Post on 07-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus dengue dengan tanda-tanda tertentu dan disebarkan melalui gigitan
nyamuk Aedes spp. Kasus DBD setiap tahun di Indonesia terus meningkat dan
bahkan makin merajalela dengan pemanasan global. Pusat Informasi Departemen
Kesehatan mencatat, jumlah kasus DBD di Indonesia selama 2009 mencapai
77,489 kasus dengan 585 korban meninggal (Depkes RI, 2009).
WHO memperkirakan sebanyak 2,5 sampai 3 milyar penduduk dunia
berisiko terinfeksi virus dengue dan setiap tahunnya terdapat 50-100 juta
penduduk dunia terinfeksi virus dengue, 500 ribu diantaranya membutuhkan
perawatan intensif di fasilitas pelayanan kesehatan. Setiap tahun dilaporkan
sebanyak 21.000 anak meninggal karena DBD atau setiap 20 menit terdapat satu
orang anak yang meninggal (Depkes RI, 2008).
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit akibat virus yang
hidup bertahan di alam (arthropod-borne viral) melalui kontak biologis, yang
menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat, penyakit ini ditemukan hampir di seluruh belahan
dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun
epidemik yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan (Djunaedi, 2006).
Penyakit ini tidak saja ditemukan di daerah perkotaan namun juga terdapat
di daerah pedesaan. Cara penularan penyakit DBD terjadi secara propagatif yaitu
virus dengue berkembang biak dalam tubuh nyamuk Aedes spp (Gandahusada,
dkk,2000).
Penyebab penyakit demam berdarah dengue Aedes spp selain itu juga
merupakan virus demam kuning (yellow fever) dan chikungunya, Aedes spp
bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari pada waktu menghisap
darah penderita demam berdarah. Aedes spp merupakan jenis nyamuk yang dapat
membawa virus dengue (DBD) atau orang tanpa gejala sakit yang membawa virus
dengue dalam darahnya. Jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue
akan berkembang biak dalam tubuh orang itu selama 4-7 hari sehingga dapat
sebagai sumber penularan. Dalam waktu satu minggu setelah digigit nyamuk
tersebut, orang tersebut akan dapat menderita penyakit demam berdarah dengue.
Sampai saat ini belum ada vaksin untuk pencegahan penyakit DBD, dan belum
ada obat obatan khusus untuk pengobatannya. Dengan demikian pengendalian
DBD tergantung pada pengendalian nyamuk Aedes spp ( Depkes RI, 2005 )
Ada empat cara untuk memutuskan rantai penyakit DBD yaitu melenyapkan
virus, isolasi penderita, mencegah gigitan vector, pengendalian vector ( cara
kimia, pengelolaan lingkungan misalnya PSN ). Pengendalian vector demam
berdarah dengue telah lama dilakukan di Indonesia, karena cara ini dianggap
paling efektif untuk memutuskan mata rantai penurunan penyakit. Cara
pengendalian vector yang paling banyak dilakukan adalah dengan menggunakan
insektisida.
Pemerintah dan masyarakat telah berusaha dalam mengantisipasi kenaikan
dan penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue ini. Program pencegahan dan
pemberantasa penyakit Demam Berdarah dengue secara intensif telah dilakukan
dengan penanggulangan focus dalam penyemprotan, abatesasi dan PSN. PSN (
Pemberantasan Sarang Nyamuk ) yang dilakukan lewat 3M ( Menguras bak
mandi, menutup tendon air dan mengubur barang bekas yang dapat menampung
air hujan). PSN diintensifkan lewat kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB)
dengan merekrut Juru Pemantau Jentik ( Jumantik ). Penilaian yang dilakukan
oleh para kader dan petugas puskesmas mengenai angka bebas jentik,
menunjukkan hasil yang bagus, akan tetapi, angka kejadian DBD tetap tinggi.
Pembersihan Sarang Nyamuk ( PSN ) DBD ditujukan kepada upaya PSN di
lingkungan rumah dan Sekolah Dasar, hal ini dikarenakan pada umumnya kasus
DBD yang menjadi korban adalah anak. Sebagaimana yang ditunjukkan penelitian
yang dilakukan Thomas suroso (1991) bahwa sebagian besar (80%) kasus DBD
adalah anak usia dibawah 15 tahun. Sementara itu sri Rezeki Harun (1991) dalam
penelitiannya juga menunjukkan bahwa kelompok umur yang terbanyak dirawat
adalah kelompok umur 1 – 9 tahun.
Pada tahun 2010, terjadi angka insidensi yang tinggi tentang DBD didaerah
Bangunharjo Bantul dengan 17 dusunnya, mencapai angka 103 kasus DBD
selama tahun 2010. Padahal jika melihat angka bebas jentik ( ABJ ) dari wilayah
tersebut, tergolong cukup tinggi, dengan rata – rata 78,75 %. Dan pada tahun
2011, angka kejadian DBD di dusun tersebut mulai menurun dengan angka
kejadian selama 1 tahun tersebut sebesar 11 kasus.
B. PERUMUSAN MASALAH
Seperti yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu :
mengapa angka kejadian DBD masih tinggi ketika Angka Bebas Jentik juga
tinggi, dimana seharusnya kejadian DBD berbanding terbalik dengan nilai ABJ.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, apakah terdapat faktor-
faktor yang menyebabkan angka kejadian DBD masih tinggi ketika Angka bebas
Jentik tinggi, ataukah terdapat kesalahan dari pelaksanaan program-program yang
telah dilakukan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya :
1. Memberikan informasi mengenai evaluasi program penanggulangan DBD.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat, kader puskesmas, tenaga
kesehatan puskesmas dan pemerintah mengenai kemungkinan faktor
penyebab tidak sesuainya outcome dari program yang dilakukan untuk
menanggulangi DBD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue yang ditandai dengan demam tinggi mendadak disertai
manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan dan kematian.
B. Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu
infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit
demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai
demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi
menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan
nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya
merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi
sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan
manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina.
Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia,
dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan
Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus
DBD sangat kompleks, yaitu
(1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi,
(2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali,
(3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan
(4) Peningkatan sarana transportasi.
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus
dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.
Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan
Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit
terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di
seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian
luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada
tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola
berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara.
Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk
Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia,
karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola
waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada
umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus
sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
C. Etiologi
Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal, genus flavivirus,
terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, 2, 3 dan 4. Struktur antigen ke-4 serotipe
ini sangat mirip satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-
masing serotipe tidak dapat saling memberikan perlindungan silang.. Variasi
genetik yang berbeda pada ke-4 serotipe ini tidak hanya menyangkut antar
serotipe, tetapi juga didalam serotipe itu sendiri tergantung waktu dan daerah
penyebarannya. Pada masing-masing segmen codon, variasi diantara serotipe
dapat mencapai 2,6 - 11,0 % pada tingkat nukleotida dan 1,3 - 7,7 % untuk
tingkat protein (Fu et al, 1992)
D. Penularan
MEKANISME cara penularan yang terjadi dalam kasus DBD melalui 4
tahapan, yakni:
a. Masa Penularan Pada Manusia :
Orang yang terinfeksi DBD, yang masih dalam periode 3-7 hari setelah
demam, kemudian digigit oleh nyamuk Aedes betina, lalu nyamuk itu
menyebarkan virus DBD di dalam tubuhnya.
b. Masa Inkubasi Pada Nyamuk :
Nyamuk menggigit tubuh manusia yang telah terinfeksi virus Dengue,
kemudian virus tersebut terinkubasi di dalam tubuh nyamuk selama 7 hari.
c. Masa Peyebaran Penyakit :
Hanya dalam 7 hari nyamuk yang membawa virus Dengue, dapat
menyebarkan penyakit DBD kedalam tubuh manusia
d. Masa Penularan Kepada Orang Baru :
Masa inkubasi pada pasien baru terjadi dalam waktu 3-14 hari (rata-rata 4-
7 hari). Selama masa ini, belum menampakkan gejala penyakit.
E. Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel
hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel
manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan
protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila
daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun
bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian. Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom
syok dengue) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang
banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori
secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.
Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang
akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang
kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan
oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu
proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue
yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan
terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang
bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini
akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus
antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma
dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok
berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan
berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan
adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan
terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang
tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia,
yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting
guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu
virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain
virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua
hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah . Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.
Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada
DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat
KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,
perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
F. Klasifikasi
Berdasarkan kapasitas diagnosis
Tersangka Demam Berdarah (TDBD)
Panas tinggi akut, perdarahan pada uji torniquet, tidak disertai gejala lain.
Demam dengue
Panas akut 2-7 hari, dengan manifestasi seperti adanya sakit kepala, sakit
belakang bola mata, mialgia, atralgia, rash, manifestasi perdarahan dan
leukopenia. Tidak terbukti adanya kebocoran plasma dan tidak terbukti
diagnosis klinis yang lain.
Demam Berdarah Dengue
Minimal kriteria yang harus dipenuhi:
a. Panas dan riwayat demam akut berlangsung 2-7 hari, kadang bifasik.
b. Tendensi perdarahan dibuktikan dengan paling sedikit satu dari uji
torniquet, adanya ptekie, purpura, perdarahan gastrointestinal,
perdarahan pada tempat injeksi atau tempat lain, hematemesis, dan
atau melena.
c. Trombositopenia (< 100.000/mm3)
d. Adanya bukti kebocoran plasma yang terjadi karena kenaikan
permeabilitas kapiler dengan manifestasi sebagai berikut:
Peningkatan Ht > 20% di atas rata-rata umur, seks, dan populasi
Turunnya hematokrit setelah dilakukan volume replacement
terapi > 20% dari data dasar.
Bukti kebocoran plasma misalnya: efusi pleura, ascites dan
hipoproteinemia.
Menurut derajat penyakitnya
Derajat I
Demam, uji torniquet positif dengan gejala yang tidak spesifik.
Derajat II
Derajat I + perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lainnya.
Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi lembut, hipotensi, takikardia,
kulit dingin dan lembab, anak gelisah.
Derajat IV (Dengue Shock Syndrome)
Renjatan berat, nadi tidak teraba, tensi tidak terukur
G. Langkah diagnosis
Pemeriksaan klinis : Badan panas, adanya manifestasi perdarahan,
ditemukan adanya tanda efusi, hepatomegali,
kegagalan sirkulasi.
Pemeriksaan laboratorium : Uji torniquet, hematokrit dan hitung
trombosit secara berkala, serta pemeriksaan
serologi, pemeriksaan LPB, albumin darah, CT, BT,
PT, dan PTT serta gambaran darah tepi
Pemeriksaan Penunjang : foto thoraks pada dispnu untuk menelusuri
penyebab lain disamping efusi pleura, USG bila ada
dapat dipakai untuk memeriksa efusi pleura
minimal.
Indikasi rawat bila:
Penderita tersangka demam berdarah derajat I dengan panas 3 hari atau
lebih sangat dianjurkan untuk dirawat.
Tersangka demam berdarah derajat I disertai dengan hiperpireksia atau
tidak mau makan atau muntah-muntah atau kejang atau Ht cenderung
meningkat dan trombosi cenderung menurun.
Penderita tersankat demam berdarah derajat I yang tampak gelisah, nadi
cepat dan kecil, tangan dingin, tekanan darah dan oliguria
Seluruh penderita demam berdarah derajat II, III, dan IV.
H. Komplikasi
Perdarahan masif, ensefalopati, edema paru, DIC dan efusi pluera.
I. Prognosis
Angka kematian di Indonesia secara keseluruhan < 3%. Angka kematian
DSS di Rumah Sakit 5-10%. Kematian meningkat jika disertai komplikasi.
DBD yang berlanjut pada syok atau penderita dengan komplikasi sulit
diramalkan, sehingga harus berhati-hati dalam melakukan penyuluhan.
J. Uraian Pencegahan dan Pemberantasan penyakit DBD
Pendekatan terpadu terhadap pengendalian nyamuk sekarang ini adalah
dengan menggunakan metode yang tepat (lingkungan, biologi dan kimiawi)
yang aman, murah dan ramah lingkungan.
Kegiatan pemberantasan vektor penular penyakit DBD meliputi:
penyelidikan epidemiologi,
penanggulangan fokus,
larvasiding,
pemeriksaan jentik berkala,
pemberantasan sarang nyamuk.
1. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan Epidemiologi (PE) adalah kegiatan pencarian
penderita/tersangka DBD lainnya serta pemeriksaan jentik nyamuk
penular DBD di rumah penderita/tersangka dan rumah-rumah
sekitarnya dengan radius sekurang-kurang 100 meter (± 20 rumah),
serta tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan
penyakit lebih lanjut. Kegiatan PE dilakukan oleh petugas Puskesmas.
Maksud dari PE adalah:
Mengetahui ada/tidaknya kasus DBD tambahan dan luas
penyebaran.
Mengetahui kemungkinan terjadinya penyebarluasan penyakit
DBD lebih lanjut di lokasi tersebut.
2. Penanggulangan Fokus
Penanggulangan fokus adalah kegiatan penyemprotan insektisida
dan PSN-DBD serta penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan
radius 200 meter, dilaksanakan 2 siklus dengan interval 7 hari oleh
petugas. Penanggulangan fokus ini dilakukan dengan meksud untuk
mencegah/membatasi penularan penyakit.
Penyelidikan epidemiologi
Ada penderita DBD lain atau 3 kasus penderita panas
tanpa jelas penyebabnya dan ada jentik
Penderita/tersangka DBD
YA TIDAK
BAGAN PENANGGULANGAN FOKUS
Langkah-langkah pelaksanaannya:
Membuat peta (mapping) daerah yang akan ditanggulangi
Membuat tabel rumah per RT.
Hitung kebutuhan insektisida, bahan pelarut, peralatannya dan biaya
operasional.
3. Larvasiding
Larvasiding adalah pemberantasan jentik dengan bahan kimia
dengan menaburkan bubuk larvasida. Pemberantasan jentik Aedes aegypti
dengan bahan kimia terbatas untuk wadah (peralatan) rumah tangga yang
tidak dapat dimusnahkan, dibersihkan,dikurangi atau diatur. Dalam jangka
Penyuluhan PSN-DBD
fogging radius 200 meter
Penyuluhan PSN-
DBD
panjang penerapan kegiatan larvasiding sulit dilakukan dan mahal.
Kegiatan ini tepat digunakan apabila survelans penyakit dan vector
menunjukkan adanya periode berisiko tinggi dan di lokasi dimana wabah
mungkin timbul. Menentukan waktu dan tempat yang tepat untuk
pelaksanaan larvasiding sangat penting untuk memaksimalkan
efektifitasnya.
Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah yang
dipakai untuk menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate 1%)
dan Insect growth regulators (pengatur pertumbuhan serangga)
Kegiatan larvasiding meliputi:
Abatisasi selektif
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat
penampungan air (TPA) baik didalam maupun diluar rumah pada seluruh
rumah dan bangunan di desa/kelurahan endemis dan sporadik dan
penaburan bubuk abate (larvasida) pada TPA yang ditemukan jentik dan
dilaksanakan 4 kali setahun. Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah
dilatih oleh petugas Puskesnas. Tujuan pelaksanaan abatisasi selektif
adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam
PSN-DBD.
Abatisasi massal
Abatisasi massal adalah penaburan abate atau altosid
(larvasida)secara serentak diseluruh wilayah/daerah tertentu disemua TPA
baik terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh rumah/bangunan.
Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan dilokasi terjadinya KLB DBD.
Dalam kegiatan abatisasi massal masyarakat diminta partisipasinya untuk
melaksanakan pemberantasan Aedes aegypti di wilayah masing-masing.
Tenaga di beri latihan sebelum melaksanakan abatisasi.
4. Pemeriksaan Jentik Berkala
Kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan kegiatan
pengamatan dan pemberantasan terhadap vector penular DBD. Definisi
operasional PJB adalah kegiatan pemeriksaan pada tempat penampungan
air dan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti untuk
mengetahui adanya jentik nyamuk tersebut yang dilakukan secara teratur 3
bulan sekali. Sasaran wilayah kegiatan PJB adalah rumah dan tempat
umum.
5. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD
Cara memberantas nyamuk Aedes aegypti yang tepat guna ialah
dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu kegiatan
memberantas jentik di tempat berkembangbiaknya baik dengan cara kimia,
yaitu dengan larvasida, biologi dengan cara memelihara ikan pemakan
jentik atau dengan bakteri ataupun dengan cara fisik yang kita kenal
dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) yakni menguras
bak mandi, bak WC; menutup TPA rumah tangga (tempayan, drum dll)
serta mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dll).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif untuk
mengetahui hubungan Nilai Angka Bebas Jentik dengan Angka Kejadian
Demam Berdarah di wilayah kerja Puskesmas Sewon 2 Bantul serta
evaluasi dari program – program penanggulangan DBD.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sewon 2 Bantul
pada bulan November 2011.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian yaitu keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini mencakup
data sekunder tentang angka bebas jentik, angka kejadian demam
berdarah dan nilai curah hujan diwilayah bantul, serta warga di
seluruh wilayah kerja Puskesmas Sewon 2 Bantul.
2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian yaitu objek yang diteliti dan dianggap mewakili
seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Sampel dalam penelitian ini
yaitu data sekunder tentang angka bebas jentik, angka kejadian
demam berdarah dan curah hujan wilayah bantul, serta warga di dusun
randubelang, saman, jotawang, wojo dan saman mulai tahun 2006
sampai dengan 2011.
3. Besar Sampel
Besar sampel yang didapatkan adalah nilai ABJ dan angka kejadian
DBD dalam ke 5 dusun tersebut dalam 2 tahun terakhir, yaitu pada
tahun 2010 dan 2011 dan data curah hujan wilayah bantul pada tahun
2010 dan 2011, serta perwakilan warga dari 5 dusun tersebut diambil
secara acak.
D. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel
Variabel penelitian ini terdiri dari :
a) Variabel dependent yaitu Angka Kejadian Demam Berdarah
b) Variabel independent yaitu Angka Bebas Jentik dan Curah
Hujan
2. Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini yaitu :
Demam Berdarah : penyakit demam akut yang disebabkan oleh
virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui
gigitan nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti atau
Aedes albopictus.
Angka Bebas Jentik : Angka yang menunjukkan jumlah rumah
atau bangunan yang tidak ditemukan jentik baik di dalam maupun
di luar rumah dibagi jumlah rumah yanng diperiksa dikalikan
seratus persen. Angka bebas jentik yang diharapkan adalah lebih
besar atau sama dengan 95% (Dinkes, 2006).
Curah Hujan : Jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar
selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi ( mm )
diatas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi (
penguapan), runoff (mengalir) dan ifiltrasi (meresap).
3. Instrumen Penelitian
a) Pembuatan kuesioner
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
beberapa pernyataan.
b) Pengisian kuesioner oleh subyek penelitian
Pengisian kuesioner dilakukan oleh subyek penelitian yaitu
perwakilan keluarga yang telah mengisi informed consent/ lembar
persetujuan dan mencantumkan identitas pada lembar kuesioner
dengan didampingi oleh peneliti.
c) Pengolahan data
Data yang diperoleh berupa data numerik tentang kejadian demam
berdarah di 5 dusun selama 6 tahun terakhir, data numerik angka
bebas jentik pada tahun 2010 dan 2011, data numerik curah hujan
wilayah bantul tahun 2010 dan 2011, serta hasil kuisioner dari
perwakilan masyarakat tentang PSN.
4. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan kuesioner untuk mengetahui jadwal
PSN dan data skeunder dari puskesmas, mengenai angka kejadian
demam berdarah dan angka bebas jentik.
5. Analisa Data
Analisa dan pengolahan data selanjutnya akan diolah menggunakan
metode deskriptif statistic.
6. Etika Penelitian
Penelitian ini berpedoman pada prinsip-prinsip etika penelitian, yaitu :
a) Informed Consent
Calon responden diberikan penjelasan mekanisme penelitian
sehingga mampu memahami dan diharapkan dapat berpartisipasi
secara sukarela tanpa adanya unsur paksaan. Kemudian bagi calon
responden yang bersedia menjadi subyek penelitian akan diberikan
informed consent atau lembar persetujuan menjadi responden yang
ditanda tangani oleh calon responden tersebut.
b) Confidentially
Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang diberikan oleh
subyek peneliti. Informasi yang diberikan oleh responden hanya
digunakan untuk keperluan peneliti ilmiah dan tidak dimanfaatkan
untuk kepentingan yang lain.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Dilakukan pengambilan data sekunder dari basis data Puskesmas Sewon II
mengenai sebaran penderita penyakit demam berdarah dengue selama 6 tahun
terakhir, data yang diperoleh meliputi Dusun Randubelang sebagai dusun yang
kita teliti, serta 4 dusun disekitarnya yang mengelilingi dusun randubelang.
Sebagai berikut :
NO DUSUN TAHUN
2006 2007 2008 2009 2010 2011
1 JOTAWANG 1 1 9 5 3 1
2 SALAKAN 2 2 3 4 13 0
3 RANDUBELANG 2 6 4 6 4 1
4 WOJO 3 6 5 3 6 0
5 SAMAN 5 1 2 5 14 1
JUMLAH 13 16 23 23 40 3
Tabel 4.1 : Persebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun
2006-2011
Grafik 4.1 : Persebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Puskesmas Sewon II
Tahun 2006-2011
0
5
10
15
2006 2007 2008 2009 2010 2011
AN
GK
A K
EJA
DIA
N
TAHUN
PERSEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
JOTAWANG
SALAKAN
RANDUBELANG
WOJO
SAMAN
Grafik 4.2 : Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun 2010
Grafik 4.3 : Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun
2011
3
13
4
6
14
0
2
4
6
8
10
12
14
16
AN
GK
A K
EJA
DIA
N
DUSUN WILAYAH PUSKESMAS SEWON 2
PERSEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE 2010
1
0
1
0
1
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
AN
GK
A K
EJA
DIA
N
DUSUN WILAYAH PUSKESMAS SEWON 2
PERSEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE 2011
Pada fokus pengamatan insidensi Demam Berdarah Dengue pada tahun
2010 dan 2011, didapatkan variasi jumlah kasus dari ke 5 dusun di desa
bangunharjo. Tahun 2010, di dusun jotawang terdapat 3 kasus DBD, kemudian
secara berturut, salakan 13 kasus, randubelang 4 kasus, wojo 6 kasus dan saman
14 kasus. Untuk tahun 2011, terdapat penurunan yang cukup jauh dari tahun
sebelumnya, dimana dusun jotawang terdapat 1 kasus, kemudian secara berturut-
turut, salakan 0 kasus, randubelang 1, wojo 0 kasus dan saman 1 kasus.
Selain mendapatkan data tentang persebaran penyakit DBD, dikumpulkan
juga data mengenai Monitoring Pemberantasan Sarung Nyamuk yang dilakukan
oleh puskesmas sewon II pada tahun 2010 dan 2011 terhadap 5 dusun tersebut,
data yang diperoleh sebagai berikut :
HASIL MONITORING PSN OLEH TIM KECAMATAN
DI WILAYAH PUSKESMAS SEWON II TAHUN 2010
LOKASI DUSUN RUMAH
DIPERIKSA
BEBAS
JENTIK
POS
JENTIK
ABJ
%
Insidensi
DBD
JOTAWANG 35 28 7 80,00 3
SAMAN 39 28 11 71,79 14
RANDUBELANG 59 55 4 93,22 4
SALAKAN 19 16 3 84,21 13
WOJO 45 39 6 86,67 6
Tabel 4.2 : Monitoring PSN Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun 2010
Dari table diatas, dapat kita perhatikan hubungan antara nilai ABJ dengan
insidensi DBD pada tahun yang sama, dusun jotawang dengan ABJ 80% dengan
insidensi 3 kasus, saman 71,79% dengan insidensi 14 kasus, randubelang 93,22%
dengan insidensi 4, salakan 84,21% dengan insidensi 13 kasus dan wojo 86,67%
dengan insidensi 6 kasus.
Grafik 4.4 : Perentase Nilai ABJ di Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun 2010
HASIL MONITORING PSN OLEH TIM KECAMATAN
DI WILAYAH PUSKESMAS SEWON II TAHUN 2011
LOKASI DUSUN RUMAH
DIPERIKSA
BEBAS
JENTIK
POS
JENTIK
ABJ
%
Insidensi
DBD
RANDUBELANG 68 56 12 82,30 1
SAMAN 53 41 12 77,00 1
SALAKAN 38 27 11 71,00 0
JOTAWANG 36 30 6 82,20 1
WOJO 33 27 6 81,82 0
Tabel 4.3 : Monitoring PSN Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun 2011
Dari table diatas, dapat kita perhatikan hubungan antara nilai ABJ dengan
insidensi DBD pada tahun yang sama, dusun jotawang dengan ABJ 82,20%
dengan insidensi 1 kasus, saman 77% dengan insidensi 1 kasus, randubelang
82,30% dengan insidensi 1, salakan 71% dengan insidensi 0 kasus dan wojo
81,82% dengan insidensi 0 kasus
80,0084,21
93,22
86,67
71,79
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
AN
GK
A A
BJ
(%)
DUSUN WILAYAH PUSKESMAS SEWON 2
PERSENTASE NILAI ABJ2010
ABJ
Grafik 4.4 : Perentase Nilai ABJ di Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun 2011
Setelah mendapatkan data sekunder mengenai Insidensi DBD dan NIlai ABJ
dari kelima dusun, dilakukan juga pengambilan data melalui kuisioner, mengenai
jadwal PSN di dusun randubelang. Dari 20 responden yang diambil secara
random, didapatkan jadwal 18 orang menyatakan melakukan PSN dalam rumah
1x dalam seminggu, 3 diantaranya memilih hari sabtu dan 15 lainnya memilih hari
minggu. 2 orang menyatakan melakukan PSN dalam rumah 2x seminggu dan
memilih hari senin dan jumat.
Sedangkan jadwal PSN yang dilakukan di beberapa RT di dusun randubelang,
dari 20 perwakilan, 4 responden menyatakan tidak tentu melaksanakan kerjabakti
RT ny, 14 responden menyatakan melakukan kerja bakti 1x dalam sebulan
dilakukan di hari minggu, sedangkan 2 responden lainnya menyatakan melakukan
kerjabakti 2x dalam sebulan dan dilakukan tiap hari minggu juga.
82,20
71,00
82,30 81,82
77,00
60,00
65,00
70,00
75,00
80,00
85,00
90,00
AN
GK
A A
BJ
(%)
DUSUN WILAYAH PUSKESMAS SEWON 2
PERSENTASE NILAI ABJ2011
ABJ
Hasil pendataan jadwal Pemberantasan sarang nyamuk di dusun randubelang
1x
Seminggu Sabtu Minggu
2x
seminggu Senin Jumat
PSN dalam rumah pribadi 18 3 15 2 2 2
Tabel 4.4 : Jadwal PSN di rumah pribadi warga dusun randubelang
Tidak Tentu 1x Sebulan 2x Sebulan Minggu
PSN dalam dusun randubelang 4 14 2 16
Tabel 4.5 : Jadwal PSN kerja bakti warga dusun randubelang
Dari BPS ( Balai Pusat Statistika ) jogjakarta, didapatkan nilai curah hujan
untuk wilayah bantul dan sekitarnya untuk tahun 2010 sebesar, 213,51 mm dan
untuk 2011 sebesar 235,42 mm. Curah hujan disini dianggap sebagai faktor yang
tidak dapat kita kendalikan sebagai salah satu faktor untuk meningkatkan
insidensi DBD, karna dengan besarnya curah hujan, maka iklim atau suasana yang
terjadi sangat mendukung untuk vector nyamuk aedes aegypti tuk berkembang.
Didapatkan juga informasi dari beberapa perwakilan RT di dusun
randubelang melaluli diskusi, mengenai beberapa hal, diantaranya ketika
pelaksanaan foging di dusun mereka, masih terdapat beberapa warga yang tidak
mau membuka rumahnya untuk dilakukan foging, karena mereka beranggapan
rumah mereka sudah bersih dan bebas dari sarang nyamuk. Selain itu, karena
pelaksanaan foging yang dilakukan sekitar jam 06.00 pagi, sebagian bangunan
yang dipakai untuk home industry masih belum terbuka. Sehingga foging yang
dilakukan masih belum maksimal efektifitasnya. Terdapat usulan juga untuk
mengganti bak mandi yang selama ini dipakai di rumah warga dengan ember,
sehingga mengurangi kemungkinan tempat – tempat yang berpotensi digunakan
sebagai tempat sarang nyamuk dengan adanya genangan air.
B. Pembahasan
Angka bebas jentik (ABJ) merupakan angka yang menunjukkan jumlah
rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik baik di dalam maupun di luar
rumah dibagi jumlah rumah yang diperiksa dikalikan seratus persen. Angka bebas
jentik yang diharapkan adalah lebih besar atau sama dengan 95%. ABJ merupakan
salah satu indikator untuk insidensi Demam Berdarah, dimana jika nilai ABJ
bagus atau mendekati nilai yang diharapkan yaitu ≥ 95%, maka nilai insidensi
DBD juga akan semakin berkurang sampai Nol.
Pihak dinas kesehatan dan puskesmas telah memiliki beberapa program
yang dilakukan yang juga melibatkan masyarakat terutama kader-kader nya untuk
menanggulangi kejadian DBD. Diantaranya adalah program jumantik kader, Juru
Pemantau Jentik ( Jumantik ) kader, melakukan pemeriksaan jentik-jentik nyamuk
diwilayahnya yang dilakukan 1x seminggu dan kemudian dilaporkan secara
berkala kepihak puskesmas, kemudian terdapat program jumantik berkaladan
Monitoring PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk), yang dilakukan oleh pihak
puskesmas sendiri, dilakukan tiap bulan atau pertiga bulan.
Selain program pemberantasan, dilakukan juga program penyelidikan
epidemiologi. Penyelidikan Epidemiologi (PE) adalah kegiatan pencarian
penderita atau tersangka DBD lainnya serta pemeriksaan jentik nyamuk penular
DBD di rumah penderita/tersangka dan rumah-rumah sekitarnya dengan radius
sekurang-kurang 100 meter (± 20 rumah), serta tempat umum yang diperkirakan
menjadi sumber penularan penyakit lebih lanjut. Maksud dari PE adalah:
Mengetahui ada atau tidaknya kasus DBD tambahan dan luas penyebaran. Serta
mengetahui kemungkinan terjadinya penyebarluasan penyakit DBD lebih lanjut di
lokasi tersebut. Dan juga tidak melupakan upaya pemberdayaan masyarakat
secara menyeluruh, mulai dari tingkat RT, Dusun, Desa dan seterusnya, juga
kerjasama lintas sektoral untuk selalu mengoptimalkan dan meningkatkan upaya
pencegahan demam berdarah.
Program – program tersebut telah dilakukan oleh puskesmas dan semua
lapisan masyarakat. Akan tetapi dari hasil pengamatan yang telah dilakukan,
ditemukan ketidaksesuaian dengan teori yang ada. Dimana seharusnya nilai ABJ
berbanding terbalik dengan insidensi DBD. Pada tahun 2010, terdapat perbedaan
antara 2 dusun, saman dan salakan, dimana ABJ dusun tersebut secara berturut-
turut 71,79% & 84,00% dengan insidensi DBD yang tidak jauh berbeda, dimana
saman dengan 14 kasus dan salakan 13 kasus. Pada tahun 2011, dusun jotawang
dan randubelang dengan ABJ 82,20% & 82,30% dengan insidensi DBD masing-
masing 1 kasus, dibandingkan dengan dusun salakan dengan nilai ABJ yang lebih
rendah, 71,00% akan tetapi nilai insidensi 0 kasus.
Ketidaksesuaian nilai ABJ yang dijadikan sebagai indikator insidensi DBD
bisa diasumsikan karena faktor laen diluarnya, bisa karena jadwal pelaksanaan
PSN dari masing – masing warga yang tidak serentak dan mayoritas dilakukan 1x
seminggu, padahal kita mengetahui bahwa siklus hidup vector nyamuk aedes
aegypti adalah dari telur menjadi larva 5 – 7 hari, kemudian larva menjadi pupa 1
– 2 hari, kemudian menjadi nyamuk dewasa dengan mampu bertahan selama 14
hari, sehingga kita dapat mengasumsikan bahwa PSN yang ideal untuk memutus
rantai vector tersebut adalah 2 x dalam seminggu dan dilakukan serentak.
Serentak yang dimaksud tidak hanya dalam satu RT atau dusun, akan tetapi juga
wilayah sekitar dari dusun yang laen, mengingat radius kemampuan terbang
nyamuk aedes aegypti adalah 100 – 200 meter. Terdapat kemungkinan vector
nyamuk bisa berasal dari daerah lain dan saling mempengaruhi daerah – daerah
disekitarnya untuk terjangkit DBD meskipun pada dasarnya nilai ABJ daerah
tersebut bagus, tetapi terpengaruh dari ABJ rendah daerah disekitarnya.
Gambar 4.1 : Peta Wilayah Kecamatan Sewon dan persebaran insidensi DBD tahun 2010
Gambar 4.2 : Peta Wilayah Kecamatan Sewon dan persebaran insidensi DBD tahun 2011
82
81
77
82
71
1
0
0
1
1
80
86
71
93
84
4
13
6
3
14
Kedua gambar diatas, menjelaskan bahwa ketidaksesuaian nilai ABJ dengan
insidensi DBD, yang berdasarkan teori adalah saling berbanding terbalik. Data
tersebut menyampaikan bahwa tidak selalu nilai ABJ bagus, maka nilai insidensi
DBD akan rendah.
Mengacu pada nilai curah hujan diwilayah bantul pada tahun 2010 dan 2011
yang didapatkan dari BPS, terjadi peningkatan jumlah curah hujan dari tahun
2010 sebesar 213,51 mm menjadi 235,42 mmpada tahun 2011, akan tetapi
insidensi dari DBD jika dibandingkan dengan curah hujan yang terjadi,
berbanding terbalik, pada tahun 2010 insidensi DBD yang terjadi sebanyak 103
kasus, sedangkan 2011 sebanyak 11 kasus. Hal ini bisa memberikan arti kepada
kita bahwasanya program PSN yang dilakukan selama 2011 sudah mampu untuk
menanggulangi insidensi DBD dengan turun nya angka kejadian DBD pada tahun
tersebutbdibandingkan dengan tahun sebelumnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan observasional data sekunder mengenai insidensi
DBD dan Nilai ABJ dari dusun randubelang dan sekitarnya untuk tahun 2006 –
2011, serta observasi mengenai jadwal PSN warga di dusunrandubelang, dapat
diambil kesimpulan :
Dapat diasumsikan bahwa ketidaksesuaian nilai ABJ dengan
insidensi DBD disebabkan tidak serentaknya pelaksanaan PSN yang
berhubungan dengan siklus hidup vector Nyamuk Aedes Aegypti.
Kemungkinan nilai ABJ yang didapatkan, kurang valid dikarenakan
hanya dilakukan oleh kader dimasyarakat, tanpa ada pendampingan
dari pihak puskesmas secara berkala.
Jika melihat perbandingan dari kejadian DBD di desa bangunharjo selama 2
tahun terakhir dengan angka curah hujan diwilayah bantul pada tahun yang sama,
dapat disimpulkan bahwa program penanggulangan DBD berhasil dengan
menurunnya angka insidensi DBD disaat angka curah hujan tinggi.
B. SARAN
1. Saran untuk subyek penelitian :
a. Lebih meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam
pemberantasan sarang nyamuk.
b. Melakukan PSN secara serentak ditiap-tiap rumah warga di
dusun tersebut dan dusun sekitarnya, yang dilakukan 2x
seminggu, dengan interval dilakukan di hari ke 3 dan ke 7.
c. Memulai swadaya insentif RT untuk program Jumantik dan PSN,
baik dari sisi SDM dan operasional.
d. Penggunaan - penampungan air yang tertutup dan atau bak
mandi yang tidak permanen ( ember ).
2. Saran untuk puskesmas :
a. Mengawal dan melakukan pendampingan terhadap kader dan
masyarakat pada pelaksanaan PSN tiap bulannya.
b. Penambahan SDM petugas puskesmas untuk memaksimalkan
pendampingan PSN di tiap – tiap RT di tiap bulannya.
c. Menambahkan jumlah TIM Monitoring PSN puskesmas
sehingga jumlah dusun yang tercakup lebih banyak dan sering.
d. Meningkatkan efektifitas dan kemampuan kader agar informasi
yang didapat bisa dipertangungjawabkan.
e. Memberikan intensif terhadap para kader, agar tingkat keseriusan
saat bertugas tidak terpengaruh.