PERIODE KOLONIAL, 1816-1945.

27
PERIODE KOLONIAL, 1816-1945. Periode Kolonial yang pernah menguasai Indonesia adalah Belanda dan Jepang. Masa pemerintahan yang disebut Hindia Belanda sejak tahun 1816-1942. Masa pemerintahan Balantetara Jepang berlangsung pada masa Perang Dunia II, 1942-1945.

description

PERIODE KOLONIAL, 1816-1945. Periode Kolonial yang pernah menguasai Indonesia adalah Belanda dan Jepang . Masa pemerintahan yang disebut Hindia Belanda sejak tahun 1816-1942. Masa pemerintahan Balantetara Jepang berlangsung pada masa Perang Dunia II, 1942-1945. - PowerPoint PPT Presentation

Transcript of PERIODE KOLONIAL, 1816-1945.

PERIODE KOLONIAL, 1816-1945.Periode Kolonial yang pernah menguasai Indonesia adalah Belanda dan Jepang. Masa pemerintahan yang disebut Hindia Belanda sejak tahun 1816-1942. Masa pemerintahan Balantetara Jepang berlangsung pada masa Perang Dunia II, 1942-1945.

Masa Pemerintahan Hindia Belanda, 1816-1942.Masa pemerintahan Belanda, kepolisian di bawah urusan Pemerintahan Dalam Negeri(Binnenlandsche Zaken) yang berlangsung lebih dari 100 tahun, pada permulaan pemerintahannya masih meneruskan pengaruh dari kongsi dagang VOC maupun Inggris yang dipimpin oleh Stanford Raffles yang ikut mengatur tata pemerintahan dan peradilan terutama di Jawa. Oleh karena itu, dalam sejarah kepolisian disebutkan bahwa penguasaan Inggris atas Nusantara khususnya di Jawa disebut sebagai “pemerintahan antara” atau “tussen bestuur” (Dekker, 1938:37), karena UU yang dibuat oleh Inggris (Regulation 1814) berpengaruh pada terbentuknya UU yang mengatur badan peradilan yaitu Reglement op de Rechtelijke Organisatie (RO) pada tahun 1848 dan UU tentang tata pemerintahan hukum acara pidana yang disebutInlandsch Reglement (IR) pada tahun 1848 dan pada tahun 1941 diamandemen menjadi Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Kedua peraturan itu mengandung ketentuan-ketentuan tentang hubungan kerja dan pelaksanaan tugas polisi.

Pemerintah Belanda melakukan penataan berdasarkan sumber tersebut serta menentukan bahwa :◦ Proceureur Generaal(Jaksa Agung) dibawah

Mahkamah Agung◦ Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) dijadikan

Kepala Peradilan dan Kepolisian yang pelaksanaan tugasnya dibantu oleh para Residen dan pejabat kehakiman (Officier van Justitie).Administratieve Politie (Polisi Administrasi) disamping adanya justitie politie (Polisi Kehakiman) yang ditugaskan pada Residenatau kepada pemerintahan setempat (Bupati), sesuai dengan ketentuan kemudian akan dilengkapi dengan aturan tentang hubungan antara administratieve politie dan justitie politie.

Perkembangan selanjutnya menetapkan Departemen Kehakiman, Direktur Dalam Negeri dan Jaksa Agung ditugaskan untuk perbaikan sistem Kepolisian Hindia Belanda. Perbaikan itu melahirkan pembentukan kepolisian di kota besar seperti Batavia (Jakarta), Semarang dan Surabaya serta sejumlah kesatuan diluar kota besar.

Kesatuan-kesatuan di kota besar : Kepada Asisten Residen diperbantukan seorang

Controleur atau pengawas yang khusus bertugas dibidang kepolisian

Sekaut(Schout) dan Pembantu Sekaut (Onderschout) diperbaiki penghasilannya dan diatur secara menyeluruh dan sama.

Pejabat polisi diberi bantuan Opas-opas Polisi. Diadakan jabatan Politieopziener (Pengawas Polisi)

untuk membantu Sekaut. 

Di luar kota besar : Diadakan pembedaan antara Opas Polisi

yang diserahi tugas kepolisian dan Opas Biro yang hanya membantu di kantor.

Kepada Residen,Asisten Residen dan para pengawas Pangreh Praja (sekarang Pamong Praja) bumiputera diperbantukan Opas Polisi yang gajinya diperbaiki.

Untukkeseluruhannya telah diangkat 725 orang Opas Polisi bumiputera. Hal ini berarti mulai adanya polisi bergaji (beroepspolitie) bumiputera yang sebelumnya tidak ada.

Reorganisasi kepolisian terus berlanjut pada tahun 1897dengan terbentuknya jabatan Politieopziener menjadi Inspecteur van Politie atau Inspektur Polisi. Tugas kepolisian dijalankan oleh Onderschout, Waterschout (Polisi Perairan), Politieopziener, Opas Kepala, Opas Berkuda, Opas Penjaga dan Pengawal, Opas Ronda Malamdan ronda priyayi. Disamping itu ada penjagaan oleh masyarakat yaitu penjaga gardu dan para pegawai perkebunan yang bertugas disebut sebagai polisi tidak bergaji (Onbezoldigdepolitie), karena gaji mereka bukan berasal dari pemerintah tetapi dari perusahaan swasta (particulier) dan tidak di bawah Polisi Tugas Umum .

Untuk pengamanan daerah-daerah di luar Jawa dan Madura (buitengewesten, tanah seberang) dibentuk Polisi Bersenjata (Gewapende Politie), 1912. Kesatuan Polisi Bersenjata menyandang kepangkatan seperti militer. Tugas Polisi Bersenjata adalah untuk :

1. Menjamin keamanan, ketertiban dan keterampilan.

2. Mempertahankan kekuasaan dalam waktu kacauan

sampai, jika perlu, militer mengambil alih tugas.

3. Untuk mengkonsolidasikan keadaan daerah-daerah yang baru dikuasai pemerintah.

Di samping itu fungsi kepolisian berkaitan dengan tugas kewilayahan dan tugas yang dilaksanakan oleh instansi lain mempunyai kewenangan kepolisian seperti:

1. Algemeene Politie (Polisi Tugas Umum)Terdiri dari Stadspolitie (Polisi Kota); Veldpolitie (Polisi Lapangan); Bestuurpolitie (Polisi Pangreh Praja) suatu kesatuan kecil di daerah-daerah di bawah pimpinan Asisten Wedana, Wedana dan Bupati. Biasanya Polisi Pangreh Praja ini diperbantukan seorang Inspektur Polisi atau Agen Polisi Kepala (Hoofdagent van Politie). Pegawai Polisi tersebut sebagai pimpinan sehari hari dan membawahi para Kepala Pangreh Praja setempat. Polisi Pangreh Praja tidak dididik oleh karena itu tidak terikat oleh disiplin seperti Polisi Kota atau Polisi Lapangan.

2. Desa Politie (Polisi Desa)3. Polisi yang bertugas di tanah partikelir (swasta)4. Onbezoldigde Politie (Polisi tidak bergaji) petugas

polisi ini adalah orang-orang yang bertugas dengan kewenangan terbatas untuk menjaga obyek tertentu yang dianggap vital seperti perkebunan, bangunan obyek vital (kantor Bank Sentral, Javasche Bank) dan lainnya dan tidak digaji oleh pemerintah, dalam pelaksanaan tugasnya di bawah pengawasan pemerintah.

5.Zelfbestuurspolitie (Polisi pemerintah daerah swatantra) yang terdapat di luar Jawa dan Madura

6.Technische Polisi (Polisi Teknis) yang mempunyai wewenang penyidikan berdasarkan undang-undang dan peraturan yang memerlukan pengetahuan khusus dibidangnya (Dekker, 1938 : 190)

6.Polisi Khusus (Bijzondere Politie)yang mempunyai tugas khusus dan kewenangannya hanya terbatas pada undang-undang dan peraturan yang khusus di instansi tersebut seperti

a. Polisi Kehutanan (dengan Mantri Kehutanan)

b. Polisi Tambangc. Polisi Pasard. Polisi Pengawas Jalane. Polisi Bangunan

Sejak itu berakhirlah masa pemerintahan Hindia Belanda dan dimulailah periode pemerintahan militer Jepang.Jepang membagi daerah pendudukannya menjadi 3 wilayah, yaitu :

Jawa dan Madura dibawah kekuasaan Tentara Keenam Belas Angkatan Darat (Rikugun), berpusat di Jakarta.

Sumatra di bawah kekuasaan Tentara Kedua Puluh Lima Angkatan Darat (Rikugun), berpusat di Bukittinggi.

Kalimantan dan Timur Besar (Groote Oost) yaitu Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara (Bali, NTB dan NTT) dan Papua di bawah kekuasaan Armada Selatan Kedua Angkatan Laut Jepang (Kaigun).

Masa Pemerintahan Jepang, 1942-1945Kepolisian di bawah Urusan Keamanan Pemerintahan Pendudukan Jepang (Gunseikanbu Cianbu)

Dalam penyusunan oganisasi kepolisian pada masa Jepang tidak terpusat tetapi menurut wilayah militer Jepang yaitu

Wilayah kekuasaan Tentara Keenam Belas Jawa di Jakarta.

Wilayah kekuasaan Tentara Kedua Puluh Lima Sumatra di Bukittinggi

Wilayah Timur Besar dibawah Angkatan Laut Jepang di Makassar

Wilayah Kalimantan dibawah Angkatan Laut Jepang di Banjarmasin

Panglima Tentara Keenam Belas di Jawa mengeluarkan undang-undang yang disebut Osama Serei yang intinya Jepang memberlakukan pemerintahan militer sementara di daerah-daerah yang diduduki. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda masih diberlakukan sejauh tidak bertentangan denganaturan pemerintah militer Jepang serta menghormati pegawai yang setia kepada pemerintah militer Jepang.

Pemerintah militer Jepang di Jawa ditingkat pusat dipegang oleh Panglima Tentara yang disebut Saiko Shikikan sebagai Panglima Tertinggi. Pemerintahan militer disebut Gunseikanbu. Pengaturan pemerintahan pendudukan tersebut sampai di tingkat desa dengan dibentuknya Tonari Gumi atau Rukun Tetangga (RT).

Dibentuk pula kelompok pemuda yang disebut Seinendan dan kelompok untuk bantuan kepolisian yang disebut Keibodan. Kelompok-kelompok tersebut dilatih baris berbaris juga latihan perang-perangan atau kyoren. Jepang merekrut tenaga bantuan militer atau milisi untuk menambah kekuatan tentara Jepang yang disebut Heiho dan membentuk pula organisasi masyarakat yaitu “Pusat Tenaga Rakyat” (PUTERA) yang bertujuan untuk membujuk para nasionalis dengan mengangkat sebagai pimpinannya tokoh-tokoh bangsa Indonesia yaitu Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur. Bentukan organisasi tersebut adalah untuk mendukung kebijakan Jepang sebagai “Jepang Pemimpin Asia”, “Jepang Pelindung Asia” dan “Jepang Cahaya Asia”.

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh para pimpinan PUTERA untuk mengobarkan semangat lewat rapat raksasa maupun siaran radio untuk mempersiapkan kemerdekaan. Jepang melihat gelagat tersebut kemudian PUTERA dibubarkan dan diganti dengan Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa).

Jepang membentuk pula organisasi yang berbentuk organisasi militer didukung oleh kelompok pemuda yaitu organisasi Pembela Tanah Air atau PETA.

Kepolisian pada waktu itu masih dibawah Residen yang disebut Sucho dan dibantu oleh Bupati yang disebut Kencho menandai masih diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Kesatuan seperti Polisi Perkebunan (Cultuur Politie), Polisi Pangreh Praja dan Polisi Lapangan (Veldpolitie) digabung dan menjadi satu alat kepolisian yang disebut Keisatsu atau Polisi.

PadaKaresidenan atau Shu dibentuk pusat-pusat kepolisian yang disebut Shu Keisatsu Bu merupakan bagian dari kantor Shu.Sistem administrasi bidang kepolisian yang dilaksanakan oleh pemerintah militer Jepang pada dasarnya hampir sama dengan pelaksanaan administrasi bidang kepolisian jaman pemerintah Hindia Belanda.

Kepala desa walaupun tidak merupakan bagian dari tugas kepolisian tetapi diwajibkan memberi bantuan kepada polisi untuk menjaga keamanan dan ketenteraman di lingkungan desanya. Kepala desa dibantu oleh Ketua Tonari gumi (Rukun Tetangga/RT).

Pemerintah militer Jepang mengubah istilah kewilayahan ke dalam bahasa Jepang seperti Karesidenan menjadi Syu, Kabupaten menjadi Ken, Kawedanaan menjadi Gun, Keasistenan Wedana menjadi Son dan Kelurahan menjadi Ku. Organisasi kepolisian pada jaman Jepang masih seperti jaman Belanda yaitu kepolisian di wilayah Karesidenan atau Syu dikepalai oleh seorang Syucokan yang bertanggung jawab atas ketentraman dan keamanan umum.

Polisi Pamong Praja di Jawa dan Madura dilebur ke dalam Jawa-Keisatsu dan selanjutnya disebut Polisi, Agen Polisi dan Mantri Polisi Pamong Praja diangkat menjadi anggota polisi dan disesuaikan dengan pangkatnya. Kepala Distrik (Guncho) dan Kepala Onderdistrik (Soncho) diwajibkan melakukan tugas kepolisian.

Organisasi kepolisian di bawah Keimubu (Departemen Kepolisian). Kesatuan Polisi Lapangan (Veldpolitie) dan Kejaksaan oleh Jepang digabung dalam Gunseikanbu Chianbu (Kantor Keamanan). Polisi Lapangan (Veldpolitie) dan beberapa orang dipilih untuk menjadi polisi yang diperlengkapi senjata otomatis ringan dalam tugasnya dan dinamakan Tokubetsu Keisatsu Tai yang berarti Pasukan Kepolisian yang bertugas spesial.

Kepolisian dibantu oleh Polisi Militer Jepang untuk menumpas gerakan di bawah tanah dan ancaman lain terhadap pemerintahan pendudukan Jepang. Tokubetsu keisatsu Tai dibentuk pada tahun 1944 untuk tiap-tiap Syu (Karesidenan) di bawah pimpinan Syu Chianbucho disiapkan sebagai pasukan penggempur dengan diberikan latihan-latihan militer.

Perbedaan Polisi Kota dan Polisi Luar Kota ditiadakan, hanya dikenal satu alat kepolisian yakni Jawa Keisatsu (Polisi Jawa) untuk seluruh Jawa dan Madura. Polisi Pamong Praja dihapuskan. Banyak Asisten Wedana (Camat) dan Wedana ditarik ke dalam susunan kepolisian, sehingga Jawa Keisatsu mempunyai cukup tenaga untuk kepala-kepala detasemen dan tenaga kader untuk Polisi Kota Besar. Dibeberapa tempat dibangun kantor-kantor polisi. Kantor-kantor polisi yang tidak dikepalai tentara Jepang ditempatkan orang Jepang sebagai Shidokan (Pengawas atau Perwira Penuntun).

Untuk memperkuat polisi diperbantukan tenaga-tenaga yang disebut Keibodan. Anggota Keibodan berasal dari masyarakat, kepada mereka diberikan pakaian seragam tetapi tidak menerima gaji. Anggota Keibodan diasramakan diibukota Karesidenan. Organisasi Keibodan berpusat (daitai) di Syu Chianbu, mempunyai cabang-cabang (cutai) di tiap kabupaten dan ranting (shotai) ditiap kecamatan. Pembentukan dan latihan diselenggarakan oleh Polisi.

Mulai Nopember 1944 Gunseikanbu Keisatsubu menjadi Gunseikanbu Chianbu (Departemen Keamanan), dalam departemen ini Polisi dan Kejaksaan disatukan. Kepala Departemen Keamanan bertindak sebagai Kepala Kepolisian melanjutkan tugas dari Gunseikanbu Keisatsubu dan menjalankan kebijakan polisionil yang diterima dari Shihobucho.

Disetiap Karesidenan (Syu) polisi administratif-organisatoris dan mengenai kebijakan polisionil di bawah Syucho, pimpinan sehari hari dilakukan oleh Syu Chianbucho. Sedangkan Syu Keisatsubu menjadi Syu Chianbu.

Bagian-bagian dari Syu Chianbu terdiri dari Bagian Umum (Somuka) yang mengurus tata usaha juga keuangan, perlengkapan, urusan pegawai. Bagian Keamanan (chianka) melakukan pengawasan dan penyelidikan di lapangan politik dan pemeriksaan dalam perkara-perkara criminal. Kejaksaan masuk di Chianka.

Memasuki tahun 1944 keadaan bertambah buruk bagi Jepang karena serangan sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat, yang diarahkan ke negeri Jepang. Dalam kondisi tersebut Jepang mulai menjanjikan kemerdekaan kepada negara-negara yang diduduki Jepang termasuk Indonesia. Parlemen Jepang pada tanggal 7 September 1944 mengadakan sidang istimewa yang ke 85 di Tokyo. Perdana Menteri Koiso mengumumkan tentang pemberian kemerdekaan kepada Indonesia “dikelak kemudian hari”.

Tindak lanjut janji tersebut, pemerintah pendudukan Jepang dipimpin oleh Letnan Jenderal Kumakichi Harada mengumumkan akan membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal 1 Maret 1944, yang disebutnya DokuritsuJunbi Chosakai.Dalam sidangnya BPUPKI membahas prinsip-prinsip dasar Negara Indonesia. Para anggota BPUPKI terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh ilmuwan telah memaparkan pandangannya seperti Mr. Moh. Yamin mengemukakan lima “Asas Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”. Mr. Soepomo mengemukakan dasar Indonesia Merdeka.

Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengemukakan lima asas landasan dan pandangan hidup negara Indonesia merdeka yang kemudian dikenal sebagai “Pancasila” yang pada saat itu disebutkan sebagai Kebangsaan Indonesia, Internasionlisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Keadilan Sosial dan Ketuhanan. Atas dasar pendapat para anggota BUPKI disusunlah naskah UUD dengan terlebih dahulu merumuskan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD.

Pada awal bulan Agustus 1945, BPUPKI berhasil menyelesaikan tugasnya, badan tersebut kemudian dibubarkan dan dibentuk badan baru yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai yang diketuai oleh Ir. Soekarno dengan Drs. Moh. Hatta sebagai wakilnya.

Kondisi negeri Jepang semakin kritis karena Amerika Serikatmenyatakan perang terbuka terhadap Jepang. Pertempuran terjadi di wilayah lautan Pasifik yang diduduki Jepang. Tanggal 6 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Kota Hiroshima yang disusul kemudian pada tanggal 9 Agustus 1945 bom atom kedua dijatuhkan di Kota Nagasaki. Akibat ledakan kedua bom atom tersebut tidak hanya menghancukan bangunan-bangunan tetapi juga menewaskan ribuan penduduk di kedua kota tersebut. Yang luka-luka akibat bom atom tersebut menderita cacat seumur hidup.

Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Selama pendudukan Jepang di Indonesia bergerak gerakan dibawah tanah yang dipimpinoleh para tokoh pemuda antara lain Syahrir, Chaerul Saleh dan kawan-kawan setelah mendengar kekalahan Jepang memaksa kepada Ir. Soekarno dan Moh. Hatta segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Tetapi Ir. Soekarno berdalih perlu diadakan pertemuan dengan para tokoh nasionalis terlebih dahulu, para pemuda tidak bersabar, kemudian Ir. Soekarno diculik dan ditahan di Rengasdengklok, Jawa Barat.

Para tokoh nasionalis di Jakarta menjadi ribut dan meminta Ir. Soekarno dikembalikan ke Jakarta. Atas permintaan banyak tokoh kemudian Ir. Soekarno dibebaskan. Pada malam harinya dengan bantuan Laksamana Maeda, Perwira Tinggi Angkatan Laut Jepang, memberikan fasilitas rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat (kini gedung bersejarah – Museum Perumusan Naskah Proklmasi) kepada para tokoh bangsa Indonesia untuk mempersiapkan pernyataan kemerdekaan. Malam itu dipersiapkan konsep proklamasi kemerdekaan Indonesia bersama dengan para tokoh nasionalis lainnya. Naskah proklamasi setelah siap akan dibacakan pada keesokan harinya tanggal 17 Agustus 1945 di kediaman Ir. Soekarno di Jalan Pegangsan Timur No.56 (sekarang Jalan Proklamasi), Jakarta Pusat.