Post on 25-Jul-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Tujuan
1. Mengetahui mekanisme patologi dari Myastenia Gravis.
2. Mengetahui mekanisme pengobatan Myastenia Gravis secara
imunofarmakologi.
B. Latar Belakang
Mistenia gravis merupakan penyakit autoimun, biasanya mengenai orang
berumur 20-40 tahun, dengan progresivitas kelemahan yang fluktuasi,
mengenai terutama otot okular, otot bulbus, dan otot tungkai proksimal (J. C.
E. Underwood, 2000). Pada penyakit ini terdapat antibodi terhadap reseptor
asetilkolin pada sinaps neuromuskular. Dapat disertai patologi timus, seperti
hiperplasia, atrofi, atau tumor-timoma (Lionel Ginsberg, 2005).
Mistenia gravis juga dikatakan penyakit autoimun dimana persambungan
otot dan saraf (neuromuscular junction) berfungsi tidak normal, menyebabkan
kelemahan otot menahun, kelemahan progresif dan sporadis, kelemahan
abnormal pada otot skeletal, dan bertambah buruk setelah latihan dan
pengulangan gerakan. Jumlah reseptor asetilkolin yang ditemukan pada kondisi
ini sedikit. Gangguan ini menyerang otot yang dikendalikan saraf kranial
(wajah, bibir, lidah, leher dan tenggorokan), dan dapat menyerang otot lain.
Penyakit ini juga berbahaya karena juga melibatkan sistem pernapasan.
Miastenia gravis merupakan juga kelainan antibody yang terjadi akibat
sel reseptor dari lapisan otot sehingga menjadi autoimmune. Autoimmune ini
menyerang pada beberapa lapisan otot sehingga terjadinya gejala dan tanda
umum dari Miastenia gravis .Semua otot yang ada ditubuh kita diaktifkan oleh
rangsangan syaraf yang berjalan sepanjang batang syaraf dari otak dan urat
syaraf tulang belakang . Bila rangsangan saraf mencapai persimpangan
neuromuscular , titik dari sambungan serabut saraf berakhir pada serabut otot ,
1
zat yang dihasilkan disebut Acetylcholine (AcH) , dimana reseptor pada
membrane otot yang diserang serta menghasilkan kontraksi otot .
C. Rumusan Masalah
1. Pengertian Myastenia Gravis?
2. Tanda dan gejala Myastenia Gravis?
3. Mekanisme terjadinya Myastenia Gravis?
4. Mekanisme pengobatan pada Myastenia Gravis?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Imunologi
Manusia dan binatang multiseluler, mempunyai daya faal untuk
mengenal bahan atau zat kimia yang dianggap “diri sendiri” (self) dan
membedakannya dari yang “asing” (non self). Kemampuan ini menjadi dasar
dari kekebalan, karena badan akan berusaha untuk mengeluarkan atau
memusnahkan bahan asing yang masuk ke dalam jaringan tubuh.
Sistem imun terdiri atas pelaksana, yaitu lekosit yang terdiri dari limfosit-
T/B (sel-T4/T8), NK cells, memory cells, dan granulosit (sel neutrofil,
eosinofil, dan basofil). Selain pelaksana, sistem imun juga didukung bahan-
bahan yang disekresi, yaitu cytokine: monokin dan limfokin (interferon,
interleukin, dan Tumor Necrosis Factor).
Dalam darah perifer terdapat tiga kelompok sel darah putih, yaitu
limfosit, granulosit, dan fagosit. Limfosit T mengalami maturasi dalam timus,
dan dibedakan menjadi sel T helper yang mengenali antigen, sel T supresor
yang mengatur, dan sel T sitotoksik yang langsung memusnahkan zat asing.
Selain itu, Natural Killer-Cells yang termasuk kelompok limfosit granuler
besar dapat melarutkan zat asing tanpa antibodi atau pengenalan antigen.
Sedangkan LAK (Lymphokin Activated Killercells) adalah NKcells yang
diaktivasi invitro. Limfosit B mengalami maturasi pada bursa fabrisius sel B
mengalami maturasi menjadi sel plasma, atau sel B memori di bawah pengaruh
makrofag. Antibodi yang disintesa dan dilepaskan dibagi menjadi 5 tipe
antibodi atau immunoglobulin, yaitu tipe IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM, yang
masing-masing mempunyai sifat spesifik tersendiri. Granulosit adalah lekosit
dengan granula dan polinuklear. Dikenal 3 kelompok granulosit, yaitu sel
neutrofil, basofil, dan eosinofil, yang juga disebut makrofag.
Cytokine adalah protein yang dibentuk tubuh dengan fungsi utama
berkomunikasi antara berbagai bagian dari sistem imun. Terutama dibentuk
oleh monocyte dan makrofag, tetapi juga limfosit, granulosit, hepatosit,
3
kreatinosit, fibroblast, dan sel-sel epitel yang dapat membentuknya. Contoh
lainnya adalah interferon, limfokin, dan monokin (Tjay dan Rahardja, 2006).
Tangkisan aspesifik bersifat umum dan tidak diarahkan pada suatu zat
asing tertentu atau perlu aktivasi terlebih dahulu seperti pada tangkisan
spesifik. Pemeran utama pada sistem tangkis ini adalah makrofag, dibantu oleh
neutrofil dan monocyte. Fungsi sel-sel ini adalah membasminya dengan jalan
fagositosis serta melontarkan sejumlah proses-tangkis, seperti reaksi
peradangan, pelepasan mediator, dan demam.
Tangkisan khas dilakukan oleh limfosit T dan B yang bekerja sama
secara erat, dengan limfo-T4 merupakan poros dari imunitas spesifik. Antigen
akan diproses oleh makrofag, kemudian akan dipresentasikan oleh Antigen
Presenting Cell (APC) kepada sel B dan sel T (Tjay dan Rahardja, 2006).
Tabel 2.1 Mekanisme Kerja Imunologi
Nonspesifik Spesifik
ResistensiTidak berubah oleh
infeksi
Membaik oleh infeksi berulang
(=memori)
Spesifitas
Umumnya efektif
terhadap semua mikroba
Spesifik untuk mikroba yang sudah
mensensitisasi sebelumnya
Sel yang
penting
Fagosit
Sel NK (Natural Killer)
Sel mast
Eosinofil
Sel T : T sitotoksik (Tc), T helper
(Th), T supresor (Ts), dan T dth
Sel B
Molekul yang
penting
Lisozim
Komplemen
APP (Acute Phase
Protein)
Interferon
CRP (C-Reactive
Antibodi
Sitokin
Mediator
Molekul adhesi
4
Protein)
Kolektin
Molekul adhesi
(Baratawidjaja, 2006).
B. Pengertian Miastenia Gravis
Miastenia gravis (MG) dengan nama-nama lain seperti asthenic bulbar
palsy, myasthenia gravis pseudoparalytica atau Goldflam's disease1 merupakan
kelainan neuromuscular junction (NMJ) yang paling banyak, ditandai dengan
kelemahan dan kelelahan otot skletal. Sebagian besar adalah penyakit
autoimun yang dimediasi oleh antibodi. Kerusakan yang mendasarinya adalah
berkurangnya jumlah reseptor asetilkolin (AchRs) yang tersedia pada NMJ
secara menyeluruh dan merusak membran postsinaptik
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular.
Miastenia gravis adalah gangguang yang memengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-
satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya terjadi
kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu
10-20 kali lebih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995). Karakteristik
yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi
kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial.
Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada
wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun.
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi
neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor
asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis
merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor
asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini
merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan.
(Chandrasoma dan Taylor, 2005).
BAB III
5
PEMBAHASAN
A. Anatomi, Fisiologis, Dan Biokimia Neuromuscular Junction
a. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang
tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu
sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuskular (Newton, 2008).
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian
pembentuk neuromuscular junction (Howard, 2008).
Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction
6
b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran
post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu
lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa
yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi (Newton, 2008).
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi
asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal
namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil,
yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir
motorik (motor end plate) (Howard, 2008)
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-
ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga
mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel
akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam
celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan
berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik
(Howard, 2008)
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
7
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal
(sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu
vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan
peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi
kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps
ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian
yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin
(AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.
Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini
akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor
yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end
plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di
dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut
saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif
di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin
(Murray, 1999).
8
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan
saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini
terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu
protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium
dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi
depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan
menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot
yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).
Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu
potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi
otot (Newton, 2008).
Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction
B. Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan
neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami
depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps.
Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng
akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi
9
dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan
disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi
yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati
hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase (Nicolle, 2002).
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita MG secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan MG.
10
Gambar 1 . Paut saraf otot normal. Diagram ini menggambarkan paut saraf
otot, menunjukkan ujung saraf presinaptik dan postsynaptic muscle endplate.
Gambar 2 . Mekanisme kerja antibodi anti-asetilkolin reseptor, ada tiga
kemungkinan
(A) antibodi reseptor asetilkolin memblokade cholinergic binding site dari
reseptor asetilkolin (AChR), mencegah asetilkolon berikatan dengan reseptor.
(B) antibodi reseptor asetilkolin melakukan cross-link dengan AChR terdekat,
meningkatkan laju internalisasi ke dalam otot.
(C) antibodi reseptor asetilkolin yang mengikat komplemen menyebabkan
destruksi muscle endplate dan menekan jumlah AChR.
Sumber9 : Nicolle Michael W. Myasthenia Gravis.The neurologist.vol 8,no 1
2002
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas
dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada
membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi.
Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps
menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah
motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah
asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps
motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi
otot tidak dapat berlangsung lama.
Neuromuscular junction terdiri dari membran presinaptik (membran
saraf), membran postsinaptik (membran otot) dan celah sinaps (ruang yang
berada diantara 2 membran). Pada neuromuscular junction, terminal
presinaptik berisi vesikel-vesikel yang didalamnya terdapat asetilkolin (ACh).
Saat terjadi potensial aksi, maka membran akson terminal presinaps ini akan
mengalami depolarisasi sehingga isi dari vesikel, yaitu ACh, akan di lepaskan
ke dalam celah sinaps. Molekul-molekul Ach ini akan mengalami proses difusi
melalui sinaps dan bergabung dengan AChRs di postsinaps membran. Struktur
dari ACh telah diuraikan secara penuh; terdiri atas 5 subunit (2α, 1β, 1δ, dan 1γ
11
atau ε). Ketika ACh digabungkan dengan subunit α dari reseptor ACh, channel
dalam AChR terbuka, menyebabkan masuknya dari kation, terutama Natrium,
yang menimbulkan terjadinya depolarisasi pada region end-plate dari serabut
otot. Bila terjadi depolarisasi yang cukup besar, maka akan menginisiasi
potensial aksi yang merambat di sepanjang serabut otot, yang merupakan
trigger terjadinya kontraksi otot. Proses ini akan diterminasi secara cepat
dengan hidrolisis dari ACh oleh acetylcholinesterase (AChE), yang berada
dalam lipatan sinaps, dan dengan difusi ACh agar menjauh dari reseptor.
Pada mistenia gravis, defek yang terjadi adalah penurunan jumlah
ketersediaan dari AChRs pada membran postsinaps atau karena lipatan
postsinaps yang datar. Perubahan ini menyebabkan penurunan efisiensi
transmisi neuromuscular. Oleh karena itu, walaupun ACh dikeluarkan dalam
jumlah normal, akan menghasilkan potensial end-plate yang kecil sehingga
gagal dalam trigger potensial aksi. Kegagalan transmisi pada sejumlah besar
neuromuscular junction akan menyebabkan terjadinya kelemahan kontraksi
otot.
Kelainan neuromuscular pada MG disebabkan oleh respon autoimun
yang diperantarai oleh anti body anti-AchRyang spesifik.antibody anti-AchR
mengurangi jumlah AchR yang tersedia pada persambungan neuromuscular
oleh tiga mekanisme yang berbeda :
1. reseptor asetilkolin dapat diturunkan derajatnya pada kecepatan yang
dipercepat oleh mekanisme yang melibatkan cross linking dan endositosis
reseptor yang cepat.
2. tempat aktif AChR yakni tempat yang secara normal mengikat Ach,dapat
diblok oleh antibody
3. membrane otot pasca sinaps dapat dirusak oleh antibody dalam kerjasama
dengan system komplemen.
Jumlah ACh yang dikeluarkan per impuls normalnya menurun pada
aktivitas yang berulang (disebut sebagai presynaptic rundown). Pada pasien
myastenic, penurunan efisiensi transmisi neuromuskuler dikombinasikan
dengan normal rundown menyebabkan aktivasi serabut otot yang makin lama
makin berkurang dan meningkatkan kelemahan, atau disebut myasthenic
12
fatique. Mekanisme ini juga yang berperan pada respon terhadap stimulasi
saraf yang repetitive pada tes electrodiagnostic. Abnormalitas muskuler pada
MG disebabkan oleh autoimmune response mediated spesifik anti-AChR
antibody.
Respon imun terhadap muscle specific kinase (MuSK) dapat juga
menyebabkan terjadinya miastenia gravis. MuSK bekerja untuk mengganggu
pada diferensiasi postsinaps dan sekelompok AChR. Biasanya terjadi pada
pasien dengan Seronegative Myasthenia Gravis (SNMG), yang mana pasien-
pasien ini tanpa antibodi anti-AChR.
Bagaimana respon autoimun diinisiasi dan dipertahankan pada MG
masih belum dapat dimengerti secara pasti. Akan tetapi, thymus nampaknya
memiliki peranan dalam proses ini. Pada 75% pasien dengan MG terdapat
thymus yang abnormal; 65% thymus “hyperplastic”, dengan adanya germinal
centers yang terdeteksi secara histologis, meskipun thymus yang “hyperplastis”
belum tentu membesar. Sebagai tambahan, 10% dari pasien memiliki thymic
tumors (thymomas). Muscle like cells dalam thymus (myoid cells), yang
memuat AChRs pada permukaannya, dapat menjadi sumber dari autoantigen
dan mentrigger reaksi autoimun di dalam kelenjar thymus.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara
radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara
histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya
kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria
yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan
penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-
menerus.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”,
dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor
asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin
menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait
dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma,
biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik (Small
George, 2003).
13
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam
berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan
area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding
site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor
asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi
anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada
membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis
(Howard, 2008)
C. Klasifikasi Miastenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), MG dapat
diklasifikasikan sebagai berikut
Klas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup
mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
Klas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya
kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Klas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga
terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Klas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih
ringan dibandingkan klas IIa.
Klas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan
otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat
sedang
KlasIII
a
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal
yang ringan
Klas
IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya
secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh,
14
otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
Klas
IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam
derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam berbagai derajat.
Klas
Iva
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau
otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam
derajat ringan
Klas
IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya
secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.
Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi
Klas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik
MG juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah
ini3 :
1. MG dengan ptosis atau diplopia ringan.
2. MG dengan ptosis, diplopia, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
3. MG yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.
D. Tanda dan Gejala
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu : Kelemahan local
yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira
33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot
lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang
ditemukan. Kesulitan mengunyah dan menelan. Pada 90% penderita, gejala
awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia.
Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu
sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular).
Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau
15
malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun.
Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari
sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari
kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau
bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi
pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator
palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada
miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua
belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis
Ciri-ciri utama adalah weakness dan fatigability dari otot. Kelemahan
bertambah selama penggunaan yang berulang (fatigue), dan dapat membaik
bila beristirahat atau tidur. Atau bisa dikatakan juga bahwa MG dikarakterisasi
oleh kelemahan yang asimetris dan fatigue dari otot skeletal, yang memburuk
pada aktifitas fisik dan membaik pada saat beristirahat.
Perjalanan MG sering bervariasi. Exacerbasi dan remisi dapat timbul,
terutama selama beberapa tahun awal setelah onset dari penyakit. Remisi
jarang menjadi lengkap atau permanen. Infeksi atau kelainan sistemik yang
tidak berelasi sering mengarah kepada bertambahnya kelemahan myasthenic.
Kelemahan sering timbul pertama kali pada otot- otot ekstraokuler dan
tetap terbatas di otot ekstraokuler pada 15% kasus (Ocular myasthenia), tapi
dapat progresif (generalized myasthenia). Otot-otot facial dan pharyngeal dapat
terkena, menyebabkan terjadinya ekspresi wajah yang kosong, dysarthria, sulit
mengunyah dan menelan, control muskuler yang buruk dari kepala, dan
rhinorrhea. Kelemahan respirasi yang mengarah kepada pelemahan dari batuk,
dan peningkatan resiko aspirasi. Dapat menjadi sulit bahkan tidak mungkin
untuk pasien berdiri, atau berjalan, dan dapat terjadi disability total.
Distribusi kelemahan otot sering memiliki pola yang khas. Secara lebih
jelasnya, muskulus craniales, terutama kelopak mata dan otot ekstraokuler,
sering timbul pada perjalanan awal dari MG, dan diplopia serta ptosis
merupakan keluhan inisial yang umum. Kelemahan facial menimbulkan
ekspresi wajah yang kosong saat pasien mencoba untuk tersenyum. Kelemahan
16
dalam mengunyah paling dapat diketahui setelah usaha yang lama, seperti
mengunyah daging. Dapat terjadi disarthria karena kelemahan otot lidah.
Kesulitan dalam menelan dapat timbul sebagai hasil dari kelemahan palatum,
lidah, atau faring, meningkatkan resiko terjadinya refurgitasi atau aspirasi
minuman ataupun makanan. Kelemahan bulbar terutama menonjol pada MuSK
antibody-positive MG. Pada 85% pasien, kelemahan menjadi bersifat general,
mempengaruhi otot-otot ekstremitas. Bila kelemahan tetap terbatas pada otot
ekstraokuler selama 3 tahun, sering tidak terjadi kelemahan yang bersifat
general (Ocular MG). Kelemahan otot dapat proksimal dan asimetris. Bila
kelemahan menjadi amat berat sampai melibatkan otot pernapasan, pasien
dikatakan masuk dalam tahap “crisis”.
E. Pengobatan dan Mekanisme
Tujuan pengobatan MG adalah untuk mencapai tiga tujuan penting: (1)
transmisi optimal neuromuscular, (2) Mengurangi atau menetralkan
konsekuensi dari reaksi autoimun, (3) Memodifikasi the natural history.
Miastenia gravis dapat diterapi dengan beberapa obat berikut, yaitu:
a. antikolinesterase, misal piridostigmin yang dapat memperbaiki gejala, dan
neostigmin untuk menghancurkan kolinesterase;
b. kortikosteroid, misal prednisolon diperlukan untuk penyakit yang sedang
hingga berat yang tidak responsif terhadap terapi lain;
c. imunosupresi, misal azatioprin, digunakan dalam kombinasi dengan
kortikosteroid untuk kekadaan berat;
17
d. timektomi jika terdapat timoma, dan pada pasien muda dilakukan pada awal
penyakit untuk mengurangi kebutuhan terapi medikamentosa, dan pada
sebagian kecil pasien untuk mencapai remisi total;
e. pertukaran plasma (plasmaferesis) atau imunoglobulin intravena untuk
persiapan timektomi dan pada penyakit sangat berat (Lionel Ginsberg,
2005).
a. Mekanisme Kortikosteroid, Azatioprin dan Siklosporin A.
Imunosupresi adalah usaha untuk menekan respon imun, jadi berfungsi
sebagai control negative atau regulasi reaktivitas imunologik. Dalam klinik
kegunaanya adalah untuk mencegah reaksi penolakan pada transplantasi organ
tubuh dan menekan serta menghambat pembentukan antibody pada penyakit
autoimun. Imunosupresi dapat dilakukan dengan obat imunosperesan, globulin
antilimfosit, radiasi dan tindakan operasi
Imunosupresi yang digunakan untuk miastenia gravis adalah
kortikosteroid, azatioprin dan siklosporin A.
1. Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid sebagai imunosupresan adalah melalui
aktivitas anti peradangan, menghambat asam arakidonat menurunkan populasi
leukosit, menimbulkan limfopenia terutama sel Th dan dalam dosis tinggi
menekan pengeluaran sitikin dari sel T. Kortikosteroid memiliki efek yang
kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap MG masih
belum diketahui. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T
helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell
yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam
memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada MG. Pasien yang
berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer
antibodinya.
2. Azathioprine dan siklosporin A
Azatioprin adalah inhibitor mitosis, bekerja pada fase S, menghambat
sintesis asam inosinat prekrusor purin asam adenilat dan giuanilat. Baik sel T
maupun sel B akan menghambat proliferasinya oleh azatioprin. Azatioprin
menghambat sintesis purin sel dan mengakibatkan hambatan penggadaan sel.
18
Azitioprin berperan menekan fungsi system imun seluler yang menurunkan
jumlah monosit dan fungsi sel K . pada dosis 1-5 mg/KgBB tidak berpengaruh
pada sistem imun humoral. Dengan menurunkan fungsi sistem selular ini maka
penerimaan transplan dipermudah dan timbul anergi. Kerugiannya adalah
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan kecenderungan timbul
keganasan. Siklosporin menghambat aktifasi sel T dengan menghambat
transkripsi gen yang menyandi IL-2 dan IL-2R. Siklosporin A adalah suatu
heksa-dekapeptida berasal dari jamur yang mempunyai khasiat menghambat
proliferasi dan transformasi sel Th, menghambat sitotoksisitas sel Th,
menghambat produksi limfokin sel Th, dan meningkatkan aktivitas sel Ts. Pada
transplantasi organ, obat ini meningkatkan masa hidup transplan. Kerugiannya
adalah meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan kejadian penyakit
limfoproliferatif.
19
Potensi generasi kelima imunosupresif strategi meliputi:
Agen imunosupresif dapat mengganggu penyajian antigen-sel (APC)
sinyal dengan menghambat penyerapan dan penyajian antigen, aktivasi dan
diferensiasi (a); co-stimulasi blok sinyal atau tersiksa molekul penghambat (b);
memusuhi sinyal antigen atau mediator aktivasi proksimal (c); sitokin interupsi
mengikat reseptor pada permukaan sel (d), atau menghambat sitokin-sinyal
transduksi (e). APC, antigen-presenting sel; CTLA4, antigen limfosit T
sitotoksik 4; JAK3, Janus kinase 3; L, ligan; mTOR, target mamalia dari
rapamycin; NFAT, faktor nuklir sel T aktif; NF-B, nuklir faktor-B; PKB,
protein kinase B; R, reseptor; STAT5, sinyal transduser dan aktivator
transkripsi 5; TCR, T-sel reseptor; TLR4, Pulsa seperti reseptor 4; ZAP70,
rantai terkait protein 70.
20
21
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Miastenia gravis pada anak jarang. Gangguan MG berlokasi pada
neuromuscular junction. Penyebab gangguan transmisi neuromuskuler
merupakan suatu kelainan imunologik yang menyebabkan berkurangnya AChR
pada membran postsinaptik dan juga bias disebut sebagai “penyakit terkait sel
B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan
reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai
semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang
terkait dengan sel T.
B. Saran
Untuk kedepannya, diharapkan perkembangan IPTEK semakin
meningkat terutama pada imunologi sehingga banyak penelitian-penelitian
yang berhubungan immunologi. Dari penelitian tersebut diharapkan ilmu-limu
pengetahuan tentang imunologi betambah banyak dan dari penelitian tersebut
diharapkan pula ditemukan suatu obat yang dapat mengobati suatu penyakit
yang berhubungan dengan system imunitas manusia terutama penyakit-
penyakit autoimun.
22
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja. Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi ke Tujuh. Jakarta: Balai
Penerbitan FKUI.
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi.
Edisi2 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi. Edisi Kedelapan. Jakarta:
Erlangga.
Howard, J. F. 2008. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia
_gravis.htm. Diakses 30 Juni 2010
Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. 1999. Biokimia Harper: Dasar
Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta.
Newton, E. 2008. Myasthenia Gravis. Available at :
http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis. Diakses 30 Juni 2010
Nicolle Michael W. 2002. Myasthenia Gravis. The neurologist.vol 8,no 1
Small George A , Aloi Mara. 2003 .Myastenia Gravis, In: Principles and
Practise of Emergency Neurology. Cambridge University Press
Price, Sylvia A., dan Wilson, Lorraine M. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Tjay, T. H., Rahardja, K. 2002 . Obat-obat Penting Khasiat dan
Penggunannya (edisi 5). Jakarta : PT. Elex Media Computindo
23
24