Post on 08-Mar-2019
PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN VITAMIN B12 TERHADAP VITAMIN B12 SERUM, HEMOGLOBIN,
DAN DAYA INGAT ANAK PRASEKOLAH
ZULHAIDA LUBIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Pemberian Suplemen Vitamin B12 terhadap Vitamin B12 Serum, Hemoglobin dan Daya Ingat Anak Prasekolah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2008
Zulhaida Lubis NRP A561030051
ABSTRACT
ZULHAIDA LUBIS. Effect of Vitamin B12 Suplement on SerumVitamin B12, Hemoglobin and Memory Level of Preschool Children. Supervised by HARDINSYAH, HIDAYAT SYARIEF, FASLI JALAL and MUHILAL
This research was aimed to analyze of vitamin B12 deficiency and its risk factors, and the effect of vitamin B12 suplementation on serum vitamin B12, hemoglobin and memory level of preschool children. A randomized community controlled trial of 32 preschool children ( 4-6 year) was applied for 6 months. Subjects divided in to 2 groups, treatment group (received 10 μg of vitamin B12 syrup daily) and control group (placebo). Serum vitamin B12, hemoglobin and memory level of children was measured before and after the intervention. In the baseline, vitamin B12 deficiency and anemia among preschool children was 24,1 % and 46.7 % respectively. Low intake of vitamin B12, protein and calsium are the risk faktors of vitamin B12 deficiency. After 6 month of vitamin B12 suplementation, prevalence of vitamin B12 deficiency of treatment group decreased from 26.7 % to 0.0 %, while in the control group increase from 21.4 % to 28.6 %. The mean increasing of vitamin B12 serum was different significantly among the two group (148.4±110.9 pg/mL in the treatment group and 3.7±12.8 pg/mL in the control group, p ≤ 0.000). The mean change of hemoglobin was different significantly among the two group (1.0±1.3 g/dl in the treatment group and -2±1.2 g/dl in the control group, p ≤ 0.017). Among the anemia children, the mean change of hemoglobin also was different significantly between intervention and control group (2.0±1.2 g/dl in the treatment group and 0.5±0.7 g/dl in the control group, p ≤ 0.028). Memory level was effected by vitamin B12 suplementation for the overall children with Relative Risk (RR) was 19.5. Among the anemia children, memory level was effected by vitamin B12 suplementation with Relative Risk (RR) was 10.0. These result imply the important of vitamin B12 suplementation on improving vitamin B12, hemoglobin and memory level of preshool children.
Keywords: serum vitamin B12, hemoglobin, memory level, vitamin B12 suplement, preschool children
RINGKASAN
ZULHAIDA LUBIS. Pengaruh Pemberian Suplemen Vitamin B12 terhadap Vitamin B12 Serum, Hemoglobin dan Daya Ingat Anak Prasekolah. Dibimbing oleh HARDINSYAH, HIDAYAT SYARIEF, FASLI JALAL dan MUHILAL
Masalah gizi mikro maupun gizi makro pada anak prasekolah masih banyak ditemukan di Indonesia. Kekurangan gizi pada usia ini akan mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Beberapa penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara kekurangan vitamin B12 dengan penurunan fungsi kognitif. Keterkaitan antara vitamin B12 dengan kemampuan kognitif diduga melalui perannya dalam pembentukan hemoglobin dan pemeliharaan myelin syaraf. Telah dilaporkan bahwa rendahnya status gizi mikro khususnya di Indonesia sangat erat kaitannya dengan rendahnya konsumsi pangan hewani yang umumnyanya ditemukan pada keluarga ekonomi lemah. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang masalah defisiensi vitamin B12 dan bersifat eksperimental dalam upaya penanggulangan masalah gizi dan perbaikan perkembangan anak.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah defisiensi vitamin B12 serta faktor-faktor risikonya, menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap kadar vitamin B12, hemoglobin dan daya ingat anak prasekolah. Disain penelitian adalah “randomized community controlled trial” terhadap 32 anak usia prasekolah. Penelitian dilakukan di TK Al-Zahra Desa Ciherang Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor selama 12 bulan dari bulan Juli 2006 sampai Juni 2007, mulai dari pengurusan ijin, ethical clerance, persiapan suplemen dan intervensi selama 6 bulan (24 minggu). Contoh dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok secara random yaitu kelompok intervensi (menerima vitamin B12 dengan dosis10 μg vitamin B12 dalam 2.5 ml) dan kelompok kontrol (plasebo) diberikan setiap hari. Kadar vitamin B12 serum diukur dengan metode AxSYM (Abbott Laboratories 2005) dan kadar hemoglobin diukur dengan metode ‘cyanmethemoglobyn’. Daya ingat anak diukur dengan metode mengingat gambar dengan menyebutkan gambar apa saja yang dilihat pada gambar yang ditunjukkan selama 30 detik, kemudian diberi skor untuk setiap obyek dalam gambar. Pengumpulan data dilakukan dua kali pada awal dan akhir intervensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awal penelitian, defisiensi vitamin B12 dan anemia berturut-turut sebesar 24,1 % dan 46.7 %. Hasil analisis diskriminan menunjukkan bahwa faktor risiko terjadinya defisiensi vitamin B12 terdiri dari konsumsi kalsium, vitamin B12 dan protein. Setelah mendapat suplemen vitamin B12 selama 6 bulan, defisiensi vitamin B12 pada kelompok intervensi mengalami penurunan dari 26.7 % menjadi 0.0 %, sedangkan pada kelompok kontrol meningkat dari 21.4 % menjadi 28.6 %. Pemberian suplemen vitamin B12 selama 6 bulan meningkatkan rata-rata serum vitamin B12 sebesar 148.4±110.9 pg/mL pada kelompok intervensi dan hanya 3.7±12.8 pg/mL pada kelompok kontrol, hasil uji beda menunjukkan bahwa peningkatan vitamin B12 serum berbeda signifikan pada kedua kelompok (p=0.000). Rata-rata kadar
hemoglobin juga meningkat 1.0±1.3 g/dl pada kelompok intevensi dan menurun pada kelompok kontrol 0.2±1.2 g/dl, perubahan kadar hemoglobin tersebut berbeda signifikan pada kedua kelompok (p= 0.017). Bila dianalisis khusus pada kelompok yang anemia, terjadi peningkatan kadar hemoglobin pada kedua kelompok masing-masing 2.0±1.2 g/dl pada kelompok intervensi dan 0.5±0.7 g/dl pada kelompok kontrol. Hal yang sama juga ditemukan pada kelompok yang anemia, perubahan kadar hemoglobin kedua kelompok pada contoh yang anemia berbeda signifikan (p=0.028). Demikian juga rata-rata skor daya ingat mengalami peningkatan pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol masing-masing 13.7±4.5 poin dan 9.1±2.4 poin, dan terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan skor daya ingat pada kedua kelompok (p=0.002). Hasil analisis regresi logistik pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat, menunjukkan bahwa suplementasi vitamin B12 berpengaruh positif dan signifikan terhadap daya ingat anak. Nilai relative Risk (RR) 19.5 pada suplemen vitamin B12 menunjukkan bahwa peluang anak yang menerima suplemen vitamin B12 19.5 kali kelompok kontrol untuk mempunyai daya ingat diatas rata-rata. Demikian juga untuk contoh yang anemia, pemberian vitamin B12 berpengaruh positif dan signifikan terhadap daya ingat dengan nilai RR 10.0, artinya contoh yang anemia dan memperoleh suplemen vitamin B12 mempunyai peluang 10 kali lebih besar dibandingkan contoh yang anemia dan menerima plasebo untuk mempunyai daya ingat diatas rata-rata.
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini dan mempertimbangkan harga pangan hewani sebagai sumber vitamin B12 dan zat besi semakin meningkat pesat, diharapkan perbaikan status vitamin B12 perlu dimasukkan dalam program perbaikan gizi bersama dengan perbaikan status antropometri dan hemoglobin terkait dengan upaya peningkatan kualitas pertumbuhan dan perkembangan anak, melalui pendekatan sekolah dan/atau komunitas dengan prioritas di daerah tertinggal. Selain itu juga diperlukan studi efikasi lanjutan untuk menganalisis pemberian berbagai jenis intervensi vitamin B12 melalui pangan atau suplemen terhadap perbaikan status gizi dan perkembangan kognitif anak.
Kata-kata kunci : vitamin B12 serum, hemoglobin, daya ingat, suplemen vitamin B12, anak prasekolah
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN VITAMIN B12 TERHADAP VITAMIN B12 SERUM, HEMOGLOBIN
DAN DAYA INGAT ANAK PRASEKOLAH
ZULHAIDA LUBIS
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
2. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MSi
Penguji pada Ujian Terbuka :
1. Dr. Gutama (Direktur PAUD Dirjen PFNI Depdiknas RI)
2. Prof. Dr. Ir. Amini Nasution, MS
Judul Disertasi : Pengaruh Pemberian Suplemen Vitamin B12 terhadap Vitamin B12 Serum, Hemoglobin dan Daya Ingat Anak Prasekolah Nama : Zulhaida Lubis NRP : A 561030051 Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Hardinsyah, MS Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS Ketua Anggota
dr. Fasli Jalal, PhD Prof. Dr.Muhilal, APU Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Dr. Ir. Hadi Riyadi, MSi Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 22 Mei 2008 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Judul disertasi ini adalah ’Pengaruh Pemberian Suplemen Vitamin B12 terhadap Vitamin B12 Serum, Hemoglobin dan Daya Ingat Anak Prasekolah’, penelitiannya dilaksanakan dari bulan Juli 2006 sampai Juni 2007 di Taman Kanak-kanak Az-Zahra Desa Ciherang Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor.
Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hardinsyah MS, Prof. Dr. Ir Hidayat Syarief MSc, dr. Fasli Jalal, PhD, dan Prof. Dr. Muhilal APU yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan ilmu dan saran kepada penulis. Kepada Prof. Dr. Drh. Clara M. Kusharto MSc penulis ucapkan terima kasih atas kesediannya memberi ulasan dan masukan pada kolokium untuk melengkapi disertasi ini. Terima kasih kepada Dr.Ir.Budi setiawan, MS dan Dr.Ir.Hadi Riyadi, MS yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian tertutup. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf pengajar program studi GMK Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh studi, serta seluruh staf administrasi GMK dan Pascasarjana atas pelayanan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, dan Ketua Departemen Gizi Masyarakat FKM USU, atas ijin dan bantuannya selama penulis menempuh pendidikan. Kepada Ibu Anita dan Bapak Sigit dari PT. Kalbe Farma Indonesia penulis ucapkan terima kasih atas bantuannya mulai dari formulasi sampai pengemasan suplemen sirup vitamin B12 yang digunakan dalam penelitian ini. Tidak lupa terimakasih disampaikan kepada Dr. Gutama selaku Direktur PAUD Depdiknas RI yang telah memberikan bantuan sebagian biaya pelaksanaan penelitian untuk disertasi ini. Disamping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada ibu Kulsum sebagai pemilik dan Kepala TK Al-Zahra dan seluruh murid beserta orangtua murid, dr. Maryanto selaku Kepala Puskesmas Ciherang, Dra. Ratna Marpaung dari Laboratorium RS PMI Bogor, atas partisipasinya selama pelaksanaan penelitian.
Ungkapan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan: Dr. Evawany Aritonang Msi, Dr. Ai Nurhayati Msi, Dr. Diffah Hanim MSi, Dr. Esi Emilia MSi, Dr. Sri Purwaningsih MSi, Dr. Suryono MSi, Dr. Yuliana MSi, Dr. Prihananto Msi, Dr. Dwi Hastuti MSc, Ir. Istiqlaliyah MS, dan seluruh teman-teman program S3 GMK atas kebersamaannya selama kuliah di Pascasarjana IPB. Kepada kakak Dra. Jumirah Apt, MKes dan teman sejawat Dr. Drs. Surya Utama MS di FKM USU penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dan semangat yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Sutan Bugis Lubis (Alm) dan Ibunda Siti Hawana Nasution (almh) yang selalu menjadi aspirasi dan pemberi semangat kepada penulis. Kepada Ayahanda mertua Anwar Dachlan (Alm) dan Ibunda mertua Zumaroh Wardah penulis ucapkan terimakasih atas doanya. Terimakasih juga kepada semua abang dan adik-adikku di Medan, Padangsidempuan, Tapak Tuan, Panyabungan dan Kotanopan yang telah memberi semangat selama menyelesaikan studi ini. Terima kasih juga kepada kakak dan adik ipar serta seluruh keluarga besar Sutan Bugis Lubis dan keluarga besar
Anwar Dachlan. Kepada suami tercinta Nasrulloh dan anak-anak tersayang Humaira Anggie Nauli, Muhammad Dimas Ardiaz, dan Anne Aisya Gebriella terimakasih atas semua pengorbanan, pengertian, kesabaran, doa dan kasih sayangnya. Kepada semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah ber partisipasi dalam penyelesaian studi ini penulis ucapkan terimakasih, semoga Alloh memberi balasan atas semua kebaikannya. Semoga disertasi ini bermanfaat dan dapat memberi sumbangan yang berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Mei 2008
Zulhaida Lubis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal Sumatera
Utara tanggal 29 Mei 1962, anak keempat dari sepuluh bersaudara dari Bapak Sutan Bugis Lubis dan Ibu Siti Hawana Nasution. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Bogor, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1990 penulis menempuh studi Magister di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat peminatan Gizi Masyarakat di Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, dengan beasiswa pendidikan dari Proyek Pengembangan FKM Indonesia dan lulus pada tahun 1993. Tahun 2003 diterima sebagai mahasiswa program doktor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa pendidikan dari BPPS DIKTI.
Penulis bekerja sebagai dosen di Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan dari tahun 1989 sampai sekarang. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul ’Pengaruh Pemberian Suplemen Vitamin B12 terhadap Serum Vitamin B12 dan Hemoglobin Anak Prasekolah’ pada jurnal Info Kesehatan Masyarakat FKM USU pada bulan Desember 2007, yang merupakan bagian dari disertasi penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xv PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................... 1 Tujuan ..................................................................................................... 4 Manfaat ................................................................................................... 4 Hipotesis.................................................................................................. 5
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 6 Biokimia dan Fungsi Vitamin B12.......................................................... 6 Absorbsi Vitamin B12............................................................................. 11 Transport dan Metabolisme Vitamin B12............................................... 13 Defisiensi Vitamin B12........................................................................... 16 Kebutuhan dan Sumber Pangan Vitamin B12......................................... 24 Penilaian Status Vitamin B12 ................................................................ 25 Hemoglobin dan Vitamin B12 ................................................................ 31 Daya Ingat .............................................................................................. 33 Pengukuran Daya Ingat ........................................................................... 36 Hubungan Gizi dengan Daya Ingat ......................................................... 37
KERANGKA BERPIKIR ................................................................................... 48 METODE
Disain, Lokasi dan Waktu ...................................................................... 52 Contoh, dan Tehnik Penarikan Contoh .................................................. 54 Pelaksanaan Intervensi ........................................................................... 55 Jenis dan Cara Pengumpulan Data .......................................................... 57 Validitas dan Kontrol Kualitas Data ....................................................... 60 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ 61
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Contoh ............................................................................... 65 Jumlah Anggota Keluarga............................................................. 65 Urutan Anak Dalam Keluarga....................................................... 65 Umur Anak dan Orangtua ............................................................. 66 Pendidikan Ayah dan Ibu .............................................................. 67 Pekerjaan Ayah dan Ibu ................................................................ 68 Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga ......................................... 68 Keadaan Kesehatan Contoh .......................................................... 69 Lingkungan Tempat Tinggal ......................................................... 70
Konsumsi Pangan dan Gizi ..................................................................... 71 Jenis dan Frekuensi Konsumsi Pangan ......................................... 71 Kebiasaan Konsumsi Pangan ........................................................ 72 Konsumsi dan Kecukupan Gizi..................................................... 75 Status Gizi .............................................................................................. 79 Vitamin B12 Serum dan Status Vitamin B12 ........................................ 85 Kadar Vitamin B12 Serum............................................................ 85 Status Vitamin B12 ....................................................................... 86 Faktor Risiko Defisisensi Vitamin B12 .................................................. 87 Pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap kadar vitamin B12 serum .... 91 Hemoglobin dan Anemia ........................................................................ 91 Pengaruh Suplemen Vitamin B12 terhadap Daya Ingat ......................... 95 Pembahasan ............................................................................................ 97
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan.................................................................................................. 104 Saran.. ..................................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 106 LAMPIRAN.. ..................................................................................................... 114
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Penyerapan vitamin B12 dari pemberian berbagai dosis secara oral pada Kondisi penyerapan normal dan tidak normal ............................................. 13 2 Tahapan perkembangan status vitamin B12 dari normal sampai defisiensi ..................................................................................................... 17 3 Kecukupan vitamin B12 berdasarkan kelompok umur................................. 25 4 Kekuatan dan kelemahan beberapa indikator penilaian status vitamin B12. 31 5 Beberapa hasil studi tentang defisiensi vitamin B12 dengan berbagai disain penelitian ............................................................................................ 42 6 Tahapan dan waktu kegiatan penelitian ........................................................ 53 7 Aspek, peubah dan pengukuran .................................................................... 59 8 Penentuan skor ingatan berdasarkan jenis gambar........................................ 63 9 Distribusi jumlah anggota keluarga contoh berdasarkan kelompok perlakuan ..................................................................................................... 65 10 Distribusi urutan anak dalam keluarga berdasarkan kelompok perlakuan.... 66 11 Distribusi rata-rata umur ayah dan ibu berdasarkan kelompok perlakuan ... 66 12 Distribusi pendidikan ayah dan ibu berdasarkan kelompok perlakuan......... 67 13 Distribusi pekerjaan ayah dan ibu contoh berdasarkan kelompok perlakuan . ..................................................................................................... 67 14 Distribusi rata-rata pendapatan dan pengeluaran berdasarkan kelompok perlakuan ..................................................................................................... 69 15 Distribusi kondisi lingkungan tempat tinggal keluarga contoh berdasarkan kelompok perlakuan...................................................................................... 71 16 Distribusi frekuensi konsumsi pangan berdasarkan kelompok perlakuan .... 72 17 Rata-rata jumlah konsumsi pangan per hari berdasarkan data semi FFQ..... 74 18 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi per hari berdasarkan data recall ...... 75 19 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi per hari berdasarkan data semi FFQ 76
20 Rata-rata kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan data recall ................. 77 21 Rata-rata kecukupan energi dan zat gizi berdasarkan data semi FFQ .......... 78 22 Sebaran status gizi contoh berdasarkan kelompok perlakuan....................... 80 23 Rata-rata Z-skor untuk indeks BB/U dan TB/U ........................................... 82 24 Rata-rata kadar vitamin B12 serum .............................................................. 85 25 Analisis diskriminan faktor risiko defisiensi vitamin B12............................ 88 26 Distribusi konsumsi gizi dan karakteristik keluarga berdasarkan status vitamin b12 ......................................................................................... 89 27 Distribusi rata-rata konsumsi gizi berdasarkan status vitamin B12.............. 90 28 Analisis regresi pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap kadar serum vitamin B12................................................................................................... 91 29 Rata-rata kadar Hb contoh berdasarkan kelompok perlakuan ...................... 92 30 Sebaran contoh berdasarkan status anemia ................................................... 93 31 Rata-rata kadar Hb pada contoh yang anemia............................................... 94 32 Rata-rata skor daya ingat pada awal dan akhir penelitian............................. 95 33 Analisis regresi logistik pengaruh suplemen vitamin b12 terhadap perubahan daya ingat .................................................................................... 96 34 Analisis regresi logistik pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat contoh yang anemia ............................................................................. 97
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Struktur vitamin B12 (cobalamin) .............................................................. 6 2 Peran vitamin B12 dalam metabolisme L-methylmalonyl-CoA menjadi Succinyl-CoA ............................................................................................... 8 3 Peran vitamin B12 dalam metabolisme homocysteine menjadi methionine 9 4 Absorbsi vitamin B12 dalam saluran pencernaan........................................ 11 5 Metabolisme vitsmin B12 pada manusia ..................................................... 15 6 Sistem pemrosesan informasi....................................................................... 34 7 Kerangka pemikiran studi pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap
status vitamin B12, hemoglobin dan daya ingat anak .................................. 49
8 Langkah-langkah penentuan contoh ............................................................ 55 9 Persentase anak gizi kurang (underweight).................................................. 80 10 Persentase anak pendek (stunted) ............................................................... 81 11 Rata-rata Z-skor BB/U selama intervensi .................................................... 82 12 Rata-rata Z-skor TB/U selama intervensi .................................................... 83 13 Rata-rata pertambahan berat badan selama intervensi ................................. 84 14 Rata-rata pertambahan tinggi badan selama intervensi................................ 84 15 Persentase contoh yang mengalami defisiensi vitamin B12 ........................ 87 16 Persentase contoh yang mengalami anemia................................................. 94
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Persetujuan Etik (Ethical Clerance) ............................................................... 114
2 Naskah Informed Concent............................................................................... 115
3 Pengambilan Darah/Biokimia ......................................................................... 118
4 Pengukuran daya ingat anak .......................................................................... 122
5 Kuesioner Penelitian ....................................................................................... 126
6 Kuesioner Pemeriksaan Kesehatan Anak ....................................................... 130
7 Uji beda rata-rata perubahan konsumsi gizi berdasarkan data recall .............. 133
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usia prasekolah adalah bagian dari periode usia dini yang mengalami
proses pertumbuhan dan perkembangan pesat dalam siklus kehidupan dan turut
menentukan kualitas manusia. Pembangunan sumberdaya manusia perlu
diarahkan untuk membangun manusia berkualitas baik dari aspek fisik maupun
aspek rohani secara seimbang. Aspek fisik dapat digambarkan melalui kondisi
kesehatan, kekuatan dan ketahanan jasmani sehingga memungkinkan seseorang
bisa hidup sehat, aktif, dan produktif (Syarief H 1997). Oleh karena itu perhatian
terhadap aspek kesehatan, gizi dan pendidikan pada anak merupakan hal yang
perlu diperhatikan dalam upaya menciptakan manusia yang berkualitas.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pendidikan adalah
keadaan kesehatan dan gizi anak. Keadaan gizi pada usia dini yang terus
dipertahankan secara optimal sampai anak usia sekolah, akan berpengaruh besar
pada perkembangan otak. Menurut Jalal F (2003) gizi yang tidak seimbang serta
derajat kesehatan anak yang rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan
pada gilirannya akan menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap,
menyimpan, memproduksi dan merekonstruksi informasi. Disisi lain dikatakan
bahwa pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara orangtua
mengasuh dan memberi makan serta menstimulasi anak pada usia dini. Namun
demikian stimulasi psikososial untuk merangsang pertumbuhan dan
perkembangan anak tidak akan bermanfaat bagi masa depan anak jika derajat
kesehatan dan gizi anak pada kondisi yang tidak baik. Gutama (2004)
mengemukakan bahwa pada usia prasekolah anak masih mengalami kemajuan
yang luar biasa sebagaimana usia sebelumnya, baik dalam hal fisik, emosional
maupun sosial sehingga anak sangat berpotensi untuk belajar apa saja.
Selanjutnya dikatakan bahwa hasil penelitian di bidang neurologi, psikologi,
fisiologi dan gizi menunjukkan separuh perkembangan kognitif berlangsung
dalam kurun waktu antara konsepsi sampai usia 4 tahun, dan 30 % berlangsung
pada usia 4-8 tahun. Sehingga pada periode ini anak sangat memerlukan gizi
yang memadai agar kapasitas otak yang terbentuk dapat maksimum.
Sampai saat ini masih banyak ditemukan masalah gizi pada anak-anak
baik masalah gizi mikro maupun masalah gizi makro. Prevalensi anemia pada
anak balita 47.0 %, kekurangan vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum
retinol < 20 mcg/dL 50 % anak balita (Depkes 2005). Kasus defisiensi vitamin
B12 khususnya pada anak-anak di Indonesia belum ada dilaporkan, namun dari
beberapa penelitian di negara lain prevalensi defisiensi vitamin B12 cukup tinggi
pada anak-anak. Penelitian di Kenya menunjukkan bahwa 80,7 % anak usia
sekolah (5 sampai 14 tahun) mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat dan
sedang (Siekmann JH et al. 2003) dan di Guatemala terdapat 33 % anak usia 8-12
tahun yang mengalami defisiensi vitamin B12 (Rogers LM et al 2003). Sementara
pada kelompok dewasa dan usia lanjut sudah ada dilaporkan walaupun juga masih
terbatas. Penelitian Shibly UF (1999) dari Bagian Kardiologi Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita Jakarta) menunjukkan bahwa terdapat 30 % defisiensi
vitamin B12 pada penderita PJK (Penyakit Jantung Koroner) dan 30 % pada non
penderita PJK. Martoatmodjo S dkk (1973) menemukan 28 % ibu hamil
mengalami kekurangan vitamin B12 di daerah dengan pola makan beras (Jawa
Barat) dan 7 % pada ibu hamil di daerah dengan pola makan gaplek dan beras
(Jawa Tengah). Disamping masalah gizi mikro, masalah gizi makro juga masih
tetap menjadi permasalahan gizi anak balita di Indonesia. Prevalensi gizi kurang
(underweight) terus mengalami kenaikan dari 24 % tahun 2000 menjadi 26,1 %,
27,3 % dan 27,5 % pada tahun 2001, 2002 dan 2003 (Depkes 2004) dan 28 %
tahun 2005 (Atmarita 2006).
Defisiensi vitamin B12 berhubungan dengan fungsi kognitif yang diduga
melalui fungsinya sebagai kofaktor dalam metabolisme zat-zat gizi yang berperan
dalam sistem syaraf pusat dan pembentukan sel-sel darah merah. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa status vitamin B12 yang rendah berhubungan
dengan penurunan fungsi kognitif (Bryan J et al 2002; Black 2003; Morris MS et
al 2007). Selain itu beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada keadaan
defisiensi vitamin B12 pemberian intervensi dengan vitamin B12 dapat
memperbaiki status vitamin B12 (Eussen SJ et al 2006; Hin H et al 2006;
Dhonukshe-Rutten RAM et al 2005; Siekmann JH et al 2003), sementara
pengaruhnya terhadap perbaikan fungsi kognitif masih belum konsisten. Vitamin
B12 juga berkaitan erat dengan proses perpindahan neurotransmitter melalui
perannya dalam metabolisme asam lemak esensial untuk pemeliharaan myelin
syaraf. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan
sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan akhirnya dapat menyebabkan
kematian sel-sel syaraf (http://www.parhealth.com/druginfo).
Vitamin B12 umumnya ditemukan dalam pangan hewani seperti daging,
susu, dan telur, sehingga diperkirakan anak yang jarang makan makanan tersebut
akan mengalami defisiensi vitamin B12. Sumber pangan hewani umumnya relatif
lebih mahal dibandingkan dengan pangan nabati, sehingga diperkirakan konsumsi
pangan hewani sedikit pada keluarga dengan ekonomi rendah. Tempe sebagai
bahan pangan hasil fermentasi dari kedele juga merupakan sumber vitamin B12
yang potensial dan mengandung sekitar 1.5 mikrogram per 100 gram tempe
kering (http://www.tempeh.info/), atau sekitar 0.36 mikrogram per 100 gram
tempe mentah. Namun konsumsi tempe masih cukup rendah yaitu rata-rata per
orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 6,45 kg atau sekitar 17
gram per orang per hari, selain itu bioavailabilitasnya juga masih belum diketahui
secara pasti.
Menurut Hardinsyah (2001) sebagian besar anak di Indonesia masih
mempunyai masalah ketidakcukupan gizi terutama zat-zat gizi mikro. Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan bahwa
hanya setengah dari jumlah anak Indonesia yang memperoleh pangan hewani,
bahkan semakin tua umur anak semakin sedikit persentase yang memperoleh
pangan hewani. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak sejak usia dini sudah
mempunyai resiko kekurangan gizi mikro yang akhirnya berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan anak. Bila anak mendapat ASI (Air Susu Ibu)
sampai usia 2 tahun kemungkinan zat-zat gizi mikro akan tercukupi bahkan dapat
disimpan sebagai cadangan bila ibu dalam kondisi gizi baik. Pada usia pada 4
tahun diperkirakan cadangan gizi mulai berkurang sementara asupan dari
makanan tidak mencukupi, oleh karena itu anak-anak usia ini berisiko mengalami
kekurangan gizi.
Sampai saat ini penelitian tentang vitamin B12 di Indonesia masih sangat
terbatas, dan mengingat vitamin B12 cukup besar perannya dalam perkembangan
kognitif, diperlukan kajian-kajian yang lebih mendalam dan bersifat
eksperimental tentang defisiensi vitamin B12 dan faktor resikonya serta
pengaruhnya terhadap fungsi kognitif.
Tujuan Tujuan Umum :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah defisiensi vitamin
B12 dan faktor resikonya, dan pengaruh suplementasi vitamin B12 terhadap
vitamin B12 serum, hemoglobin serta dampaknya terhadap daya ingat anak
prasekolah
Tujuan Khusus :
1. Menganalisis masalah defisiensi vitamin B12 serta faktor risiko terjadinya
defisiensi vitamin B12 pada anak prasekolah
2. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap serum
vitamin B12 pada anak prasekolah
3. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap kadar
hemoglobin pada anak prasekolah
4. Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat
anak prasekolah
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan masalah defisiensi
vitamin B12 khususnya pada anak-anak di Indonesia, dan menghasilkan suatu
bentuk pendekatan yang praktis bagi program perbaikan gizi untuk melengkapi
program pemerintah melalui Departemen terkait, pemerintah daerah serta
keterlibatan sektor swasta dalam upaya memperbaiki status gizi mikro dan
mengoptimalkan tumbuh kembang anak usia prasekolah.
Hipotesis
Hipotesis 1 :
Peningkatan serum vitamin B12 pada kelompok intervensi lebih besar
dibanding pada kelompok kontrol.
Hipotesis 2 :
Peningkatan kadar hemoglobin pada kelompok intervensi lebih besar
dibanding pada kelompok kontrol
Hipotesis 3 :
Peningkatan skor daya ingat anak pada kelompok intervensi lebih besar
dibanding pada kelompok kontrol
Hipotesis 4 :
Pemberian suplemen vitamin B12 berpengaruh positif dan signifikan pada
daya ingat anak prasekolah
TINJAUAN PUSTAKA
Biokimia dan Fungsi Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan bagian
terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari 1000. Vitamin
B12 mempunyai struktur kimia yang besar dan sangat komplek dibandingkan
vitamin lainnya. Vitamin B12 ini termasuk unik diantara vitamin lain karena
mengandung ion logam yaitu cobalt. Untuk alasan ini cobalamin adalah istilah
yang digunakan untuk merujuk senyawa yang mempunyai aktivitas vitamin B12.
Nama yang lebih spesifik untuk vitamin B12 adalah cobalamin. Vitamin B12
terdiri dari cincin corrin (corrin ring) yang terbuat dari 4 “pyrroles” dengan atom
cobalt pada pusat cincin (Gambar 1). Vitamin B12 merupakan kristal berwarna
merah, tahan panas, rusak diatas temperatur 2100 C, dan tidak tahan sinar ultra
violet (FAO/WHO2001; Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/)
Gambar 1 Struktur Vitamin B12 (cobalamin)
(Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/) Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl),
keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu. Selain
cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu
hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-masing
terikat pada cobal. Bentuk sintetis (buatan) vitamin B12 yang terdapat dalam
suplemen dan pangan fortifikasi adalah cyanocobalamin, dimana sianida terikat
pada logam kobal. Ketiga bentuk vitamin B12 ini diaktifkan secara enzimatik
menjadi methylcobalamin (MetCbl) dan adenosylcobalamin (AdeCbl)
(FAO/WHO 2001; Higdon J 2003). Pada kondisi kekurangan gizi, enzim dalam
tubuh akan terganggu bahkan ada yang rusak, yang menyebabkan penurunan
kemampuan tubuh untuk mensintesis bentuk aktif vitamin B12 dari
cyanocobalamin. Sebagian besar vitamin B12 disimpan dalam hati sebagai
5-deoxydenosylcobalamin (65-70 %), hydroxycobalamin (20-30 %), dan
methylcobalamin (1-5%). Bentuk dominan dalam plasma adalah methylcobalamin
dengan kadar normal 135 - 425 pmol/L (Sauberlich HE 1999).
Vitamin B12 berperan sebagai koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi
biologis penting. Koenzim tersebut ada dua yaitu methylcobalamin yang terdapat
dalam plasma, dan 5-deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati,
sebagian besar jaringan tubuh, dan makanan (Gibson 2005). Di dalam tubuh
vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua reaksi enzim. Pertama, vitamin
B12 berperan sebagai kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim
L-methilmalonyl-CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah
L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Gambar 2). Reaksi biokimia yang
menghasilkan succinyl-CoA ini berperan penting dalam produksi energi dari
lemak dan protein. Succinyl CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang
merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen keseluruh
jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak
dapat dirubah menjadi succinyl-CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah
menjadi methylmalonic acid oleh suatu enzim hydrolase. Keberadaan
methylmalonic acid dalam darah atau yang dikeluarkan melalui urin dapat
merupakan indikator terjadinya kekurangan vitamin B12 (Gibson 2005; Carmel R
2006; Herbert V 1996).
Gambar 2 Peran vitamin B12 dalam metabolisme L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Stabler SP et al 1997)
Peran yang kedua dari vitamin B12 sebagai kofaktor untuk enzim
methyonine synthase. Enzim ini membutuhkan methylcobalamin dan tergantung
pada folat untuk mensintesis asam amino methyonine dari homocysteine.
Methyonin dibutuhkan untuk sintesis S-adenosylmethionine suatu kelompok donor
methyl yang berguna dalam reaksi biologi methylation, termasuk methylation
DNA dan RNA (Gambar 3). Bila reaksi ini rusak akan mempengaruhi
pembentukan DNA yang akhirnya dapat menyebabkan anemia macrocytic
megaloblastic (Sauberlich HE 1999; Herbert V 1996; Carmel R 2006). Selain itu
methylation DNA diperlukan untuk mencegah kanker. Oleh karena itu bila
fungsi methionine synthase terganggu dapat menyebabkan penumpukan
homocysteine yang dihubungkan dengan peningkatan risiko cardiovasculer.
Vitamin B12 dibutuhkan untuk penyerapan folat, penyimpanan dan
aktivasi untuk bentuk koenzim. Jadi vitamin B12 bekerja secara bersama dengan
folat untuk mendukung replikasi seluler. Kekurangan salah satu vitamin ini dapat
mempengaruhi fungsi keduanya. Peran yang unik juga ditemukan dari vitamin
B12 yaitu dalam pembentukan myelin, suatu lapisan yang melindungi serat-serat
syaraf. Kerusakan neurologi berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 yang
dapat terjadi tanpa dipengaruhi oleh kecukupan intake asam folat
(http//www.northwestern.edu).
Gambar 3 Peran vitamin B12 dalam metabolisme homocysteine menjadi methionine (Stabler SP et al 1997)
Fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-sel darah merah
dan pemeliharaan kesehatan sistem syaraf. Vitamin B12 penting untuk sistesis
DNA dengan cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel
berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang bertanggungjawab
untuk pembentukan sel darah merah (Sauberlich HE 1999). Vitamin B12
berperan dalam berbagai reaksi seluler, dan mempunyai fungsi penting dalam
metabolisme asam folat. Vitamin B12 diperlukan untuk merubah koenzim folat
menjadi bentuk aktif yang dibutuhkan dalam reaksi-reaksi metabolisme penting
seperti sintesis DNA. Tanpa vitamin B12 reaksi-reaksi yang membutuhkan
bentuk aktif folat tidak akan terjadi dalam sel. Jadi, defisiensi vitamin B12 juga
berperan dalam terjadinya defisiensi folat. Jika terjadi defisiensi vitamin B12,
pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak normal, disebut
dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi anemia. Gejalanya meliputi
keletihan, sesak nafas, kelesuan, pucat serta penurunan kekebalan tubuh terhadap
infeksi. Gejala lain berupa penurunan rasa (untuk makanan), luka pada lidah, dan
gangguan menstruasi (Wardlaw et al 1992).
Fungsi vitamin B12 dalam pemeliharaan sistem syaraf dapat dijelaskan
melalui perannya yang cukup penting dalam metabolisme asam lemak esensial
untuk pemeliharaan myelin. Syaraf dikelilingi lapisan lemak dibungkus oleh
kompleks protein yang disebut myelin. Komposisi myelin terdiri dari sekitar 80 %
lipid dan 20 % protein. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat
menyebabkan kerusakan sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan
kemungkinan dapat menyebabkan kematian sel-sel syaraf (Dhopeshwarkar 1983;
http://www.parhealth.com/druginfo). Penelitian Pfeifer dan Lewis tahun 1979
yang mempelajari pengaruh pemberian diet rendah vitamin B12 pada tikus selama
20 minggu, mengungkapkan bahwa ketiadaan vitamin B12 dapat mengganggu
perubahan linoleat menjadi PUFA rantai panjang (20:4ω6 dan 22:5ω6).
Penelitian lain menunjukkan bahwa kelainan genetik menyebabkan kerusakan
transformasi vitamin B12 menjadi bentuk koenzim yang dilaporkan dari kematian
seorang bayi berumur 2 tahun, dan terjadi retardasi mental yang berat pada anak
perempuan yang meninggal pada usia 7 tahun (Dhopeshwarkar 1983).
Konsentrasi methionin yang rendah dapat terjadi bila vitamin B12 tidak ada.
Perubahan konsentrasi ini akan menyebabkan berkurangnya aliran asam amino
untuk pembentukan protein di otak. Hipotesis ini didukung oleh Gandy et al pada
tahun 1973 melalui penelitiannya dengan memberikan “1-aminocyclopentane
carboxyc acid” (yang dapat mengganggu reaksi homocystein menjadi methionin)
pada tikus. Penelitian tersebut menunjukkan ketidaknormalan fungsi syaraf yang
ditandai dengan kehilangan rasa, lumpuh, dan “demyelination spinal cord”
(Dhopeshwarkar 1983). Dari beberapa kasus tersebut Dhopeshwarkar
menyimpulkan bahwa defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan kerusakan
sistem syaraf pusat. Kerusakan tersebut meliputi pembentukan myelin yang tidak
sempurna mulai dari sistem syaraf peripheral dan akhirnya pada sistem syaraf
pusat.
Absorbsi Vitamin B12
Penyerapan vitamin B12 dalam tubuh manusia termasuk unik diantara
vitamin-vitamin lainnya. Penyerapan vitamin B12 berlangsung secara spesifik di
ileum dan tergantung pada intrinsic factor (IF) suatu jenis protein yang diproduksi
oleh sel-sel asam lambung dan berperan sebagai reseptor vitamin B12 (Wardlaw
et al 1992; Herbert V V 1996; WHO 2001; Robert C & Brown DL 2003; Carmel
R 2006). Setelah makanan masuk melalui mulut sampai ke lambung, vitamin B12
dalam pangan dipisahkan dari bahan-bahan lain oleh pepsin lambung yang
aktifitasnya optimal pada pH asam lambung yang normal. Kemudian vitamin B12
berikatan dengan suatu protein yang disebut R-protein yang diproduksi oleh
kelenjar saliva dalam mulut (Gambar 4).
Gambar 4 Absorbsi vitamin B12 dalam saluran pencernaan (Carmel R 2006)
Ikatan R-protein-vitamin B12 masuk ke dalam usus halus dan di usus halus R-
protein dipisahkan dengan vitamin B12 oleh enzim tripsin yang dikeluarkan oleh
pankreas. Dalam usus halus vitamin B12 bebas kembali, kemudian berikatan
dengan intrinsic factor. Hasil ikatan intrinsic factor dengan vitamin B12 masuk
ke bagian akhir usus halus yang disebut ileum. Sel-sel ileum menyerap vitamin
B12 dan mentransfernya kedalam darah yang selanjutnya berikatan dengan
transport protein yang dikenal sebagai transkobalamin.
Proses penyerapan vitamin B12 secara normal melalui ikatan vitamin B12
dengan intrinsic factor diperkirakan 30-70 % dapat diserap tergantung pada
kebutuhan tubuh. Kegagalan penyerapan melalui sistem ini vitamin B12 masih
dapat diserap secara pasif melalui proses difusi namun hanya sekitar 1-2 % dari
vitamin B12 yang ada dalam makanan. Penyerapan vitamin B12 dapat terganggu
misalnya karena pembentukan intrinsic factor yang tidak efisien, defisiensi
sintesis R-protein secara genetik, atau adanya infestasi cacing (Robert C & Brown
DL 2003).
Bila terjadi defisiensi vitamin B12 biasanya diperlukan suplemen melalui
oral atau injeksi vitamin B12 yang langsung dapat diserap. Tabel 1
menggambarkan jumlah atau persentase vitamin B12 yang diserap secara aktif
(melalui sistem intrinsic factor) dan secara pasif (tanpa intrinsic factor) dari
pemberian berbagai dosis. Availabilitas vitamin B12 tergantung pada berapa
banyak vitamin B12 yang dipisahkan dari pangan oleh pepsin dan enzim-enzim
lambung lainnya, kemampuan sistem penyerapan melalui intrinsic factor, dan
jumlah vitamin B12 dalam pangan yang dimakan. Jika sistem penyerapan melalui
intrinsic factor sempurna, lebih dari 50 % vitamin B12 yang ada dalam pangan
atau suplemen dapat diserap secara aktif, namun penyerapan melalui sistem
intrinsic factor ini tidak dapat melebihi 2 μg. Pemberian vitamin B12 dengan
dosis 0.25 μg akan diserap sebesar 0.19 μg (75 %). Vitamin B12 yang diserap
secara aktif semakin besar dengan peningkatan dosis mulai dari 0.25 μg sampai 10
μg. Pada pemberian dosis 10 μg penyerapan vitamin B12 secara aktif mencapai
batas optimum yaitu 1.6 μg, dan pemberian diatas dosis tersebut misalnya 50 μg
hanya 1.5 μg vitamin B12 diserap melalui sistem intrinsic factor. Penyerapan
vitamin B12 pada pemberian dosis tinggi seperti dalam suplemen melampaui
kapasitas intrinsic factor, dan penyerapan vitamin B12 akan terjadi secara pasif
dengan jumlah penyerapan sekitar 1-2 % (Tabel 1).
Tabel 1 Penyerapan vitamin B12 dari pemberian berbagai dosis secara oral pada kondisi penyerapan normal dan tidak normal (tanpa intrinsic factor)
Jumlah yang diserap melalui IF
dan non-IF/ pasif Jumlah yang diserap secara pasif (non-IF)
Dosis oral (μg)
μg % μg % 0,25 0,19 75 -
1 0,56 56 0,02 2 2 0,92 46 - 3 - - 0,08 3 5 1,4 28 - 10 1,6 16 0,2 2 50 1,5 3 0,5 1 100 - - 1,8 1,8 500 - - 6 1,2
Sumber: Carmel R (2006)
Transport dan Metabolisme Vitamin B12
Vitamin B12 yang masuk ke dalam darah melalui membran sangat
sedikit dan tergantung pada beberapa protein pengikat untuk transport. Segera
setelah vitamin B12 diserap masuk ke dalam saluran darah, transport dan
penggunaannya tergantung pada protein spesifik pengikat kobalamin (cobalamin-
binding protein) yang disebut transcobalamin II (TC II) atau sering disebut TC.
Sedangkan transcobalamin I (TC I) juga berperan mengikat kobalamin dalam
darah namun perannya belum dapat dijelaskan (Carmel R 2006). Kobalamin dari
TC I yang masuk ke empedu sekitar 1,4 μg per hari dan diperkirakan 70 %
diabsorpsi kembali dalam keadaan normal, sisanya dibuang melalui feses. TC II
disintesis oleh beberapa sel termasuk sel-sel khusus endhotelial. Gen
pembentuknya sama dengan IF tetapi berada pada kromosom yang berbeda. TC II
dengan cepat mengantar kobalamin ke semua sel dalam tubuh. Masa hidup holo-
TC II dalam plasma hanya 90 menit. Pertama sekali dan sebagain besar
kobalamin diantar ke hati, tetapi reseptor yang spesifik untuk TC II sebenarnya
ditemukan pada semua sel dan dalam kompleks holo-TC II oleh pinocytosis
(Carmel R 2006).
Enzim yang mengandung vitamin B12 memindahkan kelompok methyl
dari methylfolate, sementara regenerasi tetrahydrofolat (THF) dari 5,10-
methylene THF diperlukan untuk sistesis thymidilate. Karena methylfolate
merupakan bentuk vitamin yang dominan dalam serum dan hati, dan karena hanya
methylfolate yang mengembalikan folat ke cadangan tubuh melalui proses yang
tergantung vitamin B12, maka bila terjadi defisiensi vitamin B12 akan
menyebabkan folat terperangkap sebagai methylfolate sehingga tidak dapat
digunakan untuk fungsi metabolik. Folat yang terperangkap akhirnya dapat
menyebabkan kerusakan hematologik akibat defisiensi vitamin B12 yang tidak
dapat dibedakan dari defisiensi folat. Kedua defisiensi tersebut menyebabkan
kerusakan yang sama sebagai akibat dari ketidakcukupan 5,10-methylene THF
untuk berpartisipasi dalam pembentukan DNA (Herbert V 1996; Beck 2003;
Carmel R 2006).
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5 bahwa pada kondisi normal
penyerapan vitamin B12 dari pangan memerlukan kondisi lambung yang normal;
asam lambung dan enzim yang membebaskan vitamin B12 dari ikatan peptide
dalam pangan oleh proteolisis, kemudian vitamin B12 terikat pada protein saliva
dan sel-sel parietal lambung mengeluarkan intrinsic factor suatu glikoprotein
yang penting untuk absorbsi vitamin B12 dari usus halus. Penyerapan yang
normal juga membutuhkan kondisi pankreas yang normal sehingga tripsin dan
bikarbonat (yang dihasilkan pada pH lebih dari 8) dapat memisahkan vitamin b12
dari protein saliva dan kemudian berikatan dengan intrinsic factor, dan akhirnya
pada kondisi ileum yang normal reseptor sel pemukaan dapat menangkap vitamin
B12 yang terikat pada intrinsic factor dengan batuan ion kalsium. Bila terjadi
gangguan pankreas sehingga ion kalsium tidak tersedia maka penyerapan vitamin
B12 akan terganggu (Herbert V 1996). Penyerapan vitamin B12 dapat diperbaiki
dengan memberikan kalsium, bikarbonat atau cairan pankreas yang dapat
meningkatkan ketersediaan kalsium. Pentingnya kalsium dalam penyerapan
vitamin B12 telah dijelaskan pada suatu studi yang menunjukkan bahwa
penyerapan vitamin B12 yang terganggu akibat penggunaan obat diabetes
(metformin) karena mengikat kalsium akhirnya dapat diperbaiki dengan
pemberian susu yang kaya kalsium atau tablet kalsium karbonat (Herbert V 1996).
Gambar 5 Metabolisme vitamin B12 pada manusia (Herbert V 1996)
16
REABSORPTION
TRANSPORTABSORPTIO
TISSUE CELL
Food B12 *MDR – 0,1 μg daily
INGESTION
1. Unchanged
2. Oxidi
Acid Enzymes
1F (Food B12 – 1F Complex)
(Enterohepatic circulation
PH > 6 Ca++
Trypsin
Food B12 – 1F - Surface receptor
*Releasing Factor
B12 - TC II
B12 - TC I & B12 - TC III
X - B12 - TC II In serum Ca++
X - B12 - TC II - Surface receptor
Methil B12 – B12 - binding α
in serum
Methyl - B12 Other B12 Forms
Succinyl – CoA Methylmalonyl – CoA – Mutase
L-Methylmalonyl - CoA
PPPi Deoxyadenosyl transferase ATP
Deoxyadenosyl B12 oxidation B12
B12* (Co +++)
B12* (Co ++
B12* (Co +)
B12* Reductase
Methionine Methyl transferase
Homocysteine
Methyl
Methyl THF
B12* Reductase DPNH
THF
AMe
7
12
13
14
2
3
ILEAL EPITHELIAL CELL
B12 B12 Coenzymes
4
5
6
1
8
9
10
11
15
DELIVERY Bile, saliva, Urine, etc
EXCRETION
Setelah proses uptake, kobalamin dipisahkan dalam endosom dan masuk
ke sitoplasma terutama berbentuk methylcobalamin, atau diambil oleh
mitokondria. Methylcobalamin diikat oleh methionine synthase dan membantu
remetilasi homocysteine. Deoxyadenosyl cobalamin dalam mitokondria diikat
oleh methylmalonyl-CoA-mutase dan berperan dalam metabolisme propionat.
Tidak ada protein pengikat intraseluler lain yang diidentifikasi untuk kobalamin,
dan tidak ada juga peran metabolik (Herbert V 1996; Carmel R 2006).
Selanjutnya dikatakan bahwa ginjal juga kaya akan reseptor TC II, yang berperan
penting dalam meminimalkan kehilangan kobalamin melalui urin.
Vitamin B12 dapat disimpan dalam hati. Total simpanan tubuh pada
subyek omnivore dalam keadaan sehat sekitar 2 – 3 mg. kehilangan vitamin B12
dapat terjadi melalui desquamasi epithelium dan sekresi dalam empedu. Sebagian
besar vitamin B12 yang disekresi empedu diabsorbsi kembali dan dapat
digunakan untuk fungsi metabolik. Kehilangan pada orang dewasa diperkirakan
1–3 μg/hari (sekitar 0.1 % dari cadangan dalam tubuh). Jumlah pengeluaran
vitamin B12 melalui stool proporsional dari cadangan tubuh, sehingga
perkembangan defisiensi lebih lambat pada orang yang kekurangan vitamin B12
misalnya vegetarian dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai intrinsic
factor atau yang mengalami malabsorbsi (Gibson 2005).
Defisiensi Vitamin B12 Defisiensi vitamin B12 adalah kondisi yang menunjukkan bahwa jumlah
vitamin B12 tidak cukup untuk melakukan fungsi biokimia secara normal. Proses
defisiensi vitamin B12 terjadi secara bertahap yang diawali dari penurunan
cadangan tubuh yang disebut dengan deplesi, namun pada saat ini fungsi biokimia
belum terganggu. Tahap awal defisiensi vitamin B12 ketika terjadi keseimbangan
negatif yang dapat dideteksi dengan penurunan persentase kejenuhan serum TC II.
Keseimbangan negatif merupakan gambaran situasi dimana jumlah vitamin B12
yang diabsorbsi menurun sampai dibawah jumlah yang hilang setiap hari (Herbert
V 1996). Keseimbangan negatif dengan cepat menyebabkan deplesi, dan bila
tidak dilakukan penambahan akan berlanjut menjadi defisiensi (Tabel 2).
Tabel 2 Tahapan perkembangan status vitamin B12 dari normal sampai defisiensi
Keseimbangan negatif
Deplesi Defisiensi
Stage I Stage II Stage III Stage IV Normal Early
Negative B12
Balance
B12 Depletion
Damaged Metabolism
B12 Deficient Erytropoiesis
Clinical Damage
B12 Deficiency Anemia
HoloTC II (pg/mL) > 50 Low Low Low Low
TC II % sat. > 5 % < 4 % < 4 % < 4 % < 4 %
Holohap (pg/mL) > 180 > 180 < 150 < 100 < 100
dU suppression Normal Normal Normal Abnormal Abnormal
Hypersegmentation No No No Yes Yes
TBBC % sat. > 15 % > 15 % > 15 % < 15 % < 10 %
Hap % sat. > 20 % > 20 % > 20 % < 20 % < 10 %
RBC folate (ng/mL) > 160 > 160 > 160 < 140 < 100
Erythrocytes Normal Normal Normal Normal Macroovalocytic
MCV Normal Normal Normal Normal Elevated
Hemoglobin Normal Normal Normal Normal Low
TC II Normal Normal Normal Elevated Elevated
Methylmalonate Normal Normal Normal High High
Homocysteine Normal Normal Normal High High
Myelin Damage No No No ? Frequent Sumber: Herbert V (1996)
Serum holoTCII yang rendah dapat dijadikan sebagai indikator awal
terjadinya keseimbangan negative vitamin B12 dan dapat dijadikan sebagai
pengganti Schilling test dan suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 yang
dibawa ke seluruh sel-sel pembentuk DNA (Herbert V 1996). Selanjutnya jika
keseimbangan negatif terjadi dalam waktu yang lama, akan terjadi deplesi vitamin
B12 yang ditandai dengan penurunan konsentrasi holohaptocorin sampai dibawah
150 pg/mL akan tetapi fungsi biokimia masih normal. Keadaan keseimbangan
negatif ini ditemukan juga pada kelompok usia lanjut dengan konsentrasi vitamin
B12 serum yang rendah yaitu < 221 pmol/L atau < 300 pg/mL, sehingga angka ini
juga dapat dijadikan sebagai indikator keseimbangan negatif (Herbert V 1996;
Sauberlich HE 1999).
Defisiensi vitamin B12 secara klinis menyebabkan kerusakan sistem
hematopoitik sama seperti pada defisiensi asam folat. Macro-ovalocytic
erythrocytes sebagai petunjuk sel darah merah tidak normal, dan terjadi penurunan
hemoglobin. Pada keadaan ini terjadi juga peningkatan kadar methylmalonic acid
(MMA) pada urin namun tidak ditemukan pada anemia akibat defisiensi asam
folat (Gibson 2005).
Defisiensi vitamin B12 merupakan akibat dari kerusakan reaksi enzim
yang memerlukan vit B12. Kerusakan aktifitas pembentukan methionine synthase
dapat meningkatkan level homosistein, sementara kerusakan aktifitas L-
methylmalonyl-CoA mutase menyebabkan peningkatan metabolit dari
methylmalonyl-CoA yang disebut methylmalonic acid (MMA). Seseorang yang
mengalami defisiensi vitamin B12 ringan tidak akan terlihat gejalanya walaupun
level homosistein dan MMA dalam darah meningkat (Gibson 2005; Herbert V
1996).
Akibat dari defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan perubahan dalam
tubuh yang disebut sebagai gejala atau efek klinik. Gejala klinik dari defisiensi
vitamin B12 dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu gejala hemotologik,
neurologik dan gastrointestinal, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
1. Gejala hematologik.
Gejala hematologik akibat defisiensi vitamin B12 tidak dapat dibedakan
dari defisiensi folat, yaitu terjadinya anemia megaloblastic disertai gejala anemia
klasik seperti berkurangnya energi dan kemampuan fisik, lemah, sesak nafas, dan
jantung berdebar (Gibson 2005; http//www.parhealth.com/druginfo). Aktifitas
yang berkurang pada methyonine synthase saat defisiensi vitamin B12
menghambat regenerasi tetrahydrofolate (THF) dan menjebak folat dalam bentuk
yang tidak dapat digunakan oleh tubuh, menghasilkan gejala defisiensi folat
padahal folat sebenarnya cukup. Jadi, dalam keadaan defisiensi keduanya (folat
dan vitamin B12) folat tidak tersedia untuk pembentukan DNA. Kerusakan
sintesis DNA ini menyebabkan kecepatan pembelahan sel-sel tulang belakang
lebih cepat dari sel-sel lain, menyebabkan sel-sel darah merah berukuran besar,
tidak matang dan miskin hemoglobin. Keadaan ini disebut anemia megaloblastic
dan gejala untuk penyakitnya disebut anemia pernisius. Suplementasi dengan
asam folat akan memberikan folat yang cukup untuk digunakan dalam
pembentukan sel-sel darah merah dalam kondisi normal. Namun jika defisiensi
vitamin B12 yang merupakan penyebabnya, hasilnya akan tetap anemia. Jadi,
anemia megaloblastik tidak selalu harus diperbaiki dengan pemberian asam folat
hingga penyebab yang sebenarnya ditetapkan. Karena penurunan (deplesi)
cadangan vitamin B12 tubuh lebih lambat dibandingkan folat, menyebabkan
gejala klinik defisiensi vitamin B12 juga lebih lama muncul. Pada saat terjadi
perubahan biokimia, gejala klinik belum muncul hingga beberapa bulan bahkan
beberapa tahun setelah proses yang menyebabkan defisiensi (misalnya
malabsorbsi) dimulai. Sedangkan perubahan akibat defisiensi folat sudah muncul
dalam beberapa minggu (Carmel R 2006).
2. Gejala Neurologis
Gejala-gejala neurologis defisiensi vitamin B12 meliputi kehilangan rasa,
rasa geli pada tangan dan kaki, susah berjalan dan melangkah tidak normal,
kejang, lekas marah, depresi, dan perubahan kognitif seperti kehilangan
konsentrasi dan ingatan (memory), serta dimensia, disorientasi, namun umumnya
tanpa perubahan kejiwaan (http://www.parhealth.com/druginfo). Walaupun
kemajuan komplikasi neurologik secara umum bertahap, gelaja-gejala tersebut
tidak selalu dapat dikembalikan dengan pemberian vitamin B12 apalagi gejala
tersebut sudah muncul lama. Komplikasi neurologik tidak selalu berhubungan
dengan anemia megaloblastic dan yang mengalami gejala defisiensi vitamin B12
secara klinis hanya sekitar 25 persen kasus. Walaupun defisiensi vitamin B12
diketahui merusak lapisan myelin pada syaraf-syaraf cranial, spinal dan periperal,
proses biokimia yang mempengaruhi kerusakan neurologik belum dipahami
dengan baik (http:/lpi.oregonstate.edu/infocenter/vitamin/vitaminB12). Efek
neurologik defisiensi vitamin B12 dapat terjadi tanpa anemia, terutama pada orang
tua diatas 60 tahun. Pada dasarnya defisiensi vitamin B12 mempengaruhi syaraf
peripheral dan berlanjut sampai ke spinal cord (http//www.eatright.org).
3. Gejala Gastrointestinal
Sakit lidah, kehilangan selera makan, dan konstipasi telah dihubungkan
dengan defisiensi vitamin B12. Kebenaran dari gejala ini belum jelas, tetapi
mungkin dapat dikaitkan dengan peradangan lambung yang ditemukan pada
banyak kasus desisiensi vitamin B12, atau Peningkatan kemampuan menyerang
dari kecepatan pembelahan sel-sel gastrointestinal untuk merusak sintesis DNA.
Efek defisiensi vitamin B12 terhadap gastrointestinal menyebabkan sering diare
dan konstipasi, sakit di bagian perut, kembung, dan luka pada lidah. Anoreksia
dan kehilangan berat badan juga merupakan gejala umum kekurangan vitamin
B12. Bahkan ada pendapat bahwa kehilangan kemampuan mendengar (tuli)
karena pertambahan usia juga berhubungan dengan status vitamin B12 dan folat
yang miskin (http://www.parhealth.com/druginfo).
Masih sedikit diketahui tentang prevalensi defisiensi vitamin B12 terutama
pada anak-anak. Namun, karena vitamin B12 hanya terdapat pada pangan
hewani, diperkirakan angka defisiensi vitamin B12 tinggi pada anak-anak yang
jarang atau sedikit makan makanan hewani seperti daging, telur dan susu.
Penelitian di Kenya (Siekmann JH et al 2003) terhadap 555 anak sekolah (5-14
th) menunjukkan 80,7 % anak mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat
dan sedang. Pemberian makanan tambahan di sekolah berupa daging (60-85 g/hr)
dan susu (200-250 ml/hr) atau energi (kalori dari daging dan susu 240-300 Kal/hr)
selama satu tahun ajaran. Sampel darah dan tinja dikumpulkan 2 kali yaitu pada
waktu sebelum dan sesudah satu tahun intervensi untuk menilai parasit pada tinja,
malaria, Hb, serum atau plasma C-reactive protein,ferritin, Zn, Cu, vitamin B12,
folat dan retinol, riboflavin eritrosit. Pada saat baseline, ditemukan prevalensi
yang tinggi untuk defisiensi gizi mikro (Fe, Zn, vitamin A, vitamin B12, dan
riboflavin), dan ferritin rendah pada beberapa anak. Pada akhir intervensi,
plasma vitamin B12 meningkat secara signifikan pada anak yang diberi makan
daging dan susu, prevalensi defisiensi vitamin B12 turun dari 80,7 % menjadi
64,1 % pada kelompok intervensi daging dan 71,6 % menjadi 45,1 % pada
kelompok intervensi susu. Tidak ada perbaikan yang signifikan pada status gizi
mikro lainnya. Kesimpulan yang dapat diperoleh bahwa suplemen dengan
sejumlah kecil daging dan susu dapat menurunkan prevalensi defisiensi vit B12
pada anak-anak.
Rogers LM et al (2003) berdasarkan hasil penelitiannya di Guatemala
terhadap 553 anak sekolah usia 8 sampai 12 tahun dari keluarga sosial ekonomi
rendah menemukan 11 % anak mempunyai kobalamin plasma yang rendah dan
22 % mempunyai kobalamin plasma yang marginal. Peningkatan serum
methylmalonic acid (MMA) dan homosistein plasma lebih tinggi pada anak
dengan kobalamin plasma yang rendah dan marginal dibandingkan dengan anak
yang mempunyai kobalamin plasma normal.
Kasus yang ditemukan di Georgia tahun 2001 menunjukkan bahwa anak
yang diberi ASI oleh ibu vegetarian didiagnosa mengalami defisiensi vitamin
B12, menderita anemia makrositik, dan kerusakan sistem syaraf serta
keterlambatan perkembangan mental (CDC 2003). Penelitian lain terhadap anak-
anak penderita cacing di Spanyol yang dilakukan oleh Olivares et al (2002)
menunjukkan bahwa anak yang terinfeksi cacing giardia lamblia dan enterobius
vermicularis mempunyai kadar vitamin B12 yang lebih rendah dibandingkan
dengan anak yang tidak terinfeksi cacing. Hal ini berhubungan dengan gangguan
penyerapan pada mukosa usus. Oleh karena itu, untuk kasus infeksi parasit selain
penanggulangan infeksi cacing perlu juga dilakukan suplementasi vitamin B12.
Penelitian Allen LH et al (1995) terhadap anak-anak dan dewasa di mexico
menunjukkan bahwa prevalensi defisiensi vitamin B12 yang dinilai berdasarkan
plasma viatmin B12 berkisar antara 19 % sampai 41 %, sementara status plasma
folat normal untuk semua individu. Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat 62 %
ibu menyusui yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 ASI rendah.
Beberapa penelitian di Indonesia tentang status vitamin B12 sudah mulai
dilakukan sejak tahun 70 an walaupun masih terbatas pada orang dewasa.
Penelitian Martoatmodjo S dkk (1973) dari Pusat penelitian Gizi dan Makanan
Depkes RI, menunjukkan bahwa terdapat 28 % wanita hamil di daerah Jawa Barat
mengalami kekurangan vitamin B12. penelitian lain dilakukan oleh Shylbi UF
(2007) dari Bagian Kardiologi Rumah Sakit Jantung Harapan Kita di Jakarta,
menemukan 30 % kasus defisiensi vitamin B12 pada penderita Penyakit Jantung
Koroner (PJK) dan 30 % juga pada non penderita PJK. Penelitian ini juga
menunjukkan adanya tingginya defisiensi asam folat yaitu 82 % pada penderita
PJK dan 83 % pada nonpenderita PJK, serta adanya hubungan negatif antara
defisiensi vitamin B12 dan defisiensi folat dengan kadar homocysteine.
Beberapa penelitian di luar negeri juga menunjukkan defisiensi vitamin
B12 pada kelompok dewasa dan usia lanjut. Hin H et al (2006) berdasrkan
penelitiannya di Inggris menunjukkan bahwa terdapat 13 % dari partisipas usia
lanjut mengalami defisiensi vitamin B12. Dengan pemberian intervensi suplemen
1000 mikrogram intramuskuler per bulan dapat memperbaiki status biokimia
vitamin B12 walaupun secara klinis tidak dapat diperbaiki. Penelitian Clarke R
et al (2003) di Inggris menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin B12 10 % pada
usia 65-74 tahun dan 20 % pada usia diatas 75 tahun. Selanjutnya berdasarkan
penelitiannya pada usia lanjut di Inggris (Clarke R et al 2004) menemukan bahwa
prevalensi defisiensi vitamin B12 meningkat dengan bertambahnya umur.
Defisiensi vitamin B12 ditemukan pada 1 dari 20 orang yang berumur 65-74
tahun dan 1 dari 10 orang yang berumur diatas 75 tahun. Hao Ling et al (2003)
dari China mengemukakan prevalensi defisiensi vitamin B12 pada orang dewasa
berumur 35-64 tahun sebesar 11 % di China bagian Selatan dan 39 % di China
bagian Utara, yang selanjutnya mengatakan prevalensi defisiensi vitamin B12
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Sementara Tucker KL et al (2000)
berdasarkan penelitiannya pada orang dewasa berumur diatas 26 tahun
menemukan 39 % mempunyai kadar vitamin B12 plasma < 350 pg/mL.
Berikut ini dikemukakan beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya
defisiensi vitamin B12, antara lain :
1. Vegetarian
Orang yang hanya mengkonsumsi pangan nabati (vegetarian) mempunyai
resiko kekurangan vitamin B12 karena tanaman tidak mengandung vitamin B12.
Dengan kata lain vitamin B12 hanya ada dalam pangan hewani. Hal ini dapat
dilihat dari bayi yang diberi ASI eksklusif oleh ibu penganut vegetarian
mengalami gejala defisiensi vitamin B12 pada beberapa bulan pertama setelah
dilahirkan (Brody 1999; American Dietetic Association http//www.eatright.org).
Oleh karena itu vegetarian dianjurkan untuk memasukkan tempe dan pangan yang
difortifikasi vitamin B12 ke dalam menu makanan sehari-hari.
Gao X et al (2003) dalam penelitian pola makan pada populasi perkotaan
di China menunjukkan bahwa lebih dari 40 % dari kelompok dengan pola sereal
mempunyai plasma homosistein yang tinggi dan konsentrasi asam folat plasma
rendah, 67 % mempunyai konsentrasi plasma vitamin B12 rendah. Pola sereal
mempunyai risiko 4 dan 5.2 kali lebih mungkin mempunyai homosistein yang
tinggi dan vitamin b12 yang rendah dibandingkan kelompok dengan pola buah
dan susu.
2. Anemia Pernisius
Gangguan penyerapan (malabsorbsi) vitamin B12 dapat terjadi selama
proses pencernaan. Suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya malabsorbsi
adalah penyakit auto-immun, disebut anemia pernisius. Pada sebagian besar kasus
anemia pernisius, antibodi yang dihasilkan menyerang sel-sel parietal yang
menyebabkan sel parietal tersebut atropi, sehingga kehilangan kemampuan untuk
menghasilkan faktor intrinsik, yang berfungsi mengeluarkan asam hidroklorik.
Anemia pernisius juga terjadi karena ketidakmampuan mengabsorbsi vitamin B12
yang dihasilkan oleh empedu. Diperkirakan vitamin B12 yang dikeluarkan oleh
empedu sekitar 0,3 – 0,5 μg/hari. Keadaan ini disebut sirkulasi enterohepatik
vitamin B12 yang menyebabkan tubuh mengalami keseimbangan negatif untuk
vitamin. Walaupun vitamin B12 dalam tubuh cukup untuk persediaan selama 3-5
tahun, anemia pernisius menyebabkan gangguan absorbsi vitamin yang baru
dikonsumsi, ditambah lagi kehilangan vitamin karena keseimbangan negatif. Bila
cadangan vitamin B12 berkurang, akhirnya tahapan defisiensi terjadi sangat cepat,
dan bila tidak diobati dapat menyebabkan kematian dalam beberapa bulan
(FAO/WHO 2001; American Dietetic Association http://www.eatright.org).
Anemia pernisius sebagai penyebab defisiensi vitamin B12 merupakan kasus yang
jarang terjadi, mungkin pengaruhnya hanya 1 persen sampai beberapa persen pada
kelompok lanjut usia.
3. Atrophic gastritis
Anggapan terbaru mengatakan bahwa masalah yang lebih umum adalah
hypochlodhydria yang berkaitan dengan atropic gastritis, dimana semakin
bertambah umur terjadi penurunan kemampuan sel parietal untuk mensekresi
asam hidroklorik (FAO/WHO 2001; American Dietetic Association
http//www.eatright.org). Diperkirakan lebih dari seperempat jumlah lanjut usia
mempunyai berbagai tingkat hypochlodhydria sebagai hasil atrophic gastritis.
Selain itu ada anggapan bahwa pertumbuhan bakteri yang berlebihan pada
lambung dan usus pada individu yang menderita atrophic gastritis dapat
menurunkan penyerapan vitamin B12. Atrophic gastritis tidak mencegah
penyerapan kembali vitamin yang dikeluarkan empedu, oleh karena itu tidak
menyebabkan keseimbangan negatif sebagaimana terjadi pada penderita anemia
pernisius. Namun, bila terjadi dalam waktu yang lama, jumlah vitamin yang
diabsorbsi dari makanan berkurang akhirnya cadangan vitamin B12 akan habis,
selanjutnya dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12.
4. Konsumsi alkohol berlebih
Orang yang mengkonsumsi alkohol berlebih cenderung mengalami
kekurangan beberapa zat gizi esensial termasuk vitamin B12 (American Dietetic
Association, http//www.eatright.org; Nutrion.gov; http//nutrition.gov).
Kebutuhan dan Sumber Pangan Vitamin B12
Hanya sedikit vitamin B12 yang dapat disimpan dalam tubuh. Total
simpanan dalam tubuh sekitar 2-5 mg pada orang dewasa, sekitar 80 % disimpan
dalam hati. Vitamin B12 yang masuk dalam empedu dapat diserap kembali secara
efektif, yang disebut sebagai sirkulasi enterohepatik. Kelebihan vitamin B12
dikeluarkan melalui ginjal dalam jumlah yang bervariasi mulai dari 1 – 10 μg/hari.
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil. Kecukupan
vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 μg/hari, pada usia 4 –12 tahun
sekitar 1 – 1,8 μg/hari dan bagi usia 13 tahun sampai dewasa 2,4 μg/hari.
Sedangkan ibu hamil dan menyusui memerlukan tambahan masing-masing 0,2
μg/hari dan 0,4 μg/hari (Tabel 3).
Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan hewani, seperti daging,
susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain. Menurut Sauberlich HE (1999) pangan
hewani satu-satunya sumber vitamin B12 dalam penyediaan pangan. Daging
menyumbang sekitar 69 persen, susu 21 persen, dan telur 8,5 persen. Sereal yang
difortifikasi dengan vitamin B12 hanya menyediakan sedikit sekali vitamin ini
yaitu sekitar 1,6 persen. Sedangkan pangan nabati tidak mengandung vitamin
B12, kecuali yang terkontaminasi oleh mikroorganisme yang diperoleh dari tanah
seperti bakteri dan ragi. Salah satu pangan hasil olahan melalui proses fermentasi
adalah tempe ternyata mengandung vitamin B12 sehingga tempe merupakan
pangan yang baik sebagai sumber vitamin B12. Vitamin B12 dalam tempe tidak
dibentuk oleh ragi yang ditambahkan saat pembuatan tempe akan tetapi dibentuk
oleh bakteri kontaminan jenis klebsiella (http://www.ivs-online.org). Namun
demikian belum diteliti lebih lanjut tentang bioavailabilitas dari vitamin B12 yang
ada dalam tempe.
Tabel 3 Kecukupan vitamin B12 berdasarkan kelompok umur
Kelompok Umur AKG (μg/hr)
0 - 6 bl 0,4 7 - 12 bl 0,5 1 - 3 th 0,9 4 - 6 th 1,2 7 - 9 th 1,5
Pria 10 - 12 th
1,8
13 - 15 th 2,4 16 - 18 th 2,4 19 - 29 th 2,4 30 - 49 th 2,4 50 - 64 th 2,4
65 + th 2,4 Wanita
10 - 12 th
1,8 13 - 15 th 2,4 16 - 18 th 2,4 19 - 29 th 2,4 30 - 49 th 2,4 50 - 64 th 2,4
65 + th 2,4 Ibu hamil (+an)
- Trimester 1 - Trimester 2 - Trimester 3
0,2 0,2 0,2
Ibu menyusui (+ an) - 6 bulan pertama - 6 bulan kedua
0,4 0,4
Sumber: Setiawan B & Rahayuningsih S (2004)
Penilaian Status Vitamin B12
Status vitamin B12 dalam tubuh dapat ditentukan dengan menggunakan
berbagai indikator dan metode penilaian. Berikut ini akan diuraikan beberapa
indikator dan jenis penilaian status vitamin B12 serta kekuatan dan kelemahan
setiap indikator..
1. Vitamin B12 dalam serum
Dari seluruh vitamin B12 dalam serum, 20 persen terikat pada protein
transport transcobalamin (TC II), sisanya 80 % merupakan ikatan campuran
glyco-protein B12, dikenal sebagai TC I dan TC III, dan akhirnya diketahui
sebagai haptocorrin (Herbert V 1996; Gibson 2005; Carmel R 2006). Menurut
Sauberlich HE (1999) konsentrasi vitamin B12 serum dapat memberi informasi
status gizi vitamin B12, karena cadangan vitamin B12 dalam tubuh yang rendah
berhubungan dengan level vitamin B12 serum yang rendah. Sedangkan menurut
Herbert V (1996) pengukuran vitamin B12 dalam serum merupakan indikator
defisiensi vitamin B12 yang relatif terlambat karena pada keadaan normal 80 %
dari total vitamin B12 dalam serum terikat pada holohaptocorrin, dan hanya 20 %
yang yang terikat sebagai holotranscobalamin II dalam serum. Holohaptocorrin
menggambarkan vitamin B12 dalam cadangan tubuh (terutama di hati), yang
mengalami penurunan dengan lambat sesuai dengan terjadinya keseimbangan
negatif vitamin B12.
Serum holotranscobalamin II adalah protein yang bersirkulasi dalam darah
mengantar vitamin B12 ke sel-sel pembentukan DNA. Keseimbangan negatif
merupakan gambaran situasi dimana sejumlah vitamin B12 yang diabsorbsi setiap
hari menurun sampai di bawah jumlah yang hilang setiap hari. Keseimbangan
negatif yang cepat menyebabkan deplesi, jika tidak diperbaiki akan berlanjut
menjadi defisiensi. Serum holoTC II rendah merupakan indikator awal terjadinya
keseimbangan negatif, suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 untuk sintesis
DNA. Pada saat keseimbangan negatif terjadi, konsentrasi serum vitamin B12
menurun sampai nilainya antara 150 sampai 100 pg/mL; namun fungsi biokimia
masih dalam keadaan normal (Herbert V 1996).
Allen RH et al (1990) mengemukakan bahwa penilaian kobalamin serum
adalah tes diagnostik yang penting untuk defisiensi vitamin B12 terutama untuk
tujuan screening karena sebagian besar pasien yang mengalami defisiensi vitamin
B12 secara klinis mempunyai level vitamin B12 serum yang rendah. Walaupun
pada akhirnya ada studi terbaru yang menunjukkan keadaan sebaliknya, dimana
orang yang mempunyai serum vitamin B12 rendah tidak selalu mengalami
defisiensi vitamin B12. Methylmalonic acid (MMA) dan homosysteine dalam
serum meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12. Namun akhirnya
diketahui juga bahwa homosysteine serum tidak spesifik karena tidak selalu
meningkat pada penderita defisiensi vitamin B12 sedangkan methylmalonic acid
serum selalu meningkat. Oleh karena itu methylmalonic acid lebih tepat
digunakan sebagai indikator terjadinya defisiensi vitamin B12.
Penentuan cut off point untuk defisiensi vitamin B12 masih beragam
pendapat. Menurut Gibson (1990) konsentrasi serum vitamin B12 pada keadaan
normal untuk orang sehat berada pada kisaran 200 – 900 pg/mL (148 – 682
pmol/L). Nilai dibawah 100 pg/mL (74 pmol/L) selalu menunjukkan keadaan
defisiensi vitamin B12 dan dihubungkan dengan anemia megaloblastik.
Sedangkan FAO/WHO tahun 1988, merekomendasikan penggunaan cut off point
di bawah 80 pg/mL (59 pmol/L) untuk defisiensi vitamin B12. Menurut Gibson
(2005) total vitamin B12 serum adalah tes biokimia yang dapat digunakan secara
rutin untuk screening defisiensi vitamin B12 karena konsentrasinya
menggambarkan intik vitamin B12 dan sekaligus cadangan dalam tubuh, namun
sensitifitasnya rendah. Hal ini ditunjukkan dari penelitian terhadap usia lanjut
yang mempunyai konsentrasi vitamin B12 serum rendah sampai normal (111-295
pmol/L atau 150-400 pg/mL) mempunyai fungsi biokimia yang tidak normal.
Beberapa peneliti lain menggunakan cut off point 300 pg/mL sebagai batas bawah
keadaan normal untuk vitamin B12 (Herbert V 1996; Sauberlich HE 1999;
Siekmann 2003; Eussen SJ et al 2006) dengan alasan bahwa pada batas tersebut
sering sudah mulai dapat ditemukan tanda-tanda klinis defisiensi vitamin B12.
Penilaian konsentrasi vitamin B12 serum dapat dilakukan dengan
“microbiological assay” dan “radioisotope dilution methods” atau disebut
“Radioassay”. Metode “radioisotope dilution methods” memberi hasil yang lebih
tinggi dari penilaian mikrobiologi. Metode radioisotop sangat sederhana,
memerlukan waktu yang singkat, dan tidak dipengaruhi oleh antibiotik atau
kemoterapetik kanker (Gibson 2005). Metode lain yaitu AxSYM System yang
merupakan penilaian mikropartikel enzim intrinsic factor untuk menentukan
jumlah vitamin B12 dalam serum atau plasma manusia (Abbott Laboratories
2005).
2. Vitamin B12 dalam eritrosit
Penilaian eritrosit untuk vitamin B12 mempunyai keterbatasan, beberapa
hasil diperoleh dengan nilai yang tidak dapat membedakan antara kondisi subyek
normal dengan defisiensi. Selain itu konsentrasi vitamin B12 eritrosit juga
cenderung rendah pada saat terjadi defisiensi folat karena vitamin B12 berperan
penting untuk pemanfaatan folat oleh se-sel darah merah. Dengan demikian
vitamin B12 dalam eritrosit kurang spesifik (Gibson 2005).
3. Methylmalonic acid (MMA)
Methylmalonic acid (MMA) merupakan hasil dari methylmalonyl-CoA
yang terakumulasi bila terjadi defisiensi vitamin B12 yang membatasi aktifitas
methylmalonyl-CoA mutase. Konsentrasi MMA serum meningkat bila terjadi
defisiensi vitamin B12, tetapi tidak terjadi pada defisiensi asam folat. Ekskresi
MMA melalui urin juga meningkat bila terjadi defisiensi vitamin B12 (Sauberlich
HE 1999). Sehingga konsentrasi methylmalonic acid dalam urin dan serum sering
digunakan untuk screening defisiensi vitamin B12. Peningkatan konsentrasi
methylmalonic acid dalam serum atau plasma merupakan indikator awal
terjadinya defisiensi vitamin B12. Pengukuran serum MMA telah berhasil
mengidentifikasi subyek dengan defisiensi vitamin B12, bahkan dengan defisiensi
subklinik. Pengukuran MMA lebih sensitif untuk mengukur defisiensi vitamin
B12 dibandingkan dengan pengukuran konsentrasi vitamin B12 serum.
Menurut Bolann et al (2000) untuk diagnostik awal status vitamin B12
dapat dilakukan melalui penilaian kobalamin serum. Bila dengan diagnostik
tersebut tidak dapat diperoleh hasil yang jelas, maka dilakukan pengujian kadar
MMA dan homocystein yang akan memberikan pembedaan tambahan, yang
berarti MMA lebih spesifik untuk penilaian status vitamin B12.
Secara tradisional ada anggapan bahwa status vitamin B12 yang rendah
berhubungan dengan level vitamin B12 dalam serum atau plasma yang rendah.
Namun akhir-akhir ini pendapat tersebut telah dibantah oleh beberapa ahli yang
mengatakan bahwa proporsi orang yang mempunyai level vitamin B12 normal
kenyataannya mengalami defisiensi vitamin B12. Selanjutnya dikatakan bahwa
peningkatan homocysteine plasma dan MMA plasma lebih sensitif sebagai
indikator status vitamin B12 (FAO/WHO 2001). Hal ini didukung oleh Klee
(2000) yang mengatakan bahwa homocysteine dan methylmalonicacid adalah
indikator metabolik yang paling baik untuk defisiensi vitamin B12 dan folat pada
level jaringan. Namun, dikatakan juga bahwa belum ada “gold standard” untuk
mendiagnosis kondisi kelainan vitamin B12, dan masih ditemukan kontroversi
dalam pemilihan diagnostik tersebut.
Methylmalonic acid (MMA) dapat diukur dengan metode gabungan “gas-
chromatography mass-spectrometry” dalam serum dan urin (Carmel R 2004;
Gibson 2005). Metode ini sangat sensitif dan reliabel untuk mengukur
methylmalonic acid dalam urin. Namun, tehnik mengukurannya agak sulit dan
waktunya lama karena memerlukan sampel urin selama 24 jam. Sedangkan
sampel urin sesaat dapat digunakan untuk keperluan screening. Pada kondisi
normal 1,5 sampai 2 mg mehyilmalonic acid yang dikeluarkan melalui urin per 24
jam, sedangkan bila terjadi defisiensi vitamin B12 dapat mencapai 300 mg per 24
jam (Gibson 2005). Konsentrasi MMA serum dikategorikan normal bila
konsentrasi MMA serum < 638 nmol/L, kadar MMA serum ≥ 638 nmol/L
dikategorikan defisiensi vitamin B12 (Sauberlich HE 1999).
4. Homocysteine
Homocysteine adalah bentuk antara dari metabolisme asam amino esensial
yang mengandung sulfur yaitu methionine. Homocycteine akan dirubah kembali
menjadi methionine pada proses remetilasi yang tergantung pada folat dan
kobalamine, atau transformasi menjadi cysteine melalui enzim yang tergantung
pada vitamin B6 yaitu cystathionine B synthase. Namun konsentrasi
homocysteine plasma tidak dapat menunjukkan apakah subyek defisiensi vitamin
B12 atau folat. Kedua defisiensi tersebut menyebabkan peningkatan total
homocysteine plasma. Kelebihan intik protein dan methionine dapat
meningkatkan homocysteine dalam plasma dengan meningkatkan sintesis
homocysteine (Sauberlich HE 1999). Dengan demikian kadar homocysteine
plasma kurang spesifik sebagai indikator defisiensi vitamin B12. Konsentrasi total
homocysteine plasma dapat diukur dengan “fluorescent atau electrichemical
detection”, prosedur “enzymatic” atau dengan metode “capillary gas
chromatography mass spectrometry” (Gibson 2005).
5. Deoxyuridine suppression test (DxdUST)
Penilaian ini digunakan untuk mendeteksi defisiensi vitamin B12 dan/atau
folat. Dalam penilaian ini, sum-sum tulang, lymposit darah periperal, atau
sampel darah keseluruhan dari individu dipreinkubasi dalam tes tube dengan
nonradioaktif deoxyuridine dan kemudian dengan prekursor radioaktif DNA
(Herbert V 1996; Gibson 2005).
Penilaian dengan Deoxyuridine suppression test ini telah digunakan
dalam beberapa penelitian. Namun prosedurnya agak sedikit lambat dan
membosankan untuk dilakukan, tidak praktis dan tidak reliable untuk digunakan
secara luas (Sauberlich HE 1999; Gibson 2005).
6. Schilling test
Bila defisiensi vitamin B12 telah didiagnosa, hal yang penting diketahui
adalah apakah penyebabnya gangguan penyerapan. Hal ini dapat diperoleh
dengan menentukan absorbsi pemberian dosis rendah secara oral (0,5 – 2 μg)
dalam keadaan puasa, dengan mengukur pengeluaran dari urin. Prosedur ini
disebut dengan “Schilling test”. Namun schilling test mempunyai beberapa
kelemahan antara lain tes ini tidak mempunyai standar yang baik diantara
laboratorium; waktu yang diperlukan cukup lama sejak diberi dosis oral sampai
dikeluarkan melalui urin, level isotop dosis, dan lamanya pengumpulan urin
(Gibson 2005).
Berdasarkan uraian diatas tentang beberapa indikator penilaian status
vitamin B12 berikut pada Tabel 4 diuraikan secara ringkas kekuatan dan
kelemahan berbagai metode dan indikator penilaian status vitamin B12. Dari
beberapa jenis indikator dan metode penilaian status vitamin B12 yang dijelaskan
masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, dengan demikian dalam
pemilihan indikator atau metode yang digunakan perlu disesuaikan dengan tujuan
penelitian serta mempertimbangkan situasi dan kondisi subyek dan lapangan
penelitian serta ketersediaan sarana pendukung seperti laboratorium beserta
peralatan dan metodenya.
Tabel 4 Kekuatan dan kelemahan beberapa indikator/metode penilaian status vitamin B12
No Indikator /Metode Kekuatan Kelemahan
1 Vitamin B12 serum/ Transcobalamin II (TC II) Metode : Radioassay
Metode sederhana, waktu singkat
Hanya 20 % vitamin B12 yang terikat pada TC II, kurang sensitif
2
Vitamin B12 dalam eritrosit - Kurang spesifik, sulit dibedakan dengan defisiensi folat
3 Methylmalonic acid (MMA) dalam serum atau urin Metode: gas chromatography-mass spectrometry
Cukup Spesifik dan Sensitif, Metode reliable
Teknik pengukuran sulit, waktu relatif lama, bila menggunakan urin perlu sampel urin selama 24 jam
4 Homocystein plasma - Kurang spesifik, sulit dibedakan dengan defisiensi folat
5 Deoxyuridine suppression test (DxdUST)
- Prosedur agak lambat, membosankan, kurang praktis, dan tidak reliable
6 Schilling test Dapat mengukur tingkat absorpsi
Belum ada standar yang baku, waktunya lama
Hemoglobin dan Vitamin B12
Hemoglobin adalah suatu molekul protein dalam sel-sel darah merah yang
membawa oksigen dari paru-paru keseluruh jaringan tubuh, dan membawa
kembali karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru. Besi yang terkandung
dalam hemoglobin akan memberi warna merah pada darah. Sebagaimana
umumnya protein, “blueprint” untuk hemoglobin dibuat dalam DNA (bahan dasar
pembentuk gen). Hemoglobin terbuat dari dua protein yang sama disebut “stick
together”. Kedua protein ini harus ada agar hemoglobin dapat mengambil dan
melepas oksigen secara normal. Komponen protein tersebut adalah Alpha dan
Betha. Pada saat seseorang belum lahir (janin) protein betha tidak ada, yang ada
protein gamma dan digantikan secara otomatis pada saat seseorang lahir
(http://sickle.bwh.harvard.edu/hemoglobin.html).
Level hemoglobin ditunjukkan sebagai jumlah hemoglobin dalam gram
per desiliter darah (g/dl). Batas normal hemoglobin tergantung pada umur dan
mulai remaja dibedakan menurut jenis kelamin. Bila kadar hemoglobin lebih
rendah dari batas normal maka seseorang disebut anemia. Batasan normal yang
digunakan di Indonesia yang ditetapkan oleh Depkes RI (2003) adalah :
• Anak balita : 11 g/dl
• Anak usia sekolah : 12 g/dl
• Wanita dewasa : 12 g/dl
• Pria dewasa : 13 g/dl
• Ibu hamil : 11 g/dl
• Ibu menyusui >3 bln : 12 g/dl
Dalam hubungannya dengan vitamin B12 dapat dijelaskan dari fungsi
vitamin B12 pada pembentukan hemoglobin. Vitamin B12 berperan sebagai
koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi biologis penting. Ada dua bentuk
koenzim tersebut yaitu methylcobalamin yang terdapat dalam plasma, dan 5-
deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati, sebagian besar jaringan
tubuh, dan makanan (Gibson, 2005). Salah satu fungsi vitamin B12 sebagai
kofaktor untuk L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim ini membutuhkan
adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-
CoA. Reaksi biokimia ini berperan penting dalam produksi energi dari lemak dan
protein. Succinyl-CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan
pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen. Sehingga bila terjadi
terjadi kekurangan vitamin B12 dalam tubuh akan berpengaruh pada pembentukan
hemoglobin (Carmel R 2006; Herbert V 1996; Wardlaw G et al 1992). Penelitian
Kartika V dkk (1998) di Bogor menunjukkan bahwa intervensi melaui pemberian
tablet yang berisi campuran besi, folat dan vitamin B12 paling efektif menurunkan
anemia defisiensi vitamin B12 dibanding tablet besi + vitamin B12 atau besi +
folat.
Daya Ingat
Daya ingat atau ingatan (memory) adalah kemampuan untuk mengingat
kembali suatu pikiran paling tidak sekali dan biasanya berulang-ulang.
Sedangkan belajar adalah kemampuan sistem syaraf untuk menyimpan ingatan.
Menurut Morgan et al (1986), ada tiga jenis pemrosesan informasi, yaitu proses
encoding (pengkodean), proses storage (penyimpanan), dan proses retrival
(mendapatkan kembali). Encoding merupakan proses penerimaan input sensori
dan transformasi input tersebut menjadi format atau kode yang dapat disimpan,
atau disebut juga dengan proses persiapan stimulus untuk dapat disimpan. Dalam
proses persiapan tersebut melibatkan pengorganisasian stimuli dan kemudian
dilanjutkan dengan proses penyimpanan. Penyimpanan merupakan peletakan
informasi yang telah dikode ke dalam memori. Sedangkan retrieval merupakan
proses mendapatkan akses pada informasi yang telah disimpan dan dikode ketika
informasi tersebut diperlukan. Dengan demikian tujuan pengkodean adalah
membuat informasi menjadi siap untuk disimpan dan mempermudah pemanggilan
informasi tersebut bila diperlukan. Kemudahan untuk memanggil kembali
informasi sangat tergantung pada proses encoding (Morgan et al. 1986).
Ada dua kemungkinan level pemrosesan dalam encoding menurut Craik
dan Lockhart (1972), yaitu berdasarkan makna atau semantik dan kedalaman
pemrosesan. Analisis semantik menghasilkan pemrosesan yang lebih bermakna
daripada analisis nonsemantik. Encoding yang lebih mendalam berdampak pada
ingatan yang semakin baik. Dengan demikian proses encoding sangat ditentukan
oleh strategi yang dipilih oleh seseorang dan informasi lain yang menyertai
stimulus. Strategi yang digunakan dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki
seseorang, dan seberapa besar usaha yang dilakukan untuk melakukan proses
pengkodean tersebut.
Suatu sistem pemrosesan informasi dikemukakan oleh Atkinson dan
Shiffrin yang disebut juga dengan “Atkinson and Shiffrin’s Store Model”
(Gambar 6). Di dalam model tersebut dijelaskan bahwa ada tiga bagian sistem
pemrosesan informasi, yaitu sensory register, short-term memory store, dan long-
term memory store yang berperan sebagai hardware dari sistem.
LONG TERM MEMORY STORE Recognition Recall
CONTROL PROCESSES OR MENTAL STRATEGIES Attention
Rehearsal Organization Elaboration Recontruction
SHORT TERM MEMORY STORE
STIMULUS INPUT
RESPONSE OUTPUT
RESPONS
storage
retrieval
R E G I S T E R
SENSOR Y
Gambar 6 Sistem pemrosesan informasi : Atkinson and Shiffrin’s store model (Berk 1989)
Model tersebut menunjukkan adanya control processes yang berperan
sebagai software dari sistem. Control processes merupakan strategi yang
membantu seseorang meningkatkan efisiensi dan kapasitas penyimpanan (Berk
1989). Seperti halnya program komputer, control processes dapat mengarahkan
aktivitas pada setiap tahapan pemrosesan informasi, menjaga agar informasi tetap
berada pada tempatnya yang merupakan bagian sistem memori, dan memastikan
seluruh sistem bekerja secara harmonis. Dengan demikian control processes
membantu manusia untuk mengatasi keterbatasan yang terkait dengan seberapa
banyak informasi yang dapat diproses.
Ada berbagai tingkat daya memori (ingatan) yang diklasifikasi sebagai berikut :
1. Ingatan sensoris
Kemampuan untuk menyimpan sinyal sensoris di dalam daerah sensoris
otak untuk jangka waktu yang sangat singkat setelah pengalaman sensoris yang
sebenarnya. Menurut Seifort KL & Hoffnung RJ (1997) biasanya sinyal ini tetap
tersedia untuk analisa selama beberapa ratus millidetik tetapi digantikan oleh
sinyal sensoris baru dalam waktu kurang dari satu detik, proses ini merupakan
stadium awal proses ingatan.
2. Ingatan jangka pendek (Short term memory)
Ingatan jangka pendek adalah ingatan mengenai beberapa fakta, kata,
bilangan, huruf atau keterangan-keterangan kecil lainnya selama beberapa detik
sampai satu menit atau lebih pada suatu waktu. Menurut Berk (1989) dan Seifort
KL & Hoffnung RJ (1997) pada memori jangka pendek informasi tinggal hanya
beberapa saat mungkin sekitar 20 detik. Salah satu segi terpenting dari ingatan
jangka pendek adalah informasi dalam simpanan ingatan ini segera tersedia
sehingga orang tersebut tidak perlu mencari-cari hal tersebut di dalam ingatannya
seperti yang dilakukan ketika mencari informasi yang telah disimpan di dalam
simpanan ingatan jangka panjang.
Menurut Seifort dan Hoffnung (1997) jenis informasi yang masuk pada
memori jangka pendek biasanya terbatas pada kira-kira tujuh keterangan kecil.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada perbedaan antara anak-anak dan dewasa pada
kemampuan test digit. Pada anak-anak biasanya hanya dapat mengingat tiga digit
sedangkan orang dewasa dapat mengingat sampai tujuh digit.
3. Ingatan jangka panjang (Long term memory)
Ingatan jangka panjang merupakan simpanan informasi di dalam otak yang
dapat diingat kembali pada suatu waktu di masa yang akan datang bermenit-
menit, berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian.
Jenis ingatan ini disebut ingatan pasti (permanen). Ingatan jangka panjang dapat
dibagi dua, yaitu : ingatan sekunder yaitu ingatan jangka panjang yang disimpan
dengan jejak ingatan yang lemah, karena itu mudah untuk dilupakan. Kadang-
kadang sulit untuk diingat kembali; membutuhkan waktu yang relatif lama untuk
mencari informasi tersebut. Ingatan tersier adalah ingatan yang telah sedemikian
melekat di dalam pikiran sehingga ingatan tersebut biasanya dapat bertahan
seumur hidup. Sangat kuatnya jejak ingatan pada jenis ingatan ini membuat
informasi yang disimpan tersedia dalam sekejap mata. Proses ingatan ini
berlangsung dalam otak, dimana otak akan dapat berfungsi secara optimal dengan
adanya suplai glukosa.
Menurut Morgan et al (1986) ingatan sesaat dapat berlangsung selama 20
atau 30 detik. Informasi dalam ingatan sesaat yang tidak mengalami pemrosesan
lebih lanjut akan hilang dalam waktu sekitar 15 detik. Informasi tersebut akan
dipertahankan sedikit lebih lama apabila mengalami pemrosesan secara dangkal.
Namun apabila mengalami pemrosesan yang lebih mendalam, informasi tersebut
akan dipertahankan jauh lebih lama. Selanjutnya dikatakan bahwa informasi yang
megalami pemrosesan lebih mendalam, yakni perhatian yang terfokus pada
informasi tersebut (mungkin melalui pengulangan-pengulangan) atau informasi
dihubungkan dengan informasi lain yang telah tersimpan di memori, maka akan
dimasukkan ke dalam ingatan jangka panjang. Informasi yang sudah ditempatkan
di dalam ingatan jangka panjang biasanya merupakan informasi yang sudah
terorganisasi ke dalam kategori. Informasi tersebut akan bertahan selama
beberapa hari hingga selama hidup.
Pengukuran Daya Ingat Beberapa perbedaan yang terdapat dalam memori tergantung pada bagian
mana dari model pemrosesan informasi yang digunakan. Memori jangka pendek
merupakan suatu ciri dari pemikiran informasi sekeliling dan hanya untuk suatu
periode yang pendek mungkin hanya sekitar 20 detik. Kemampuan memori jangka
pendek pada anak usia sekolah sekolah lebih sedikit dibandingkan dengan orang
dewasa. Berdasarkan tes digit pada usia sekitar 8 tahun biasanya hanya
mengingat 3 digit sedangkan orang dewasa dapat mengingat sampai 7 digit
(Seifort KL & Hoffnung RJ 1997).
Pengukuran ingatan dapat dilakukan dengan dua cara (Seifort KL &
Hoffnung RJ 1997) yaitu mengenali kembali (recognation memory) dan
mengingat kembali (recall memory). Pada recognation memory seseorang hanya
membandingkan stimulus atau isyarat yang diberikan dengan pengalaman atau
pengetahuan yang sebelumnya dia peroleh. Misalnya ketika anak-anak melihat
gambar atau foto-foto saat liburan beberapa bulan yang lalu, mereka akan dapat
menggambarkan kembali hal-hal yang terjadi saat liburan tersebut yang
sebelumnya sudah mereka lupakan. Sedangkan pada recall memory yang terjadi
sebaliknya, seseorang diminta untuk mengingat kembali informasi tanpa
memberikan rangsangan atau isyarat tertentu. Misalnya seseorang diminta untuk
mengingat nomor telepon temannya tanpa melihat nomor tersebut. Recall
umumnya lebih sulit dibandingkan dengan recognation, akan tetapi dalam
perkembangannya menunjukkan pola yang sama yaitu mengalami perubahan
sesuai dengan pertambahan umur.
Alat bantu yang digunakan dalam pengukuran ingatan seseorang dapat
berupa huruf, kata atau gambar. Menurut penelitian Kustiyah (2004) pada anak
sekolah, dalam pengukuran ingatan lebih baik menggunakan gambar
dibandingkan dengan kata. Hal ini terkait dengan sistem pemrosesan informasi
yang lebih mendalam pada gambar dibanding kata. Hal ini didukung oleh Paivio
(1971) yang mengemukakan bahwa stimulan berupa gambar lebih mudah diingat
karena mempunyai kode ganda yaitu kode visual dan verbal. Sedangkan menurut
Nelson (1979) gambar lebih mudah diingat daripada kata-kata karena kode
visualnya superior, dan representasi dari gambar lebih mudah dibedakan daripada
kata-kata. Selanjutnya dikatakan oleh Norman (1976) bahwa stimulan yang
dikenal misalnya berupa gambar yang dibuat berdasarkan kondisi lingkungan
setempat sesuai dengan struktur kognitif, karena stimulan tersebut akan diproses
secara lebih mendalam dan lebih bertahan lama daripada stimulan yang kurang
dikenal oleh contoh.
Hubungan Gizi dengan Daya Ingat
Daya ingat (ingatan) anak merupakan suatu proses yang terjadi di otak
tentunya sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan organ otak dan bagaimana
stimulasi atau rangsangan diberikan agar otak dapat berkembang optimal
menjalankan fungsinya. Keadaan gizi sejak janin dalam kandungan sampai bayi
lahir dan usia dini perlu terus dipertahankan secara optimal sampai anak usia
sekolah, karena akan berpengaruh pada perkembangan otak. Menurut Pollit
(1990) apabila anak lahir dengan berat badan rendah akan mengalami gangguan
fungsi kognitif dan kecerdasan intelektual pada usia sekolah. Kekurangan gizi
pada masa bayi hingga usia 2 tahun dapat mengakibatkan terganggunya
perkembangan mental dan kemampuan motoriknya, bahkan dapat mengakibatkan
cacat permanen.
Gizi yang tidak seimbang, gizi buruk, serta derajat kesehatan anak yang
rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan
menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap, menyimpan,
memproduksi dan merekonstruksi informasi. Selanjutnya dikatakan bahwa
pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara orangtua mengasuh dan
memberi makan serta menstimulasi anak pada usia dini. Namun stimulasi
psikososial untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak tidak akan
bermanfaat bagi masa depan anak jika derajat kesehatan dan gizi anak pada
kondisi yang tidak baik. Keadaan gizi pada usia dini yang terus dipertahankan
secara optimal sampai anak usia sekolah, akan berpengaruh besar pada
perkembangan otak (Jalal F 2003).
Banyak penelitian yang menilai dampak defisiensi gizimikro pada
perkembangan anak merupakan pengaruh langsung, kemungkinan melalui
perubahan anatomi syaraf atau neurotransmission. Namun demikian, ada
kemungkinan lain bahwa perubahan perilaku berhubungan dengan defisiensi
gizimikro disamping perawatan anak, sehingga mempengaruhi perkembangan
anak dimasa selanjutnya (Black 2003). Faktor yang berpengaruh terhadap sintesis
neurotransmitter di dalam syaraf antara lain keberadaan prekursor dan enzim-
enzim. Prekursor tersebut tidak dapat disintesis oleh otak sehingga harus
diperoleh dari sirkulasi darah. Kadar prekursor dalam plasma darah secara
normal berfluktuasi tergantung pada asupan makanan dan daya serap
(bioavailabilitas). Pada kondisi normal, peningkatan konsumsi makanan yang
mengandung prekursor akan menstimulasi pembentukan neurotransmitter.
Namun laju prekursor memasuki otak bervariasi sesuai dengan konsentrasinya
dalam plasma (Kanarek dan Mark-Kaufman 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa
sejumlah vitamin juga mempunyai peranan yang penting dalam mendukung
fungsi syaraf pusat dan perkembangan manusia. Vitamin ini meliputi tiamin,
niasin, piridoksin, cobalamin (vitamin B12), dan asam folat, yang sudah banyak
dibuktikan melalui penelitian terhadap hewan percobaan.
Hubungan antara zat gizi dengan fungsi kognitif merupakan topik
kesehatan masyarakat yang menarik untuk dibicarakan pada saat ini, terutama zat-
zat gizimikro. Vitamin B12, vitamin B6 dan asam folat mempengaruhi fungsi
kognitif terutama melalui perannya sebagai kofaktor dalam pembentukan dan
pemeliharaan sistem syaraf pusat (Bryan J et al 2002) melalui dua proses
mekanisme. Pertama, disebut hipotesis hypomethyllation bahwa vitamin B secara
langsung mempengaruhi penghambatan penyediaan methyl yang diperlukan pada
reaksi-reaksi komponen sistem syaraf pusat seperti protein, pospolipid, DNA;
metabolisme neurotransmitter seperti monoamin (depamin, norepineprin, dan
serotonin), melatonin, yang berperan penting untuk status neurologi dan psikologi.
Kedua, hipotesis homosyistein, bahwa asam folat, vitamin B6 dan vitamin B12
secara tidak langsung dan mungkin dalam waktu yang lama berpengaruh pada
otak melalui cerebrovasculature, dan berfungsi memelihara integritas sistem
syaraf pusat melalui perannya dalam mencegah penyakit vasculer, yang sangat
penting dalam fungsi kognitif.
Beberapa penelitian yang menunjukkan hubungan antara defisiensi
vitamin B12 dengan penurunan fungsi kognitif pada subyek kelompok dewasa
dan usia lanjut telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Bryan J et al (2002) di
Australia menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dari supelemen
vitamin B12, vitamin B6 dan asam folat terhadap kemampuan memori yang
diukur melalui kecepatan pemerosesan, kemampuan mengingat dan mengenal
serta kemampuan verbal. Sedangkan penelitian Lewerin C et al (2005) pada
kelompok lanjut usia di swedia, menunjukkan bahwa plasma homosistein dan
serum Methyl Malonic Acid (MMA) yang tinggi berkorelasi terbalik dengan
kemampuan kognitif dan kemampuan bergerak. Pemberian vitamin B12 secara
oral dapat menormalkan kadar plasma homosistein dan serum MMA, walaupun
tidak berpengaruh pada kemampuan kognitif dan kemampuan bergerak. Hal ini
kemungkinan disebabkan penurunan fungsi kognitif saat kekurangan vitamin
tidak dapat dikembalikan (irreversible) atau mungkin dosis dan lama pemberian
yang kurang tepat. Penelitian lain oleh Ellen MW et al (2002) dari pusat
penelitian kedokteran University of Pittsburgh, mengemukakan bahwa subyek
dengan level vitamin B12 yang rendah secara signifikan mempunyai skor kognitif
yang lebih rendah dan skor demensia yang lebih tinggi dibandingkan subyek yang
mempunyai level vitamin B12 normal.
Selain berkaitan dengan defisiensi vitamin B12, penurunan fungsi kognitf
sering juga dihubungkan dengan zat gizi lain seperti asam folat yang merupakan
komponen penting dalam pembentukan hemoglobin disamping zat gizi lain.
Quadri P et al (2004) mengemukakan bahwa defisiensi folat dapat mendahului
terjadinya Alzheimer Disease (AD) dan Vascular Dementia (VaD).
Hiperhomosisteinemia atau tingginya kadar homosistein dalam darah juga
merupakan faktor risiko awal terjadinya penurunan kognitif pada lanjut usia,
walaupun perannya dalam demensia masih belum jelas sehingga masih diperlukan
studi longitudinal. Morris MS et al (2007) dalam penelitiannya pada kelompok
usia lanjut di Amerika menemukan bahwa status vitamin B12 yang rendah
berhubungan dengan anemia dan penurunan fungsi kognitif walaupun serum folat
tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa bila status vitamin B12 normal dan
konsentrasi folat tetap tinggi akan dapat mencegah penurunan fungsi kognitif. Hal
ini menunjukkan vitamin B12 berkaitan dengan fungsi kognitif. Hasil penelitian
Mooijaart SP et al (2005) menunjukkan peningkatan serum homosistein dan
penurunan asam folat dihubungkan dengan penurunan kognitif pada lanjut usia,
tetapi tidak dapat diprediksi besarnya penurunan kognitif tersebut. Namun
demikian penelitian lain oleh Eussen SJ et al (2006) menemukan bahwa
suplementasi oral dengan vitamin B12 atau dikombinasi dengan asam folat selama
24 minggu pada lanjut usia tidak dapat memperbaiki fungsi kognitif. Hal ini
menunjukkan bahwa penurunan fungsi kognitif sulit dikembalikan menjadi
kondisi normal, sehingga yang paling baik dilakukan adalah pencegahan agar
tidak terjadi penurunan fungsi kognitif.
Hubungan antara defisiensi vitamin B12 dengan fungsi kognitif pada
anak-anak juga menjadi topik bahasan yang cukup menarik walaupun masih
terbatas. Studi kasus anemia bayi dan ibu ( yang tidak mampu menyerap vitamin
B12) atau ibu vegetarian. Bayinya akan berisiko untuk terhambatnya
perkembangan – milestones. Studi observasi anak-anak yang defisiensi vitamin
B12 dari ibu yang hanya mengkonsumsi pangan nabati di Belanda mengalami
hambatan perkembangan motorik dan bahasa dibandingkan dengan bayi dari ibu
yang mengkonsumsi pangan nabati dan hewani. Pada usia 12 tahun, anak-anak
dari ibu yang makan pangan nabati mempunyai tingkat ‘methilmalonic acid’ lebih
tinggi dan skor yang lebih rendah pada penilaian kognitif (termasuk Raven’s
progressive matrices, Digit Span dan Block Design) dibandingkan anak-anak dari
ibu yang mengkonsumsi pangan nabati dan hewani (Black 2003).
Penelitian Kustiyah (2004) terhadap murid sekolah dasar kelas empat, lima
dan enam di kabupaten Bogor, tentang pengaruh pemberian makanan kudapan
terhadap perubahan kadar glukosa darah, hemoglobin dan daya ingat anak. Daya
ingat anak diukur dengan metode mengingat kata dan gambar. Dari penelitian
tersebut diperoleh hasil bahwa pemberian makanan kudapan berpengaruh positif
nyata terhadap kadar glukosa darah. Sedangkan konsumsi protein dan zat besi
berpengaruh positif terhadap kadar hemoglobin. Dengan mengontrol variabel
konsumsi karbohidrat, konsumsi protein dan kadar hemoglobin, kadar glukosa
darah berpengaruh positif sangat nyata terhadap daya ingat anak terhadap
gambar. Sedangkan daya ingat terhadap kata dipengaruhi secara nyata oleh kadar
hemoglobin dan konsumsi energi.
Sungtthong R et al (2002) dalam studinya pada anak-anak sekolah di
Thailand menemukan bahwa terjadi peningkatan fungsi kognitif sejalan dengan
meningkatnya kadar hemoglobin pada anak yang mengalami defisiensi besi, akan
tetapi tidak terjadi perubahan kadar hemoglobin pada anak-anak yang mempunyai
serum ferritin normal. Anak-anak dengan anemia defisiensi besi mempunyai
fungsi kognitif yang rendah (IQ point dibawah rata-rata), sedangkan anak-anak
yang tidak mengalami defisiensi besi dan kadar hemoglobinnya normal
mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik (IQ point diatas rata-rata).
Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, berikut ini pada Tabel 5 dapat
dilihat beberapa penelitian yang berkaitan dengan vitamin B12 dengan berbagai
disain dan subyek penelitian.
Tabel 5 Beberapa hasil studi tentang defisiensi vitamin B12 dengan berbagai disain penelitian
No Sumber Tempat/ negara
Disain, subyek Intervensi Hasil/kesimpulan
1 Eussen SJ et al 2006
Belanda Double blind placebo controlled trial, 195 orang usia lanjut (≥ 70 tahun)
Suplemen kapsul - 1000 μg vitamin
B12 - 1000 μg vitamin
B12 + 400 μg asam folat
- selama 24 minggu
- Suplemen vitamin B12 atau kombinasi dengan asam folat dapat memperbaiki status defisiensi vitamin B12 tetapi tidak memperbaiki fungsi kognitif
2 Hin H et al 2006
Inggris Cross sectional study dilanjutkan intervensi 3 bulan, 1000 orang usia lanjut (≥ 75 tahun)
Khusus yang mempunyai serum vitamin B12 < 133 pmol/L diberi suplemen 1000 μg intramuscular/ bulan selama 3 bulan
- 13 persen partisipan menpunyai kadar vitamin B12 rendah
- Intervensi 3 bulan dapat memperbiki status biokimia vitamin B12 namun tidak memperbaiki kondisi klinis
3 Eussen
SJ et al 2005
Belanda Randimized parallel group double blind dose finding trial, 120 orang usia lanjut
Suplemen vitamin B12 secra oral, dosis 2.5, 100, 250, 500, 1000 μg selama 16 minggu
- Dosis yang paling rendah dapat menormalkan kondisi defisiensi vitamin B12 ringan
4 Dhonukshe-Rutten RAM et al 2005
Belanda Two double blind randomized controlled intervention study, usia lanjut yang defisiensi vitamin B12 ringan (≥ 70 tahun)
- Susu fortifikasi vit B12 1000 μg/125 ml /hari
- Kapsul vitamin B12 1000 μg/hr
- Selama 12 minggu
- Pemberian vitamin B12 melalui susu merupakan alternatif yang efektif pengganti kapsul untuk memperbaiki status vitamin B12
5 Tucker KL et al 2004
Amerika Serikat
Randomized double blind trial 189 orang usia 50-85 tahun
Intervensi 1 cangkir sarapan sereal yang difortifikasi dengan 440 μgasam folat, 1.8 mg vitamin B6 dan 4.8 μg vitamin B12 selama 14 minggu
- Proporsi defisisensi vitamin B12 turun dari 9 % menjadi 3 %
- Rata-rata vitamin B12 plasma meningkat 401±13 menjadi 480±18 pg/mL
6 Siekmann JH et al 2003
Kenya Eksperimen: studi efek pangan hewani secara random menurut sekolah, 555 anak sekolah (5-14 tahun)
Makanan tambahan - daging sapi 60-85 g/hr - susu 200-250 ml/hr - Suplemen energi - selama 1 tahun
- Pemberian daging dan susu selama 1 tahun dapat menurunkan prevalensi defisiensi vitamin B12
7 Lewerin C et al
Swedia Placebo-controlled
Kapsul berisi 0.5 μg vitamn B12 +
- 64 % mempunyai total homocyctei
2000 randomized study
0.8 μg asam folat + 3 mg vitamin B6 Diberikan selama 4 bulan
yang tinggi dan 11 % mempunyai konsentrasi MMA yang tinggi
- Pemberian vitamin B dapat menormalkan kadar homocyctein dan MMA namun tidak mempebaiki fungsi kognitif
8 Rustan
E dkk 2001
Indonesia Randomised clinical trial with double blinded placebo controlled study 74 ibu hamil anemia
Suplemen kapsul 200 mg ferrosus sulfat dan 0.25 mg asam folat
- Kadar homosistein awal penelitian tidak menunjukkan indikasi defisiensi folat dan vitamin B12
- Dosis 250 mg folat optimal untuk menurunkan kadar homosistein plasma
9 Kartika V dkk 1998
Indonesia Eksperimental study 155 WUS yang anemia
suplementasi pil besi + folat + vitamin B12
- Intervensi pil besi + asam folat + vit B12 paling baik untuk menurunkan anemia sekalipun pola konsumsi yang rendah
- Alternatif lain adalah pil besi + vitamin B12.
10 Clarke
R et al 2007
Inggris Cohort study 1993-2003, 1648 orang
- status vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan penurunan kognitif
11 Hoey L
et al 2007
Inggris Cross sectional study, 662 orang dewasa
- Fortifikasi pangan secara sukarela berhubungan dengan peningkatan intik pangan dan status biomarker folat serta metabolisme vitamin B12 dan menguntungkan bagi kesehatan
12 Morris MS et al 2007
Boston Amerika
Cross sectional study, 1458 orang umur ≥ 65 tahun
- Status vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan anemia dan penurunan fungsi kognitif walaupun serum folat tinggi
- Bila status vitamin B12 normal dan folat tinggi akan dapat mencegah
penurunan fungsi kognitif
13 Bor MV
et al 2006
Denmark Cross sectional study Wanita postmenopause (41-75 tahun)
- Intik 6 μg perlu untuk memperbaiki semua ukuran variabel vitamin B12 pada wanita postmenopause
14 Clarke R et al 2004
Inggris Cross sectional study, 3511 orang usia lanjut ≥ 65 tahun
- prevalensi defisiensi vitamin B12 meningkat dengan bertambahnya umur
- defisiensi vitamin B12 ditemukan pada 1 dari 20 orang yang berumur 65-74 tahun dan 1 dari 10 orang yang berumur ≥75 tahun
15 Quadri
P et al 2004
Itali Cross sectional study 228 usia lanjut
- konsentrasi folat yang rendah berhubungan dengan gangguan kognitif
- Hcy yang tinggi merupakan risiko awal terjadinya gangguan kognitif
- 16 Rogers
LM et al 2003
Guatemala
Cross sectional study, 553 anak sekolah (8-12 tahun)
- 33 persen defisiensi vitamin B12 (11 % vitamin B12 plasma rendah dan 22 % vitamin B12 plasma marjinal)
17 Clarke R et al 2003
Inggris Cross sectional study 1562 orang usia lanjut ≥ 65 tahun
- Prevalensi defisiensi vitamin B12 10 % pada usia 65-74 tahun dan 20 % pada usia ≥ 75 tahun
18 Monsen
AB et al 2003
Norwegia Cross sectional study 700 anak umur 4 hari – 19 tahun
- Pada bayi umur 6 minggu - 6 bulan konsentrasi Hcy dan MMA lebih tinggi dari kelompok umur lain
19 Hao Ling et al 2003
China Cross sectional study 2407 orang dewasa (35-64 tahun)
- Prevalensi defisiensi vitamin B12 11 % di China selatan dan 39 % di China Utara
- Defisiensi vitamin B12 dan folat 17 %
di China utara dan 1 % di China selatan
- prevalensi vitamin B12 lebih tinggi pada wanita dibanding pria
- defisiensi vitamin B12 berhubungan dengan intik pangan hewani yang rendah terutama ikan dan produk susu
20 Kwan
LL et al 2002
Amerika Serikat
Cross sectional study 449 orang Hispanic dan 154 orang nonHispanic umur 60-93 tahun
- Prevalensi defisiensi vitamin B12 17 % pada Hispanic dan 10 % pada nonHispanic
- Prevalensi yang tinggi pada usia lanjut Hispanic berhubungan dengan ketidakcukupan intik vitamin B12
21 Sungtth
ong R et al 2002
Thailand Cross sectional study 427 anak sekolah
- Fungsi kognitif meningkat dengan meningkatnya kadar Hb pada anak-anak yang defisiensi besi
22 Shibly
UF 1999
Indonesia Cross sectional study 70 orang penderita PJK 36 orang nonpenderita PJK
- Defisiensi vitamin B12 masing-masing 30 % pada penderita PJK dan nonpenderita PJK
23 Tucker KL et al 2000
Amerika Serikat
Cross sectional study 2999 orang dewasa umur ≥ 26 tahun
- 39 % plasma vitamin B12 < 350 pg/mL 17 % plasma vitamin B12 < 250 pg/mL 9 % plasma vitamin B12 < 200 pg.mL
- Plasma vitamin B12 berhubungan dengan intik vitamin B12
- Penggunaan suplemen, sereal fortifikasi dan susu dapat mencegah penurunan konsentrasi vitamin B12
24 Martoat
modjo S dkk 1973
Indonesia Cross sectinal study - 217 wanita
hamil triwulan II dan III
- Kekurangan vitamin B12 pada wanita hamil di Jawa barat 28 % dan 7 % di Jawa tengah
KERANGKA BERPIKIR
Daya ingat merupakan salah satu tahapan dari pemrosesan informasi, yang
secara fisiologis terjadi dalam otak. Oleh karena itu sangat erat kaitannya dengan
keberadaan sistem syaraf. Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan
kerusakan sistem syaraf pusat, yang meliputi pembentukan myelin yang tidak
sempurna mulai dari sistem syaraf peripheral dan akhirnya pada sistem syaraf
pusat. Selain itu kemampuan ingatan seseorang juga dipengaruhi oleh kadar
hemoglobin yang berperan sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh
termasuk otak (Dhopeshwarkar 1983).
Vitamin B12 berperan sebagai koenzim dalam pembentukan methyonine
dari homocysteine oleh enzim methionin shynthase. Proses ini memerlukan
ketersediaan kelompok methyl dari N3-methyl-tetrahydrofolate dan
methylcobalamin sebagai koenzim (Sauberlich HE 1999). Untuk pembentukan
hemoglobin dibutuhkan ketersediaan beberapa zat gizi seperti besi, asam folat,
vitamin B12 dan protein. Disamping itu keberadaan vitamin A dan vitamin C
juga berperan membantu penyerapan dan penyimpanan zat besi dalam tubuh.
Vitamin B12 dari makanan atau yang diperoleh dari suplemen berpengaruh pada
vitamin B12 serum yang tergantung pada jumlah vitamin B12 dalam pangan dan
bioavailabilitasnya serta ketersediaan zat gizi pendukung penyerapan seperti
kalsium dan protein. Selain itu keberadaan vitamin B12 dalam serum juga
dipengaruhi oleh cadangan dalam tubuh, dan ada tidaknya penyakit infeksi yang
dapat mengganggu proses penyerapan. Atrophic gastritis juga dapat
menyebabkan defisiensi vitamin B12 akibat kemampuan se-sel parietal berkurang
untuk menghasilkan intrinsic factor. Kemampuan sel parietal ini menurun sesuai
dengan bertambahnya usia (FAO/WHO 2001).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap kemampuan mengingat adalah
status gizi dan kesehatan anak. Hal ini terkait dengan kemampuan otak secara
khusus dalam menerima dan mengungkapkan kembali informasi yang diterima.
Keadaan gizi kurang atau sedang sakit dapat mengganggu konsentrasi dan
perhatian anak. Selain itu pemrosesan informasi seseorang dipengaruhi oleh faktor
genetik dan stimulasi yang diberikan pada tahap perkembangan termasuk melalui
proses pengasuhan anak di sekolah maupun di rumah. Dalam penelitian ini
beberapa faktor yang tidak diteliti meliputi cadangan dalam tubuh, penyakit
infeksi selama pemberian suplemen, faktor genetik dan stimulasi diasumsikan
tidak berbeda pada subyek penelitian sehingga tidak mengganggu pemberian
suplemen vitamin B12.
Kerangka operasional studi pengaruh suplementasi vitamin B12 terhadap
status vitamin B12, kadar hemoglobin dan daya ingat anak prasekolah disajikan
secara skematis pada Gambar 7.
Myelin Syaraf
Suplemen Vit B12
Asam Folat Zat Besi Protein
Vit A, Vit C
Status Gizi, & Kesehatan Daya Ingat
Genetik
Cadangan Vit B12 dalam Tubuh
Vit B12 Serum Infeksi
Hemoglobin
Lemak Protein
Stimulasi
Vit B12, Protein Kalsium
Konsumsi Pangan
Tidak diteliti
Gambar 7 Kerangka pemikiran studi pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap status vitamin B12, hemoglobin dan daya ingat anak
Definisi Operasional : Anak prasekolah adalah anak yang berumur antara 4 – 6 tahun (pada awal
penelitian sudah ulang tahun ke 4 dan belum ulang tahun ke
6), dan belum sekolah di sekolah dasar (SD).
Daya ingat adalah kemampuan anak menerima dan mengungkapkan kembali
informasi yang diberikan (dalam penelitian ini berupa
gambar) dan setiap gambar yang diingat diberi skor.
Serum vitamin B12 adalah kadar vitamin B12 dalam darah (pg/mL) yang diukur
dengan indikator kadar vitamin B12 serum dengan metode
AxSYM system.
Status vitamin B12 adalah gambaran keadaan vitamin B12 dalam tubuh
berdasarkan serum vitamin B12 yang dikategorikan menjadi
normal bila konsentrasi serum vitamin B12 ≥ 300 pg/ml dan
defisiensi bila konsentrasi vitamin B12 serum< 300 pg/ml.
Kadar Hb adalah kandungan hemoglobin dalam darah yang diukur dengan metode
cyanmethemoglobyn.
Anemia adalah keadaan anak dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah di
bawah batas normal anak usia prasekolah (< 11 g/dl).
Suplemen vitamin B12 : adalah sirup B12 dengan konsentrasi dosis 10 microgram
dalam 2,5 ml diberikan pada anak setiap hari.
Sirup plasebo adalah sirup yang dibuat dengan bahan dasar sama dengan
suplemen sirup vitamin B12 namun tidak mengandung
vitamin B12.
Konsumsi pangan adalah rata-rata konsumsi setiap jenis pangan yang dinyatakan
dalam satuan berat (gram) per hari, yang diperoleh dari hasil
wawancara semi quantitative food frequency questionare
(semi FFQ).
Asupan gizi adalah rata-rata asupan atau intik energi dan beberapa zat gizi
(karbohidrat, lemak,protein, vitamin A, vitamin B12, vitamin
C, asam folat, vitamin B12, Kalsium dan Pospor) yang
dinyatakan dalam satuan masing-masing zat gizi per hari,
diperoleh dari perhitungan kandungan gizi pangan hasil
wawancara konsumsi metode recall 24 jam dan semi FFQ.
Status gizi adalah keadaan gizi anak yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan
dan penggunaan zat gizi, yang diukur secara antropometri
dengan indeks BB/U dan TB/U.
Skor morbiditas adalah jumlah skor penyakit, diukur dengan menjumlahkan skor
setiap penyakit berdasarkan jenis penyakit, diperoleh dari
hasil wawancara dan pemeriksaan kesehatan oleh dokter.
Pendapatan perkapita adalah semua hasil yang diterima seluruh anggota keluarga
dari hasil bekerja dibagi jumlah anggota keluarga, yang
dinyatakan dalam rupiah perkapita per bulan.
Pengeluaran pangan adalah jumlah uang yang dikeluarkan oleh keluarga untuk
membeli pangan, dinyatakan dalam persentase pengeluaran
pangan dengan membagi pengeluaran dengan pendapatan
dikali 100 persen.
METODE
Disain, Lokasi dan Waktu
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan disain
“Randomize Community Control Trial” yaitu studi yang menggunakan prosedur
acak untuk mengalokasikan contoh pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol (Bisma Murti 2003). Subyek penelitian adalah anak usia prasekolah (4-6
tahun) yang diberi suplemen vitamin B12 sebagai kelompok intervensi dan yang
diberi plasebo sebagai kelompok kontrol.
Penelitian dilakukan pada anak prasekolah di Taman Kanak-kanak (TK)
Al-Zahra Desa Ciherang Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor. Lokasi dipilih
secara pusposif berdasarkan pertimbangan bahwa anak-anak di TK tersebut
umumnya berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi menengah ke bawah.
Keadaan tersebut diperoleh dari hasil observasi terhadap gambaran umum kondisi
keluarga anak di TK Al-Zahra. Dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke
bawah kemungkinan konsumsi pangan hewani sebagai sumber vitamin B12 akan
rendah.
Penelitian dilakukan selama 12 bulan mulai bulan Juli 2006 sampai bulan
Juni 2007 mulai dari pengurusan ijin penelitian, persiapan bahan intervensi
(suplemen berupa sirup), ethical clerance, persiapan contoh, uji coba kuesioner
dan pemberian sirup vitamin B12 selama 6 bulan (24 minggu). Ethical clerance
dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta (Lampiran 1). Tahapan dan waktu
yang diperlukan untuk setiap kegiatan penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Persiapan bahan intervensi dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan
dosis dan bentuk yang akan diberikan. Peneliti bersama pembimbing menetapkan
dosis vitamin B12 yang akan diberikan berdasarkan pertimbangan kecukupan
sesuai umur dan bioavailabilitas vitamin B12 pada pemberian secara oral menurut
Carmel R (2006) sebagaimana dijelaskan pada Tabel 1, sehingga ditetapkan dosis
sebesar 10 μg/hari dalam bentuk sirup. Pemilihan suplemen dalam bentuk sirup
dengan pertimbangan bahwa untuk anak-anak lebih mudah diberikan
dibandingkan dengan bentuk lain seperti tablet atau kapsul, dan rasa yang dipilih
adalah rasa strowberi yang umumnya disukai anak-anak. Pembuatan sirup sampai
pengemasan dalam botol berisi 90 ml dibantu oleh PT Kalbe Farma di Cikarang
Bekasi.
Tabel 6 Tahapan dan waktu kegiatan penelitian
Bulan ke No Jenis kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Ijin lokasi 2 Ethical clearance 3 Pembuatan suplemen Inform concent 4 Ujicoba kuesioner dan
alat ukur daya ingat
5 Pengumpulan data awal - Pemeriksaan kesehatan - Pengambilan darah - Pengukuran BB dan TB - Pengumpulan data
konsumsi pangan
6 Pemberian intervensi setiap hari
7 Pemantauan BB dan TB setiap bulan
8 Pengumpulan data akhir - Pemeriksaan kesehatan - Pengambilan darah - Pengukuran BB dan TB - Pengumpulan data
konsumsi pangan
Sosialisasi penelitian terhadap contoh diawali dengan melakukan
pertemuan dengan orang tua (umumnya diwakili ibu atau nenek). Dalam
pertemuan dengan orang tua dijelaskan tujuan kegiatan yang akan melibatkan
anak-anak selama 6 bulan meliputi kesediaan anak untuk meminum sirup setiap
hari dan akan diperiksa kesehatannya termasuk pengambilan darah sebelum dan
sesudah mengikuti kegiatan selama 6 bulan. Selanjutnya bila orang tua menyetujui
dilakukan penandatanganan inform concent (Lampiran 2).
Tahap selanjutnya pengumpulan data awal (base line data) dilakukan
wawancara dengan ibu atau nenek atau pengasuh anak untuk kebiasaan makan
dan konsumsi pangan. Pemeriksaan kesehatan anak sekaligus pengambilan darah
dilakukan pada tanggal 14 Desember 2006 bertempat di Taman kanak-kanak Al-
Zahra. Setelah pemberian intervensi suplemen vitamin B12 selama 6 bulan (24
minggu) dilakukan pengumpulan data akhir (endline) meliputi konsumsi makan
anak, pemeriksaan kesehatan serta pengambilan darah. Pemeriksaan kesehatan
dan pengambilan darah dilakukan pada tanggal 14 Juni 2007.
Contoh dan Tehnik Penarikan Contoh Populasi adalah seluruh anak usia 4-6 tahun di Taman kanak-kanak Al-
Zahra Desa Ciherang Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor. Berdasarkan data
TK Al-Zahra jumlah murid pada bulan Desember 2006 sebanyak 40 orang.
Contoh merupakan bagian dari populasi, ukuran contoh ditentukan berdasarkan
hasil penelitian terhadap anak sekolah di Kenya (Siekmann JH et al. 2003). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa perubahan plasma Vitamin B12 sebesar
89 ± 96 pg/mL pada kelompok intervensi dan -18 ± 88 pg/mL pada kelompok
kontrol. Dengan taraf nyata (α) = 0,05 (zα = 1.96) dan kekuatan uji (1-β) = 80 %
(z β = 0.84) maka ukuran contoh ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut
(WHO 1995) :
n = {(zα+z β)2 (σ1 2+ σ2 2)} / (d)2
Keterangan :
n = ukuran contoh
zα = sebaran normal pada taraf nyata 0,05 (selang kepercayaan 95 %) = 1,96
z β = sebaran normal dengan kekuatan uji 80 % = 0,84
σ1 = standar deviasi kadar vitamin B12 kelompok intervensi = 96 pg/mL
σ2 = standar deviasi kadar vitamin B12 kelompok kontrol = 88 pg/mL
d = perbedaan rata-rata kadar vitamin B12, sebesar 107 pg/mL
Sehingga jumah contoh minimal yang diperlukan adalah :
n = {(1,96 + 0,84)2(962 + 882)} /(107)2
= 7,84 x (9216+7744)/11449
= 7,84 x 16960 / 11449
= 12
Dengan memperkirakan contoh drop out 20 % maka jumlah contoh
ditambah 4 orang untuk setiap kelompok menjadi 16 orang dan jumlah contoh
seluruhnya (2 kelompok) adalah 32 orang. Langkah-langkah penarikan contoh
dapat dilihat pada Gambar 8.
Kelompok I / intervensi
(mendapat sirup vit B12) (16 anak)
Kelompok II / kontrol
(Mendapat sirup plasebo) (16 anak)
Randomisasi
Taman Kanak-kanak Al-Zahra Desa
Ciherang Kecamatan Darmaga Bogor
Daftar anak usia 4-6 thn di TK Azzahra
(40 orang)
32 anak terpilih
Persyaratan: • Anak tdk sakit • Status gizi normal dan atau
kurang • Bersedia ikut sebagai suby
penelitian (orangtua menandatangani inform concent)
• Bersedia minum sirup selama ikut program
ek
Pertimbangan - Ada Kelompok
bermain anak - Sosek orang tua
menengah ke bawah - Jumlah anak usia 4-6
cukup untuk contoh yang diperlukan
Gambar 8 Langkah-langkah penentuan contoh
Pelaksanaan Intervensi
Anak prasekolah di TK Al-Zahra yang terpilih sebagai contoh dibagi
menjadi 2 kelompok secara random. Kelompok I (intervensi) diberikan intervensi
berupa suplemen sirup vitamin B12. Sedangkan kelompok II (kontrol) diberikan
sirup plasebo (sirup dengan bahan dasar sama dengan sirup vitamin B12 yaitu
sirup glukosa hanya tidak mengandung vitamin B12). Formula sirup vitamin B12
dan plasebo dirancang peneliti bersama pembimbing dengan mempertimbangkan
faktor kecukupan dan bioavailabilitas vitamin B12, kemudian dibuat dan dikemas
atas bantuan PT. Kalbe Farma Cikarang Indonesia. Rata-rata kebutuhan sehari
untuk anak usia prasekolah (4-6 tahun) sebesar 1.2 μg/hari (Setiawan B &
Rahayuningsih S 2004), sedangkan bioavailabilitas vitamin B12 tergantung pada
berapa banyak vitamin B12 yang dipisahkan dari pangan oleh pepsin dan enzim
lambung lainnya, serta kemampuan intrinsic faktor (IF) sebagai penghubung
dalam sistem penyerapan. Menurut Carmel R (2006) sebagaimana dijelaskan
pada Tabel 1 bahwa jumlah optimum suplemen vitamin B12 yang diberikan
secara oral dapat diserap melalui ikatan intrinsic factor (penyerapan secara normal
1.4-1.6 μg) dengan dosis 5-10 μg/hari. Dengan mempertimbangkan faktor
kebutuhan anak usia 4-6 tahun (1.2 μg/hari) dan faktor bioavailabilitas suplemen
maka peneliti beserta pembimbing menetapkan dosis vitamin B12 yang diberikan
sebesar 10 μg/hari dalam 2.5 ml sirup (diberikan satu kali sehari sebanyak 2.5 ml).
Sirup dikemas dalam botol berwarna gelap (coklat) berisi 90 ml.
Pemberian sirup kepada anak dilakukan setiap hari selama 6 bulan (24
minggu) atau 7 hari dalam seminggu Setiap minggu diberikan 5 hari di sekolah
(Senin sampai Jumat) oleh peneliti dan 2 hari di rumah (Sabtu dan Minggu)
dititipkan peneliti pada ibu. Selama pemberian intervensi berlangsung stok
suplemen disimpan oleh peneliti di dalam lemari es dan dikeluarkan sesuai
kebutuhan. Sirup yang diberikan di sekolah disimpan di sekolah dan ditambah bila
habis, sedangkan untuk yang diberikan di rumah diberikan pada ibu atau nenek
(yang mengasuh anak) dan disimpan di rumah. Pada waktu memberikan sirup
pada ibu peneliti menjelaskan bahwa sirup harus disimpan di tempat yang tidak
terkena sinar atau panas dan lebih baik disimpan di lemari es bila ada.. Untuk
memudahkan pemberian dan pengontrolan setiap anak disiapkan satu botol sirup
dengan memberi label nama pada setiap botol dan satu sendok takar ukuran 2.5
ml, satu botol untuk diberikan di sekolah dan satu botol untuk di rumah. Dengan
isi 90 ml per botol diperkirakan satu botol sirup cukup untuk 36 kali pemberian.
Bila sirup yang sudah habis peneliti kembali menyiapkan sirup yang sudah diberi
label nama anak, baik yang di sekolah maupun yang di rumah. Untuk menjaga
kesinambungan pemberian sirup di rumah, peneliti selalu mengingatkan anak
pada hari Jumat agar pada hari Sabtu dan Minggu anak minum sirup yang telah
disediakan di rumah. Selain itu setiap 2 minggu peneliti mendatangi responden di
rumah secara acak untuk mengetahui dan sekaligus mengingatkan pemberian
sirup di rumah.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
sekunder. Data sekunder diperlukan dalam tahapan penentuan contoh, yang
meliputi data Taman Kanak-kanak dengan kondisi sosial ekonomi orang tua
menengah ke bawah dan jumlah anak di TK agar dapat memenuhi jumlah contoh
yang diperlukan.
Data primer terdiri dari data karakteristik sosial ekonomi orang tua (umur,
pendapatan, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran pangan dan nonpangan),
kebiasaan makan anak, konsumsi pangan dan gizi, berat badan dan tinggi badan
anak, kadar serum vitamin B12 anak, kadar hemoglobin (Hb), dan daya ingat
anak. Data sosial ekonomi orang tua diperoleh melalui wawancara langsung
dengan orang tua dan anak, menggunakan kuesioner. Kebiasaan makan anak
meliputi jenis pangan dan frekuaensi konsumsi setiap jenis pangan dan perkiraan
jumlah pangan yang dikonsumsi, diperoleh dengan metode semi quantitative food
frequency questionaire (semi FFQ) selama seminggu, diukur dua kali pada awal
dan akhir intervensi. Untuk mengetahui jumlah dan jenis pangan yang benar-
benar dikonsumsi anak dilakukan juga metode recall 24 jam, dan diukur 2 kali
pada awal dan akhir intervensi. Berat badan diukur dengan timbangan injak
dengan ketelitian 0,1 kg. Tinggi badan diukur dengan microtoise dengan ketelitian
0,1 cm. Berat badan dan tinggi badan diukur pada awal sebelum pemberian
intervensi dan setiap bulan selama 6 bulan intervensi sehingga data berat badan
dan tinggi badan diukur 7 kali.
Data tentang jenis penyakit diperoleh dari pemeriksaan dokter pada waktu
awal dan akhir intervensi. Setiap jenis penyakit diberi skor berdasarkan risiko
penyakit terhadap kesehatan anak yang disebut dengan skor kesakitan atau skor
morbiditas. Pemberian skor didasarkan pada diskusi peneliti dengan dokter yang
memeriksa kesehatan contoh. Pemeriksaan dokter ini sekaligus bertujuan untuk
menentukan apakah contoh terpilih bebas dari penyakit kronis sehingga contoh
layak untuk mengikuti program intervensi mulai dari pengambilan darah dan
menerima suplemen vitamin B12 selama 6 bulan (24 minggu).
Serum vitamin B12 anak ditentukan dengan mengukur kadar vitamin B12
dalam serum dengan metode AxSYM yang dikembangkan oleh Abbott
Laboratories (2005) juga dilakukan dua kali sebelum dan sesudah intervensi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol (metode dan prosedur analisis pada
Lampiran 3). Sedangkan kadar hemoglobin darah diukur dengan metode
‘cyanmethemoglobin’ dan diukur dua kali pada awal dan akhir intervensi.
Daya ingat anak diukur dengan metode ‘mengingat gambar’ dengan
menyebutkan obyek gambar apa saja yang dilihat anak pada gambar yang
ditunjukkan selama 0.5 menit. Kemudian gambar ditutup dan anak langsung
disuruh untuk menyebutkan obyek gambar apa saja yang baru diperlihatkan .
Setiap obyek gambar yang dapat disebutkan anak dicatat dan diberi skor.
Pemberian skor dirancang peneliti dengan pembimbing berdasarkan besar
kecilnya gambar, dengan asumsi bahwa ukuran obyek dalam gambar berpengaruh
pada kemudahan anak untuk melihat dan mengingat gambar. Sebelum penentuan
gambar yang akan digunakan dalam penilaian daya ingat, sebagai upaya validasi
terhadap kebenaran hasil tes terlebih dahulu dilakukan uji tentang pemahaman
anak terhadap beberapa obyek gambar. Gambar terdiri dari beberapa obyek yang
biasanya ditemukan di lingkungan rumah atau sekolah dan ditunjukkan satu
persatu kemudian anak diminta untuk menyebut nama gambar yang sedang
ditunjukkan. Dari hasil tes terhadap kemampuan mengenal obyek gambar semua
anak dapat mengenal gambar dan menyebutnya dengan sebutan yang sama,
misalnya untuk gambar bola semua anak yang ditanya menyebutnya bola,
demikian juga untuk gambar yang lain. Selanjutnya dirancang suatu gambar
berupa gambaran lingkungan rumah dengan berbagai obyek (Lampiran 4).
Pengumpulan data daya ingat terhadap gambar dilakukan dua kali yaitu awal dan
akhir intervensi pada semua contoh kelompok intervensi maupun kelompok
kontrol.
Untuk lebih jelas aspek yang diteliti beserta peubah dan cara
pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Aspek, peubah dan cara pengukuran
Aspek Peubah Cara pengumpulan
Karakteristik keluarga
Umur ayah/ibu, umur anak, pendidikan ayah/ibu, pekerjaan ayah/ibu, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, pengeluaran pangan keluarga
Wawancara dengan ibu atau ayah, menggunakan kuesioner
Kebiasaan makan anak
Kebiasaan konsumsi pangan
Wawancara tentang jenis, frekuensi dan perkiraan jumlah pangan yang dimakan anak dengan metode semi quantitative Food Frequency Questionaire (semi FFQ) selama seminggu
Konsumsi pangan dan gizi
Konsumsi pangan Diperoleh dari hasil wawancara dengan ibu atau pengasuh anak, dengan metode recall 24 jam dilakukan 2 kali pada awal dan akhir intervensi
Keadaan kesehatan
Pemeriksaan kesehatan oleh dokter, dilakukan 2 kali pada awal dan akhir intervensi
Kesehatan anak dan Biokimia darah
Serum vitamin B12
Kadar vitamin B12 serum ditentukan dengan AxSYM system (Abbott Laboratories USA 2005) Pengukuran dilakukan 2 kali pada awal dan akhir intervensi
Kadar Hemoglobin (Hb)
Kadar Hb diukur dengan metode “cyanmethemoglobyn” juga diukur 2 kali pada awal dan akhir intervensi
Kognitif Daya Ingat
Daya ingat diukur dengan metode mengingat gambar dan pemberian skor pada setiap gambar, dilakukan 2 kali pada awal dan akhir intervensi
Berat Badan (BB) Penimbangan anak dilakukan di sekolah, pada awal intervensi dan setiap bulan selama 6 bulan intervensi (alat : timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg)
Status gizi
Tinggi Badan (TB) Pengukuran langsung pada anak dilakukan pada awal intervensi dan setiap bulan selama 6 bulan intervensi (alat : microtoise dengan ketelitian 0,1 cm).
Penyakit Skor morbiditas Diukur dengan pemberian skor pada jenis penyakit yang diderita anak melalui pemeriksaan dokter, dilakukan 2 kali pada awal sebelum intervensi dan akhir intervensi
Validitas dan Kontrol Kualitas Data
Untuk menjamin validitas internal data, maka dalam pengumpulan data
dilakukan:
1 Wawancara untuk kuesioner karakteristik keluarga, kebiasaan makan dan
konsumsi pangan dilakukan oleh peneliti.
2 Uji coba kuesioner dilakukan pada 3 orang ibu yang mempunyai anak usia
prasekolah dan sekolah di Taman Kanak-kanak. Uji coba dilakukan untuk
mengetahui lamanya pengisian kuesioner dan untuk mengetahui apakah
pertanyaan yang diajukan dapat dimengerti dan dijawab oleh ibu.
3 Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan oleh peneliti dan
menggunakan alat yang sama pada setiap pengukuran selama penelitian dan
ditera (dinolkan setiap akan mengukur).
4 Pemeriksaan kesehatan anak dilakukan oleh dokter Puskesmas Ciherang.
Pemeriksaan dilakukan oleh dokter yang sama pada awal dan akhir intervensi.
5 Pengambilan darah dilakukan oleh tenaga profesional yaitu laboran yang
bertugas di Laboratorium Rumah Sakit PMI Bogor.
6 Gambar yang digunakan untuk pengukuran daya ingat dirancang mulai dari
tahap tes kemampuan anak untuk mengenal dan menyebut nama-nama benda
yang ditunjukkan, dimaksudkan untuk meminimalkan bias dengan
menyamakan persepsi anak terhadap setiap obyek dalam gambar. Setelah
gambar dibuat dan sebelum digunakan dilakukan lagi ujicoba pada anak-anak
diluar responden terpilih.
Sedangkan untuk kontrol kualitas data dilakukan dengan cara :
1 Meneliti kembali kusioner yang sudah diisi saat wawancara
2 Memperbaiki data yang kurang akurat dengan menanyakan kembali pada
responden
3 Data yang sudah dientry kemudian dicek ulang dan bila terdapat kesalahan
diperbaiki sesuai dengan yang tercantum di kusioner
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh selama penelitian diolah menggunakan program
Microsoft Excel dan SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 13.
Pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap antara lain : editing, coding,
entry, cleaning, tabulasi data dan analisis statistik.
Data karakteristik sosial ekonomi keluarga yeng meliputi umur ayah dan
ibu, pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, pendapatan keluarga
(pendapatan perkapita dalam keluarga), pengeluaran keluarga untuk pangan dan
nonpangan, dan kebiasaan makan anak ditampilkan secara deskriptip (nilai rata-
rata dan standar deviasi). Demikian juga untuk data kebiasaan makan anak yang
diperoleh dari metode semi FFQ, dikelompokkan menurut jenis pangan dan
perkiraan jumlah yang dimakan perhari. Konsumsi gizi dihitung berdasarkan
kandungan zat gizi meliputi energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A,
vitamin C, vitamin B12, asam folat, kalsium, pospor dan zat besi. dalam pangan
yang diperoleh dari recall 24 jam dan semi FFQ, menggunakan program Food
processor. Keadaan kesehatan ditentukan dari hasil pemeriksaan dokter dengan
kriteria sehat dan ada penyakit (jenis penyakit disebutkan). Berdasarkan keadaan
kesehatan ditentukan skor morbiditas berdasarkan hasil diskusi peneliti dengan
dokter yang memeriksa contoh dan didasarkan pada berat atau ringannya penyakit
serta kemungkinan pengaruhnya terhadap gangguan pencernaan dan penyerapan
zat gizi. Penentuan skor sebagai berikut : batuk pilek (skor 50), demam (skor 50),
dermatitis (skor 10), telinga atau crumen telinga (skor 10), dan diare (skor 80).
Status vitamin B12 ditentukan berdasarkan kadar vitamin B12 serum
(Herbert V 1996; Sauberlich HE 1999; Siekmann JH el al 2003; Gibson 2005).
sebagai berikut :
• Defisiensi : serum vitamin B12 < 300 pg/ml
• Normal : serum vitamin B12 ≥ 300 pg/ml
Status anemia didasarkan pada kadar hemoglobin (Hb) berdasarkan
kategori yang dibuat Depkes RI (2003) dan Sauberlich HE (1999 untuk anak
prasekolah (usia 4-6 tahun) :
• Anemia : kadar Hb < 11 g/dl
• Normal : kadar Hb ≥ 11 g/dl
Status gizi antropometri ditentukan berdasarkan hasil perhitungan Z-skor
untuk indeks BB/U dan TB/U Z-skor dihitung dengan menggunakan program
Nutrisurvey dan dikategorikan menggunakan baku rujukan NCHS-WHO (WHO
1995). Kategori status gizi sebagai berikut :
Untuk indeks BB/U :
Gizi buruk : Z-skor < -3
Gizi kurang (underweigth) : - 3 ≤ Z-skor < -2
Gizi Baik (Normal) : - 2 ≤ Z-skor ≤ 2
Gizi lebih : Z-skor ≥ 2
Untuk indeks TB/U :
Pendek (stunted) : Z-skor ≤ - 2
Normal : Z-skor > - 2
Penilaian daya ingat dilakukan dengan memberi skor pada setiap jawaban
yang benar dari hasil mengingat kembali obyek dalam gambar yang diperlihatkan
sebelumnya. Pemberian skor ditentukan oleh peneliti dengan pembimbing yang
didasarkan pada besar kecilnya objek dalam gambar. Penetuan skor dapat dilihat
pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Penentuan skor ingatan berdasarkan jenis gambar
Jenis obyek Gambar Skor
masing-masing Besar 1. Rumah
2. Tanaman (Pohon) 3
Sedang 1. Pohon pisang, pepaya, talas 2. Sepeda 3. Bunga 4. Pintu
5
Kecil 1. Ayam 2. Bebek 3. Sapu 4. Pengki 5. Bola 6. Antene TV 7. Baju 8. Kran air
7
Sangat kecil 1. Kupu-kupu 2. Anak ayam 3. Sepatu 4. Sandal 5. Botol 6. Kucing 7. Lampu
9
Uji statistik yang digunakan disesuaikan dengan tujuan penelitian dan jenis
data pada setiap variabel yang diukur. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan
yang signifikan pada kedua kelompok (perlakuan dan kontrol) dilakukan uji beda
terhadap rata-rata setiap peubah yang diuji dengan menggunakan analisis uji beda
Independent-Samples T Test, uji beda rata-rata Compare Means Independent-
Samples T Test bila data menyebar normal atau uji beda median dengan analisis
Nonparametric Test 2 Independent Samples (Uji Mann-Whiney) bila data tidak
menyebar normal. Untuk menganalisis faktor risiko terjadinya defisiensi vitamin
B12 digunakan analisis faktor Discriminant Test dengan memasukkan faktor-
faktor yang diduga berpengaruh terhadap kadar serum vitamin B12 sebagai hasil
tinjauan teoritis, hanya dilakukan untuk data awal penelitian (Mario TP &
Sujarweni VW 2006).
Analisis regresi logistik digunakan untuk mengetahui pengaruh pemberian
suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat. (Uyanto SS 2006), dengan model
regresi sebagai berikut :
Л Log ( Л ) = ln ---------- = β0 + βx 1 – Л exp (β 0 + β x)
Л = ---------------------- 1 + exp (β0 + βx)
Keterangan :
Л = Probabilitas bahwa daya ingat mempunyai respon =1 (diatas skor rata-
rata) dari respon regresi logistik biner yang mempunyai nilai
0 (dibawah skor rata-rata) dan 1 (diatas skor rata-rata)
x = prediktor yaitu suplemen B12 (0=kontrol, 1=Perlakuan)
β0 = Konstanta
β = Koefisien regresi untuk peubah x
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Contoh Selama pemberian intervensi vitamin B12 dinyatakan 3 orang contoh drop
out dengan alasan berhenti dan pindah sekolah dengan rincian 1 orang dari
kelompok perlakuan dan 2 orang dari kelompok kontrol. Oleh karena itu jumlah
contoh yang dapat dianalisis 15 orang pada kelompok intervensi dan 14 orang
kelompok kontrol. Karakteristik contoh yang diperoleh dari data awal (baseline)
digambarkan melalui beberapa peubah yang berkaitan langsung dengan contoh
atau merupakan aspek sosial ekonomi keluarga seperti jumlah anggota keluarga,
urutan anak, umur anak, umur ayah, umur ibu, pendidikan ayah, pendidikan ibu,
pekerjaan, pendapatan, pengeluaran untuk pangan dan nonpangan, keadaan rumah
dan sarana kesehatan, serta keadaan kesehatan contoh.
Jumlah Anggota keluarga Sebanyak 53.3 persen kelompok intervensi mempunyai anggota keluarga
5-6 orang, sementara pada kelompok kontrol sebagian besar (78.6 %) mempunyai
anggota keluarga kurang atau sama dengan 4 orang. Namun secara keseluruhan
jumlah anggota keluarga contoh sebagian besar (62.1 %) 4 orang, dengan rata-rata
4.3±1.2 orang (Tabel 9). Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p > 0.05).
Tabel 9 Distribusi jumlah anggota keluarga contoh berdasarkan
kelompok perlakuan
Intervensi Kontrol Total Jumlah anggota keluarga n % n % n %
Sig.
≤ 4 7 46.7 11 78.6 18 62.1 5-6 8 53.3 3 21.4 11 37.9
Total 15 100.0 14 100.0 29 100.0 Rata-rata±SD 4.7±1.2 3.9±1.1 4.3±1.2 0.089
Urutan Anak Dalam Keluarga Urutan anak dalam keluarga bervariasi dari urutan ke-1 sampai ke-4 baik
pada kelompok intervensi maupuk kelompok kontrol. Secara keseluruhan jumlah
paling banyak terdapat pada urutan ke-1 yaitu sebesar 48.3 % (Tabel 10). Sesuai
dengan jumlah anggota keluarga yang umumnya 3 atau 4, urutan anak ke-1
memberi kemungkinan yang lebih baik untuk anak memperoleh perhatian dari
orang tua terutama tentang makanan. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
(p > 0.05).
Tabel 10 Distribusi urutan anak dalam keluarga berdasarkan kelompok perlakuan
Intervensi Kontrol Total Sig. Urutan anak n % n % n %
1 5 33.3 9 64.4 14 48.3 2 2 13.3 3 21.4 5 17.3 3 5 33.3 1 7.1 6 20.7 4 3 20.1 1 7.1 4 26.7
Total 15 100.0 14 100.0 29 100.0 Rata-rata±SD 2.4±1.2 1.6±0.9 2.0±1.1 0.052
Umur Anak dan Orangtua Pada Tabel 11 dapat dilihat rata-rata umur anak (contoh) dan rata-rata
umur ayah dan ibu. Rata-rata umur anak 60.5±7.1 bulan pada kelompok
intervensi dan 62.6±7.5 bulan pada leompok kontrol. Hasil uji beda menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata umur pada kedua kelompok (p >
0.05). Rata-rata umur ayah 38.3±5.2 tahun pada kelompok intervensi dan
35.6±5.7 pada kelompok kontrol. Rata-rata umur ibu 33.1±5.7 tahun dan 30.6±4.2
tahun pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa umur ayah dan ibu
masih dalam usia produktif. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan
yang signifikan rata-rata umur ayah maupun ibu pada kedua kelompok (p > 0.05).
Tabel 11 Rata-rata umur ayah dan ibu berdasarkan
kelompok perlakuan
Intervensi Kontrol Total Umur Rata-rata SD Rata-rata SD Rata-rata SD
Sig.
Anak (bulan) 60.5 7.1 62.6 7.5 61.5 7.2 0.075 Ayah (tahun) 38.3 5.2 35.6 5.7 37.0 5.6 0.180 Ibu (tahun) 33.1 5.7 30.6 4.2 31.9 5.1 0.220
Pendidikan Ayah dan Ibu
Secara umum pendidikan ayah dan ibu sudah cukup baik yaitu 51.7 %
ayah dan 41.4 % ibu mencapai pendidikan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas) seperti SMA, SMEA dan STM, bahkan ada sebagian kecil yang mencapai
perguruan tinggi (Akademi atau D3 dan sarjana) yaitu 13.8 % ayah dan 6.9 % ibu
(Tabel 12). Sebaran untuk tingkat pendidikan SLTA pada kelompok kontrol dan
intervensi hampir sama yaitu masing-masing 50.0 % dan 53.3 %. Sementara itu
masih ada orang tua contoh yang berpendidikan SD (sekolah dasar) namun
seluruhnya tamat yaitu 17.2 % ayah dan 24.1 % ibu. Berdasarkan rata-rata
lamanya tahun pendidikan ayah dan ibu, hasil uji beda menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang sigifikan antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol (p > 0.05). Dilihat dari tingkat pendidikan orang tua (ayah dan ibu) yang
sudah cukup baik, diharapkan pengetahuan gizi dan kesehatan khususnya yang
berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak juga akan baik. Sesuai
dengan berbagai hasil penelitian yang mengemukakan bahwa ada hubungan yang
positif antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan gizi dan kesehatan, yaitu
semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin baik pengetahunnnya.
Tabel 12 Distribusi pendidikan ayah dan ibu contoh berdasarkan
kelompok perlakuan
Intervensi Kontrol Total Pendidikan n % n % n %
Sig. Ayah SD 1 6.7 4 28.6 5 17.2 SLTP 4 26.7 1 7.1 5 17.2 SLTA 8 53.3 7 50.0 15 51.7 Perguruan Tinggi 2 13.3 2 14.3 4 13.8 Total 15 100.0 14 100.0 29 100.0 Rata-rata±SD (tahun) 11.2±2.4 10.5±3.3 10.9±2.8 0.670
Ibu SD 3 20.0 4 28.6 7 24.1 SMP 5 33.3 3 21.4 8 27.6 SMA 6 40.0 6 42.9 12 41.4 Perguruan Tinggi 1 6.7 1 7.1 2 6.9 Total 15 100.0 14 100.0 29 100.0 Rata-rata±SD (tahun) 10.0±2.7 9.9±3.0 9.9±2.8 0.926
Pekerjaan Ayah dan Ibu
Pekerjaan ayah dan ibu bervariasi mulai dari buruh tani, buruh pabrik,
supir angkot, dagang, karyawan swasta dan pegawai negeri sipil (Tabel 13).
Pekerjaan ayah sebagian besar karyawan swasta dan dagang (55.2%), sedangkan
ibu sebagian besar tidak bekerja dan lebih berperan sebagai ibu rumah tangga
(79.3%).
Tabel 13 Distribusi pekerjaan ayah dan ibu contoh berdasarkan kelompok perlakuan
Intervensi Kontrol Total Jenis pekerjaan n % n % n %
PNS 0 0 1 7.1 1 3.4 Supir 3 20.0 3 21.4 6 20.7 Swasta, dagang 9 60.0 7 50.0 16 55.2
Ayah
Buruh (tani, pabrik, cuci) 3 20.0 3 21.4 6 24.1 Tidak bekerja 12 80.0 11 78.6 23 79.3 Swasta, dagang 3 20.0 2 14.3 5 17.2
Ibu
Buruh (tani, pabrik, cuci) 0 0.0 1 7.1 1 3.4
Pekerjaan ayah sebagai supir umumnya adalah supir angkutan kota, yang
mereka bukan pemilik sehingga setiap hari harus menyetor hasil yang mereka
peroleh kepada pemilik kenderaan, sisanya merupakan pendapatan mereka setiap
hari. Karyawan swasta yang dimaksudkan adalah mereka bekerja pada suatu
badan usaha seperti asuransi, hotel, jasa dan usaha dagang. Sedangkan untuk
buruh terdiri dari buruh pabrik seperti pabrik garmen di daerah Darmaga, dan
buruh tani biasanya berupa buruh harian di sawah dan ladang yang besifat
insidentil atau musiman.
Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga
Rata-rata pendapatan merupakan rata-rata pendapatan perkapita per bulan
dalam keluarga sebesar Rp 238900±105200 pada kelompok intervensi dan Rp
215300±87000 pada kelompok kontrol (Tabel 14). Sedangkan pengeluaran
pangan dinyatakan dalam rata-rata persen pengeluaran pangan keluarga untuk
pangan dan nonpangan. Rata-rata pengeluaran pangan 66,5±18.0 % pada
kelompok intervensi dan 67.0±17.4 % pada kelompok kontrol. Sedangkan rata-
rata pengelurana nonpangan 33.5±18.0 % untuk kelompok intervensi dan
32.9±17.4 % untuk kelompok kontrol. Bila dibandingkan dengan rata-rata
pengeluaran pangan di Kabupaten Bogor, rata-rata pengeluaran pangan pada
keluarga contoh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran pangan
Kabupaten Bogor yaitu 50.59 % (BPS Jawa Barat 2007). Hasil uji beda
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol untuk pendapatan maupun pengeluaran pangan dan nonpangan
(p > 0.05).
Tabel 14 Rata-rata pendapatan dan pengeluaran berdasarkan
kelompok perlakuan
Intervensi Kontrol Total Peubah Rata-rata
SD Rata-rata SD Rata-rata SD Sig.
Pendapatan (rupiah)
238.889 105.239 215.298 87.033 227.500 95.908,4 0.498
Pengeluaran pangan (%)
66.5 18.0 67.0 17.4 66.8 17.4 0.878
Pengeluaran nonpangan (%)
33.5 18.0 32.9 17.4 33.2 17.4 0.878
Keadaan Kesehatan Contoh
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter terhadap kesehatan contoh
umumnya dinyatakan sehat dan hanya ada beberapa anak yang mengalami
gannguan kesehatn ringan seperti batuk dan pilek, dermatitis, crumen pada
telinga, dan gejala anemia ringan. Karena secara keseluruhan gangguan kesehatan
tersebut terjadi pada tahap yang ringan, seluruh contoh terpilih dinyatakan oleh
dokter dapat mengikuti program suplementasi vitamin B12, dengan catatan untuk
mencegah agar gangguan kesehatan tidak semakin berat, contoh yang mengalami
gangguan kesehatan langsung dirujuk dokter ke Puskesmas setempat untuk
memperoleh obat.
Setelah 6 bulan mengikuti program suplementasi vitamin B12, seluruh
contoh kembali diperiksa kesehatannya oleh dokter yang sama dengan
pemeriksaan awal. Umumnya contoh pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol dinyatakan sehat walaupun sebagian kecil masih mengalami gangguan
ringan seperti dermatitis dan batuk pilek. Rata-rata skor morbiditas kelompok
kontrol lebih tinggi daripada kelompok intervensi, yaitu 30.71±27.59 pada
kelompok kontrol dan 26.67±23.50 pada kelompok intervensi. Namun hasil uji
beda terhadap rata-rata skor morbiditas menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
(p > 0.05).
Lingkungan Tempat Tinggal Kondisi lingkungan tempat tinggal keluarga contoh digambarkan dengan
beberapa aspek yang berkaitan dengan keadaan rumah dan hal-hal yang
merupakan sarana pendukung kesehatan. Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa tipe
rumah keluarga contoh umumnya permanen, dan hanya satu keluarga menempati
rumah semi permanen. Tipe rumah permanen merupakan tipe rumah yang
berdinding semen dan lantainya juga terbuat dari semen atau keramik. Rumah
yang ditempati keluarga sebagian besar merupakan rumah milik sendiri, 100 %
keluarga menggunakan listrik sebagai alat penerangan. Bahan bakar memasak
umumnya mengggunakan minyak tanah (96.6 %), sedangkan sumber air minum
sebanyak 82.8 % menggunakan air sumur. Tempat buang air besar sebagian besar
keluarga (70.0 %) sudah menggunakan septictank, namun masih ada keluarga
yang menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan dengan menyalurkan
buangan WC ke sungai, terutama keluarga rumahnya di pinggir sungai. Demikian
juga halnya dengan sampah, keluarga contoh masih ada yang membuang sampah
ke sungai sebanyak 27.6 %. Perilaku masyarakat yang menggunakan sungai
sebagai tempat pembuangan sampah ataupun kotoran dari rumah tangga
merupakan tindakan yang tidak baik karena dapat membuat lingkungan tercemar.
Bahkan masyarakat yang masih menggunakan sungai sebagai tempat mencuci dan
mandi berisiko terkena berbagai macam penyakit.
Tabel 15 Distribusi kondisi lingkungan tempat tinggal keluarga contoh berdasarkan kelompok perlakuan
Intervensi (n=15)
Kontrol (n=14) Total (n=29) Keadaan Rumah dan sarana kesehatan
n % n % n % Tipe rumah
1. Permanen 2. Semi permanen
15 0
100.0 0.0
13 1
92.9 7.1
28 1
96.6 3.4
Kepemilikan rumah 1. Milik sendiri 2. Sewa 3. Orangtua
12 1 2
80.0 6.7 13.3
8 2 4
57.1 14.3 28.6
20 3 6
70.0 10.3 20.3
Penerangan 1. Listrik 2. Lampu minyak
15 0
100.0 0.0
14 0
100.0 0.0
29 0
100.0 0.0
Bahan bakar masak 1. Minyak tanah 2. Gas
14 1
93.3 6.7
14 0
100.0 0.0
28 1
96.6 3.4
Sumber air minum 1. PAM 2. Sumur
3
12
20.0 80.0
2 12
14.3 85.7
5 24
17.2 82.8
Tempat buang air besar 1.WC (ada septictank) 2.WC (buang ke
sungai)
11 4
73.3 26.7
9 5
64.3 35.7
20 9
70.0 30.0
Pembuangan sampah 1. Kebun 2. Bakar 3. Sungai
7 2 6
46.7 13.3 40.0
8 4 2
57.1 28.6 14.3
15 6 8
51.7 20.7 27.6
Konsumsi Pangan dan Gizi
Jenis dan Frekuensi Konsumsi Pangan
Jenis pangan yang dikonsumsi contoh tidak terlalu bervariasi. Pangan
sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi adalah nasi, mie instan dan roti. Nasi
dikonsumsi setiap hari oleh 93.3 % contoh pada kelompok intervensi dan 100.0 %
pada contoh kelompok kontrol (Tabel 16). Satu orang contoh pada kelompok
intervensi (6.7 %) tidak biasa mengkonsumsi nasi, dan sebagai penggantinya lebih
sering mengkonsumsi mie, roti atau gorengan seperti tempe dan bakwan.
Tabel 16 Distribusi frekuensi konsumsi pangan berdasarkan data semi FFQ awal intervensi menurut kelompok perlakuan
Frekuensi konsumsi (%)
Intervensi (n=15) Kontrol (n=14)
Jenis Pangan
≥1x /hr
2-3 x /mg
1x /mg
≤ 1 x /2mg
≥1x /hr
2-3 x /mg
1x /mg
≤ 1 x /2mg
Nasi 93.3 0.0 0.0 6.7 100.0 0.0 0.0 0.0 Mie 26.7 66.7 6.7 0.0 14.3 28.6 50.0 7.1 Roti 6.7 46.7 46.7 0.0 28.6 21.4 28.6 21.4 Telur 26.7 66.7 0.0 6.7 42.9 35.7 21.4 0.0 Daging sapi 0.0 6.7 13.3 80.0 0.0 7.1 0.0 92.9 Daging ayam 0.0 53.3 20.0 26.7 0.0 35.7 28.6 35.7 Ikan 0.0 13.3 46.7 40.0 0.0 7.1 28.6 64.3 Tahu 53.3 40.0 6.7 0.0 42.9 21.4 14.3 21.4 Tempe 46.7 33.3 6.7 13.3 21.4 21.4 21.4 35.8 Susu 46.7 20.0 13.3 20.0 57.1 7.1 7.1 28.7 Buah 0.0 0.0 66.7 33.3 0.0 14.3 50.0 35.7 Sayur 0.0 6.7 80.0 13.3 0.0 14.3 78.6 7.1
Pangan kelompok lauk sebagai sumber protein yang sering dikonsumsi
contoh adalah telur, tahu dan tempe. Sebesar 66.7 % contoh pada kelompok
intervensi mengkonsumsi telur 2 sampai tiga kali seminggu, bahkan 42.9 persen
dari kelompok kontrol mengkonsumsinya setiap hari. Tahu dan tempe sebagai
sumber protein nabati dikonsumsi setiap hari oleh kelompok intervensi sebesar
53.3 % dan 46.7 %. Sedangkan pada kelompok intervensi tahu dikonsumsi setiap
hari oleh 42,9 % dan tempe dikonsmsi 21,4 5 % contoh. Susu sebagai sumber
protein dan sebagai sumber beberapa vitamin dan mineral juga dikonsumsi setiap
hari oleh kelompok intervensi (46.7 %) dan pada kelompok kontrol (57.1 %).
Sedangkan untuk kelompok sayur dan buah umumnya dikonsumsi sekali
seminggu baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.
Kebiasaan Konsumsi Pangan
Jumlah pangan yang dikonsumsi hampir sama antara kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol baik pada awal maupun akhir intervensi. Nasi sebagai
pangan sumber karbohidrat merupakan makanan pokok yang dikonsumsi anak
setiap hari dengan rata-rata konsumsi 237.9 ± 72.7 gram per orang per hari.
Sumber karbohidrat selain nasi yang biasa dikonsumsi anak adalah mie dan roti.
Konsumsi pangan hewani juga relatif sama pada kedua kelompok. Telur
merupakan penyumbang terbesar untuk pangan hewani sementara daging sapi dan
ikan jarang dikonsumsi anak dan jumlahnya sangat sedikit (Tabel 17). Rendahnya
konsumsi pangan hewani diduga erat kaitannya dengan kemampuan daya beli
keluarga yang relatif masih rendah.
Jumlah telur yang dikonsumsi contoh lebih banyak dibanding dengan
daging sapi, ayam dan ikan sesuai dengan frekuensi konsumsi telur yang lebih
sering dikonsumsi dibanding pangan hewani lain. Hal ini kemungkinan
disebabkan harga telur yang relatif lebih murah dibanding pangan hewani lain,
dan juga mudah didapat di warung-warung di desa dan paling banyak. Tempe
sebagai sumber protein nabati juga merupakan sumber vitamin B12 yang baik,
namun konsumsi tempe pada anak prasekolah dalam penelitian ini masih rendah
yaitu sekitar 11 gram per orang per hari. Konsumsi tempe pada contoh penelitian
ini masih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi rata-rata orang Indonesia
yaitu 17 gram per orang per hari (http://www.tempeh.info/). Dari hasil
wawancara dengan ibu tentang kebiasaan anak, umumnya anak tidak begitu suka
tempe dan bila anak mau makan tempe jumlahnya juga sedikit dibandingkan
dengan tahu yang lebih disukai dan lebih sering dikonsumsi anak.
Susu sebagai sumber protein dan sekaligus sumber vitamin termasuk
vitamin B12 ternyata tidak semua anak mengkonsumsinya, dengan alasan tidak
suka atau tidak ada uang untuk membeli susu. Jenis susu yang sering dikonsumsi
anak adalah susu kental manis dan susu bubuk Dancow atau Bendera. Buah-
buahan yang disukai dan sering dikonsumsi anak adalah semangka dan papaya
yang mereka beli dari pedagang eceran ( di gerobak dorong) atau di warung.
Sementara konsumsi sayuran masih sangat sedikit yaitu rata-rata konsumsi 4.1 ±
2.0 gram per hari dan sayur yang disukai umumnya bayam, sayur sop wortel dan
toge. Kesulitan makan sayur pada anak-anak usia prasekolah sudah menjadi
masalah yang sering dihadapi di masyarakat. Namun karena pada usia ini anak-
anak juga sangat membutuhkan berbagai zat gizi dan dari sumber yang beragam,
sebaiknya sebagai ibu atau pengasuh anak harus berusaha membiasakan makan
sayuran pada anak, mungkin dengan upaya pengolahan dan penyajian yang
disesuaikan dengan kondisi anak. Ibu-ibu pada penelitian ini umumnya tidak
bekerja, bahkan hampir setiap hari menunggu anak di sekolah, seharusnya
mempunyai waktu yang cukup banyak untuk memperhatikan makanan anak.
Secara keseluruhan jumlah konsumsi pangan pada kedua kelompok relatif
sama, dapat dilihat dari hasil uji beda rata-rata konsumsi pangan pada kedua
kelompok yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0.05).
Tabel 17 Rata-rata jumlah konsumsi pangan per hari berdasarkan
data semi FFQ menurut kelompok perlakuan
Konsumsi pangan (gram/hr) Jenis Pangan Intervensi
(n=15) Kontrol (n=14)
Total (n=29)
Sig.
Awal 1. Nasi 233.3±81.7 242.9±64.6 237.9±72.7 0.864 2. Mie 44.9±28.5 28.3±27.4 36.9±28.7 0.123 3. Roti 28.4±22.3 41.1±39.9 34.5±32.1 0.945 4. Tahu 20.3±10.8 15.6±13.4 18.0±12.1 0.220 5. Tempe 14.7±10.4 7.9±9.8 11.4±10.5 0.059 6. Susu 11.0±8.9 12.2±9.4 11.6±9.1 0.813 7. Pangan hewani 48.2±22.5 47.7±22.9 48.0±22.3 0.913
- Telur 24.4±16.5 28.9±19.3 26.6±17.7 0.773 - Daging sapi 0.9±2.1 0.8±2.2 0.8±2.1 0.216
- Ayam 16.4±.9.9 13.3±9.6 14.9±9.7 0.431 - Ikan 6.4±4.9 4.7±4.2 5.6±4.6 0.262 8. Buah-buahan 6.0±1.7 7.2±4.3 6.5±3.3 0.804 9. Sayuran 2.8±1.3 2.9±1.3 2.8±1.3 0.691
Akhir 1. Nasi 263.3±78.9 282.1±37.2 272.4±62.1 0.523 2. Mie 46.0±27.5 40.4±27.6 43.3±27.2 0.375 3. Roti 28.4±22.3 45.1±46.7 36.5±36.5 0.801 4. Tahu 20.3±10.8 16.2±12.7 18.3±11.7 0.238 5. Tempe 15.5±9.5 8.9±9.0 12.3±9.7 0.067 6. Susu 12.3±7.8 12.9±8.7 12.6±8.1 0.981 7. Pangan hewani 50.8±21.1 49.2±23.3 50.0±21.8 0.747
- Telur 26.6±15.3 30.2±18.3 28.3±16.6 0.781 - Daging sapi 1.4±2.0 0.9±1.2 1.2±1.7 0.384 - Ayam 16.4±9.9 13.3±9.6 14.9±9.7 0.431
- Ikan 6.4±4.9 4.7±4.2 5.6±4.6 0.262 8. Buah-buahan 9.2±4.8 8.9±4.3 9.1±4.5 0.657 9. Sayuran 4.2±2.2 3.9±1.8 4.1±2.0 0.719
Konsumsi dan Kecukupan Gizi
Konsumsi atau asupan (intake) energi dan zat gizi dalam penelitian ini
diperoleh dari dua metode pengukuran yaitu metode ”Recall 24 jam” dan metode
”Semi FFQ”, masing-masing ditampilkan pada Tabel 18 dan Tabel 19. Hasil
recall 24 jam pada Tabel 18 menunjukkan bahwa pada awal intervensi rata-rata
konsumsi energi pada kelompok intervensi (960.7±162.7 Kkal) lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata konsumsi energi kelompok kontrol (832.0±162.3
Kkal).
Tabel 18 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi per hari berdasarkan
data recall menurut kelompok perlakuan
Zat gizi Intervensi (n=15)
Kontrol (n=14)
Total
(n=29)
Sig.
Awal Energi (kkal) 960.7±162.7 832.0±162.3 898.6±172.5 0.045a
Protein (gram) 25.1±7.0 23.4±8.8 24.3±7.8 0.541 Lemak (gram) 31.7±9.2 26.7±11.3 29.3±10.4 0.138 Karbohidrat (gram) 142.6±32.0 124.2±27.2 133.7±30.7 0.106 Vitamin A (RE) 142.1±106.3 180.4±135.0 160.6±120.4 0.432 Vitamin C (mg) 11.4±18.7 19.6±19.8 15.3±19.4 0.111 Asam Folat (μg) 57.6±21.3 75.7±63.7 66.4±46.8 0.513 Vitamin B12 (μg) 0.58±0.26 0.55±0.35 0.56±0.30 0.896 Kalsium (mg) 161.6±93.9 185.5±105.0 173.2±98.3 0.727 Pospor (mg 358.7±109.7 339.4±108.2 349.4±107.5 0.727 Besi (mg) 3.2±1.5 3.4±1.5 3.3±1.5 0.600
Akhir Energi (kkal) 1039.3±155.7 941.3±112.0 992.0±142.9 0.036a
Protein (gram) 28.3±7.8 24.1±5.6 26.3±7.1 0.256 Lemak (gram) 37.8±9.5 34.0±10.0 36.0±9.8 0.458 Karbohidrat (gram) 142.1±27.4 131.1±18.8 136.8±23.9 0.407 Vitamin A (RE) 199.9±121.3 217.9±106.4 208.6±112.7 0.485 Vitamin C (mg) 19.2±23.8 32.4±26.9 25.6±25.8 0.111 Asam Folat (μg) 61.0±22.2 62.8±21.5 61.9±21.5 0.383 Vitamin B12 (μg) 0.69±0.28 0.74±0.20 0.72±0.24 0.760 Kalsium (mg) 172.8±96.2 181.9±75.8 177.2±85.6 0.965 Pospor (mg 389.0±99.5 338.5±120.2 364.6±111.0 0.295
Besi (mg) 3.4±1.5 3.5±1.0 3.4±1.3 0.913
a = berbeda nyata (p< 0.05)
Data recall menunjukkan bahwa setelah pemberian vitamin B12 selama 6
bulan, pada akhir intervensi terdapat peningkatan rata-rata konsumsi energi pada
kedua kelompok namun tetap lebih tinggi pada kelompok intervensi
(1039.3±155.7 Kkal) dari kelompok kontrol (941.3±112.0 Kkal). Sedangkan rata-
rata konsumsi zat gizi selain energi hampir sama pada kedua kelompok baik pada
awal maupun akhir intervensi. Secara umum tidak ada perbedaan konsumsi gizi
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang dibuktikan dari hasil uji
beda bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok
(p > 0.05), kecuali pada konsumsi energi menunjukkan perbedaan yang signifikan
(p < 0.05) baik pada awal maupun akhir intervensi.
Tabel 19 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi per hari berdasarkan
data semi FFQ menurut kelompok perlakuan
Zat gizi Intervensi (n=15)
Kontrol (n=14)
Total
(n=29)
Sig.
Awal Energi (kkal) 810.9±156.4 893.6±154.3 850.8±158.3 0.190 Protein (gram) 26.1±4.7 26.1±5.8 26.1±5.1 0.678 Lemak (gram) 20.5±6.2 22.2±4.9 21.3±5.6 0.395 Karbohidrat (gram) 128.9±28.7 144.7±30.0 136.6±29.9 0.222 Vitamin A (RE) 122.8±73.7 163.6±63.0 142.5±70.6 0.045a
Vitamin C (mg) 14.8±11.9 17.9±8.0 16.3±10.1 0.275 Asam Folat (μg) 52.9±14.4 64.4±22.5 58.5±19.3 0.150 Vitamin B12 (μg) 0.51±0.21 0.52±0.25 0.52±0.23 0.896 Kalsium (mg) 109.9±45.0 122.0±50.4 115.8±47.2 0.793 Pospor (mg 331.5±69.5 367.65±84.3 348.9±77.8 0.176 Besi (mg) 3.3±1.1 3.6±1.0 3.5±1.1 0.556
Akhir Energi (kkal) 857.2±147.9 934.7±178.1 894.6±165.0 0.089
Protein (gram) 27.1±4.3 27.7±6.3 27.4±5.2 0.760 Lemak (gram) 20.7±5.9 22.4±4.7 21.6±5.4 0.256 Karbohidrat (gram) 138.6±28.2 159.7±23.2 148.8±27.6 0.050
Vitamin A (RE) 114.6±63.4 151.9±54.8 132.6±61.3 0.081
Vitamin C (mg) 13.4±7.7 17.7±7.9 15.5±7.9 0.190 Asam Folat (μg) 54.2±13.3 65.4±22.2 59.6±18.7 0.190 Vitamin B12 (μg) 0.53±0.19 0.49±0.23 0.51±0.20 0.458 Kalsium (mg) 115.3±41.0 123.9±40.7 119.4±40.3 0.743
Pospor (mg) 346.2±60.2 385.2±92.6 365.1±78.6 0.206 Besi (mg) 3.4±1.1 3.7±1.0 3.6±1.0 0.371
a = berbeda nyata (p< 0.05)
Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa rata-rata konsumsi energi dan zat gizi
yang merupakan hasil konsumsi dengan metode semi FFQ menunjukkan hasil
yang hampir sama dengan hasil recall 24 jam. Secara keseluruhan untuk total
contoh rata-rata konsumsi energi dan protein, lemak, karbohidrat, beberapa
vitamin dan mineral hampir sama kecuali vitamin A yang lebih tinggi pada hasil
recall. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil uji beda rata-rata konsumsi gizi antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa pada awal
penelitian hanya konsumsi vitamin A yang berbeda signifikan (p = 0.045).
Sedangkan pada akhir intervensi tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk
semua konsumsi zat gizi (p > 0.05).
Tabel 20 Rata-rata kecukupan energi dan zat gizi per hari berdasarkan data recall 24 jam menurut kelompok perlakuan
Kecukupan ( % )
Intervensi (n=15) Kontrol (n=14) Total (n=29)
Zat gizi
Rata-rata SD Rata-rata SD Rata-rata SD Awal
Energi 61.9 10.5 53.7 10.5 58.0 11.1 Protein 64.4 18.0 60.1 22.6 62.3 20.1 Lemak 73.8 21.3 62.1 26.2 68.2 24.1 Karbohidrat 73.5 16.5 64.0 14.0 68.9 15.8 Vitamin A 31.6 23.6 40.1 30.0 35.7 26.8 Vitamin C 25.3 41.6 43.6 44.0 34.1 43.0 Asam Folat 28.8 10.6 37.9 31.8 33.2 23.4 Vitamin B12 48.0 21.7 46.0 29.1 47.0 25.1 Kalsium 32.3 18.8 37.1 21.0 34.6 19.7 Pospor 89.7 27.4 84.8 27.1 87.3 26.9 Besi 40.4 19.1 43.2 18.9 41.8 18.7
Akhir Energi 67.1 10.0 60.7 7.2 64.0 9.2 Protein 72.6 20.1 61.8 14.4 67.4 18.1 Lemak 87.9 22.2 79.1 23.2 83.6 22.7 Karbohidrat 73.3 14.0 67.6 9.7 70.5 12.3 Vitamin A 44.4 27.0 48.4 23.7 46.4 25.1
Vitamin C 42.7 53.0 72.1 59.7 56.9 57.3 Asam Folat 30.5 11.0 31.4 10.7 31.0 10.8 Vitamin B12 57.8 23.2 61.6 16.8 59.6 20.1 Kalsium 34.6 19.3 36.4 15.2 35.4 17.1 Pospor 97.2 24.9 84.6 30.1 91.1 27.7 Besi 42.6 18.6 43.7 12.5 43.1 15.7
Pada Tabel 20 dapat dilihat rata-rata kecukupan energi dan zat gizi yang
dihitung berdasarkan data recall 24 jam. Rata-rata kecukupan energi dan zat gizi
gizi masih cukup rendah yang dapat dilihat dari kecukupan pada hampir semua
zat gizi lebih kecil dari 70 persen kecuali kecukupan pospor. Bahkan beberapa zat
gizi berada pada tingkat kecukupan kurang dari 50 persen seperti vitamin A, asam
folat, kalsium dan zat besi. Demikian juga halnya dengan kecukupan gizi yang
dihitung berdasarkan hasil semi FFQ (Tabel 21) relatif sama dengan hasil recall
24 jam. Hampir semua zat gizi dan energi berada pada tingkat kecukupan yang
rendah (< 70 %) baik awal maupun pada akhir penelitian kecuali pospor.
Tabel 21 Rata-rata kecukupan energi dan zat gizi per hari berdasarkan data semi FFQ menurut kelompok perlakuan
Kecukupan ( % )
Intervensi (n=15) Kontrol (n=14) Total (n=29)
Zat gizi
Rata-rata SD Rata-rata SD Rata-rata SD Awal
Energi 52.3 10.1 57.6 10.0 54.9 10.2 Protein 67.0 12.0 67.1 14.8 67.1 13.2 Lemak 47.7 14.4 51.7 11.4 49.6 13.0 Karbohidrat 66.5 14.8 74.6 15.5 70.4 15.4 Vitamin A 27.3 16.4 36.3 14.0 31.7 15.7 Vitamin C 32.9 26.5 39.9 17.7 36.3 22.5 Asam Folat 26.5 7.2 32.2 11.2 29.2 9.7 Vitamin B12 42.6 17.9 43.3 21.1 43.0 19.1 Kalsium 22.0 9.0 24.4 10.1 23.2 9.4 Pospor 82.9 17.4 91.9 21.1 87.2 19.4 Besi 41.7 14.0 45.0 12.9 43.3 13.3
Akhir Energi 55.3 9.5 60.3 11.5 57.7 10.6 Protein 69.5 10.9 70.9 16.1 70.2 13.4 Lemak 48.2 13.9 52.2 10.9 50.1 12.5 Karbohidrat 71.4 14.5 82.3 12.0 76.7 14.2
Vitamin A 25.5 14.1 33.8 12.2 29.5 13.6 Vitamin C 29.7 17.1 39.3 17.5 34.4 17.7 Asam Folat 27.1 6.6 32.7 11.1 29.8 9.4 Vitamin B12 43.9 15.7 41.2 18.9 42.6 17.0 Kalsium 23.1 8.2 24.8 8.1 23.9 8.1 Pospor 96.6 15.0 96.3 23.1 91.3 19.7 Besi 42.6 13.6 46.5 12.4 44.5 12.9
Keadaan tingkat konsumsi yang rendah dalam penelitian ini sesuai dengan
kebiasaan makan anak pada usia ini yang umumnya sulit makan, porsinya sedikit
dan kurang bervariasi, bahkan sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral masih
banyak anak yang tidak menyukainya.
Rendahnya rata-rata konsumsi energi dan zat gizi pada contoh penelitian
ini merupakan gambaran sebagian anak usia prasekolah yang seharusnya sangat
membutuhkan asupan gizi yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan
serta kebutuhan untuk mempertahankan imunitas tubuh anak. Konsumsi gizi
yang rendah pada contoh seharusnya dapat diperbaiki mengingat sebagian besar
ibu tidak bekerja sehingga mempunyai waktu dan kesempatan memperhatikan
makanan anak. Beberapa jenis pangan yang relatif murah seperti tempe dan tahu
serta berbagai sayuran dapat diupayakan agar anak mau mengkonsumsinya
misalnya dengan pengolahan atau penyajian yang disesuaikan dengan selera anak.
Misalnya masih banyak anak-anak yang tidak suka tempe sementara harganya
relatif lebih murah dibandingkan dengan pangan hewani, maka perlu upaya
peningkatan konsumsi tempe misalnya dengan variasi pengolahan selain digoreng
yang selama ini sering dikonsumsi. Pengolahan dengan cara bacem (diberi
bumbu seperti bawang, ketumbar, gula merah, asam dan kecap) merupakan
alternatif yang baik karena selain terasa bumbunya juga ternyata
kandungan vitamin B12nya lebih baik dibandingkan dengan digoreng
(http://www.tempeh.info).
Status Gizi
Hasil penilaian terhadap status gizi pada awal intervensi berdasarkan Z-
skor BB/U menunjukkan bahwa anak yang tergolong gizi kurang atau berat badan
rendah (underweight) 33.3 % pada kelompok intervensi dan 28.6 % pada
kelompok kontrol (Tabel 22). Angka ini berada diatas rata-rata nasional prevalensi
gizi kurang pada balita yaitu 28.0 % pada tahun 2005 (Atmarita 2006). Status
gizi berdasarkan TB/U menunjukkan bahwa contoh yang tergolong pendek
(stunted) ditemukan 53.3 % pada kelompok intervensi dan 42.9 % pada kelompok
kontrol. Angka pada kelompok intervensi sedikit diatas rata-rata nasional yaitu
49.3 % pada balita (Depkes RI 2003).
Tabel 22 Sebaran status gizi contoh berdasarkan kelompok perlakuan
Intervensi Kontrol Total Status Gizi
n % n % n %
Awal
Gizi kurang 5 33.3 4 28.6 9 31.0 BB/U
Normal 10 66.7 10 71.4 20 69.0
Pendek 8 53.3 6 42.9 14 48.3 TB/U
Normal 7 46.7 8 57.1 15 51.7
Akhir
Gizi kurang 5 33.3 5 35.7 10 34.5 BB/U
Normal 10 67.7 9 64.3 19 65.5
Pendek 7 53.3 6 42.9 14 48.3 TB/U
Normal 8 46.7 8 57.1 15 51.7
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 9 persentase anak gizi kurang
(underweight) dan Gambar 10 persentase anak yang pendek (stunted) pada awal
dan akhir intervensi. Setelah pemberian suplemen vitamin B12 selama 6 bulan
persentase anak kurus pada kelompok perlakuan tetap seperti awal intervensi,
sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa berat badan anak tidak dipengaruhi secara langsung oleh asupan vitamin
B12, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh asupan energi dan protein serta ada
tidaknya penyakit infeksi.
31.0
28.6
33.3 34.535.7
33.3
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
Intervensi Kontrol Total
Giz
i kur
ang
(%)
AwalAkhir
Gambar 9 Persentase contoh yang gizi kurang (Underweight)
Demikian juga halnya dengan persentase anak pendek (stunted) baik pada
kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol tidak terjadi perubahan. Hal
ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi pertambahan tinggi badan selama 6
bulan, karena perubahannya kecil sehingga tidak dapat merubah status gizi anak
ke kategori yang lebih baik.
48.3
53.3
42.9
53.3
48.3
42.9
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
Intervensi Kontrol Total
Stu
nted
(%)
AwalAkhir
Gambar 10 Persentase contoh yang pendek (Stunted)
Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada status
gizi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada awal dan akhir penelitian
dapat dilihat dari uji beda terhadap Z-skor (Tabel 23). Rata-rata Z-skor BB/U
pada kelompok perlakuan hampir sama dengan kelompok kontrol. Z-skor TB/U
pada kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Namun hasil uji beda Z-skor untuk kedua indeks BB/U dan TB/U menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol pada awal maupun akhir intervensi (p> 0.05).
Tabel 23 Rata-rata Z-skor untuk indeks BB/U dan TB/U
Indikator Perlakuan (n=15)
Kontrol (n=14)
Total (n=29)
Sig.
Awal -1.10±1.43 -1.11±1.00 -1.10±1.22 0.991 Akhir -1.21±1.41 -1.26±0.94 -1.24±1.19 0.906
BB/U
Sesilih -0.11±0.39 -0.16±0.43 -0.13±0.40 0.753 Awal -1.93±1.40 -1.59±1.03 -1.76±1.23 0.469 Akhir -1.82±1.43 -1.53±1.01 -1.67±1.23 0.544
TB/U
Selisih 0.11±0.14 0.06±0.18 0.09±0.16 0.376
Kecenderungan perubahan Z-skor setiap bulan untuk BB/U dapat dilihat
pada Gambar 11. Rata-rata Z-skor BB/U awal intervensi pada kelompok
perlakuan hampir sama dengan kelompok kontrol. Setelah satu bulan terjadi
penurunan pada kelompok perlakuan, namun selanjutnya mengalami kenaikan
sampai lebih tinggi dari kelompok kontrol di akhir intervensi. Sementara pada
kelompok kontrol terjadi kenaikan sampai bulan kedua dan menurun terus sampai
akhir intervensi. Sedangkan untuk rata-rata Z-skor TB/U pada kelompok
perlakuan lebih kecil dari kelompok kontrol setiap bulan selama intervnsi
(Gambar 12).
Gambar 11 Rata-rata Z-kor BB/U selama intervensi
-1.21
-1.25-1.16-1.26-1.23
-1.31
-1.10
-1.26
-1.19-1.08
-0.98-0.96-1.05
-1.11
-1.40
-1.20
-1.00
-0.80
-0.60
-0.40
-0.20
0.000 1 2 3 4 5 6
Z-S
kor
BB
/U
PerlakuanKontrol
intervensi
Bulan ke
Gambar 11 Rata-rata Z-skor BB/U selama intervensi
-1.93-1.83 -1.71 -1.73 -1.78 -1.8 -1.82
-1.63-1.55-1.55-1.52-1.52-1.54-1.59
-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
00 1 2 3 4 5 6
Bulan ke
Z-S
kor T
B/U
PerlakuanKontrol
intervensi
Gambar 12 Rata-rata Z-Skor TB/U selama intervensi
Pertambahan Berat Badan dan Tinggi Badan
Rata-rata pertambahan berat badan mempunyai pola yang berbeda antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan satu bulan
pertama terjadi penurunan berat badan sebesar 100 gram, namun bulan kedua
sampai bulan keenam terjadi pertambahan berat badan kecuali bulan kelima berat
badan tetap seperti bulan sebelumnya. Pada kelompok kontrol bulan pertama
intervensi terjadi kenaikan berat badan dengan rata-rata pertambahan sebesar 357
gram, bulan kedua sampai ketiga masih terjadi kenaikan berat badan walaupun
pertambahannya semakin kecil, selanjutnya mulai bulan keempat sampai bulan
keenam terjadi penurunan berat badan (Gambar 13).
Rata-rata pertambahan berat badan selama 6 bulan hampir sama pada
kedua kelompok yaitu sebesar 634 gram pada kelompok perlakuan dan 653 gram
pada kelompok kontrol. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Wardlaw G. et al
(1992) yang mengatakan bahwa pertambahan berat badan anak pada usia
prasekolah (4 – 6 tahun) sekitar 3 pon atau 1350 gram per tahun pada anak
perempuan dan sekitar 4 pon atau 1800 gram per tahun pada anak laki-laki.
Gambar 13 Rata-
-100
333
0
167
-36
167
67
357321
107
-71-35
-200
-100
0
100
200
300
400
1 2 3 4 5 6
Bulan ke
Per
ubah
an B
B (
gram
)
Perlakuan Kontrol
intervensi
Gambar 13 Rata-rata pertambahan berat badan selama intervensi
Rata-rata pertambahan tinggi badan setiap bulan juga mengalami kenaikan
dan penurunan pada kedua kelompok selama intervensi (Gambar 14). Rata-rata
pertambahan tinggi badan pada kelompok perlakuan menurun pada bulan kedua
sampai bulan keempat, akan tetapi setelah itu pada bulan kelima sampai bulan
keenam terjadi kenaikan pertambahan tinggi badan.
0.8
0.23
0.57
0.390.5
0.75
0.5
0.54
0.39
0.5
0.75
0.57
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1 2 3 4 5 6
Bulan ke
Per
tam
baha
n TB
(cm
)
PerlakuanKontrol
intervensi
Gambar 14 Rata-rata pertambahan tinggi badan selama intervensi
Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata pertambahan tinggi badan
menurun setiap bulan kecuali bulan kelima terjadi kenaikan dan kembali menurun
pada bulan keenam. Namun secara keseluruhan rata-rata pertambahan tinggi
badan selama 6 bulan hampir sama yaitu 3.35 cm pada kelompok perlakuan dan
3.14 cm pada kelompok kontrol. Rata-rata pertambahan tinggi badan ini juga
tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Wardlaw, et al (1992) bahwa
pertambahan tinggi badan anak usia 4-6 tahun 2,5 inchi atau sekitar 6,3 cm per
tahun pada anak perempuan dan 3 inchi atau sekitar 7,5 cm per tahun pada anak
laki-laki.
Vitamin B12 Serum dan Status Vitamin B12 Kadar Vitamin B12 Serum
Rata-rata kadar vitamin B12 serum awal intervensi hampir sama pada
kedua kelompok yaitu 337.9 ± 62.8 pg/mL dan 350.4 ± 83.2 pg/mL masing-
masing untuk kelompok intervensi dan kelompok kontrol (Tabel 24). Hasil uji
beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok di awal intervensi (p > 0.05). Setelah mendapat intervensi selama 6
bulan rata-rata kadar vitamin B12 serum pada kelompok intervensi meningkat
sebesar 148.4 ± 110.9 pg/mL. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya
meningkat sedikit (3.7 ± 12.8 pg/mL). Hasil ini sesuai dengan penelitian
Siekmann JH et al (2003) terhadap anak sekolah di Kenya yang menemukan
bahwa kelompok yang diberi makanan tambahan berupa susu selama 1 tahun
mengalami peningkatan kadar vitamin B12 plasma sebesar 89±96 pg/mL, dan
kelompok yang diberi daging mengalami peningkatan kadar vitamin B12 plasma
sebesar 66±89 pg/mL.
Tabel 24 Rata-rata kadar vitamin B12 serum
Kadar Vit B12 (pg/mL) Waktu pengukuran Intervensi
(n=15) Kontrol (n=14)
Total (n=29)
Sig.
Awal 337.9±62.8 350.4±83.2 343.9±72.3 0.965 Akhir 486.3±131.8 354.1±82.3 422.5±127.8 0.009a
Selisih 148.4±110.9 3.7±12.8 78.6±107.9 0.000a
a = berbeda nyata (p < 0.05)
Hasil uji beda menunjukkan bahwa pada akhir intervensi terdapat perbedaan kadar
vitamin B12 serum yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol (p = 0.009) Perbedaan tersebut lebih diperjelas dengan hasil uji beda
terhadap selisih atau perubahan kadar vitamin B12 serum yang juga menunjukkan
perbedaan signifikan (p = 0.000).
Status Vitamin B12
Status vitamin B12 dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan kadar
vitamin B12 serum. Defisiensi vitamin B12 ditetapkan pada batas serum vitamin
B12 dibawah 300 pg/mL. Berdasarkan hasil pemeriksaan vitamin B12 serum
pada awal penelitian terdapat 26.7 % contoh kelompok intervensi yang mengalami
defisiensi vitamin B12 dan 21.4 % pada kelompok kontrol. Setelah pemberian
suplemen vitamin B12 selama 6 bulan, proporsi defisiensi vitamin B12 pada
kelompok perlakuan turun menjadi 0.0 %. Dengan kata lain tidak ada contoh pada
kelompok intervensi yang mengalami defisiensi vitamin B12 di akhir intervensi
(Gambar 15). Penurunan proporsi defisiensi vitamin B12 juga ditemukan pada
penelitian Siekmann JH et al (2003) terhadap anak-anak sekolah di Kenya.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelompok yang diberikan intervensi
makanan tambahan berupa daging (60-85 g/hr) mengalami penurunan prevalensi
defisiensi vitamin B12 sebesar 16 persen (80,7 % pada awal intervensi menjadi
64,1 % akhir itervensi). Demikian juga dengan kelompok yang diberi susu (200-
250 ml/hr) mengalami penurunan prevalensi defisiensi vitamin B12 sebesar 26
persen (71,6 % awal intervensi menjadi 45.1 % akhir intervensi).
Proporsi defisiensi vitamin B12 pada kelompok kontrol awal intervensi
sebesar 21.4 % mengalami peningkatan menjadi 28.6 % di akhir intervensi. Hal
ini berarti ditemukan contoh pada kelompok kontrol yang mengalami penurunan
serum vitamin B12 sampai dibawah batas normal pada akhir intervensi.
Penurunan serum vitamin B12 kemungkinan terjadi karena asupan vitamin B12
dari makanan pada seluruh contoh masih rendah ( < 70 % ) baik di awal maupun
akhir intervensi. Selain itu juga kecukupan zat gizi lain yang berperan dalam
mendukung penyerapan vitamin B12 seperti kalsium dan protein juga masih
rendah pada kelompok ini yaitu dibawah 70 % untuk protein bahkan dibawah
50 % untuk kalsium (Tabel 20 dan 21).
26.7
0
21.4
28.6
24.1
13.8
0
5
10
15
20
25
30
Def
isisne
si (
% )
Intervensi Kontrol Total
Awal Akhir
Gambar 15 Persentase contoh yang mengalami defisiensi vitamin B12
Faktor Risiko Defisiensi Vitamin B12 Berdasarkan kajian pustaka diduga faktor yang berperan dalam kejadian
defisiensi vitamin B12 pada anak usia prasekolah adalah konsumsi vitamin B12
yang diperoleh dari makanan. Selain itu konsumsi kalsium dan protein
kemungkinan turut menentukan status vitamin B12 dalam tubuh mengingat peran
kalsium dan protein diperlukan dalam proses penyerapan dan transport vitamin
B12 dalam darah. Asupan zat-zat gizi dari makanan tentunya tidak terlepas dari
pengaruh beberapa faktor tidak langsung terutama faktor sosial ekonomi seperti
dayabeli, pengetahuan atau pendidikan. Untuk menganalisis pengaruh beberapa
faktor yang diduga berperan terhadap kejadian defisiensi vitamin B12 dilakukan
analisis diskriminan khusus terhadap faktor langsung yaitu asupan vitamin B12,
protein dan laksium berdasarkan data awal intervensi Analisis diskriminan
dimaksudkan untuk mengetahui apakah faktor-faktor risiko yang diduga berperan
terhadap kejadian defisiensi vitamin B12 mempunyai pengaruh yang signifikan,
dan untuk membedakan seberapa besar pengaruh dari setiap faktor risiko tersebut.
Hasil analisis diskriminan terhadap faktor risiko terjadinya defisiensi
vitamin B12 dapat dilihat pada Tabel 25. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa nilai Canonical Correlation sebesar 0.549. Bila Canonical Correlation
dikuadratkan (0.549 x 0.549 = 0.301) menunjukkan bahwa 30.1 % varians dari
variabel status vitamin B12 (defisiensi dan tidak defisiensi vitamin B12)
ditentukan secara bersama-sama oleh asupan kalsium, vitamin B12 dan protein.
Nilai chi-square sebesar 9.15 dengan nilai p = 0.027 menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan pada asupan kalsium, vitamin B12 dan protein antara
kedua kelompok (defisiensi dan tidak defisiensi). Nilai koefisien fungsi
menunjukkan besar pengaruh setiap faktor yang dianalisis. Asupan kalsium
merupakan faktor yang paling membedakan terjadinya defisiensi vitamin B12,
kemudian diikuti oleh faktor asupan vitamin B12 dan asupan protein.
Tabel 25 Analisis diskriminan faktor risiko defisiensi vitamin B12
Variabel Koefisien fungsi
Canonical correlation
Chi-squere Sig.
Konsumsi Kalsium 0.944
Konsumsi vitamin B12 0.795
Konsumsi Protein 0.705
0.549 9.15 0.027
Gambaran tentang distribusi beberapa peubah karakteristik sosial ekonomi
keluarga dan asupan gizi berdasarkan status defisiensi vitamin B12 pada awal
intervensi dapat dilihat pada Tabel 26. Dari seluruh contoh yang mengalami
defisiensi vitamin B12 pada awal intervensi ternyata seluruhnya (100.0 %)
mempunyai rata-rata asupan vitamin B12 dibawah rata-rata asupan vitamin B12
contoh, 85.7 % berada di bawah rata-rata asupan kalsium dan protein, serta 71.4
% berada pada tingkat pendapatan perkapita di bawah rata-rata. Selanjutnya
untuk peubah lainnya ditemukan 57.1 % contoh yang defisiensi vitamin B12
mempunyai status gizi kurang atau berat badan rendah (underweight) dan 57.1 %
dari mereka berasal dari keluarga dengan pendidikan ibu yang rendah (Sekolah
Dasar). Keadaan tersebut menujukkan bahwa contoh yang mengalami defisiensi
vitamin B12 umumnya berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi
rendah dan juga mempunyai asupan zat gizi yang rendah. Keadaan ini mendukung
hasil analisis diskriminan terhadap faktor-faktor yang diduga menjadi risiko
terjadinya defisiensi vitamin B12 pada anak prasekolah.
Rendahnya konsumsi vitamin B12 sesuai dengan masih rendahnya
konsumsi pangan hewani sebagai sumber vitamin B12 dan sekaligus sebagai
sumber protein. Telur sebagai sumber protein, kalsium dan vitamin B12 walaupun
termasuk pangan hewani yang relatif murah dan mudah didapat di desa namun
faktor bosan mungkin dapat mempengaruhi jumlah yang dikonsumsi.
Tabel 26 Distribusi konsumsi gizi dan karakteristik keluarga berdasarkan status vitamin B12
Status vitamin B12
Defisiensi Nondefisiensi
Total
Peubah
n % n % n % Konsumsi vit B12
< Rata-rata 7 100.0 11 50.0 18 62.1 ≥ Rata-rata 0 0.0 11 50.0 11 37.9 Total 7 100.0 22 100.0 29 100.0
Konsumsi protein < Rata-rata 6 85.7 9 40.9 15 51.7 ≥ Rata-rata 1 14.3 13 59.1 14 48.3 Total 7 100.0 22 100.0 29 100.0
Konsumsi Kalsium < Rata-rata 6 85.7 8 36.4 14 48.3 ≥ Rata-rata 1 14.3 14 63.0 15 51.7 Total 7 100.0 22 100.0 29 100.0
Status Gizi Underweight 4 57.1 5 22.7 9 31.0 Normal 3 42.9 17 77.3 20 70.0 Total 7 100.0 22 100.0 29 100.0
Pendapatan perkapita < Rata-rata 5 71.4 8 36.4 13 44.8 ≥ Rata-rata 2 28.6 14 63.6 16 55.2 Total 7 100.0 22 100.0 29 100.0
Pendidikan Ibu SD 4 57.1 3 13.6 7 24.1 SLTP 1 14.3 7 31.8 8 27.6 SLTA 2 28.6 10 45.5 12 41.4 PT 0 0.0 2 9.1 2 6.9 Total 7 100.0 22 100.0 29 100.0
Bila dikaitkan dengan tingkat pendapatan terlihat bahwa contoh yang
defisiensi vitamin B12 umumnya berasal dari keluarga dengan ekonomi rendah
dan pendidikan ibu yang rendah juga. Pendidikan ibu yang rendah diduga
berkaitan dengan pengetahuan gizi yang rendah pula, sehingga kemungkinan ibu
tidak mempunyai inisiatif untuk menyediakan makanan anak dengan pendapatan
yang terbatas. Padahal bila dibarengi pengetahuan gizi yang baik, sumber protein
dan vitamin B12 yang relatif murah seperti tempe dapat diandalkan untuk
memenuhi kebutuhan gizi anak bila ibu mengolah dan menyajikannya bervariasi.
Pada Tabel 27 dapat dilihat gambaran rata-rata kecukupan energi dan zat
gizi pada contoh yang defisiensi dan yang tidak defisiensi vitamin B12. Secara
keseluruhan rata-rata kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat dan beberapa
vitamin dan mineral yang ditampilkan pada kelompok yang defisiensi vitamin
B12 lebih rendah dibandingkan kecukupan gizi kelompok nondefisiensi vitamin
B12. Khusus untuk vitamin B12 dan kalsium rata-rata kecukupannya pada contoh
yang defisiensi vitamin B12 hanya separuh dari rata-rata kecukupan yang tidak
mengalami defisiensi. Hal ini mendukung menunjukkan bahwa faktor kecukupan
atau konsumsi vitamin B12 dan kalsium merupakan faktor risiko untuk terjadinya
defisiensi vitamin B12. Tingkat kecukupan yang mencapai 70 % terdapat pada
kelompok nondefisiensi vitamin B12 untuk protein, karbohidrat, dan pospor,
sementara pada kelompok defisiensi vitamin B12 hanya pospor yang mencapai
kecukupan 70 %.
Tabel 27 Distribusi rata-rata konsumsi gizi berdasarkan status
vitamin b12
Kecukupan gizi (%)
Defisiensi B12
(n=7)
Nondefisiensi B12
(n=22)
Total
(n=29)
Zat Gizi
Rata-rata SD Rata-rata SD Rata-rata SD Energi 49.9 8.8 56.5 10.3 54.9 10.2 Protein 57.4 9.2 70.1 12.9 67.1 13.2 Lemak 37.0 12.6 53.6 10.5 49.6 13.0 Karbohidrat 68.3 14.8 71.1 15.9 70.4 15.4 Vitamin A 23.0 8.1 34.4 16.6 31.7 15.7 Vitamin C 23.5 12.2 40.3 23.7 36.3 22.5 Asam Folat 22.6 7.1 31.3 9.5 29.2 9.7 Vitamin B12 27.5 6.3 47.9 19.3 43.0 19.1 Kalsium 14.5 8.0 25.9 8.2 23.2 9.4 Pospor 72.4 12.0 91.9 19.1 87.2 19.4 Besi 33.2 6.2 46.5 13.5 43.3 13.3
Pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap kadar vitamin B12 serum
Untuk menganalisis pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap kadar
vitamin B12 serum dilakukan analisis regresi. Berdasarkan tinjauan teoritis faktor
yang diduga mempengaruhi rendahnya kadar vitamin B12 serum terdiri dari
asupan vitamin B12, protein dan kalsium. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa berdasarkan hasil analisis uji beda terhadap faktor-faktor tersebut tidak
terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok untuk asupan vitamin
B12, protein dan kalsium baik awal maupun akhir intervensi (Tabel 18dan 19).
Dengan demikian untuk menguji pengaruh pemberian suplemen vitamin B12
terhadap kadar vitamin B12 serum faktor-faktor tersebut tidak perlu dimasukkan
dalam analisis regresi.
Tabel 28 Hasil analisis regresi pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap kadar vitamin B12 serum
Variabel B t Sig.
Konstanta 354.143 11.961 0.000 Suplemen vit. B12 (0=kontrol; 1=perlakuan) 132.170 3.211 0.003a
a = berbeda nyata (p < 0.05) R square = 0.276
Tabel 28 menunjukkan hasil analisis regresi bahwa pemberian suplemen
vitamin B12 berpengaruh signifikan terhadap kadar vitamin B12 serum (p < 0.05).
Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan kadar vitamin B12 serum pada kelompok
intervensi terjadi disebabkan pemberian suplemen vitamin B12 selama 6 bulan.
Nilai R square 0.276 berarti Hasil ini sesuai dengan penelitian Siekman JH et al
(2003) di Kenya, yang menemukan bahwa pemberian makanan tambahan sumber
vitamin B12 berupa daging pada anak sekolah selama 1 tahun dapat meningkatkan
kadar vitamin B12 plasma sebesar 89 ± 104 pg/ml.
Hemoglobin dan Anemia
Rata-rata kadar Hb pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada
awal penelitian umumnya pada kategori baik (Hb > 11 gr/dl). Setelah pemberian
suplemen vitamin B12 selama 6 bulan terjadi peningkatan kadar Hb sebesar
1.0±1.3 g/dl pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi
penurunan sebesar 0.2±1.2 g/dl (Tabel 29), namun secara keseluruhan rata-rata
kadar Hb tetap baik pada akhir intervensi. Hasil uji beda terhadap rata-rata kadar
Hb menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua
kelompok baik di awal maupun akhir intervensi (p > 0.05). Namun hasil uji beda
terhadap selisih kadar Hb pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang
signifikan (p = 0.017).
Tabel 29 Rata-rata kadar Hb contoh berdasarkan kelompok perlakuan
Kadar Hb (g/dl) Waktu
pengukuran Intervensi
(n=15) Kontrol (n=14) Total (n=29)
Sig.
Awal 11.2±1.8 11.9±1.3 11.6±1.6 0.226
Akhir 12.2±1.1 11.8±1.0 12.0±1.1 0.291
Selisih 1.0±1.3 -0.2±1.2 0.4±1.3 0.017 a
a = berbeda nyata (p < 0.05)
Bila dibandingkan dengan penelitian terhadap anak sekolah di Kenya
(Siekmann LM et al 2003) juga memperoleh hasil bahwa pemberian makanan
tambahan berupa daging dan susu sebagai sumber vitamin B12 pada anak sekolah
tidak berpengaruh nyata terhadap kadar hemoglobin. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa peran vitamin B12 sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi
pembentukan hemoglobin, akan tetapi melalui perannya sebagai kofaktor dalam
pembentukan energi dari lemak dan protein dalam pembentukan sucsinyl-CoA
yang dibutuhkan dalam sintesis hemoglobin (Gibson 2005; Herbert V 1996).
Selain itu vitamin B12 juga berperan dalam metabolisme asam folat yang
merupakan komponen penting dalam pembentukan hemoglobin disamping zat
besi. Dengan kata lain keterkaitan antara vitamin B12 dengan hemoglobin juga
tergantung pada keberadaan zat-zat gizi lain seperti asam folat, besi dan protein
(Wardlaw G et al 1992; Brody 1999). Penigkatan kadar Hb pada kelompok
intervensi menunjukkan bahwa vitamin B12 berperan penting dalam sintesis
hemoglobin walaupun keberadaan zat gizi pembentuk hemoglobin yang diperoleh
dari makanan masih rendah. Dalam pnelitian ini keberadaan zat besi dan asam
folat dalam darah tidak dianalisis akan tetapi hanya dihitung jumlah atau tingkat
kecukupannya.
Status anemia ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin (Hb) darah
dengan batasan untuk kategori anemia bila kadar Hb < 11g/dl dan normal (tidak
anemia) bila kadar Hb ≥ 11 gr/dl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
awal intervensi tedapat 41.4 % dari seluruh total contoh yang tergolong anemia.
Bila dibedakan antara dua kelompok terdapat 46.7 % contoh yang mengalami
anemia pada kelompok intervensi dan 35.7 % contoh pada kelompok kontrol.
Setelah pemberian intervensi vitamin B12 selama 6 bulan terjadi penurunan
prevalensi anemia pada kedua kelompok, yaitu menjadi 20.0 % pada kelompok
intervensi dan 21.4 % pada kelompok kontrol (Tabel 30). Walaupun terjadi
penurunan prevalensi anemia pada kedua kelompok setelah pemberian intervensi
suplemen vitamin B12 selama 6 bulan, namun penurunan pada kelompok
intervensi lebih tinggi ( 27 %) dibandingkan pada kelompok kontrol yang hanya
separuhnya (14 %).
Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan status anemia pada awal
dan akhir intervensi
Perlakuan Kontrol Total Status anemia
n % n % n %
Anemia (Hb < 11.0 g/dl) 7 46.7 5 35.7 12 41.4 Awal
Normal (Hb ≥ 11.0 g/dl) 8 53.3 9 64.3 17 58.6
Anemia (Hb < 11.0 g/dl) 3 20.0 3 21.4 6 20.7 Akhir
Normal (Hb ≥ 11.0 g/dl) 12 80.0 11 78.6 23 79.3
Secara keseluruhan prevalensi anemia pada awal penelitian berada
dibawah angka prevalensi anemia pada balita di Indonesia menurut data
Departemen Kesehatan (Depkes 2005) yaitu sebesar 47.0 %. Namun angka
prevalensi pada kelompok intervensi hampir sama yaitu 46.7 %. Tingginya angka
prevalensi anemia ini kemungkinan terkait dengan rendahnya asupan zat gizi yang
berperan dalam pembentukan hemoglobin seperti besi, asam folat dan vitamin
B12. Hasil penelitian ini menunjukkan masih rendahnya tingkat kecukupan gizi
contoh termasuk ketiga zat gizi tersebut sebagaimana diuraikan pada bahasan
sebelunya.
Pada Gambar 16 lebih jelas terlihat proporsi anemia serta perubahannya
dari awal dan akhir intervensi berdasarkan kelompok perlakuan
46.7
20.0
35.7
21.4
41.4
20.7
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
40.0
45.0
50.0
Ane
mia
(%
)
Intervensi Kontrol Total
Aw al
Akhir
Gambar 16 Persentase contoh yang Anemia
Untuk mengetahui lebih spesifik pengaruh pemberian suplemen vitamin
B12 terhadap kadar Hb dilakukan analisis khusus terhadap kelompok yang
mengalami anemia. Rata-rata kadar Hb pada kelompok intervensi yang anemia
awal intervensi sebesar 9.6 ± 1.1 g/dl dan 10.5 ± 0.3 g/dl pada kelompok kontrol
(Tabel 31). Setelah pemberian suplemen vitamin B12 selama 6 bulan terjadi
peningkatan rata-rata kadar Hb sebesar 2.0 ±1.2 g/dl pada kelompok perlakuan,
sementara pada kelompok kontrol hanya terjadi sedikit peningkatan sebesar 0.5 ±
0.7 g/dl. Hasil uji beda terhadap peningkatan kadar Hb pada kedua kelompok
menunjukkan perbedaan yang signifikan (p = 0.028). Bila dilihat asupan zat gizi
dari makanan yang berperan dalam pembentukan hemoglobin seperti besi, protein,
dan beberapa vitamin termasuk vitamin B12 dan vitamin C pada kedua kelompok
tidak berbeda nyata (Tabel 12).
Tabel 31 Rata-rata kadar Hb pada contoh yang anemia
Kadar Hb (g/dl) Waktu pengukuran
Perlakuan (n=7) Kontrol (n=5) Total (n=12)
Sig.
Awal 9.6±1.1 10.5±0.3 9.9±0.9 0.042
Akhir 11.6±1.3 11.0±0.7 11.3±1.1 0.413
Selisih 2.0±1.2 0.5±0.7 0.4±1.3 0.028a a = berbeda nyata (p < 0.05)
Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan kadar Hb pada
kelompok intervensi yang lebih tinggi dari kelompok kontrol kemungkinan
disebabkan adanya penambahan asupan vitamin B12 yang diberikan melalui
intervensi berupa suplemen.
Pengaruh Suplemen Vitamin B12 Terhadap Daya Ingat
Daya ingat anak yang diukur dengan metode ‘ingat gambar’ disajikan
dalam bentuk skor daya ingat (Tabel 32). Setelah pemberian suplemen vitamin
B12 selama 6 bulan rata-rata skor daya ingat anak meningkat dibandingkan
dengan skor daya ingat awal penelitian baik pada kelompok perlakuan maupun
pada kelompok kontrol. Peningkatan skor daya ingat pada kelompok perlakuan
lebih tinggi yaitu 13.7 ± 4.5 poin dibandingkan kelompok kontrol sebesar 9.1 ±
2.4. Hasil uji beda terhadap skor daya ingat anak menunjukkan bahwa pada awal
intervensi tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Demikian juga pada akhir
intervensi rata-rata skor daya ingat tidak berbeda nyata antara kedua kelompok.
Namun hasil uji beda terhadap selisih atau perubahan skor daya ingat
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0.002) antara selisih
skor pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Tabel 32 Rata-rata skor daya ingat pada awal dan akhir penelitian
Skor daya ingat Waktu Pengukuran Perlakuan
(n=15) Kontrol (n=14)
Total (n=29)
Sig.
Awal 26.5±5.8 25.4±6.5 26.0±6.0 0.609 Akhir 40.2±9.2 34.5±5.8 37.5±8.2 0.059
Selisih 13.7±4.5 9.1±2.4 11.5±4.2 0.002a a = berbeda nyata (p< 0.05)
Hasil ini didukung oleh penelitian Bryan J et al (2002) di Australia yang
menemukan bahwa terdapat pengaruh yang positif dari supelemen vitamin B12
tetapi ditambah dengan vitamin B6 dan asam folat terhadap kemampuan memori
yang diukur melalui kecepatan pemerosesan informasi, kemampuan mengingat
dan mengenal serta kemampuan verbal. Sedangkan penelitian Lewerin C et al
(2005) pada kelompok lanjut usia di swedia, menunjukkan bahwa plasma
homosistein dan serum Methylmalonic Acid (MMA) yang tinggi berkorelasi
terbalik dengan kemampuan kognitif. Plasma homosistein dan MMA yang tinggi
biasanya terjadi karena rendahnya vitamin B12 dan asam folat. Selanjutnya
dikatakan bahwa suplementasi vitamin B12 secara oral dapat menurunkan plasma
homosistein dan methylmalonic acid (MMA) namun belum dapat meningkatkan
fungsi kognitif. Demikian juga Eussen SJ et al (2006) dalam penelitiannya di
Belanda menunjukkan bahwa suplemen vitamin B12 yang diberikan pada usia
lanjut dapat memperbaiki status defisiensi vitamin B12 akan tetapi tidak
memperbaiki fungsi kognitif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa faktor yang diduga berpengaruh
terhadap daya ingat meliputi konsumsi gizi (energi dan protein) dan status gizi
serta kondisi kesehatan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada awal maupun akhir intervensi
(p>0.05). Dengan demikian dalam menguji pengaruh pemberian suplemen
vitamin B12 terhadap daya ingat faktor-faktor tersebut tidak perlu dimasukkan
dalam analisis regresi. Hasil analisis regresi logistik pengaruh suplemen vitamin
B12 terhadap perubahan daya ingat contoh dapat dilihat pada Tabel 33.
Tabel 33 Hasil analisis regresi logistik pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap perubahan daya ingat contoh
Variabel B Galat Exp(B) Sig.
Konstanta -2.565 1.038 0.077 0.013a
Suplemen vitamin B12 (0=kontrol; 1=perlakuan)
2.970 1.164 19.500 0.011a
a = berpengaruh nyata (p< 0.05)
Hasil analsisis regresi logistik pada Tabel 33 menunjukkan bahwa
pemberian suplemen vitamin B12 berpengaruh signifikan terhadap perubahan
skor daya ingat contoh (p < 0.05). Nilai Exp(B) merupakan nilai Relative Risk
(RR) 19.5 menunjukkan bahwa kelompok yang mendapat suplemen vitamin B12
mempunyai peluang 19.5 kali lebih besar dibanding kelompok kontrol untuk
mempunyai daya ingat diatas rata-rata.
Selanjutnya pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap skor
daya ingat pada contoh yang anemia dianalisis dengan regresi logistik maka dapat
dilihat pada Tabel 34
Tabel 34 Analisis regresi logistik pengaruh suplemen vitamin b12
terhadap daya ingat contoh yang anemia
Variabel B Galat Exp(B) Sig.
Konstanta -1.386 1.118 0.250 0.215
Suplemen vitamin B12 (0=kontrol; 1=perlakuan)
2.303 1.396 10.000 0.099b
b = berpengaruh nyata (p < 0.10)
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa pemberian suplemen
vitamin B12 berpengaruh positif dan signifikan terhadap daya ingat pada
kelompok yang menderita anemia (p < 0.10). Nilai Relative Risk (RR) 10.00
menunjukkan bahwa contoh yang anemia dan memperoleh suplemen vitamin B12
mempunyai peluang 10 kali lebih besar dari kelompok kontrol yang anemia untuk
memiliki daya ingat diatas rata-rata
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada awal sebelum intervensi
ditemukan masalah defisiensi vitamin B12 sebesar 26.7 % pada kelompok
intervensi dan 21.4 % pada kelompok kontrol. Defisiensi vitamin B12 pada
penelitian ini masih di bawah angka prevalensi defisiensi vitamin B12 anak
sekolah di Kenya yaitu 71.6 %-80.7 % (Siekmann JH et al 2003). Demikian juga
di Guatemala terdapat 33 % anak sekolah mengalami defisiensi vitamin B12
(Rogers LM et al 2003). Walaupun defisiensi vitamin B12 pada penelitian ini
masih dibawah angka di Kenya dan Guatemala, namun defisiensi vitamin B12
merupakan masalah yang serius mengingat peran vitamin B12 yang sangat
penting dalam pembentukan hemoglobin dan pemeliharaan myelin syaraf.
Hemoglobin sebagai pembawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh termasuk otak,
dan myelin syaraf yang berperan penting dalam proses perpindahan
neurotransmitter, menyebabkan defisiensi vitamin B12 akan berhubungan dengan
penurunan fungsi kognitif termasuk daya ingat anak.
Hasil analisis diskriminan menunjukkan beberapa faktor risiko terjadinya
defisiensi vitamin B12 adalah rendahnya asupan vitamin B12, protein dan
kalsium. Hal ini dapat dijelaskan bahwa keberadaan vitamin B12 dalam serum
sangat tergantung pada asupan vitamin B12 dari makanan, sementara protein dan
kalsium diperlukan dalam proses metabolisme vitamin B12 dalam tubuh. Jika ada
vitamin B12 yang dapat dibentuk dalam usus besar kemungkinan untuk terserap
sangat kecil karena dalam proses penyerapan vitamin B12 memerlukan intrinsic
factor yang hasilkan sel-sel parietal di lambung dan ikatan antara vitamin B12 dan
intrinsic factor terjadi di usus halus yang kemudian diserap ke dalam darah.
Protein juga merupakan faktor risiko defisiensi vitamin B12 karena protein
berperan sebagai pembentuk intrinsic factor dan reseptor yang menerima dan
mengikat vitamin B12 dalam darah yaitu transcobalamin. Demikian juga kalsium
yang berperan penting dalam proses absorbsi dan transport vitamin B12 ke dalam
sel-sel jaringan tubuh yang membutuhkannya (Herbert V 1996).
Pemberian vitamin B12 selama 6 bulan (24 minggu) pada anak prasekolah
dapat meningkatkan kadar serum vitamin B12. Peningkatan kadar vitamin B12
serum pada kelompok intervensi (148.4±110.9 pg/mL) lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol (3.7±12.8 pg/mL) dan peningkatan tersebut berbeda
signifikan (p=0.000). Peningkatan kadar vitamin B12 serum juga diikuti dengan
penurunan angka defisiensi vitamin B12. Setelah menerima intervensi vitamin
B12 selama 6 bulan (24 minggu) angka defisiensi vitamin B12 turun menjadi
0.0 % pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol justru terjadi
peningkatan angka defisiensi dari 21.4 % menjadi 28.6 %. Penurunan defisiensi
vitamin B12 juga ditemukan pada penelitian Siekmann JH et al (2003) di Kenya.
Anak sekolah diberikan intervensi makanan tambahan yang mengandung vitamin
B12 sekitar 1-1.4 (satu kelompok diberi daging 60-85 g/hr dan kelompok lain
diberi susu 200-250 ml/hr). Setelah mendapat intervensi satu tahun terjadi
penurunan prevalensi defisiensi vitamin B12 dari 80,7 % pada awal intervensi
menjadi 64,1 % akhir intervensi pada kelompok yang menerima daging..
Sementara kelompok yang diberi susu juga mengalami penurunan prevalensi
defisiensi vitamin B12 dari 71,6 % awal intervensi menjadi 45.1 % akhir
intervensi. Penurunan persentase defisiensi vitamin B12 pada penelitian ini
sampai 0.0 %, menunjukkan bahwa pada akhir intervensi semua contoh kelompok
intervensi mempunyai kadar vitamin B12 serum menjadi normal. Hal ini
kemungkinan karena tingkat defisiensi pada contoh penelitian ini berada pada
tingkat ringan (serum vitamin B12 200-300 pg/mL), sedangkan tingkat defisiensi
vitamin B12 pada penelitian di Kenya tingkat defisiensi bervariasi mulai ringan
sampai berat. Penelitian Tucker KL et al (2004) terhadap usia lanjut di Amerika
Serikat dengan memberikan intervensi berupa sarapan sereal yang difortifikasi
dengan vitamin B12, vitamin B6 dan asam folat, dapat menurunkan defisiensi
vitamin B12 dari 9 % menjadi 3 %, dengan peningkatan rata-rata kadar vitamin
B12 plasma dari 296±10 pmol/L menjadi 354±13 pmol/L. Hasil penelitian lain
oleh Eussen SJ et al (2005) terhadap kelompok usia lanjut di Belanda
menunjukkan bahwa pemberian intervensi vitamin B12 dengan dosis rendah dapat
menormalkan kembali kondisi defisiensi vitamin B12 tingkat ringan.
Dalam penelitian ini diperoleh hasil analisis regresi pengaruh suplemen
vitamin B12 serum vitamin B12 bahwa pemberian suplemen vitamin B12 selama
6 bulan berpengaruh positif dan signifikan terhadap serum vitamin B12.
Sementara pengaruh faktor lain seperti asupan vitamin B12, kalsium dan protein
tidak dimasukkan dalam analisis karena berdasarkan analisis terhadap konsumsi
pangan dan gizi tidak ada perbedaan yang signifikan pada awal maupun akhir
intervensi. Dengan demikian perubahan kadar vitamin B12 pada kelompok
intervensi terjadi karena perbedaan asupan vitamin B12 melalui suplemen yang
diberikan selama 6 bulan dengan dosis suplemen 10 mikrogram per hari.
Walaupun pada awal intervensi secara keseluruhan rata-rata kadar Hb pada kedua
kelompok berada pada kategori baik yaitu 11.2 ±1.8 g/dl kelompok intervensi dan
11.9±1.3 g/dl pada kelompok kontrol, masih ditemukan prevalensi anemia sebesar
46.7 % dan 35.7 % pada masing-masing kelompok intervensi dan kontrol.
Setelah pemberian suplemen vitamin B12 selama 6 bulan terjadi peningkatan
kadar Hb sebesar 1.0±1.3 g/dl pada kelompok intervensi dan terjadi penurunan
-0.2±1.2 g/dl pada kelompok kontrol, dan perubahan kadar Hb tersebut berbeda
signifikan antara dua kelompok (p = 0.017). Hal ini menunjukkan bahwa vitamin
B12 berperan penting dalam peningkatan kadar hemoglobin, yang dapat
dijelaskan melalui perannnya sebagai kofaktor untuk mengaktifkan koenzim folat
menjadi bentuk aktif sehingga dapat digunakan dalam pembentukan DNA, yang
selanjutnya diperlukan untuk pembentukan hemoglobin dan sel-sel darah merah
(Herbert V 1996; Wardlaw G et al 1992). Selain itu vitamin B12 berperan
sebagai koenzim untuk L-Methylmalonyl-CoA mutase dalam pembentukan
Sucsinyl CoA dari L-Methylmalonyl-CoA yang diperlukan dalam pembentukan
hemoglobin serta pembentukan energi dari lemak dan protein (Herbert V 1996;
Sauberlich 1999; Gibson 2005; Carmel 2006).
Selanjutnya bila dianalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12
khusus pada contoh yang anemia, ditemukan bahwa peningkatan kadar Hb sebesar
2.0±1.2 g/dl pada kelompok intervensi dan 0.5±0.7 g/dl pada kelompok kontrol,
dan perbedaannya signifikan (p = 0.028). Perubahan kadar Hb pada contoh yang
anemia lebih besar dibandingkan peningkatan kadar Hb contoh keseluruhan.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Siekmann JH et al (2003) di Kenya yang
menunjukkan tidak ada pengaruh pemberian makanan tambahan sumber vitamin
B12 berupa daging maupun susu terhadap penurunan prevalensi anemia yang
diduga karena adanya faktor pengganggu (confounding factors) dimana sebagian
anak yang diintervensi menderita malaria dan infeksi. Sedangkan dalam penelitian
ini contoh berada pada kondisi sehat dan bila ada yang sakit juga hanya tingkat
ringan seperti batuk pilek serta beberapa yang mengalami sakit kulit.
Hasil analisis pemberian suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat anak,
menunjukkan bahwa peningkatan skor daya ingat lebih besar pada kelompok
intervensi (13.7±4.5 poin) dibandingkan dengan kelompok kontrol (9.1±2.4 poin),
dan peningkatan skor daya ingat antara dua kelompok berbeda signifikan (p =
0.002). Analisis regresi logistik pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap
perubahan daya ingat menunjukkan bahwa suplemen vitamin B12 berpengaruh
positif dan signifikan terhadap daya ingat dengan nilai Relative Risk (RR) 19.5
yang berarti kelompok intervensi mempunyai peluang 19.5 kali lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol untuk mempunyai daya ingat diatas rata-rata.
Pengaruh suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat dapat dijelaskan melalui
pengaruhnya yang positif dan signifikan terhadap peningkatan kadar vitamin B12
dan kadar hemoglobin. Peningkatan serum vitamin B12 akan berpengaruh
terhadap kemampuan daya ingat dan kognitif melalui perannya sebagai kofaktor
dalam proses neurotransmitter pada sistem syaraf pusat dan pembentukan sel-sel
darah merah. Bila hemoglobin dan sel-sel darah merah dalam kondisi normal
maka pasokan oksigen kemungkinan besar akan terpenuhi ke seluruh jaringan
tubuh termasuk otak (Bryan J et al 2002, Black 2003, Wardlaw G et al 1992). Hal
ini didukung beberapa hasil penelitian keterkaitan antara vitamin B12 dan
hemoglobin terhadap fungsi kognitif. Penelitian Bryan J et al (2002) pada wanita
berbagai kelompok umur di Australia yang mengemukakan bahwa ada pengaruh
positif dari pemberian suplemen vitamin B12 bersama-sama dengan vitamin B6
dan asam folat terhadap kemampuan memori yang diukur melalui kecepatan
pemrosesan informasi, kemampuan mengingat dan mengenal serta kemampuan
verbal. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang
positif dan signifikan pemberian suplemen vitamin B12 terhadap daya ingat
contoh yang anemia. Nilai RR 10.0 menunjukkan bahwa contoh yang anemia
mempunyai peluang 10 kali dibanding kelompok kontrol untuk mempunyai daya
ingat diatas rata-rats. Hasil ini didukung penelitian Sungtthong R et al (2002)
pada anak-anak sekolah di Thailand yang menunjukkan bahwa anak-anak yang
mengalami anemia defisiensi besi mempunyai fungsi kognitif yang rendah (IQ
point dibawah rata-rata) dibandingkan anak-anak yang tidak anemia, dan terjadi
peningkatan fungsi kognitif sejalan dengan peningkatan kadar hemoglobin
khususnya pada anak yang mengalami defisiensi besi. Penelitian Ellen MW et al
(2002) dari University of Pittsburgh menemukan bahwa level vitamin B12 yang
rendah berhubungan signifikan dengan skor kognitif yang rendah. Beberapa
penelitian lain menunjukkan bahwa pemberian vitamin B12 dapat meningkatkan
status vitamin B12 namun tidak berpengaruh terhadap kemampuan kognitif dan
sering ditemukan pada subyek usia lanjut. Eussen SJ et al (2006) dari hasil
penelitiannya mengatakan bahwa suplementasi secara oral dengan vitamin B12
atau dikombinasikan dengan asam folat selama 24 minggu pada subyek usia lanjut
tidak dapat memperbaiki fungsi kognitif. Demikian juga penelitian Lewerin C et
al (2005) pada kelompok usia lanjut di Swedia menunjukkan bahwa pemberian
vitamin B12 secara oral dapat menormalkan status vitamin B12 namun tidak
berpengaruh pada kemampuan kognitif. Selanjutnya dikatakan bahwa
kemungkinan fungsi kognitif saat terjadi kekurangan vitamin sudah pada tingkat
yang berat sehingga tidak dapat dikembalikan, atau kemungkinan dosis dan lama
pemberian yang kurang tepat.
Peneliti-peneliti di luar negeri seperti Belanda, Inggris, Amerika dan
negara-negara maju lainnya umumnya meneliti vitamin B12 pada lanjut usia
bukan pada anak-anak Hal ini terkait dengan risiko kelompok lanjut usia
mengalami defisiensi vitamin B12 lebih besar dibandingkan dengan anak-anak
karena anak-anak di negara maju mempunyai kebiasaan minum susu yang baik,
dan pangan hewani biasanya ada dalam menu sehari-hari sehingga kecil
kemungkinan anak-anak untuk mengalami defisiensi zat-zat gizi mikro seperti
vitamin B12. Sedangkan pada kelompok lanjut usia biasanya mulai mengurangi
pangan hewani yang umumnya mengandung lemak jenuh dan kolesterol, dan
seringkali beralih ke pangan nabati sebagai upaya menghindari munculnya
penyakit-penyakit degeneratif. Disisi lain semakin tua umur seseorang semakin
menurun kemampuan penyerapan terhadap zat-zat gizi. Hal inilah kemungkinan
penyebab kelompok lanjut usia rentan terhadap defisiensi vitamin B12 dan
seringkali dihubungkan dengan timbulnya dimensia dan penyakit-penyakit lain
yang berkaitan dengan penurunan kognitif. Lain halnya di Indonesia atau negara-
negara sedang berkembang lainnya, penelitian tentang vitamin B12 masih sangat
terbatas atau jarang dilakukan bukan karena tidak ada masalah defisiensi, akan
tetapi lebih dipengaruhi oleh keterbatasan sarana pendukung penelitian, misalnya
laboratorium beserta peralatan analisis vitamin B12 serum atau urin masih sangat
kurang disamping biaya analisis juga relatif mahal. Disamping itu munculnya
gejala klinis yang diakibatkan oleh defisiensi vitamin B12 relatif lambat, gejala
tidak langsung tampak secara fisik sehingga kurang menarik perhatian para
peneliti maupun pihak pemerintah bahkan sering dianggap belum menjadi
masalah kesehatan.
Masih ditemukan hasil-hasil penelitian yang kurang konsisten tentang
fungsi kognitif baik pada anak-anak maupun usia lanjut serta kaitannya dengan
perkembangan fungsi kognitif, oleh karena itu diperlukan kajian-kajian lebih
lanjut untuk mengetahui peran vitamin B12 terhadap fungsi kognitif melalui
berbagai disain penelitian misalnya membedakan subyek berdasarkan status
anemia atau tingkat defisiensi vitamin B12 serta dosis dan waktu pemberian
intervensi. Sudah saatnya peneliti-peneliti bidang kesehatan di Indonesia
memperhatikan masalah gizi mikro selain masalah anemia gizi besi, kurang
yodium dan kurang vitamin A yang selama ini sudah banyak diketahui.
Sebagai gambaran untuk perkirakan biaya yang diperlukan bila
suplementasi vitamin B12 dimasukkan dalam program perbaikan gizi, peneliti
mencoba menganalisis berdasarkan harga berbagai jenis suplemen multivitamin
dan mineral yang dijual di pasaran (apotik dan toko obat). Untuk dosis harian
anak usia dibawah 6 tahun biasanya dianjurkan 5 ml sirup (1 sendok takaran obat)
mengandung 5 mikrogram vitamin B12 yang digabung dengan berbagai vitamin B
lainnya, vitamin A, vitamin C dan beberapa mineral dengan harga sekitar Rp750,-
Bila diberikan 1 mikrogram vitamin B12 (80 % AKG) setiap hari hanya
membutuhkan biaya sekitar Rp 150,- (harga ini mencakup harga beberapa vitamin
lain dan mineral yang ada dalam sirup multivitamin). Biaya suplemen ternyata
jauh lebih murah dibandingkan bila intervensi diberikan melalui pangan misalnya
telur. Satu butir telur ayam mengandung kurang lebih 1 mikrogram vitamin B12
diperlukan biaya sekitar Rp 700,-. Berdasarkan perkiraan biaya tersebut
pemberian suplemen vitamin B12 dalam bentuk sirup jauh lebih murah
dibandingkan dengan pemberian bahan pangan. Pemberian suplemen melalui
sekolah mungkin dapat lebih efektif bila diintegrasikan dengan program UKS dan
program-program kesehatan yang sudah ada. Mengingat vitamin B12 juga dapat
disimpan dalam tubuh, pemberiannya cukup satu semester (sekitar 16 minggu)
dalam satu tahun ajaran.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Defisiensi vitamin B12 ditemukan pada contoh sebesar 24.1 % di awal
penelitian. Pemberian suplemen vitamin B12 selama 6 bulan dapat menurunkan
defisiensi vitamin B12 pada kelompok intervensi dari 26.7 % menjadi 0.0 %.
Beberapa faktor risiko yang memungkinkan terjadinya defisiensi vitamin B12
meliputi konsumsi atau asupan kalsium, vitamin B12, dan protein.
Pemberian suplemen vitamin B12 berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kadar vitamin B12 serum (p = 0.003). Peningkatan vitamin B12 serum
sebesar 148.4 ± 110.9 pg/ml pada kelompok intervensi sedangkan pada kelompok
kontrol peningkatannya sangat kecil (3.1 ± 12.8 pg/ml) dan perubahan vitamin
B12 serum menunjukkan perbedaan yang signifikan (P < 0.05).
Persentase anemia total contoh pada awal intervensi sebesar 41.4 %, dan
masing-masing kelompok intervensi 46.7 % dan kelompok kontrol 35.7 %.
Setelah pemberian suplemen vitamin B12 terjadi penurunan persentase anemia,
dan penurunan persentase pada kelompok intervensi 26,7 % (46,7 % menjadi 20
%) dan pada kel ompok kontrol sebesar 14,3 % (35,7 % menjadi 21.4 %). Rata-
rata kadar hemoglobin (Hb) meningkat pada kelompok intervensi (1.0±1.3 g/dl )
sementara pada kelompok kontrol mengalami penurunan (-0.2±1.2 g/dl), dan
terdapat perbedaan yang signifikan pada perubahan kadar Hb kedua kelompok
(p = 0.017). Khusus pada contoh yang menderita anemia, setelah diberi suplemen
vitamin B12 terdapat perbedaan yang signifikan pada perubahan kadar Hb antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p=0.028) dengan rata-rata
peningkatan kadar Hb pada kelompok intervensi 2.0 ± 1.2 g/dl dan kelompok
kontrol sebesar 0.5 ±0.7 g/dl.
Peningkatan skor daya ingat pada kelompok intervensi lebih besar
dibandingkan dengan kelompok kontrol dan peningkatan tersebut berbeda
signifikan (p =0.002). Pemberian suplemen vitamin B12 berpengaruh positif dan
signifikan terhadap daya ingat (p=0.043). Contoh yang mendapat suplemen
vitamin B12 mempunyai peluang memiliki skor daya ingat diatas rata-rata 19.5
kali lebih besar dari contoh yang tidak mendapat suplemen vitamin B12.
Demikian juga pada contoh yang anemia terdapat pengaruh yang positif dan
signifikan pemberian suplemen vitamin B12 terhadap perubahan daya ingat
dengan nilai Relative Risk (RR) 10.0 menunjukkan bahwa contoh yang anemia
pada kelompok intervensi mempunyai peluang 10 kali lebih besar untuk
mempunyai daya ingat diatas rata-rata dibandingkan dengan contoh yang anemia
pada kelompok kontrol. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pemberian
suplemen vitamin B12 dapat meningkatkan kadar vitamin B12 serum, hemoglobin
dan berpebngaruh positif terhadap daya ingat anak prasekolah.
Saran
1. Mengingat pentingnya peran vitamin B12 dalam tumbuh kempang anak, dan
ternyata suplementasi vitamin B12 mampu meningkatkan kadar serum vitamin
B12 dan dapat kadar Hb anak terutama yang anemia, serta berpengaruh positif
terhadap daya ingat anak, diharapkan vitamin B12 dapat dimasukkan dalam
program perbaikan gizi. Upaya ini dapat dilakukan melalui program
suplementasi dan pemberiannya diintegrasikan dengan program kesehatan
sekolah. Upaya lain dapat juga melalui program fortifikasi makanan dan
minuman yang potensial untuk anak-anak atau melalui perbaikan konsumsi
pangan dengan pendekatan keluarga dan kantin sekolah.
2. Untuk mendukung upaya-upaya perbaikan asupan vitamin B12 tersebut perlu
dilakukan kajian yang bersifat efikasi beberapa model program yang
dipadukan dengan perbaikan status gizi mikro lainnya misalnya pemberian
makanan tambahan dengan bahan pangan berbeda seperti telur dan tempe atau
bahan pangan potensial dari produk lokal sehingga dapat dibedakan model
mana yang lebih efektif untuk memperbaiki status gizi dan perkembangan
kognitif anak.
3. Perlu kajian lebih lanjut tentang suplementasi vitamin B12 terutama pada
kasus anemia dengan mempertimbangkan keberadaan zat gizi lain seperti
protein, kalsium, asam folat, dan zat besi.yang berperan dalam pembentukan
hemoglobin dalam kaitannya dengan peningkatan kemampuan kognitif anak.
DAFTAR PUSTAKA Adkins Y, Lonnerdal B. 2003. Potensial host-defense role of human milk
vitamin B12-binding protein, haptocorrin, in the gastrointestinal tract of breastfed infant as assesed with porcine haptocorrin in vitro. Am J Clin Nutr 77: 1234-1240
Aicardi J. 1992. Diseases of the Nervous System in Childhood. Clinics in
Developmental Medicine No. 115/118 Allen LH. 1994. Vitamin B12 metabolism and status during pregnancy, lactation
and infancy. Adv Exp Med Biol 352: 173-186 Allen et al. 2000. Vitamin B12 deficiency and malabsorbtion are highly prevalent
in rural Mexican communities. Am. J Clin Nutr 62:1013-1019. Allen LH et al. 2000. Lack of hemoglobin response supplementation in anemic
Mexican preschoolers with multiple micronutrient deficiencies. Am. J Clin Nutr 71(6):1485-1494
Allen RH, Stabler SP, Savage DG, Lindenbaum J. 1990. Diagnosis of cobalamin
deficiency I: usefulness of serum methylmalonic acid and total homocysteine concentrations. Am J Hematol 37(2): 139
Ames BN. 2001. DNA damage from micronutrient deficiencies is likely to be a
major cause of cancer. Mutat Res 475(1-2): 7-20 Ames BN. 2002. Micronutrient/metabolite Intake and Metabolic harmony. Am
J Clin Nutr April 2002. Antony AC. 2003. Vegetarianism and Vitamin B12 (Cobalamin) Deficiency. Am
J Clin Nutr 78(1): 3-6 Atmarita. 2006. Analisis Antropometri Balita (SUSENAS 1989–2005).Depkes RI. BAPPENAS. 2004. Indonesia Progress Report on the Millenium Development
Goals. Jakarta. Berk, L.E. 1989. Child Development. Boston, London, Sydney, Toronto. Allyn
and Bacon Black MM. 2003. Micronutrient Deficiencies and Cognitive Functioning. J.Nutr.
133:3927S-3931S. Bolaman Z et al. 2003. Oral versus intramuscular cobalamin treatment in
megaloblastic anemia: a single-center, prospective, randomized, open-label study. Clinical Therapeutics. Dec:25(12):3124-3134.
Bolann et al. 2000. Evaluation of Indicator of Cobalamin Deficiency Defined as Cobalamin-induced Reduction in Increased Serum Methylmalonic Acid. Clinical Chemistry 46: 1744-1750.
Bor MV et al. 2006. A daily intake of approximately 6 µg vitamin B-12 appears
to saturate all the vitamin B-12–related variables in Danish postmenopausal women. Am J Clin Nutr 83:52-58
Brody T. 1999. Nutritional Biochemistry. San Diego, San Fransisco, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo. Academic Press.
Bryan J, Calvares E, Hughes D. 2002. Short-Term Folate, Vitamin B-12 or
Vitamin B-6 Suplementation Slightly Affects Memory Performance But Not Mood in Women of Various Ages. J.Nutr. 132:1346-1356.
Calvagna M. Vitamin B12. American Dietetic Association
(http://www.eatright.org) [September 2007]. Carmel R. 2006. Cobalamin (Vitamin B12). Di dalam: Shils ME, Shike M, Ross
AC, Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and Disease. Ed ke-10. Baltimore. Lippincott Williams and Wilkins.
[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2003. Neurologic
Impairment in Children Associated With Maternal Dietary Deficiency of Cobalamin–Georgia, 2001. Centers for CDC MMWR 52 (4):61-64.
Choi S. 1999. Vitamin B12 deficiency: a new risk factor for breast cancer?
Nutrition Review 57: 250-260 Choi S et al 2004. Vitamin B12 deficiency induces Anomalies of base
substitution and methylation in the DNA of rat colonic epithelium. J Nutr 134: 750-755
Clarke et al. 2003. Screening for vitamin B12 and folat deficiency in older
persons. Am J Clin Nutr 77: 1241-1247. Craik FIM, Lockhart RS. 1972. Levels of processing: A framework for memory
research. Journal of Verbal Learning and Verbal behavior 11:61-684. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2004. Profil Kesehatan Indonesia 2001.
Jakarta. Depkes RI. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan
Tantangan di Masa Datang. Jakarta. Depkes RI [Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Gizi Dalam Angka. Jakarta. Depkes RI
Dhonukshe-Rutten R AM et al. 2005. Effect of supplementation with cobalamin carried either by a milk product or a capsule in mildly cobalamin-deficient elderly Dutch persons. Am J Clin Nutr 82:568-574
Dhopeshwarkar. 1983. Nutrition and Brain Development. New York. Plenum
Press. Durand C, Mary S, Brazo P, Dollfus S. 2003. Psychiatric manifestations of
vitamin B12 deficiency: a case report. Encephale. Nov-Des:29(6):560-5.
Dusseldorp M et al. 1999. Risk of persistent cobalamin deficiency in
adolescents fed a macrobiotic diet in early life. Am J Clin Nutr 69(4):664-671
Ellen MW et al. 2002. Cognitive and behavioral correlates of low vitamin B12
levels in elderly patients with progressive dementia. Am J Geriatr Psychiatry 10:321-327.
Eussen SJ et al. 2006. Effect of oral vitamin B-12 with or without folic acid on
cognitive function in older people with mild vitamin B-12 deficiency: a randomized, placebo-controlled trial. Am. J Clin Nutr. 84(2): 361-370.
Eussen SJ et al. 2005. Oral Cyanocobalamin Supplementation in Older People
With Vitamin B12 Deficiency. Arch Intern Med 165:1167-1172. [FAO/WHO] Food and Agriculture Organization/World Health Organization.
2001. Human Vitamin and Mineral Requirements. Food and Agriculture Organization of United Nation and World Health Organization.
Feldman, RS. 2003. Development Across the Life Span. Upper Sodde River. New
Jersey. Gani. 1992. Indikator Kualitas Manusia dan Penduduk. Jakarta. Prisma LP3ES. Gao X et al. 2003. Dietary pattern is associated with homocysteine and B
vitamin status in an urban chinese population. J Nutr 133(11): 3636-3642
Garcia et al. 2002. Is low-dose oral cobalamin enough to normalize function in
older people?. J Am. Geriatr 50: 1401-1404 Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York. Oxford
University Press. Gutama, 2004. Aspek Gizi dan Stimulasi Pendidikan Anak Dini Usia. Di dalam:
Hardinsyah, Puruhita A, editor. Inovasi Pangan dan Gizi untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak. Prosiding Seminar dan
Workshop; Jakarta, 7-8 Mei 2004. Jakarta. American Soybean Association.
Hao Ling et al. 2007. Vitamin b-12 deficiency is prevalent in 35- to 64-year-old
Chinese adults. J. Nutr. 137:1278-1285
Hardinsyah. 2001. Complementary Feeding and Caring Practices. Di dalam: Hardinsyah, editor. Optimizing Early Child Nutrition. Proceeding from the National Seminar and Workshop; Jakarta September 26-27 2001.
Healton EB, Savage DG, Brust JC, Garrett TJ, Lindenbaum J. 1991. Neurologic
aspect of cobalamin deficiency. Medicine (Baltimore) 70(4):229-245. Herbert. 1996. Vitamin B-12. Di dalam: Ziegler EG, Filer L, editor. Present
Knowledge in Nutrition. Washington DC. ILSI Press. Hermann W et al. 2003. Vitamin B12 status, particularly holotranscobalamin II
and methylmalonic acid concentration, and hyperhomocysteinemia in vegetarian. Am J Clin Nutr. 78:130-136
Herzlich B, Herbert V. 1988. Depletion of serum holotranscobalamin II. An
early sign of negative vitamin B12 balance. Lab Invest. 58(3):332-337.
Higdon J. 2003. Vitamin B12. Linus Pauling Institute Oregon State University.
Higgins MM. Vitamin B12: A Key to Healthy Aging. (http://www.oznet.ksu.edu/humannutrition/vitB) [[Oktober 2005].
Hin H et al. 2006. Clinical relevance of low serum vitamin B12 concentrations in older people: the Banbury B12 study. Age and Aging 35(4): 416-422
Hoey L et al. 2007. Effect of a voluntary food fortification policy on folate, related B vitamin status, and homocysteine in healthy adults. Am J Clin Nutr 86(5): 1405-1413
Hokin, Bevan D, Butler, Terry. 1999. Cyanocobalamin (vitamin B12) status in Seven-day Adventist ministers in Australia. Am J Clin Nutr 70: 576S-578S.
Hop LT, Berger J. 2005. Multiple micronutrient suplementation improves anemia, micronutrient status, and growth of Vietnamese infants: Double-Blind, Randomized, Placebo-Controlled Trial. J Nutr 135:660S-665S
http://www.vegsoc.org/info/b12.html [Maret 2005). Vitamin B12. http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/vitamin/vitaminB12/ [Maret 2005]. Vitamin
B12. http://www.naturalstandard.com/ [Februari 2006). Vitamin B12. http://sickle.bwh.harvard.edu/hemoglobin.html [September 2007). Hemoglobin.
http://en.wikipedia.org/wiki/Anemia [September 2007]. Red blood cell size. Hvas AM, Juul S, Gerdes LU, Nexo E. 2000. The marker of cobalamin
deficiency, plasma methylmalonic acid, correlates to plasma creatinine. J Intern Med 247(4): 507-512
Jalal F. 2003. Pendidikan Input Tumbuh Kembang Anak. http://www.pikiran
rakyat/9september 2003[Maret 2005] Kanarec dan Mark-Kaufman. 1991. Nutrition and Behavior: New Perspective.
New York. Van Nostrand Reinhold. Kartini dan Kartono, 1985. Paranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta. CV.
Rajawali. Kelly G. 1997. The coenzyme form of vitamin B12: Toward an understanding
of their therapeutic potential. Alt Med Rev 2(5): 459-471 Klee. 2000. Cobalamin and Folate Evaluation:Measurement of Methylmalonic
Acid and Homocysteine vs Vitamin B12 and Folate. Clinical Chemistry 46: 1277-1283.
Kustiyah L. 2004. Kajian Pengaruh Intervensi Makanan Kudapan Terhadap
Perubahan Kadar Glukosa Darah dan Daya Ingat Anak Sekolah Dasar[Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Laurinda L et al. 2002. Low Vitamin B-12 Intake and Status Are More Prevalent
in Hispanic Older Adults of Caribbean Origin Than in Neighborhood-Matched Non-Hispanic Whites. J. Nutr. 132:2059-2064
Lewerin et al. 2005. Significant correlation of plasma homocysteineand serum methylmalonic acid with movement and cognitive performance in elderly subjects but no improvement from short-term vitamin therapy: a placebo-controlled randomized study. Am. J Clin Nutr. 81(5):1155-1162.
Lindenbaum J et al. 1988. Neuropsychiatric disorders caused by cobalamin deficiency in the absence of anemia or macrocytosis. The New England J Med 318(26): 1720-1728.
Lindenbaum J, Rosenberg IH, Wilson PW, Stabler SP, Allen RH. 1994.
Prevalence of cobalamin deficiency in the framingham elderly population. Am J Clin Nutr 60: 2-11
Louwman et al. 2000. Signs of impaired cognitive function in adolescents with
marginal cobalamin status. Am. J Clin Nutr. 72(3):762-769.
Lucas. 1993. Perkembangan Anak Usia sekolah. Jakarta. PT Rajawali. Mario TP, Sujarweni VW. 2006. SPSS untuk Paramedis. Ardana Media. Yokyakarta. Mooijaart SP et al. 2005. Homocysteine, vitamin B-12, and folic acid and the risk
of cognitive decline in old age: the Leiden 85-Plus Study. Am J Clin Nutr. 82(4): 866-871
Morgan, King RA, Weisz JR, Schopler J. 1986. Introduction to Psychology.
Seven Edition. New York: McGraw-Hill International Editions. Morris MS, Jacques PF, Rosenberg IH, Selhub J. 2007. Folate and vitamin B12
status in relation to anemia, macrocytosis, and cognitive impairment in older Americans in the age of folic acid fortification. Am J Clin Nutr 85(1): 193-200.
Myerson RM. 1989. Nutrient are necessary to prevent and treat anemia – vitamin
B12, folic acid and iron. Better Nutrition (1989-90). (http://en.wikipwdia.org/wiki/Anemia) [Mei 2005].
[NIH] National Institutes of Health. Dietary Supplement Fact Sheet: Vitamin
B12. NIH Clinical Center USA.gov. (http://ods.od.nih.gov/factsheet/vitaminb12.asp [September 2007)
Nelson DL, Reed VS, Walling JR. 1976. The pictorial superiority effect. Journal
of Experimental Psychology: Human Learning and Memory 2: 523-528 Norman DA. 1976. Memory and Attention: An Introduction to Human
Information Processing. San Diego: Jhon Wiley & Sonc, Inc. Obeid R, Munz W, Jager M, Schmidt W, Herrmann W. 2005. Biochemical
indexes of the vitamin in cord serum are predicted by maternal B vitamin status. Am J Clin Nutr 82:133-139
Olivares, Ramona, Jesus, Maria, Antonio. 2002. Vitamin B12 and Folic Acid in
Chidren with Intestinal Parasitic Infection. J of the Am College of Nut, 21(2):109-113.
Paivio A. 1971. Imagery and Verbal Process. New York: Holt, Reinehart and
Winston, Inc. Pezacka EH, Jacobsen DW, Luce K, Green R. 1992. Glial cells as a model for
the role of cobalamin in the nervous system: impaired syntesis of cobalamin coenzymes in culturd human astrocytes following short-term cobalamin-deprivation. Biochem Biophys Res Commun 184(2): 832-839
Pollit. 1990. Malnutrition and Infection in the classroom. Paris UNESCO.
Quadri P et al. 2004. Homocystein, folate, and vitamin B12 in mild cognitive impairment, Alzheimer disease, and vascular dementia. Am J Clin Nutr 80(1): 114-122
Rajan S et al. 2002. Response of elevated methylmalonic acid to three dose
levels of oral cobalamin in older adults. J Am Geriatr 50(11): 1789-1795
Reenan J. 2006. Clinical Manifestations of Vitamin B12 deficiency: An
overview of the biochemical and physiological functions of vitamin B12 and the symptoms of vitamin B12 deficiency. Virtual Mentor 8(6): 392-396
Robert C, Brown DL. 2003. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician 67:
979-986, 993-994. Rogers LM et al. 2003. High Prevalence of Cobalamin Deficiency in Guatemalan
Schoolchildren : Associations with Low Plasma Holotranscobalamin II and Elevated Serum Methylmalonic Acid and Plasma Homocysteine Concentrations. Am J Clin Nutr. 77(2): 433-440
Ruscin et al. 2002. Vitamin B12 deficiency associated with histamine2-receptor
antagonists and a proton-pump inhibitor. Annals of Parmacotherapy 36:812-816
Rutten RAM et al. 2005. Effect of supplementation with cobalamin carried either
by a milk product or a capsule in mildly cobalamin-deficient elderly Dutch persons. Am J Clin Nutr 86: 568-574
Sauberlich. 1999. Assessment of Nutritional Status. Second edition. Boca Raton,
London, New York, Washington DC CRC Press. Savage DG, Lindenbaum J 1995. Neurological complications of acquired
cobalamin deficiency: clinical aspects. Baillieres Clin Haematol. 8(3):657-78
Seifort KL, Hoffnung RJ. 1997. Child and Adolescent Development. Houghton
Zifflin Company. New York Setiawan B dan Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Air.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta. LIPI.
Shibly UF. 2007. Hubungan Kadar Homosistein Plasma Dengan Asam Folat Dan
Vitamin B12 Serum Pada Penderita PJK di RSJHK. Bagian Kardiologi FKUI/RSJHK. http://www.kardiologi-ui.com/ [April 2008].
Siekmann JH et al. 2003. Kenyan School Children Have Multple Micronutrient Deficiencies, But Increased Plasma Vitamin B12 Is The Only Detectable Micronutrient response to Meat or Milk Suplementation. J. Nutr. 133:3972s-3980s.
Stabler SP, Lindenbaum J, Robert A Allen. 1997. Vitamin B-12 deficiency in the elderly: current dilemmas1’2, Am J Clin Nutr 66:741-9
Stabler SP. Vitamin B12. dalam Present Knowledge in Nutrition. Ninth
edition. Washington DC. ILSI Press. Stopeck, Alison. 2000. Links between Helicobacter pylori infection, cobalamin
deficiency, and pernicious anaemia. Archives of Internal Med 160:1229-1230
Sungthong R, Mo-suwan L, Chongsuvivatwong V. 2002. Effects of haemoglobin and serum ferritin on cognitive function in school children. Asia Pac J Clin Nutr 11(2): 117-122
Syarief H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas: suatu Telaah Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga [Orasi Ilmiah pada pengukuhan Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga]. Bogor: Fakultas Pertanian Instutut Pertanian Bogor.
Tucker KL et al. 2000. Plasma vitamin B-12 concentrations relate to intake
source in the Framingham Offspring Study. Am J Clin Nutr 71(2):514-522
Unicef. 1998. The State of the World’s Children 1998. Oxford University Press. Uyanto SS. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Graha Ilmu. Jakarta. Wardlaw G, Insel PM, Seyler MF. 1992. Contemporary Nutrition. Issues and
Insights. St Louis, Baltimor, Chicago, London, Philadelphia, Sydney, Toronto. Mosby Year Book.
Werbach M. 2000. Nutritional strategies for treating chronic fatigue syndrome.
Alter Med Rev 5(2): 93-108 WHO. 1995. Physical Status: The Use and Interpretation of Antropometry.
World Health Organization. Geneva. Wolter M, Hermann S, Hahn A. 2003. B vitamin status and concentrations of
homocysteine and methylmalonic acid in elderly German women. Am J Clin Nutr 78(4): 765-772.