Post on 13-Jun-2015
1
PENANGGULANGAN WABAH MALARIA
PADA MASA KOLONIAL
Tsabit Azinar Ahmad
A. Pendahuluan
Malaria merupakan salah satu penyakit reemerging, yakni penyakit
yang menular kembali secara massal, sehingga menjadi ancaman serius bagi
masyarakat yang tinggal di daerah tropis dan subtropics (Pikiran Rakyat, 9
Januari 2003). Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh satu atau lebih
dari empat Plasmodia yang menginfeksi manusia : P. Falciparum, P. Vivax,
P.ovale dan P.malariae. Dua spesies yang pertama ( P.falciparum, P.vivax)
merupakan enyebab lebih dari 95% kasus malaria di dunia. Dua P.falciparum
ditemukan terutama di daerah tropis dan resiko kematian lebih besar bagi
orang yang tidak imun, karena dapat menyerang sel darah merah disemua
umur dan obat biasanya resistensi (Desrinawati, 2003: 1; Cut Irsanya Nilam
Sari, 2005: 4). Penularan vektor untuk parasit malaria manusia adalah nyamuk
Anopheles. Ragam dari Plasmodium falciparum dari parasit ini bertanggung
jawab atas 80% kasus dan 90% kematian. Penemu dari penyebab malaria
adalah Charles Louis Alphonse Laveran yang meraih Penghargaan Nobel
untuk Fisiologi dan Medis pada 1907 (http://id.wikipedia.org/wiki/Malaria, 3
November 2009).
Dalam pidato pengukuhan Wita Pribadi berjudul “Masalah Penyakit
Malaria dan Upaya Penanggulangannya Menjelang Tahun 2000” dijelaskan
bahwa penyakit malaria diperkirakan berasal dari Afrika, tempat asal muasal
manusia. Fosil nyamuk ditemukan di lapisan geologis yang berumur 30 juta
tahun dan tidak dapat disangsikan lagi bahwa nyamuk itu menyebarkan infeksi
ke daerah yang beriklim panas di seluruh dunia, lama sebelum sejarah dimulai.
Malaria mengikuti migrasi manusia ke pantai Mediteranian, ke Mesopotamia,
jazirah India dan Asia Tenggara (Wita Pribadi, t.th. dalam
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?
id=80881&lokasi=lokal, 2 November 2009).
2
Demam musiman dan intermiten diketahui dari buku-buku agama dan
kedokteran orang Assyria, Cina dan India tetapi belum dipastikan
berhubungan dengan malaria. Penyakit ini biasanya dihubungkan dengan
kutukan Tuhan ataupembalasan iblis. Mitologi Cina menggambarkan tiga
iblis, yang satu dengan membawa palu, yang lain membawa ember berisi air
dingin dan yang ketiga dengan tungku api. Mereka melambangkan kelainan
sakit kepala, menggigil dan demam. Tahun 2700 sebelum Masehi, buku
kedokteran Cina, Nei Ching, menguraikan gejala seperti malaria dan
hubungannya antara demam dan pembesaran limpa (Wita Pribadi, t.th. dalam
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?
id=80881&lokasi=lokal, 2 November 2009).
Hippocrates yang hidup di Yunani pada abad ke 5 sebelum Masehi
merupakan dokter pertama yang merinci gambaran klinis beberapa jenis
penyakit malaria. Ia juga merupakan orang pertama yang tidak percaya pada
tahayul itu dan mengamati hubungan antara timbulnya penyakit dengan
musim atau ternpat tinggal penderita. Air rawa dan uap rawa adalah faktor
penyebabnya dan mulai diperbincangkan pengaruh musim dan topografi pada
penyakit malaria. Hal ini merupakan permulaan dari epidemitologi malaria.
Mulai saat itu, dilakukan drainase di Yunani kuno terutama di Roma untuk
rnengurangi genangan air, dan "membersihkan udara dari aliran air yang
beracun". Oleh karena itu, nama penyakit malaria berasal dari kata "mal" -
buruk, dan "aria" udara. Sementara di Perancis dan Spanyol, malaria dikenal
dengan nama “paladisme atau paludismo“, yang berarti daerah rawa atau
payau karena penyakit ini banyak ditemukan di daerah pinggiran pantai.
Epidemi malaria berulang kali berlanjut di Yunani, Italia, dan negara
lain selama berabad-abad. Selama hampir 1.500 tahun pengetahuan tentang
malaria tidak bertambah. Baru pada tahun 1880, Laveran menemukan parasit
malaria di bawah mikroskop dan Ronald Ross, seorang dokter militer Ingris
yang bertugas di India pada tahun 1897 berhasil membuktikan bahwa ternyata
malaria tidak disebabkan oleh udara kotor tetapi akibat gigitan nyamuk
anopheles (Ermi ML Ndoen, 2006).
3
Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyakarat
utama di seluruh dunia. Dalam buku The World Malaria Report 2005, Badan
Kesehatan Dunia (WHO), menggambarkan walaupun berbagai upaya telah
dilakukan, hingga tahun 2005 malaria masih menjadi masalah kesehatan
utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 350-500 juta
orang setiap tahunnya dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 1 juta
orang setiap tahunnya. Diperkirakan masih sekitar 3,2 miliar orang hidup di
daerah endemis malaria. Malaria juga bertanggung jawab secara ekonomis
terhadap kehilangan 12 % pendapatan nasional, negara-negara yang memiliki
malaria (Desrinawati, 2003: 1).
Di Indonesia sendiri, diperkirakan 50 persen penduduk Indonesia
masih tinggal di daerah endemis malaria. Menurut perkiraan WHO, tidak
kurang dari 30 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya di Indonesia, dengan
30.000 kematian. Survai kesehatan nasional tahun 2001 mendapati angka
kematian akibat malaria sekitar 8-11 per 100.000 orang per tahun. United
Nation Development Program (UNDP,2004) juga mengklaim bahwa akibat
malaria, Indonesia sedikitnya mengalami kerugian ekonomi sebesar $ 56,6
juta pertahun (Ermi ML Ndoen, 2006).
Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Angka kesakitan penyakit ini masih cukup
tinggi, terutama di daerah endemis dan yang non endemis malaria. Di daerah
tersebut masih sering terjadi letusan wabah yang menimbulkan banyak
kematian. Laporan pertama tentang adanya malaria di Indonesia oleh tentara
Belanda. Dilaporkan adanya wabah di Cirebon pada tahun 1852-1854
(Desrinawati, 2003: 1). Oleh karena malaria telah ditemukan dan menjadi
endemik sejak zaman kolonial, tulisan ini secara ringkas berupaya untuk
memberikan deskripsi secara historis tentang upaya yang telah dilakukan
dalam rangka pemberantasan malaria pada masa kolonial.
B. Penanggulangan Malaria Masa Kolonial
Batas dari penyebaran malaria adalah 61o LU (Rusia) dan 32o LS
(Argentina). Ketinggian yang dimungkinkan adalah 100 meter di bawah
4
permukaan laut (Laut Mati dan Kenya) dasn 2000 meter di atas permukaan
laut (Bolivia). P. vivax mempunyai distribusi geografis yang paling luas,
mulai dari daerah yang beriklim dingin, sub tropik sampai ke daerah tropik
(Dep Kes RI, 1990). Oleh karena itu Indonesia merupakan salah satu wilayah
tempat persebaran malaria, sehingga kasus malaria telah muncul sejak dahulu.
Di Indonesia Penyakit malaria tersebar diseluruh pulau dengan derajat
endemisitas yang berbeda-beda dan dapat berjangkit didaerah dengan
ketinggian sampai 1800 meter diatas permukaan laut (Hiswani, 2004: 6). Pada
masa kolonial, laporan pertama tentang adanya malaria di Indonesia oleh
tentara Belanda. Dilaporkan adanya wabah di Cirebon pada tahun 1852-1854
(Desrinawati, 2003: 1).
Penanggulangan malaria pada dasarnya merupakan salah satu bagian
yang tidak terpisahkan dari upaya pemerintah kolonial membentuk
Jawatan/Dinas Kesehatan Rakyat pada tahun 1925. Selain itu ada pula upaya
kuratif dengan pendirian layanan kesehatan yang mula-mula adalah melalui
rumah sakit tentara. Jawatan kesehatan ini pada dasarnya merupakan lanjutan
dari Jawatan Kesehatan Tentara (Militair Geneeskundige Dienst) pada tahun
1808 yang didirikan pada saat pemerintahan Gubernur Jendral H.W. Daendels.
Pada waktu itu ada tiga RS Tentara yang besar, yaitu di Batavia (Jakarta),
Semarang dan Surabaya. Usaha kesehatan sipil mulai diadakan pada tahun
1809, dan Peraturan Pemerintah tentang Jawatan Kesehatan Sipil dikeluarkan
pada tahun 1820. Pada tahun 1827 kedua jawatan digabungkan dan baru pada
tahun 1911 ada pemisahan nyata antara kedua jawatan tersebut (Tim Promosi
Kesehatan, 2006: 6).
Penanganan malaria masih belum dilaukan dengan tepat sampai
akhirnya pada tahun 1882 Laveran berhasil menemukan plasmodium malarie
sebagai penyebab penyakit malaria, dengan penularan melalui nyamuk.
Menyadari bahwa penyakit malaria telah menjadi ancaman kesehatan rakyat di
beberapa wilayah, maka di tahun 1911, Jawatan Kesehatan Sipil didirikan
sebagai bentuk upaya penyelidikan dan pemberantasan penyakit malaria. Dari
waktu ke waktu, lingkup kerja Jawatan Kerja Sipil semakin meluas. Untuk itu,
pada tahun 1924, Biro Malaria Pusat (Centrale Malaria Bureau) didirikan.
5
Dalam menjalankan fungsinya, Biro Malaria Pusat selalu bekerja sama dengan
Bagian Penyehatan Teknik (Gezondmakingswerken). Pada tahun 1929, Biro
Malaria Pusat mulai mendirikan cabang di Surabaya, dengan fokus pelayanan
kepulauan bagian timur. Sedangkan untuk wilayah seluruh Sumatera,
pelayanan dilakukan oleh cabang Medan (Departemen Kesehatan RI, 2007: 6-
8).
Dalam upaya pemberantasan, para mantri malaria ditugaskan untuk
menentukan jenis nyamuk dan jentik, memeriksa persediaan darah,
mengadakan pembedahan lambung nyamuk, serta membuat peta wilayah.
Penerapan riset sebagai upaya pemberantasan malaria juga dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain pembunuhan dan pencegahan berkembangnya jentik
di sarang-sarang; pembunuhan nyamuk dewasa dengan asap, obat nyamuk,
dan sebagainya; penggunaan kelambu/kasa nyamuk pencegah kontak antara
manusia dengan nyamuk; serta kininisasi dalam epidemi. Dengan penerapan
riset yang berdasarkan penyelidikan yang tepat terhadap biologi nyamuk
penyebab malaria, maka dapat ditemukan berbagai pola pemberantasannya
(Departemen Kesehatan RI, 2007: 6-8).
Pemberantasan malaria di pantai, dapat dilakukan dengan cara Species-
assaineering. Pertama, membuat tanggul sepanjang garis pantai. Tinggi
tanggul dibuat melebihi tinggi air laut saat pasang, begitu juga pada tanah di
belakang tanggul. Cara kedua, yaitu dengan membuat sebuah saluran. Saluran
ini dibuat mulai dari muara sungai sampai melewati batas pemecah gelombang
air laut. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan pembagian kinine,
penggunaan kelambu/alat pembunuhan nyamuk, pemberian minyak tanah di
sarang nyamuk, penempatan kandang kerbau di antara rumah tinggal dan
sarang nyamuk, serta pemeliharaan tambak secara higienis (Departemen
Kesehatan RI, 2007: 6-8).
Sedangkan pemberantasan malaria di daerah pedalaman, beberapa cara
yang dapat dilakukan adalah seperti berikut. (1) Menghadapi An. ludlowi
tawar di kolam-kolam ikan, yaitu dengan menembus tanggul untuk
mengeluarkan airnya dan merubah kolam ikan menjadi sawah; (2) Cara
biologis, yaitu dengan memasukkan ikan tawes dan ikan kepala timah dalam
6
kolam; (3) Memberantas An. aconitus, An. minimus, dan An. Macolatus (biasa
ditemukan di tempat yang rendah, saluran air yang kurang terpelihara, dan
persawahan) dilakukan cara pemeliharaan saluran air (saluran air masuk
maupun pembuangan) secara baik, sehingga tebingnya terbebas dari tumbuh-
tumbuhan; penanaman padi secara serentak di persawahan yang pengairannya
tergantung dari satu saluran air yang sama; mengeringkan sawah yang tidak
digarap dalam dua masa penanaman; (4) Khusus An. maculatus, digunakan
cara biologis dengan menanam tepi aliran/anak sungai dengan
tumbuhtumbuhan yang rindang. Cara ini berguna untuk menutupi air dari
cahaya dan sinar matahari (cara yang lebih murah dari pada ”subsoil
drainage” dan ”hillpoot drainage”) (Departemen Kesehatan RI, 2007: 6-
8).Usaha-usaha yang dilakukan pada saat itu masih terbatas pada usaha
pemberantasan Malaria dilakukan dengan sistem pemberantasan sarang
nyamuk, dengan membersihkan genangan air atau menyemprot air dengan
minyak tanah. Seusai Perang Dunia II, ditemukan obat DDT yang dapat
digunakan sebagai pembunuh serangga (insektisida dengan sistem
penyemprotan rumah-rumah) (Departemen Kesehatan RI, 2007: 23-24).
Selain pemberantasan tersebut, pada tahun 1924 oleh pemerintah
Belanda dibentuk Dinas Higiene. Walaupun tujuan awal pendiriannya tidak
secara khusus menangani malaria, pada perkembangannya malaria menjadi
bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan dinas higienne tersebut. Pada
tahun 1933 dapat dimulai organisasi higiene tersendiri, dalam bentuk
Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokerto. Dinas ini terpisah
dari Dinas Kuratif tetapi dalam pelaksanaannya bekerjasama erat. Dalam
hubungan usaha higiene ini perlu disebutkan nama Dr.John Lee Hydrick dari
Rocckefeller Fundation (Amerika), yang memimpin pemberantasan cacing
tambang mulai tahun 1924 sampai 1939, dengan menitik beratkan pada
Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat. Ia mengangkat kegiatan
Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda) dengan
mengadakan penelitian operasional tentang lingkup penderita penyakit cacing
tambang di daerah Banyumas. Ia menyelenggarakan kegiatan Pendidikan
Kesehatan tentang Hygiene dan Sanitasi, dengan mencurahkan banyak
7
informasi tentang penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kebersihan dan
kesehatan lingkungan serta usaha pencegahan dan peningkatan kesehatan
(cacing tambang, malaria, tbc.). Ia mengadakan pendekatan dalam upaya
membangkitkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat (pendekatan seperti
ini nanti dikenal dengan nama “pendekatan edukatif”). Yang menonjol pada
waktu itu adalah penggunaan media pendidikan (booklets, poster, film dan
sebagainya) dan juga kunjungan rumah yang dilakukan oleh petugas sanitasi
yang terdidik (Tim Promosi Kesehatan, 2006: 7).
Selain pendirian dinas tersebut, ada pula upaya kuratif yang dilakukan
dengan pendirian rumah sakit. Di daerah Banyumas sebagai salah satu daerah
endemis malaria, terdapat misi Zending Gereja-gereja Reformasi Rotterdam
(penyebar agama Kristen). Rumah sakit pertama yang dibangun oleh misi
Zending terdapat di Purbalingga yaitu di desa Trenggiling sekitar awal abad
XX. Rumah sakit tersebut bernama Rumah Sakit Zending (Zendingsziekenhuis
te Purbalingga) yang didirikan saat pemerintahan Raden Adipati Ario
Dipakoesoema VI pada akhi abad XIX (Purnawan Basundoro, 2009).
Pada tahun 1914 Vereeniging Kliniek Poerwoekerto membangun
rumah sakit umum di kota Purwokerto. Rumah sakit ini melayani masyarakat
luas dengan kapasitas 90 tempat tidur. Pembangunan rumah sakit ini selesai
tanggal 15 Agustus 1914. Direktur rumah sakit ini adalah Dr. P.R. D’Arnaud
Gerkens. Ia dibantu oleh Dokter Jawa lulusan STOVIA bernama Dr. M.
Samingoen. Rumah sakit ini merupakan cikal bakal Rumah Sakit Umum
Daerah Margono Soekarjo. Pasien di rumah sakit ini datang dari berbagai
tempat seperti dari Cilacap, Kedu-Barat, dan dari karesidenan Pekalongan.
Namun akibat kesulitan pendanaan, akhirnya rumah sakit mereka diserahkan
kepada misi Zending di Purbalingga. Akibat pemindahtanganan pengelolaan
akhirnya nama rumah sakit diganti menjadi Zendingsziekenhuis te
Poerwokerto (Rumah Sakit Zending Purwokerto). Ketika rumah sakit tersebut
dikelola oleh Zending malah berkembang pesat. Kapasitas tempat tidur
bertambah pesat menjadi 200 tempat tidur pada tahun 1937 dan menjadi 375
pada tahun 1941 (Purnawan Basundoro, 2009).
8
Tahun 1925 di kota Banyumas juga didirikan rumah sakit yang diberi
nama Rumah Sakit Juliana. Rumah sakit tersebut diresmikan tepat bersamaan
dengan ulang tahun Putri Mahkota Belanda Sri Ratu Juliana pada tanggal 30
April 1925. Rumah sakit ini dibuat dan dibiayai oleh pemerintah daerah
(gewest). Tahun 1935 Zendingsziekenhuis te Poerwokerto (Rumah Sakit
Zending Purwokerto) membuka cabangnya di Sidareja, Cilacap dalam bentuk
klinik. Klinik ini banyak dikunjungi pasien kurang gizi karena daerah Sidareja
dan sekitarnya sering dilanda kelaparan. Pasien lainnya adalah penderita
malaria dan frambusia (Purnawan Basundoro, 2009).
Pendirian berbagai fasilitas kesehatan modern di karesidenan
Banyumas oleh pemerintah kolonial Belanda telah banyak menolong
masyarakat daerah ini ketika mereka sakit. Berbagai budaya hidup sehat juga
ditularkan oleh para dokter dan juru rawat kepada penduduk setempat.
Pada perkembangannya, usaha Kesehatan Rakyat yang semula lebih
ditekankan pada usaha kuratif, lambat laun berkembang pula kearah preventif.
Sebagian dari usaha kuratif diserahkan pada “inisiatif partikelir” (1917 –
1937) seperti Zending, Missie, Bala Keselamatan (Leger des Heils),
perusahaan perkebunan. Dalam tahun 1937 sampai meletusnya Perang Dunia
ke II, Pemerintah Pusat menyerahkan usaha kuratif kepada daerah otonom,
namun tetap diawasi dan dikoordinir oleh Pemerintah Pusat (Tim Promosi
Kesehatan, 2006: 11).
Seiring dengan perkembangan dalam bidang kuratif, maka usaha
preventif juga berkembang. Usaha kuratif dan preventif mulai digalakkan dan
dikembangkan di perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda yang memang
bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan para pekerja perkebunan, dan
dengan demikian meningkat pula daya kerja (arbeidscapaciteit) dan daya
produksinya (productie capaciteit) .
Penelitian dalam bidang bakteriologi dan epidemiologi menambah luas
wawasan pengetahuan tentang sebab penyakit menular dan cara
pencegahannya, seperti, cholera, desentri, typhus. Demikian pula halnya
dengan penelitian tentang penyakit rakyat, seperti TBC, frambusia, cacing
tambang, dan malaria. Agar masyarakat sadar dan berpartisipasi dalam upaya
9
pencegahan dan upaya peningkatan kualitas kesehatannya, maka sudah pada
tempatnya jika informasi terkini mengenai perkembangan dalam bidang
kesehatan dapat disalurkan ke masyarakat, seperti penyebab penyakit, cara
penangulangannya atau cara pencegahannya. Disinilah Pendidikan Kesehatan
dapat mewujudkan perannya dengan jelas. Apa yang telah dirintis oleh
Hydrick tersebut kemudian ternyata dilanjutkan oleh Pemeritah (Belanda).
Perhatian Pemerintah Belanda terhadap usaha preventif dilaksanakan melalui
berbagai kegiatan, tindakan dan peraturan (perundang-undangan). Dengan
demikian upaya pencegahan semakin dipandang sebagai usaha yang penting,
demikian pula upaya pendidikan kesehatan kepada masyarakat (Tim Promosi
Kesehatan, 2006: 11).
.
C. Penutup
Malaria merupakan salah satu penyakit yang berkembang dengan
sangat pesat dan telah banyak memakan korban. Oleh karena dampaknya yang
buruk bagi masyarakat, upaya penanggulangan malaria sudah dilakukan sejak
masa kolonial. Pada masa kolonial didirikan beberapa jawatan yang khusus
menangani penyebaran penyakit malaria dan juga didirikan rumah sakit
sebagai upaya pengobatan malaria. Pemberantasan malaria dilakukan dengan
dua upaya, yaitu preventif dengan pengendalian vektor penyakit (nyamuk) dan
pengobatan penderita sebagai upaya kuratif, dan sampai saat ini untuk
memberantas penyakit malaria belum diketemukan vaksinnya, sehingga
penyakit ini menjadi salah satu penyakit menular yang sulit diberantas.
10
Daftar Pustaka
Cut Irsanya Nilam Sari. 2005. Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan Penyakit Malaria dan Demam Berdarah Dengue. Dalam http://www.rudyct.com/PPC702-ipb/09145/cut_irsanya_ns.pdf. Diunduh 1 November 2009
Departemen Kesehatan RI. 1990. Epidemiologi Malaria 1. Jakarta: Depkes RI.
-----. 2007. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI.
Desrinawati. 2003. Perbandingan Hasil Pemeriksaan Metoda Immunochromatographic Test (ICT) Dengan Perwarnaan Giemsa Pada Infeksi Malaria Falciparum. Dalam http://library.usu.ac.id./download/fk/fk- desrinawati .pdf. Diunduh 2 November 2009
Ermi ML Ndoen. 2006. Malaria, Pembunuh Terbesar Sepanjang Abad. Dalam http://www.indomedia.com/poskup/2006/05/15/edisi15/opini.htm. Diunduh 2 November 2009
Hiswani. 2004. Gambaran Penyaklt dan Vektor Malaria di Indonesia. Dalam http://library.usu.ac.id./download/fkm/fkm-hisnawani11.pdf. Diunduh 2 November 2009
Pikiran Rakyat. 2003. Lingkungan Rusak, Nyamuk Gunung Tebar Malaria . 9 Januari 2003.
Purnawan Basundoro. 2009. Sisi Terang Kolonialisme Hindia Belanda di Banyumas. Dalam http://basundoro.blog.unair.ac.id/2009/01/31/sisi-terang-kolonialisme-belanda-di-banyumas/. Diunduh 1 November 2009.
Tim Promosi Kesehatan. 2006. Sejarah Promosi Kesehatan. Banyumas: Yayasan Sanitari Banyumas
Wikipedia On Line Encyclopedia. 2009. Malaria. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Malaria . Diunduh 3 November 2009
Wita Pribadi, t.th. Masalah Penyakit Malaria dan Upaya Penanggulangannya Menjelang Tahun 2000. dalam http://www.digilib.ui.ac.id /opac/themes/libri2/detail.jsp?id=80881&lokasi=lokal. Diunduh 2 November 2009.
11
PENANGGULANGAN WABAH MALARIA PADA MASA KOLONIAL
Disusun Sebagai Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Sejarah Indonesia
Dosen Pengampu Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum.
OlehTSABIT AZINAR AHMAD
NIM S860209113
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAHPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET2009