Post on 06-Feb-2018
1
PERKEMBANGAN ESTETIKA MUSIKAL SENI KARAWITAN JAWA
DAN PENGARUHNYA TERHADAP MASYARAKAT PENDUKUNGNYA
Oleh: Hartono
Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Abstrak
Sejak prasejarah sampai hari ini, orkes tradisional ( gamelan) telah
berubah beberapa kali, dalam format bentuk dan angka-angka nya
.Orkes tradisional mempunyai posisi unik ke arah proses
pengembangan historis. Reputasinya telah terlewat dalam batasan
dunia musik. Negara maju dan yang belajar musik dunia [itu], telah
buat orkes tradisional [sebagai/ketika] tanda kebesaran di (dalam)
beberapa universitas. Kemunculan orkes komputer di (dalam) abad
ke duapuluh telah mewarnai gamelan musik Jawa. Untuk aesthetic
yang akustik Jawa gamelan Musik telah nampak dengan nada yang
baru [itu]. Seni tradisional diharapkan untuk ber;ubah manapun
sektor hidup. Pembaruan [dari;ttg] tradisi musik di (dalam) jaman
[yang] mega-speed ini telah mengharapkan proyek riset [itu] yang
mungkin kembang;kan gaya berbakat musik kepada kecepatan
aktivitas manusia dan pengembangan nilai-nilai budaya [dirinya]
sendiri, membandingkan terhadap masa lampau.
Kata Kunci : Pengembangan Estetika ,Musikal, Seni Karawitan
Jawa, Pengaruh
Abstract
Since the prehistoric time to this day, traditional orchestra
(gamelan) has changed several times, either in its forms and
numbers. Traditional orchestra has unique position toward the
process of historical development. Its reputation has gone beyond
the border of music in the globe. The developed countries and
2
which is able to learn the world music, has made traditional
orchestra as the status symbol in several universities. The
emergence of computer orchestra in twentieth century has colored
gamelan music of Javanese. The acoustic aesthetic of Javanese
gamelan music has appeared with the new tone. Traditional art is
hoped to change in any sectors of lives. The renewal of music‟s
tradition in this mega-speed era has counted on the research
projects which might develop musical genre to the speed of human
activities and the evolving cultural values itself, compared to the
past.
Keywords: development, aesthetic, musical, Javanese gamelan
music, influence
PENDAHULUAN
Gamelan Jawa merupakan
seperangkat alat musik yang menjadi
salah satu objek penting dalam
lingkup pembicaraan musik di antara
ribuan alat musik lain yang terdapat
di dunia. Ketertarikan para sarjana
menjadikan gamelan sebagai objek
penelitian disebabkan oleh beberapa
aspek keistimewaan yang terdapat di
dalamnya. Beberapa keistimewaan
gamelan Jawa terdapat pada aspek
audio dan visualnya. Keistimewaan
pada aspek audio meliputi: warna
bunyi (tone colour), laras (scale
system), embat (interval), dan
pelayangan (sound wave), sedangkan
keistimewaan pada aspek visualnya
meliputi: bentuk, konstruksi,
keindahan material yang dipakai, dan
ornamennya.
Keistimewaan pada kedua
aspek dan dukungan kualitas pada
aspek musikalnya mendorong
masyarakat dunia untuk mengakui
bahwa gamelan Jawa adalah „the
most sophisticated music in the
world‟. Negara yang sudah maju dan
mempunyai peluang untuk
mempelajari musik dunia, misalnya:
Amerika Serikat, Kanada, Jepang,
Eropa, Australia, dan beberapa
2
negara lainnya telah menjadikan
gamelan Jawa sebagai lambang
status pada beberapa universitasnya.
Gamelan Jawa terdiri dari
kurang lebih dua puluh jenis
instrumen. Bila dihitung secara
keseluruhan dapat mencapai jumlah
kurang lebih tujuh puluh lima buah,
tergantung pada kebutuhan dengan
rincian bahwa setiap instrumen
terdiri dari dua buah untuk masing-
masing laras (Lindsay, 1979: 3).
Sebagian besar merupakan alat
musik yang dikategorikan sebagai
metallophone dari perunggu, tetapi di
dalamnya juga terdapat alat musik
dari kategori lainnya, yaitu:
chordophone (rebab, siter,
celempung), xylophone (gambang),
aerophone (suling) dan
membranophone (kendang) (Nettl,
1992: 133). Lebih spesifik
merupakan seperangkat alat musik
dengan laras tertentu (slendro atau
pelog) (Vetter, 2001: 43).
Berdasarkan fungsi pada
instrumentasinya dibagi menjadi dua,
yaitu: (1) instrumen yang bertugas
untuk membawakan lagu (pamurba
lagu), dan (2) instrumen yang
bertugas untuk mengatur irama
(pamurba wirama) (Sumarsam,
2002: 23).
Gamelan mempunyai posisi
yang sangat unik pada proses
perkembangan sejarahnya (Lindsay,
1979: 3). Reputasinya mampu
menembus wilayah percaturan musik
dunia. Tahun 1889-1890 mendapat
kesempatan untuk diikutsertakan
dalam pameran internasional di
Paris. Beberapa keistimewaan pada
bentuk fisik, kualitas bunyi, dan
larasnya yang unik mengusik
perhatian para pemusik dan
komposer barat. Salah satunya
adalah Claude Debussy yang
kemudian melukiskan fantasinya
pada sebuah komposisi baru dengan
sentuhan gamelan di dalamnya
(Wiranto, tt: 8).
Secara umum gamelan adalah
sebagai salah satu media ekspresi
bagi pengrawit (sebutan untuk
pemusiknya) pada penyajian musik
gamelan yang disebut dengan istilah
karawitan. Dua unsur yang sangat
penting untuk diperhatikan pada
gamelan adalah perspektif
kualitasnya yang menyangkut aspek
audio dan visualisasinya. Gamelan
yang diciptakan dengan perhitungan
3
matang pada kualitas bunyi (sound
quality) yang dihasilkan merupakan
salah satu penunjang keberhasilan
sebuah penyajian karawitan, di
samping aspek penunjang lainnya,
misalnya kemampuan pengrawit
secara individual pada ketiga ranah.
Pertama, yaitu kemampuan secara
kognitif, meliputi: tafsir garap
gending, tafsir garap instrumen,
ketepatan pemilihan cengkok dan
variasinya. Kedua, kemampuan pada
psikomotorik, meliputi: ketrampilan
dalam memainkan instrumen
gamelan. Ketiga, adalah kemampuan
afektif yang meliputi: perilaku dan
sikap, baik pada saat bermain
gamelan maupun tidak.
Kualitas bunyi yang baik
pada masing-masing instrumen
gamelan menjadi salah satu faktor
penting yang dapat menentukan
kualitas sebuah sajian karawitan,
baik yang berkonsep tontonan
maupun tidak. Kualitas pada aspek
visual untuk sajian karawitan melalui
media elektronik audio (radio, tape,
cd dan perangkat elektronik audio
lainnya) tidak menumbuhkan efek
apapun bagi pendengarnya, karena
tidak ada gambaran secara visual
yang dapat diindera dengan
penglihatan. Namun bagi para
pengrawit (pemain gamelan) pada
saat beraktivitas, baik pada saat
melakukan proses perekaman atau
siaran langsung, kualitas bunyi
tersebut dapat menumbuhkan efek
psikologis. Dampaknya ada dua
kemungkinan, yaitu: dapat
meningkatkan atau sebaliknya
menurunkan semangat pada proses
penyajiannya.
Aspek kualitas bunyi pada
instrumen gamelan meliputi: keras-
lembut, kenyaringan, dan resonansi
yang terkait dengan panjang-pendek,
intonasi, kuantitas, dan tingkat
kerapatan gelombangnya. Satu hal
yang sangat signifikan dan sangat
penting untuk diperhatikan adalah
ketepatan larasan nadanya. Kualitas
bunyi dan penampilan yang dimiliki
gamelan di keraton Yogyakarta atau
Surakarta merupakan salah satu dari
beberapa koleksi artefak kuno yang
sangat membanggakan. Vetter
menjelaskan bahwa keistimewaan
pada keunikan bunyi dan
karakteristik visual masing-masing
perangkat gamelan di keraton
menjadi sebuah inspirasi untuk
4
memberikan penghargaan dengan
sebutan “kanjeng kyahi” dari kata
“ingkang panjenengan kyahi” yang
biasanya disingkat menjadi KK
(Vetter, 1992: 43).
PERKEMBANGAN SENI
KARAWITAN PADA MASA
LAMPAU
Telah lama diakui bahwa
musik (termasuk seni karawitan)
adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan manusia. Musik
dianggap sebagai salah satu cermin
dari masyarakat tertentu karena
melalui terlihat ritual dan budaya
sehari-hari. Musik sebagai karya
manusia juga tidak dapat dilepaskan
dari latar belakang budaya serta
masyarakatnya. Dalam bentuk yang
paling sederhana, dipahami bahwa
melalui musik, pencipta lagu akan
menuangkan seluruh pemikiran, daya
cipta dan perasaannya, dan melalui
musik pula orang dapat menghargai
keindahan dan memperoleh
ketenangan. Perkembangan
instrumen gamelan dan alat musik
lainnya di Jawa pada masa lampau
dapat ditemukan pada relief candi,
prasasti, dan beberapa piagam kuno
lainnya (Kunst, 1973: 11).
Masing-masing instrumen
diciptakan secara bertahap dan
sangat dimungkinkan juga muncul
secara terpisah dari sisi waktu, lokasi
dan fungsinya dalam kehidupan
masyarakat Jawa pada masa lampau.
Beberapa peninggalan sejarah
berbentuk relief pada candi batu,
yaitu candi Dieng dan Candi Sari
yang berasal dari abad VIII,
memberikan informasi mengenai
beberapa alat musik yang diprediksi
sebagai embrio dari beberapa
instrumen musik yang terdapat pada
gamelan saat ini, misalnya: genta,
sitar dan kecer (Soetrisno, 1981: 10).
Sejarah gamelan pada masa
Hindu Jawa tersebut (abad VIII
hingga abad XI) hanya memberikan
sedikit keterangan secara visual dan
tidak dapat memberikan keterangan
yang akurat, demikian juga pada
aktivitasnya (Sumarsam, 1995: 11).
Sama halnya dengan relief yang
terdapat pada candi Prambanan,
candi Pawon, candi Mendut dan
candi Borobudur (Palgunadi, 2002:
9).
5
Sedyawati dalam bukunya
Seni Pertunjukan Indonesia
menjelaskan sejarah tari berdasarkan
data utama relief bangunan suci Jawa
Tengah yaitu Borobudur, Prambanan
dan Sewu. Sikap tari pada relief–
relief tersebut merupakan varian atau
ornamentasi tari tertentu. Kelima
sikap kaki yang diuraikan dalam
Natya Sastra semuanya jelas ada
pada relief-relief tari ini terutama
candi Siwa (Kompleks Prambanan)
dan Borobudur, demikian juga pada
bangunan suci Sewu. Alat musik
yang terdapat pada adegan tarian
tersebut berfungsi sebagai penekanan
irama/ritme dan melodi. Alat musik
yang ada seperti kendang susun tiga,
cymbal, kendang silinder, tongkat
gesek dan sebagainya. Ini
membuktikan bahwa sebenarnya
antara seni tari dan seni musik ada
kaitan yang erat dan saling
membutuhkan (Sedyawati, 1981:
137).
Beberapa instrumen musik
tampak pada relief candi Borobudur,
misalnya relief karmawibhangga
yang menceritakan hukum karma
atau hukum sebab akibat yang
dipahatkan pada dinding kaki candi.
Seni tari dan seni musik sejak jaman
dulu mendapat penghargaan yang
tinggi terbukti dengan banyaknya
relief alat musik dan adegan tarian
pada dinding candi. Selain itu
banyak juga naskah kuno yang
menyebutkan keistimewaan alat
musik gamelan dan sebagainya
hingga tidak ada bandingnya di
negeri lain di Asia Tenggara.
Gambar 1: Relief Candi Borobudur
Panil nomor Iba. 233a
1
Relief di atas menunjukkan
adegan penari dan pemusik dengan
instrumen musiknya (tanda panah).
Bagian tengah panil memperlihatkan
seorang penari wanita berdiri di atas
suatu tempat yang agak tinggi
(batur) dan di kiri penari berdiri
seorang laki-laki berjenggot yang
bertepuk tangan. Anggota badan
manusia sebagai sumber bunyi
(tepuk tangan), instrumen musik
dengan jumlah yang minimal, dan
pose bentuk tubuh manusia pada saat
melakukan tarian secara sekilas
memberikan informasi keterkaitan
antara tari dan musik sebagai
pengiringnya.
Kreativitas manusia pada
proses perkembangan budaya saat itu
setidaknya menunjukkan tingkatan
kemampuan dalam berolah seni,
meskipun bentuk gerakannya jauh
berbeda bila dibandingkan dengan
gerakan tari pada saat ini. Demikian
juga dengan jumlah dan jenis
instrumen musik yang tidak
sebanyak seperti saat ini, serta jenis
instrumen yang terlihat masih sangat
sederhana.
Pada kurun waktu berikutnya,
tercipta beberapa instrumen musik
dengan bentuk dan namanya yang
sangat beragam, sebagai salah satu
contoh adalah instrumen kendang.
Beberapa istilah yang diperoleh dari
artefak sejarah yang diketemukan
memberikan informasi bahwa
instrumen kendang mempunyai
beberapa istilah yang berbeda untuk
menyebutkannya, yaitu: padahi,
pataha, padaha, muraba, murawa,
muraja, dan mredangga. Kreativitas
masyarakat Jawa pada masa lampau
berkembang seiring dengan
perjalanan waktu hingga pada
akhirnya terbentuklah seperangkat
instrumen musik Jawa secara
lengkap yang disebut gamelan
(Sutrisno, 1981: 5). Lebih spesifik
disebut gamelan gedhe atau jangkep,
yaitu seperangkat gamelan lengkap
yang biasa dimiliki masyarakat
secara umum (Palgunadi, 2002: 211).
Sejarah perkembangan alat
musik gamelan telah diteliti oleh
Soetrisno, seorang arkeolog yang
mempunyai perhatian besar pada
sejarah perkembangan gamelan
Jawa. Hasil penelitian berdasarkan
peninggalan arkeologis kemudian
disajikan secara terperinci dalam
bukunya yang berjudul „Sejarah
2
Karawitan‟ diterbitkan oleh
Akademi Seni Tari Indonesia tahun
1981. Informasi mengenai
perkembangan gamelan dimulai dari
kemunculan alat musik yang masih
sangat sederhana, baik yang berdiri
sendiri sebagai salah satu
kelengkapan dalam upacara
adat/ritual atau dalam sebuah
kelompok dalam jumlah yang kecil.
Proses perkembangan dalam
rentang waktu hingga ratusan tahun
membuahkan kreativitas untuk
menggabungkan satu persatu dari
alat musik yang ada menjadi
kelompok yang lebih besar. Tahapan
tertentu pada perkembangannya
menghasilkan seperangkat alat musik
dengan keragaman bentuk, ukuran,
laras, teknik memainkan, dan
estetika penyajiannya yang semakin
baik. Akhirnya, perangkat ini disebut
dengan istilah yang sangat dikenal,
yaitu „gamelan‟.
FUNGSI SOSIAL SENI
KARAWITAN JAWA
Dalam banyak masyarakat,
fungsi seni karawitan Jawa dapat
dijelaskan melalui terminologi sosial
yang eksklusif: musik digunakan
dalam tarian dan permainan; media
pendidikan; terapi; mengorganisir
kerja dan perang; dalam upacara dan
ritual; penanda kelahiran,
perkawinan dan kematian;
merayakan panen dan penobatan;
meneguhkan kepercayaan dan
kegiatan tradisi. Orang dapat
menikmati seni karawitan secara
individual, tetapi belum tentu
bermaksud untuk membuat perasaan
mereka lebih nyaman.
Pendekatan penting dalam
mempelajari dunia musik secara
esensial adalah taksonomik atau
klasifatori sebagai langkah pertama
memahami musik dan budaya.
Dalam pendekatan ini, suara musikal
secara budaya digolongkan dalam:
alat yang dipergunakan, bentuk
musik, skala dan sistem penalaan
yang digunakan, konteks sosial
dimana musik tersebut hadir, dan
sebagainya. Dengan menggunakan
beberapa informasi tersebut, maka
dimungkinkan untuk menemukan
peta musik yang komparatif untuk
mengelompokkan berbagai budaya
dengan musik yang memiliki
kesamaan.
3
Seni karawitan sebagai media
pendidikan dapat dilihat dari sudut
pandang cara membunyikannya, di
mana karawitan menjadi sajian seni
musik yang enak didengar bila
dimainkan secara bersama-sama. Ini
mencerminkan bahwa kebersamaan
menjadi satu hal yang sangat penting
untuk mencapai hasil musik yang
berkualitas (garapan musikal).
Berarti pula ini merupakan
pendidikan budi pekerti agar kita
hidup dalam kebersamaan saling
bergotong royong, tenggang rasa,
tepa selira, empan papan duga
sulaya bukan waton sulaya,
menghindari sifat egois dan
individualis. Tidak heran apabila
pendidikan seni karawitan Jawa lebih
baik diberikan sedini mungkin
kepada anak-anak didik kita sebagai
modal pemahaman kebersamaan.
Melalui bangku pendidikan formal
seperti Sekolah Menengah Karawitan
Indonesia baik di Padang Sumatera
Barat, Bandung Jawa Barat,
Yogyakarta, Solo, Banyumas,
Surabaya, Denpasar Bali dan
Makasar menjadi contoh keseriusan
pemerintah dalam menunjukkan
upaya pelestarian budaya yang
adiluhung ini.
Fungsi musik dalam dunia
pendidikan juga diungkapkan oleh
beberapa tokoh pendidikan musik di
barat seperti Peter Fletcher dan
Martin Cooper. Pendidikan musik
penting diberikan karena dari itu kita
bisa memperoleh pengetahuan
teoritis dan kemungkinan lebih luas
tentang teknik eksplorasi dalam
berbagai eksperimen musikal yang
mungkin akan muncul kemudian.
Ungkapan dan gagasan
tersebut antara lain:
Tthe ancient Greek believed
that music was the primary
influence on the soul and the
arithmetical proportions
inherent in the harmonic
series provided a vital link
between science and
aesthetics, mind and spirit.
(Flecher, 1987: xii-xiii)
Pendapat lainnya tentang hal
ini adalah seperti berikut:
Rhythm, pitch, intervals and
andeed patterns are all
subject to mathematical laws,
4
and we should never forget
that for at least the eight
hundred years separating St
Augustine from Plato,
„music‟ was considered a
department and mathematics
a department of phylosophy.
(Cooper, 1988: 238)
Belakangan ini gencar
diberitakan hasil mutakhir penelitian
barat yang menyebutkan bahwa
musik yang seimbang dalam 4
unsurnya yaitu melodi, harmoni,
ritme dan timbre dapat dipergunakan
sebagai media pendidikan dan
mampu mempertajam kecerdasan
dan meningkatkan IQ. Salah satu
pendapat seorang pakar musik
menyebutkan bahwa:
Dengan mengembangkan
kemampuan musik maka
akan dimiliki keunggulan-
keunggulan yang
menyertainya. Kegiatan
latihan, mendengarkan dan
menghargai musik akan
meningkatkan perkembangan
kognitif, fisik, emosi dan
sosial (Djohan, 2003: 141).
Namun sesungguhnya nenek
moyang kita telah menemukan
konsep yang lebih unggul, yaitu
apapun profesi seseorang setelah
dewasa, pendidikan dasar semua
anak adalah tari, olah tubuh, olah
seni termasuk gamelannya (Hidajat,
2005: 20). Jadi seni tari dan seni
musik juga memiliki kaitan erat
dalam proses pendidikan dunia anak.
Merriam (1964: 225-267),
menyebutkan bahwa ada 10 fungsi
seni musik dalam kehidupan manusia
yang telah berlangsung dari dulu
hingga kini. Salah satunya berfungsi
sebagai pendukung kegiatan ritual
religius. Kegiatan ritual memiliki
bermacam-macam maksud serta
tujuan, antara lain ritual untuk
penyembuhan, kesejahteraan, serta
kesuburan. Mengenai fungsi musik
pada ritual penyembuhan, Djohan
(2006: 57) mengutip pernyataan
Kenny menyatakan sebagai berikut:
Biasanya berupa penggunaan
musik ritual milik suatu
komunitas tertentu (baik
komunitas religius, sosial
atau kultural) untuk tujuan
penyembuhan. Pada
5
umumnya, ritus upacara
sudah ada tetapi dapat juga
diciptakan dan
dikembangkan musik tertentu
untuk tujuan khusus atau
memenuhi kebutuhan
kelompok tertentu.
Upacara ritual terasa lebih
khusyuk dengan hadirnya kesenian
yang mendampingi serta melengkapi
perjalanan upacara. Ruwatan seperti
murwakala, bersih desa, ruwat bumi,
ruwat bangun terasa lengkap dengan
hadirnya pergelaran wayang kulit
semalam suntuk dengan iringan
karawitan Jawa.
Lebih lanjut seperti yang
ditulis Djohan (2008: 268),
disebutkan bahwa musik seringkali
digunakan sebagai bagian dari tim
pengobatan interdisiplin termasuk
pengurangan rasa sakit, kecemasan,
manajemen stress, komunikasi, dan
ekspresi emosi.
Banyak masyarakat Jawa
yang berprofesi sebagai seniman
karawitan dengan kata lain
menggantungkan hidupnya pada
cabang seni ini sebagai tempat
mencari penghasilan atau
pendapatan. Karawitan menjadi
hiburan dengan warna tersendiri bagi
masyarakat Jawa. Sajian pangkur
jenggleng, campur sari,
panembrama, uyon-uyon, siteran
gadhon, cokekan, langgam, santi
swaran adalah “nomor-nomor
pilihan” yang digemari masyarakat.
Seni karawitan juga bisa
digunakan sebagai iringan seni yang
lain, seperti tari, teater, dan
pedalangan. Seni tari dengan seni
musik karawitan memiliki hubungan
yang sangat erat dalam upaya
membangun daya hidup tari,
dinamika dan penyuasanaan tertentu.
Hidajat (2005: 53) dalam bukunya
berjudul Wawasan Seni Tari
menyatakan bahwa musik dalam
karya seni tari (koreografi) bersifat
fungsional setidaknya terdapat 3
fungsi antara lain: musik sebagai
iringan gerak, musik sebagai
penegasan gerak dan musik sebagai
ilustrasi.
Musik sebagai pengiring
gerak memberikan dasar irama pada
gerak, gerakan. Kehadiran karawitan
hanya dipentingkan untuk
memberikan kesesuaian irama musik
terhadap irama gerak. Pertimbangan
6
secara umum pemilihan musik
sebagai iringan selain kesesuaian
irama dengan gerak adalah mampu
mengungkapkan karakteristik. Oleh
karenanya jenis musik sebagai
iringan atau partner gerak ini pada
umumnya untuk jenis koreografi
dramatik yaitu koreografi yang tidak
menekankan aspek cerita atau lakon
yang disampaikan secara kronologis.
Lebih lanjut Hidajat (2005:
55) menyatakan bahwa musik
sebagai iringan tari (bunyi
instrumen) juga dapat terpisah dari
gerakan penari, sebab gerakan tubuh
penari dapat mengeluarkan sumber
bunyi tertentu, seperti tepukan
tangan, tepukan badan, depakan kaki,
teriakan atau instrumen tertentu yang
dipegang atau diikatkan pada
anggota badan penari. Instrumen
sebagai pengiring yang demikian itu
disebut sebagai instrumen internal,
sedangkan instrumen eksternal
adalah instrumen yang mengeluarkan
sumber bunyi jauh dari penarinya.
Musik sebagai penegas gerak
oleh Hidajat diartikan bahwa musik
memiliki karakteristik yang mirip
dengan musik sebagai iringan tetapi
lebih bersifat teknis terhadap
gerakan, artinya musik tertentu
berfungsi sebagai penumpu gerak
dan musik yang lain memberi
tekanan terhadap gerakan sehingga
gerakan tangan, kaki atau bagian
yang lain memiliki rasa musikalitas
yang mantap.
Di dalam tari tradisi Jawa,
salah satu instrumen yang
berhubungan erat dengan fenomena
ini adalah peran isntrumen kendang.
Esensi instrumen kendang memiliki
peran penting sebagai pembawa rasa
seni karawitan ketika dijadikan
partner tari. Karawitan tari belum
dapat bermanfaat secara optimal
tanpa adanya kendang, terutama bagi
gerakan yang membutuhkan tekanan.
Kendang sebagai pamurba irama
atau pemimpin jalannya irama juga
dapat menjadi mediator
keseimbangan antara tari dengan
karawitan (Trustho, 2005: 99).
Musik sebagai ilustrasi
menurut Hidajat (2005: 54) adalah
musik yang difungsikan untuk
memberikan suasana koreografi
sehingga peristiwa yang
digambarkan mampu terbangun
dalam persepsi penonton. Musik
karawitan sebagai ilustrasi untuk
7
membangun suasana pada umumnya
digunakan pada koreografi yang
berstruktur dramatari. Adegan-
adegan yang dibangun membutuhkan
dukungan penyuasanaan, baik untuk
menggambarkan lingkungan tertentu
atau untuk mengungkapkan suasana
hati.
Sebuah garapan musikal
iringan tari juga dipilih karena
pertimbangan waktu yaitu ritme dan
tempo. Pilihan ini dilakukan karena
struktur metrikal musik yang
memperkuat metrikal tariannya.
Lewat struktur ritmisnya seni
karawitan sebagai iringan
membimbing terwujudnya struktur
ritmis respon gerak. Di samping itu
melalui penggunaan waktu, tempo
dan intensitas, musik dapat pula
mengendalikan kualitas, jangkauan
dan intensitas gerak.
Musik karawitan Jawa
sebagai iringan tari dapat
mensugestikan atau
mengekspresikan gerakan yang
mengalir atau tersendat-sendat,
gerakan maju atau mundur, kuat atau
lemah, semangat, serius atau main-
main. Seorang penata tari biasanya
membutuhkan topangan musik yang
mampu menguatkan kualitas gerak
yang secara tepat mengikuti pola-
pola ritme gerakan penari.
Nada-nada yang melodis dan
harmonis yang ditimbulkan oleh
nada-nada gamelan Jawa
mengandung kualitas-kualitas
emosional yang siap menunjang dan
mengiringi unsur-unsur ritmikal
gerak sehingga terciptalah suasana
rasa sebuah tarian. Elemen musik
seperti ritme, tempo, laya dan
dinamika berfungsi sebagai sarana
umpan balik dengan gerak tari dan
juga untuk mengatur keseimbangan
irama musik dengan irama tari.
Irama merupakan faktor utama bagi
sebuah sajian tari.
Saling ketergantungan antara
seni tari dan musik ditegaskan oleh
Sedyawati dalam tulisan ,”
Permasalahan Sejarah Tari Dilihat
Pada Khusus Masa Jawa Kuna” di
majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia
tahun 1980, IX no 2 dan 3 : 103-141
menjelaskan sejarah tari berdasarkan
data utama relief bangunan suci Jawa
Tengah yaitu Borobudur, Prambanan
dan Sewu. Sikap tari pada relief –
relief tersebut merupakan varian atau
ornamentasi tari tertentu dan alat
8
musik yang terdapat pada relief
tersebut berfungsi sebagai penekanan
irama/ritme dan melodi (Sedyawati,
2003: 18). Relief ini juga menjadi
bukti bahwa seni musik memiliki
peran penting pada kehidupan masa
lalu. Perhatikan salah satu contoh
relief candi sebagai berikut:
Gambar 2. Relief Candi Borobudur
Panil nomor Ia 95
Menggambarkan Sang Bodhisatva sedang diganggu para penari putri yang
dipimpin oleh Mara. (Foto: reproduksi dari Krom, 1920)
PERKEMBANGAN ESTETIKA
MUSIKAL KARAWITAN JAWA
Munculnya gamelan
komputer pada abad XX ini terasa
begitu mewarnai keberadaan seni
karawitan pada masyarakat
pendukungnya. Kehadirannya
menjadi fenomena tersendiri di
kalangan seniman karawitan.
Terutama pada seniman karawitan
yang tergolong generasi muda.
Bagaimana tidak? Semangat baru
muncul ketika budaya modern
memasuki budaya tradisional ini.
Contohnya adalah dimasukkannya
perangkat musik modern seperti
misalnya terompet dan snare drum
pada iringan tari bedhaya di Kraton
Yogyakarta atau gitar elektrik baik
gitar string ataupun bass, keyboard,
drum set pada kesenian campursari.
Kehadiran instrumen musik
elektrik mewarnai perangkat
instrumen gamelan yang megah,
agung, artistik dan adi luhung
dengan sejumlah niyaga yang
dengan anggun lenggah semanggem.
Cukup dengan menancapkan flash
disk atau memasukkan CD ke dalam
perangkat alat musik keyboard,
suasana “dianggap” menjadi lebih
meriah dan hingar bingar, sejalan
2
serta seirama dengan perkembangan
jiwa anak muda dan sebagian
masyarakat pada umumnya. Hal ini
sering kita jumpai pada hajatan-
hajatan masyarakat seperti
pernikahan, tasyakuran sunatan,
ulang tahun pernikahan, dan
sebagainya.
Secara ekonomis
perkembangan seni budaya ini juga
mempengaruhi pendapatan
senimannya. Oleh karena
kepopulerannya, maka kesenian ini
sering ditanggap atau diundang
sebagai pengisi acara sekaligus
penghibur, dan dengan demikian
berarti para pemain akan mendapat
tambahan uang jasa.
Manusia adalah makhluk
biokultural, ia adalah produk
interaksi antara faktor-faktor biologis
dan budaya. Sulit disangkal bahwa
setiap perbuatan manusia apabila
ditelusuri, pada akhirnya akan
terlihat sesuatu yang terasa
menghubungkan antara satu fenomen
dengan fenomen yang lain. Sesuatu
yang terus berulang. Bila dilihat dari
cara menampilkan dirinya, bisa kita
lihat bahwa manusia sebagai
individu merupakan sisi yang amat
penting untuk diamati dan dipelajari.
Tiap individu mempunyai “rambu-
rambu” dalam memilih tindakan,
apakah dia akan kompromistis
dengan sistem nilai yang ada atau
mempunyai suatu naluri individual
lainnya, yaitu mengambil jarak dan
berkelompok dengan cara memilih
individu dengan pertimbangan
pikiran dan perasaan yang
dimilikinya, baik yang bersifat
instingtif maupun secara canggih
yaitu dari olah pikir dan olah rasa,
tegasnya mengenai pengetahuannya.
Pada perayaan pernikahan
seringkali terjadi ketika perjalanan
sepasang pengantin menuju
pelaminan diiringan gending kodhok
ngorek atau gending gati yang
dipadu dengan instrumen terompet
serta snare drum untuk memberikan
tekanan irama musik. Nilai estetis
akustik karawitan Jawa muncul
dengan warna baru. Nada dan laras
gamelan sebagai ciri khas musik
Jawa terpadu dengan dentuman
snare drum serta lengkingan
terompet memberi kesan anggun
berwibawa, lebih tegas dan mantap.
Hal ini juga sering kita saksikan pada
pertunjukan lain seperti wayang kulit
3
purwa. Seorang dalang terkenal
seperti Ki Manteb Sudarsono “Si
Dhalang Setan” pada waktu
melakukan atraksi sabetan wayang
kulit dalam sebuah adegan perang,
pada garap iringannya sering
ditambahkan instrumen musik barat
seperti drum, cymbal dan
trombon/terompet untuk mendukung
suasana.
Seni tradisi dihadapkan
secara diametral dengan perubahan
yang pesat di segala sektor. Itulah
yang secara sederhana disebut
sebagai modern. Tradisi dan modern
menjadi dua kutub yang bisa saling
mengisi dan saling tarik menarik
sehingga muncul warna baru,
walaupun di satu sisi masih ada yang
mempersoalkan efektifitas dan
efisiensi. Memang perubahan
membawa resiko yang besar dan
serius tentang tatanan kehidupan
(nilai-nilai) masyarakat.
Atas nama efektifitas dan
efisiensi misalnya, ada kalanya
“terpaksa” harus menggusur
sebagian tradisi yang ada. Akan
tetapi, pada suatu ketika muncul
dilema, yakni ketika tradisi digusur,
maka yang terjadi justeru
ketidakjelasan. Sebuah gerak
langkah tanpa arah dan pijakan. Arah
yang terlalu kencang menuju ke titik
sasaran di depannya, tetap
membutuhkan kontrol, sebab sasaran
di depan bisa jadi masih impian,
angan-angan yang belum jelas benar
sosok atau bentuknya. Sementara itu
seni tradisi justeru memberikan
kearifan, kemapanan, memberikan
nilai-nilai yang dapat dijadikan dasar
pijak. Melangkah dengan pijakan
yang jelas akan terhindar dari
kegamangan.
Menempatkan seni tradisi di
satu sisi dan perubahan di sisi yang
lain secara proporsional akan
terhindar dari diskusi yang
melingkar-lingkar di sekitar dikotomi
tradisi dan modern, yang berujung
pada saling mempertentangkan.
Saling mempertentangkan di antara
keduanya artinya terjebak pada
pemaknaan yang kurang cerdas dan
arif, serta pilihan yang kurang
bijaksana.
Pada kenyataannya dalam
kehidupan sehari-hari kita tidak
dapat memilih salah sesuatu secara
fanatik. Kita tidak dapat begitu saja
menisbikan salah satu, kemudian
4
menokohkan yang lainnya.
Keduanya dengan segala kekurangan
dan kelebihannya memberikan nilai
dan maknanya sendiri-sendiri.
Masing-masing akan saling
melengkapi dalam rangka meraih
keselarasan.
Bagaimana dan dimana peran
seni tradisi dalam kehidupan
sekarang dan yang akan datang
secara eksplisit dapat dilihat dari
potensi yang dimiliki oleh seni
tradisi. Perubahan tanpa kesadaran
membelah diri dengan karakter-
karakter dasar akan beresiko sangat
tinggi, misalnya terjadi disorientasi,
kehilangan arah, dan karenanya
menjadi limbung. Pada akhirnya
akan melahirkan sebuah pribadi yang
gamang atau suatu kelompok
masyarakat tanpa identitas.
Revitalisasi seni musik tradisi
seperti seni karawitan Jawa dalam
era transformasi budaya yang
berkecepatan mega speed seperti
sekarang ini sudah dengan sendirinya
mengandalkan adanya proyek-
proyek penelitian yang diharapkan
dapat mengembangkan genre ini
sesuai percepatan aktivitas kita dan
perubahan kultur serta nilai yang
kadang sangat ekstrim dibanding
dengan kondisi para pendahulu di
masa lalu.
Perubahan dari budaya
agraris menjadi budaya transisi
industrial, perubahan gotong royong
ke orientasi profesi, perubahan dari
budaya tepa slira ke budaya
formalisme, semuanya itu
berpengaruh kepada perubahan visi,
persepsi, sikap dan tanggapan kita,
tidak saja kepada seni musik tradisi,
bahkan kepada hubungan personal
kita dengan orang lain.
Perkembangan satu demi satu
seni musik tradisi kita telah
membuktikan bahwa perhatian
masyarakat terhadap genre ini kian
hari kian bertambah dan apresiatif.
Di satu pihak upaya revitalisasi dan
rasionalisasi genre ini perlu disambut
dengan baik, tetapi perlu juga
diingat, bila hal ini tidak diikuti
dengan pemikiran jangka panjang ke
arah pembentukan masyarakat
pendukungnya melalui transmisi
formal (pendidikan), maka niat baik
itu akan berubah menjadi
“bumerang-bumerang” yang
mematikan genre itu sendiri.
5
Tantangan yang kini kita
hadapi dalam rangka revitalisasi seni
musik tradisi dengan demikian
sangat jelas dan sifatnya challenging.
Pemikiran-pemikiran yang sifatnya
tentatif, tergambar kemana arahnya,
yakni ketidak jelasan perspektif atas
masa depan dan perkembangan genre
ini.
Perkembangan estetika
musikal seni karawitan Jawa di
masyarakat mempengaruhi berbagai
aspek dalam masyarakat
pendukungnya. Pengaruh tersebut
antara lain berbagai faktor sebagai
berikut:
1. Faktor Ekonomi:
Perpaduan budaya barat dan
timur seperti yang terjadi pada seni
karawitan Jawa memberikan warna
baru pada kesenian ini. Hal ini
mengakibatkan kesenian ini lebih
digemari oleh generasi muda, dan
secara langsung berpengaruh pula
pada masyarakat pendukungnya.
Sebagai contoh: jumlah jadwal
pentas bertambah banyak, maka
pendapatan makin besar; penjahit
baju seragam/kostum seniman
mendapat tambahan pesanan jahitan;
pengrajin gamelan mendapat
tambahan pesanan instrumen dan
sebagainya. Pokoknya masyarakat
yang berhubungan dengan kesenian
ini baik secara langsung maupun
tidak langsung mendapatkan
keuntungan yang relatif bisa
dikatakan lebih dari biasanya.
2. Faktor Sosial
Prestise atau gengsi menjadi
ciri dari masyarakat masa kini.
Kadangkala ini menjadi tujuan.
Beberapa masyarakat beranggapan
bahwa dengan mempergunakan
peralatan yang berbau “modern
kebaratan” berarti lebih canggih,
tidak kuno dan kecanggihan ini bagi
mereka (sebagian) dianggap mampu
meningkatkan “gengsi”. Hal ini
terbukti dengan hadirnya kesenian
campursari yang memadukan alat
musik Jawa dengan alat musik
modern. Kenyataan di lapangan
kesenian ini disukai oleh
masyarakat/kaum muda. Begitu juga
dengan pemain musiknya, seolah-
olah kepercayaan dirinya meningkat
tajam apabila tampil
mempergunakan perangkat
instrumen musik ini.
3. Faktor Budaya
6
Bila kita benar-benar
memanfaatkan seni budaya ini, maka
akan kita mendapatkan satu sumber
media sosial, media pendidikan budi
pekerti seperti: tenggang rasa, tepa
selira, kebersamaan, dan gotong
royong. Sifat individualis, egois akan
terkikis dalam proses pendidikan
karawitan Jawa oleh sebab untuk
mencapai garapan musikal karawitan
Jawa yang ideal sangat dibutuhkan
kehalusan rasa, kejelian, ketelatenan,
kesabaran, serta kebersamaan.
Perasaan akan kerumitan, keremitan
dalam garap gendhing (lagu) akan
dihadapi siswa didik dalam proses
pembelajaran karawitan Jawa pada
awal proses latihan. Bila ini
dilakukan terus-menerus pada
saatnya nanti akan membentuk
pribadi yang mampu menghargai
orang lain, tidak mencari menangnya
sendiri, sabar, teliti penuh toleransi.
Setidaknya itulah yang diharapkan
oleh nenek moyang kita melalui
karawitan Jawa ini. Namun, kita
tidak boleh terlena. Bila kita melihat
kenyataan sekarang ini, dimana
kehidupan semakin penuh dengan
tantangan, seolah ramalan
Rongowarsito “jamanne jaman
edan, yen ora ngedan ora komanan”
benar-benar semakin dekat bahkan
seolah seudah menjadi kenyataan.
Seni modern tidak bisa dipungkiri
kehadirannya, namun kita harus
mampu menjaga nilai tradisi.
Pengenalan seni karawitan
Jawa sedini mungkin kepada anak-
anak didik kita, meskipun hanya
dengan menunjukkan gambar atau
mendengarkan kaset rekaman
sepertinya mampu memberi
tambahan pengetahuan serta
memperluas wawasan pengetahuan
mereka. Semakin dini mereka
mengenal, maka mereka akan
semakin mencintai budaya sendiri
yang penuh dengan pendidikan budi
pekerti. Jangan sampai mereka
“teracuni” oleh budaya-budaya yang
negatif karena mereka (anak-anak)
belum mampu membedakannya.
Bila tulisan di atas ditelaah
dengan seksama, maka antara seni
karawitan Jawa dan masyarakat
pendukungnya (seniman tari
tradisional, pengrawit/ pemusik,
penghayat/pandhemen)
sesungguhnya terdapat hubungan
saling ketergantungan terhadap
kebutuhan yang sama. Berikut adalah
1
skema hubungan saling ketergantungan terhadap kebutuhan yang sama
:
Pengrawit Seni Pandhemen
Karawitan
Jawa
Gb. 3. Skema mutual simbiosis antara pengrawit dan pandhemen
Keterkaitan atau hubungan
saling menguntungkan antara
pengrawit dan pandhemen dengan
adanya seni karawitan terlihat dalam
sistem susunan secara horisontal.
Keterkaitan ini merupakan wujud
relasi mutual simbiosis antara
pengrawit dan pandhemen seni
karawitan Jawa.
KESIMPULAN
Gamelan Jawa merupakan
seperangkat alat musik yang menjadi
salah satu objek penting dalam
lingkup pembicaraan musik di antara
ribuan alat musik lain yang terdapat
di dunia. Sejak jaman prasejarah
hingga kini seni karawitan telah
mengalami berkali-kali perubahan
baik pada bentuk maupun jumlahnya.
Gamelan mempunyai posisi yang
sangat unik pada proses
perkembangan sejarahnya.
Reputasinya mampu menembus
wilayah percaturan musik dunia.
Beberapa keistimewaan
gamelan Jawa terdapat pada aspek
audio dan visualnya. Keistimewaan
pada aspek audio meliputi: warna
bunyi (tone colour), laras (scale
system), embat (interval), dan
pelayangan (sound wave), sedangkan
keistimewaan pada aspek visualnya
meliputi: bentuk, konstruksi,
keindahan material yang dipakai, dan
ornamennya.
Keistimewaan pada kedua
aspek dan dukungan kualitas pada
aspek musikalnya mendorong
masyarakat dunia untuk mengakui
2
bahwa gamelan Jawa adalah „the
most sophisticated music in the
world‟. Negara yang sudah maju dan
mempunyai peluang untuk
mempelajari musik dunia, misalnya:
Amerika Serikat, Kanada, Jepang,
Eropa, Australia, dan beberapa
negara lainnya telah menjadikan
gamelan Jawa sebagai lambang
status pada beberapa universitasnya.
Fungsi musik karawitan Jawa
dapat dijelaskan melalui terminologi
sosial yang eksklusif: musik
digunakan dalam tarian dan
permainan; media pendidikan; terapi;
mengorganisir kerja dan perang;
dalam upacara dan ritual; penanda
kelahiran, perkawinan dan kematian;
merayakan panen dan penobatan;
meneguhkan kepercayaan dan
kegiatan tradisi. Orang dapat
menikmati seni karawitan secara
individual tetapi belum tentu
bermaksud untuk membuat perasaan
mereka lebih nyaman.
Hadirnya “gamelan
komputer” pada abad XX ini terasa
begitu mewarnai keberadaan seni
karawitan pada masyarakat
pendukungnya. Kehadirannya
menjadi fenomena tersendiri di
kalangan seniman karawitan.
Terutama pada seniman karawitan
yang tergolong generasi muda.
Semangat baru muncul ketika
budaya modern memasuki budaya
tradisional ini.
Perkembangan estetika musikal
seni karawitan Jawa di masyarakat
mempengaruhi berbagai aspek
dalam masyarakat, antara lain faktor
ekonomi, faktor sosial dan budaya.
Keterkaitan atau hubungan saling
menguntungkan antara pengrawit
dan pandhemen dengan adanya seni
karawitan Jawa terlihat dalam sistem
susunan secara horisontal.
Keterkaitan ini merupakan wujud
relasi mutual simbiosis antara
pengrawit dan pandhemen seni
karawitan Jawa.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Irwan T. (Ed.). 2009.
Dinamika Masyarakat dan
Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
3
Alfian. 1985. Persepsi Masyarakat
Tentang Kebudayaan, PT
Gramedia: Jakarta.
Bakker S. J., W. M. 1984. Filsafat
Kebudayaan: Sebuah
Pengantar, Yayasan
Kanisius: Yogyakarta dan B.
P. K. Gunung Mulia: Jakarta.
Copeer, Martin. 1988. Judgements
Of Value; Selected Writing
On Music, Dominic Cooper
(ed.), Oxford University
Press, London.
Djohan. 2003. Psikologi Musik,
Buku Baik, Yogyakarta.
Djohan. 2008. Psikologi Musik,
Kanisius, Yogyakarta.
Ferdinandus, PEJ. 2003. Alat Musik
Jawa Kuno, Yayasan
Mahardhika, Yogyakarta.
Flecher, Peter. 1987. Music and
Educations, Oxford
University Press, London.
Haberman Martini dan Meisel Tobei.
1981. Dance An Art In
Academe, terjemahan Ben
Suharto, Yogyakarta:
Diterjemahkan dan distensil
untuk kalangan Sendiri dalam
Lingkungan ASTI
Yogyakarta.
Haviland, W. A. 1985. Antropologi
Jilid 2, Surakarta: Erlangga.
Hidajat, Robby. 2005. Menerobos
Pembelajaran Tari
Pendidikan, Banjar Seni
Gantar Gumelar, Malang.
_____. 2005. Wawasan Seni Tari,
Banjar Seni Gantar Gumelar,
Malang.
Ihromi, T. 2006. Pokok-Pokok
Antropologi Budaya, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Jatmiko, Aditya. 2005. Tafsir Ajaran
Serat Wedhatama,
Yogyakarta: Pura Pustaka.
Kaplan, David. 2002. Teori Budaya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
4
Koentjaraningrat. 1980. Teori
Sejarah Antropologi I,
Jakarta: UI Press.
_______. 1988. Metode-metode
Antropologi dalam
Penyelidikan Masyarakat dan
Kebudayaan Indonesia,
Jakarta: Penerbit Universitas.
_______. 1961. Beberapa Pokok-
Pokok Antropologi Sosial,
Jakarta: Dian Rakyat.
Kunst, Jaap. 1973. Music in Java: Its
History, Its Theory, and Its
Technique. 2 jilid. Edisi E.L.
Heins. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Meriam, Alan P. 1964. The
Anthropology Of Music,
terjemahan Triyono
Bramantyo, North Western
University Press,
Bloomington.
Murgiyanto, Sal. 1983. Koreografi,
Pengetahuan Dasar
Komposisi Tari, Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan.
Nettl, Bruno. 1992. The Excursion in
World Music, (New Jersey:
Simon & Schuster.
Palgunadi, Bram. 2002. Serat
Kandha Karawitan Jawi,
Bandung: Penerbit ITB.
Peursen, C. A. van. 1976. Strategi
Kebudayaan, Terj. Dick
Hartoko, Yayasan Kanisius:
Yogyakrta, 1976.
Soedarso Sp. 2003. Tinjauan Seni,
sebuah Pengantar Untuk
Apresiasi Seni, Saku Dayar
Sana, Yogyakarta.
______. 2006. Trilogi Seni,
Penciptaan, Eksistensi, Dan
Kegunaan Seni, Institut Seni
Indonesia Yogyakarta,
Yogyakarta.
Soedarsono, RM. 2003. Seni
Pertunjukan: Dari Perspektif,
Sosial dan Ekonomi.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
5
Soetrisno. 1981 Sejarah Karawitan,
Yogyakarta: Akademi Seni
Tari Yogyakarta.
Soetomo, Greg. 2007. Krisis Seni,
Krisis Kebudayaan, Pustaka
Filsafat: Yogyakarta.
Sumarsam. 1995. Gamelan: Cultural
Interaction and Musical
Development in Central Java,
Chicago: The University of
Chicago Press.
______. 2002. Hayatan Gamelan,
Surakarta: STSI Press
Surakarta.
Trustho. 2005. Kendang Dalam
Tradisi Tari Jawa, STSI
Press, Surakarta.
Vetter, Roger. 2001. “More Than
Meets The Eye and Ear:
Gamelan and Their Meaning
in A Central Javanese
Palace”, dalam Journal of the
Society for Asian Music. Vol.
XXXII-2. University of
Hawaii.
BIODATA PENULIS
2
Hartono lahir di Bantul, 9 Juni 1972. Menyelesaikan studi pada Jurusan
Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Yogyakarta (1998) dan
Pengkajian Seni Musik Nusantara pada Pascasarjana ISI Yogyakarta (2010). Aktif
dalam berkarya seni dan menulis. Sejak 2003 menjadi pengajar tetap di Program
Studi Pendidikan Seni Tari Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra Universitas
Negeri Malang. Pengalaman berkarya seni antara lain:
1. Workshop seni karawitan Jawa bersama Kulturkontakt Jerman di
beberapa negara di Eropa tahun 1999, yakni Jerman, Itali dan Perancis.
2. Workshop seni karawitan Jawa dan pentas pakeliran di Amerika pada
tahun 2002 antara lain di:
a. University Of Illinois at Urbana Champaign, USA.
b. FROG (Friends Of The Gamelan) at Chicago, Illinois, USA.
c. Spring Concert bersama FROG (Friends Of The Gamelan) di
Rockefeller Chapel, Chicago, Illinois, USA.
3. Duta Seni Budaya Indonesia sebagai penata musik dan penari bersama
Universitas Negeri Malang (UM) ke Thailand tahun 2006.