Post on 25-Jan-2016
description
REFLEKSI KASUS
URTIKARIA AKUT
Disusn untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
Di SMF Kulit dan Kelamin
RSUD dr. Soebandi Jember
Oleh :
Reza Kurniawan, S. Ked092011101078
Pembimbing:
Prof. dr.Bambang Suhariyanto, Sp.KK (K)
SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RSUD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1. Pendahuluan
Urtikaria ialah reaksi vaskuler di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai
dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan
kemerahan, meninggi dipermukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.1 Urtikaria merupakan
suatu erupsi kulit yang menimbul berbats tegas, berwarna merah, lebih pucat pada bagian tengah
dan memucat bila di tekan disertai rasa gatal.2
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering di jumpai. Dapat terjadi secara akut
maupun kronik, keadaan ini merupakan masalah untuk penderita maupun untuk dokter.
Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah diketahui, ternyata pengobatan yang
diberikan kadang-kadang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Ini disebabkan
mungkin oleh kesalahan dalam menentukan penyebab dari urtikaria tersebut. Seperti yang kita
ketahui bahwa banyak sekali factor-faktor yang dapat menyebabkan urtikaria. Baik factor dari
dalam tubuh berupa reaksi imunitas yang berlebihan ataupun factor dari luar berupa penggunaan
obat-obatan, makanan, fotosensitizer, gigitan serangga dan banyak lagi yang lainnya.
Selain hal-hal diatas sangat penting diketahui mekanisme terjadimya urtikaria, karena hal
ini dapat membantu pemeriksaan yang rasional. Berawal dari permasalahan-permasalahan ini
penulis akan mencoba menguraikan penyakit urtikaria ini mulai dari penyebab, patofisiologi dan
yang terpenting adalah klasifikasi utnuk dapat mengetahui pengobatan yang tepat bagi penderita
penyakit urtikaria.
BAB II. Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai
dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat
dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.2
2.2 Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria (kronis,
akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam hidup mereka.
Chronic idiopatic urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya.
Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden urticaria kronis tidak
meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria berdasarkan usia
menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda,
sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya.4
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%) daripada
laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi
urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota.
Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000
orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada
wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000.8
2.3 Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab
urtikaria bermacam-macam, antara lain: 2
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun
non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan
urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik
langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat
kontras.2
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi
imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang,
udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.2
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih banyak
diperantarai oleh IgE ( tipe I ) dan tipe seluler ( tipe IV ).2
4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan
sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.2
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan
aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).2
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent
(penangkis serangga), dan bahan kosmetik.2
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan
emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik.
Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai
beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.2
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus,
jamur, maupun infestasi parasit.2
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .2
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan
penurunan autosomal dominant.
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih
sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.2
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis daripada etiologi
karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau patogenesis urtikaria dan banyak
kasus karena idiopatik.3 Terdapat bermacam-macam klasifikasi urtikaria, berdasarkan
lamanya serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Klasifikasi urtikaria
yang lain tampak pada tabel 1.3,9
Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria
Ordinary urticarias
Acute urticaria
Chronic urticaria
Contact urticaria
Physical urticarias
Dermatographism
Delayed dermatographism
Pressure urticaria
Cholinergic urticaria
Vibratory angioedema
Exercise-induced urticaria
Adrenergic urticaria
Delayed-pressure urticaria
Solar urticaria
Aquagenic urticaria
Cold urticaria
Special syndromes
Schnitzler syndrome
Muckle-Wells syndrome
Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy
Urticarial vasculitis
1. Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau berlangsung
selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.2 Lesi individu biasanya hilang dalam <24
Gambar 1. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.9
jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan atopi. Sekitar
20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau rekuren.3
2. Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu2, pengembangan
urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6 minggu dengan
setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat mengganggu
kesehatan terkait dengan kualitas hidup.3
3. Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di tempat di
mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa. Urtikaria kontak dapat
dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau non-alergi (IgE-independen).3
4. Urtikaria Fisik
a. Dermographism
Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan merupakan
suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang tepinya eritem
yang muncul beberapa detik setelah kulit digores.9,10 Dermographism tampak sebagai
garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang sementara muncul
secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi, kulit biasanya
mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.9
b. Delayed dermographism
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa
immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul
eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.9
c. Delayed pressure urticaria
Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering
disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit.
Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk pengaman,
Gambar 3. Cold Urticaria. 9
pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan dengan
tangan.9
d. Vibratory angioedema
Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat
berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena paparan
vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena getaran-
getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal dominan yang
diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing pada
wajah. 9,10
e. Cold urticaria
Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter).
Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan dalam
temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Jarak antara paparan
dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi
episode adalah 12 jam.9
f.Cholinergic urticaria
Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic urticaria
terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan biduran bentuk
papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema sedikit
atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.9,10
Gambar 5. Local Heat Urticaria. 12
g. Local heat urticaria
Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam beberapa
menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul 5 menit setelah kulit
terpapar panas diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti terbakar, tersengat, dan
menjadi merah, bengkak dan indurasi. 9,10
h. Solar urticaria
Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-kadang
angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar matahari
atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan
neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A
(UVA), UVB, dan sinar atau cahaya yang terlihat.9
i.Exercise-induced anaphylaxis
Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari pruritus,
urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang berbeda dari Gambar 6. Solar Urticaria. 13
Gambar 7. Exercise-induced anaphylaxis.14
cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise
sebagai stimulusnya. 9
j.Adrenergic urticaria
Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo yang
terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran norepinefrin.
Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus seperti emosional
(rasa sedih), kopi, dan coklat.9,10
k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus
Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria dan
atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa antigen-
antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip
dengan cholinergic urticaria.9,10
2.5 Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,
sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat.
Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau
basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik
mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada
pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-
obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan
ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang
mekanismenya belum diketahui langsung.
Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat
langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan
alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.2
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik;
biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor
Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel,
sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I
(anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi
komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin
(C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom
atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan
kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak
dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik,
dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema
angioneurotik yang herediter.
2.6 Manifestasi Klinis
a. Gejala
Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4
Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.
Biduran berwarna merah muda sampai merah.
Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul
seterusnya.
Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare, muntah
dan nyeri kepala.
b. Tanda
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 2,4
Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang bagian
tengah tampak lebih pucat.
Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi, respiratory
distress, stridor, dan gastrointestinal distress.
Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan, maka
merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan perubahan
pigmentasi.
Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek tumpul
dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.
Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.
2.7 Diagnosis
Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal dapat
bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik. 9
Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-alergi adalah
sebagai berikut: 4
Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada makanan baru yang
ditambahkan dalam menu makanan?
Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan obat baru? Jika
iya, apakah jenis obat tersebut?
Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit kronik?
Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas, dingin, tekanan, vibrasi?
Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup atau kontak dengan kulit
yang mungkin timbul pada tempat kerja?
Apakah biduran berhubungan dengan gigitan atau sengatan serangga?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi: 2, 9,18
Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit, kadang-
kadang bagian tengah tampak pucat.
Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.
Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
Dermographism.
2.8 Diagnosis Banding
1. Angioedema
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan submukosa yang
terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat disebabkan oleh
mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada angioedema mengenai
lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus. Karakteristik dari
angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam
daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic
dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran nafas dan saluran cerna
(pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat), serta suara serak yang
merupakan tanda paling awal dari edema laring.9
2. Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai.
Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai
dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat tersebar di
seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa makula
eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata
meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai
dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon cemara. Lesi
inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular, berdiameter 2-
6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.7
3. Urtikaria pigmentosa
Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang
berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.
Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi
dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-
kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat juga
berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.7
4. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat atopi
pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis
alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti belum
diketahui, tetapi faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit.
Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari,
tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk
sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.
Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor
dari Hanifin dan Rajka.2
5. Dermatitis atopik
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang
menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu
alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada
yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan
erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.2,17
2.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.2 Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat
untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan
seperti komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati,
dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor
dan C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria.19
Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.2
2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.2
3. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan tes
kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent test-
RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri (autologous serum
skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana untuk
mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies. 20
4. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi
memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini
dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin keamanannya.18
a. Tes eleminasi makanan
Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk
beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.2
b. Tes foto tempel
Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.18
c. Suntikan mecholyl intradermal
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.2
d. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai adanya
alergi pada suhu tertentu. 2
5. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.2 Pada
urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat perubahan
epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabut-serabut
kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi pembuluh
darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu
terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah eosinofil. Sel mast
meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan.10
Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik. Beberapa
lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran limfosit,
polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.
Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon alergi fase
akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal
memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat
keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).4
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line therapy,
dan third-line therapy.3
1. First-line therapy
First-line therapy terdiri dari: 3,4
a. Edukasi kepada pasien:
Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak
mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika
penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.
b. Langkah non medis secara umum, meliputi:
Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol, dan
agen fisik.
Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2%.
c. Antagonis reseptor histamin
Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap. Pengobatan
dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah
diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Secara
klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek
antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali
berkaitan dengan efek samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya
terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1
tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.2
Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin,
aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat
dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan
mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan
aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung
lebih lama dibandingkan dengan AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21
hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-
hari sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah
tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak.2
Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada
beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe H2.
Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya yang
minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine,
ranitidine, nizatidine, dan famotidine.3
2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line therapy
harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.
a. Photochemotherapy
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy, psoralen plus UVA
(PUVA) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan peningkatan
efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria
kronis.
2. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis reseptor H1 dan
H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai efek sedasi daripada
diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik. Doxepin dapat sangat berguna
pada pasien dengan urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin
untuk pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30
mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan
yang menunjukkan efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas
antipruritus. Telah dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik
dan delayed-pressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.3
3. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin gagal,
bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah. Dalam situasi
seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan kortikosteroid.
Jika tidak berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain
(misalnya, keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan
dalam urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah
kursus singkat dari kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan
atau tanpa tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika
digunakan untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.
Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan urtikaria
kronis karena efek samping kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus
peptikum, dan hipertensi.3,4
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,
methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi
prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-60
mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO
dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler,
diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2
kali sehari) dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2
dosis). Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler,
diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.4
4. Leukotriene Receptor Antagonist
Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan mempunyai respon
terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria kronis atau pada individu yang
sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton
menunjukkan keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan
pasien dengan urtikaria kronik.3
5. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan whealing pada pasien
dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan
antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan dengan modifikasi influks kalsium ke
dalam sel mast kutaneus.3
3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon
terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen
immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate,
cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG).
Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun dari
urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine,
dapsone, albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine,
hydroxychloroquine, dan warfarin.3
a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam mengobati
pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis 3-5
mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik
yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL
setiap hari dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-dependent urticaria.3
Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen pasien
dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang terlibat
tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi anti-idiotypic
antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok
pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.3
b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan urtikaria
autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk mencegah
akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan harus diselidiki
dalam hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy.3
c. Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola urtikaria
ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin paling berguna
untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang
menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan dengan
respon yang baik pada hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun ß2-
adrenoceptor agonist terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik,
penggunaannya umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia
dan insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.3
Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal, namun
sayang sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun demikian,
faktor pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Kami menganjurkan bahwa
pasien dengan urtikaria akut ringan seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin
H1 non sedatif. Pada pasien dengan urtikaria akut sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif
seharusnya juga menjadi terapi pilihan utama. Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan
secara adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka pendek seharusnya ditambahkan.
Pada pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang berat dengan gejala distress
pernapasan, asma, atau edema laring, pengobatan yang mungkin diberikan berupa epinefrin
subkutan, kortikosteroid sistemik (oral atau intravena), dan antihistamin H1
intramuskuler.11
2.11 Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,
sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.2
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama : Mimin Amin
Umur : 52 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Desa Bulian
Tanggal Pemeriksaan : 28 Mei 2012
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Timbul bentol – bentol merah.
Perjalananan Penyakit :
Pasien datang dengan keluhan timbul bentol – bentol merah di tangan kanan dan kiri
pasien sejak 4 hari yang lalu. Bentol – bentol dikatakan timbul mendadak. Pada awalnya
bentol – bentol muncul di tangan sebelah kanan sebanyak 1 buah, bentolan tersebut
dikatakan sebesar biji jagung, namun semakin hari bentol – bentol merah tersebut
dirasakan semakin banyak dan muncul juga dipergelangan tangan kiri. Keluhan ini
dirasakan tidak membaik, walaupun penderita sudah mencoba mengoleskan minyka pada
bercak merah tersebut. Keluhan ini juga disertai rasa gatal yang dirasakan hilang timbul.
Gatal tidak dirasakan berkurang dengan obat ataupun dengan kompres hangat. Selain itu
pasien juga merasakan kadang – kadang terasa panas pada bentol – bentol tersebut.
Keluhan panas badan disangkal , riwayat digigit serangga juga disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Terdahulu :
Keluhan yang sama sebeelumnya disangkal oleh pasien. Riwayat alergi atau disangkal
oleh pasien. Riwayat menderita penyakit infeksi seperti infeksi saluran nafas disangkal.
Pasien memiliki riwayat gigi berlubang pada gigi atas dan bawah sudah sejak lama, namun
sejak 2 minggu terakhir ini gigi pasien dirasakan semakin sakit dan pasien belum pernah
memeriksakannya ke dokter.
Riwayat Pengobatan :
Sebelum berobat ke RS, pasien belum pernah memeriksakan sakitnya ke pelayanan
kesehatan lainnya. .
Riwayat Penyakit dalam keluarga /Lingkungan :
Penderita dan keluarganya mengatakan tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan
seperti ini baik sekarang maupun yang dahulu ataupun memiliki riwayat alergi.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : Baik
Nadi : 81 kali per menit
Tensi : 130/ 80 mmHg
Respirasi : 16 kali permenit
Temperatur aksila : 36,8°C
Status General
Kepala : Normocephali
Mata : anemia -/-, ikt-/-
THT : dalam batas normal
Thorax :
Cor : S1S2 normal, murmur (-)
Pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-),bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : dalam batas normal.
Status Dermatologi
Lokasi : Tangan kanan dan pergelangan tangan kiri
Effloresensi : urtika eritematosa, berbatas tegas, bentuk dari bulat hingga plakat,
ukuran bervariasi dengan diameter 0,5cm hinga 3cm, distribusi
diskret
Gambar 11. Urtikaria pada ekstrimitas pasien
3.4 Resume
Pasien perempuan, umur 52 tahun, mengeluh timbul bentol - bentol merah di tangan kanan
dan dipergelangan tangan kirinya, sejak 4 hari sebelum pemeriksaan. Pada awalnya
berupa bentol berwarna putih seperti bekas gigitan nyamuk yang muncul di tangannya.
Keluhan ini dirasakan tidak membaik walaupun penderita sudah mencoba mengoleskan
minyak pada bercak merah tersebut. Gatal dirasakan mulai mucul pada sore hingga malam
hari. Buang air besar dan buang air kecil dikatakan tidak ada gangguan Pasien sudah
pernah menglami keluhan yang sama sama sebelumnya 3 minggu yang lalu. Pasien sempat
berobat ke dokter umum pada tanggal 27 April 2012 mendapat .Riwayat alergi, penyakit
infeksi disangkal oleh ibu pasien. Di keluarga, tidak ada yang mengalami hal yang sama
seperti pasien.
Status Dermatologi
Lokasi : Seluruh tubuh
Effloresensi : urtika eritematosa, berbatas tegas, bentuk dari bulat hingga plakat,
ukuran bervariasi dengan diameter 0,5cm hinga 3cm, distribusi
diskret, terdapat beberapa ekskoriasi.
3.5 Diagnosis Banding
1. Urtikaria
2. Dermatitis Atopik
3. Dermatitis Kontak Alergi
3.6 Usulan Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorokan
3. Pemeriksaan kadar Ig E serum
4. Uji tusuk kulit (Skin Prick Test)
3.7 Penatalaksanaan
1. Anti Histamin
2. Methylprednisolone tablet 2 x 4 mg
3. Krim menthol 1 %
3.8 KIE
1. Menjelaskan kepada ibu pasien mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak
mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika
penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.
2. Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol, dan
agen fisik.
3. Menggunakan sabun yang tidak mengandung antiseptik dan tidak iritatif.
4. Tidak menggunakan pewangi pakaian saat mencuci pakaian.
3.9 Prognosis
Dubius ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam kasus ini pasien laki-laki berumur 8 tahun, agama hindu, suku Bali, mengeluh timbul
bercak kemerahan di seluruh tubuh. Dari anamnesis didapatkan mengeluh timbul bercak-
bercak merah di seluruh tubuh, sejak 3 hari yang lalu. Pada awalnya berupa bentol berwarna
putih seperti bekas gigitan nyamuk yang muncul di tangannya, mulai membesar dan
menyebar di seluruh tubuh. Keluhan ini dirasakan tidak membaik walaupun penderita sudah
mencoba mengoleskan minyak pada bercak merah tersebut. Gatal dirasakan mulai mucul
pada sore hingga malam hari.
Melalui pemeriksaan fisik didapatkan status dermalogi berupa:
Lokasi : Seluruh tubuh
Effloresensi : urtika eritematosa, berbatas tegas, bentuk dari bulat hingga plakat,
ukuran bervariasi dengan diameter 0,5cm hinga 3cm, distribusi diskret,
terdapat beberapa ekskoriasi.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapat mengarah ke diagnosis urtikaria.
Dimana sesuai teori, urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab,
biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-
lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat
dikelilingi halo. Urtikaria adalah penyakit yang dengan kelainan di kulit berupa urtika.
Diagnosis yang mungkin selain urtikaria adalah Dermatitis Atopik dan Dermatitis
Kontak Alergi. Pada dermatitis atopik, gejala utama adalah pruritus, dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Untuk mendiagnosis
dermatitis atopik menggunakan kriteria dari Hanifin dan Rajka. Pada kasus kriteria mayor
yang terpenuhi adalah pruritus, sisanya belum memenuhi kriteria mayor dan kriteria minor.
Diagnosis lain yang mungkin adalah dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak alergi yang
disebabkan oleh bahan atau substansi yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah
mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua
bagian tubuh dapat terkena. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang
berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Pada kasus
didapatkan bercak kemerahan, tetapi memilliki batas yang tegas.
Urtikaria dapat disebabkan oleh berbagai penyebab diantaranya makanan, obat,
kontaktan, iritan, gigitan serangga, dan lain-lain, sehingga untuk mecari tau penyebabnya
harus dilakukan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan pasien urtikaria pada kasus menggunakan antihistamin,
kortikosteroid oral dan krim menthol. Hal ini sesuai teori yaitu pemberian anti histamin
bertujuan untuk mengurangi gatal karena pelepasan histamin. Pada kasus, juga diberikan
methylprednisolone tablet karena berdasarkan penelitian dengan pemberian kortikosteroid
oral jangka pendek pada kasus urtikaria akut dikatakan dapat membantu penyembuhan.
Selain terapi obat, KIE juga penting dilakukan. Pada kasus diberikan KIE berupa
menghindari agen-agen yang dapat menjadi penyebab terjadinya urtikaria seperti makananan
(telur, gandum, kacang), obat-obatan, menggunakan sabun yang tidak mengandung
antiseptik, tidak menggunakan pewangi pakaian.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit akibat faktor imunologik dan non-imunologik.
2. Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk mencegah atau
menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi.
3. Edukasi kepada pasien dan antagonis reseptor histamine H1 merupakan first-line therapy
urtikaria
5.2 Saran
1. Penatalaksanaan urtikaria sebaiknya menggunakan stratifikasi terapi yaitu first-line
therapy, second-line therapy, dan third-line therapy.
2. Pada dekade selanjutnya, diharapkan terdapat penelitian-penelitian yang meneliti tentang
penatalaksanaan urtikaria secara holistik sehingga dapat menolong memperbaiki kualitas
hidup para penderita urtikaria.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 1 Mei 2012, dari
http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print
2. Djuanda, A. (2010). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.
4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 1 Mei 2012, dari
http://emedicine.medscape.com/article/137362-print
5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit. Surabaya
Plastic Surgery, Artikel. Diakses 2 Mei 2012, dari
http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-dan-
penyembuhan.html
6. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J
Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220.
7. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep,
Gambar. Diakses tanggal 1 Mei 2012, dari http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php
%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg
8. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal 1 Mei 2012,
dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf
9. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 1 Mei 2012,
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf
10. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
11. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema dalam:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.
2. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 1 Mei 2012, dari
http://emedicine.medscape.com/article/137362-print