanya menunjukkan adanya dermatitis sebore dan dapat terdapat pula
di kulit kepala dan struktur wajah.
Untuk memeriksa kanalis auditorius eksternus dan membrana timpani, kepala pasien sedikit
dijauhkan dari pemeriksa. Otoskop dipegang dengan satu tangan sementara aurikulus
dipegang dengan tangan lainnya dengan mantap dan ditarik ke atas, ke belakang dan sedikit
ke luar, cara ini akan membuat lurus kanal pada orang dewasa, sehingga memungkinkan
pemeriksa melihat lebih jelas membrana timpani. Spekulum dimasukkan dengan lembut dan
perlahan ke kanalis telinga, dan mata didekatkan ke lensa pembesar otoskop untuk melihat
kanalis dan membrana timpani. Spekulum terbesar yang dapat dimasukkan ke telinga
(biasanya 5 mm pada orang dewasa) dipandu dengan lembut ke bawah ke kanal dan agak ke
depan. Karena bagian distal kanalis adalah tulang dan ditutupi selapis epitel yang sensitif,
maka tekanan harus benar-benar ringan agar tidak menimbulkan nyeri. Setiap adanya cairan,
inflamasi, atau benda asing; dalam kanalis auditorius eksternus dicatat. Membrana, timpani
sehat berwarna mutiara keabuan pada dasar kanalis. Penanda harus dilihat mungkin pars tensa
dan refleks cahaya, umbo, manubrium mallei, dan prosesus brevis. Gerakan memutar lambat
spekulum memungkinkan penglihat lebih jauh jelas.
9
2.4 AUDIOLOGI
Audiologi adalah ilmu pengetahuan tentang fungsi pendengaran dan keseimbangan,
yang mempelajari pengukuran pendengaran maupun keseimbangan manusia yang erat
hubungannya dengan habilitasi dan rehabilitasi penderita. Rehabilitasi adalah usaha untuk
mengembalikan fungsi yang pernah dimiliki, sedangkan habilitasi adalah usaha untuk
memberikan fungsi yang seharusnya dimiliki.
Audiologi dasar ialah pengetahuan mengenai nada murni, bising, gangguan
pendengaran serta cara pemeriksaanya. Pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan tes
penala, tes berbisik dan audiometri nada murni. Audiologi khusus diperlukan untuk
membedakan tuli sensorineural koklea dengan retrokoklea, audiometri obyektif, tes untuk tuli
anorganik, audiologi anak dan audiologi industri.
Tiga tujuan dalam penilaian klinis pendengaran yaitu perkiraan ambang dengar,
diferensiasi gangguan pendengaran konduktif dengan gangguan pendengaran sensorineural,
dan identifikasi gangguan pendengaran non organik.
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan
tulang dengan memakai garpu tala atau audiometri nada murni. Kelainan hantaran melalui
udara menyebabkan tuli konduktif, berarti ada kelainan di telinga luar atau telinga tengah,
seperti atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen dan sumbatan tuba Eustachius
serta radang telinga tengah (OMA). Kelainan di telinga dalam menyebabkan tuli
sensorineural koklea atau retrokoklea. Secara fisiologis telinga dapat mendengar nada antara
20 sampai 18,000Hz. Untuk pendengaran sehari-hari paling efektif antara 500-2000Hz.
Terdapat dua tipe pemeriksaan pendengaran yaitu pemeriksaan pendengaran subjektif
dan pemeriksaan pendengaran objektif. Pemeriksaan pendengaran subjektif dibagi menjadi
Tes klinis sederhana dan Audiometri Subjektif. Contoh pemeriksaan pendengaran objektif
ialah Otoaccoustic Emission (OAE), Brain Evoked Respon Audiometry (BERA), Auditory
Steady State Response (ASSR) dan Acoustic Immittance.
2.4.1 PEMERIKSAAN PENDENGARAN SUBJEKTIF
Pemeriksaan pendengaran subjektif dinilai berdasarkan respons subjektif penderita terhadap
berbagai rangsang suara. Tes ini dibagi menjadi :
a) Tes klinis sederhana:
10
Tes suara
Tes Penala/Garpu Tala
b) Audiometri Subjektif :
Dewasa : Tes Bisik, Penala, Audiometri Nada Murni, Audiometri tutur
Khusus : Short Increment Sensitivity Index (SISI), Alternate Binaural
Loudness Balance Test (ABLB), Tone decay, Audiometri tutur, Audiometri
Bakessy
Tes Klinis Sederhana
Tes Berbisik
- Merupakan tes semikuantitatif
- Tujuan : menentukan derajat ketulian secara kasar
- Orang normal dapat mendengar bisikan dari jarak 6-10 meter
- Cara pemeriksaan:
o Ruangan tenang, panjang 6 meter
o Berbisik pada akhir ekspirasi
o Dimulai dari jarak 6 meter dan makin lama makin mendekat, maju tiap satu
meter sampai dapat mengulangi tiap kata dengan benar
o Telinga yang tidak diperiksa ditutup, orang yang diperiksa tidak boleh melihat
pemeriksa (pemeriksa berdiri di sisi telinga yang diperiksa)
- Interpretasi :
o Normal : 5/6 sampai 6/6
o Tuli ringan bila suara bisik 4 meter
o Tuli sedang bila suara bisik 2 - 3 meter
o Tuli berat bila suara bisik antara 0 – 1 meter
Tes Penala/ Tes Garputala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes penala, seperti
tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach, tes Bing dan tes Stenger. Penala terdiri dari 1 set
(5buah) dengan frekuaensi 128Hz, 256Hz, 512Hz, 1024Hz dan 2048Hz. Pada umumnya
dipakai 3 macam penala ; 512Hz, 1024Hz, 2048Hz. Jika akan memakai hanya 1 penala,
digunakan 512Hz. Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan antara hantaran udara
11
(AC = air conduction) dan hantaran tulang (BC = bone conduction). Untuk
mempermudahkan interpretasi secara klinik, dipakai tes Rinne, tes Weber dan tes Schwabach
secara bersamaan.
1. Tes Rinne
Prinsip kerja : Membandingkan hantaran bunyi melalui udara dengan hantaran bunyi melalui
tulang pada telinga yang diperiksa.
Cara pemeriksaan :
a. Getarkan penala dengan memukulkan salah satu ujung jarinya ke telapak tangan atau
diapit kedua ujung oleh kedua jari.
b. Tekan ujung tangkai penala pada processus mastoideus salah satu pasien..
c. Tanyakan, apakah terdengar bunyi dengungan di telinga yang diperiksa atau tidak.
Jika terdengar, minta pasien memberi tanda apabila dengungan telah hilang.
d. Setelah pasien memberikan tanda, pemeriksa mengangkat penala dari processus
mastoideus lalu tempatkan penala di depan liang telinga.
12
Hasil pemeriksaan :
- Tes Rinne (+) sekiranya pasien masih mendengar dengungan.
- Tes Rinne (-) sekiranya pasien tidak mendengar dengungan.
Interpretasi Tes Rinne :
- Rinne (+) : Pasien dengan pendengaran normal atau tuli sensorineural, suara di depan
liang telinga akan terdengar lebih lama dibandingkan di prosesus mastoideus (AC >
BC)
- Rinnne (-) : Pasien dengan tuli konduktif, suara pada prosesus mastoid terdengar lebih
lama (AC < BC).
2. Tes Weber
Prinsip kerja : Membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan. Menurut
Weber apabila kita sedang berbicara atau menyanyi, kemudian telinga dengan jari tangan
maka suara akan terdengar lebih keras di telinga tersebut. Fenomena yang ditemukan adalah
mengenai lateralisasi hantaran tulang ke arah telinga yang disumbat.
Cara pemeriksaan:
a. Getarkan penala dengan memukulkan salah satu ujung jarinya ke telapak tangan atau
diapit kedua ujung oleh kedua jari.
13
b. Posisikan lalu tekan penala pada dahi pasien di garis tengah kepala (vertex, dahi,
pangkal hidung, tengah-tengah gigi seri).
c. Tanyakan kepada pasien apakah mendengar dengungan pada kedua telinga atau
tidak, dan apakah di kedua sisi dengungan sama atau ada yg lebih kuat
(lateralisasi).
Hasil pemeriksaan:
- Tidak terdapat lateralisasi saat garpu tala diletakkan di garis tengah kepala
- Terdapat lateralisasi pada salah satu telinga saat garpu tala diletakkan di garis
tengah kepala.
Interpretasi Tes Weber :
- Tidak ada lateralisasi : Pasien dengan pendengaran normal
- Lateralisasi ke telinga yang sehat : Pasien dengan tuli sensorineural unilateral.
- Lateralisasi ke telinga yang sakit : Pasien dengan tuli konduktif unilateral.
3. Tes Schwabach
Prinsip kerja: membandingkan hantaran tulang pada pasien dengan pemeriksa yang
pendengarannya dianggap normal.
14
Cara pemeriksaan:
a. Getarkan penala dengan memukulkan salah satu ujung jarinya ke telapak tangan
atau diapit kedua ujung oleh kedua jari.
b. Tekan ujung tungkai penala pada processus mastoideus salah satu telinga pasien.
c. Minta pasien mengangkat tangan saat dengungan hilang.
d. Pindahkan penala dari pasien ke processus mastoideus pemeriksa (pemeriksa
harus normal).
e. Perhatikan hasil:
o Schwabach memendek: pemeriksa masih mendengarkan dengungan penala
setelah pasien menyatakan dengungannya telah hilang.
o Schwabach normal: pemeriksa tidak mendengar dengungan penala setelah
pasien menyatakan dengungannya hilang.
o Schwabach memanjang: dengungan akan terdengar lebih lama oleh
penderita dibandingkan pemeriksa.
Interpretasi sama dengan schwabach normal, untuk memastikan harus
dilakukan pemeriksaan selanjutnya.
f. Apabila Schwabach normal, untuk memastikan Schwabach tidak memanjang,
getarkan ulang penala, simpan di processus mastoideus pemeriksa hingga
dengungan tidak terdengar, lalu pindahkan ke processus mastoideus pasien.
g. Bila dengungan masih terdengar oleh pasien, dinyatakan schwabach memanjang.
Interpretasi Tes Schwabach :
- Sama dengan pemeriksa : Pasien dengan pendengaran normal
- Memanjang : Pasien dengan tuli konduktif
- Memendek : Pasien dengan tuli sensorineural
4. Tes Bing (Tes Oklusi)
Prinsip kerja : Oklusi liang telinga akan membuat suara hantaran tulang terdengar lebih
keras pada telinga dengan mekanisme konduksi normal. Terdapat dua metode yang
digunakan yaitu perbandingan ambang dan perbandingan keras suara.
15
Cara pemeriksaan :
a. Sebuah penala yang digetarkan diletakkan pada prosessus os mastoid.
b. Pada metode perbandingan ambang, pasien diminta mengangkat tangan selama ia
masih dapat mendengarkan suara. Ketika pasien mengindikasikan bahwa suara
sudah tidak terdengar lagi, pemeriksa menutup liang telinga pasien dengan
tekanan jari pada tragus.
c. Jika pasien masih dapat mendengar suara kembali, hal ini disebut tes Bing (+) dan
apabila pasien tidak dapat mendengar suara kembali disebut tes Bing (-).
d. Pada metode perbandingan keras suara, liang telinga ditutup dan dibuka
bergantian saat penala yang bergetar ditempelkan pada prosessus mastoid.
e. Jika telinga pasien dapat menangkap bunyi yang mengeras disebut tes Bing (+),
tetapi jika pasien t idak menyadari adanya perubahan kekerasan bunyi tersebut
disebut tes Bing (-).
Interpretasi tes Bing :
- Tes Bing (+) : Pasien dengan pendengaran normal atau tuli sensorineural
- Tes Bing (-) : Pasien dengan tuli konduktif, contohnya pada pasien otitis media
dan otosklerosis.
5. Tes Stenger
Prinsip kerja : Tes Stenger menggunakan prinsip masking. Akan terjadi penyatuan
persepsi mendengar di pusat pendengaran sentral apabila suara nada murni dengan
intensitas yang sama diberikan secara bilateral melalui earphone. Sehingga hanya akan
terdengar sebagai satu suara di tengah kepala. Tes Stenger digunakan pada pemeriksaan
tuli anorganik (simulasi atau pura-pura tuli).
16
Cara pemeriksaan :
Misalnya pada seseorang yang berpura-pura tuli pada telinga kiri. Dua buah penala yang
identik digetarkan dan masing-masing diletakkan di depan telinga kiri dan kanan, dengan
cara tidak kelihatan oleh orang yang diperiksa. Penala pertama digetarkan dan diletakkan
pada telinga kanan (yang normal) sehingga jelas terdengar. Kemudian penala yang kedua
digetarkan lebih keras dan diletakkan di depan telinga kiri (yang pura-pura tuli). Apabila
kedua telinga normal karena efek masking, hanya telinga kiri yang akan terdengar bunyi;
jadi telinga kanan tidak akan terdengar bunyi. Tetapi apabila telinga kiri tuli, telinga
kanan tetap mendengar bunyi.
Interpretasi Tes Stenger:
Contohnya pada seseorang yang tuli pada telinga kiri;
- Hanya telinga kiri yang akan terdengar bunyi (telinga kanan tidak akan terdengar
bunyi) : kedua telinga normal, terdapat efek masking makanya orang tersebut
berpura-pura tuli
- Telinga kanan tetap mendengar bunyi : Telinga kiri tuli, makanya orang tersebut
benar-benar tuli.
Audiometri Nada Murni (Pure Tone Audiometry)
Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronik yang menghasilkan bunyi
yang relatif bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan nada, karenanya disebut
nada "murni". Dengan audiometri kita dapat membandingkan ambang pendengaran
antara hantaran udara menggunakan headphone (air conduction /AC) dan hantaran
tulang dengan menempelkan alat vibrator pada tulang mastoid (bone conduction
/BC).Hasil pemeriksaaan ini berupa audiogram. Audiometer memiliki tombol pengatur
intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk memeriksa AC (hantaran
udara) dan bone conductor untuk memeriksa hantaran BC (hantaran tulang).
Teknik Pemeriksaan :
a. Pemeriksaan liang telinga untuk memastikan bahwa liang telinga tidak tersumbat.
Sekiranya banyak serumen sebaiknya dibersihkan dahulu
b. Pasien duduk dan menghadap ke arah 300 dari posisi pemeriksa, sehingga pasien
tidak dapat melihat gerakan tangan, tetapi pemeriksa dapat mengamati pasien
dengan bebas.
17
c. Memberikan instruksi dan menjelaskan pada pasien. Pasien harus memberikan
tanda dengan mengangkat tangannya setiap terdengar bunyi bagaimana pun
lemahnya. Segera setelah suara hilang, ia harus menurunkan tangannya kembali.
d. Memasang headphone : Benda-benda yang dapat mengganggu pemasangan
earphone dan mempengaruhi hasil pemeriksaan harus disingkirkan
e. Pemeriksaan dimulai dari telinga yang lebih baik dulu.
f. Urutan frekuensi ; dimulai pada 1000 Hz, dimana pendengaran paling stabil,
kemudian meningkat ke oktaf yang lebih tinggi dan akhirnya 500 Hz dan 250 Hz.
g. Ulangi tes pada 1000 Hz untuk meyakinkan sebelum beralih kepada telinga yang
lain. Perubahan diatas 20 dB atau lebih diantara dua oktaf, memerlukan
pemeriksaan setengah oktaf yaitu 1500 Hz, 3000 Hz atau 6000 Hz.
h. Pemberian sinyal; Cara untuk memperoleh intensitas awal adalah dengan
menyusurnya mulai dari 0 dB sampai diperoleh respons. Matikan sinyal satu-dua
detik, kemudian berikan lagi pada level yang sama. Bila ada respons, maka tes
dapat dimulai pada intensitas tersebut.
i. Intensitas diturunkan secara bertahap sebanyak 10 dB setiap kali sampai respons
menghilang, kemudian naikkan 10 dB untuk mendapatkan respons, dan turunkan 5
dB untuk memperoleh ambang terendah. Nada harus diberikan selama 0,5 detik
secara irregular.
Derajat ketulian ISO :
0 - 25 dB Normal
26 - 40 dB Tuli ringan
41 – 55 dB Tuli sedang
56 – 70 dB Tuli sedang berat
71 – 90 dB Tuli berat
>90 dB Tuli sangat berat
18
Hasil audiogram telinga :
1. Pendengaran normal
- Ambang AB dan BC sama atau kurang dari 25 dB
- AC dan BC berimpit, tidak ada gap
Audiogram Normal
2. Tuli konduktif
- BC normal atau kurang dari 25 dB
- AC lebih dari 25 dB
- Antara AC dan BC terdapat gap
Audiogram pada tuli konduktif
3. Tuli sensorineural
19
- AC dan BC lebih dari 25 dB
- AC dan BC berhimpit, tidak ada gap.
Audiogram pada tuli sensorineural
4. Tuli campuran
- BC lebih dari 25 dB
- AC lebih besar dari BC, terdapat gap
Audiogram pada tuli campuram
20
Audiometri Khusus
Untuk membedakan tuli kokhlea dan tuli retrokokhlea diperlukan pemeriksaan
khusus. Diperlukan pemahaman mengenai istilah recruitment dan kelelahan (decay/fatigue)
Recruitment adalah fenomena yang khas untuk ketulian kokhlear, dimana di atas
ambang dengar telinga yang terganggu akan lebih sensitif daripada telinga yang normal.
Peninggian intensitas sedikit saja di telinga yang sakit akan dirasakan lebih keras dari
normal. Dapat diperiksa dengan tes ABLB dan SISI
Adaptasi abnormal merupakan keadaan dimana terdapat kelainan retrokokhlea, bila
diberikan nada yang kontinu akan tak terdengar lagi dalam waktu yang lebih pendek dari
normal. Disebut juga tone decay yang disebabkan kelelahan saraf (fatigue)
a) Alternate Binaural Loudness Balance Test (ABLB)
Pada tes ABLB diberikan intensitas bunyi tertentu pada frekuensi yang sama pada kedua
telinga, sampai kedua telinga mencapai persepsi yang sama, yang disebut balans negatif. Bila
balans tercapai, terdapat rekrutmen positif. Pada rekrutmen, fungsi koklea lebih sensitif.
Grafik berupa laddergram, rekrutmen (+) menujukkan tuli kokhlea
Pada MLB (monoaural loudness balance). Prinsipnya sama dengan ABLB.
Pemeriksaan ini dilakukan bila terdapat tuli perseptif bilateral. Tes ini lebih sulit karena yang
dibandingkan ialah 2 frekuensi yang berbeda pada satu telinga (dianggap telinga yang sakit
frekuensi naik dan telinga yang normal frekuensi turun).
Grafik ABLB A : recruitment (+) B : recruitment (-)
21
b) Short Increment Sensitivity Index (SISI)
Prinsip : Adanya fenomena recruitment dimana kokhlea dapat mengadaptasi secara
berlebihan peninggian intensitas yang kecil, sehingga pasien dapat membedakan selisih
intensitas yang kecil tersebut (1dB)
Cara pemeriksaan :
Tentukan ambang dengar pasien terlebih dahulu, misalnya 30 dB. Kemudian diberikan nada
kontinu 20 dB di atas ambang rangsangan, menjadi 50 dB. Kemudian diberikan bunyi
pendek yang intensitasnya 1 sampai 3 dB di atas nada kontinu tersebut, setiap 5 detik
Interpretasi :
Pada orang normal dan penderita tuli konduktif dapat mendeteksi perubahan 3 dB dengan
baik, tapi kurang baik untuk mendeteksi 1 dB Sedangkan penderita dengan tuli kokhlear
dapat mendeteksi perubahan 1 dB dengan baik, yaitu dengan skor 60-100 % (recruitment
positif)
Orang normal hanya 0-30 %.
c) Tes Kelelahan (Tone Decay)
Terjadinya kelelahan saraf oleh karena perangsangan terus menerus. Telinga yang diperiksa
dirangsang terus menerus maka terjadi kelelahan. Tandanya ialah pasien tidak dapat
mendengar dengan telinga yang diperiksa itu. Ada 2 cara : TTD (Threshold Tone Decay) dan
STAT (Supra Treshold Adaptation Test).
TTD (Treshold Tone Decay)
Pemeriksaan ini ditemukan oleh Garhart pada tahun 1957. Kemudian Rosenberg
memodifikasi setahun kemudian.
Cara Garhart adalah dengan melakukan rangsangan terus menerus pada telinga yang
diperiksa dengan integritas yang sesuai dengan ambang dengar, misalnya 40dB. Bila
setelah 60 detik masih dapat mendengar, berarti tidak ada kelelahan (decay), jadi
hasil tes negatif. Sebaliknya bila setelah 60 detik terdapat kelelahan, berarti tidak
dapat mendengar, tesnya positif.
Kemudian intensitas bunyi ditambah 5dB (jadi 40dB), maka pasien dapat mendengar
22
lagi. Rangsangan diteruskan dengan 45dB dan seterusnya, dalam 60 detik dihitung
berapa penambahan intensitasnya.
Penambahan;
o 0 – 5dB : normal
o 10 -15dB : ringan (tidak khas)
o 20 – 25dB : sedang (tidak khas)
o >30dB : berat (khas ada kelelahan)
Pada Rosenberg ; bila penambahan kurang dari 15dB, dinyatakan normal,
sedangkan lebih dari 30dB, dikatakan sedang.
STAT (Supra Treshold Adaptation Test)
Cara pemeriksaan ini dimulai oleh Jerger pada tahun 1957. Prinsipnya ialah
pemeriksaan pada 3 frekuensi ; 500Hz, 1000Hz dan 2000Hz pada 110 dB SPL. SPL
ialah intensitas yang ada secara fisika sesungguhnya. 110 dB = 100 dB SL (pada
frekuensi 500 dan 2000Hz). Artinya, nada murni pada frekuensi 500, 1000, 2000 Hz
pada 110 dB SPL, diberikan secara terus menerus selama 60 detik dan dapat
mendengar berarti tidak ada kelelahan, bila kurang dari 60 detik maka ada kelelahan
(decay).
d) Audiometri Tutur (Speech Audiometry)
Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus (sukukata) yaitu
monosilabus (satu suku kata) dan Bisilabus (dua suku kata). Kata-kata ini disusun
dalam daftar yang disebut Phonetically balance word LBT (PB, LIST).
Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape
recorder. Pada tuli perseptif koklea, pasien sulit untuk membedakan bunyi S, R, N, C,
H, CH sedangkan pada pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi. Misalnya pada tuli
perseptif koklea, kata “kadar” didengarnya “kasar”, sedangkan kata “pasar”
didengarnya “kadar”.
23
Speech discrimination score;
90 – 100% = pendengaran normal
75 – 90% = tuli ringan
60 – 75% = tuli sedang
50 – 60 % = kesukaran mengikuti pembicaraan sehari- hari
< 50% = tuli berat
Guna pemeriksaan ini adalah untuk menilai kemampuan pasien dalam pembicaraan sehari-
hari dan untuk menilai dalam pemberian alat bantu dengar (hearing aid).
e) Audiometri Bekessy (Bekessy Audiometry)
Audiometi ini otomatis dapat menilai ambang pendengaran seseorang. Prinsip pemeriksaan
ini adalah dengan nada yang terputus (interupted sound) dan nada yang terus menerus
(continues sound). Bila ada suara masuk, maka pasien memencet tombol. Akan didapatkan
grafik seperti gigi gergaji, garis akan menaik ialah periode suara yang dapat didengar,
sedangkan garis yang turun ialah suara yang tidak terdengar. Pada telinga normal,
amplitudo 10dB. Pada rekrutmen amplitudo lebih kecil.
Tipe-tipe Bekessy ;
Bekessy tipe I : Normal.
Nada terputus dan terus menerus (continues) berimpit.
Bekessy tipe II : Tuli perseptif koklea.
Nada terputus dan terus menerus berimpit hanya sampai
frekuensi 1000Hz dan grafik kontinu makin kecil.
Bekessy tipe III : Tuli perseptif retrokoklea.
Nada terputus dan terus menerus berpisah.
Bekessy tipe IV : Sama dengan grafik tipe III hanya amplitudo lebih kecil.
2.4.2 PEMERIKSAAN PENDENGARAN OBJEKTIF
Antara pemeriksaan pendengaran objektif yang akan dibahas adalah seperti :
1) Otoaccoustic Emission (OAE)
2) Brain Evoked Respon Audiometry (BERA)
3) Audiometri Impedans
24
Oto accoustic Emission (OAE)
Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus listrik,
selanjutnya dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energi bunyi tidak
dikirim ke saraf pendengaran melainkan kembali menuju ke liang telinga. Proses ini mirip
dengan peristiwa echo (Kemp echo). Produk sampingan koklea ini selanjutkan disebut
sebagai emisi otoakustik (Otoaccoustic emission). Koklea tidak hanya menerima dan
memproses bunyi tetapi ojuga dapat memproduksi energi bunyi dengan intensitas rendah
yang berasal dari sel rambut luar koklea (outer hair cells).
Terdapat 2 jenis OAE yaitu (1) Spontaneous OAE (SPOAE) dan (2) Evoked OAE.
SPOAE adalah mekanisme aktif koklea untuk memproduksi OAE tanpa harus diberikan
stimulus, namun tidak semua orang dengan pendengaran normal mempunya SPOAE. EOAE
hanya akan timbl bila diberikan stimulus akustik yang dibedakan menjadi (1) Transient
Evoked OAE (TEOAE) dan (2) Distortion Product OAE (DPOAE). Pada TEOAE stimulus
akustik berupa click sedangkan DPOAE menggunakan stimulus berupa 2 buah nada murni
yang berbeda frekuensi dan intensitasnya.
25
Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai fungsi
koklea yang obyektif, otomatis (menggunakan kriteria pass/ lulus/ dan refer/ tidak lulus),
tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga sangat efisien
untuk program skrining pendengaran bayi baru lahir (Universal newborn Hearing Screening).
Pemeriksaan tidak harus di ruang kedap suara, cukup di ruangan yang tenang. Pada
mersin OAE generasi terakhir nilai OAE secara otomatis akan dikoreksi dengan noise yang
terjadi selama pemeriksaan. Artefak yang terjadi akan diseleksi saat itu juga (real time). Hal
tersebut menyebabkan nilai sensitifitas dan spesifitas OAE yang tinggi. Untuk memperoleh
hasil yang optimal diperlukan pemilihan probe (sumbat liang telinga) sesuai ukuran liang
telinga. Sedatif tidak diperlukan bila bayi dan anak koperatif.
Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif dari obat ototoksik,
diagnosis neueropati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu dengar, skrining
pemaparan bising (noise induced hearing loss) dan sebagai pemeriksaan penunjang pada
kasus – kasus yang berkaitan dengan gangguan koklea.
26
27
Brainstem Evoked Response Audiometry
Istilah lain: Auditory Brainstem Response (ABR). BERA merupakan pemeriksaan
elektrofisiologik untuk menilai integritas sistim auditorik, bersifat obyektif, tidak invasif.
Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma.
BERA merupakan cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang dihasilkan
n.VIII, pusat – pusat neutral dan traktus di dalam batang otak) sebagai respons terhadap
stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang digunakan berupa bunyi click atau toneburst yang
diberikan melalui headphone, insert probe, bone vibrator. Untuk memperoleh stimulus yang
paling efisien sebaliknya digunakan insert probe. Stimulus click merupakan impuls listrik
dangan onset cepat dan durasi yang sangat singkat (0,1 ms), menghasilkan respons pada
average frequency antara 2000 – 4000 Hz. Tone burst juga merupakan stimulus dengan
durasi singkat namun memiliki frekuensi yang spesifik.
Respons terhadap stimulus auditorik berupa evoked potential yang sinkron, direkam
melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kulit kepala (dahi
dan prosesus mastoid), kemudian diproses melalui program komputer dan ditampilkan
sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I sampai V) yang terjadi sekitar 2 – 12 ms
setelah stimulus diberikan. Analisis gelombang BERA berdasarkan (1) marfologi gelombang,
(2) masa laten dan (3) amplitudo gelombang.
28
Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah menentukan
masa laten, yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus diberikan sampai terjadi
EP untuk masing – masing gelombang (gel I sampai V). Dikenal 3 jenis masa laten: (1) masa
laten absolut dan (2) masa laten antar gelombang (interwave latency attau interpeak latency)
dan (3) masa laten antar telinga (interaural latency). Masa laten absolut gelombang I adalah
waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus sampai timbultnya gelombang I adalah
waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I. Masa laten
antar gelombang adalah selisih waktu antar gelombang, misalnya masa laten antar gelombang
I – III, III – V, I – V. Masa laten antar telinga yaitu membandingkan masa laten absolut
gelombang yang sama pada kedua telinga. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
pemanjangan masa laten fisiologik yang terjadi billa intensitas stimulus diperkecil.
Terdapatkan pemanjanan masa laten pada beberpa frekuensi menunjukkan adanya suatu
gangguan konduksi.
29
Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan anak yang
usianya kurang dari 12 – 18 bulan, karena terdapat perbedaan masa laten, amplitudo dan
morfologi gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar maupun orang dewasa.
Contoh mekanisme pemeriksaan pendengaran dengan BERA
Contoh gambar anak yang sedang dilakukan pemeriksaaan BERA
30
Audiometri Impedans
Pada pemeriksaan ini di periksa kelenturan membrane timpani dengan tekanan
tertentu pada Meatus Acusticus Eksterna
a. Timpanometri yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani. Misalnya ada
cairan , gangguan rangkaian tulang pendegaran, kekakuan pada membrane Timpani
dan membrane timpani sangat Lutur
b. Fungsi Tuba Estacius : Untuk mengetahui Fungsi Tuba ( Terbuka atau Tertutup )
c. Refleks stapedius Pada telinga Normal Reflek satapedius muncul pada
Rangsangan 70 – 80 db
Pada Lesi koklea ambang rangsang reflex Stapedius Menurun sedangkan pada LesiRetrokolea
ambang rangsang itu naik.
Timpanometri
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran
timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negative di telinga tengah)
merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga berdasarkan
energy suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada orang
dewasa atau bayi berusia di atas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus
untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi
resonansi pada liang telinga sehingga harus digunakan probe tone frekuensi tinggi (668678
atau 1000 Hz).
31
Contoh gambar hasil timpanometri
Terdapat 4 jenis timpanogram yaitu:
1. Tipe A (normal)
2. Tipe Ad (diskontinuitas tulang tulang pendengaran)
3. Tipe As (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)
4. Tipe B (cairan di dalam telinga tengah)
5. Tipe C (Gangguan fungsi tuba Eustachius)
Contoh alat timpanometri
32
Contoh pemeriksaan timpanometri
2.4.3 PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK
Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini mungkin.
Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi hanya bersifat ringan, namun dalam
perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam
keadaan normal seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia
18 bulan, berarti saat tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan
pendengaran.
Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak jauh
lebih sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Selain itu pemeriksa harus memiliki
pengetahuan tentang hubungan antara usia bayi dengan taraf perkembangan motorik dan
auditorik. Berdasarkan pertimbangan tersebut adakalanya perlu dilakukan pemeriksaan
ulangan atau pemeriksaan tambahan untuk melakukan konfirmasi hasil pemeriksaan
sebelumnya.
Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi;
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
a. Behavioral Reflex Audiometry
b. Behavioral Response Audiometry
33
Tes distraksi
Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
c. Audiometri bermain (play audimetry)
2. Audiometri Nada Murni
Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan
respons yang disadari (voluntary response). Metoda ini dapat mengetahui seluruh sistim
auditorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi. Behavioral audiometry penting untuk
mengetahui respons subyektif sistim auditorik pada bayi dan anak dan juga bermanfaat untuk
penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar (hearing dan
fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap tahap usia perkembangan bayi, namun
pilihan jenis tes harus disesuaikan dengan usia bayi.
Pemeriksaan dilakukan pada runangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak
lebih dari 60dB), idelaknya pada ruang kedap suara (sound proof room). Sebagai sumber
bunyi sederhana dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi pasir, remasa
kertas minyak, bel, terompat karet, mainan yang mempunyai bunyi frekuensi tinggi (squaker
toy) dll.
Sumber bunyi tersebut harus dikalibrasi frekuensi dan intensitasnya. Bila tersedia bisa
dipakai alat buatan pabrik seperti baby reactometer, Neometer, Viena tone (frekuensi 3000
Hz dengan pilihan intensitas 70, 80 , 90, dan 100 dB).
Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respons terhadap sumber bunyi tersebut.
Pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry dibedakan menjadi (1) Behavioral Reflex
Audiometry dan (2) Behavioral Response Audiometry.
34
Contoh pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry
Behavioral Reflex Audiometry
Dilakukan pengamatan respons behavioral yang bersifat refleks sebagai reaksi terhadap
stimulus bunyi.
Respons behavioral yang dapat diamati antara lain: mengejapkan mata (auropalpebral
reflex), melebarkan mata (eye widening), mengerutkan wajah (grimacing), berhenti menyusu
(cessation reflex), denyut jantung meningkat refleks Moro (paling konsisten). Refleks
auropalpebral dan Moro rentan terhadap efek habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan
berulang-ulang bayi menjadi bosan sehingga tidak memberi respon walaupun dapat
mendengar. Stimulus dengan intensitas sekitar 65-80 dBHL diberikan melalui loudspeaker,
jadi merupakan metode sound field atau dikenal juga sebagai Free field test. Stimulus juga
dapat diberikan melalui noisemaker yang dapat dipilih intensitasnya. Pemeriksaan ini tidk
dapat menentukan ambang dengar.
Bila kita mengharapkan terjadinya refleks Moro dengan stimulus bunyi dan keras
sebaiknya dilakukan pada akhir prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan menangis,
sehingga menyulitkan ovservasi selanjutnya,
Behavioral Response Audiometry
Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan menghasilkan pola
respons khas berupa menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di luar
35
lapangan pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horisontal, dan dengan
bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah bawah. Selanjutnya bayi
mampu mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan melokalisir
sumber bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13-16 bulan.
Teknik Behavioral Response Audiometry yang seringkali digunakan adalah (1) Tes
Distraksi dan (2) Visual Reinforcement Audiometry(VRA).
- Tes Distraksi
Tes ini dilakukan pada ruang kedap suara, menggunakan stimulus nada murni. Bayi
dipangku oleh ibu atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa, pemeriksa pertama
bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi, misalnya dengan meperlihatkan mainan
yang tidak terlalu menarik perhatian; selain memperhatikan respons bayi. Pemeriksa
kedua berperan memberikan stimulus bunyi, misalnya dengan audiometer yang
terhubung dengan pengeras suara.
Respons terhadap stimulus bunyi andalan menggerakan bola mata atau menolah kea
rah sumber bunyi. Bila tidak ada respons terhadap stimuli bunyi, pemeriksaan diulang
sekali lagi. Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan ketiga dilakukan lagi 1 minggu
kemudian. Seandainya tetap tidak ada respons harus dilakukan pemeriksaan
audiologik lanjutan yang lebih lengkap.
Contoh tes distraksi yang dilakukan pada anak
36
- Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Mulai dapat dilakukan pada bayi 4-7 bulan dimana control neuromotor berupa bulan
dimana control neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah
berkembang. Pada masa ini respons unconditioned beralih menjadi respons conditioned.
Pemeriksaan pendengaran berdasarkan respons conditioned yang diperkuat dengan
stimulus visual dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan
stimulus visual, bayi akan member respons orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara
menoleh ke arah sumber bunyi. Dengan intensitas yang sama diberikan stimulus bunyi
saja (tanpa stimulus visual), bila bayi member respons diberi hadiah berupa stimulus
visual. Pada tes VRA juga diperlukan 2 orang pemeriksa. Pemeriksaan VRA dapat
dipergunakan menentukan ambang pendengaran, namun karena stimulus diberikan
melalui pengeras suara maka respon yang terjadi merupakan tajam pendengaran pada
telinga yang lebih baik.
Contoh pemeriksaan VRA
37
Play audiometry (usia 2-5 tahun)
Pemeriksaan Play Audiometry (Conditioned play audiometry) meliputi teknik melatih
anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai pengamatan respons motorik spesifik dalam
suatu aktivitas permainan. Misalnya sebelum pemeriksaan anak dilatih (conditioned) untuk
memasukkan bedan tersebut ke dalam kotak segera setelah mendengar bunyi. Diperlukan 2
orang pemeriksa, yang pertama bertugas memberikan stimulus melalui audiometer
sedangkan pemeriksa kedua melatih anak dan mengamati respons. Stimulus biasanya
diberikan melalui headphone. Dengan mengatur frekuensi dan menentukan intensitas
stimulus bunyi terkecil yang dapat menimbulan respons dapat ditentukan ambang
pendengaran pada frekuensi tertentu (spesifik).
Contoh pemeriksaan play audiometri
AUDI O METRI NADA MURNI
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer, dan hasil pencatatannya
disebut sebagai audiogram. Dapat dilakukan pada anak berusia lebih dari 4 tahun yang
koperatif. Sebagai sumber suara digunakan nada murni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya
terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, dengan menilai
hantaran suara melalui udara (air conduction) melalui headphone pada frekuensi 125, 250,
5000, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz. Hantaran suara melalui tulang (bone conduction)
diperiksa dengan memasang bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan pada
frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Intensitas yang biasa digunakan antara 10 – 100 dB
(masing – masing dengan kelipatan 10), secara bergantian pada kedua telinga. Suara dengan
intensitas terendah yang dapat didengar dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi
tentang jenis dan derajat ketulian.
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta: 1997
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam. Cetakan ke-1. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 2007
3. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem . Jakarta : EGC,2001
4. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology. George Thieme Verlag. Stuttgart : 2006
5. Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati,
6. Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. 2000. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung &
7. Tenggorok. Jakarta : EGC.
8. 2. Darryl Virgiawan Tanod. 2009. Tes Fungsi Pendengaran (Hearing Function Test).
9. http://darryltanod.blogspot.com/2009/09/tes-fungsi-pendengaran-hearing-function.html.
10. dr. Dwi Priyo Miyoso, dr. Nice Mewengkang L dan dr. Dullah Aritomoyo. 1985. Diagnosis Kekurangan Pendengaran. Cermin Dunia Kedokteran No. 39. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_DiagnosisKekuranganPendengaran.pdf/05_ DiagnosisKekuranganPendengaran.html. 24/5/2010.
11. Anonim. 2009. Pemeriksaan Tes Pendengaran : Pemeriksaan Audiometri, Rinne Test, Weber Test dan Scwabach Test. http://pemeriksaantespendengaran.blogspot.com/2009/11/pemeriksaan-audiometri-rinneweber-test.html. 24/5/2010.
39