Post on 23-Dec-2015
description
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penegakan Diagnosis (revisi indroooo)
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
1. Anamnesis
Pasien mengeluhkan sesak nafas yang telah dirasakan sejak 1 hari sebelum
masuk ke RSMS. Sesak nafas dirasakan terus-menerus hingga mengganggu
aktivitas pasien dan menyebabkan pasien sulit tidur. Sesak nafas dirasakan
seperti dada pasien sedang terikat. Sesak nafas dirasakan sepanjang hari dan
mengganggu kualitas. Sesak semakin memberat ketika pasien batuk, banyak
bicara dan jika kelelahan.
Selain sesak nafas pasien mengeluh batuk berdahak sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit, dahak yang keluar sedikit, berwarna kuning keputihan,
tidak ada darahnya. Pasien juga mengeluh nyeri kepala, dan kaki terasa kram.
Pasien adalah seorang perokok yang setiap harinya dapat menghabiskan 1
bungkus rokok (12 batang). Pasien telah merokok sejak usia 20 tahun atau 51
tahun yang lalu dan mulai berhenti merokok sejak 5 tahun yang lalu pada tahun
2008. Indeks Brinkman = 12 x 45 = 540 = perokok sedang.
2. Pemeriksaan Fisik Pulmo
Inspeksi : Bentuk dada simetris,ketinggalan gerak (-), retraksi (-), jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus lobus superior kanan = kiri, Vocal fremitus
lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Hipersonor pada lapang paru kiri dan kanan, Batas paru hepar
SIC V LMCD
Auskultasi : suara dasar vesikuler kanan=kiri. Suara tambahan rhonki
basah kasar dan Halus tidak ditemukan dikedua lapang paru
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (dilakukan di RSMS) 15 Desember 2014Darahlengkap
Hemoglobin : 11.2g/dl
Leukosit : 7500 / uL
Hematokrit : 32%
Eritrosit : 3.6^6/uL
Trombosit : 159.000/uL
Kimia Klinik
SGOT : 40 U/L
SGPT : 38 U/L
Total Protein : 7.41
Albumin : 3.22
Globulin : 4.19
Asam urat : 3.7
Glukosa Sewaktu : 91
Pemeriksaan foto rongen thorax belum dilaksanakan
Des yang ini tulisin ya???abis itu kirim ke mbak ega...
B. Tindak Lanjut Penanganan Pasien
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala, mencegah
eksaserbasi berulang, mencegah penurunan faal paru dan meningkatkan kualitas
hidup penderita. Penatalaksanaan umum PPOK meliputi edukasi, obat – obatan,
terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.
Edukasi pada pasien merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil karena PPOK merupakan penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif. Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Edukasi pada pasien
PPOK brtujuan untuk mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan, melaksanakan
pengobatan yang maksimal, mencapai aktivitas optimal dan meningkatkan kualitas
hidup. Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan,
ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok merupakan hal yang pertama kali disampaikan kepada
penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan.
2. Pengunaan obat – obatan, macam obat dan jenisnya, cara penggunaannya yang
benar, waktu penggunaan dan dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan
Terapi yang diberikan pada pasien PPOK adalah bronkodilator. Bronkodilator
dapat diiberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi dan nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
1. Golongan antikolinergik
Golongan antikolinergik dapat digunakan pada derajat ringan sampai
berat. Disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir
( maksimal 4 kali perhari ). Obat yang termasuk golongan antikolinergik
diantaranya yaitu, atrovent. Efek samping obat ini adalah mengentalkan dahak
dan dapat pula menyebabkan takikardia. Selain itu, dapat pula menyebabkan
mulut kering, obstipasi, sukar berkemih, dan pandangan kabur akibat gangguan
akomodasi. Penggunaanya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini.
2. Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler golongan ini digunakan untuk mengatasi sesak.
Peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan, sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek
panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip digunakan untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Obat ini bekerja melalui stimulus reseptor β2 pada trakea dan bronkus
menyebabkan aktivasi adenilsiklase. Enzim ini mengubah ATP
(Adenosintrifosfat) menjadi cAMP (cyclic-adenosine-monophosphat) dengan
pembebasan energi yang digunakan untuk proses dalam sel. Meningkatnya
kadar cAMP dalam sel menghasilkan efek bronkodilatasi dan penghambatan
pelepasan mediator oleh sel mast. Obat simpatomimetika (β2 agonist)
mempunyai dua aksi yaitu short-acting (salbutamol, terbutalin sulfat,
bambuterol hidroklorida, fenoterol hidrobromida) dan long-acting (formeterol
fumarat, salmeterol).
3. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
4. Golongan xantin
Golongan xantin dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. Contoh obat yang termasuk
golongan ini diantaranya adalah aminofilin dan teofilin.
Spiriva digunakkan untuk terapi rumatan untuk PPOK (termasuk
bronkitis kronis dan emfisema), dispnea, dan mencegah eksaserbasi.
Kandungan dalam spiriva adalah Tiotropium Br. Sediaan spiriva dalam bentuk
kapsul, setiap kapsul untuk inhalasi 180 mcg, dosis penggunaan spiriva adalah 1
kapsul dihirup 1 kali dalam satu sehari. Spiriva tidak digunakkan untuk terapi
awal episode akut bronkospasme karena dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivitas mendadak. Efek samping penggunaan obat ini dapat
menyebabkan pusing, penglihatan kabur, peningkatan TIO, takikardi, palpitasi,
dispnea, bronkospasme, batuk, iritasi tenggorokan, iritasi pada tempat lain,
epistaksis, mulut kering, kandidiasis oral, konstipasi, penyakit refluks
gastroesofagitis, ruam kulit, urtikaria, pruritus, reaksi hipersensitivitas lainnya,
disuria, retensi urin, ISK.
Seretide merupakan obat yang digunakan untuk terapi reguler untuk
penyakit obstruktif saluran nafas yang reversibel, yang mencakup asma dan
PPOK, termasuk bronkitis dan emfisema. Kandungan dalama seretid adalah
Salmeterol xinafoate dan fluticasone propionate. Dosisi yang diberikan untuk
penyakit obstruksi saluran napas yang reversibel yaitu, anak ≥ 12 tahun 1
inhalasi Diskus Seretide 100, 250, atau 500, anak > 4 tahun 1 inhalasi Diskus
Seretide 100 dan untuk PPOK Dewasa 1 inhalasi Diskus Seretide 250 atau
500. Semua dosis diberikan 2 kali sehari. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam penggunaan seretide yaitu tidak untuk terapi gejala asma akut dan
penanganan awal asma, TB paru, gangguan kardiovaskuler berat, DM,
hipokalemia yang tidak diterapi, tirotosikosis. Lakukan pengawasan berkala
terhadap laju pertumbuhan pada anak yang mendapat terapi jangka panjang.
Efek samping yang dapat terjadi dalam penggunaan obat ini adalah serak atau
disfonia, sakit kepala, kandidiasis mulut dan tenggorokan, iritasi tenggorokan,
palpitasi, tremor, bronkospasme paradoksikal, artralgia.
Obat antiinflamasi dapat diberikan pada pasien PPOK jika terjadi
eksaserbasi akut yang berfungsi untuk menekan peradangan yang terjadi.
Dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Antibiotik juga dapat
diberikan hanya bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan antara lain, lini
I yaitu amoksisilin dan makrolid, lini II yaitu amoksisilin dan asam klavulanat,
sefalosporin dan kuinolon. Antioksidan dapat mengurangi eksaserbasi dan
memperbaiki kualitas hidup, yang digunakan adalah N - asetilsistein. Mukolitik
hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous.
Terapi Oksigen pada PPOK diberikan jika terjadi hipoksemia progresif
dan berkepanjangan yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.
Pemberian terapi oksigen merupakan terapi yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ - organ lainnya fungsi neuropsikiatri dan meningkatkan kualitas
hidup. Indikasi pemeberian terapi oksigen antara lain, Pao2 < 60mmHg atau
Sat O2 < 90% , Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor
Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung
kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Macam-macam terapi oksigen yaitu, pemberian oksigen jangka panjang,
pemberian oksigen pada waktu aktivitas, pemberian oksigen pada waktu timbul
sesak mendadak, pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal.
Alat bantu pemberian oksigen yaitu :
1. Nasal kanul
2. Sungkup venturi
3. Sungkup rebreathing
4. Sungkup nonrebreathing
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat dilakukan
dengan cara ventilasi mekanik dengan intubasi dan ventilasi mekanik tanpa
intubasi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni yang menyebabkan terjadinya hipermetabolisme. Laju
metabolisme pada PPOK meningkat namun respon penderita PPOK terhadap
nutrisi seringkali memburuk.
Malnutrisi menyebabkan penurunan indeks masa tubuh yang
merupakan faktor resiko untuk mortalitas PPOK. Penderita PPOK mengalami
penurunan berat badan dan penurunan kekuatan otot. Keadaan ini disebabkan
penurunan asupan kalori akibat sesak nafas yang terus menerus dan kurangnya
konsumsi makanan. Selain itu pemakaian otot nafas dapat menimbulkan
kelemhan otot dan hilangnya massa otot.
Nutrisi tinggi lemak dan rendah karbohidrat dapat menurunkan
kegagalan obstruksi saluran nafas kronik. Diet tinggi karbohidrat tidak
dianjurkan untuk pendertita PPOK karena pemberian diet tinggi karbohidrat
dengan cara parenteral total dilaporkan dapat menyebabkan peningkatan
produksi CO2 yang bermakna dan dapat mencetuskan gagal nafas,.
Penurunan massa sel tubuh merupakan manifestasi sistemik pada
PPOK. Perubahan massa tubuh diketahui melalui penurunan berat badan dan
penurunan massa lemak bebas. Lemak menghasilkan energi lebih banyak
dibandingken dengan karbohidrat dan protein. Pemberian asam lemak omega 3
mempunyai potensi sebagai modulator pada penyakit respirasi yang meliputi
inflamsi kronik, pemberian Omega 3 dengan bentuk diet tinggi minyak ikan,
magnesium dan antioksidan menurunkan inflamsi saluran nafas.
Pemberian nutrisi pada pasien PPOK dilakukan dengan cara
memberikan makanan dengan jumlah kecil dan sering, meningkatkan kalori
makanan tanpa harus meningkatkan jumlah makanan, komposisi makanan
mengandung 55% lemak, 28% karbohidrat dan 17% protein.
Rehabilitasi pada pasien PPOK adalah untuk meningkatkan toleransi
latihan dan memperbaiki kualitas hidup. Penderita yang dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan
optimal yang disertai dengan simptom pernapasan berat, beberapa kali masuk
ruang gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun.
C. Teori PPOK
Deinisi
Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversible.
Hambatan aliran udara pada penyakit ini seringkali disebabkan oleh
diameter saluran nafas yang menyempit berkaitan dengan beberapa faktor,
antara lain meningkatnya ketidakelastisan dinding saluran nafas, meningkatnya
produksi sputum di saluran nafas, dan lain sebagainya. Gangguan aliran udara di
dalam saluran nafas disebabkan proses inflamasi paru yang menyebabkan
terjadinya kombinasi penyakit saluran napas kecil (small airway disease) dan
destruksi parenkim (emfisema). Kerusakan pada jaringan parenkim paru, yang
juga disebabkan proses inflamasi, menyebabkan hilangnya perlekatan alveolar
pada saluran nafas kecil dan penurunan rekoil elastik paru.
Banyak definisi terdahulu menekankan emfisema dan bronkitis kronis,
yang sekarang sudah tidak termasuk dalam definisi PPOK. Emfisema atau
kerusakan permukaan pertukaran gas paru (alveoli), adalah kata patologis yang
sering digunakan dan menjelaskan, hanya satu dari beberapa abnormalitas
struktural yang terjadi pada penderita PPOK, dengan kata lain emfisema
merupakan suatu diagnosis patologik. Bronkitis kronis, atau batuk dan produksi
sputum selama setidaknya 3 bulan dalam 2 tahun, tetap merupakan konsep
definitif yang berguna secara klinis dan epidemiologi, sehingga bronkitis kronis
dianggap sebagai diagnosis klinis.
Gejala Klinis
Gejala PPOK sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita lainnya,
dapat dimulai dengan tanpa gejala, gejala ringan sampai berat, mulai dari tanpa
kelainan fisik sampai kelainan fisik yang jelas dan tanda inflasi paru. Oleh
karena itu dibutuhkan diagnosa yang akurat, pemeriksaan penunjang dan
diagnosa banding untuk dapat menegakkan penyakit PPOK.
Seseorang diduga menderita PPOK bila (1) mengalami batuk kronis yang
umumnya muncul pada siang hari, jarang pada malam hari, (2) memproduksi
sputum kronis, (3) sering mengalami bronkitis akut, (4) sesak nafas setiap hari,
memburuk pada saat melakukan aktivitas dan terkena infeksi, (5) punya riwayat
terpapar asap rokok (baik perokok aktif maupun perokok pasif), polusi udara,
debu dan bahan kimia di tempat kerja, ataupun asap hasil pembakaran alat
masak, misalnya kayu bakar, arang yang terus menerus (setiap hari sepanjang
tahun), disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator diagnosis PPOK adalah
penderita di atas usia 40 tahun, dengan sesak napas yang progresif, memburuk
dengan aktivitas, persisten, batuk kronik, produksi sputum kronik, riwayat
pajanan rokok, asap atau gas berbahaya di dalam lingkungan kerja atau rumah.
Penyakit ini seringkali tidak berdiri sendiri, tapi selalu disertai komorbid
yang berkaitan dengan rokok atau ketuaan, karena memang PPOK seringkali
terjadi pada orang perokok dalam jangka lama dan usia lanjut. Penurunan berat
badan, abnormalitas nutrisi dan disfungsi otot skeletal adalah beberapa dampak
PPOK pada ekstrapulmonal. PPOK juga akan meningkatkan risiko terjadinya
infark myokard, angina, osteoporosis, infeksi pernafasan, fraktur, depresi,
diabetes, gangguan tidur, anemia , glukoma dan juga kanker paru.
Faktor Resiko
a. Genetik
PPOK adalah penyakit yang melibatkan banyak gen dan merupakan
contoh klasik interaksi gen dan lingkungan. Faktor resiko genetik yang telah
diketahui adalah defisiensi alpha-1 antitrypsin, suatu penghambat yang
bersikulasi dari protease serine.
b. Merokok
Perokok memeliki prevalensi yang lebih tinggi menderita gejala dan
gangguan fungsi paru, penurunan FEV1 setiap tahun dan angka mortalitas
PPOK yang lebih besar. Resiko PPOK pada perokok, bergantung pada
banyaknya rokok yang dikonsumsi, usia pertama kali mulai merokok,
jumlah total rokok yang dihisap pertahun dan status merokok saat ini.
c. Debu dan Bahan Kimia Okupasi
Paparan partikel dan bahan kimia okupasi, juga merupakan faktor
resiko berkembangnya PPOK. Meliputi agen kimia dan debu organik dan
anorganik serta bau-bauan.
d. Polusi Udara Dalam Rumah
Pembakaran pada tungku atau kompor yang tidak berfungsi
dengan baik, dapat menyebabkan polusi udara di dalam ruangan.
e. Polusi Udara Di Luar Rumah
Peranan polusi udara luar rumah dalam menyebabkan PPOK tidak
jelas, tetapi tampaknya lebih kecil dibandingkan merokok. Polusi udara dari
pembakaran hutan, asap kendaraan bermotor dan asap-asap pabrik.
f. Stress Oksidatif
Paru-paru secara terus menerus terpapar oleh oksidan yang
dikeluarkan secara endogendari fagosit dan jenis sel lainnya, atau secara
eksogen dari polusi udara atau asap rokok. Akibat dari ketidakseimbangan
antara oksidan dan anti oksidan maka paru-paru mengalami stress oksidatif.
Selain menghasilkan perlukaan langsung, juga mengaktivase mekanisme
molekuler yang menginisiasi inflamasi paru.
g. Infeksi
Kolonisasi bakteri yang dihubungkan dengan inflamasi saluran
nafas, dapat juga berperan dalam eksaserbasi. Akibatnya akan menyebabkan
penurunan fungsi paru dan menimbulkan gejala gangguaan pernafasan.
h. Status Sosioekonomi
i. Nutrisi
j. Asma
Pada orang dewasa dengan asma memeliki resiko 12x lipat lebih
besar menderita PPOK, dibandingkan orang dewasa tanpa menderita asma
Patogenesis dan Patofisologis PPOK
Asap rokok dan partikel berbahaya, menyebabkan inflamasi pada paru-
paru yang merupakan suatu respon normal, yang tampak menjadi lebih berat
pada penderita PPOK. Respon abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan
parenkim (menyebabkan emfisema) dan mengganggu perbaikan normal dan
mekanisme pertahanan (menyebabkan fibrosis saluran nafas kecil). Perubahan
patologis ini menyebabkan air trapping dan keterbatasan saluran nafas yang
progresif.
PERUBAHAN PATOLOGI PADA PPOK
Saluran Nafas Proksimal (Trakea, Bronki > 2mm diameter internal)
Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T, beberapa neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktural : Sel goblet, hipertrophi kelenjar submukosal ( keduanya
menyebabkan hipersekresi mukus), squamosa metaplasia epitelium.
Saluran Nafas Periferal (Bronkiolus < 2mm)
Sel inflamasi : Makrofag, (CD8+ > CD4+) limfosit T, limfosit B, folikel limfoid,
fibroblas, beberapa neutrofil atau eosinofil.
Perubahan struktural : penebalan dinding saluran nafas, fibrosis peribronkial,
eksudat inflamasi luminal, penyempitan saluran nafas, peningkatan respon
inflamasi dan eksudat yang berhubungan dengan kegawatan penyakit.
Parenkim Paru (bronkioulus respirasi dan alveoli)
Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T
Perubahan struktural : kerusakan dinding alveolar, apoptosis dinding epitel dan
endotel.
Emfisema sentrilobular : dilatasi dan kerusakan bronkiolus respirasi (paling
banyak pada perokok)
Emfisema parasinar : kerusakan kantung alveolar dan bronkiolus respirasi
(banyak terdapat pada defisiensi alpha-1 antitrypsin)
Vaskular Pulmonal
Sel inflamasi : Makrofag, limfosit T.
Perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel endotel
SEL-SEL INFLAMSI PADA PPOK
Neutrofil : terdapat di dalam sputum perokok normal, kemungkinan berperan
penting dalam hipersekresi mukus dan melalui pelepasan protease.
Makrofag : Sejumlah besar terlihat pada lumen saluran nafas, parenkim paru dan
cairan lavage bronkoalveolar. Berasal dari monosit darah yang berdiferensiasi
dalam jaringan paru. Menghasilkan peningkatan mediator inflamasi dan protease
pada pasien PPOK, sebagai respon terhadap asap rokok dan dapat menyebabkan
fagositosis defektif.
Limfosit T : Sel CD4+ dan CD8+ meningkat poada dinding saluran nafas dan
parenkim paru. Sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 mensekresikan interferon. Sel
CD8+ dapat menjadi sitotoksik terhadap sel-sel alveolar.
Limfosit B : di dalam saluran nafas perifer dan diantara folikel limfoid,
kemungkinan sebagai respon terhadap kolonisasi kronik dan infeksi saluran nafas.
Eosinofil : protein eosinofil terdapat dalam sputum dan eosinofil terdapat pada
dinding saluran nafas saat eksaserbasi.
Sel-sel Epitel : kemungkinan dipicu oleh asap rokok, untuk menghasilkan
mediator inflamasi
Patogenesis
Inflamasi paru pada pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
normal terhadap partikel dan gas beracun seperti asap rokok yang berlangsung
lama. Selain itu faktor genetik ikut mempengaruhi. Inflamasi lebih lanjut,
diperburuk oleh stress oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru-paru. Secara
bersamaan, mekanisme ini akan menyebabkan perubahan patologis.
PPOK ditandai oleh pola tertentu dari inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfositosis. Sel-sel ini akan melepaskan mediator inflamasi dan
berinteraksi dengan sel struktural, pada saluran nafas dan parenkim paru.
Berbagai mediator inflamasi itu, akan menarik sel inflamasi dari darah ( faktor
kemotakik), memperkuat proses inflamasi (sitokin proinflamasi), dan
menginduksi perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
Stress oksidatif mungkin merupakan mekanisme penguat dari proses
terjadinya PPOK. stress oksidatif lebih lanjut, meningkat pada eksaserbasi.
Oksidan dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat lainnya, dan dilepaskan dari
sel inflamasi teraktifasi seperti makrofag dan neutrofil. Stress oksidatif memiliki
Asap rokok, Partikel dan gas beracun
Inflamasi paru
Faktor penjamu
Antioksidan
Stress oksidatif
Antiprotease
Protease
Mekanisme perbaikan
Patologi PPOK
konsekuensi buruk pada paru paru, yang meliputi aktifasi gen inflamasi,
inaktifasi antiprotese yang menstimulasi sekresi mukus dan eksudat plasma.
Patofisiologis
Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK
penurunan FEV1 disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal,
sementara penurunan pertukaran gas disebabkan oleh kerusakan jaringan
parenkim paru. Besarnya inflamasi, fibrosis dan eksudat pada saluran nafas
kecil, berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Cepatnya
penurunan FEV1, merupakan karakteristik dari PPOK. Obstruksi saluran nafas
periferal secara progresif, menyebabkan air trapping selama ekspirasi dan
mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas
inspirasi, sehingga kapasitas residu fungsional meningkat. Diperkirakan
hiperinflasi berkembang sejak awal penyakit dan merupakan mekanisme utama
untuk dispnea eksersional.
Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya
hipoksemia dan hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal
menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi – perfusi (VA/Q) disertai gangguan
fungsi otot pernafasan, terjadilah retensi CO2.
Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis, tidak dialami semua pasien
dengan PPOK. Hal ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan
jumlah sel-sel goblet dan pembesaran kelenjar submukosa, sebagai respon
terhadap iritasi saluran nafas kronis akibat asap rokok dan agen berbahaya
lainnya.
Hipertensi ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini
disebabkan vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang akhirnya
menyebabkan trejadinya hiperplasia intima. Pada PPOK, tejadi respon inflamasi
pada pembuluh darah serupa dengan yang terlihat pada saluran nafas dan pada
disfungsi sel endotel.
DAFTAR PUSTAKA
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia Jakarta : PDPI
Riyanto BS, B. 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, p. 984-5.
Wedzicha JA, 2011. Beonchodilator Therapy For COPD. New England Journal
Medicine. Diakses tgl 16 Desember 2014.