Post on 10-Jul-2016
JUDUL : PERAN INTELEKTUAL
PENULIS : EDWARD W. SAID
PENERBIT : YAYASAN PUSTAKA OBOR INDONESIA
Pengantar Resensi
Pertemuan dengan Bung Cip dari Gerakan Literasi Indonesia, yang pada
saat itu turut menjadi pembicara dalam kegiatan sekolah pergerakan yang
diselenggarakan oleh Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS), seakan menjadi
jawaban apa yang selama ini kami perdebatkan tentang bentuk dan orientasi
Kalam Kopi1. Ketika itu, saya dan 2 orang santri Kalam Kopi lainya mencoba
menjalin hubungan dan berdiskusi tentang majelis ilmu yang kami rencanakan.
Sekaligus bercerita pula tentang kendala-kendala yang dihadapi. Hasil diskusi
panjang lebar tersebut, coba dibawa dan dilaksanakan dengan persiapan yang
lebih matang. Termasuk mempersiapkan serial diskusi dengan mengupas sebuah
buku terlebih dahulu. List pertama buku yang akan dikupas, jatuh kepada buku
Peran Intelektual yang ditulis oleh Edward Said. Buku ini diharapkan dapat
menjadi bahan renungan, sekaligus refleksi tentang peran seorang Intelektual dan
tanggung jawabnya di hadapan masyarakat. Hal ini sejalan dengan status
mahasiswa yang kerap digambarkan sebagai kaum intelektual.
Membawa tema besar tentang “Intelektual” untuk di resensi dan di jadikan
bahan diskusi, sempat membuat nyali saya ciut. Kesepakatan teman-teman yang
lain untuk menunjuk saya sebagai penulis resensi pertama dan pematik diskusi
pertama, merupakan sebuah kekeliruan sekaligus sebuah tantangan. Sebagai
permulaan, saya harap resensi ini memiliki banyak sekali kesalahan. Agar pada
penulisan resensi selanjutnya, oleh teman-teman yang lain dapat dijadikan
pembelajaran untuk menulis resensi yang lebih baik. Karena sejatinya perubahan
berasal dari kesalahan dan pengalaman yang telah terjadi. Dengan segala
konsekuensi nya, saya berharap teks-teks yang terdapat dalam buku ini dapat
1 Kalam Kopi merupakan sebuah kelompok belajar, kelompok membaca, kelompok menulis, dan juga kelompok diskusi yang dibentuk oleh beberapa mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Semarang.
menjadikan katalis gerakan teman-teman yang lain untuk berkontribusi sesuai
dengan trah nya sebagai seorang intelektual.
Orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang
benar kepada yang berkuasa. Itu lah paham inti buku Erward Said, seperti yang
digambarkan oleh Franz Magnis Suseno dalam sebuah pengantar yang ia tulis
untuk buku tersebut. Erward Said tak tanggung-tanggung dalam mendefinisikan
Intelektual, ia begitu teliti dan tajam menyikapi peran seorang Intelektual.
Bab 1 : Peran Intelektual
Pada awal pembahasan, Edward Said coba mengambil contoh beberapa
pemikir terdahulu yang coba mengangkat tema besar tentang “Intelektual”. Hal itu
membawa pembaca, mengenal secara ringkas seorang Antonio Gramsci. Melalui
buku nya yang fenomenal Prison Notebooks, Antonio Gramsci yang juga seorang
Marxis kebangsaan Italia, mengatakan jika semua manusia merupakan Intelektual.
Namun menurut Gramsci, meski semua manusia merupakan intelektual, tidak
semua manusia memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat.
Kemudian, mereka yang termasuk kedalam kategori Gramsci sebagai
manusia yang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat, dibagi menjadi dua
jenis. Yang pertama ialah intelektual tradisional. Mereka ialah para guru, ulama,
dan administrator yang melakukan hal yang sama secara terus menerus. Dalam hal
ini, apa yang dilakukan para intelektual tradisional merupakan manifestasi dari
apa yang Said katakan, bahwa tujuan mendasar intelektual adalah kebebasan dan
pengetahuan manusia. Para intelektual tradisional memainkan peran nya disini.
Mereka menyebarkan pengetahuan secara turun temurun dari masa ke masa secara
terus menerus.
Sedangkan kategorisasi Gramsci yang kedua ialah para intelektual
organik. Mereka merupakan manusia-manusia yang memiliki peran intelektual
dalam masyarakat, dan senantiasa berupaya mengubah pikiran dan memperluas
pasar. Dalam artian, mereka tak hanya sekedar melakoni pekerjaan serupa dari
tahun ke tahun seperti yang dilakukan para intelektual tradisional. Namun, para
intelektual organik harus selalu aktif bergerak dan berbuat. Bahkan, para
intelektual organik merupakan manusia yang memainkan peran nya lebih jauh
lagi. Ia tidak hanya sekedar menyebarkan pengetahuan, namun turut
memperjuangkan kebebasan.
Setelah memperkenalkan Antonio Gramsci, Edward Said memperkenalkan
Julien Benda yang turut memperkenalkan definisi Intelektualnya. Bagi Benda,
Intelektual ialah segelintir manusia sangat berbakat dan yang diberkahi moral
filsuf raja. Kemudian, dengan sangat tegas Benda berpendapat jika Intelektual
sejati, adalah mereka yang kegiatannya pada dasarnya bukan untuk mencapai
tujuan praktis, tetapi mereka yang menemukan kepuasan dalam mempraktekan
seni atau ilmu pengetahuan. Julien Benda memberi contoh seorang intelektual
sejati seperti Yesus, Socrates, Spinoza, Volteire, dan Ernest Renan. Lalu dengan
sangat menantang Julien Benda berpendapat, jika para intelektual sejati beresiko
dibakar ditiang, dikeluarkan dari komunitas, dan disalibkan. Pendapat Benda
tersebut merupakan gambaran kenyataan yang kerap diterima para Intelektual
sejati. Karena pada dasarnya, para intelektual hampir selalu menjadi garda depan
sebagai oposisi terhadap status quo. Hal ini lah yang kerap menjadi tantangan
para intelektual, apakah tetap menjadi oposisi, ataukah bergerak menjadi
seseorang yang akomodatif terhadap penguasa. Hal ini terkait dengan prinsip yang
seharusnya dipegang oleh para intelektual, yaitu prinsip kebenaran dan keadilan.
Meskipun Said berpendapat jika analisis yang ditawarkan Gramsci lebih
dekat kepada realitas, jika dibandingkan konsep yang ditawarkan Julien Benda.
Namun penjelasan dan maksud yang ingin dibangun oleh Benda, sangatlah
cemerlang. Sosok figur intelektual yang dimaksud Benda adalah seseorang yang
bisa berbicara tentang kebenaran kepada penguasa, yang tanpa tedeng aling-aling,
fasih, sangat berani, dan seorang individu pemberang. Bagi Benda, tak ada
kekuasaan yang terlalu besar untuk dikritik. Dan mengkritik merupakan tugas
para intelektual.
Memasuki abad ke 20, ditengah hingar dunia yang semakin kompleks,
muncul berbagai macam profesi baru. Profesi yang bermacam tersebut, seakan
membenarkan Analisis Gramsci tentang peran khusus tertentu yang diemban
intelektual ditengah masyarakat. Konsekuensi hal tersebut ialah bahwa sekarang,
setiap orang yang bekerja di segala bidang baik yang berkaitan dengan
pengetahuan produksi, atau distribusi pengetahuan adalah para intelektual,
menurut Gramsci. Bahkan seorang sosiolog Amerika Serikat Alvin Gouldner
berpendapat jika para intelektual telah menciptakan kelas baru. Hal itu
memunculkan wacana baru tentang Intelektual spesifik. Yang mana, mereka ialah
seseorang yang bekerja dalam sebuah bidang keilmuan tapi mampu menerapkan
keahlianya dengan bahasa yang mayoritas hanya dipahami oleh lingkup spesialis
nya saja. Atau dalam artian, abad ke 20 dengan segala macam moderenitas nya
telah menciptakan ruang bagi Intelektual spesifik, yang telah menggantikan posisi
Intelektual universal yang tidak terpaku pada satu bidang saja.
Berdasarkan realitas abad ke 20 tersebut, Edward Said menegaskan bahwa
intelektual merupakan individu dengan peran publik tertentu dalam masyarakat
yang tidak dapat direduksi begitu saja menjadi profesional nir wajah, dan tidak
hanya anggota kelas yang kompeten dalam bidang nya saja. Intelektual adalah
individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan, dan
mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi, dan pendapatnya kepada
publik. Intelektual haruslah menjadi seseorang yang tak mudah dikooptasi
pemerintah dan korporasi. Itulah penegasan Said terhadap wajah Intelektual abad
ke 20 yang bermacam-macam bidang. Kemudian Said memberikan alasan penting
nya hal tersebut adalah untuk mewakili semua orang dan isu yang secara rutin
dilupakan dan disembunyikan. Peran tersebut harus didasari dengan prinsip:
semua manusia berhak mengharapkan standar perilaku yang layak sehubungan
dengan kebebasan dan keadilan dari penguasa-penguasa dunia atau negara. Dan
pada akhirnya, segala macam bentuk kekerasan yang disengaja maupun tidak,
yang memiliki tujuan atau pun tidak, yang terbentur dengan standar-standar
tersebut, perlu ditentang dan diuji secara berani oleh kaum intelektual.
Melimpah nya berbagai macam kajian mengenai Intelektual, turut menjadi
sorotan Edward Said. Baginya, melimpah nya berbagai macam definisi
intelektual, tidak dibarengi dengan bahasan yang cukup tentang citra tanda tangan,
intervensi dan penampilan aktual, pernik-pernik yang turut membangun sosok
nyata setiap intelektual. Keterbatasan kajian tentang Intelektual yang
memunculkan representasi nyata sosok kaum Intelektual, terkesan menjadi
pendorong bagi Said untuk menjembatani hal tersebut. Pada bagian akhir bab
pertama, Said coba memberi contoh nyata hal tersebut dengan mengikutsertakan
beberapa novel guna memperlihatkan gambaran intelektual melalui media novel.
Ada tiga buah novel yang diperlihatkan oleh Edward Said. Yang pertama
ialah Father and Sons oleh Turganev, Sentimental Education oleh Flaubert, dan A
Potrait of the artis as aYoung Man oleh Joyce. Ketiga novel tersebut
menggambarkan representasi dari realitas sosial sangat dipengaruhi bahkan sangat
berubah karena kemunculan mendadak seorang aktor baru, Intelektual muda
modern. Pembahasan yang menarik terletak dalam novel karya Flaubert, dimana
ia memperlihatkan kegusaran sehubungan ketidakmampuan mereka
mempertahankan kedudukan sebagai intelektual. Dalam novel, nasib Moreau dan
Deslauriers digambarkan sebagai hasil dari kurangnya hasrat yang terfokus dari
mereka dan juga sebagai biaya yang dikenakan masyarakat modern, dengan
gangguan nya yang tak berkesudahan, pusaran kenangannya, dan di atas
segalanya, kebangkitan jurnalisme, iklan, perayaan yang instan, dan sebaran
sirkulasi yang konstan di mana semua ide dapat dipasarkan, semua nilai dapat
dipindah-silangkan, semua profesi direduksi menjadi pengejaran uang yang
gampangan, dan sukses yang cepat diraih. Meski Moreau tak habis-habisnya
mencoba menggapai hasrat cinta dan pencapaian intelektual, tetapi ia senantiasa
urung melakukannya.
Dari novel-novel tersebut, Said mencoba memperlihatkan kepada pembaca
intelektual yang beraksi, ditimpa oleh berbagai kesukaran dan cobaan, baik
mempertahankan maupun mengkhianati panggilannya bukan sebagai tugas tetap
yang cukup dipelajari sekali dan untuk semuanya dari manual ‘bagaiamana
melakukannya’. Tetapi sebagai pengalaman konkret yang konstan akan terancam
oleh kehidupan modern itu sendiri. Said menambahkan, jika peran intelektual tak
hanya mengenai artikulasi mereka ke masyarakat, baik soal penyebab atau ide,
tidaklah dimaksudkan terutama untuk membentengi ego atau merayakan status.
Juga bukan untuk melayani birokrat berkuasa penuh dan majikan dermawan.
Peran intelektual merupakan aktivitas itu sendiri,yang mana sangat tergantung
pada jenis kesadaran. Yakni skeptis, terlibat, dan terus menerus.
Pada pembahasan akhir bab pertema, Edward Said memperkenalkan
sosiolog Amerika C. Wright Mills. Ia merupakan seorang intelektual independen
yang memiliki kemampuan hebat untuk mengkomunikasikan ide nya dalam prosa
yang terus terang dan memaksa. C. Wright mills dipandang oleh Said sebagai
sosok yang paling tepat menjawab pertanyaan apa yang diperankan intelektual
saat ini? Poin utama yang ingin disampaikan C. Wright Mills adalah pertentangan
antara kelompok massa dengan individu. Wright berpendapat jika ada semacam
pertentangan alami anatara kekuasaan organisasi besar, dari pemerintahan sampai
perusahaan dengan kelompok yang lebih lemah yang tidak hanya merupakan
individu tetapi keseluruhan umat manusia. Kekuasaan yang besar, cenderung
berupaya menciptakan golongan minoritas. Atas dasar itu, Wright menegaskan
bahwa para intelektual harus menempatkan diri sejajar dengan kelompok yang
lemah dan tak terwakili.
Pada akhir bab pertama ini, Edward Said menutup dengan sebuah
argumentasi yang sangat menarik. Pada dasarnya, intelektual menurut Said, bukan
pencipta konsensus dan kedamaian tetapi mereka yang seluruh kehadirannya
ditandai oleh sikapnya yang kritis dan memiliki cita rasa untuk tidak dapat
menerima formula yang sederhana, atau pandangan klise, atau sesuatu yang
berjalan tanpa gejolak dan akomodatif pada kekuasaan dengan tidak melakukan
atau mengatakan sesuatu yang kurang berkenan bagi penguasa. Serta mereka tidak
cukup hanya bersikap pasif, tetapi secara aktif mengemukakan pandangan nya di
muka umum.
Pandangan Said tersebut, tidak hanya berkaitan dengan suara mengkritik
kebijaksanaan pemerintah, tetapi lebih dari itu, pekerjaan intelektual menurut Said
adalah mempertahankan negara dengan kewaspadaan: selalu sadar akan tugasnya
untuk tidak membiarkan kebenaran diselewengkan atau menerima satu ide yang
dapat menguasai seluruh kehidupan. Tugas intelektual yang sangat berat tersebut,
senantiasa menempatkan para intelektual dalam kesendirian dan pengasingan.
Bahkan, tugas seorang kaum intelektual seakan tak pernah berakhir, tak pernah
selesai, dan selalu kurang sempurna. Karena prinsip yang dipegang oleh kaum
intelektual adalah prinsip kebenaran dan keadilan.
-Bagas Yusuf Kausan