Post on 12-Feb-2016
description
1. Pengukuran TradisionalMetode tradisional adalah metode tertua dan paling sederhana dalam menilai prestasi kerja dan diterapkan secara tidak sistematis maupun sistematis. Banyak metode yang telah dikembangkan untuk melakukan pengukuran kinerja suatu perusahaan. Dalam manajemen tradisional, ukuran kinerja yang biasa digunakan adalah ukuran keuangan, karena ukuran keuangan ini mudah dilakukan. Kinerja lain, seperti peningkatan kepercayaan customer terhadap layanan jasa perusahaan, peningkatan kompetensi dan komitmen personal, kedekatan hubungan kemitraan perusahaan dengan pemasok, dan peningkatan cost effectiveness proses bisnis digunakan untuk melayani customer, diabaikan oleh manajemen karena sulit pengukurannya. Sehingga banyak kesalahan berpikir di dalam manajemen tradisionalKonsep Penilaian Metode TradisionalPenilaian dengan pengukuran kinerja tradisional berdasarkan kinerja keuangan atau yang biasa disebut dengan pengukuran kinerja tradisional menekankan pengukuran kinerja perusahaan melalui perhitungan rasio-rasio keuangan, yaitua. Rasio Likuiditas, merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur perusahaan
untuk memenuhi kewajiban jangka pendekb. Rasio Utang, yaitu rasio yang menunjukkan batasan dimana perusahaan didanai
dengan utangnyac. Rasio Pecakupan, merupakan rasio yang menghubungkan biaya keuangan
perusahaan dengan kemampuan untuk membayar biaya tersebutd. Rasio Aktivitas, yaitu rasio yang mengukur keefektifan perusahaan dengan
menggunakan aktiva yang dimilikinyae. Rasio laba, merupakan rasio yang menghubungkan laba dengan penjualan investasi
Yang termasuk kedalam metode tradisional adalah : rating scale, employee comparation, check list, free form essay, dan critical incident.
a) Rating scale. Metode ini merupakan metode penilaian yang paling tua dan banyak digunakan, dimana penilaian yang dilakukan oleh atasan atau supervisor untuk mengukur karakteristik, misalnya mengenai inisitaif, ketergantungan, kematangan, dan kontribusinya terhadap tujuan kerjanya.
b) Employee comparation. Metode ini merupakan metode penilaian yang dilakukan dengan cara membandingkan antara seorang pegawai dengan pegawai lainnya. Metode ini terdiri dari : (1) Alternation ranking : yaitu metode penilaian dengan cara mengurutkan peringkat (ranking) pegawai dimulai dari yang terendah sampai yang tertinggi berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. (2) Paired comparation : yaitu metode penilaian dengan cara seorang pegawai dibandingkan dengan seluruh pegawai
lainnya, sehingga terdapat berbagai alternatif keputusan yang akan diambil. Metode ini dapat digunakan untuk jumlah pegawai yang relatif sedikit. (3) Porced comparation (grading) : metode ini sama dengan paired comparation, tetapi digunakan untuk jumlah pegawai yang relative banyak.
c) Check list. Metode ini hanya memberikan masukan/informasi bagi penilaian yang dilakukan oleh bagian personalia.
d) Freeform essay. Dengan metode ini seorang penilai diharuskan membuat karangan yang berkenaan dengan orang/karyawan/pegawai yang sedang dinilainya.
e) Critical incident Dengan metode ini penilai harus mencatat semua kejadian mengenai tingkah laku bawahannya sehari-hari yang kemudian dimasukan kedalam buku catatan khusus yang terdiri dari berbagai macam kategori tingkah laku bawahannya. Misalnya mengenai inisiatif, kerjasama, dan keselamatan.
Mengandalkan aspek finansial saja tidak cukup, bahkan bisa jadi tidak berguna karena beberapa alas an, yaitu:
a. Hal itu mendorong kegiatan jangka pendek yang tidak termasuk kepentingan jangka panjang perusahaan
b. Manajer unit bisnis mungkin tidak melakukan tindakan yang berguna untuk jangka panjang, untuk memperoleh laba jangka pendek
c. Menggunakan profit jangka pendek sebagai satu-satunya tujuan dapat mengganggu komunitas antara manajer unit bisnis dan manajer senior
d. Pengendalian finansial yang ketat bisa memotivasi manajer untuk memanipulasi data.
Kelemahan penilaian-penilaian kinerja tradisional adalah:a) Tidak mampu mengukur harta-harta yang tidak tampak (intangible assets) dan
harta-harta intelektual (SDM) perusahaan.b) Pengukuran kinerja yang hanya memperhatikan aspek keuangan tidak hanya mampu
bercerita mengenai masa lalu perusahaan dan tidak mampu sepenuhnya menuntun perusahaan yang lebih baik
2. Management by ObjectiveManajemen By Objectives pertama kali dijelaskan oleh Peter Drucker pada 1954
dalam buku ‘Praktik Manajemen’. Menurut Drucker manajer harus menghindari ‘kegiatan perangkap’, sehingga mendapatkan mereka terlibat dalam kegiatan sehari-hari mereka lupa bahwa mereka tujuan utama atau tujuan. Salah satu konsep MBO adalah
bahwa alih-alih hanya beberapa top-manajer, semua manajer sebuah perusahaan harus berpartisipasi dalam proses perencanaan strategis, dalam rangka untuk meningkatkan implementability dari rencana. Lain dengan konsep Manajemen By Objectives adalah, bahwa manajer harus melaksanakan berbagai kinerja sistem, yang dirancang untuk membantu organisasi agar berfungsi dengan baik. Jelas, Manajemen By Objectives dapat dipandang sebagai pendahulu dari Manajemen Berbasis Nilai.
Manajemen oleh Tujuan (MBO) adalah proses menentukan tujuan dalam sebuah organisasi sehingga manajemen dan karyawan setuju dengan tujuan dan memahami apa yang mereka perlu lakukan dalam organisasi.
Inti dari MBO adalah penetapan tujuan partisipatif, tentu saja memilih tindakan dan pengambilan keputusan. Sebuah bagian penting dari MBO adalah pengukuran dan perbandingan kinerja aktual karyawan dengan menetapkan standar. Idealnya, ketika karyawan sendiri telah terlibat dengan tujuan pengaturan dan memilih tindakan yang harus diikuti oleh mereka, mereka lebih cenderung untuk memenuhi tanggung jawab mereka.
Menurut George S. Odiorne, sistem manajemen berdasarkan sasaran dapat digambarkan sebagai proses dimana manajer atasan dan bawahan dari sebuah organisasi bersama-sama mengidentifikasi tujuan bersama nya, mendefinisikan bidang utama masing-masing individu tanggung jawab dalam hal hasil yang diharapkan dari dirinya, dan menggunakan langkah-langkah sebagai panduan untuk mengoperasikan unit dan menilai kontribusi masing-masing anggotanya.
Konsep Management By Objective (MBO)KONSEP MBO :Adalah sebuah kesepakatan formal antara pimpinan dan bawahan dalam hal :
1. Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap bagian / bawahan (subordinates); 2. Perencanaan yang akan dilakukan 3. Standard pengukuran keberhasilan pencapaian tujuan 4. Prosedur untuk mengevaluasi keberhsilan pencapaian tujuan.
Diperkenalkan oleh Peter Drucker pada akhir tahun 1950. Dilaksanakan berdasarkan asumsi dasar, bahwa apa yang terjadi dilapangan belum tentu sesuai dengan apa yang dipahami oleh pimpinan. Pimpinan seringkali lebih berfungsi dalam penetapan kebijakan, adapun yang bersifat teknis biasanya dilakukan oleh bawahan. Partisipasi aktif semua pihak dalam organisasi adalah kunci penting keberhasilan pendekatan MBO dalam perencanaan organisasi.
Sistem Management by Objective yang efektif
Adanya komitmen para manajer tujuan pribadi dan organisasi, sehingga dia harus berjumpa dengan bawahannya untuk memberikan penetapan tujuan dan menilainya.Penetapan tujuan manajemen puncak yang dinyatakan dalam nilai tertentu yang dapat diukur, sehingga antara manajer dan bawahan mempunyai gagasan yang jelas tentang apa yang diharapkan oleh manajemen puncak, sehingga dapat diketahui antara individu dengan tujuan organisasi secara keseluruhan.Tujuan perseorangan, dimana antara manajer dan bawahan harus merumuskan tujuan bersama dan tanggung jawab terhadap bagiannya secara jelas guna memahami tentang apa yang akan dicapai.Perlunya partisipasi semua pihak, dimana semakin besar partisipasi dari semua anggota, maka semakin besar tujuan yang akan tercapai.Otonomi dan implementasi rencana, disini bawahan dan manajer bebas untuk mengembangkan dan mengimplementasikan program-program pencapaian tujuannya.Peninjauan kembali prestasi yang dilakukan secara periodik terhadap kemajuan tujuan.
Kebaikan dan kelemahan Management By Objective (MBO)
Kebaikan:a. Mengetahui apa yang diharap-harapkan dari organisasi.b. Membantu manajer membuat tujuan dan sasaran.c. Memperbaiki komunikasi vertikal antara manajer dengan bawahand. Membuat proses evaluasi.
Kelemahan:a. Kelemahan yang melekat pada proses MBO, dalam konsumsi waktu dan biaya yang
besar.b. Dalam hal pengembangan dan implementasi program-program MBO.
Unsur unsur system efektifitas Management By Objective (MBO)a. Agar MBO sukses maka manajer harus memahami dan mempunyai trampilan secara
mengetahui kemanfaatan dan kegunaan dari MBO
b. Tujuan merupakan hal yang realistis dan mudah dipahami oleh siapapun juga, sehingga tujuan ini sering digunakan untuk mengevaluasi prestasi kerja dari manajer, apakah dia berhasil dalam tugasnya atau gagal
c. Top manajer harus menjaga sistem MBO ini tetap hidup dan berfungsi sebagaimana mestinya.
d. Tanpa partisipasi semua pihak tidaklah mungkin program MBO ini berjalan, maka semua pihak harus mengetahui posisinya dalam hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai, umpan balik terhadapnya sangat berguna.
Metode SMARTManajemen By Objectives juga memperkenalkan metode “SMART” untuk
memeriksa keabsahan tujuan. Membuat target dengan pertimbangan – pertimbangan memang cukup sulit. Untuk mempermudahnya,bisa menggunakan metode S.M.A.R.T. Berikut penjelasannya :
S untuk specific. Target yang dibuat harus spesifik,detail.Alih – alih membuat target seperti :Contoh 1 : “Meningkatkan score kepuasan pelanggan.” tapi buatlah seperti :Contoh 2 : “Meningkatkan score kepuasan pelanggan sebesar 30 point dari sebelumnya menggunakan survey kepuasan pelanggan.”. Saat kita tahu lebih detail apa yang kita inginkan,akan lebih mudah untuk mencapainya.
M untuk measurable. Dari contoh kalimat kedua terlihat faktor M,measurable. Kepuasan pelanggan ini dapat diukur melalui survey pelanggan yang bisa diadakan Lembaga Survey ato perusahaan bisa melakukan survey sendiri.
A untuk achievable. Faktor paling pentig untuk membuat suatu target yaitu,bisa dicapai.Jangan membuat suatu target yang tidak bisa kita capai. Ada beberapa orang yang sengaja membuat target diluar batas kemampuannya dengan alasan “aim high,to break the limit”,terdengan begitu memotivasi memang,hanya saja cara seperti ini bisa membuat individu frustasi,saat target tersebut tidak tercapai. Apabila kita merasa kemampuan kita 7 dari skala 10,kita bisa memasang target 7,paling maksimal.Tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi 10 dari 10.
R untuk realistic. Faktor A,membawa kita ke faktor berikutnya,yaitu realistic.Target yang bisa dicapai berhubungan erat dengan realita. Target yang dibuat harus realistis,jangan terlalu mengada – ada. Misalnya target yang ingin dicapai, “Skor kepuasan pelanggan mencapai 100%”. Pasti ada orang yang merasa kecewa,walaupun hanya 0,01%.
T untuk time-based.Faktor akhir untuk target yang bagus adalah time-based. Memiliki tenggang waktu yang pasti mengenai kapan target tersebut akan dicapai. Misalnya,
mengikuti contoh kalimat 2, “Meningkatkan score kepuasan pelanggan sebesar 30 point dari sebelumnya menggunakan survey kepuasan pelanggan dalam waktu 6 bulan.” Sebaiknya waktu yang digunakan sama dengan waktu ketika review hasil dari target yang telah dibuat. Sehingga dalam setiap review akan terlihat hasilnya dengan jelas,bagaimana setiap individu berpegang pada komitmen yang telah dibuat.
MBO ini membutuhkan kerja sama. Manajer juga harus berperan aktif dalam membantu,mengarahkan individu dalam mencapai targetnya. Sikap manajer yang otoriter dan malah cenderung pasif akan menggagalkan MBO itu sendiri. Terkadang ada beberapa perusahaan yang menjadikan MBO sebagai alasan agar pegawai bekerja melebih batas wajar (bekerja over time misalnya),dengan dalih supaya target tercapai.
3. Six Zigma
Sigma merupakan sebuah simbol yang berasal dari Yunani, dimana simbol
tersebut melambangkan standar deviasi (penyimpangan) pada bidang statistik. Kata Six
menunjukkan jumlah standar deviasi dari nilai tengah spesifikasi yang seharusnya
(Montgomery, 2005).
Banyak orang yang memiliki pemahaman bahwa Six Sigma hanya digunakan
dalam manufaktur untuk mengurangi cacat. Kenyataannya adalah bahwa Six Sigma
dapat digunakan di media manufaktur dan bisnis untuk mengurangi cacat proses, dan
variabilitas. Misalnya dapat digunakan untuk meningkatkan ketepatan pengiriman,
mengurangi waktu siklus untuk mempekerjakan karyawan baru, meningkatkan logistik,
meningkatkan kemampuan forecasting, dan meningkatkan kualitas layanan pelanggan
(Mehrjerdi, 2011).
Beberapa pendapat menyatakan bahwa, pendekatan Six Sigma adalah suatu
pendekatan yang terampil dalam pemecahan masalah kualitas. Hal ini disebabkan
karena, 90% dari masalah kualitas dapat ditangani oleh 7 basic tools of quality.
Sedangkan 10% dari masalah kualitas membutuhkan pelatihan dan teknik analitik dari
pendekatan Six Sigma. Untuk menjalani proses Six Sigma, maka terdapat metode yang
dirancang sebagai dasar pemecahan masalah kualitas, salah satu metode tersebut
adalah metode DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control). Secara singkat,
pada umumnya tahap define adalah dengan memilih proses yang perlu diperbaiki. Pada
tahap measurement adalah dengan menerjemahkan proses ke dalam bentuk kuantitatif,
mengumpulkan data dan menilai kinerja saat ini. Tahap analyze merupakan identifikasi
akar penyebab dan menetapkan tujuan untuk kinerja, kemudian melaksanakan dan
mengevaluasi (solusi) pada proses untuk menghilangkan faktor penyebab cacat pada
langkah improvement. Dan terakhir adalah tahap control, dimana dilakukan standarisasi
solusi, dan terus memantau perbaikan (Dreachslin, 2007).
Ada enam komponen utama konsep Six Sigma sebagai strategi bisnis (Pande,
Peter. 2000):
1. Benar-benar mengutamakan pelanggan: seperti kita sadari bersama,
pelanggan bukan hanya berarti pembeli, tapi bisa juga berarti rekan kerja
kita, team yang menerima hasil kerja kita, pemerintah, masyarakat umum
pengguna jasa, dll.
2. Manajemen yang berdasarkan data dan fakta: bukan berdasarkan opini,
atau pendapat tanpa dasar.
3. Fokus pada proses, manajemen dan perbaikan: Six Sigma sangat tergantung
kemampuan kita mengerti proses yang dipadu dengan manajemen yang
bagus untuk melakukan perbaikan.
4. Manajemen yang proaktif: peran pemimpin dan manajer sangat penting
dalam mengarahkan keberhasilan dalam melakukan perubahan.
5. Kolaborasi tanpa batas: kerja sama antar tim yang harus mulus.
6. Selalu mengejar kesempurnaan.
Six Sigma juga dikatakan sebagai metode yang berfokus pada proses dan
pencegahan cacat (defect) (Snee, 1999). Pencegahan cacat dilakukan dengan cara
mengurangi variasi yang ada di dalam setiap proses dengan menggunakan teknik-teknik
statistik yang sudah dikenal secara umum.
Keuntungan dari penerapan Six Sigma berbeda untuk tiap perusahaan yang
bersangkutan, tergantung pada usaha yang dijalankannya. Biasanya Six
Sigma membawa perbaikan pada hal-hal berikut ini (Pande, Peter. 2000):
1. Pengurangan biaya
2. Perbaikan produktivitas
3. Pertumbuhan pangsa pasar
4. Retensi pelanggan
5. Pengurangan waktu siklus
6. Pengurangan cacat
7. Pengembangan produk / jasa
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki Six Sigma dibanding metode lain adalah:
1. Six Sigma jauh lebih rinci daripada metode analisis berdasarkan statistik. Six
Sigma dapat diterapkan di bidang usaha apa saja mulai dari perencanaan
strategi sampai operasional hingga pelayanan pelanggan dan maksimalisasi
motivasi atas usaha.
2. Six Sigma sangat berpotensi diterapkan pada bidang jasa atau non
manufaktur disamping lingkungan teknikal, misalnya seperti bidang
manajemen, keuangan, pelayanan pelanggan, pemasaran, logistik,
teknologi informasi dan sebagainya.
3. Dengan Six Sigma dapat dipahami sistem dan variabel mana yang dapat
dimonitor dan direspon balik dengan cepat.
Six Sigma sifatnya tidak statis. Bila kebutuhan pelanggan berubah, kinerja sigma akan
berubah.
4. Balanced ScorecardBalanced Scorecard pertama kali diperkenalkan di USA yang pada awalnya
ditujukan untuk mengatasi problem tentang kelemahan sistem pengukuran kinerja eksekutif yang berfokus pada aspek keuangan. Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG di USA yang diketuai oleh David P. Norton, mensponsori studi tentang “Pengukuran kinerja dalam organisasi masa depan”, studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai.
Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif di masa depan, diperlukan suatu ukuran komprehensif yang mencakup empat perspektif, agar keberhasilan keuangan yang diwujudkan perusahaan bersifat sustainable (jangka
panjang). Kinerja keuangan yang dihasilkan eksekutif harus merupakan akibat dari pelaksanaan proses bisnis intern yang produktif dan, cost effective serta pembangunan personil yang produktif dan berkomitmen.
Setelah keberhasilan penerapan Balanced Scorecard sebagai perluasan pengukuran kinerja eksekutif, Balaced Scorecard kemudian diterapkan pada tahap manajemen yang lebih strategik sebelum penilaian kinerja.
Pada tahun 1996 Kaplan dan Norton kembali membuat artikel di Harvard Business Review dengan judul “Using the Balanced Scorecard as Strategic Management System” (Edisi Januari 1996) artikel ini mendorong penulisan artikel lain dalam Journal of Cost Management berjudul “Why does a Business Need a Balanced Scorecard ?”(Edisi Mei 1997) dan artikel lain seperti yang diterbitkan di Harvard Business Review dengan judul “Having Trouble With Your Strateg ? Then Map It“ (Edisi September 2000).
Balanced Scorecard berkembang sejalan dengan perkembangan impelementasi konsep tersebut. Pada tahun 2000 telah menjadi inti sistem manajemen strategik, tak hanya eksekutif, namun bagi seluruh karyawan perusahaan terutama dalam perusahaan yang telah memanfaatkan secara intensif teknologi informasi dalam bisnisnya
Konsep Balanced Scorecard
Balanced Scorecard adalah sistem yang mengajak kita untuk melihat suatu organisasi dari empat perseptif , kemudian membangun indikator, mengumpulkan data dan menganalisa setiap perspektif itu. Ada pun keempat perspetif tersebut antara lain sebagai berikut:
1. The Learning and Growth Perspective (Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan)
Perspektif bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kecakapan karyawan pada perusahaan baik perkembangan individu maupun kelompok. Menurut Kaplan dan Norton (1996), terdapat tiga kategori dalam perspektif ini yaitu kapabilitas pekerja, kapabilitas sistem informasi dan motivasi, pemberdayaan dan keselarasan.
2. The Business Process Perspective (Perspektif Bisnis)Perkembangan proses bisnis perusahaan dipantau pada persepktif ini.
Indikator yang dibuat pada perspektif ini menjawab seberapa baik bisnis perusahaan tersebut berjalan. Kaplan dan Norton (1996), menilai perlu adanya tiga proses bisnis utama yakni inovasi, operasi dan layanan purna jual agar perkembangan bisnis suatu perusahaan semakin baik.
3. The Customer Perspective (Perspektif Costumer)Perspektif ini berfokus pada kebutuhan dan kepuasan customer.
Kaplan dan Norton mengukur kepuasan customer berdasarkan, market share, costumer retention, customer acquisition, customer satisfaction, dan customer profitability. Selain itu pengukuran juga berdasarkan atribut produk/jasa dan hubungan costumer.
4. The Financial Perspective (Perspektif Financial)Tujuan akhir dari sebuah perusahaan adalah finansial. Perspektif
finansial merupakan fokus tujuan dan tolak ukur dari ketiga perspektif lainnya. Kaplan dan Norton membagi tiga tahapan finansial bagi suatu perusahaan, yaitu growth (pertumbuhan), sustained (bertahan), dan harvest (penuaian).
Mulyadi (2001), berpendapat bahwa ada beberapa keunggulan dari Balanced Scorecard, yakni komprehensif (memiliki perspektif yang luas), koheren (strategis), seimbang (antara internal dan eksternal fokus), dan terukur. Selain itu Balanced Scorecard dapat memberikan kesempatan bagi organisasi atau perusahaan untuk mengembangkan sebuah sistem pengukuran yang dapat mempertinggi kinerja perusahaan di era globalisasi ini, menurut John Corrigan, (1996).
Balanced Scorecard sudah banyak digunakan oleh perusahaan dan organisasi di seluruh dunia. Kementrian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu) menggunakan Balanced Scorecard untuk menggambarkan tema pendapatan Negara, belanja Negara, pembiayaan APBN, kekayaan Negara serta pengawasan pasar modal dan lembaga Keuangan. Selain Kemenkeu, Balanced Scorecard juga sudah diterapkan oleh berbagai perusahaan atau pun organisasi di Indonesia
KEUNGGULAN BALANCED SCORECARD
Keunggulan balanced scorecard sebagai metode pengukuran kinerja manajemen
dibandingkan dengan pengukuran kinerja tradisional adalah;
1. Komprehensif. Balanced scorecard memperluas perspektif yang dicakup
dalam perencanaan yang strategik dari yang sebelumnya hanya terbatas
pada prespektif keuangan meluas ketiga perspektif lainnya yaitu pelanggan
proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan.
2. Koheren. Balanced scorecard mewajibkan personal untuk membangun
hubungan sebab-akibat (causal relationship) diantara berbagai sasaran yang
srategik yang ditetapkan dalam perpektif non-finansial (pelanggan proses
bisnis internal dan pembelajaran pertumbuhan) harus memiliki hubungan
kausal dengan sasaran keuangan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara definisi sasaran srategik adalah keadaan /kondisi yang akan
datang yang merupakan penjabaran dari tujuan perusahaan sasaran srategik
yang telah ditetapkan untuk setiap perspektif baru dapat dijelaskan
hubungan sebab akibatnya .
3. Seimbang. Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan dalam empat
perspektif meliputi jangka pendek dan jangka panjang yang berfokus pada
faktor internal dan eksternal penting untuk menghasilkan kinerja keuangan
jangka panjang. Keseimbangan Balanced scorecard juga tercemin selarasnya
19 perusahaan sehingga setiap personal yang ada di dalam perusahaan
bertanggungjawab untuk memajukan perusahaan.
4. Terukur. Dasar pemikiran bahwa setiap perspektif dapat diukur adalah
adanya keyakinan bahwa "if we can measure it, we can manage it, if we can
manage it, we can achieve it". Keterukuran sistem strategis yang dihasilkan
oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai
sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut .
KELEMAHAN BALANCED SCORECARD
Masalah-masalah berikut ini dapat mengurangi manfaat dari balanced scorecard.
Masalah-masalah tersebut adalah;
1) Kurangnya hubungan antara ukuran dan hasil non keuangan. Tidak ada jaminan
bahwa tingkat keuntungan masa depan akan mengikuti pencapaian target pada
setiap bidang non keuangan. Inilah masalah terbesar yang ada pada balanced
scorecard karena adanya asumsi yang melekat bahwa tingkat keuntungan masa
depan akan berasal dari pencapaian ukuran ukuran balanced scorecard.
Menentukan hubungan sebab akibat dari berbagai ukuran lebih mudah
diucapkan daripada melaksanakan.
2) Fixation on Fonancial Results. Pencapaian ukuran keuangan seringkali tidak
dikaitkan dengan program insentif sehingga tekanan baik dari pemegang saham
maupun dewn dereksi berpengaruh pada pencapaian target.
3) Tidak adanya mekanisme perbaikan. Seringkali perusahaan tidak memiliki
mekanisme perbaikan jika ukuran-ukuran hasil tidak ada.
4) Ukuran-ukurannya tidak diperbarui. Banyak perusahaan tidak memiliki
mekanisme formal untuk memperbarui ukuran-ukuran agar segaris dengan
perubahan strategi. Hasilnya adalah perusahaan menghasilkan ukuran yang
berdasarkan penghasilan strategi sebelumnya.
5) Pengukuran terlalu berlebihan. Beberapa kali ukuran kritis dapat dilakukan pada
manager tanopa kehilangan focus.
6) Kesulitan dalam menentukan trades-offs
5. Human ResourceHuman Resources Scorecard adalah suatu atat untuk mengukur dan mengelola
kontribusi stategik dari peran human resources dalam menciptakan nilai untuk
mencapai strategi perusahaan.
Human Resources Scorecard adalah suatu sistem pengukuran sumber daya
manusia yang mengaitkan orang - strategi - kinerja untuk menghasilkan perusahaan
yang unggul. Human Resources Scorecard menjabarkan misi, visi, strategi menjadi aksi
human resources yang dapat diukur kontribusinya. Human Resources Scorecard
menjabarkan sesuatu yang tak berwujud/intangible (leading/sebab) menjadi
berwujud/ltangible (lagging/akibat). Human Resources Scorecard merupakan suatu
sistem pengukuran yang mengaitkan sumber daya manusia dengan strategi dan kinerja
organik yang akhirnya akan mampu menimbulkan kesadaran mengenai konsekuensi
keputusan investasi sumber daya manusia, sehingga investasi tersebut dapat dilakukan
secara tepat arah dan tepat jumlah. Selain itu, human resources scorecard dapat
menjadi alat bantu bagi manajer sumber daya manusia untuk memastikan bahwa semua
keputusan sumber daya manusia mendukung atau mempunyai kontribusi langsung pada
implementasi strategi usaha.
Human Resources Scorecard merupakan bagian dari perusahaan. Human
resources scorecard ibarat sebuah bangunan, yang menjadi bagian dari apa yang kita
turunkan dari strategi perusahaan.
Human Resources Scorecard merupakan kombinasi antara indikator lagging
(akibat) dan indikator leading (sebab). Di dalam Human Resources Scorecard itu harus
ada hubungan sebabnya dulu baru akibatnya apa. Dasar pemikiran HRSC adalah 'Gets
Managed, Gets Done", artinya apa yang diukur itulah yang dikelola barulah bisa
diimplementasi dan dinilai.
Human Resource Scorecard yang baik mencakup 4 dimensi, yaitu : Kontribusi
Sumber Daya Manusia (Human Resource Deliverables), sistem SDM (High Performance
Work System/HPWS), Kesesuaian sistem SDM (Human Resource System Alignment) dan
efisiensi kontribusi SDM (Human Resource Efficiency).
Yang dimaksud High Performance Work System (HPWS) adalah peran SDM
(sistem, proses, peraturan, kebijakan, praktik) untuk meningkatkan kualitas SDM.
Human Resource System Alignment merupakan peran SDM yang berkaitan dengan
Human Resource Deliverables.
Human Resource Deliverables merupakan keluaran dari fungsi SDM yang
berdampak langsung pada usaha.
Keuntungan implementasi Human Resource scorecard (GML Performance
consulting, 2001) adalah :
1. Menggambarkan peran dan kontribusi Sumber Daya Manusia kepada
pencapaian visi perusahaan secara jelas dan terukur.
2. Memampukan profesional sumber daya manusia dalam mengendalikan
biaya yang dikeluarkan dan nilai yang dikontribusikan.
3. Memberikan gambaran hubungan sebab dan akibat.
4. Memampukan profesional sumber daya manusia mengelola tanggung
jawabnya yang strategis.
5. Fleksibel.
6. SCOR (Supply Chain Operations Reference Model)
SCOR (Supply Chain Operations Reference Model) merupakan suatu referensi
model yang digunakan untuk mengukur kinerja dari Supply Chain. SCOR ini di
kembangkan oleh Supply Chain Council (SCC) yakni suatu lembaga nonprofit yang
didirikan pada tahun 1996 dan diprakarsai oleh beberapa organisasi/perusahaan seperti
Bayer, Compaq, Procter & Gamble, Lockheed Martin, Nortel, Rockwell Semiconductor,
Texas Instruments, 3M, Cargill, Pittiglio, Rabin, Todd, & McGrath (PRTM), dan AMR
(Advance Manufacturing Research). Pada awal berdirinya council ini memiliki anggota
sebanyak 69 perusahaan, namun saat ini anggotanya telah mencapai 1000 perusahaan.
Sejak berdirinya SCC, Council ini memiliki tujuan yakni mengembangkan suatu
model acuan standar dari supply chain process yang memungkinkan terjalinnya
komunikasi efektif antara supply chainpartner dengan :
1. menggunakan terminology standar untuk komunikasi yang lebih baik dan
mempelajari isu-isu supply chain
2. Menggunakan ukuran standar untuk membandingkan dan mengukur kinerja
dari supply chain.
Kerangka SCOR
SCOR mengkobinasikan beberapa elemen yakni Business Process
Engineering, benchmarking dan aplikasi-aplikasi yang mengarah kepada suatu
kerangka. Gambar 1. menunjukkan process reference model dari integrasi ketiga
elemen diatas. Secara hierarki, model SCOR supply chain management terdiri dari
proses-proses detail yang saling terintegrasi dari supplier-nya supplier sampai
customer-nya customer dimana semua proses tersebut searah dengan strategi
operasional, material, kerja dan aliran informasi perusahaan seperti yang ditunjukkan
pada gambar 2.
Gambar 1. Process Reference Model
Gambar 2. Integrasi kelima proses dalam SCOR
Kerangka pada gambar 2 tersebut mengintegrasikan dua konsep penting dalam
pengelolaan kinerja yakni performance measurement dan performance improvement.
Dari sudut pandang performance measurement, kerangka tersebut mencakup semua
aspek dari kumpulan performance measure, measure dependencies sampai metode
evaluasi. Sementara dari sudut pandang performance improvement, kerangkat tersebut
membentang di seluruh siklus performance improvement untuk supply chain termasuk
didalamnya langkah-langkah pemodelan, pengukuran, analisis dan improvement.
Adapun penjelasan mengenai langkah-langkah tersebut dijelaskan dibawah ini
A. Membangun Model Kinerja
Pada tahap ini model dari kinerja dibuat. Model kinerja ini terdiri dari tiga
aspek yakni (1) desain dari pengukuran kinerja, didalamnya terdapat sebuah
pengukuran terstruktur yang seimbang, definisi dari ukuran dan perhitungan
pengukuran serta metode pengumpulan data (2) Measure dependencies
memetakan hubungan anatra ukuran-ukuran kinerja yang merupakan dasar dari
analisa selanjutnya.
B. Mengukur Kinerja Supply Chain
Proses pengukuran kinerja didalamnya terdiri dari perhitungan ukuran
dan evaluasi kinerja. Ukuran-ukuran dapat dihitung berdasarkan definisi –
definisi proses dan data sebenarnya yang diambil dari supply chain. Evaluasi
kinerja adalah sebuah proses pemberian bobot pada berbagai macam ukuran
kinerja untuk mempresentasikan tingkat kepentingan dari setiap dimensi yang
diukur.
C. Analisa Kinerja
Pada tahap ini akan menghasilkan beberapa metode analisis kinerja
untuk pengambilan keputusan dan perbaikan yakni gap analysis, prioritas ukuran
dan analisis sebab akibat.
D. Improvement
Berdasarkan pengukuran dan analisis kinerja, improvement disini dapat
dibagi menjadi dua subdivisi utama. Pertama, dengan menganalisa tingkat
kepentingan dan hubungan antara ukuran-ukuran kinerja. Kedua dengan gap
analysis dan process reengineering, dapat meningkatkan kinerja dari supply
chain yang sesungguhnya.
SCOR model memainkan sebuah peranan yang penting dalam kerangka tersebut.
SCOR tidak hannya menghasilkan struktur dan acuan aturan yang terdefinisi dengan
baik untuk mengukur kinerja dari desain namun juga pendekatan benchmark untuk gap
analysis dan pendekatan best practice untuk improvement.
Proses dalam SCOR terdiri dari 3 level. Level 1 adalah top level yang terdiri dari 5
proses kunci yakniPLAN, SOURCE, MAKE, DELIVER dan RETURN. Level 1 metrik
mengkarakteristikan kinerja berdasarkan dua perspektif. Perspektif pertama adalah dari
sisi customer dan perspektif yang kedua adalah berdasarkan perspektif internal. Pada
level ini, dilakukan pendefinisian tentang kompetisi dasar yang ingin dicapai beserta
petunjuk dan cara bagaimana dapat memenuhi kompetisi dasarn tersebut. Adapun
penjelasan dari kelima proses pada level 1 adalah sebagai berikut:
Plan, merupakan proses yang menyeimbangkan permintaan dan pasokan
untuk menentukan tindakan terbaik dalam memenuhi kebutuhan pengadaan,
produksi, dan pengiriman. Plan mencakup proses menaksir kebutuhan
distribusi, perencanaan dan pengendalian persediaan, perencanaan produksi,
perencanaan material, perencanaan kapasitas, dan melakukan
penyesuaian supply chain plan dengan financial plan
Source, yaitu proses pengadaan barang maupun jasa untuk memenuhi
permintaan. Proses yang tercakup meliputi penjadwalan pengiriman dari
supplier, menerima, mengecek, dan memberikan otorisasi pembayaran untuk
barang yang dikirim supplier, memilih suplier, mengevaluasi kinerja
supplier,dll. Jadi proses bisa berbeda tergantung pada apakah barang yang
dibeli termasuk stoked, make-to-order, atau engineer-to-order products.
Make, yaitu proses untuk mentransformasi bahan baku/komponen menjadi
produk yang diinginkan pelanggan.Kegiatan make atau produksi dapat
dilakukan atas dasar ramalan untuk memenuhi target stok (make-to-stock),
atas dasar pesanan ( make-t- order ), atau engineer-to-order. Proses yang
terlibat disini adalah penjadwalan produksi, melakukan kegiatan produksi dan
melakukan pengetesan kualitas, mengelola barang setengah jadi, memelihara
fasilitas produksi, dll
Deliver, yang merupakan proses untuk memenuhi permintaan terhadap
barang maupun jasa. Biasanya meliputi order management, transportasi, dan
distribusi. Proses yang terlibat diantaranya adalah menangani pesanan dari
pelanggan, memilih perusahaan jasa pengiriman, menangani kegiatan
pergudangan produk jadi, dan mengirim tagihan ke pelanggan.
Return, yaitu proses pengembalian atau menerima pengembalian produk
karena berbagai alasan Kegiatan yang terlibat antara lain identifikasi kondisi
produk, meminta otorisasi engembalian cacat, penjadwalan pengembalian,
dan melakukan pengembalian. Post-delivery-customer support juga
merupakan bagian dari proses return.
Level 2 merupakan level konfigurasi dan berhubungan erat dengan
pengkategorian proses. Pada level 2 ini dilakukan pendefinisian kategori – kategori
terhadap setiap proses pada level 1. Pada level ini, proses di susun sejalan dengan
strategi supply chain. Tujuan yang hendak dicapai pada level 2 ini adalah
menyederhanakan supply chain dan meningkatkan flexibility dari keseluruhan supply
chain. Pada level 2 ini, kendala market, kendala produk dan kendala perusahaan untuk
menyusun proses inter dan intra- perusahaan.
Level 3 adalah level elemen proses dan merupakan level paling bawah dalam
lingkup SCOR model. Pada level implementasi, yakni level yang berada dibawah level 3,
elemen proses diuraikan kedalam task dan aktivitas lanjutan. Level implementasi ini
tidak mencakup dalam lingkup SCOR model. Level 3 mengijinkan perusahaan untuk
mendefinisikan secara detail proses-proses yang teridentifikasi begitu juga dengan
ukuran kinerja dan juga best practice pada setiap aktivitas. Level kinerja dan practices
didefinisikan untuk proses-proses elemen ini. Dalam level ini, Benchmarking dan atribut
–atribut yang diperlukan juga dibutuhkan untuk enabling software. Pada level 3 juga
disertakan input output dan basic logic flow dari elemen-elemen proses.
Pada level 4, implementasi dari supply chain mengambil peran. Pada level ini
digambarkan secara detail tugas-tugas didalam setiap aktivitas yang dibutuhkan pada
level 3 untuk mengimplementasikan dan mengelola supply chain berbasis harian.
Ada tiga tipe proses dalam SCOR model: planning, execution dan enable. Proses
planning merencanakan keseluruhan supply chain sejalan dengan perencanaan spesifik
tipe dari execution process. Proses eksekusi mencakup semua kategori proses yang
terdiri dari source, make, deliverdan return kecuali kategori enable process. Enable
process dari suatu elemen proses tertentu. Dengan menggunakan ke empat level SCOR
model, suatu bisnis dapat dengan cepat dan tepat mendeskripsikan supply chain-nya.
Suatu supply chain yang didefinisikan menggunakan pendekatan ini dapat juga di
modifikasi dan disusun ulang dengan cepat sesuai dengan perubahan permintaan bisnis
dan pasar. Model SCOR memiliki suatu peran yang kuat dalam pelaksanaan supply
chain. Model SCOR level 1 dan 2 menjaga manajemen untuk tetap fokus. Sedangkan
level 3 mendukung adanya diagnosis.
Matrik dalam SCOR
Metrik adalah sebuah pengukuran kinerja standar yang memberikan dasar
bagaimana kinerja dari proses-proses dalam supply chain di ebaluasi. Pengukuran
kinerja ini harus reliable dan valid.Reliability berkaitan dengan bagaimana
kekonsistenan research instrument. Sedangkan validitas berkaitan dengan apakah
variable telah didefinisikan secara tepat dan representative.
Meskipun SCOR model menyediakan berbagai variasi ukuran kinerja untuk
mengevaluasi supply chain, namun SCOR tidak mengindikasikan apakah ukuran tersebut
cocok untuk semua tipe industri. Karenanya penyesuaian atau kustomisasi terhadap
SCOR model terkadang dibutuhkan. Pemilihan ukuran kinerja yang cocok disini
dilakukan untuk tiap elemen proses termasuk untuk kinerja darisupply chain.
Perhitungan dari sebuah metric mungkin tergantung tidak hanya pada process data item
namun juga perhitungan secara detail pada level yang lebih rendah.
Versi terakhir dari SCOR model mencakup 9 kinerja pada metrik level 1. Setiap
metrik dari SCOR model berasosiasi secara tepat pada salah satu dari atribut kinerja
yakni :
a. Supply Chain Reliability berkaitan dengan keandalan
b. Supply Chain Responsiveness berkaitan dengan kecepatan waktu respon setiap
perubahan
c. Supply Chain flexibility berkaitan dengan keflesibelan di dalam menghadapi setiap
perubahan
d. Supply Chain Cost berkaitan dengan biaya-biaya di dalam Supply chain
e. Efisiensi dalam pengelolaan asset berkaitan dengan nilai suatu barang
7. Performance PRISMPerformance Prism merupakan sebuah teori yang dikembangkan oleh
Universitas Cranfield, kemudian pada tahun 2000 Neely, Adams, dan Kennerley
mencoba memperkenalkannya sebagai sebuah metode pengukuran kinerja perusahaan.
Metode ini mencoba memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada pada metode-
metode sebelumnya seperti Balanced Scorecard. Kelebihan metode ini dibanding
dengan metode-metode sebelumnya adalah bahwa Performance Prism mencoba
mempertimbangkan seluruh stakeholder 23 dari perusahaan seperti investor,
pelanggan, karyawan, Peraturan Pemerintah sebagai bagian yang saling terintegrasi.
Dengan kata lain pengukuran kinerja yang dilakukan tidak hanya terbatas pada
beberapa stakeholder saja seperti yang dilakukan pada pengukuran kinerja pada
metode terdahulu.
Kelebihan Performance Prism jika dibandingkan dengan Balanced Scorecard
misalnya, terletak pada pertimbangan stakeholder perusahaan yang diturunkan secara
sistematis dimulai dari faktor yang mendasari kepuasan konsumen sampai dengan
kontribusi yang diberikan oleh stakeholder tersebut. Sedangkan kelemahan dari model
Performance Prism adalah model ini tidak memiliki sistem pengukuran yang standar.
Oleh karena itu, untuk membantu memfasilitasi strategi, proses, kapabilitas untuk
mencapai kepuasan stakeholder dan mengetahui kontribusi yang diberikan oleh
stakeholder, digunakan success map. Tujuan dari success map adalah untuk
mengidentifikasi hubungan antara stakeholder yang diprioritaskan dengan keinginan
dan kebutuhan organisasi (strategi, proses dan kapabilitas).
Stakeholder itu sendiri dapat didefinisikan sebagai berikut. “Individu atau
kelompok, baik di dalam maupun di luar perusahaan, yang mempunyai kepentingan
terhadap hidup dan matinya perusahaan dan sekaligus dapat mempengaruhi kinerja
organisasi” (Mudrajad Kuncoro, 2005: 8). Seperti yang dijelaskan dalam definisi
tersebut, stakeholder atau pemegang kepentingan di dalam perusahaan terdiri dari
banyak pihak, dan kepentingan dari masing-masing pihak tersebut pun berbeda-beda.
Walaupun di satu sisi kepentingan-kepentingan dari masing-masing stakeholder
tersebut berbeda-beda dan terkadang saling berbenturan, namun di sisi lain masing-
masing stakeholder tersebut juga memiliki hubungan yang saling menguntungkan. Oleh
karena itu, penting bagi perusahaan untuk mempertimbangkan masing-masing
kebutuhan dan kontribusi dari para stakeholder.
Performance Prism mempunyai 5 perspektif kinerja yang saling berkaitan, yaitu:
a. Kepuasan Stakeholder
Siapa saja stakeholder organisasi dan apa saja keinginan dan kebutuhan
mereka? Stakeholder yang dipertimbangkan di sini meliputi konsumen,
tenaga kerja, supplier, pemilik/investor, serta pemerintah dan masyarakat
sekitar. Penting bagi perusahaan berupaya memberikan kepuasan terhadap
apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh stakeholder-nya serta melakukan
komunikasi yang baik dengan mereka agar stakeholder dapat menjalankan
perannya secara baik demi keberhasilan perusahaan.
b. Strategi
Strategi apa yang dibutuhkan untuk memberikan kepuasan terhadap
keinginan dan kebutuhan para stakeholder? Strategi dalam hal ini sangat
diperlukan untuk mengukur kinerja organisasi sebab dapat dijadikan sebagai
monitor (acuan) sudah sejauh mana tujuan organisasi telah dicapai, sehingga
pihak manajemen bisa mengambil langkah cepat dan tepat dalam membuat
keputusan untuk menyempurnakan kinerja organisasi.
c. Proses
Proses-proses apa saja yang dibutuhkan untuk meraih strategi yang
sudah ditetapkan? Proses di sini diibaratkan sebagai mesin dalam meraih
sukses: yaitu bagaimana caranya agar organisasi mampu memperoleh
pendapatan yang tinggi dengan pengeluaran serendah mungkin, misalnya
dengan pengoptimalan sistem pengadaan barang.
d. Kapabilitas
Kemampuan-kemampuan apa saja yang dibutuhkan untuk menjalankan
proses yang ada? Kapabilitas atau kemampuan di sini maksudnya adalah
kemampuan yang dimiliki oleh organisasi meliputi keahlian sumber dayanya,
praktik-praktik bisnisnya, pemanfaatan teknologi, serta fasilitas-fasilitas
pendukungnya. Kemampuan organisasi ini merupakan pondasi yang paling
dasar yang harus dimiliki oleh organisasi untuk dapat bersaing dengan
organisasi-organisasi lainnya.
e. Kontribusi Stakeholder
Kontribusi apa yang perusahaan butuhkan dan inginkan dari para
stakeholder untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki? Untuk
menentukan apa saja yang harus diukur yang merupakan tujuan akhir
pengukuran kinerja dengan model Performance Prism ini, maka organisasi
harus mempertimbangkan hal-hal apa saja diinginkan dan dibutuhkan dari
para stakeholdernya. Sebab organisasi dikatakan memiliki kinerja yang baik
jika mampu menyampaikan apa yang diinginkannya dari para stakeholder
yang sangat mempengaruhi kelangsungan hidup organisasi mereka.
Gambar 1 Hubungan antar perspektif Performance Prism