Pusk Pnltian

36
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dengan tanda-tanda tertentu dan disebarkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp. Kasus DBD setiap tahun di Indonesia terus meningkat dan bahkan makin merajalela dengan pemanasan global. Pusat Informasi Departemen Kesehatan mencatat, jumlah kasus DBD di Indonesia selama 2009 mencapai 77,489 kasus dengan 585 korban meninggal (Depkes RI, 2009). WHO memperkirakan sebanyak 2,5 sampai 3 milyar penduduk dunia berisiko terinfeksi virus dengue dan setiap tahunnya terdapat 50-100 juta penduduk dunia terinfeksi virus dengue, 500 ribu diantaranya membutuhkan perawatan intensif di fasilitas pelayanan kesehatan. Setiap tahun dilaporkan sebanyak 21.000 anak meninggal karena DBD atau setiap 20 menit terdapat satu orang anak yang meninggal (Depkes RI, 2008). Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit akibat virus yang hidup bertahan di alam (arthropod-borne viral) melalui kontak biologis, yang menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, penyakit ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun epidemik yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan (Djunaedi, 2006). Penyakit ini tidak saja ditemukan di daerah perkotaan namun juga terdapat di daerah pedesaan. Cara penularan penyakit DBD terjadi secara propagatif yaitu

Transcript of Pusk Pnltian

Page 1: Pusk Pnltian

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan

oleh virus dengue dengan tanda-tanda tertentu dan disebarkan melalui gigitan

nyamuk Aedes spp. Kasus DBD setiap tahun di Indonesia terus meningkat dan

bahkan makin merajalela dengan pemanasan global. Pusat Informasi Departemen

Kesehatan mencatat, jumlah kasus DBD di Indonesia selama 2009 mencapai

77,489 kasus dengan 585 korban meninggal (Depkes RI, 2009).

WHO memperkirakan sebanyak 2,5 sampai 3 milyar penduduk dunia

berisiko terinfeksi virus dengue dan setiap tahunnya terdapat 50-100 juta

penduduk dunia terinfeksi virus dengue, 500 ribu diantaranya membutuhkan

perawatan intensif di fasilitas pelayanan kesehatan. Setiap tahun dilaporkan

sebanyak 21.000 anak meninggal karena DBD atau setiap 20 menit terdapat satu

orang anak yang meninggal (Depkes RI, 2008).

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit akibat virus yang

hidup bertahan di alam (arthropod-borne viral) melalui kontak biologis, yang

menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat, penyakit ini ditemukan hampir di seluruh belahan

dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun

epidemik yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan (Djunaedi, 2006).

Penyakit ini tidak saja ditemukan di daerah perkotaan namun juga terdapat

di daerah pedesaan. Cara penularan penyakit DBD terjadi secara propagatif yaitu

Page 2: Pusk Pnltian

virus dengue berkembang biak dalam tubuh nyamuk Aedes spp (Gandahusada,

dkk,2000).

Penyebab penyakit demam berdarah dengue Aedes spp selain itu juga

merupakan virus demam kuning (yellow fever) dan chikungunya, Aedes spp

bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari pada waktu menghisap

darah penderita demam berdarah. Aedes spp merupakan jenis nyamuk yang dapat

membawa virus dengue (DBD) atau orang tanpa gejala sakit yang membawa virus

dengue dalam darahnya. Jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue

akan berkembang biak dalam tubuh orang itu selama 4-7 hari sehingga dapat

sebagai sumber penularan. Dalam waktu satu minggu setelah digigit nyamuk

tersebut, orang tersebut akan dapat menderita penyakit demam berdarah dengue.

Sampai saat ini belum ada vaksin untuk pencegahan penyakit DBD, dan belum

ada obat obatan khusus untuk pengobatannya. Dengan demikian pengendalian

DBD tergantung pada pengendalian nyamuk Aedes spp ( Depkes RI, 2005 )

Ada empat cara untuk memutuskan rantai penyakit DBD yaitu melenyapkan

virus, isolasi penderita, mencegah gigitan vector, pengendalian vector ( cara

kimia, pengelolaan lingkungan misalnya PSN ). Pengendalian vector demam

berdarah dengue telah lama dilakukan di Indonesia, karena cara ini dianggap

paling efektif untuk memutuskan mata rantai penurunan penyakit. Cara

pengendalian vector yang paling banyak dilakukan adalah dengan menggunakan

insektisida.

Page 3: Pusk Pnltian

Pemerintah dan masyarakat telah berusaha dalam mengantisipasi kenaikan

dan penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue ini. Program pencegahan dan

pemberantasa penyakit Demam Berdarah dengue secara intensif telah dilakukan

dengan penanggulangan focus dalam penyemprotan, abatesasi dan PSN. PSN (

Pemberantasan Sarang Nyamuk ) yang dilakukan lewat 3M ( Menguras bak

mandi, menutup tendon air dan mengubur barang bekas yang dapat menampung

air hujan). PSN diintensifkan lewat kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB)

dengan merekrut Juru Pemantau Jentik ( Jumantik ). Penilaian yang dilakukan

oleh para kader dan petugas puskesmas mengenai angka bebas jentik,

menunjukkan hasil yang bagus, akan tetapi, angka kejadian DBD tetap tinggi.

Pembersihan Sarang Nyamuk ( PSN ) DBD ditujukan kepada upaya PSN di

lingkungan rumah dan Sekolah Dasar, hal ini dikarenakan pada umumnya kasus

DBD yang menjadi korban adalah anak. Sebagaimana yang ditunjukkan penelitian

yang dilakukan Thomas suroso (1991) bahwa sebagian besar (80%) kasus DBD

adalah anak usia dibawah 15 tahun. Sementara itu sri Rezeki Harun (1991) dalam

penelitiannya juga menunjukkan bahwa kelompok umur yang terbanyak dirawat

adalah kelompok umur 1 – 9 tahun.

Pada tahun 2010, terjadi angka insidensi yang tinggi tentang DBD didaerah

Bangunharjo Bantul dengan 17 dusunnya, mencapai angka 103 kasus DBD

selama tahun 2010. Padahal jika melihat angka bebas jentik ( ABJ ) dari wilayah

tersebut, tergolong cukup tinggi, dengan rata – rata 78,75 %. Dan pada tahun

2011, angka kejadian DBD di dusun tersebut mulai menurun dengan angka

kejadian selama 1 tahun tersebut sebesar 11 kasus.

Page 4: Pusk Pnltian

B. PERUMUSAN MASALAH

Seperti yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu :

mengapa angka kejadian DBD masih tinggi ketika Angka Bebas Jentik juga

tinggi, dimana seharusnya kejadian DBD berbanding terbalik dengan nilai ABJ.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, apakah terdapat faktor-

faktor yang menyebabkan angka kejadian DBD masih tinggi ketika Angka bebas

Jentik tinggi, ataukah terdapat kesalahan dari pelaksanaan program-program yang

telah dilakukan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya :

1. Memberikan informasi mengenai evaluasi program penanggulangan DBD.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat, kader puskesmas, tenaga

kesehatan puskesmas dan pemerintah mengenai kemungkinan faktor

penyebab tidak sesuainya outcome dari program yang dilakukan untuk

menanggulangi DBD

Page 5: Pusk Pnltian

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh

virus dengue yang ditandai dengan demam tinggi mendadak disertai

manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan dan kematian.

B. Epidemiologi

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang

dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu

infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit

demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai

demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi

menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan

nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya

merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi

sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan

manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina.

Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia,

dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan

Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus

DBD sangat kompleks, yaitu

Page 6: Pusk Pnltian

(1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi,

(2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali,

(3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan

(4) Peningkatan sarana transportasi.

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor

antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus

dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.

Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan

Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit

terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di

seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian

luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada

tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola

berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara.

Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk

Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia,

karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola

waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada

umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus

sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

C. Etiologi

Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal, genus flavivirus,

terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, 2, 3 dan 4. Struktur antigen ke-4 serotipe

Page 7: Pusk Pnltian

ini sangat mirip satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-

masing serotipe tidak dapat saling memberikan perlindungan silang.. Variasi

genetik yang berbeda pada ke-4 serotipe ini tidak hanya menyangkut antar

serotipe, tetapi juga didalam serotipe itu sendiri tergantung waktu dan daerah

penyebarannya. Pada masing-masing segmen codon, variasi diantara serotipe

dapat mencapai 2,6 - 11,0 % pada tingkat nukleotida dan 1,3 - 7,7 % untuk

tingkat protein (Fu et al, 1992)

D. Penularan

MEKANISME cara penularan yang terjadi dalam kasus DBD melalui 4

tahapan, yakni:

a. Masa Penularan Pada Manusia :

Orang yang terinfeksi DBD, yang masih dalam periode 3-7 hari setelah

demam, kemudian digigit oleh nyamuk Aedes betina, lalu nyamuk itu

menyebarkan virus DBD di dalam tubuhnya.

b. Masa Inkubasi Pada Nyamuk :

Nyamuk menggigit tubuh manusia yang telah terinfeksi virus Dengue,

kemudian virus tersebut terinkubasi di dalam tubuh nyamuk selama 7 hari.

c. Masa Peyebaran Penyakit :

Hanya dalam 7 hari nyamuk yang membawa virus Dengue, dapat

menyebarkan penyakit DBD kedalam tubuh manusia

d. Masa Penularan Kepada Orang Baru :

Masa inkubasi pada pasien baru terjadi dalam waktu 3-14 hari (rata-rata 4-

7 hari). Selama masa ini, belum menampakkan gejala penyakit.

Page 8: Pusk Pnltian

E. Patogenesis

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel

hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel

manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan

protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila

daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun

bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan

bahkan dapat menimbulkan kematian. Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom

syok dengue) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang

banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori

secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.

Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami

infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog

Page 9: Pusk Pnltian

mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.

Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang

akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang

kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama

makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan

oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.

Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu

proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam

sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi

mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary

heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh

Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue

yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan

terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi

limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.

Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang

bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini

akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus

antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem

komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan

peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma

Page 10: Pusk Pnltian

dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok

berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan

berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan

adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan

terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang

tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia,

yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting

guna mencegah kematian.

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus

binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu

virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh

nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat

menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi

dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain

virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua

hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

Page 11: Pusk Pnltian

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-

antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi

trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel

pembuluh darah . Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada

DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-

antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di

phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan

trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi

trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet

faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi

intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen

degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Page 12: Pusk Pnltian

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,

sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik.

Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman

sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas

kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada

DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat

KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya,

perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

F. Klasifikasi

Berdasarkan kapasitas diagnosis

Tersangka Demam Berdarah (TDBD)

Panas tinggi akut, perdarahan pada uji torniquet, tidak disertai gejala lain.

Page 13: Pusk Pnltian

Demam dengue

Panas akut 2-7 hari, dengan manifestasi seperti adanya sakit kepala, sakit

belakang bola mata, mialgia, atralgia, rash, manifestasi perdarahan dan

leukopenia. Tidak terbukti adanya kebocoran plasma dan tidak terbukti

diagnosis klinis yang lain.

Demam Berdarah Dengue

Minimal kriteria yang harus dipenuhi:

a. Panas dan riwayat demam akut berlangsung 2-7 hari, kadang bifasik.

b. Tendensi perdarahan dibuktikan dengan paling sedikit satu dari uji

torniquet, adanya ptekie, purpura, perdarahan gastrointestinal,

perdarahan pada tempat injeksi atau tempat lain, hematemesis, dan

atau melena.

c. Trombositopenia (< 100.000/mm3)

d. Adanya bukti kebocoran plasma yang terjadi karena kenaikan

permeabilitas kapiler dengan manifestasi sebagai berikut:

Peningkatan Ht > 20% di atas rata-rata umur, seks, dan populasi

Turunnya hematokrit setelah dilakukan volume replacement

terapi > 20% dari data dasar.

Bukti kebocoran plasma misalnya: efusi pleura, ascites dan

hipoproteinemia.

Menurut derajat penyakitnya

Derajat I

Demam, uji torniquet positif dengan gejala yang tidak spesifik.

Page 14: Pusk Pnltian

Derajat II

Derajat I + perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lainnya.

Derajat III

Kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi lembut, hipotensi, takikardia,

kulit dingin dan lembab, anak gelisah.

Derajat IV (Dengue Shock Syndrome)

Renjatan berat, nadi tidak teraba, tensi tidak terukur

G. Langkah diagnosis

Pemeriksaan klinis : Badan panas, adanya manifestasi perdarahan,

ditemukan adanya tanda efusi, hepatomegali,

kegagalan sirkulasi.

Pemeriksaan laboratorium : Uji torniquet, hematokrit dan hitung

trombosit secara berkala, serta pemeriksaan

serologi, pemeriksaan LPB, albumin darah, CT, BT,

PT, dan PTT serta gambaran darah tepi

Pemeriksaan Penunjang : foto thoraks pada dispnu untuk menelusuri

penyebab lain disamping efusi pleura, USG bila ada

dapat dipakai untuk memeriksa efusi pleura

minimal.

Indikasi rawat bila:

Penderita tersangka demam berdarah derajat I dengan panas 3 hari atau

lebih sangat dianjurkan untuk dirawat.

Page 15: Pusk Pnltian

Tersangka demam berdarah derajat I disertai dengan hiperpireksia atau

tidak mau makan atau muntah-muntah atau kejang atau Ht cenderung

meningkat dan trombosi cenderung menurun.

Penderita tersankat demam berdarah derajat I yang tampak gelisah, nadi

cepat dan kecil, tangan dingin, tekanan darah dan oliguria

Seluruh penderita demam berdarah derajat II, III, dan IV.

H. Komplikasi

Perdarahan masif, ensefalopati, edema paru, DIC dan efusi pluera.

I. Prognosis

Angka kematian di Indonesia secara keseluruhan < 3%. Angka kematian

DSS di Rumah Sakit 5-10%. Kematian meningkat jika disertai komplikasi.

DBD yang berlanjut pada syok atau penderita dengan komplikasi sulit

diramalkan, sehingga harus berhati-hati dalam melakukan penyuluhan.

J. Uraian Pencegahan dan Pemberantasan penyakit DBD

Pendekatan terpadu terhadap pengendalian nyamuk sekarang ini adalah

dengan menggunakan metode yang tepat (lingkungan, biologi dan kimiawi)

yang aman, murah dan ramah lingkungan.

Kegiatan pemberantasan vektor penular penyakit DBD meliputi:

penyelidikan epidemiologi,

penanggulangan fokus,

larvasiding,

pemeriksaan jentik berkala,

pemberantasan sarang nyamuk.

Page 16: Pusk Pnltian

1. Penyelidikan Epidemiologi

Penyelidikan Epidemiologi (PE) adalah kegiatan pencarian

penderita/tersangka DBD lainnya serta pemeriksaan jentik nyamuk

penular DBD di rumah penderita/tersangka dan rumah-rumah

sekitarnya dengan radius sekurang-kurang 100 meter (± 20 rumah),

serta tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan

penyakit lebih lanjut. Kegiatan PE dilakukan oleh petugas Puskesmas.

Maksud dari PE adalah:

Mengetahui ada/tidaknya kasus DBD tambahan dan luas

penyebaran.

Mengetahui kemungkinan terjadinya penyebarluasan penyakit

DBD lebih lanjut di lokasi tersebut.

2. Penanggulangan Fokus

Penanggulangan fokus adalah kegiatan penyemprotan insektisida

dan PSN-DBD serta penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan

radius 200 meter, dilaksanakan 2 siklus dengan interval 7 hari oleh

petugas. Penanggulangan fokus ini dilakukan dengan meksud untuk

mencegah/membatasi penularan penyakit.

Page 17: Pusk Pnltian

Penyelidikan epidemiologi

Ada penderita DBD lain atau 3 kasus penderita panas

tanpa jelas penyebabnya dan ada jentik

Penderita/tersangka DBD

YA TIDAK

BAGAN PENANGGULANGAN FOKUS

Langkah-langkah pelaksanaannya:

Membuat peta (mapping) daerah yang akan ditanggulangi

Membuat tabel rumah per RT.

Hitung kebutuhan insektisida, bahan pelarut, peralatannya dan biaya

operasional.

3. Larvasiding

Larvasiding adalah pemberantasan jentik dengan bahan kimia

dengan menaburkan bubuk larvasida. Pemberantasan jentik Aedes aegypti

dengan bahan kimia terbatas untuk wadah (peralatan) rumah tangga yang

tidak dapat dimusnahkan, dibersihkan,dikurangi atau diatur. Dalam jangka

Penyuluhan PSN-DBD

fogging radius 200 meter

Penyuluhan PSN-

DBD

Page 18: Pusk Pnltian

panjang penerapan kegiatan larvasiding sulit dilakukan dan mahal.

Kegiatan ini tepat digunakan apabila survelans penyakit dan vector

menunjukkan adanya periode berisiko tinggi dan di lokasi dimana wabah

mungkin timbul. Menentukan waktu dan tempat yang tepat untuk

pelaksanaan larvasiding sangat penting untuk memaksimalkan

efektifitasnya.

Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah yang

dipakai untuk menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate 1%)

dan Insect growth regulators (pengatur pertumbuhan serangga)

Kegiatan larvasiding meliputi:

Abatisasi selektif

Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat

penampungan air (TPA) baik didalam maupun diluar rumah pada seluruh

rumah dan bangunan di desa/kelurahan endemis dan sporadik dan

penaburan bubuk abate (larvasida) pada TPA yang ditemukan jentik dan

dilaksanakan 4 kali setahun. Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah

dilatih oleh petugas Puskesnas. Tujuan pelaksanaan abatisasi selektif

adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam

PSN-DBD.

Abatisasi massal

Abatisasi massal adalah penaburan abate atau altosid

(larvasida)secara serentak diseluruh wilayah/daerah tertentu disemua TPA

baik terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh rumah/bangunan.

Page 19: Pusk Pnltian

Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan dilokasi terjadinya KLB DBD.

Dalam kegiatan abatisasi massal masyarakat diminta partisipasinya untuk

melaksanakan pemberantasan Aedes aegypti di wilayah masing-masing.

Tenaga di beri latihan sebelum melaksanakan abatisasi.

4. Pemeriksaan Jentik Berkala

Kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan kegiatan

pengamatan dan pemberantasan terhadap vector penular DBD. Definisi

operasional PJB adalah kegiatan pemeriksaan pada tempat penampungan

air dan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti untuk

mengetahui adanya jentik nyamuk tersebut yang dilakukan secara teratur 3

bulan sekali. Sasaran wilayah kegiatan PJB adalah rumah dan tempat

umum.

5. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD

Cara memberantas nyamuk Aedes aegypti yang tepat guna ialah

dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu kegiatan

memberantas jentik di tempat berkembangbiaknya baik dengan cara kimia,

yaitu dengan larvasida, biologi dengan cara memelihara ikan pemakan

jentik atau dengan bakteri ataupun dengan cara fisik yang kita kenal

dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) yakni menguras

bak mandi, bak WC; menutup TPA rumah tangga (tempayan, drum dll)

serta mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dll).

Page 20: Pusk Pnltian

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif untuk

mengetahui hubungan Nilai Angka Bebas Jentik dengan Angka Kejadian

Demam Berdarah di wilayah kerja Puskesmas Sewon 2 Bantul serta

evaluasi dari program – program penanggulangan DBD.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sewon 2 Bantul

pada bulan November 2011.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian yaitu keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini mencakup

data sekunder tentang angka bebas jentik, angka kejadian demam

berdarah dan nilai curah hujan diwilayah bantul, serta warga di

seluruh wilayah kerja Puskesmas Sewon 2 Bantul.

2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian yaitu objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Sampel dalam penelitian ini

Page 21: Pusk Pnltian

yaitu data sekunder tentang angka bebas jentik, angka kejadian

demam berdarah dan curah hujan wilayah bantul, serta warga di dusun

randubelang, saman, jotawang, wojo dan saman mulai tahun 2006

sampai dengan 2011.

3. Besar Sampel

Besar sampel yang didapatkan adalah nilai ABJ dan angka kejadian

DBD dalam ke 5 dusun tersebut dalam 2 tahun terakhir, yaitu pada

tahun 2010 dan 2011 dan data curah hujan wilayah bantul pada tahun

2010 dan 2011, serta perwakilan warga dari 5 dusun tersebut diambil

secara acak.

D. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel

Variabel penelitian ini terdiri dari :

a) Variabel dependent yaitu Angka Kejadian Demam Berdarah

b) Variabel independent yaitu Angka Bebas Jentik dan Curah

Hujan

2. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini yaitu :

Demam Berdarah : penyakit demam akut yang disebabkan oleh

virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui

gigitan nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti atau

Aedes albopictus.

Page 22: Pusk Pnltian

Angka Bebas Jentik : Angka yang menunjukkan jumlah rumah

atau bangunan yang tidak ditemukan jentik baik di dalam maupun

di luar rumah dibagi jumlah rumah yanng diperiksa dikalikan

seratus persen. Angka bebas jentik yang diharapkan adalah lebih

besar atau sama dengan 95% (Dinkes, 2006).

Curah Hujan : Jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar

selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi ( mm )

diatas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi (

penguapan), runoff (mengalir) dan ifiltrasi (meresap).

3. Instrumen Penelitian

a) Pembuatan kuesioner

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari

beberapa pernyataan.

b) Pengisian kuesioner oleh subyek penelitian

Pengisian kuesioner dilakukan oleh subyek penelitian yaitu

perwakilan keluarga yang telah mengisi informed consent/ lembar

persetujuan dan mencantumkan identitas pada lembar kuesioner

dengan didampingi oleh peneliti.

c) Pengolahan data

Data yang diperoleh berupa data numerik tentang kejadian demam

berdarah di 5 dusun selama 6 tahun terakhir, data numerik angka

bebas jentik pada tahun 2010 dan 2011, data numerik curah hujan

Page 23: Pusk Pnltian

wilayah bantul tahun 2010 dan 2011, serta hasil kuisioner dari

perwakilan masyarakat tentang PSN.

4. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan kuesioner untuk mengetahui jadwal

PSN dan data skeunder dari puskesmas, mengenai angka kejadian

demam berdarah dan angka bebas jentik.

5. Analisa Data

Analisa dan pengolahan data selanjutnya akan diolah menggunakan

metode deskriptif statistic.

6. Etika Penelitian

Penelitian ini berpedoman pada prinsip-prinsip etika penelitian, yaitu :

a) Informed Consent

Calon responden diberikan penjelasan mekanisme penelitian

sehingga mampu memahami dan diharapkan dapat berpartisipasi

secara sukarela tanpa adanya unsur paksaan. Kemudian bagi calon

responden yang bersedia menjadi subyek penelitian akan diberikan

informed consent atau lembar persetujuan menjadi responden yang

ditanda tangani oleh calon responden tersebut.

Page 24: Pusk Pnltian

b) Confidentially

Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang diberikan oleh

subyek peneliti. Informasi yang diberikan oleh responden hanya

digunakan untuk keperluan peneliti ilmiah dan tidak dimanfaatkan

untuk kepentingan yang lain.

Page 25: Pusk Pnltian

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Dilakukan pengambilan data sekunder dari basis data Puskesmas Sewon II

mengenai sebaran penderita penyakit demam berdarah dengue selama 6 tahun

terakhir, data yang diperoleh meliputi Dusun Randubelang sebagai dusun yang

kita teliti, serta 4 dusun disekitarnya yang mengelilingi dusun randubelang.

Sebagai berikut :

NO DUSUN TAHUN

2006 2007 2008 2009 2010 2011

1 JOTAWANG 1 1 9 5 3 1

2 SALAKAN 2 2 3 4 13 0

3 RANDUBELANG 2 6 4 6 4 1

4 WOJO 3 6 5 3 6 0

5 SAMAN 5 1 2 5 14 1

JUMLAH 13 16 23 23 40 3

Tabel 4.1 : Persebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun

2006-2011

Grafik 4.1 : Persebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Puskesmas Sewon II

Tahun 2006-2011

0

5

10

15

2006 2007 2008 2009 2010 2011

AN

GK

A K

EJA

DIA

N

TAHUN

PERSEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

JOTAWANG

SALAKAN

RANDUBELANG

WOJO

SAMAN

Page 26: Pusk Pnltian

Grafik 4.2 : Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun 2010

Grafik 4.3 : Penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun

2011

3

13

4

6

14

0

2

4

6

8

10

12

14

16

AN

GK

A K

EJA

DIA

N

DUSUN WILAYAH PUSKESMAS SEWON 2

PERSEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE 2010

1

0

1

0

1

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

AN

GK

A K

EJA

DIA

N

DUSUN WILAYAH PUSKESMAS SEWON 2

PERSEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE 2011

Page 27: Pusk Pnltian

Pada fokus pengamatan insidensi Demam Berdarah Dengue pada tahun

2010 dan 2011, didapatkan variasi jumlah kasus dari ke 5 dusun di desa

bangunharjo. Tahun 2010, di dusun jotawang terdapat 3 kasus DBD, kemudian

secara berturut, salakan 13 kasus, randubelang 4 kasus, wojo 6 kasus dan saman

14 kasus. Untuk tahun 2011, terdapat penurunan yang cukup jauh dari tahun

sebelumnya, dimana dusun jotawang terdapat 1 kasus, kemudian secara berturut-

turut, salakan 0 kasus, randubelang 1, wojo 0 kasus dan saman 1 kasus.

Selain mendapatkan data tentang persebaran penyakit DBD, dikumpulkan

juga data mengenai Monitoring Pemberantasan Sarung Nyamuk yang dilakukan

oleh puskesmas sewon II pada tahun 2010 dan 2011 terhadap 5 dusun tersebut,

data yang diperoleh sebagai berikut :

HASIL MONITORING PSN OLEH TIM KECAMATAN

DI WILAYAH PUSKESMAS SEWON II TAHUN 2010

LOKASI DUSUN RUMAH

DIPERIKSA

BEBAS

JENTIK

POS

JENTIK

ABJ

%

Insidensi

DBD

JOTAWANG 35 28 7 80,00 3

SAMAN 39 28 11 71,79 14

RANDUBELANG 59 55 4 93,22 4

SALAKAN 19 16 3 84,21 13

WOJO 45 39 6 86,67 6

Tabel 4.2 : Monitoring PSN Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun 2010

Dari table diatas, dapat kita perhatikan hubungan antara nilai ABJ dengan

insidensi DBD pada tahun yang sama, dusun jotawang dengan ABJ 80% dengan

insidensi 3 kasus, saman 71,79% dengan insidensi 14 kasus, randubelang 93,22%

dengan insidensi 4, salakan 84,21% dengan insidensi 13 kasus dan wojo 86,67%

dengan insidensi 6 kasus.

Page 28: Pusk Pnltian

Grafik 4.4 : Perentase Nilai ABJ di Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun 2010

HASIL MONITORING PSN OLEH TIM KECAMATAN

DI WILAYAH PUSKESMAS SEWON II TAHUN 2011

LOKASI DUSUN RUMAH

DIPERIKSA

BEBAS

JENTIK

POS

JENTIK

ABJ

%

Insidensi

DBD

RANDUBELANG 68 56 12 82,30 1

SAMAN 53 41 12 77,00 1

SALAKAN 38 27 11 71,00 0

JOTAWANG 36 30 6 82,20 1

WOJO 33 27 6 81,82 0

Tabel 4.3 : Monitoring PSN Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun 2011

Dari table diatas, dapat kita perhatikan hubungan antara nilai ABJ dengan

insidensi DBD pada tahun yang sama, dusun jotawang dengan ABJ 82,20%

dengan insidensi 1 kasus, saman 77% dengan insidensi 1 kasus, randubelang

82,30% dengan insidensi 1, salakan 71% dengan insidensi 0 kasus dan wojo

81,82% dengan insidensi 0 kasus

80,0084,21

93,22

86,67

71,79

50,00

60,00

70,00

80,00

90,00

100,00

AN

GK

A A

BJ

(%)

DUSUN WILAYAH PUSKESMAS SEWON 2

PERSENTASE NILAI ABJ2010

ABJ

Page 29: Pusk Pnltian

Grafik 4.4 : Perentase Nilai ABJ di Wilayah Puskesmas Sewon II Tahun 2011

Setelah mendapatkan data sekunder mengenai Insidensi DBD dan NIlai ABJ

dari kelima dusun, dilakukan juga pengambilan data melalui kuisioner, mengenai

jadwal PSN di dusun randubelang. Dari 20 responden yang diambil secara

random, didapatkan jadwal 18 orang menyatakan melakukan PSN dalam rumah

1x dalam seminggu, 3 diantaranya memilih hari sabtu dan 15 lainnya memilih hari

minggu. 2 orang menyatakan melakukan PSN dalam rumah 2x seminggu dan

memilih hari senin dan jumat.

Sedangkan jadwal PSN yang dilakukan di beberapa RT di dusun randubelang,

dari 20 perwakilan, 4 responden menyatakan tidak tentu melaksanakan kerjabakti

RT ny, 14 responden menyatakan melakukan kerja bakti 1x dalam sebulan

dilakukan di hari minggu, sedangkan 2 responden lainnya menyatakan melakukan

kerjabakti 2x dalam sebulan dan dilakukan tiap hari minggu juga.

82,20

71,00

82,30 81,82

77,00

60,00

65,00

70,00

75,00

80,00

85,00

90,00

AN

GK

A A

BJ

(%)

DUSUN WILAYAH PUSKESMAS SEWON 2

PERSENTASE NILAI ABJ2011

ABJ

Page 30: Pusk Pnltian

Hasil pendataan jadwal Pemberantasan sarang nyamuk di dusun randubelang

1x

Seminggu Sabtu Minggu

2x

seminggu Senin Jumat

PSN dalam rumah pribadi 18 3 15 2 2 2

Tabel 4.4 : Jadwal PSN di rumah pribadi warga dusun randubelang

Tidak Tentu 1x Sebulan 2x Sebulan Minggu

PSN dalam dusun randubelang 4 14 2 16

Tabel 4.5 : Jadwal PSN kerja bakti warga dusun randubelang

Dari BPS ( Balai Pusat Statistika ) jogjakarta, didapatkan nilai curah hujan

untuk wilayah bantul dan sekitarnya untuk tahun 2010 sebesar, 213,51 mm dan

untuk 2011 sebesar 235,42 mm. Curah hujan disini dianggap sebagai faktor yang

tidak dapat kita kendalikan sebagai salah satu faktor untuk meningkatkan

insidensi DBD, karna dengan besarnya curah hujan, maka iklim atau suasana yang

terjadi sangat mendukung untuk vector nyamuk aedes aegypti tuk berkembang.

Didapatkan juga informasi dari beberapa perwakilan RT di dusun

randubelang melaluli diskusi, mengenai beberapa hal, diantaranya ketika

pelaksanaan foging di dusun mereka, masih terdapat beberapa warga yang tidak

mau membuka rumahnya untuk dilakukan foging, karena mereka beranggapan

rumah mereka sudah bersih dan bebas dari sarang nyamuk. Selain itu, karena

pelaksanaan foging yang dilakukan sekitar jam 06.00 pagi, sebagian bangunan

yang dipakai untuk home industry masih belum terbuka. Sehingga foging yang

dilakukan masih belum maksimal efektifitasnya. Terdapat usulan juga untuk

mengganti bak mandi yang selama ini dipakai di rumah warga dengan ember,

sehingga mengurangi kemungkinan tempat – tempat yang berpotensi digunakan

sebagai tempat sarang nyamuk dengan adanya genangan air.

Page 31: Pusk Pnltian

B. Pembahasan

Angka bebas jentik (ABJ) merupakan angka yang menunjukkan jumlah

rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik baik di dalam maupun di luar

rumah dibagi jumlah rumah yang diperiksa dikalikan seratus persen. Angka bebas

jentik yang diharapkan adalah lebih besar atau sama dengan 95%. ABJ merupakan

salah satu indikator untuk insidensi Demam Berdarah, dimana jika nilai ABJ

bagus atau mendekati nilai yang diharapkan yaitu ≥ 95%, maka nilai insidensi

DBD juga akan semakin berkurang sampai Nol.

Pihak dinas kesehatan dan puskesmas telah memiliki beberapa program

yang dilakukan yang juga melibatkan masyarakat terutama kader-kader nya untuk

menanggulangi kejadian DBD. Diantaranya adalah program jumantik kader, Juru

Pemantau Jentik ( Jumantik ) kader, melakukan pemeriksaan jentik-jentik nyamuk

diwilayahnya yang dilakukan 1x seminggu dan kemudian dilaporkan secara

berkala kepihak puskesmas, kemudian terdapat program jumantik berkaladan

Monitoring PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk), yang dilakukan oleh pihak

puskesmas sendiri, dilakukan tiap bulan atau pertiga bulan.

Selain program pemberantasan, dilakukan juga program penyelidikan

epidemiologi. Penyelidikan Epidemiologi (PE) adalah kegiatan pencarian

penderita atau tersangka DBD lainnya serta pemeriksaan jentik nyamuk penular

DBD di rumah penderita/tersangka dan rumah-rumah sekitarnya dengan radius

sekurang-kurang 100 meter (± 20 rumah), serta tempat umum yang diperkirakan

menjadi sumber penularan penyakit lebih lanjut. Maksud dari PE adalah:

Mengetahui ada atau tidaknya kasus DBD tambahan dan luas penyebaran. Serta

Page 32: Pusk Pnltian

mengetahui kemungkinan terjadinya penyebarluasan penyakit DBD lebih lanjut di

lokasi tersebut. Dan juga tidak melupakan upaya pemberdayaan masyarakat

secara menyeluruh, mulai dari tingkat RT, Dusun, Desa dan seterusnya, juga

kerjasama lintas sektoral untuk selalu mengoptimalkan dan meningkatkan upaya

pencegahan demam berdarah.

Program – program tersebut telah dilakukan oleh puskesmas dan semua

lapisan masyarakat. Akan tetapi dari hasil pengamatan yang telah dilakukan,

ditemukan ketidaksesuaian dengan teori yang ada. Dimana seharusnya nilai ABJ

berbanding terbalik dengan insidensi DBD. Pada tahun 2010, terdapat perbedaan

antara 2 dusun, saman dan salakan, dimana ABJ dusun tersebut secara berturut-

turut 71,79% & 84,00% dengan insidensi DBD yang tidak jauh berbeda, dimana

saman dengan 14 kasus dan salakan 13 kasus. Pada tahun 2011, dusun jotawang

dan randubelang dengan ABJ 82,20% & 82,30% dengan insidensi DBD masing-

masing 1 kasus, dibandingkan dengan dusun salakan dengan nilai ABJ yang lebih

rendah, 71,00% akan tetapi nilai insidensi 0 kasus.

Ketidaksesuaian nilai ABJ yang dijadikan sebagai indikator insidensi DBD

bisa diasumsikan karena faktor laen diluarnya, bisa karena jadwal pelaksanaan

PSN dari masing – masing warga yang tidak serentak dan mayoritas dilakukan 1x

seminggu, padahal kita mengetahui bahwa siklus hidup vector nyamuk aedes

aegypti adalah dari telur menjadi larva 5 – 7 hari, kemudian larva menjadi pupa 1

– 2 hari, kemudian menjadi nyamuk dewasa dengan mampu bertahan selama 14

hari, sehingga kita dapat mengasumsikan bahwa PSN yang ideal untuk memutus

rantai vector tersebut adalah 2 x dalam seminggu dan dilakukan serentak.

Page 33: Pusk Pnltian

Serentak yang dimaksud tidak hanya dalam satu RT atau dusun, akan tetapi juga

wilayah sekitar dari dusun yang laen, mengingat radius kemampuan terbang

nyamuk aedes aegypti adalah 100 – 200 meter. Terdapat kemungkinan vector

nyamuk bisa berasal dari daerah lain dan saling mempengaruhi daerah – daerah

disekitarnya untuk terjangkit DBD meskipun pada dasarnya nilai ABJ daerah

tersebut bagus, tetapi terpengaruh dari ABJ rendah daerah disekitarnya.

Gambar 4.1 : Peta Wilayah Kecamatan Sewon dan persebaran insidensi DBD tahun 2010

Gambar 4.2 : Peta Wilayah Kecamatan Sewon dan persebaran insidensi DBD tahun 2011

82

81

77

82

71

1

0

0

1

1

80

86

71

93

84

4

13

6

3

14

Page 34: Pusk Pnltian

Kedua gambar diatas, menjelaskan bahwa ketidaksesuaian nilai ABJ dengan

insidensi DBD, yang berdasarkan teori adalah saling berbanding terbalik. Data

tersebut menyampaikan bahwa tidak selalu nilai ABJ bagus, maka nilai insidensi

DBD akan rendah.

Mengacu pada nilai curah hujan diwilayah bantul pada tahun 2010 dan 2011

yang didapatkan dari BPS, terjadi peningkatan jumlah curah hujan dari tahun

2010 sebesar 213,51 mm menjadi 235,42 mmpada tahun 2011, akan tetapi

insidensi dari DBD jika dibandingkan dengan curah hujan yang terjadi,

berbanding terbalik, pada tahun 2010 insidensi DBD yang terjadi sebanyak 103

kasus, sedangkan 2011 sebanyak 11 kasus. Hal ini bisa memberikan arti kepada

kita bahwasanya program PSN yang dilakukan selama 2011 sudah mampu untuk

menanggulangi insidensi DBD dengan turun nya angka kejadian DBD pada tahun

tersebutbdibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Page 35: Pusk Pnltian

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pengamatan observasional data sekunder mengenai insidensi

DBD dan Nilai ABJ dari dusun randubelang dan sekitarnya untuk tahun 2006 –

2011, serta observasi mengenai jadwal PSN warga di dusunrandubelang, dapat

diambil kesimpulan :

Dapat diasumsikan bahwa ketidaksesuaian nilai ABJ dengan

insidensi DBD disebabkan tidak serentaknya pelaksanaan PSN yang

berhubungan dengan siklus hidup vector Nyamuk Aedes Aegypti.

Kemungkinan nilai ABJ yang didapatkan, kurang valid dikarenakan

hanya dilakukan oleh kader dimasyarakat, tanpa ada pendampingan

dari pihak puskesmas secara berkala.

Jika melihat perbandingan dari kejadian DBD di desa bangunharjo selama 2

tahun terakhir dengan angka curah hujan diwilayah bantul pada tahun yang sama,

dapat disimpulkan bahwa program penanggulangan DBD berhasil dengan

menurunnya angka insidensi DBD disaat angka curah hujan tinggi.

B. SARAN

1. Saran untuk subyek penelitian :

a. Lebih meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam

pemberantasan sarang nyamuk.

Page 36: Pusk Pnltian

b. Melakukan PSN secara serentak ditiap-tiap rumah warga di

dusun tersebut dan dusun sekitarnya, yang dilakukan 2x

seminggu, dengan interval dilakukan di hari ke 3 dan ke 7.

c. Memulai swadaya insentif RT untuk program Jumantik dan PSN,

baik dari sisi SDM dan operasional.

d. Penggunaan - penampungan air yang tertutup dan atau bak

mandi yang tidak permanen ( ember ).

2. Saran untuk puskesmas :

a. Mengawal dan melakukan pendampingan terhadap kader dan

masyarakat pada pelaksanaan PSN tiap bulannya.

b. Penambahan SDM petugas puskesmas untuk memaksimalkan

pendampingan PSN di tiap – tiap RT di tiap bulannya.

c. Menambahkan jumlah TIM Monitoring PSN puskesmas

sehingga jumlah dusun yang tercakup lebih banyak dan sering.

d. Meningkatkan efektifitas dan kemampuan kader agar informasi

yang didapat bisa dipertangungjawabkan.

e. Memberikan intensif terhadap para kader, agar tingkat keseriusan

saat bertugas tidak terpengaruh.