Isi Prescil Tetanus
-
Upload
kurniawan-ramadani -
Category
Documents
-
view
35 -
download
0
Transcript of Isi Prescil Tetanus
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,
suatu protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus
biasanya terjadi setelah trauma. Kontaminasi luka dengan tanah, kotoran
binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat
terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular
yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, persalinan dan
pembedahan.
Tetanus memiliki trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila
berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan
membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme secara
progresif meluas ke otot - otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah
yang khas “rhisus sardonicus” dan meluas ke otot- otot untuk menelan
yang menyebabkan disfagia.
Tetanus terdapat di negara beriklim tropis dan nengara berkembang,
sering terjadi di Brazil, Filiphina, Vietnam, Indonesia dan negara lain
dibenua Asia. Penyakit ini umum terjadi di daerah pertanian, di daerah
pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat, selama musim panas, dan pada
penduduk pria. WHO memperkirakan kurang lebih satu juta kematian akibat
tetanus diseluruh dunia pada tahun 1992.
B. Tujuan
Presentasi Kasus ini disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Margono Soekardjo, dimana
didalamnya berisi tentang definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,
tatalaksana dan prognosis dari penyakit Tetanus.
1
BAB II
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
Umur : 62 tahun
Pekerjaan : Pemecah batu
Alamat : Bulakan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
No. CM : 136414
Ruang rawat : Mawar
Tanggal masuk : 29 April 2013
Tanggal periksa : 1 Mei 2013
B. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesa pada tanggal 1 Mei 2013
Keluhan Utama : Seluruh tubuh terasa kaku
Keluhan Tambahan : Mulut terasa kaku dan sulit dibuka, kejang,
alis tertarik keatas dan sulit menelan, sulit BAB.
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Sekitar satu bulan sebelum masuk rumah sakit ketika pasien sedang
bekerja memecah batu di Jakarta tidak sengaja tangan kiri pasien terpukul
dan berdarah. Luka hanya dibersihkan dengan air dan di tutup dengan
plester penutup luka. Seminggu kemudian timbul keluhan seperti pinggang
terasa kaku dan menyebar keseluruh tubuh, leher terasa kaku mulut terasa
kaku dan sulit menelan. Pada saat itu pasien hanya di rawat rumahnya di
Jakarta. Kemudian pasien balik ke Purbalingga dan dirawat di RS
Purbalingga selama 16 hari. Keluarga pasien mengatakan hari ke 8
2
perawatan pasien mengalami kejang pada seluruh tubuh. Perut pasien di
rasakan keluarga kaku seperti papan. Kejang menghilang pada hari ke 11
perawatan.
Empat hari setelah pulang dirawat , pasien datang dengan diantar
keluarga ke IGD RS. Margono pada tanggal 22 April 2013 dengan keluhan
sesak nafas, sulit membuka mulut dan sulit menelan, lalu dirawat di bangsal
cendana dengan diagnosis PPOK. Hari ke 4 perawatan pasien kembali
kejang. Hari ke 7 perawatan, pasien di pindah rawat ke bangsal mawar
dengan keluhan badan kaku, sulit membuka mulut, sulit menelan, sulit BAB
dan BAK.
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat kejang demam dan kejang tanpa
demam maupun penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya.
Pasien mengaku jari telunjuk tangan kiri terpukul dengan pemecah batu
saat bekerja di Jakarta.
E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah menderita kelainan
dengan gejala yang sama dengan pasien.
F. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal 1 Mei 2013
Keadaan Umum
- Kesan sakit : Sakit sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Berat Badan : 58 kg
- Tinggi Badan : 168cm
- Tanda Vital : - Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Nadi : 88x/menit, reguler,
isi dan tegangan cukup
- Pernapasan : 20 x/menit
thorakoabdominal
3
- Suhu : 36,3 °C
Status generalis
- Pemeriksaan kepala
- Bentuk kepala : Normochepal, simetris, Rhesus sardonicus (+)
- Rambut : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut, tidak mudah rontok
- Pemeriksaan mata
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pemeriksaan telinga
- Letak : Simetris
- Bentuk : Normal
- Discharge : Tidak ada
- Benjolan : Tidak ada
- Pemeriksaan hidung
- Discharge : Tidak ada
- NCH : Tidak ada.
- Pemeriksaan mulut
- Sianosis : Tidak ada
- Lidah kotor : Tidak ada
- Lidah hiperemis : Tidak ada
- Trismus : Ada
- Pemeriksaan leher
- Inspeksi : Tidak terlihat benjolan atau massa
- Palpasi : Kelenjar getah bening leher kanan dan kiri tidak teraba
membesar, tidak terdapat nyeri tekan
4
Spider naevi tidak ada
Tidak ada deviasi trakhea
Jugular Venous Pressure tidak meningkat
- Pemeriksaan dada
Paru-paru
Inspeksi : Dinding dada simetris
Ketinggalan gerak (-), venektasi (-)
Palpasi : Vokal fremitus apex paru kanan = kiri
Vokal fremitus basal paru kanan = kiri
Perkusi : Suara sonor pada seluruh lapang paru
Batas paru hepar SIC V LMC dextra
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi
basah halus (-/-), ronkhi basah kasar (-/-).
Jantung
Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi iktus cordis
Palpasi : Teraba pulsasi iktus kordis di SIC V 1 jari medial
LMCS, tidak kuat angkat, tidak teraba thrill
Perkusi : - Batas kiri atas : SIC II linea parasternal sinistra
- Batas kiri bawah : SIC V 1 jari medial linea
midclavikula sinistra
- Batas kanan atas : SIC II linea parasternal dekstra
- Batas kanan bawah : SIC IV linea parasternal dekstra
Auskultasi : M1 > M 2, T1 > T2, P1 < P2, A1 > A2 , reguler, bising (-),
gallop (-)
- Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar, dinding perut tegang (epistotonus positif), ikterik
tidak ada.
Tidak tampak pulsasi epigastrium
Umbilikus tidak menonjol
Hiperpigmentasi tidak ada
Auskultasi : Bunyi usus (+) normal
5
Palpasi : Perut tegang, hepar dan lien dalam batas normal,
nyeri tekan (+), ginjal tidak teraba.
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Perkusi hepar dalam batas normal
Perkusi lien dalam batas normal
Nyeri ketok kostovertebrae kanan dan kiri (-)
Kulit
Turgor kulit normal
- Ekstremitas
- Superior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor (-/-),
edema (-/-), kesemutan (-/-), ulkus (-/+) pada jari telunjuk
kiri (port d’entre), sensorik dan motorik baik,
eutrofi (-/-), reflek fisiologis (+/+) normal, reflek patologis
(-/-)
- Inferior : Deformitas (-/-), edema (-/-), sianosis (-/-), kesemutan
(-/-), sensorik dan motorik baik, eutrofi (+/+), reflek
fisiologis (+/+) normal, reflek patologis (-/-)
G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Laboratorium : Tanggal 22 April 2013
Pemeriksaan darah lengkap
Hemoglobin (Hb) : 13,1 g/dl Normal : 13-16 g/dl
Leukosit : 10830/ul Normal : 4800-10000/ul
Hematokrit (Ht) : 39 % Normal : P 42 – 52 %
Eritrosit : 6,7 jt/ul Normal : P 4,7 – 6,1 jt/ul
Trombosit : 395.000/uI Normal : 150.000-400.000/ul
MCV : 58,6 fl Normal : 79 – 99 fl
MCH : 19,7 pgr Normal : 27 – 31 pgr
MCHC : 33,6 % Normal : 31-36
Basofil : 0,1 Normalnya : 0,0 – 1,0
6
Eosinofil : 0,6 Normal : 1-3
Batang : 0 Normal : 2-6
Segmen : 80 Normal : 50-70
Limfosit : 7,5 Normal : 25 - 40
Monosit : 11 Normal : 2-8
Pemeriksaan Kimia Klinik
SGOT : 19 U/L Normal : 15 – 37 U/L
SGPT : 30 U/L Normal : 30 – 65 U/L
Ureum Darah : 50,9 mg/dl Normal : 14,98 – 38,56 mg/dl
Kreatinin Darah : 0.67 mg/dl Normal : 0,8 – 1,30 mg/dl
Glukosa sewaktu : 118 mg/dl Normal : <200 mg/dl
Pemeriksaan elektrolit:
Natrium : 136 mmol/dl Normal : 136 – 145 mmol/dl
Kalium : 3.5 mmol/dl Normal : 3,5- 5,5 mmol/dl
Klorida : 100 mmol/dl Normal : 98 - 107 mmol/dl
H. KESIMPULAN PEMERIKSAAN
1. Anamnesis
- Adanya riwayat luka jari telunjuk tangan kanan akibat terpukul
saat bekerja sebagai pemecah batu sekitar 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit.
- Adanya gejala mulut yang tidak dapat dibuka (trismus)
- Adanya gejala perut kaku (opistotonus)
- Adanya gejala kaku pada leher (opistotonus)
2. Pemeriksaan fisik :
- Ekspresi wajah: berupa rhisus sardonikus (alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada
gigi)
- Leher: kaku kuduk (kekakuan otot leher)
- Abdomen: perut tegang (opistotonus), nyeri tekan (+)
7
3. Pemeriksaan penunjang :
- Leukosit : 10.830 (meningkat) normal: 5000- 1000/ uL
- Ureum Darah : 50,9 mg/dl (meningkat)Normal : 14,98 – 38,56
mg/dl
I. DIAGNOSIS KERJA :
- Tetanus
J. DIAGNOSIS BANDING
- Tetani (Hipokalsemi)
K. TERAPI :
1. Non farmakologi :
Rawat ruang isolasi untuk menghindari cahaya dan suara yang
merangsang terjadinya kejang.
2. Farmakologi :
a. IVFD D5% 20 tetes/ menit + ½ amp Aminophilin / 8jam
b. Inj Cefazidin 2x1 gr (IV)
c. Inj. Rantin 2x1 amp
d. Inj Diazepam 2 amp (drip) / 8jam
e. Inj Metilprednisolon 62,5mg / 12 jam
f. Inj ATS 10.000 IM dan 10.000 IV
L. PROGNOSIS
Quo ad vitam dubia ad bonam
Quo ad functionam ad bonam
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tetanus
1. Definisi
Adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus
otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
2. Mikrobiologi
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Habitat
bakteri ini terdapat di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotiran binatang
peliharaan dan manusia. Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif
berbentuk batang yang selalu bergerak, dan merupakan bakteri anaerob
obligat yang menghasilkan spora. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-
tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat
resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.
Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin
yang keluar. Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi
dibawah kendali plasmin. Tetanospasmin merupakan rantai poli pepdita
tunggal. Dengan autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah
untuk membentuk heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100 KDa) yang
memediasi pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya kedalam
sel, sedangkan rantai ringan (50 KDa) berperan dalam memblokade
pelepasan neurotransmiter.
3. Epidemiologi
Tetanus terdapat dinegara beriklim tropis dan nengara berkembang,
sering terjadi di Brazil, Filiphina, Vietnam, Indonesia dan negara lain
dibenua Asia. Penyakit ini umum terjadi didaerah pertanian, didaerah
pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat, selama musim panas, dan pada
9
penduduk pria. WHO memperkirakan kurang lebih satu juta kematian akibat
tetanus diseluruh dunia pada tahun 1992.
4. Patogenesis
Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan
terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin : tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih
hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang
memungkinkan multiplikasi bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma
klinis tetanus. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat
150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan
rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitif
terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan
jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksi dari
rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada pre sinaptik untuk
mencegah pelepasan neuro transmiter dari neuron yang dipengaruhi.
Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar jaringan dibawahnya dan
terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal.
Jika toksin yang dihasilkan banyak maka dapat memasuki aliran darah yang
kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf diseluruh tubuh.
Toksin kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam akson dan
secara retrogred kedalam badan sel di batang otak dan saraf spinal.
Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik
ke saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, maka akan berdifusi
ke luar dan akan masuk mempengaruhi ke neuron didekatnya. Apabila
interneuron inhibitor spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul.
5. Patofisiologi
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh,
memperbanyak diri dan menghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi
reduksi rendah tempat luka yang terinfeksi. Plasmit membawa gen toksin
10
dilepaskan bersama dengan sel bakteri vegetative yang mati dan selanjutnya
lisis. Toksin tetanus ( dan tiksin botulinum ) adalah protein sederhana 150
KD yang terdiri atas rantai berat ( 100 KD ) dan ringan ( 50 KD ) yang
digabung oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan
neuromuskuler dan kemudian di endositosis oleh saraf motoris. Sesudahnya
ia mengalami pengangkutan akson retrograde ke sitoplasmin motoneuron
alfa. Pada saraf skiatika kecepatan pengangkutan ternyata 3,4 mm per jam.
Toksin keluar motoneuron dalam medulla spinalis dan selanjutnya masuk
interneuron penghambat spinal, dimana toksin ini menghalangi pelepasan
neuron transmitter. Toksin tetanus dengan demikian memblokade hambatan
normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan disengaja yang
terkoordinasi : akibatnya otot yang terkena mempertahankan kontraksi
maksimalnya. System saraf otonom dibuat tidak stabil.
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka
tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka
yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multipel
membentuk 2 toksin yaitu tetanuspasmin yang merupakan toksin kuat dan
atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan
mempngaruhi sistem saraf pusat. Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai
pada sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau sistem vaskuler.
Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat
lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam
peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh aritititoksin. Hipotesa cara
absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi pada ujung
saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke korno anterior susunan
saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam
sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin
bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot menjadi
kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan
dan rata-rata 10 hari .
6. Manifestasi Klinis
11
Tetanus biasanya terjadi setelah trauma. Kontaminasi luka dengan tanah,
kotoran binatang atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus
dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan
ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, persalinan dan
pembedahan.
7. Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus,
yang ditandai dengan meningkatnya tonus oto dan spasme generalisata.
Masa inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada
tetanus berat. Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila
berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan
membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. spasme otot
masseter menyebabkan trismus atau ; rahang terkunci. Spasme secara
progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang
khas, ‘risus sardonicus’ dan meluar ke otot-otot untuk menelan yang
menyebabkan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan
eksternal, dapat berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri.
Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh
menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya
kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat, pasien dapat
demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak
terpengaruh.
8. Tetanus Neonatrum
Tetanus neonatrum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan
biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus ini terjadi pada anak-anak yang
dilahirkan oleh ibu yang tidak diimunisasi dengan adekuat, terutama setelah
perawatan bekas potong tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi
tergantung panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan saat
mengikat dan memotong umbilikus.
9. Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang paling jarang dengan manifestasi
klinisnya terbatas hanya pada otot-otot disekitar luka. Kelemahan otot dapat
12
terjadi akibat peran toksin pada neuromuskuler junction. Gejalanya ringan
dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Namun secara umum prognosisnya
baik.
10. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang
terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasi 1-2 hari.
Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering
adalah saraf ke-7 dengan mortalitas yang tinggi.
B. Perjalanan Klinis
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama)
rata-rata 7 – 10 hari dengan rentang 1 – 60 hari. Onset (rentang waktu antara
gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1 – 7 hari.
Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan
penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan
spasme otot yang semakin parah.
Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan
bertahan sampai 1 – 2 minggu. Spasme berkurang setelah 2 – 3 minggu.
Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena
penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu.
C. Derajat Keparahan
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang dilaporkan.
Klasifikasi beratnya tetanus menurut Ablett :
- Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata,
tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
- Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan
frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.
- Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apneu,
disfagia berat dan takikardi lebih dari 120.
13
- Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardi
terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardi, salah satunya
dapat menetap.
D. Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti
laringospasme, atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi
yang mengarah pada koma, aspirasi atau apneu, atau konsekuensi dari
perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator.
E. Diagnosis
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus tidak
mungkin terdapat pada riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara
lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka
hendaknya dikultur. Leukosit mungkin sedikit meningkat. Elektromyogram
mungkin menunjukan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak
adanya interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi.
Enzim otot mungkin sedikit meningkat.
F. Terapi
Terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan :
1. Organisme yang terdapat di dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk
mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
2. toksin yang terdapat diluar sitem saraf pusat hendaknya dinetralisasi, dan
3. efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat diminimalisasi.
Penatalaksanaan Umum
Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, di mana
observasi dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus-
menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan
nafas bersifat vital. Luka hendaknya dieksplorasi, dibersihkan secara hati-
hati dan dilakukan sebridemen secara menyeluruh.
14
Anti toksin untuk menetralisasi toksin yang berada di sirkulasi dan pada
luka namun, toksin yang melekat pada jaringan saraf tidak dapat
dinetralisasi. Imunoglobulin tetanus manusia (TIG) merupakan pilihan
utama dan segera dengan dosis 3000-6000 U I.m.
Diazepam digunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik.
Dosis dewasa, spasme ringan (5-10 mg oral tiap 4-6 jam bila perlu), spasme
sedang (5-10 mg i.v bila perlu), spasme berat (50-100 mg dalam 500 ml D5,
diinfuskan 40 mg /jam). Dosis pediatrik, spasme ringan (0,1-0,8 mg/kg/hari,
dosis terbagi 3 atau 4 kali sehari), spasme sedang sampai berat (0,1-0,3
mg/kg/hari i.v tiap 4 -8 jam). Kontraindikasi pada hipersensitivitas,
glaukoma sudut sempit. Kadar toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf
pusat meningkat apabila digunakan bersama dengan alkohol, fenothiazine,
barbiturat. Pada kehamilan, kriteria D-tidak aman. Perhatian hati-hati pada
pasien yang mendapat depresan sistem saraf pusat yang lain.
Fenobarbital digunakan harus sedemikian rendah sehingga tidak
menyebabkan depresi pernafasan. Dosis dewasa (1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam,
tidak melebihi 400 mg/hari), dosis pediatrik (5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3
atau 4 kali perhari). Kontraindikasi pada hipersensitifitas, gangguan fungsi
hati, penyakit paru berat, dan pasien nefritis). Fenobarbital dapat
menurunkan efek kloran fenikol, digitoksin, kortikosteroid, karbamazepin,
teofilin, metronidazol dan antikoagulan. Pemberian bersama dengan alkohol
dapat menyebabkan aditif ke didtem sarap pusat, dan kematian. Pada
kehamilan, kriteria D-tidak aman. Perhatian pada terapi jangka panjang,
monitor fungsi hati, ginjal, dan sistem hematopoitik.
Baklofen intratekal merupakan relaksan otot kerja sentral yang telah
dipergunakan secara eksperimental untuk melepaskan pasien dari venti;ator
dan untuk menghentikan infus diazepam. Dosis dewasa (<55 th 100 mcg IT,
>55 th 800 mcg IT), dosis pediatrik (< 16 th 500 mcg IT, >16th seperti dosis
dewasa). Kontraindikasi pada hipersensitivitas. Interaksi pada analgetik
opiat, benzodiazepin, alkohol, hipertensi dapat meningkatkan efek Baklofen.
Pada kehamilan, riteria C-belum diketahui keamanannya. Perhatian pada
pasien dengan disrefleksia otonomik.
15
Dantrolen merupakan obat stimulasi relaksasi otot dengan memodulasi
konstraksi otot pada daerah setelah hubungan myoneural oleh FDA untuk
dipergunakan pada tetanus. Dosis dewasa (1 mg/kg i.v selama 3 jam,
diulang tiap 4-6 jam bila perlu), dosis pediatrik (0,5 mg/kg i.v dua kali
sehari pada permulaan, dapat ditingkatkan sampai 0,5 mg/kg i.v 2-4 kali
sehari, dengan tidak melebihi 100 mg 4 kali sehari. Kontraindikasi bila
digunakan bersama dengan klofibrat dan warfarin, karena dapat
meningkatkan toksisitas. Pemberian bersama dengan estrogen dapat
meningkatkan hepatotoksisitas pada wanita di atas 35 tahun. Pada
kehamilan, kriteria C-belum diketahuin keamanannya. Dantrolen dapat
menyebabkan hepatotosisitas, hati-hati pada gangguan fungsi paru dan
insufisiensi kardiak berat.
Penisilin G berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida
dinding otot selama multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal
terhadap mikroorganisme yang rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari.
Dosis besar penisilin i.v dapat menyebabkan anemia hemolitik, dan
neurotoksisitas. Dosis dewasa (10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4
dosis), dosis pediatrik (100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4
kali/hari). Kontraindikasi pada hipersensitivitas. Pada kehamilan, kriteria B-
biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya melebihi resiko yang
mungkin terjadi. Hati-hati dalam penggunaan obat ini pada gangguan fungsi
ginjal.
Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat
diabsorpsi ke dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagian yang
terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis protein, yang
menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari.
Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika pada
terapi tetanus karena penisilin G juga merupakan agonis GABA yang dapat
memperkuat efek toksin. Dosis dewasa ( 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 g
i.v tiap 12 jam, tidak lebih dari 4 g/hari), dosis pediatrik ( 15-30
mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam tidak lebih dari 2 g/hari ).
Kontraindikasi pada hipersensitivitas, dan trimester pertama kehamilan.
16
Kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya melebihi
risiko yang mungkin terjadi. Perhatian pada penyesuaian dosis penyakit hati,
pemantauan kejang dan neuropati perifer.
Doksisiklin menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri
dengan pengikatan pada sub unit 30s atau 50s ribosomal dari bakteri yang
rentan. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Dosis dewasa ( 100 mg
per oral/i.v tiap 12 jam ), dosis pediatrik ( < 8 tahun tidak direkomendasikan,
< 45 kg: 4,4 mg/kg/hr oral/i.v dosis terbagi, > 45 kg sama seperti dosis
dewasa). Kontraindikasi obat ini pada hipersensitivitas dan disfungsi hati
berat. Interaksi obat ini bioavaibilitas menurun dengan antasida yang
mengandung alumunium, kalsium, besi, atau subsalisilat bistmuth,
tetrasiklin dapat meningkatkan efek hipoprotrombinemik dari antikoagulan.
Kriteria D-tidak aman dipergunakan pada kehamilan. Fotosensitifitas dapat
terjadi pada paparan jangka lama terhadap sinar matahari, dosis hendaknya
dikurangi pada gangguan ginjal.
17
BAB IV
PEMBAHASAN
Toksin yang dilepaskan dalam luka mengikat motor alfa neuron terminal
perifer, memasuki akson, dan ditranspor ke sel saraf tubuh dalam batang otak dan
medula spinalis dengan transpor intraneuron retrograd. Kemudian toksin
bermigrasi menyeberangi sinap ke prasinaps, dimana toksin menghambat
pelepasan neurotransmiter penghambat glisin dan asam gama-aminobutirat
(GABA). Dengan mengurangi penghambatan, kecepatan letupan istirahat dari
neuron, motor alfa meningkat, menyebabkan regiditas. Dengan penurunan
aktivitas refleks, yang membatasi penyebaran impuls (suatu aktifitas glisinergik)
polisinaptik, agonis dan antagonis yang kemudian menyebabkan spasme.
Kehilangan penghambatan juga dapat mempengaruhi neuron simpatik
preganglion pada bagian lateral substansia grisea medula spinalis dan
menyebabkan hiperaktivitas simpatik dan kadar katekolamin sirkulasi yang tinggi.
Tetanospamin, seperti botulinum, juga mungkin menghambat pelepasan
neurotrasmiter pada taut neuromuskuler dan menyebabkan kelemahan atau
paralisis. Pemulihannya memerlukan pertunasan ujung saraf yang baru.
Tetanus umum terjadi bila toksin yang dilepaskan dalam luka memasuki aliran
darah dan disebarkan ke ujung saraf lainnya. Sawar otak-darah langsung
menghambat jalan masuk ke dalam susunan saraf pusat. Menganggap waktu
transpor interneuron adalah sama untuk semua saraf, saraf yang pendek
dipengaruhi sebelum saraf yang panjang; bukti ini menjelaskan bahwa rangkaian
keterikatan saraf dari kepala, batang tubuh, dan ekstermitas pada tetanus umum.
Selain itu toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit
dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neurotoksik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot.
Pada pasien ini terdapat trismus (kesukaran membuka mulut atau kaku rahang)
karena spasme otot masseter, dan kontraksi otot wajah yang terus menerus
sehingga dapat menimbulkan risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut
tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi). Dapat juga terjadi
18
pada otot punggung sehingga dapat menimbulkan epistotonus dan ketegangan
pada otot dinding perut sehingga menyebabkan perut seperti papan.
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Abblett pada pasien ini adalah:
- Derajat II (sedang): Trismus sedang, rigiditas nampak jelas, spasme meningkat
ringan - sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan
lebih 30x/menit¸ disfagia ringan.
Pada pasien ini terdapat luka, sehingga diduga porte d’entree (tempat
masuknya) kuman Clostridium tetani melalui infeksi pada tempat luka. Dan pada
pasien ini terdapat gangguan dalam buang air besar yang dapat disebabkan karena
spasme otot sfingter ani.
Toksin ini bersifat seperti antigen, sangat mudah diikat oleh jaringan saraf dan
bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik.
19
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tetanus merupakan gangguan neurologis yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,
suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Pada tetanus terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila
berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan
membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus.
20