Post on 08-Aug-2015
6
BAB II
DESKRIPSI TEORITIS, KERANGKA PEMIKIRAN,
DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kerangka Teoritik
1. Pendekatan Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
a. Pengertian Pendekatan Pembelaajaran (CTL)
Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan pendekatan yang telah
lama berkembang di negara-negara maju dengan nama yang beragam. Seperti
halnya di Amerika yang disebut dengan CTL Contextual Teachuig and Learning
yang intinya membantu “guru untuk mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan
nyata dan memotivasi peserta didik untuk mengaitkan pengetahuan yang
dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari mereka”.1 Berikut diungkapkan
kembali beberapa pengertian pembelajaran kontekstual menurut beberapa ahli
pendidikan.
Johonson, mengartikan “pembelajaran kontekstual adalah suatu proses
pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan
pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks
kehidupan mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya,
sosialnya, dan budayanya”.2
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Gelar Dwirahayu menurutnya,
“sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong siswa
melihat makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan
menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan
keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya
mereka”.3
1 Kunandar, Guru Profesional, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada, 2008). h. 295
2 Ibid., h. 295
3 Gelar Dwirahayu, Penetapan Contextual Teachung and Learning dalam pembelajaran
Matematika di Madrasah, dalam Gelar Dwirahayu, Munasprianto Ramli, (ed), Pendekatan Baru
dalam Proses Pembelajaran Matematika dan Sains Dasar,, (Jakarta: IAIN Indonesia Social
Equity Project, 2007). Cet. I. h. 89
7
Kunandar mengartikan “Contextual Teaching and Learning adalah konsep
belajar yang membantu guru menghubungkan antara materi pelajaran yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan kehidupan mereka sehari-
hari”.4
Lebih dikembangkan kembali oleh Junaedi yang menyatakan “Contextual
Teaching and Learning adalah salah satu bentuk pembelajaran yang menekankan
kepada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk dapat menemukan
materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata
sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan
mereka”.5
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
umumnya pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning
merupakan bentuk pembelajaran yang dapat mengaitkan materi pelajaran dengan
situasi kehidupan peserta didik sehari-hari, dengan konteks lingkungan
pribadinya, sosialnya, dan budayanya yang dapat menghadirkan pengalaman
belajar pada siswa, sehingga mendorong peserta didik untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari pengalaman tersebut, siswa
diharapkan dapat memahami materi pelajaran, dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-harinya.
Pembelajaran kontekstual akan mendorong kearah belajar aktif.
Sebagaimana yang diungkapkan Confusius kira-kira 2.400 tahun yang lalu, ia
mengungkapkan teori sebagai berikut, Apa yang saya dengar saya lupa; apa yang
saya lihat saya ingat, apa yang saya kerjakan saya paham.6
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan CTL merupakan pembelajaran yang menuntut
siswa-siswi untuk aktif mencari pengetahuannya berdasarkan pengalaman-
4 Kunandar, Guru Profesional, Op.cit.,h. 296.
5 Junaedi, dkk, Strategi Pembelajaran, (Learning Assistance Program For Islamic Schools
LAPIS, 2008). h. 13-10 6 Kunandar, Op.cit., h. 294
8
pengtalaman yang dialaminya dalam situasi kehidupan sehari-harinya. Bukan
sekedar mendengar atau melihat informasi mengenai materi pelajaran, tetapi
peserta didik juga diajak untuk terlibat mencari pengetahuannya sendiri agar
siswa dapat lebih paham mengenai hal yang sedang dipelajarinya.
b. Landasan Pendekatan Pembelajaran CTL
Landasan pendekatan pembelajaran CTL dipengaruhi oleh: landasan
filosofis dan psikologis. Pada landasan filosofis dari implementasi pendekatan
pembelajaran CTL sangat dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai
digagas oleh Mark Baldwin dan kemudian dikembangkan oleh Jean Piaget. Aliran
konstrutifisme mengemukakan pengetahuan merupakan struktur konsep dari
subjek yang mengamati.7 Maksudnya pengetahuan merupakan suatu konsep
fikiran yang dimiliki oleh subjek/seseorang dari hasil pengamatan yang dilakukan
dalam waktu tertentu dan menghasilkan suatu pemahaman.
Dari sanalah filsafat konstruktivisme mengembangkan pandangannya
tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep proses belajar, bahwa belajar
bukanlah sekedar menghafal, tetapi proses mengkonstruksi pengetaahuan melalui
pengalaman.8 Kemudian dijelaskan kembali bahwa pengetahuan bukan hasil
“pemberian” dari orang seperti guru, tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang
dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari pemberitahuan bukan menjadi
pengalaman yang bermakna.9
Berdasarkan pandangan ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan dihasilkan
dari pengalaman setiap individu, bukanlah berdasarkan pemberian dari seseorang.
Pengetahuan hasil dari pemberian orang lain bisa jadi masih diragukan oleh
pembelajar, dan tidak akan dijadikan sebagai sesuatu yang bermakna.
Berangkat dari pemahamai ini, maka untuk menjelaskan suatu konsep yang
dianggap baru bagi peserta didik, pengajar dapat memberikan pengalaman-
pengalaman yang bermakna. Peserta didik diarahkan untuk mencari sendiri
pengetahuannya melalui pengalaman dan peran aktifnya dalam proses
7 Junaidi, Op.cit., h. 13-11
8 Ibid., h.13-11
9 Ibid., h. 13-13
9
pembelajaran. Sehingga pengetahuan akan dapat lebih bermakna dan bertahan
lama dalam benaknya.
Sesuai dengan filsafat yang melandasinya bahwa pengetahuan terbentuk
karena peranan aktif subjek. Peranan aktif ini dapat dipandang dari sudut
psikologis. CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Dalam buku yang ditulis
oleh Junaedi, dkk aliran psikologis, menyatakan bahwa:
Proses belajar terjadi karena pemahaman individu mengenai
lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti emosi, minat,
motivasi, dan kemampuan atau pengalaman. Apa yang tampak pada
dasarnya adalah wujud dari dorongan yang berkembang dalam diri
seseorang. Sebagai peristiwa mental prilaku manusia tidak semata-mata
merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya
faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu. Sebab manusia
memiliki kebutuhan kebutuhan yang melekat dalam dirinya. Kebutuhan
itulah yang mendorong manusia untuk berprilaku.10
Dari asumsi dan latar belakang yang mendasarinya, terdapat beberapa hal
yang harus dipahami tentang belajar dalam pembelajaran kontekstual.11
1. Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi memproses mengkonstruksi
pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki, oleh karena
itulah, semakin banyak poengalaman, semakin banyak pula pengetahuan
yang mereka peroleh.
2. Belajar bukan sekedar mengumplkan fakta yang lepas. Pengetahuan itu pada
dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami dengan pengetahuan
yang dimiliki atau berpengaruh pada pola-pola prilaku manusia, seperti pola
berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan permasalahan termasuk
penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang
luas dan mendalam, semakin efektif dalam berfikir.
3. Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan
masalah anak akan berkembang secara utuh yang bukan hanya berkembang
intelektualnya akan tetapi juga mental dan emosi. Belajar secara kontekstual
adalah belajar bagaimana anak menghadapi setiap persoalan.
10
Ibid.,h.13-12 11
Ibid.
10
4. Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap
dari yang sederhana menuju yang kompleks. Oleh karena itu, belajar tidak
dapat dilakukan sekalicgus, akan tetapi sesuai irama kemampuan peserta
didik.
5. Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh
katena itu, pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki
makna untuk kehidupan anak (real word learning).
Landasan yang tidak kalah pentingnya dari kedua landasan di atas adalah
landasan yuridis. Landasan yuridis berkaitan erat dengan berbagai kebijakan dan
peraturan yang mendukung pelaksanaan pembelajaran di SD/MI. Landasan
yuridis tersebut adalah Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak. Undang-Undang ini menyatakan bahwa “setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.”12
Pernyataan ini menjelaskan
bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
Sementara itu, Undang-undang No. 20 tahun 2003 Bab X tentang
kurikulum, menyatakan bahwa “kurikulum pada semua jenjang dan jenis
pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.”13
Pernyataan ini memberikan
peluang kepada setiap satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum
pembelajaran yang sesuai dengan potensi dan tahapan perkembangan siswa. Atas
dasar pertimbangan itu, pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) menetapkan bahwa:
Pembelajaran di tingkat SD/MI harus diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
12
Sugiyar, dkk, “PembelajaranTematik”,(Learning Assesteance Program for Islamic
Schools: PGMI, 2009). h. 2-9 13
UU RI No.20 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta, Depdiknas Dirjen
Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, 2003), hal. 13
11
prakarsa, kreaktivitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.14
Hal ini amat sejalan dengan karakteristik pembelajaran kontekstual yang
ditulis oleh The Northwest Regional Education labolatory USE dalam buku yang
ditulis Kunandar tahun 2007, menyatakan bahwa: Kurikulum yang dikembangkan
berdasarkan standar. Isi pembelajaran harus dikaitkan denegan standar lokal,
provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dunia
kerja.15
Berdasarkan pernyataan di atas jelaslah bahwa pendekatan pembelajaran
Contextual Teachung and Learning merupakan pembelajaran yang dilaksanakan
sesuai KTSP. Pada pendekatan ini, pembelajaran dilakukan sesuai dengan
pengalaman peserta didik ketika dilingkungannya, potensi yang dimiliki masing-
masing daerah sangatlah mendukung dalam keberhasilam proses pembelajaran
menggunakan pendekatan CTL.
c. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Sebagaimana pendekatan pembelajaran yang lain, pendekatan
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) memiliki karakteristik.
Terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunkan
pendekatan CTL menurut Wina Sanjaya, sebagai berikut:16
1. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang
sudah ada (activiting knowledege).
2. Pelajatran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan
menambah pengetahuan baru (acquring knowledge).
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan
nyang diperoleh buka untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.
4. Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applyng knowladge),
artinya pengetahuan dan engalaman yang diperolehnya harus dapat
14
Depdiknas “Badan Standar Nasional Pendidikan tentang Standar Proses,” h.6 15
Kunandar, GuruProfesional, Op.cit., h. 298 16
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), cet. 8., h. 256.
12
diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku
siswa.
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan
pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan
dan penyempurnaan strategi.
The Northwest Regional Education labolatory USE (dalam Kunandar,
2007) juga mengidentifikasikan karakteristik pembelajaran kontekstual menjadi
enam komponen, sebagai berikut:17
1) Pembelajaran bermakna; pembelajaran relefansi, penilaian pribadi sangat
terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran.
Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupannyata atau siswa
mengetahui manfaat isi pembelajaran.
2) Penerapan pengetahuan yaitu kemampuan siswa untuk memahami apa yang
dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kegidupan dan fungsi di masa
sekarang atau di di masa yang akan datang.
3) Berpikir tingkat tinggi, yaitu siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berfikir
kritis dan berikir kreatifnya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu,
dan pemecahan suatu masalah.
4) Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar. Isi pembelajaran harus
dikaitkan denegan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta dunia kerja.
5) Responsif terhadap budaya, yaitu guru harus memahami dan menghargai
nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, teman, pendidikan, dan masyarakat
tempat ia mendidik. Ragam individu dan budaya suatu kelompok serta
hubungan antara budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan
sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru.
6) Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian, misalnnya
penilaian proyek/tugas berstruktur, kegiatan siswa, penggunaan portofolio,
rubric, daftar cek, pedoman observasi, dan sebagainnya.
17
Ibid., h. 297-298
13
Adapun beberapa karakteristik dalam pembelajaran Kontekstual menurut
Johnson, yang dapat di uraikan sebagai berikut:18
1) Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)
2) Melakukan kegiatan-kegiatan yang berarti (doing significant works)
3) Belajar yang diatur sendiri (self-regulated Learning)
4) Bekerjasama (collaborating)
5) Berpikir kritis dan kreatif (critical dan creative thinking)
6) Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nuturing the individual)
7) Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards)
8) Menggunakan Penilaian yang otentik (using authentic assessment)
Berdasarkan karakteristik pendekatan pembelajaran Contextual Teaching
and Learning diatas, dapat dikatakan bahwa, pembelajaran CTL merupakan
pendekatan yang mengajak siswa belajar untuk dapat diterapkan dalam kehidupan
siswa sehari-hari, sehingga pelajaran dapat lebih bermakna. Selain itu
pembelajaran dengan pendekatan CTL dapat membimbing siswa untuk berpikir
ketingkat tinggi terhadap masalah yang dihadapinya baik dibidang sosial atau
budya. Pendekatan ini juga menjadikan pendidik dapat lebih leluasa untuk menilai
segala aspek yang dicapai siswa, baik dari segi kofnitif, afektif, dan psikomotorik.
Dari karakteristi pendekatan ini, selanjutnya dapat diungkap ciri dari pendekatan
Contextal Teaching and Learning.
d. Ciri-Ciri Pembelajaran Contekstual Teaching and Learning(CTL)
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan
rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi
tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan
topik yang akan dipelajarinya. Adapun ciri pembelajaran yang direncanakan
tersebut adalah sebagai berikut:19
1) Kerjasama.
2) Saling menunjang.
18
Materi Pelatihan Penguatan Kemampuan Pengawas Sekolah, Pembelajaran Berbasis
Paikem, Derektorat Tenaga Kependidikan, 2010 h.27-29 19
Ibid. h.26
14
3) Menyenangkan, tidak membosankan.
4) Belajar dengan bergairah.
5) Pembelajaran terintegrasi.
6) Menggunakan berbagai sumber.
7) Siswa aktif.
8) Sharing dengan teman.
9) Siswa kritis guru kreatif.
10) Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta,
gambar, artikel, humor dan lain-lain.
11) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan
hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain.
Sejalan dengan hal diatas, Kunandar juga mengutarakan ciri pembelajaran
CTL antara lain:20
1) Adanya kerjasama antara seluruh pihak
2) Menekankan pentingnya pemecahan masalah atau problem
3) Bermuara pada keragaman konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda
4) Saling menunjang
5) Menyenangkan, tidak membosankan
6) Belajar dengan bergairah
7) Pembelajaran terintegrasi
8) Menggunakan berbagai sumber
9) Siswa aktif
10) Sharing dengan teman
11) Siswa kritis, guru kreatif
12) Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan kasil karya siswa, peta-peta,
gambar, artikel, humor, dan sebagainya
13) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa,
laporan hasil praktikum, karangan siswa dan sebagainya
e. Penerapan Pembelajaran CTL
Contextual Teaching and Learning dapat diterapkan dalam kurikulum apa
saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkah-langkah
yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut:21
1) Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan
cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan barunya.
2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
20
Kunandar, GuruProfesional, Op.cit., h. 298-299 21
Materi Pelatihan Penguatan Kemampuan Pengawas Sekolah, Op.cit.,h. 26
15
4) Ciptakan masyarakat belajar.
5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
7) Lakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) dengan berbagai
cara.
Agar dapat mengimplementasikan langkah-langkah umun pembelajaran
CTL diatas dengan baik, guru perlu melaksanakan hal-hal sebagai berikut:22
1) Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental
siswa. Artinya, isi kurikulum dalam metodologi yang digunakan untuk
mengajar harus dilandaskan pada kondisi sosial, emisional, dan karakteristik
intelektual siswa.
2) Membentuk grup belajar yang saling tergantung (interdependent learning
groups).
3) Menyediakan lingkungan yang mendorong pembelajaran mandiri (self
regulated learning)
4) Mempertimbangkan keragaman siswa (diversity of student).
5) Memperhatikan multi intelegensia (multiple intelligences) siswa. Artinya,
dalam pembelajaran kontekstual guru harus peperhatikan kebutuhan dan
kecerdasan yang dimiliki oleh siswa yang meliputi; kecerdasan verbal
linguistik, logis matematis, visual spiritual, kinestetik, fisik, intra pribadi,
antar pribadi, dan naturalis.
6) Menggunakan tehnik-tehnik bertanya (Questioning) untuk meningkatkan
pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan
berpikir tingkat tinggi. Agar pembelajaran kontekstual mencapai tujuannya,
maka jenis dan tingkat pertanyaan yang terdapat harus diungkap/ditanyakan.
Pertanyaan harus secara hati-hati direncanakan untuk menghasilkan tingkat
berpikir, tanggapan, dan tindakan yang diperlukan siswa dan seluruh peserta
dalam proses pembelajaran kontekstual.
7) Menerapkan penilaian autentik (authentic assessment). Penilaian autentik
untuk mengevaluasi penerapan pengetahuan dan berpikir kompleks siswa.
22
Kunandar, GuruProfesional, Op.cit., h. 303-305
16
Pelaksanaan pembalajaran merupakan implementasi dari RPP.
Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, an
kegiatan penutp. Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan
CTL guru dapat melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti dibawah ini:23
1) Pendahuluan
a) Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari
proses pembelajaran dan pentingnya materi pembelajaran yang akan
dipelajari
b) Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL
- Siswa dibagi kedalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah
siswa
- Tiap kelompok ditugaskan untuk melakukan obseervasi
- Melalui observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal
yang ditemukan dilapangan
c) Guru melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh
setiap siswa
2) Inti
Di lapangan
a) Siswa melakukan observasi sesuai dengan pembagian tuhas kelompok
b) Siswa mencatat hal-hal yang mereka tamukan dipasar sesuai dengan alat
observasi yang telah mereka lakukan sebelumnya
Di dalam kelas
a) Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya
masing-masing
b) Siswa melaporkan hasil diskusinya
c) Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh
kelompok lain
3) Penutup
a) Dengan bantuan guru siswa menyiapkan hasil observasi sekitar masalah
pasar sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai
b) Guru menugaskan siswa untuk membuat karangan tentang pengalaman
belajar mereka dengan tema pelajaran hari itu
f. Komponen Utama Kontekstual
Ada tujuh komponen utama pembelajatan yang mendasari penerapan
pembelajaran kontekstual (CTL) di kelas, yaitu sebagai berikut:24
23
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi,
(Jakarta: Kencana Prenda Media Group, 2008), cet. 4, h.124-125 24
Ibid., h. 305-317
17
1) Konstruktivisme
Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mereka
melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi
pusat kegiatan, bukan guru. Dalam pandangan konstruktivisme “strategi
memperoleh” lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa
memperoleh dan mengingat pengetahuan.
2) Menemukan ( Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis
kontekstual yang berpendapat bahwa pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta,
tetapi hasil dari menemukan sendiri. Berikut langkah-langkah pembelajaran
inkuiri:
a) Merumuskan masalah
b) Mengumpulkan data melalui observasi atau pengamatan
c) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar laporan,
bagan, table, dan karya lainnya
d) Mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audience lainnya
e) Mengevaluasi hasil temuan bersama
3) Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis kontekstual.
Dalam aktivitas belajar, kegiatan bertanya dapat diterapkan: antara siswa
dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara
siswa dengan orang lain dan sebagainya. Kegiatan bertanya dalam
pembelajaran berguna untuk: menggali informasi, baik administrasi maupun
akademis; mengecek pemahaman siswa; memecahkan persoalan yang
dihadapi; membangkitkan respon kepada siswa; mengetahui sejauh mana
keingintahuan siswa; mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa;
menfokuskan perhatian siswa kepada sesuatu yang dikehendaki guru;
membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; menyegarkan
kembali pengetahuan siswa.
18
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Dalam kelas kontestual, hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, natar
kelompok, dan antar yang sudah tahu ke yang belum bahu. Guru disarankan
selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar dengan
siswa yang dibagi dalam kelompok-kelompok homogen.
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah.
Seseorang yang telibat dalam kegiatan masyarakat belajar member informasi
yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi
yang diperlukan dari teman belajarnya. Setiap pihak harus merasa bahwa
semua orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan
berbeda yang perlu dipelajari.
5) Pemodelan (Modeling)
Pemodelan artinya dalam sebuah pemebelajaran keterampilan atau
pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan dapat berbentuk
demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Dengan
kata lain, model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melakukan
suatu kegiatan, contoh karya tulis, dan sebagainya. Dengan begitu, guru
memberi model tentang “bagaiman cara belajar”.
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir
kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa lalu. Kegiatan
refleksi ini dimaksudkan untuk dapat mengukur sejauh mana pemahaman
materi yang disampaikan hari ini.
Perwujudan dari refleksi ini dapat berupa: pertanyaan langsung tentang apa-
apa yang diperoleh hari itu, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran
siswa mengenai pembelajaran hari itu, diskusi, hasil karya.
7) Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assesment)
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bias memberikan
gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran pembelajaran siswa perlu
diketahui oleh guru agar bias memastikan bahwa siswa memahami proses
19
pembelajaran dengan benar. Penilaian yang sebenarnya dinilai, baik proses
maupun hasil dengan berbagai instrument penilaian.
Ciri-ciri penilaian autentik adalah:
a) Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk;
b) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung;
c) Menggunakan berbagai cara dan sumber;
d) Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian;
e) Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-
bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat
mencerminkan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap
hari;
f) Penilaian harus menekankan keadaan pengetahuan dan keahlian siswa,
bukan keluasannya (kuantitas).
Sejalan dengan pendapat Kunandar diatas, Wina Sanjaya juga
mengungkapkan 7 komponen yang melandasi pendekatan CTL sebagai berikut:25
1) Konstruktivisme
2) Inkuiri
3) Bertanya (Questioning)
4) Belajar Bermasyarakan (Learning Comunity)
5) Pemodelan (Modeling)
6) Refleksi (Reflection)
7) Penilaian Nyata (Autentic Assessment)
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti berpendapat bahwa
”Metode Contextual Teaching and Learning” adalah cara belajar yang
membantu siswa mengkonstruksikan pengetahuan sesuai dengan pengalaman
yang dimiliki berdasarkan fakta-fakta berdasarkan pengalaman sendiri yang
berkembang secara bertahap dari yang sederhana menuju yang kompleks yeng
menjadikan pembelajaran bermakna untuk mencapai standar yang tinggi.
25
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), cet. 8., h. 263-268.
20
g. Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensioal
Ada beberapa perbedaan antara CTL dengan pembelajaran konvensional
perbedaan tersebut antara lain tertera dalam tabel dibawah ini:26
Tabel 2.1
Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensioal
No Contekstual Teaching and
Learning Konvensional
1 Menetapkan peserta didik sebagai
subjek belajar. Peserta didik berperan
aktif dalam detiap proses
pembelajaran dengan cara mengali
sendiri materi pelajaran.
Pembelajaran konvensional
menempatkan peserta didik sebagai
objek belajar yang berperan sebagai
penerima informasi secara pasif.
2 Peserta didik belajar melalui kegiatan
kelompok, berdiskusi, saling
menerima dan memberi.
Pembelajaran bersifat
individualdengan menerima,
mencatat, dan menghaal materi
palajaran.
3 Pembelajaran dikaitkan dengan
kehidupan nyata secara realita.
Pembelajaran bersifat teoritis dan
abstrak.
4 Kemakpuan didasarkan atas
penggalian pengalaman
Kelampuan diperoleh melalui
latihan-latihan.
5 Tujuan akhir pembelajaranadalah
kemampuan diri
Tujuan akhir pembelajaran adalah
nilai dan angka
6 Prilaku yang dibangun atas kesadaran
diri sendiri, misalnya individu tidak
melakukan operbuatan tertentu karena
ia menyadari ptilaku itu merugikan
dan tidak bermanfaat.
Tindakan atau prilaku individu
didasarkan oleh faktor dari liar
dirinya, misalnya individu tidak
melakukan sesuatu disebabkan
hukuman.
7 pengetahuan yang dimiiki setiap
individu selalu berkembang sesuai
dengan pengalaman yang dialaminya,
oleh karena itu setiap peserta didik
bisa berbeda dalam memaknai
hakikat pengetahuan yg dimilikinnya.
Kebenaran yang dimiliki individu
bersifat absolut dan final, oleh karena
pengetahuan didominasi oleh orang
lain.
26
Junaedi, Op.cit., h.13
21
No Contekstual Teaching and
Learning Konvensional
8 Peserta didik bertanggung jawab
dalam memonitor dan
mengembangkan pelajaran mereka
masing-masing.
Guru adalah penentu jalannya proses
pembelajaran.
9 Pembelajaran dapat saja terjadi dalam
konteks dan seting yang berbeda
sesuai dengan kebutuhan.
Pembelajaran terjadi hanya di dalam
kelas.
10 Tujuan CTL adalah seluruh aspek
perkembangan peserta didik. Maka
keberhasilan pembelajaran diukur
dengan berbagai cata, misalnya
evaluasi postes, hasil karya peserta
didik, penampilan, observasi,
wawancara, dan lain dibagainnya.
Keberhasilan pembelajaran biasanya
hanya diukur dengan tes.
2. Hasil Belajar IPA
a. Pengertian Hasil Belajar IPA
Hasil belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata yang
memiliki arti yang berbeda, yaitu “hasil” dan “belajar”. Menurut Purwanto,
pengertian “hasil (product) menunjukan pada suatu perolehan yang
mengakibatkan berubahnya input secara fungsional”.27
Dan Irwanto
mengungkapkan secara sederhana “belajar merupakan proses perubahan dari
belum mampu menjadi sudah mampu (yang), terjadi dalam jangka waktu
tertentu”.28
Jadi, hasil belajar adalah suatu perolehan yang mengakibatkan
perubahan input secara fungsional melalui suatu proses perubahan dari belum
mampu menjadi mampu, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu.
Senada dengan hal di atas Alisuf Sabri mengungkapkan pengertian
“belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat pengalaman atau
27
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar, (Jogyakarta: Pustaka Belajar, 2009), h.44
28 Irwanto, Psiologi Umum, (Jakarta: Prenhallindo, 2002). h. 105.
22
latihan”.29
Jadi, belajar adalah suatu perubahan pengetahuan dan tingkah laku
yang diperoleh melalui kegiatan belajar.
Selanjutnya Ngalim Purwanto mengungkapkan, “hasil belajar adalah
hasil-hasil pelajaran yang diberikan oleh guru kepada siswa dalam jangka waktu
tertentu”.30
Hasil belajar yang dimaksud dapat berupa tes, ulangan harian, atau
evaluasi akhir.
Sedangkan Dimyati dan Mudjiono mengatakan, “hasil belajar menekankan
kepada diperolehnya informasi tentang seberapakah perolehan siswa dalam
mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan”.31
Menurut mereka, hasil belajar
merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk memperoleh informasi tentang baik
dan buruknya hasil pencapaian dari kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
Winkel mengemukakan “hasil belajar adalah perubahan yang
mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Aspek
perubahan itu mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang dukembangkan
oleh Bloom, Simposion, dan Harrow mencakup aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik”.32
Diungkapkan kembali oleh Purwanto “hasil belajar adalah
perwujudan kemampuan akibat perubahan prilaku yang dilakukan oleh usaha
pendidikan. Kemampuan mencakup domain kogniti, afektif, dan psikomotorik”.33
Jadi, dari hasil belajar yang diapai memerluakan suatu alat ukur yang dapat
menilai aspek yang diperoleh dari hasil belajar yakni aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Ketiga aspek ini dapat dinilai dengan jelas ketika dikombinasikan
dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan bukti pencapaian kemampuan belajar yang diperoleh siswa setelah
29
Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan Berdasarkan Kurikulum Nasional, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2010), h.55. 30
Ngalim purwanto, Prinsip-prtinsip dan Tehnik Evaluasi Pengajaran (bandung:PT
Remaja Rosdakarya, 2008),cet VII, h. 33 31
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006),cet III,
h.190.
32 Purwanto, Op.cit., h. 45.
33 Ibid., h. 49
23
melalui serangkaian kegiatan pembelajaran, yang bertujuan untuk mengukur
ketercapaian tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
Pada dasarnya IPA adalah ilmu yang mempelajari cara mencari tahu
tentang alam semesta dan segala isinya secara sistematis. “IPA merupakan mata
pelajaran yang sangat berguna bagi kehidupan siswa, selain untuk mengetahui
segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, IPA juga dijadikan suatu wahana
bagi peserta didik untuk mempelajari tentang diri sendiri dan cara menyesuaikan
diri dengan lingkungan sekitarnya”.34
Menurut Permen No. 22 Tahun 2006, “mata pelajaran IPA perlu diberikan
kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar adalah untuk membekali
peserta didik cara memenuhi kebutuhan manusia dengan menggunakan
pendekatan pemecahan masalah”.35
Dari pernyataan di atas terlihat dengan jelas
bahwa pelajaran IPA memiliki peranan penting dalam menumbuhkan
kemampuan berfikir logis dan memerlukan keterampilan kerja siswa dalam
memecahkan masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
mewujudkan itu semua, kurikulum di Indonesia, yang dikenal dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merumuskan beberapa tujuan penting yang
ingin dicapai dalam pembelajaran IPA SD, yaitu:36
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengambangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan keselarasan tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA,lingkungan, teknologi, dan
masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperasaan dalam memelihara, menjaga dan
melestarikan lingkungan alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteratuannya
sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7. Memperoleh bekal pegetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar
untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
34
Permendiknas No. 22 Tahun 2006. Lampiran Standar Kompetansi dan Pompetensi
Dasar IPA SD/MI. 35
Ibid. 36
Ibid.
24
Berdasarkan tujuan tersebut tergambar dengan jelas bahwa arah dan
orientasi pembelajaran IPA adalah mengarahkan siswa untuk mampu
mengembangkan segala pengetahuan yang dimiliki untuk memelihara dirinya
sendiri, lingkungan serta jagad raya ini. Untuk menilai ketercapaian semua tujuan
di atas, dibutuhkan suatu bukti yang menunjukkan tingkat penguasaan siswa
terhadap konsep IPA yang telah diajarkan, yang meliputi pengembangan
keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan
membuat keputusan, serta meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan
segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Bukti
tersebut dapat ditunjukkan dengan pencapaian hasil belaja yangdipisahkan
menjadi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hasil belajar adalah bukti pencapaian
kemampuan belajar yang diperoleh siswa setelah melalui serangkaian kegiatan
pembelajaran, yang bertujuan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran
yang telah ditentukan. Sedangkan IPA adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sistematis dalam
memecahkan masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, Hasil belajar IPA adalah bukti pencapaian pemahaman terhadap
konsep-konsep IPA, yang meliputi pengembangan keterampilan proses untuk
menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, serta
meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya
sebagai salah satu ciptaan Tuhan di muka bumi ini.
b. Jenis-Jenis Hasil Belajar
Howard Kingsley membagi tiga jenis hasil belajar, yaitu keterampilan,
pengetahuan dan pengertian, serta sikap dan cita-cita.37
Sedangkan Gagne
membagi hasil belajar ke dalam lima kategori yakni:
1. Informasi verbal, yaitu penguasaan informasi baik secara lisan maupun
tertulis, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definis, dan
sebagainya.
37
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 22.
25
2. Keterampilan intelektual, yaitu keterampilan individu dalam berinteraki
dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya
penggunaan simbol matematik,
3. Strategi kognitif, merupakan cara-cara berfikir agar terjadi aktivitas yang
efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran,
sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada proses pemikiran
4. Kemampuan mengendalikan ingatan sikap, yaitu hasil pembelajaran yang
berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan
dilakukan.
5. Keterampilan motoris, yaitu hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan
yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar itu
merupakan suatu pencapaian belajar yang diperoleh siswa yang dapat diukur dari
beberapa aspek, yang meliputi pengetahuan, pengalaman, maupun perubahan
sikap ke arah yang lebih baik dengan proses belajar.
Sementara itu, menurut Moh Surya, hasil belajar akan tampak dalam38
:
1. Kebiasaan, misalnya siswa belajar bahas berkali-kali untuk menghindari
penggunaan kata yang keliru, sehingga ia terbiasa dengan penggunaan bahasa
secara baik dan benar.
2. Keterampilan, dalam halnya menulis dan berolah, yang meskipun sifat motorik,
keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang diteliti dan
kesadaran yang tinggi.
3. Pengamatan, yakni proses menerima, menafsirkan dan memberi arti ransangan
yang masuk melalui panca indera sehingga peserta didik mampu ,menacapai
pengertian yang benar.
4. Berfikir asosiatif, yakni berfikir dengan cara mengaitkan sesuatu dengan
lainnya dengan menggunakan daya ingat.
5. Berfikir rasional dan kritis, yakni menggunakan prinsip dan dasar-dasar
pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan
“mengapa” (why).
6. Sikap, yaitu kecenderungan yang relatif menetap untuk bertindak dengan cara
baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan
dan keyakinan.
7. Inhibisi atau menghindari hal yang mubazir.
8. Apresiasi atau menghargai karya-karya orang lain.
9. Perilaku afektif, yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut,
marah, sedih, gembaira, kecewa, senang, benci, dan sebagainya.
Sedangkan dalam Sistem Pendidikan Nasional rumusan tujuan pendidikan,
baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil
38
Akhmad Sudrajat,“Let’s Talk About Education-Hakikat Belajar”, dari
http:akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/31/hakikat-belajar.
26
belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga
ranah, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik.39
Bloom mengatakan, “ranah kognitif merupakan hasil belajar yang
berkenaan dengan hasil belajar intelektual”.40
Menurutnya, segala upaya yang
menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah
kognitif itu terdapat enam jenjang proses berfikir, diantaranya:41
1) pengetahuan
atau ingatan; 2) pemahaman; 3) penerapan; 4) analisis; 5) sintesis; 6) penilaian.
Sementara itu, ranah afektif menurutnya, berkaitan dengan sikap dan nilai,
yang terdiri dari lima aspek, yaitu:42
1) penerimaan; 2) jawaban; 3) penilaian; 4)
organisasi; dan 5) interaksil.
Sedangkan ranah psikomotorik adalah ranah yang berkaitan dengan
keterampilan atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman
belajar tetentu. Ranah psikomotorik ada enam tingkatan, yaitu:43
1. Gerakan refleks
2. Gerakan dasar
3. Gerakan persepsi
4. Gerakan kemampuan fisik
5. Gerakan terampil
6. Gerakan indah dan kreatif
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
hasil belajar tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan aspek pengetahuan
saja, melainkan harus melibatkan segala aspek perubahan tingkah laku, baik
secara intelektual, fisik, dan psikologis.
c. Faktor Yang Mempengaruhi Hasil belajar
Pada dasarnya hasil belajar siswa yang baik dalam kegiatan pembelajaran
di sekolah bukan hanya disebabkan oleh kecerdasan siswa itu saja, akan tetapi
masih ada hal lain yang juga menjadi faktor penentu yang tidak dapat dipisahkan
39
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 22. 40
Nana Sudjana, Ibid.,h. 22. 41
Anas Soedijono, Pengantar Dasar Evaluasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h.50-53. 42
Ibid. h. 56 43
Ahmad Sofyan, Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), h.26-27.
27
dalam mencapai keberhasilan belajar siswa. Secara global, faktor-faktor tersebut
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:44
1. Faktor internal dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni faktor biologis dan
faktor psikologis. Yang dikategorikan faktor biologis antara lain: usia,
kematangan, dan kesehatan. Sedangkan yang dikategorikan faktor psikologis
antara lain: kelelahan, suasana hati, minat dan kebiasaan belajar.
2. Faktor eksternal dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni faktor dari manusia
itu sendiri dan faktor seperti alam, hewan dan lingkungan fisik.
d. Jenis Alat Penilaian Hasil Belajar IPA
Secara garis besar, alat penilaian yang dapat digunakan untuk mengukur
ketercapaian hasil belajar IPA dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu tes
dan non tes. “Tes dapat didefinisikan sebagai himpunan pertanyaan yang harus
dijawab atau pernyataan yang harus dipilih oleh orang yang dites dengan tujuan
untuk mengukur aspek perilaku tertentu”.45
Tes sebagai bagian penting dalam
proses pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam berdasarkan cara
mengerjakannya, yaitu tes tulis, tes lisan dan tes perbuatan.
Sedangkan non tes adalah penilaian hasil belajar yang dilakukan tanpa
mengadakan pengujian terhadap peserta didik secara langsung. Penilaian
dilakukan dengan melakukan pengamatan secara sistematis (observasi),
melakukan wawancara, menyebarkan angket, dan memeriksa atau meneliti
dokumen-dokumen yang dapat memberikan informasi terhadap kemajuan belajar
siswa.
Kedua tipe penilaian di atas sangat tepat digunakan untuk mengukur
ketercapaian dalam pelajaran IPA. Para guru harus mengetahui bahawa tidak
semua materi pelajaran dapat diukur dengan menggunakan tes, tetapi ada
beberapa materi tertentu yang hanya dapat diukur dengan menggunakan tehnik
non tes. Untuk itu, guru harus dapat memilih alat penilaian yang tepat agar dapat
memperoleh data yang akurat dan objektif dalam menilai ketercapaian hasil
belajar siswanya.
44
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 145. 45
Lilik Nofijanti, Evaluasi Pembelajaran, (Surabaya: LAPIS PGMI, 2008), h.3-5.
28
e. Fungsi dan Tujuan Penilaian Hasil Belajar IPA
Penilaian adalah suatu cara yang sitematis dalam menganalisa suatu
pekerjaan sehingga kita mengetahui sampai seberapa jauh pekerjaan itu dapat
memperoleh hasil yang memuaskan dengan mempergunakan bahan-bahan dan
cara-cara tertentu. Dalam hal ini penulis mengungkapkan fungsi penilaian hasil
belajar adalah sebagai berikut:
1. Penentuan kekuatan dan kelemahan murid dalam menguasai materi yang
telah diterima dalam proses belajar mengajar.
2. Penentuan kekuatan atau kelemahan guru dalam melaksanakan program
belajar mengajar.
3. Menyediakan bahan untuk membimbing pertumbuhan dan perkembangan
murid secara individual atau kelompok.
4. Untuk mengetahui karakteristik siswa dan tingkat kecerdasannya.
5. Hasil evaluasi dapat memberikan motivasi belajar terhadap anak-anak.
6. Petunjuk bagi guru, apakah metode dan bahan pelajaran yang diberikannya
sudah cukup baik atau tidak.
7. Dengan penilaian hasil belajar, guru dapat memberikan saran-saran kepada
para siswa dan orang tua tentang bagaimana cara yang baik dalam belajar dan
bekerja.
f. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran CTL terhadap Hasil Belajar IPA
Siswa
Contextual Teaching and Learning adalah salah satu bentuk pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik secara penuh untuk
dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka.46
Dalam pelaksanaannya, pendekatan pembelajaran ini bertolak dari
kegiatan yang dilakukan siswa di kelas yang dikembangkan oleh guru bersama
46
Junaedi, Ibid., h. 13-10
29
siswa dengan memperhatikan keterkaitannya dengan isi mata pelajaran. Kegiatan
yang dilakukan siswa di sini merupakan kegiatan yang aktif dan dekat dengan
lingkungan siswa sehari-hari. Konteks yang dekat dengan siswa tersebut
diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, diantaranya adalah: siswa
mudah memusatkan perhatian pada suatu konteks tertentu, mampu mempelajari
pengetahuan dengan lebih mudah tanpa menghayalkan sesuatu yang jauh dari
kehidupannya sehari-hari, memahami materi pelajaran lebih mendalam dan
berkesan, kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan
mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa, sehingga siswa lebih
mampu merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam
konteks yang jelas.
IPA adalah mata pelajaran yang bertujuan mengarahkan siswa untuk
mampu mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sistematis dalam
memelihara dirinya sendiri, lingkungan serta jagad raya ini. Untuk mencapai
semua tujuan tersebut, mata pelajaran IPA di SD/MI sebaiknya dilaksanakan
dengan menggunakan metode kontekstual, karena dengan karakteristik yang
dimilikinya, yaitu mengarahkan siswa untuk mampu mengantarkan siswa dari
yang sebelumnya berfikir secara kongktet operasional ke tahapan pra-operasional
pada siswa sekolah dasar, maka pendekatan pembelajaran ini akan berpengaruh
terhadap hasil belajar IPA siswa.
B. Kerangka Pikir
Belajar merupakan suatu proses yang menimbulkan terjadinya suatu
perubahan atau pembaharuan dalam tingkahlaku dan atau kecakapan.47
Baik atau
tidaknya belajar itu tergantung bermacam-macam faktor. Secara garis besar
terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang ada pada diri
organisme itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang terdapat
47
Ngalim Purwanti, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2007), cet.2,
h.102
30
di luar individu salah satu diantara faktor eksternal adalah guru dan cara
mengajarnya.
Kemampuan kognitif siswa di sekolah banyak dipengaruhi oleh peranan
guru dalam menyampaikan suatu teori. Penyampaian teori yang digunakan guru
biasanya berkenaan dengan pendekatan, model, ataupun teknik dalam proses
pembelajaran. Metode pembelajaran yang pernah buming dan banyak dipakai oleh
pengajar ialah menggunakan metode ceramah, akan tetapi metode ini sekarang
dianggap sebagai metode kuno atau konvensiolal. Banyak pendekatan yang
memunculkan berbagai metode baru untuk meningkatkan hasil belajar siswa baik
dibidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Salah satu pendekatan yang diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar
siswa yaitu pendekatan Contekstual Teaching and Learning. Pendekatan
pembelajaran ini menjadikan siswa aktif dalam pembelajaran. Siswa memiliki
pengalaman dalam melakukan percobaan yang memungkinkan siswa menemukan
informasi secara mandiri.
Keberhasilan guru dalam menerapkan pendekatan pembelajaran
Contekstual Teaching and Learning bergantung pada kemampuan guru dalam
menginformasikan pesan kepada siswa. Untuk mengetahui apakah pada penelitian
ini pendekatan Contekstual Teaching and Learning berpengaruh terhadap hasil
belajar siswa, dapat dilihat dari interprestasi hasil nilai pretest dan postest siswa.
Diduga bahwa hasil belajar IPA siswa yang diperoleh dengan menggunakan
pendekatan CTL lebih tinggi dari pada hasil belajar IPA siswa yang diperoleh
dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.
C. Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan deskripsi teoritis dan kerangka berpikir, yang telah
dikemukakan di atas, maka hipotesis yang dibuat pada penelitian ini adalah:
Ho : tidak terdapat pengaruh yang signifikan model pembelajaran
Contekstual Teaching and Learning terhadap hasil belajar IPA siswa
di SDN Cipayung II pada konsep gaya.
Ha : terdapat pengaruh yang signifikan kodel pembelajaran Contekstual
Teaching and Learning terhadap hasil belajar IPA SDN Cipayung II
pada konsep gaya.