Post on 08-Feb-2020
PEMODELAN SEISMIK REFLEKSI 2-D MENGGUNAKAN
METODE GAUSSIAN BEAM (SINAR GAUSS) DI AREA SLIP
GEMPA SUMATERA TAHUN 2004
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh:
ST ROHMAH
NIM: 1113097000009
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M /1439 H
vi
ABSTRAK
Pemodelan seismik digunakan untuk menghasilkan interpretasi data yang baik
dalam metode seismik refleksi. Dalam pemodelan ini kita dapat mengganti nilai
parameter-parameter yang ada dengan bebas dan sesuai dengan batasan nilai yang
memungkinkan untuk setiap jenis batuan tertentu.Kemudian mengamati
perubahan yang terjadi pada seismogram sintetik yang dihasilkan. Penelitian ini
membuat pemodelan pada area slip gempa Sumatera tahun 2004 menggunakan
metode Gaussian Beam (Sinar Gauss).Penelitian tersebut dilakukan untuk
mengetahui efek dari batas permukaan terhadap pemantulan gelombang seismik
dan mengetahui perbandingan hasil pemodelan dengan model bumi yang
sebenarnya. Metode Gaussian Beam (Sinar Gauss) menggunakan aplikasi seismic
unix dengan pendekatan yang sederhana dibandingkan metode ray tracing.
Metode ini menghasilkan penampang shot gather, raypath, CMP gather dan
brutestack.Processing dilakukan dengan pembuatan pemodelan, sorting,velocity
model , koreksi NMO dan proses brute stack sepanjang 30 km dengan kedalaman
10 km dibawah permukaan bumi. Ada perbedaan sudut kemiringan pada layer ke-
1 antara hasil pemodelan dan hasil brute stack yaitu sebesar 2,9⁰, pada layer ke-2
sebesar 5⁰, pada layer ke-4 sebesar 3,2⁰ , pada layer ke-5 sebesar 2,8⁰, pada layer
ke-6 sebesar 4⁰ sedangkan pada layer ke-7 tidak ada perbedaan kemiringan antara
hasil pemodelan dan hasil brute stack.Hasil metode Gaussian Beam (Sinar Gauss)
mampu memberikan penggambaran efek batas permukaan bumi dengan baik
sehingga bisa bermanfaat sebagai sumber data dalam menentukan karakteristik
lapisan bumi pasca terjadinya gempa Sumatrea Tahun 2004.
Kata kunci: Pemodelan Seismik, Slip, Gaussian Beam (Sinar Gauss),Shot
Gather, Raypath
vii
ABSTRACT
Seismic modeling can be used to produce the interpretation of seismic data on
seismic reflection method. Through this model, we are able to replace the existing
parameter values freely and in accordance with the permitted value limits for a
particular rock type. By this, we can observe the changes that occur in the
generated synthetic seismogram. This kind of modeling was made on the slip area
of Sumatera earthquake in 2004 using Gaussian Beam method in order to
1)investigate the effect of the surface boundary on the reflection of seismic waves,
and2) to figure out the comparison between the modeling result and the actual
earth model.The Gaussian Beam method uses a seismic Unix application which
has simpler approach than the ray tracing method. This method produced cross-
sectional shot gather, raypath, common midpoint (CMP) gather, and brute stack
after going through the process of modeling, sorting, velocity analysis, NMO
correction, and brutestack process on the 30 km at the depth of 10 km below the
earth surface. There is a difference of slope angle at fisrt layer between modeling
result and brute stack result that is equal to 2,9⁰, at second layer at 5⁰, at fourth
layer 3,2⁰, at fifth layer is 2,8⁰, at the sixth layer of 4⁰ while at the seventh layer
there is no difference in slope between the modeling results and the brute stack
results.The result of Gaussian Beam method is able to delineate the effects of the
earth surface boundaries so well that it can be useful as a source of data in
determining the characteristics of the earth layer after the 2004 Sumatera
earthquake.
Keywords: Seismic Modeling, Slip, Gaussian Beam, Shot Gather, Raypath
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang menguasai seluruh alam.Puji sertasyukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas karunia dan rahmatNya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat serta salam semga senantiasa
tercurahkan kepada sauri tauladan terbaik akhir zaman, Nabi Muhammad SAW
yang telah menunjukkan dari zaman jahiliyah menuju zaman terang benderang
Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang
tulus atas bantuan, arahan, informasi serta bimbingan kepada :
1. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Rike Widiyanti, selaku Kepala Pusat Penelitian Fisika LIPI yang telah
memberikan ijin untuk melaksanakan Tugas Akhir.
3. Arif Tjahjono, M.Si, selaku Ketua Program Studi Fisika Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Agus Budiono, M.T selaku dosen pembimbing yang telah membimbing,
mengarahkan, dan memberi masukan dalam proses penulisan karya ilmiah
ini.
5. Dr. Titi Anggono, M.Sc selaku pembimbing lapangan di P2F LIPI yang telah
bersedia membimbing, mengarahkan, memberikan informasi dan ilmu kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tugas akhir dengan
lancar.
ix
6. Tati Zera, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
pengarahan dalam penyusunan tugas akhir ini.
7. Indra Setiawan, S.Pd suami yang selama ini memberikan semangat dan
motivasi untuk giat mengerjakan tugas akhir ini.
8. Ismail Harun dan Ummamah selaku kedua orang tua penulis serta keluarga
yang memberikan semangat, dukungan, membantu dan selalu memberikan
doa kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini
dengan baik.
9. Esti Rustianti, Ari Setyani, S.Si, Safitry Ramandhany, S.Si, Sendiko Janu
Winarno, S.Si, Heva Nur Hayani, S.Si, Arin Naripa dan Dina
Krisnaningrumyang selama ini menemani dan memotivasi penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
10. Muammaroh dan Nur Hayati selaku saudara penulis yang selalu mendukung
dan memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini
dengan baik.
11. Pegawai dan rekan-rekan di Pusat Penelitian Fisika LIPI Serpong yang telah
membantu terlaksananya tugas akhir.
12. Teman-teman fisika angkatan 2013yang telah menjadi motivator,
memberikan keceriaan dan mengukir kenangan termanis, dan seluruh teman-
teman Fisika angkatan 2011.2012,2014 dan 2015 yang telah memberikan
do’a dan semangat sampai tugas akhir ini selesai.
13. Anggota kelompok KKN Solarity yang memberikan supportpada penulis
untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
x
14. Treize UKM Bahasa FLAT UIN Jakarta yang mengajarkan semangat
kekeluargaan semangat kerja keras dan pantang menyerah kepada penulis.
15. Komunitas Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Ciputat khususnya Kak Ali
Rif’an dan teman-teman kelas artikel yang memberikan ilmu menulis kepada
penulis.
16. Sahabat dan Sahabati PMII KomFast yang memberikan semangat Fikir,
Dzikir dan Amal Sholeh pada penulis.
17. Sahabat Kecilku Red The Far (RTF) Lia Lismawati, S.T, Ita Wulandari,
S.Akun, Qurrotun Dini Safitri, S.Ft, Dewi Maharani, S.S, Asep Efendy dan
Sumiyati yang selalu memotivasi penulis untuk tak kenal lelah dalam
menggapai mimpi.
18. Seluruh guru penulis yang mengajarkan penulis ilmu kehidupan dunia dan
akhirat sebagai bekal penulis dalam mengarumi bahtera kehidupan.
19. Seluruh teman penulis dalam menuntut ilmu di SDN Manonggal 01, MI
Ainul Yaqin, PONPES BABUL ULUM, SMPN 1 Klampis, SMAN 1
Bangkalan.
20. Dan pihak-pihak yang terkait dan berjasa dalam proses penyusunan tugas
akhir ini yang mungkin tidak bisa disebutkan satu persatu tanpa mengurangi
rasa terima kasih sedikitpun dari penulis.
Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari
kesalahan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun sehingga penulis dapat belajar dan dapat menjadi lebih baik dalam
xi
penulisan karya ilmiah selanjutnya. Kritik dan saran tersebut dapat disampaikan
melalui alamat email penulis: anaa.rohmah@gmail.com.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak dijadikan
sebagai amal sholeh.Penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan khususnya bagi penulis.
Jakarta,
ST Rohmah
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
PENGESAHAN UJIAN ....................................................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT .......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR. ........................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 4
1.3 Batasan Masalah........................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 5
1.6 Sistematika Penulisan .................................................................................. 6
BAB II DASAR TEORI
2.1 Zona Subduksi Pulau Sumatera .................................................................... 7
2.2 Sejarah Gempa Pulau Sumatera .................................................................... 9
2.3 Struktur Geologi Pulau Sumatera ................................................................. 12
2.4 Teori Gelombang .......................................................................................... 13
2.4.1 Gelombang Seismik .............................................................................. 13
2.4.2 Sumber Gelombang Seismik ................................................................. 14
2.4.3 Tipe Gelombang Seismik ...................................................................... 15
2.4.4 Prinsip Penjalaran Gelombang Seismik ................................................ 16
2.4.5 Kecepatan Penjalaran Gelombang Seismik .......................................... 19
2.4.6 Refleksi dan Transmisi Gelombang Seismik ........................................ 20
2.4.7 Posisi Sumber Gelombang, Receiver dan Penjalaran Sinar Seismik .... 21
xiii
2.5 Pengolahan Data Seismik ............................................................................. 22
2.5.1 Reformat Data ....................................................................................... 23
2.5.2 Filtering ................................................................................................. 23
2.5.3 Velocity Analysis .................................................................................. 24
2.5.4 Koreksi NMO ........................................................................................ 24
2.5.5 Stacking ................................................................................................. 25
2.5.6 Migrasi .................................................................................................. 25
2.6 Pemodelan Seismik ....................................................................................... 25
2.6.1 Metode Jejak Sinar (Ray Tracing) ........................................................ 26
2.6.2 Metode Beda Hingga (Finite Difference) ............................................. 27
2.6.3 Metode Integrasi Kircchoff-Helmholtz ................................................. 28
2.7 Metode Sinar Gauss (Gaussian Beam) ......................................................... 28
2.7.1 Perumusan metode Sinar Gauss (Gaussian Beam) ............................... 29
2.7.2 Aplikasi metode Sinar Gauss (Gaussian Beam) ................................... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Data Penelitian .............................................................................................. 33
3.2 Lokasi Pengambilan Data ............................................................................. 35
3.3 Tahapan Pengolahan Data ............................................................................ 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pemodelan ........................................................................................... 39
4.2 Hasil Shot Ghater dan Raypath .................................................................... 40
4.3 Hasil Proses Sorting Seismik ........................................................................ 47
4.4 Hasil Koreksi NMO ...................................................................................... 53
4.5 Hasil Brute Stack .......................................................................................... 54
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 57
5.2 Saran ............................................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 59
LAMPIRAN .......................................................................................................... 61
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Parameter untuk proses NMO ................................................................... 53
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Zona Subduksi Pulau Sumatera ............................................................... 7
Gambar 2.2 Profil Tektonik Pulau Sumatera .............................................................. 8
Gambar 2.3Catatan Sejarah Gempa di Pulau Sumatera ............................................. 10
Gambar 2.4 Profil daerah penelitian ........................................................................ 13
Gambar 2.5 Jenis-jenis wavelet ............................................................................... 15
Gambar 2.6 Gelombang Longitudinal (P) ................................................................ 16
Gambar 2.7 Gelombang Transversal (S) .................................................................. 16
Gambar 2.8 Gelombang (P) yang melewati suatu medium ........................................ 17
Gambar 2.9 Penelusuran jejak sinar seismik ............................................................. 18
Gambar 2.10 Prinsip Huygens ................................................................................ 19
Gambar 2.11 Perambatan gelombang seismik .......................................................... 21
Gambar 2.12 Jenis-jenis Filtering ............................................................................ 24
Gambar 3.1 Hasil inversi model kecepatan pada line WG2 ....................................... 34
Gambar 3.2 Hasil inversi model kecepatan pada line WG2 yang diteliti ..................... 35
Gambar 3.3 Studi Batimetri daerah penelitian .......................................................... 35
Gambar 3.4 Diagram Alur ...................................................................................... 38
Gambar 4.1 Hasil pemodelan sepanjang 100 km ....................................................... 39
Gambar 4.2 Hasil inversi seismik refleksi daerah penelitian ...................................... 39
Gambar 4.3 Hasil Pemodelan yang akan dianalisis ................................................... 40
Gambar 4.4 Hasil shot gather ke-1 .......................................................................... 41
Gambar 4.5 Hasil raypath shot gather ke-1 .............................................................. 41
xvi
Gambar 4.6 Hasil shot gather ke-150 ....................................................................... 42
Gambar 4.7 Hasil raypath shot gather ke-150 .......................................................... 43
Gambar 4.8 Hasil shot gather ke-300 ....................................................................... 43
Gambar 4.9 Hasil raypath shot gather ke-300 .......................................................... 44
Gambar 4.10 Hasil shot gather ke-400 ..................................................................... 44
Gambar 4.11 Hasil raypath shot gather ke-400 ........................................................ 45
Gambar 4.12 Hasil shot gather ke-600 ..................................................................... 45
Gambar 4.13 Hasil raypath shot gather ke-600 ........................................................ 46
Gambar 4.14 Hasil shot gather ke-1 yang diperbesar ................................................ 47
Gambar 4.15 Hasil sebelum sorting shot ke-50 sampai ke-55 .................................... 48
Gambar 4.16 Hasil sebelum sorting shot ke-150 sampai ke-155 ................................ 48
Gambar 4.17 Hasil sebelum sorting shot ke-300 sampai ke-305 ................................ 49
Gambar 4.18 Hasil sebelum sorting shot ke-400 sampai ke-405 ................................ 49
Gambar 4.19 Hasil sebelum sorting shot ke-595 sampai ke-600 ................................ 50
Gambar 4.20 Hasil setelah sorting (cdp 50-55) ......................................................... 50
Gambar 4.21 Hasil setelah sorting (cdp 155-160) ..................................................... 51
Gambar 4.22 Hasil setelah sorting (cdp 455-460) ..................................................... 51
Gambar 4.23 Hasil setelah sorting (cdp 655-660) ..................................................... 52
Gambar 4.24 Hasil setelah sorting (cdp 1000-1005) ................................................. 52
Gambar 4.25 Hasil koreksi NMO cdp ke-1000 sampai ke-1005 ................................. 53
Gambar 4.26 Hasil Modelling ................................................................................. 55
Gambar 4.27 Hasil Brute stack tampilan cmap=hsv4 ................................................ 55
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu geofisika atau kebumian mempelajari struktur lapisan di dalam
permukaan bumi. Ilmu ini sangat penting untuk kehidupan manusia karena bumi
adalah tempat dimana manusia tinggal. Selain untuk migitasi bencana ilmu
kebumian juga sangat dibutuhkan dalam eksplorasi hasil bumi yang nantinya bisa
sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Terkait dengan lapisan bumi, terdapat
firman Allah SWT dalam surah At-Talaq ayat 12 yang dapat ditadaburi:
نهن نتعهمىا أن انهه انذي خهق سبع سماوات ومن األرض مثههن تنزل األمز ب
ء عهما )٢١( ء قدز وأن انهه قد أحاط بكم ش انهه عهى كم ش
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.
Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu; dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu”.Q.S At-Talaq [65]:12.
Dari penggalan surah At-Talaq tersebut dapat disimpulkan, bahwa Allah
SWT menciptakan bumi dalam bentuk lapisan-lapisan. Disetiap lapisan tersebut
mempunyai struktur dan sifat yang berbeda. Masing-masing lapisan tersebut juga
menyimpan kekayaan bumi yang berbeda sehingga butuh pengetahuan agar
kekayaan bumi tersebut bisa dimanfaatkan oleh manusia. Sesungguhnya Allah
2
Mahakuasa atas segala sesuatu; dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar
meliputi segala sesuatu.
Struktur lapisan Pulau Sumatera dan sekitarnya sangat penting untuk diteliti
lebih dalam karena daerah ini sangat rawan bencana gempa bumi. Hal ini
disebabkan karena Pulau Sumatera merupakan pertemuan antara dua lempeng
besar yaitu Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Pertemuan kedua
lempeng ini membentuk zona subduksi yang memiliki arah dan jenis penujaman
yang tidak seragam (Prawirodirdjo,2000). Zona subduksi di Sumatera merupakan
wilayah yang paling sering melepaskan energi gempa bumi(Setyonegoro
etal.,2012).
Pada jarak 150 km ke arah selatan dari episenter gempa bumi tahun 2004,
telah terjadi gempa berkekuatan 8,5 skala Richter (SR) pada tahun 1861 dan pada
daerah yang sama pecah lagi gempa 8,7 SR pada tahun 2005 (Briggs et al., 2006).
Selanjutnya di selatan, lepas pantai bagian tengah dan selatan Sumatera, dua
gempa besartelah dilaporkan dengan kekuatan 8,4 SR pada tahun 1797 dan gempa
9 SR pada tahun 1833, sedangkan pada tahun 2007 gempa kembali dilaporkan
dengan kekuatan8,5 SR terjadi pada daerah yang sama (Konca et al., 2008).
Berdasarkan data karang, (Sigh et al., 2008 )mengemukakan bahwa zona subduksi
Sumatera bagian barat tersegmentasi dan gempa besar bisa terjadi setiap 200-250
tahun di sepanjang masing-masing segmen.
Gempa berkekuatan 9.3 SR yang terjadi pada tahun 2004 silam merupakan
salah satu gempa terbesar dalam empat puluh tahun terakhir. Gempa tersebut
dimulai dari lepas pantai pulau Simeulue ujung Sumatera dan pecah sepanjang
1.300 km dari batas lempeng Sumatera utara sampai Kepulauan Andaman
3
(Ammon et al.,2005). Gempa tersebut menghasilkan tsunami yang menelan lebih
dari 230.000 jiwa dan menyebabkan kerusakan di sekitar samudra Hindia(Singhet
al., 2012).
Sebagai akibat dari gempa dan tsunami yang terjadi pada tahun 2004,
serangkaian survei laut dilakukan oleh berbagai kelompok internasional (Araki et
al., 2006; Franke et al., 2008; Graindorge et al., 2008; Henstock et al., 2006;
Sibuet et al., 2007) yang menyediakan gambar batimetri dan seismik hingga
kedalaman 10 km untuk menggambarkan struktur dalam hingga kedalaman 60
km, survei refleksi seismik dan refraksi dilakukan secara bersamaan di daerah slip
maksimum gempa 2004 (Singh et al.,2012).
Interpretasi data seismik merupakan proses yang penting dalam metode
seismik refleksi. Namun interpretasi data seismik tidaklah mudah karena untuk
sampai kepada suatu kesimpulan diperlukan proses yang panjang dan
kemungkinan terjadinya kesalahan sepanjang proses tersebut sangat besar.
Untuk mendapatkan hasil interpretasi yang baik diperlukan analisis yang
baik tentang sifat-sifst fisis lapisan batuan bumi, penjalaran gelombang dan
beberapa paramater yang berpengaruh terhadap hasil rekaman seismik yang
diperoleh.
Salah satu cara untuk mengembangkan pemahaman kita tentang sifat-sifat
fisis lapisan bumi, penjalaran gelombang dan parameter-parameter yang
mempengaruhinya adalah dengan membuat pemodelan seismik. Dalam
pemodelan ini kita dapat mengganti nilai parameter-parameter yang ada dengan
bebas dan sesuai dengan batasan nilai yang dimungkinkan untuk setiap jenis
4
batuan tertentu kemudian mengamati perubahan yang terjadi pada seismogram
sintetik yang dihasilkan.
Dengan demikian kita akan mempunyai kepekaan untuk melihat rekaman
seismik (seismogram), mengetahui apa penyebabnya dan bagaimana proses dapat
dilakukan untuk mendapatkan seismogram yang mendekati model perangkap
yang sebenarnya sehingga diharapkan hasil interpretasi yang dilakukan benar-
benar akurat.
Secara umum ada dua metode pemodelan seismik, pertama yaitu teori sinar
(Ray Theory) kedua teori gelombang (Wave Theory) yang meliputi pemodelan
dengan Sinar Gauss (Gaussian Beam Synthetic Seismograms), Kirchoff, Finite
Difference dll. Pada penelitian kali ini metode pemodelan yang digunakan adalah
metode Sinar Gauss.Sebab, metode ini menggunakan pendekatan yang sederhana
dibandingkan metode parabola.
Mengacu dari referensi serta diperkuat dengan penggalan dari surah At-
Talaq, pada penelitian ini akan diteliti tentang pemodelan seismik refleksi 2-D
menggunakan metode Gaussian Beam (Sinar Gauss) di area slip gempa Sumatera
tahun 2004. Pemodelan ini akan sangat penting untuk proses interpretasi data
seismik refleksi yang nantinya bisa menggambarkan struktur permukaan bumi
pasca gempa yang terjadi di Sumatera pada tahun 2004 silam.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
5
1. Pembuatan model untuk seismik refleksi daerah slip gempa Sumatera tahun
2004.
2. Analisa model seismik refleksi dengan metode Gaussian Beam (Sinar
Gauss) pada daerah tersebut.
1.3 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Analisis seismik menggunakan metode Gaussian Beam.
2. Pengolahan data menggunakan aplikasi Seismic Unix.
3. Akuisisi lebih ditekankan pada bidang seismic modelling.
4. Pemetaan dilakukan di daerah slip gempa Sumatera tahun 2004.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latarujuan penelitian ini adalah:
1. Menghasilkan model data untuk pengolahan data seismik refleksi.
2. Mengetahui efek dari batas permukaan terhadap pemantulan gelombang
seismik.
3. Membandingkan hasil pemodelan awal dengan model setelah
prosessingmenggunakan metode Gaussian Beam (sinar gauss).
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh
informasi mengenai gambaran batas permukaan bumi yang berada di area slip
gempa Sumatera tahun 2004 sehingga dapat menjadi acuan untuk penelitian-
penelitian seismik refleksi 2-D di daerah tersebut.
6
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan mengacu pada buku pedoman akademik yang
diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang pada
masing-masing bab adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Bab ini mencakup latar belakang penelitian, perumusan masalah,
batasan masalah yang akan dijadikan penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Bab ini membahas tentang landasan teori dan berisi materi-materi
penunjang penelitian yang teridiri dari zona subduksi lempeng
tektonik Pulau Sumatera, teori gelombang seismik, pengolahan
data seismik, pemodelan seismik refleksi dan metode Gaussian
Beam (Sinar Gauss).
BAB III Metode Penelitian
Bab ini membahas tentang data penelitian, lokasi pengambilan data
,tahapan pengolahan data dan diagram alur.
BAB IV Hasil dan Pembahasan
Bab ini membahas tentang data hasil penelitian dan analisa data
yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Bab ini membahas tentang kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian dan memberikan saran untuk penelitian selanjutnya.
7
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Zona Subduksi Pulau Sumatera
Sumatera merupakan salah satu pulau di Indonesia dengan dinamika bumi
yang tinggi.Hal ini disebabkan di wilayah ini terdapat pertemuan dua lempeng
tektonik yaitu Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia.Pertemuan kedua
lempeng ini membentuk zona subduksi yang memiliki arah dan jenis penunjaman
yang tidak seragam (Prawirodirdjo, 2000).Zona subduksi di Sumatera merupakan
wilayah yang paling sering melepaskan energi gempabumi (Setyonegoroet al.,
2012).
Gambar 2.1. Zona Subduksi Pulau Sumatera(modifikasi dari EOS, 2012)
Lajur subduksi Sumatera merupakan lajur tempat Lempeng Indo-Australia
menunjam ke bawah Lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Australia bergerak ke arah
utara dengan kecepatan relatif terhadap lempeng Eurasia sebesar 7 cm pertahun
(Wilson et al., 1998).Pergerakan lempeng menunjam ini sangat mempengaruhi
aktivitas tektonik di Pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Perge-
sekan pada lajur Benioff pada lempeng yang menunjam menyebabkan aktivitas
magmatik sepanjang Pulau Sumatera yang muncul sebagai deretan gunung api.
8
Arah subduksi yang relatif miring terhadap daratan Sumatera me-
nimbulkan adanya Lajur Sesar Sumatera dan Lajur Sesar Mentawai (Diament et
al., 1992; Malod et al., 1995) yang memanjang dari utara hingga selatan Pulau
Sumatera dengan besar pergerakan yang makin kecil di ujung selatan (McCaffrey,
1991; Pramumijoyo dan Sebrier, 1991; Sieh dan Natawidjaja, 2000). Segmentasi
lempeng mikro Sumatera telah banyak diulas pada penelitian-penelitian
sebelumnya (Diament et al., 1992; Sukmono drr., 1997; Triyoso, 2005;Handayani
dan Harjono, 2006; Chlieh et al., 2008) yaitu data-data terbaru menunjukkan
kemungkinan pembagian segmen yang makin detail. Pembagian segmen juga
sangat berkaitan dengan pembagian daerah seismik aktif dan kemungkinan
terjadinya pengumpulan energi yang memungkinkan kejadian gempa bumi dalam
waktu yang akan datang (Natawidjaja &Sieh, 2009).
Gambar 2.2. Profil Tektonik Pulau Sumatera (wikepedia,2018)
9
2.2 Sejarah Gempa Pulau Sumatera
Beberapa gempa besar yang terjadi di Pulau Sumatera adalah gempa pada
tahun 1833 dengan kekuatan 8,9 SR dan pada tahun 1797 dengan kekuatan 8,3 s.d
8,7 SR (Setyonegoroet al., 2012). Kedua gempa tektonik tersebut membangkitkan
tsunami besar yang menyapu perairan SumateraBarat dan Bengkulu.Gempa bumi
besar selanjutnya terjadi di lepas pantai Aceh pada 26 Desember tahun 2004 yang
menjadi suatu momen besar yang menandai tingginya aktivitas tektonik sepanjang
Pulau Sumatera. Sejak gempa bumi besar tersebut, telah terjadi beberapa gempa
bumi di pantai barat Sumatera. Data gempa bumi besar beserta gempa bumi
susulannya yang cukup banyak . Data gempa tersebut sangat berharga dalam
membantu memahami gerakan tektonik daerah tersebut.
Gempa besar Aceh-Andaman 9,3 SR tahun 2004 (Subatya et al., 2006)
dan juga gempa Nias-Simelue 8,7 SR tahun 2005 (Briggs et al., 2006)
sebelumnyadicirikan oleh zona seismic gap. Penelitian geologi sebelum gempa ini
terjadi jugamenunjukan bahwa Pulau Nias sebelumnya mengalami penurunan
selama berpuluh-puluh– ratusan tahun, yang dicirikan oleh banyak pantai-pantai
yang tenggelam di barat Nias.Hal ini merupakan indikasi langsung bahwa
megathrust di bawah pula ini terkunci danmengakumulasi energi regangan.
Gempa Aceh tahun 2004 sebenarnya sudah ditandai olehterjadinya gempa 7,4SR
tahun 2002 di Pulau Simelue yang sekarang kita tahumerupakan ”foreshock”.
Gempa 26 Desember tahun 2004 ini kemudian memicu gempa Nias-Simelue yang
terjadi hanya tiga bulan berikutnya. Peristiwa ini terjadi karena apabila suatu
gempa besar terjadi maka wilayah disekitar sumber gempa yang meledak tersebut
akan tegang atau tidak setimbang (Nalbant et al., 2006). Hal ini dikenal sebagai
10
shadow stress. Shadow stress inilah yang membuat segmen megathrust Nias-
Simelue yang sudah banyak menghimpun energi regangan sejak gempa terakhir
tahun1861 kemudian meledak juga (Mc Closkey, 2005).
Gambar 2.3. Catatan Sejarah Gempa di Pulau Sumatera (Natawidjaja,2004)
Perulangan gempa dapat terjadi dalam kurun waktu tertentu.Fase-fase
perulangan gempabumi dapat menghasilkan deformasi permanen.Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh (Sarsito et al., 2005). Pada
penelitian tersebut membahas mengenai implikasi coseismic dan post-seismic
horisontal displacement gempa Aceh tahun 2004 terhadap status geometrik data
spasial wilayah Aceh dan sekitarnya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa fase coseismic gempa Aceh tahun 2004 menghasilkan deformasi yang
bervariasi sampai mencapai nilai 2,7 m. Fase post-seismic gempa Aceh tahun
2004 menghasilkan deformasi sebesar 15 cm setelah 90 hari pasca gempa
tektonik. Selain itu, vektor pergerakan pada fase coseismic berlawanan arah
11
dengan vektor pergeseran pada fase interseismic. Meskipun deformasi akibat
gempa tektonik Aceh tahun 2004 mencapai fraksi meter, namun pengaruhnya
terhadap status geometrik data spasial wilayah Aceh masih tergantung pada
kebutuhan atau spesifikasi teknis kegiatan survei dan pemetaan yang dilakukan.
Di daratan Sumatera, Patahan/Sesar Sumatera terbentang sepanjang
PegununganBukit Barisan, mulai dari Teluk Semangko di Selat Sunda sampai
dengan wilayah Aceh diutara (Sieh & Natawidjaja, 2000). Sudah sekitar 20 gempa
besar dan merusak terjadi disepanjang Patahan Sumatera dalam 100 tahun terakhir
(Natawidjaja & Triyoso,2007). Dengan kata lain, gempa besar di Sesar Sumatera
terjadi rata-rata dalam limatahun sekali. Jadi, berbeda dengan di zona subduksi
Sumatera yang berpotensi untukmengeluarkan gempa besar dengan magnitudo> 8
tapi hanya sekitar 2-3 kali dalam100 tahun, gempa di Sesar Sumatera magnitudo-
nya < 7,7 tapi sering dan sumbernyalebih dekat dengan populasi penduduk.
Gempa terakhir pada tangal 6 April 2007 diwilayah Danau Singkarak
membuktikan bahwa gempa yang hanya berkekuatan 6,3 SR tersebut dapat
menimbulkan kerusakan dan korban yang cukup banyak (Natawidjaja et al.,
2007). Pada dekade sebelumnya, terjadi dua gempa besar 6,9 di Liwatahun 1994
(Natawidjaja et al., 1995; Widiwijayanti et al., 1999) dan gempa 7 SR di
wilayahDanau Kerinci tahun 1995 yang juga banyak menimbulkan kerusakan dan
korbanjiwa. Fakta ini menunjukan bahwa potensi gempa di sepanjang Sesar
Sumatera jugatidak kalah pentingnya untuk di-mitigasi selain ancaman gempa dan
tsunami dari zonasubduksi (Natawidjaja & Harjono, 2007).
12
2.3 Struktur Geologi Pulau Sumatera
Struktur geologi Prisma akresi mempunyai ciri morfologi dan struktur
yang khas yang telah dikenali dari data-data seismik refleksi (Davis et al.,1983;
Karig etal., 1979; Schluter et al., 2002; Kopp et al., 2008,Mukti et al., 2013).
Selain struktur yang khas,daerah prisma akresi juga ditandai oleh kehadiranbatuan
bancuh. Karig et al. (1979) dan Moore &Karig (1980) mengatakan bahwa
bancuhmerupakan hasil dari aliran debris dan reaktifasikompleks akresi secara
terus-menerus yang jugamembentuk bidang-bidang sesar naik. Namununtuk kasus
pulau-pulau di sisi barat Sumatera,tampaknya kompleks batuan bancuh
terbentuksebagai akibat kubah lumpur (mud diapir) didaerah cekungan sedimen di
puncak kompleksakresi. Bahkan over pressure pembentuk diapiricmélange masih
dalam proses pembentukan saatini (Barber, 2013).Marschall & Schumacher
(2012) yangmenggabungkan hasil penelitian petrologi,geofisika, geokimia dan
model numerik telahmenggambarkan pembentukan bancuh padaprisma akresi
dalam dua tahapan proses. Pertama,formasi batuan bancuh terbentuk di
pertemuanantara lempeng tersubduksi dan mantel. Kemudian, material bancuh
yang memilikidensitas relatif lebih rendah naik dari permukaanlempeng
tersubduksi ke permukaan dalam bentukkubah lumpur. Salah satu kemungkinan
jalanuntuk naik ke permukaan adalah melalui sesaranjak balik (Hulme et al.,
2010; Kopf, 2002).
Sepanjang busur Sumatera, salah satu strukturgeologi yang unik adalah
ditemukannya buktiadanya sesar anjak balik (backthrust) di daerah prisma akresi
(Mukti et al., 201)]. Apabilastruktur sesar anjak balik ini dicermati
13
padapenampang seismiknya, akan tampak bahwasesar anjak balik pada segmen
yang telahmengalami gempa besar akan menunjukkan adanya penguatan sinyal
seismiknya (Singh etal., 2011b). Penguatan sinyal pantulan seismik iniboleh jadi
disebabkan karena bertambahnya kandungan cairan (fluida) di sepanjang
sesaranjak balik yang disebabkan oleh perubahantekanan sepanjang sesar anjak
balik tersebut. Data seismik juga menunjukkan bahwa sesaranjak balik ini
menerus hingga ke dasar samudera (Singh et al., 2011a).
Gambar 2.4.Profil daerah penelitian (Singh, et al.,2012)
2.4 Teori Gelombang
Gelombang secara umum didefinisikan sebagai fenomena perambatan
gangguan (usikan) dalam medium sekitarnya. Berdasarkan frekuensinya
gelombang dapat dibedakan atas beberapa bagian antara lain; gelombang radio,
gelombang radar, gelombang seismik dan lain-lain.
2.4.1 Gelombang Seismik
Gelombang seismik adalah gelombang yang merambat melalui
bumi.Perambatan gelombang ini bergantung pada sifat elastisitas batuan.
14
Gelombang seismik juga disebut elastik karena isolasi partikel-partikel medium
terjadi akibat interaksi antara gaya gangguan (gradient stress) melawan gaya
elastik.
2.4.2 Sumber Gelombang Seismik
Secara umum ada dua macam sumber gelombang seismik.Yaitu; sumber
yang ditimbulkan oleh metode aktif dan metode pasif.Metode aktif adalah metode
penimbulan gelombang seismik secara aktif atau disengaja menggunakan
gangguan yang dibuat manusia, biasanya digunakan dalam bidang
eksplorasi.Metode pasif adalah gangguan yang muncul terjadi secara alamiah,
contohnya gempa dan runtuhan.Gelombang seismik yang sumbernya berasal dari
metode pasif disebut gelombang seismik buatan. Gelombang seismik buatan ini
sangat baik dibandingkan dengan gelombang seismik yang sumbernya bersal dari
gempa karena kekuatan, lokasi, frekuensi dan waktu penggunaanya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Beberapa sumber gelombang seismik
buatan antara lain: dinamit, benda jatuh, air gun, water gun, vaporchoe, boomer,
sparker atau vibroseis. Semua sumber gelombang seismik buatan ini akan
membangkitkan gangguan sesaat dan lokal yang kita sebut tegangan (stress).
Kurva osilasi yang terbentuk mirip sinusiodal terpotong dinaamakan
sinyal seismik (seismik wavelet). Secara umum wavelet terdiri atas 2 jenis yaitu
wavelet zero phase dan wavelet non zero phase (minimum phase, maximum phase
dan mixed phase) . Dalam eksplorasi yang digunakan adalah zero phase dan
minimum phase. Wavelet zero phase terdiri dari satu puncak (peak) dengan dua
lembah (trough)dan merupakan wavelet yang ideal karena energinya
terkonsentrasi di puncak yang positif sehingga proses konvuloasinya dengan
15
koefisien refleksi memberikan posisi reflektor yang bersesuaian dengan puncak
wavelet.
Gambar 2.5. Jenis-jenis wavelet (Sukmono,1990)
Jika spektrum amplitudo wavelet dilebarkan (frekuensi dominannya
menjadi lebar) maka wavelet dalam daerah waktu menjadi sempit yang
merupakan indekasi adanya peningkatan resolusi (wavelet yang diinginkan).
Wavelet minimum phase mempunyai ujung paling tajamdan semua gelombang
berada dalam waktu positif energinya terkonsentrasi sedekat-dekatnya dengan
titik awal wavelet.
2.4.3 Tipe Gelombang Seismik
Secara umum gelombang seismik dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe
bergantung pada perpindahan partikel alami yaitu:
1. Gelombang badan (body wave) yang merupakan gelombang yang menjalar
melalui bagian dalam bumi dan biasa disebut free wave karena dapat
menjalar ke segala arah di dalam bumi. yang terdiri dari;
a. Gelombang longitudinal (gelombang P) juga disebut gelombang
kompresi, yaitu gelombang yang arah getar (osilasi) partikel-partikel
medium searah dengan arah perambatan.
16
Gambar 2.6. Gelombang Longitudinal (P) (wikipedia,2018)
b. Gelombang transversal (Gelombang S)atau disebut gelombang Shear
yaitu arahgetar partikel-partikel medium tegak lurusterhadap arah
penjalaran gelombang.Gelombang ini dibedakan atas dua
yaitugelombang SV (S Vertikal) dan SH (SHorizontal).
Gambar 2.7.Gelombang transversal (S) (wikipedia,2018)
2. Gelombang permukaan (surface wave) merupakan gelombang elastik yang
menjalar sepanjang permukaan. Karena gelombang ini terikat harus
menjalar melalui suatu lapisan atau permukaan gelombang permukaan
terdiri dari gelombang Rayleigh, gelombang Love, dan gelombang Stonely.
2.4.4 Prinsip Penjalaran Gelombang Seismik
Untuk memudahkan penelusuran penjalaran gelombang seismik dalam
struktur bawah permukaan yang lebih kompleks, dipakai sinar seismik (seismic
17
rays) yang didefenisikan sebagai suatu garis yang di semua titik selalu tegak lurus
muka gelombang.
Secara umum sinar seismik mengikuti 3 prisip Hukum Fisika, yaitu:
1. Hukum Snellius
Perambatan gelombang seismik dari satu medium ke medium lain
yang mempunyai sifat fisik yang berbeda seperti kecepatan dan densitas
akan mengalami perubahan arah ketika melewati bidang batas antar
medium. Suatu gelombang yang datang pada bidang batas dua media yang
sifat fisiknya berbeda akan dibiaskan jika sudut datang lebih kecil atau sama
dengan sudut kritisnya dan akan dipantulkan jika sudut datang lebih besar
dari sudut kritis. Sudut kritis adalah sudut datang yang menyebabkan
gelombang dibiaskan 90⁰.Jika suatu berkas gelombang P yang datang
mengenai permukaan bidang batas antara dua medium yang berbeda, maka
sebagian energi gelombang tersebut akan dipantulakn sebagai gelombang P
dan gelombang S, dan sebagian lagi akan dibiaskan sebagai gelombang P
dan gelombang S, seperti yang diilustrasikan pada gambar bibawah ini:
Lintasan gelombang tersebut mengikuti hukum Snell, yaitu :
Gambar 2.8. Gelombang P yang melewati suatu medium (wikipedia,2018)
18
2. Asas Fermat
Prinsip Fermat menyatakan bahwa gelombang yang menjalar dari satu
titik ke titik yang lain akan memilih lintasan dengan waktu tempuh tercepat.
Prinsip Fermat dapat diaplikasikan untuk menentukan lintasan sinar dari
satu titik ke titik yang lainnya yaitu lintasan yang waktu tempuhnya bernilai
minimum.Dengan diketahuinya lintasan dengan waktu tempuh minimum
maka dapat dilakukan penelusuran jejak sinar yang telah merambat di dalam
medium. Penelusuran jejak sinar seismik ini akan sangat membantu dalam
menentukan posisi reflektor di bawah permukaan. Jejak sinar seismik yang
tercepat ini tidaklah selalu berbentuk garis lurus.
Gambar 2.9. Penelusuran jejak sinar seismik (wikipedia,2018)
3. Prinsip Huygens
Huygens mengatakan bahwa gelombang menyebar dari sebuah titik
sumber gelombang ke segala arah dengan bentuk bola. Prinsip Huygens
mengatakan bahwa setiap titik-titik penganggu yang berada didepan muka
gelombang utama akan menjadi sumber bagi terbentuknya gelombang baru.
19
Jumlah energi total dari gelombang baru tersebut sama dengan energi
utama. Pada eksplorasi seismik titik-titik di atas dapat berupa patahan,
rekahan,pembajian, antiklin, dll. Sedangkan gelombang baru tersebut
disebut sebagai gelombang difraksi.
Gambar 2.10. Prinsip Huygens (wikipedia,2018)
2.4.5 Kecepatan Penjalaran Gelombang Seismik
Kecepatan penjalaran gelombang seismik secara alami bergantung pada
karakteristik fisika medium.Kecepatan perambatan gelombang P dan gelombang S
pada medium mampat diberikan oleh (Munadi S., 2000).
(2.1)
Dimana = kecepatan (dalam satuan meter per sekon)
k= KonstantaBulk
= densitas (dalam satuan gram per sentimeter kubik)
s = waktu (dalam satuan detik)
Modulus bulk (𝑘) adalah ukuran tingkat dimana suatu medium dapat
bertahan terhadap perubahan volume jika sebuah gaya diberikan padanya
20
sedangkan rigiditas modulus adalah ukuran tingkat dimana medium dapat
bertahan jika gaya geser (shearing force) diberikan padanya. Keduanya
menunjukkan kekuatan medium dimana semakin kuat medium kecepatan
penjalaran gelombang di dalam medium tersebut semakin besar.
2.4.6 Refleksi dan Transmisi Gelombang
Sifat-sifat refleksi dan transmisi gelombang pada suatu bidang batas
merupakan dasar untuk memahami dan menjawab fenomena perambatan
gelombang dalam medium berlapis.Sifat-sifat refleksi dan transmisi merupakan
parameter yang sangat berguna dalam pemanfaatan gelombang.Sifat-sifat fisika
batuan (petrofisika) dapat dideduksi dari sifat-sifat refleksi bidang batas yang
memantulkannya.Batuan berpori memberikan kuat refleksi yang berbeda
dibanding dengan batuan mampat.
Sifat transmisi juga membawa kandungan informasi yang sangat berharga
terutama yang menyangkut fenomena atenuasi dan absorbs gelombang seismik
dalam lapisan-lapisan batuan bawah permukaan. Dengan demikian sifat-sifat
pantulan dan pembiasan gelombang seismik merupakan informasi yang berguna
bukan hanya untuk kepentingan eksplorasi akan tetapi juga untuk kepentingan
produksi.
Jika sebuah gelombang datang pada suatu bidang batas antara dua medium
yang berbeda maka gelombang tersebut akan mengalami proses pemantulan
(refleksi) dan pembiasan (transmisi). Dalam peristiwa ini amplitudo gelombang
datang berbeda dengan amplitudo gelombang refleksi dan amplitudo gelombang
21
transmisi. Amplitudo pada data seismik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
diperlihatkan pada gambar
Untuk gelombang yang datang tegak lurus bidang reflektor koefisien
refleksi dan transmisi yang bergantung pada property medium yang disebut
impedansi akuistik yang diberikan oleh [Jakubowicz H., 1991].
Gambar 2.11. Perambatan gelombang seismik (Alexander,2014)
Untuk gelombang yang datang tegak lurus bidang reflektor koefisien
refleksi dan transmisi yang bergantung pada property medium yang disebut
impedansi akuistik yang diberikan oleh (Jakubowicz H., 1991)
2.4.7 Posisi Sumber Gelombang, Receiver dan Penjalaran Sinar Seismik
Berdasarkan posisi sumber dan receiver, penjalaran sinar seismik pada
dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu Zero- Offset dan Non
Zero-Offset.Zero-Offset yaitumetode dimana posisi sumber gelombang dan
receiver terletak pada satu titik dan pantulan gelombang yang terekam oleh
penerima adalah sinar gelombang yang datang tegak lurus pada
reflektor.Sedangkan metode Non Zero-Offset yaitu metode dimana posisi sumber
22
gelombang seismik dangeophone diletakkan terpisah sehingga lintasan gelombang
yang terekam tidak tegak lurus ke reflector.
Untuk memperoleh seismogram yang ideal maka sinar seismik seharusnya
tegak lurus datum ke bawah permukaan.Sehingga seismogram yang diperoleh
betul-betul menunjukkan titik pantul yang sebenarnya.Hal ini tentu tidak mungkin
diaplikasikan di lapangan karena sifat-sifat gelombang seismik tidak
memungkinkan hal tersebut.
2.5 Pengolahan Data Seismik Refleksi
Metode seismik refleksi merupakan metode geofisika yang umumnya
dipakai untuk penyelidikan hidrokarbon. Biasanya metode seismik refleksi ini
dipadukan dengan metode geofisika lainnya, misalnya metode grafitasi, magnetik,
dan lain-lain. Namun metode seismik refleksi adalah yang paling mudah
memberikan informasi paling akurat terhadap gambaran atau model geologi
bawah permukaan dikarenakan data-data yang diperoleh labih akurat.
Dalam metode seismik refleksi pada umumnya terbagi atas tiga tahapan
utama.Pertama, Pengumpulan data seismik (akuisisi data seismik): semua
kegiatan yang berkaitan dengan pengumpulan data sejak survey pendahuluann
dengan survey detail. Kedua, Pengolahan data seismik (processing data seismik):
kegiatan untuk mengolah data rekaman di lapangan (raw data) dan diubah ke
bentuk penampang seismik migrasi.Ketiga, Interpretasi data seismik kegiatan
yang dimulai dengan penelusuran horison, pembacaan waktu, dan plotting pada
penampang seismik yang hasilnya disajikan atau dipetakan pada peta dasar yang
berguna untuk mengetahui struktur atau model geologi bawah permukaan.
23
Terdapat beberapa tahap dalam pengolahan data seismik refleksi,
diantaranya adalah sebagai berikut;
2.5.1 Reformat Data
Pada umumnya data seismik yang terekam di lapangan tersimpan dalam
format sequential series (gelombang yang mewakili deret jarak) dimana format
data tersusun berdasarkan urutan waktu perekaman dari gabungan beberapa
geophone. Sedangkan data yang digunakan dalam pengolahan data seismik harus
tersusun berdasarkan urutan trace dimana data yang diolah tersusun sesuai time
series (gelombang yang tersusun berdasarkan urusan waktu). Dalam multiplexer
,format sequential series dipakai karena perekaman dilakukan dengan banyak
trace dalam waktu yang bersamaan. Jadi proses demultiplexing digunakan untuk
mengubah format data dari sequential series menuju time series.
2.5.2 Filtering
Filtering adalah proses untuk mempertahankan frekuensi yang
dikehendaki dari gelombang seismik dan membuang yang tidak dikehendaki.
Terdapat beberapa macam filtering: band pass, low pass (high cut) dan high pass
(low cut).
Didalam pengolahan data seismik band pass filter lebih umum digunakan
karena biasanya gelombang seismik terkontaminasi noise frekuensi rendah
(seperti ground roll) dan noise frekuensi tinggi (ambient noise).
Gambar dibawah ini menunjukkan ketiga jenis filtering, baik dalam
kawasan waktu (time domain) maupun frekuensi domain (frequency domain).
24
Gambar 2.12.Jenis-jenis Filtering (Abdullah,2007)
2.5.3 Velocity Analysis
Velocity Analysis adalah perhitungan dan penentuan fungsi kecepatan
(stacking velocity) dari pengukuran fungsi velocity normal move out. Perhitungan
dibuat dengan mengasumsikan fungsi kecepatan normal moveout (VNMO),
menerapkannya ke CDP gather, mengukur koherensi pada fungsi VNMO
tersebut, dan mengubah fungsi VNMO untuk mencari koherensi maksimal. Nilai-
nilai koherensi ini diukur, dipetakan dan diberi skala warna untuk proses velocity
picking. Nilai-nilai koherensi yang telah dikontur disebut juga dengan semblance.
2.5.4 Koreksi NMO
Koreksi NMO diperlukan karena untuk satu titik di subsurface akan
terekam oleh sejumlah Geophonesebagai garis lengkung (hyperbole) di dalem
CDP gather koreksi NMO diperlukan untuk mengoreksi masing-masing CDP nya
agar garis lengkung tersebut menjadi lurus, sehingga pada saat stack diperoleh
25
signal yang maksimal. Untuk padangan sumber – Geophone yang satu dengan
lainya berbeda nilai koreksinya, sehingga koreksi NMO ini termasuk koreksi
dinamik (non static).
2.5.5 Stacking
Stacking adalah proses penjumlahan trace-trace dalam satu gather data
yang bertujuan untuk mempertinggi signal to noise ratio (S/N). Proses ini
biasanya dilakukan berdasarkan CDP yaitu trace-trace yang tergabung pada satu
CDP dan telah dikoreksi NMO kemudian dijumlahkan untuk mendapat satu trace
yang tajam dan bebas noise inkoheren.
2.5.6 Migrasi
Migrasi adalah suatu proses untuk memindahkan kedudukan reflektor pada
pada posisi dan waktu pantul yang sebenarnya berdasarkan lintasan gelombang.
Hal ini disebabkan karena penampang seismik hasil stack belumlah
mencerminkan kedudukan yang sebenarnya, karena rekaman normal incident
belum tentu tegak lurus terhadap bidang permukaan, terutama untuk bidang
reflektor yang miring. Selain itu, migrasi juga dapat menghilangkan pengaruh
difraksi gelombang yang muncul akibat adanya struktur-struktur tertentu (patahan,
lipatan).
2.6 Pemodelan Seismik
Pemodelan sangat penting dalam seismik eksplorasi terutama untuk
mempelajari pengaruh sifat-sifat struktur bawah permukaan terhadap
seismogram.Hal ini penting terutama bagi interpreter karena dengan pengetahuan
26
tentang sifat-sifat struktur bawah permukaan mereka mempunyai kepekaan untuk
menginterprestasikan rekaman seismik (seismogram) sehingga hasil interprestasi-
nya memberikan hasil yang akurat.
Pemodelan terdiri atas beberapa bagian namun secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Pemodelan maju (forward modelling)
2. Pemodelan balik (inverse modelling)
Pemodelan maju dimulai dengan membangun suatu model perangkap
dengan parameterparameternya untuk mendapatkan jejak seismik (seismik
trace).Untuk lebih mendalami pengaruh parameter-parameter tersebut terhadap
jejak seismik dilakukan dengan mengganti-ganti nilainya sambil
mengamatiperubahan yang terjadi pada jejak seismik (seismogram).Sedangkan
pemodelan balik (inverse modeling) adalah kebalikan dari pemodelan maju.
Ada beberapa metode yang digunakan dalam proses pemodelan seismik,
diantaranya sebagai berikut;
2.6.1 Metode Jejak Sinar (Ray Tracing)
Penelusuran jejak sinar (ray tracing) merupakan proses yang sangat
penting didalam aktifitas seismik eksplorasi seperti untuk keperluan desain
survey, seismic modeling, 4D seismic, seismic tomography, dll.
Teknik ray tracing yang digunakan tergantung kepada kebutuhan dan
kompleksitas model bawah permukaan. Untuk model bumi berlapis,ray
tracing dapat dilakukan dengan mengikuti Hukum Snellius.
27
Gambar di bawah ini menjelaskan penelusuran jejak sinar yang melewati
lapisan-lapisan bumi pada kedalaman z dengan nilai kecepatan v serta sudut
datang dan transmisi sinar.
Hubungan antara sudut datang gelombang, sudut transmisi dan kecepatan
gelombang ditunjukkan oleh persamaan di atas. Untuk masing-masing sinar akan
memiliki ray parameter p tertentu yang sama untuk semua lapisan.
2.6.2 Metode Beda Hingga (Finite Difference)
Metode finite-difference (beda-hingga) adalah salah satu metode yang
dapat digunakan untuk melakukan pemodelan perambatan gelombang dalam suatu
medium. Dalam perkembangannya, metode ini digunakan untuk menyelesaikan
berbagai macam kasus dalam hal perambatan gelombang seismik dalam medium
bumi.Metode ini diterapkan sebagai pendekatan untuk menyelesaikan turunan
parsial dari persamaan gerak gelombang. Suatu turunan parsial dapat diselesaikan
diferensial (strong form) atau integral (weak form), dimana finite-difference
adalah penyelesaian secara strong form, dengan weak form digunakan antara lain
oleh metode finite-element dan finite volume.
Dalam pemodelan menggunakanfinite-difference, mediumnya
didiskretisasi menjadi grid dengan elemen berbentuk segiempat yang terstruktur
(structured grid).Bentuk grid yang demikian, beserta pendekatan finite-difference
yang cukup sederhana, menghasilkan algoritma pemodelan yang sederhana dan
waktu komputasi yang relatif cepat dibandingkan metode lainnya.Namun dengan
bentuk grid berupa segiempat, finite-difference mempunyai kelemahan dalam
memodelkan topografi permukaan Bumi sebagai free-surface. Untuk menangani
28
kasus tersebut, pada pemodelan ini diterapkanlah metode yang diajukan oleh
(Robertson,1996).
2.6.3 Metode Integrasi Kirchoff-Helmholtz
Metode integrasi Kirchhoff-Helmholtz merupakan metode yang cukup
baik dalam pemodelan seismik.Hal ini dapat terlihat dari dari seismogram-
seismogram sintetik yang dihasilkan dapat menggambarkan pola refleksi dengan
amplitudo yang bervariasi, dimana variasi amplitudo ini dapat dipakai untuk
interpretasi data yang lebih baik lagi.Tetapi dalam seismogram–seismogram
sintetik yang dihasilkan seringkali terlihat munculnya efek difraksi yang cukup
dominan, yang mengganggu interpretasi karena menyulitkan pembedaan antara
sinyal refleksi dengan sinyal difraksi. Namun secara umum, metode integrasi ini
cukup handal untuk digunakan dalam pemodelan seismik sebab efek difraksi yang
muncul dapat dibedakan baik melalui perhitungan kuantitatif maupun dengan
proses migrasi. Metode integrasiKirchhoff-Helmholtz ini sangat tepat untuk
digunakan dalam kasus penjalaran sinyal dari medium rapat ke medium kurang
rapat.
2.7 Metode Gaussian Beam (Sinar Gauss)
Metode Gaussian Beam Synthetic Seismograms adalah salah satu metode
pemodelan seismik dalam media heterogen yang pertama kali dikenalkan oleh
Popov (1981) berdasarkan karya sebelumnya (Babich&Pankratova,1973). Metode
tersebut pertama kali diaplikasikan oleh (Popov etal., 1980;Katchalov&Popov,
1981,Cervenyetal., 1982).Metode sinar Gaussian telah terbukti menjadi metode
asimtotik yang sangat stabil untuk perhitungan medan gelombang frekuensi tinggi
29
pada media heterogen yang bervariasi. Salah satu kelebihan metode ini adalah
komponen sinar Gaussian individu tidak memiliki singularitas di sepanjang
jalurnya.Ini menjamin penjumlahan sinar Gaussian menjadi biasa di mana-
mana.Metode sinar Gaussian juga mengenalkan smoothing.Oleh karena itu,
metode ini tidak peka terhadap parameterisasi model sebagaimana metode ray
(ray theory). Keuntungan lain adalah metode sinar Gaussian tidak memerlukan
pelacakan sinar dua titik.
2.7.1 Perumusan Metode Sinar Gauss (Gaussian Beam)
Metode pemodelan berkas (sinar) Gauss menggunakan pendekatan yang
sederhana dibandingkan metode parabola. Teori dasarnya dimulai dengan
persamaan integrasi akuistik seismogram sintetik yang diberikan oleh
penjumlahan:
∫
( (2.5)
Dimana: = frekuensi(dalam satuan hertz)
x,z = titik pengamatan (dalam satuan meter)
= sudut takeoff sinar pusat (central ray) (dalam derajat)
dan = limit dari penjumlahan berkas (sinar) Gauss
= Amplitudo kompleks berkas (sinar) (dalam satuan meter)
(2.6)
(2.7)
Dengan: = densitas (dalam satuan gram per sentimeter kubik)
30
v = kecepatan dari medium pada titik pengamatan (dalam satuan meter
per sekon)
= nilai yang berkorespondensi di sumber (dalam satuan gram per
sentimeter kubik)
= parameter kompleks berkas sinar
Fungsi konyugate kanonikal q dan p adalah:
(
) (
)
(2.8)
Dimana: solusi pertama yang berhubungan dengan kondisi awal
gelombang bidang (dalam satuan meter)
= solusi kedua yang berhubungan dengan sumber titik (dalam
satuan meter)
= parameter kompleks yang didefenisikan sebagai penyebaran
berkas Gauss terhadap sinar pusat.
Faktor (q1, p1) dan (q2, p2) adalah dua solusi dari persamaan pendekatan
paraxial rays sering pula disebut sebagai dynamic ray tracing dihitung sepanjang
sinar ϕ.
Pada medium homogen adalah ukuran dari lebar berkas yang
terletak di dari titik asal koordinat. Tetapi jika medianya heterogen maka
tidak memiliki makna yang berarti. Antarmuka p dan q dihubungkan oleh
formula yang dikembangkan Carveny (1983) dan koefisien transmisi/refleksi pada
titik dimana sinar pusat mengenai antarmuka (Pakiding, 2014).
31
2.7.2 Aplikasi Metode Gaussian Beam (Sinar Gauss)
Madariaga (1984) mengembangkan metode sinar Gaussian untuk media
yang bervariasi secara vertikal dan menggunakan kondisi awal yang dimodifikasi
yang dinyatakan dalam WKB dan solusi sumber titik (point source
solutions).Metode Sinar Gauss juga ditentukan dalam koordinat geografis.
Madariaga Dan Papadimitriou (1985) kemudian menggunakan metode sinar
Gauss untuk membuat model fase mantel atas (upper mantle phase).Weber(1988)
menerapkan metode ini pada pemodelan data refraksi regional.
Cormier dan Spudich (1984) meneliti kompleksitas gelombang dari
pemfokusanan pada zona patahan heterogen padazona patahan Hayward-
Calaveras menggunakan metode sinar Gauss.Nowack dan Cormier (1985)
kemudian membuat struktur 3-D dari hasil metode sinar Gauss di bawah
rangkaian seismik norsar.Cormier (1987) menerapkan metodedandefocusing pada
peristiwa gelombang teleseismik dengan menggunakan struktur 3-D di lokasi uji
Nevada. Cormier dan SU (1994) menggunakan metode sinar Gauss untuk
mempelajari efek struktur kerak 3-D pada perkiraan sejarah dari patahan slip dan
pergerakan tanah.
Metode Sinar Gauss juga diaplikasikan pada gelombang permukaan oleh
Yomogida (1985, 1987), Yomogida&Aki (1985) dan Jobert (1986, 1987) dengan
menggunakan model adiabatik vertikal dan sinar horizontal di sepanjang
permukaan. Transformasi Jobert digunakan oleh Friederich (1989) untuk
melakukan pelacakan sinar 2-D pada sebuah bidang. Friederich (1989) secara
langsung menyebarkan sinar Gaussian pada gelombang permukaan jangka
32
panjang pada bola.Yomogida dan Aki (1987) menggunakan metode sinar Gauss
untuk membalikkan amplitudo gelombang permukaan dan data fase untuk
anomali kecepatan di cekungan Samudra Pasifik.Sebuah kelompok penelitian
dipimpin oleh K. Aki dan T.L. Teng di USC melakukan studi gelombang
permukaan lebih lanjut dengan menggunakan metode sinar Gauss.
Cormier (1989) menerapkan metode sinar Gauss pada difraksi dorongan
seismik dari lempeng subduksi yang mengalami penurunan.Weber (1990) dan
Sekiguchi (1992) kemudian menggunakan metode sinar Gauss untuk menyelidiki
pengaruhnya waktu tempuh gelombang P (P-wave travel times) dan amplitudo
zona subduksi heterogen. Cormier (1995) membuatmodel domain waktu
prekursor PKIKP untuk heterogenitas mantel bawah. Studi mantel bawah
menggunakan sinar Gaussian juga dilakukan oleh (Weber &Davis,1990;Weber,
1993).
Aplikasi lebih lanjut oleh kelompok peneliti Rusia dan Ceko termasuk
(Katchalovet al.,1983; Grikurov&Popov, 1983;Katchalov&Popov,1985, 1988).
Pemodelan dalam 3-D dilakukan oleh (Cerveny' &Klimes,1984). Hubungan
antara metode sinar Gauss dan metode Maslov diselidiki oleh (Klimes,1984b).
Cerveny' (1987) menerapkan metode sinar Gauss pada pemodelan sumber gempa
diperpanjang pada struktur yang benar-benar bervariasi dan percobaan tersebut
memiliki hasil yangcocok antara hasil dari model finite-element(finite-element
modeling) dan metode isochron (Singh et al., 2012).
33
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Data Penelitian
Data yang digunakan pada penelitian kali ini adalah hasil pengolahan data
seismik refleksi yang tercantum dalam jurnal Earth and Planetary Science Letters
halaman 166-176 yang ditulis oleh Singhet al (2012). Data seismik refleksi
tersebut diperoleh dari hasil survei seismik menggunakan kapal seismik Geco
Searcher dari WesternGeco (perusahaan seismik) pada bulan Juli 2006.Array
airgun yang terdiri dari enam sub-array yang berisi total 48 senapan udara dengan
total volume 10.700 in3 dikerahkan pada Kedalaman air 15 m. Peruntun Q-
Marine, sepanjang 12 km, ditempatkan pada kedalaman 15 m. Periferal Q-
Marine, generasi baru teknologi sensor tunggal Schlumberger, dilengkapi dengan
hidrofon yang berjarak setiap 3.125 m. Data didigitalkan dan frekuensi suara
rendah (2 Hz) di laut sebelum dikirim ke sistem perekaman on-board. Setelah
menerapkan teknik redaman kebisingan digital dan filter spasial digital yang tepat,
sinyal digital dipasang secara spasial ke interval penerima 12,5 m, sehingga
menghasilkan 958 saluran. Data yang tercatat adalah dengan interval sampling 2
ms dan panjang jejak 20,48 detik. Kecepatan kapal bervariasi dari 4,2 menjadi 4,8
knot. (Singhetal., 2012).
Data tersebut kemudian diolah menggunakan strategi pengolahan khusus
yang bertujuan untuk menekankan frekuensi rendah untuk mengoptimalkan
pencitraan dalam kerak bumi (Singh et al., 2008). Data dibuat sampel ulang
34
sampai 8 ms. Suara gelombang telah dihapus saat mempertahankan frekuensi
rendah di atas 2,5 Hz. Enam lintasan dari cascaded Radon multiple removal
technique (Foster and Mosher, 1992) diterapkan untuk menghilangkan kelipatan
air. Kombinasi analisis kecepatan konstan dan analisis kecepatan persamaan
(semblance) dilakukan pada interval 1 km pada setiap lintasan untuk menentukan
kecepatan susun (stacking). Data ditumpuk dan dipindah menggunakan teknik
migrasi Kirchhoff post-stack (Singhetal., 2012).
Gambar 3.1. Hasil inversi model kecepatan pada line WG2 (Singhet al., 2012)
Gambar diatas merupakan gambar hasil inversi seismik model kecepatan
pada line WG2. Jaraknya sepanjang 500 km dengan kedalaman 30 km dibawah
permukaan laut. Sedangkan pada penelitian ini pemodelan yang dibuat hanya pada
rentang jarak 250 km sampai 350 km jadi total panjangnya hanya 100 km dengan
kedalaman 10 km dibawah permukaan laut. Seperti yang terlihat pada gambar 3.2
pemodelan yang dibuat terbatas pada garis yang bertanda merah sepanjang 100
km dengan kedalaman 10 km dibawah permukaan laut.
35
Gambar 3.2.Hasil inversi model kecepatan line WG2 yang diteliti (Singh et al.,
2012)
3.2 Lokasi Pengambilan Data
Lokasi penelitian dilakukan sepanjang profil line WG2 yaitu pada
koordinat 92,8⁰LS-3,8⁰ BB sampai 95,3⁰LU-7⁰BT dari Samudra Hindia sampai
Laut Andaman. Profil line WG2 tersebut seperti yang tertera pada gambar 3.3
dibawah ini.
Gambar 3.3.Studi Batimetridaerah penelitian (Singh et al.,2012)
36
Garis hitam adalah profil refleksi seismik WesternGeco WG2, titik merah
menunjukkan lokasi OBS untuk survei refraksi seismik dan titik-titik coklat lokasi
OBS untuk studi gempa susulan (Sibuet et al., 2007). Kontur bertitik merah
mewakili kontur slip 10 m dari (Chlieh et al.,2007) dan kontur titik hitam kontur
30 m slip dari gempa tahun 2004. Bintik hitam adalah lokasi gempa susulan dan
bola pantai adalah solusi CMT yang sesuai dengan lokasi gempa (Engdahl et al.,
2007).Warna biru menunjukkan zona subduksi. Warna Hijau menunjukkan Strike-
slip dan warna merah menunjukkan mekanisme patahan normal. Lokasi episenter
gempa besar tahun 2004 ditandai dengan bola pantai hitam.Sedangkan WAF
merupakan patahan Andaman Barat (Singh et al., 2012).
3.3 Tahapan Pengolahan Data
Dalam penelitian ini semua proses dilakukan dengan menggunakan
program “Seismic Unix” (SU) yang berbasis Linux Ubuntu. Adapun proses yang
dilakukan adalah seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.4 yang dimulai dengan
pembuatan model hingga mendapatkan sintetik seismogram.
Model yang dibuat dalam penelitian ini adalah model yang diharapkan
dapat memperlihatkan sifat-sifat fisis baik pada model itu sendiri atau pada
sintetik seismogram yang dihasilkan sebagai akibat dari parameter-parameter
yang berpengaruh yang dapat diamati pada model adalah kecepatan sedangkan
parameter fisis yang lain dapat diamati pada sintetik seismogram.
Data sekunder yang telah diperoleh di lakukan pembuatan model dengan
menggunakan seismic unix yang dibuat menggunakan skrip “trimodel” dan
hasilnya kemudian disimpan dalam file data. Untuk melihat hasil dari model yang
telah dibuat maka file data tersebut dimasukan ke skrip“model.sh” untuk
37
ditampilkan. Jika model yang dibuat sudah sesuai dengan yang diharapkan
selanjutnya akuisisi model tersebut. Dalam akuisisi ini parameter jumlah
geophone yang digunakan 60 geophone dengan interval 50 meter dan jarak offset
1475 meter. Pada tahapan akuisisi tersebut menggunakan skrip “acq4.sh” yang
hasilnya didapatkan sebanyak 600 shot dari permukaan 30 km samapai 50 km.
setelah akuisisi model didapatkan tahapan selanjutnya adalah raypath. Raypath
merupakan lintasan penjalaran dari muka gelombang, sehingga pada tahapan ini
parameter yang digunakan sudut datang dan sudut patul. Setelah akuisisi dan
raypath dilakukan hasil dari akuisisi diubah dari shot gather menjadi CMP
gatherdengan menggunakan skrip “surange < seis4.su” sehingga didapatkan
contoh sebelum sorting dan sesudah sortingntuk mendapatkan nilai cdp dari hasil
sorting yang dilkakun. Setelah sorting dilakukan dan nilai cdp didapatkan
selanjutnya akan mengkoreksi NMO (Normal Move Out). Pada tahapan ini
menunjukan bagaimana caranya melakukan koreksi NMO dan membuat Brute
Stack.
Pada Seismic Unix, koreksi NMO dilakukan dengan perintah sunmo.
Informasi penting untuk sunmo yang harus diberikan adalah pasang kecepatan
(km/s) dan waktu (s).Untuk kasus data ini, tes dilakukan pada cmp 1000 s/d 1005.
Jika penampang sesuai dengan koreksi NMO, tahapan selanjutnya brute stack
dengan skrip “suximage” sehingga diperoleh hasil brute stack. Hasil dari proses
brute stack kemudian dianalisis dengan cara manual menggunakan garis busur
untuk mencari perbedaan sudut kemiringan antara hasil proses brute stack dengan
model awal.
38
Gambar 3.4 Diagram Alur
39
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pemodelan
Pemodelan ini dibuat dengan menggunakan 60 buah geophone. Jarak
antara penerima sejauh 50 m. Jarak masing-masing shot gather adalah 50 m.
Sedangkan split-spride-nya masing-masing -1.475 ke kiri dan 1.475 ke kanan.
Gambar 4.1. Hasil pemodelan sepanjang 100 km
Gambar 4.2. Hasil inversi seismik refleksi daerah penelitian
Pemodelan dibuat pada rentang 0 sampai 100 km sengan kedalaman 0
sampai 10 km dibawah permukaan air laut. Sedangkan model yang
40
ditampilkanpada penelitian kali ini hanya pada jarak 20 sampai 50 km seperti
pada gambar 4.3.kotak biru merupakan daerah yang dianalisis.
Gambar 4.3. Hasil Pemodelan yang akan dianalisis
4.2 Hasil Shot Gather dan Raypath
Jumlah shot gather yang dihasilkan sebanyak 600 shot yang
merepresentasikan model yang sebenarnya. Raypathdan shot gather yang
ditampilkan hanya terbatas pada shot ke-1,ke-150, ke-300, ke-400 dan ke-600.
Shot pertama yang dimulai dari jarak 0 km sampai shot terakhir pada jarak 30 km
dengan kedalaman 8 km dibawah permukan air laut.
Sedangkan hasil simulasi raypath (lintasan penjalaran dari muka
gelombang) dibuat mengikuti pemodelan yang telah dibuat sebelumnya. Hasil
raypath ini diasumsikan sebagai desain survei pada pemodelan. Jadi hasil raypath
juga sejumlah shot gather yang dihasilkan. Hasil raypath yang ditampilkan hanya
terbatas pada raypath hasil shot ke-1,ke-150,ke-300,ke-400 dan ke-600.
41
Gambar 4.4. Hasil shot gather ke-1
Pada shot gather yang pertama pada posisi 0 km layer yang terbaca pada
seismogram sintetik hanya sampai 6 layer. Sedangkan layer yang ke-7 tidak
terlihat karena rentang waktunya hanya sampai 5 detik. Layer yang pertama
terlihat pada waktu 1,3detik sedangkan layer yang terakhir terlihat pada waktu 4,5
detik.
Gambar 4.5. Hasil raypath shot ke-1
42
Pada hasil raypathshot pertama layer ke-7 tidak terlihat pada seismogram
sintetik karena posisi layer ke-7 agak dalam sehingga membutuhkan waktu
penjalaran yang lebih lama juga. Layer ke-7 hanya bisa terbaca pada waktu diatas
5 detik sedangkan pada hasil shot rentang waktu terpanjangnya hanya sampai 5
detik. Pada raypath ini posisi geophone berada pada jarak 0 km.
Gambar 4.6. Hasil shot gather ke-150
43
Gambar 4.7. Hasil raypath shot ke-150
Gambar 4.8. Hasil shot gather ke-300
44
Gambar 4.9. Hasil raypath shot ke-300
Gambar 4.10. Hasil shot gather ke-400
45
Gambar 4.11. Hasil raypath shot ke-400
Gambar 4.12. Hasil shot gather ke-600
46
Gambar 4.13. Hasil raypath shot ke-600
Dari masing-masing shot yang dihasilkan terdapat perbedaan satu sama
lain. Pada shot ke-1 layer ke-7 belum terlihat, sedangkan pada shot ke-150 layer-7
mulai kelihatan pada saat waktu mencapai 5 detik. Sebagaimana terlihat dalam
pemodelan yang dihasilkan, pada posisi shot ke-1 yaitu pada jarak 0 km layer ke-
7 agak menujam ke dalam sehingga memerlukan waktu lebih dari 5 detik agar
layer ke-7 tampak pada hasil shot. Begitu pula pada hasil shot ke-300 yaitu pada
jarak 15 km layer ke-7 semakin jelas terlihat dibandingkan sebelumnya. Layer ke-
7 baru benar-benar jelas terlihat pada shot ke-600 yaitu pada jarak ke 30 km.
Sebagaimana terlihat pada pemodelan pada saat shot ke-400 layer ke-1 sampai
ke-6 mengalami penurunan dibandingkan pada saat jarak 15 km atau pada saat
shot ke-300, sedangkan layer ke-7 semakin tidak terlihat dibandingkan pada saat
shot ke-150 dan ke-300.Pada shot terakhir yaitu pada shot ke-600 dengan jarak 60
km layer ke-7 terlihat kembali dengan jelas pada waktu 5 detik.
Gelombang direfleksikan dan ditransmisikan pada masing-masing batas
permukaan bumi membentuk lintasan penjalaran gelombang (raypath) yang
berbeda disetiap lapisan.Perbedaan ini terjadi karena perbedaan kedalaman dari
47
setiap layer sehingga penjalaran gelombangnya membutuhkan waktu yang
berbeda dari setiap layer.
Gambar 4.14.Hasil shot gather ke-1 yang diperbesar
4.3 Hasil Proses Sorting Seismik
Proses sorting yang dilakukan pada seluruh shot gather yang diubah
dalam format CMP gather(Common Mid Point). Jumlah CMP gather yang
dihasilkan sebanyak shot gather. CMP gather yang ditampilkan pada shot ke-50
sampai ke-55, ke-150 sampai ke 155, ke-300 sampai ke-305, ke-400 sampai ke-
405 dan terakhir shot ke-595 sampai ke-600.
48
Hasil sorting ini bermanfaat untuk mengubah parameter dari shot
gather ke CMP gather yang nantinya hasil dari sorting mendapatkan nilai cdp
yang akan digunakan untuk pembuatan brute stack. Berikut contoh sebelum dan
sesudah sorting yang dilakukan.
Contoh Sebelum Sorting
Gambar 4.15. Hasil sebelum sorting shot ke-50 sampai ke-55
Gambar 4.16.Hasil sebelum sorting shot ke-150 sampai ke-155
49
Gambar 4.17.Hasil sebelum sorting shot ke-300 sampai ke-305
Gambar 4.18.Hasil sebelum sorting shot ke-400 sampai ke-405
50
Gambar 4.19.Hasil sebelum sorting shot ke-595 sampai ke-600
Contoh Setelah disorting
Gambar 4.20. Hasil Setelah sorting (cdp 50-55)
51
Gambar 4.21. Hasil Setelah sorting (cdp 155-160)
Gambar 4.22.Hasil Setelah sorting (cdp 455-460)
52
Gambar 4.23.Hasil Setelah sorting (cdp 655-660)
Gambar 4.24.Hasil Setelah sorting (cdp 1000-1005)
53
4.4 Hasil Koreksi NMO
Sebelum melakukan brutestack koreksi nmo perlu dilakukan untuk
mendapatkan nilai kecepatan dan waktu yang nanti akan digunakan dalam brute
stack. Koreksi NMO dilakukan untuk memperpendek jarak.Koreksi ini dilakukan
agar kita dapat mengetahui nilai waktu yang diperlukan untuk menghasilkan brute
stack. Berikut table nilai NMO :
Table 1.1. Parameter untuk proses NMO
No (km/s) (s)
1 2 1
2 2.5 1.2
3 3 1.26
4 3.5 1.48
5 4 1.85
6 4.8 2.7
7 5 3.6
Nilai diatas menunjukan hasil dari koreksi NMO yang nantinya akan
menghasilkan penampang seismik yang digunakan untuk proses brutestack.
Berikut penampang seismik yang didapatkan dari koreksi NMO.
54
Gambar 4.25. Hasil koreksi NMO cdp ke-1000 sampai ke-1005
4.5 Hasil Brute Stack
Proses ini melakukan brute stack. Dalam proses ini koreksi NMO sangat
perlu dilakukan karena mengkoreksi nilai kecepatan dan waktu.Brute stack ini
membuktikan bahwa model yang telah disorting sesuai dengan hasil nilai
cdp.Berikut nilai cdp dan hasil brute stack.
Hasil Brute Stack atau penampang seismik yang dibuat pada pemodelan
ini sesuai dengan model yang sebenarnya. Namun, layer ke-7 tampak kurang jelas
hal ini disebabkan oleh interval waktu yang digunakan yaitu selama 5 detik. Hasil
ini menunjukkan penampang seismik dengan jarak sejauh 30 km dengan waktu 5
detik. Posisi layer ke-1 pada waktu 1,3 detik, layer ke-2 pada waktu 1,75 detik,
layer ke-3 pada waktu 2 detik, layer ke-4 pada waktu 2,5 detik, layer ke-5 pada
waktu 3,1 detik, layer ke-6 pada waktu 4,4 detik sedangkan layer ke-7 pada waktu
5detik.
55
Gambar 4.26. Hasil Modelling
Gambar 4.27. Hasil Brute Stack tampilan cmap=hsv4
Sedangkan waktu yang diperoleh dari hasil perhitungan pada saat koreksi
NMO adalah sebagai berikut; pada posisi layer ke-1 pada waktu 1 detik, layer ke-
2 pada waktu 1,2 detik, layer ke-3 pada waktu 1,26 detik, layer ke-4 pada waktu
1,48 detik, layer ke-5 pada waktu 1,85 detik, layer ke-6 pada waktu 2,7 detik
sedangkan layer ke-7 pada waktu 3,6 detik.
56
Pada hasil pemodelan layer pertama menurun dengan kemiringan
7,7⁰,layer ke-2 dengan kemiringan 4,4⁰, padalayer ke-4 dengan kemiringan
4,9⁰,padalayer ke-5 dengan kemiringan 8,2⁰, sedangkan pada layer ke-6 dan ke-7
mengalami kenaikan masing-masing pada kemiringan 12,3⁰ dan 9,4⁰.
Pada hasil brute stacklayer pertama menurun dengan kemiringan 10,6⁰,
layer ke-2 dengan kemiringan 9,4⁰, pada layer ke-4 dengan kemiringan 8,1⁰,pada
layer ke-5 dengan kemiringan 11⁰, sedangkan pada layer ke-6 dan ke-7
mengalami kenaikan masing-masing pada kemiringan 16,3⁰ dan 9,4⁰.
Ada perbedaan sudut kemiringan pada layer ke-1 antara hasil pemodelan
dan hasil brute stack yaitu sebesar 2,9⁰,pada layer ke-2 sebesar 5⁰, pada layer ke-
4 sebesar 3,2⁰ ,pada layer ke-5 sebesar 2,8⁰, pada layer ke-6 sebesar 4⁰ sedangkan
pada layer ke-7 tidak ada perbedaan kemiringan antara hasil pemodelan dan hasil
brute stack.
57
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, dapat
disimpulkan:
1. Pemodelan seismik refleksi 2-D dibuat dengan menggunakan metode
Gaussian Beam (sinar gauss) dalam aplikasi software seismic unix
menghasilkan model batas permukaan bumi sepanjang 30 km dan kedalaman
10 km dibawah pemukaan bumi.
2. Hasil pemodelan yang diakuisisi menggunakan metode Gaussian Beam (sinar
gauss) menghasilkan 600 buah shot gather yang mengambarkan 7 layer
(bidang batas permukaan bumi) dengan interval waktu 5 detik.
3. Perbandingan antara hasil pemodelan setelah proses brute stack dengan
model awal sebelum proses brute stack dalam bentuk perbedaan sudut
kemiringan layer , pada layer ke-1 sebesar 2,9⁰,pada layer ke-2 sebesar 5⁰,
pada layer ke-4 sebesar 3,2⁰, pada layer ke-5 sebesar 2,8⁰, pada layer ke-6
sebesar 4⁰ dan pada layer ke-7 tidak ada perbedaan antara model awal dengan
dengan model setelah proses brute stack.
5.2 Saran
Sebaiknya untuk penelitian selanjutnya sebelum sampai tahap brute
stack , alangkah baiknya jika melalui tahap koreksi NMO dan Velocity analysis.
58
Perlu adanya penelitian lanjutan untuk dapat menghasilkan pemodelan
seismik yang tepat guna untuk mendapatkan hasil akuisisi yang baik untuk proses
velocity analysis, stacking dan proses migrasi sehingga struktur bawah permukaan
dapat diketahui lebih mendalam.
Sebaiknya untuk bisa mengetahui kualitas hasil pemodelan digunakan
metode lain sebagai pembanding metode Gaussian Beam yang digunakan dalam
penelitian ini. Oleh karenanya diharapkan ada penelitian lanjutan dengan metode
lain untuk melihat kelebihan dan kekurangannya demi kemajuan dibidang
pemodelan seismik refleksi.
59
DAFTAR PUSTAKA
[1] Arifien, Hasanul, 2010. Inversi Seismik Berbasis Model Untuk Karakteristik
Reservoir: Studi Kasus Haurgeulis, Universitas Indonesia: Depok
[2]Riyadi, Praditiyo, 2011. Analisa Kecepatan Data Seismik Refleksi 2D Zona
Darat Menggunakan Metode Semblance, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:
Tanggerang Selatan
[3]Munadi, Suprajitno, Dr, 2000. Aspek Fisis Seismologi Eksplorasi. Universitas
Indonesia, Depok
[4]Yilmaz, Ozdogan, 1989. Seismic Data Procesing, Investigation in Geophysics
no.1, Society of Exploration Geophysics, Tusla, Oklahoma
[5]Sheriff, RE., Geldart, L.P., 1995. Exploration Seismology. edition,
Cambridge University Press :USA
[6]Tim Geofisika. 2013. Prinsip Dasar Pengolahan Data Seismik 2D
Darat.Jakarta : Pusat Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Minyak
Dan Gas Bumi Lemigas.
[7]Robert, L, Nowack, 2003. Calculation of Synthetic Seismograms with
Gaussian Beams. Pure appl. geophys. 160 (2003) 487–5070033 –
4553/03/040487 – 21
[8]Pakiding, Alexander, 2014. Analisis Seismogram Hasil PemodelanDengan
Metode Berkas Gauss. Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Vol III No.
1, Maret - Juni 2014, Universitas Kristen Indonesia toraja
[9]Singh et al.,2012. Seismic evidence of bending and unbending of subducting
oceanic crust and the presence of mantle megathrust in the 2004 Great
Sumatera earthquake rupture zone .Earth and Planetary Science Letters
321-322 (2012) 166–176
60
[10]David Forel, Tomas Benz, Wayne D. Pennington, 2005. Seismic Data
Processing with Seismic Un*x. Society of Exploration Geophysicists
Tulsa, Oklahoma, USA.
[10]Sonny, Aribowo, dkk., 2014. Deformasi Kompleks di Pulau Simuelue,
Sumatera: Interaksi Antara Struktur Dan Diapirisme. Riset Geologi dan
Pertambangan ISSN 0125-9849, e-ISSN 2354-6638Ris.Geo.Tam Vol. 24,
No.2, Desember 2014 (131-144)
61
LAMPIRAN
Lampiran 1
Pembuatan Model
# ! /bin/sh
# File: model
4.sh
# Set messages on
set -x
# Experiment Number
num=4
# Name output binary model file
modfile=model${num}.dat
# Name output encapsulated Postscript image file
psfile=model${num}.eps
# Remove previous .eps file
rm -f $psfile
trimodel xmin=0 xmax=80.0 zmin=0 zmax=10.0 \
1 xedge=0,80 \
zedge=0,0 \
sedge=0,0 \
2 xedge=0.0,10,20,30,40,50,60,70,80\
zedge=1.0,1.4,2.0,2.5,2.5,1.8,1.8,1.8,1.8 \
sedge=0,0,0,0,0,0,0,0,0 \
62
3 xedge=0.0,10,20,30,40,50,60,70,80\
zedge=1.5,1.8,2.3,2.8,2.6,2.02.0,2.0,2.0 \
sedge=0,0,0,0,0,0,0,0,0 \
4 xedge=0.0,10,20,30,40,50,60,70,80\
zedge=1.9,2.1,2.6,3.0,2.8,2.2,2.3,2.4,2.5 \
sedge=0,0,0,0,0,0,0,0,0 \
5 xedge=0.0,10,20,30,40,50,60,70,80\
zedge=2.6,2.8,3.1,3.4,3.2,2.9,3.1,3.1 \
sedge=0,0,0,0,0,0,0,0,0 \
6 xedge=0.0,10,20,30,40,50,60,70,80\
zedge=3.7,4.0,4.5,3.8,3.6,3.2,3.4,3.5,3.6 \
sedge=0,0,0,0,0,0,0,0,0 \
7 xedge=0.0,10,20,30,40,50,60,70,80\
zedge=6.5,6.0,6.0,5.0,4.8,4.6,4.6,4.8,4.9 \
sedge=0,0,0,0,0,0,0,0,0 \
7 xedge=0.0,10,20,30,40,50,60,70,80\
zedge=9.0,7.5,7.0,6.5,5.3,5.0,5.2,5.4,5.5 \
sedge=0,0,0,0,0,0,0,0,0 \
8 xedge=15,20,30,40,50,60,70,80\
zedge=10,9.2,8.8,8.0,8.0,7.5,7.8,8.0,8.0 \
sedge=0,0,0,0,0,0,0,0,0,0 \
9 xedge=25,30,40,50,60,70,80\
zedge=10,9.3,9.0,8.7,8.9,9.0,9.1 \
sedge=0,0,0,0,0,0,0 \
63
9 xedge=0,80 \
zedge=10,10 \
sedge=0,0 \
kedge=1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 \
sfill=0.0,0.5,0,0,0.308,0,0 \
sfill=0.0,1.0,0,0,0.250,0,0 \
sfill=0.0,1.5,0,0,0.160,0,0 \
sfill=0.0,1.9,0,0,0.110,0,0 \
sfill=0.0,2.6,0,0,0.080,0,0 \
sfill=0.0,3.7,0,0,0.060,0,0 \
sfill=0.0,6.5,0,0,0.043,0,0 \
sfill=0.0,9.0,0,0,0.040,0,0 \
sfill=15.,10.,0,0,0.033,0,0 \
sfill=25.,10.,0,0,0.027,0,0 > $modfile
## x,z
# Create Encapsulated PostScript (EPS) image of model
spsplot< $modfile > $psfile \
gedge=0.5 gtri=2.0 gmin=0.0 gmax=5.0 \
title="Earth Model $num" \
labelz="Depth (km)" labelx="Distance (km)" \
wbox=10.0 hbox=1.0 dxnum=5.0 dznum=5.0
# Exit politely from shell
Exit
64
Lampiran 2
Raypath
#! /bin/sh
# File: psmerge1a.sh
# Set messages on
set -x
# Experiment number
num=4
# Input files
modelfile=model${num}.dat
modelpsfile=model${num}.eps
# Output files
rayendsfile1=rayends${num}a.dat
rayfile1=ray${num}a.dat
raypsfile1=ray${num}a.eps
psmergefile=psmerge${num}a.eps
rayendsfile2=rayends${num}b.dat
rayfile2=ray${num}b.dat
raypsfile2=ray${num}b.eps
psmergefile=psmerge${num}b.eps
rayendsfile3=rayends${num}c.dat
rayfile3=ray${num}c.dat
raypsfile3=ray${num}c.eps
psmergefile=psmerge${num}c.eps
65
rayendsfile4=rayends${num}d.dat
rayfile4=ray${num}d.dat
raypsfile4=ray${num}d.eps
psmergefile=psmerge${num}d.eps
rayendsfile5=rayends${num}e.dat
rayfile5=ray${num}e.dat
raypsfile5=ray${num}e.eps
psmergefile=psmerge${num}e.eps
rayendsfile6=rayends${num}f.dat
rayfile6=ray${num}f.dat
raypsfile6=ray${num}f.eps
psmergefile=psmerge${num}f.eps
# Assign values to variables
nangle=20 fangle=-65 langle=65 nxz=301
# Shoot the rays
triray< $modelfile > $rayendsfile1 rayfile=$rayfile1 \
nangle=$nangle fangle=$fangle langle=$langle \
xs=0 zs=0 nxz=$nxz \
refseq=2,1,0
triray< $modelfile > $rayendsfile2 rayfile=$rayfile2 \
nangle=$nangle fangle=$fangle langle=$langle \
xs=0 zs=0 nxz=$nxz \
refseq=2,0,0 refseq=3,1,0
triray< $modelfile > $rayendsfile3 rayfile=$rayfile3 \
66
nangle=$nangle fangle=$fangle langle=$langle \
xs=0 zs=0 nxz=$nxz \
refseq=2,0,0 refseq=3,0,0 refseq=4,1,0
triray< $modelfile > $rayendsfile4 rayfile=$rayfile4 \
nangle=$nangle fangle=$fangle langle=$langle \
xs=0 zs=0 nxz=$nxz \
refseq=2,0,0 refseq=3,0,0 refseq=4,0,0 refseq=5,1,0
triray< $modelfile > $rayendsfile5 rayfile=$rayfile5 \
nangle=$nangle fangle=$fangle langle=$langle \
xs=0 zs=0 nxz=$nxz \
refseq=2,0,0 refseq=3,0,0 refseq=4,0,0 refseq=5,0,0 refseq=6,1,0
triray< $modelfile > $rayendsfile6 rayfile=$rayfile6 \
nangle=$nangle fangle=$fangle langle=$langle \
xs=0 zs=0 nxz=$nxz \
refseq=2,0,0 refseq=3,0,0 refseq=4,0,0 refseq=5,0,0 refseq=6,0,0 refseq=7,1,0
# Plot the rays
psgraph< $rayfile1 >$raypsfile1 \
nplot=`cat outpar` n=$nxz hbox=1 wbox=10 \
x1beg=0 x1end=10 x2beg=-10 x2end=80 \
d1num=5 d2num=5 style=seismic linegray=0
psgraph< $rayfile2 >$raypsfile2 \
nplot=`cat outpar` n=$nxz hbox=1 wbox=10 \
x1beg=0 x1end=10 x2beg=-10 x2end=80 \
d1num=5 d2num=5 style=seismic linegray=0
67
psgraph< $rayfile3 >$raypsfile3 \
nplot=`cat outpar` n=$nxz hbox=1 wbox=10 \
x1beg=0 x1end=10 x2beg=-10 x2end=80 \
d1num=5 d2num=5 style=seismic linegray=0\
psgraph< $rayfile4 >$raypsfile4 \
nplot=`cat outpar` n=$nxz hbox=1 wbox=10 \
x1beg=0 x1end=10 x2beg=-10 x2end=80 \
d1num=5 d2num=5 style=seismic linegray=0
psgraph< $rayfile5 >$raypsfile5 \
nplot=`cat outpar` n=$nxz hbox=1 wbox=10 \
x1beg=0 x1end=10 x2beg=-10 x2end=80 \
d1num=5 d2num=5 style=seismic linegray=0
psgraph< $rayfile6 >$raypsfile6 \
nplot=`cat outpar` n=$nxz hbox=1 wbox=10 \
x1beg=0 x1end=10 x2beg=-10 x2end=80 \
d1num=5 d2num=5 style=seismic linegray=0
# Merge model + rays
psmerge in=$modelpsfile in=$raypsfile1 in=$raypsfile2 in=$raypsfile3
in=$raypsfile4 in=$raypsfile5 in=$raypsfile6 > $psmergefile
# Exit politely from shell
Exit
68
Lampiran 3
Proses Akuisisi
#!/bin/bash
# File: acq1.sh
# Set messages on
##set -x
# Assign values to variables
nangle=201 fangle=-65 langle=65 nt=1001 dt=0.004
# Model
num=4
echo " --Model number = $num"
# Name input model file
inmodel=model$num.dat
# Name output seismic file
outseis=seis${num}.su
# Remove survey file
rm -f survey${num}.txt
# Name survey file
survey=survey${num}.txt
#=================================================
# Create the seismic traces with "triseis"
# i-loop = 200 source positions
# j-loop = 100 geophone positions (split-spread)
69
# per shot position
# k-loop = layers 2 through 8
# (do not shoot layers 1 and 9)
echo " --Begin looping over triseis."
i=0
while [ "$i" -ne "600" ]
do
fs=`bc -l <<-END
$i * 0.05
END`
sx=`bc -l <<-END
$i * 50
END`
fldr=`bc -l <<-END
$i + 1
END`
j=0
while [ "$j" -ne "60" ]
do
fg=`bc -l <<-END
$i * 0.05 + $j *0.05
END`
gx=`bc -l <<-END
$i * 50 + $j * 50 -1475
70
END`
offset=`bc -l <<-END
$j * 50 - 1475
END`
tracl=`bc -l <<-END
$i * 60 + $j + 1
END`
tracf=`bc -l <<-END
$j + 1
END`
echo " Sx=$sx Gx=$gx fldr=$fldr offset=$offset tracl=$tracl\
fs=$fs fg=$fg"
echo " Sx=$sx Gx=$gx fldr=$fldr offset=$offset tracl=$tracl\
fs=$fs fg=$fg" >> $survey
k=2
while [ "$k" -ne "9" ]
do
triseis< $inmodel xs=0,30 xg=-1.475,31.475 zs=0,0 zg=0,0 \
nangle=$nangle fangle=$fangle langle=$langle \
kreflect=$k krecord=1 fpeak=40 lscale=0.5 \
ns=1 fs=$fs ng=1 fg=$fg nt=$nt dt=$dt |
suaddhead nt=$nt |
sushw key=dt,tracl,tracr,fldr,tracf,trid,offset,sx,gx \
a=4000,$tracl,$tracl,$fldr,$tracf,1,$offset,$sx,$gx >> temp$k
71
k=`expr $k + 1`
done
j=`expr $j + 1`
done
i=`expr $i + 1`
done
echo " --End looping over triseis."
#=================================================
# Sum contents of the temp files
echo " --Sum files."
susum temp2 temp3 > tempa
susum tempa temp4 > tempb
susum tempb temp5 > tempc
susum tempc temp6 > tempd
susum tempd temp7 > tempe
susum tempe temp8 > $outseis
# Remove temp files
echo " --Remove temp files."
rm -f temp*
# Report output file
echo " --Output file ** $outseis **"
# Exit politely from shell script
echo " --Finished!"
exit
72
Lampiran 4
Showshot
#! /bin/sh
# showshot.sh: Window one "field record" from file seis#.su
# where # represents the model number.
# Outputs: wiggle image of the shot gather
# .eps file of the shot gather
# Use: showshot.sh model shot
# Example: showshot.sh 3 20
# Set messages on
set -x
# Window one "field record" to a temporary file
suwind< seis$1.su key=fldr min=$2 max=$2 > temp$1$2.su
# Make wiggle plot
suxwigb< temp$1$2.su title="SP # $2 [$1]" key=offset \
label1=" Time (s)" label2= "Offset (m)" \
x2beg=-1500 x2end=1500 perc=99 &
# Create .eps image of a shot gather
supswigp< temp$1$2.su title="SP # $2 [$1]" key=offset \
label1="Time (s) " label2="Offset (m)" \
x2beg=-1500 x2end=1500 perc=99 > Shot$1$2.eps &
# Remove temporary gather
rm -f temp$1$2.su
# Exit politely from shell
73
exit
Lampiran 5
Proses Sorting
hp@hp-HP-Notebook:~$ suchw<seis4.su key1=cdp key2=gx key3=sx b=1 c=1
d=50 >cmp4.su
hp@hp-HP-Notebook:~$ susort <cmp4.su >cmp4_2.su cdp offset
hp@hp-HP-Notebook:~$ suwind <cmp4.su key=fldr min=100 max=105 |
suxwigb perc=99
hp@hp-HP-Notebook:~$ suchw<seis4.su key1=fldr key2=gx key3=sx b=1 c=1
d=50 >cmp4.su
hp@hp-HP-Notebook:~$ suwind <cmp4.su key=cdp min=100 max=105 |
suxwigb perc=99
hp@hp-HP-Notebook:~$ suwind <cmp4_2.su key=cdp min=100 max=105 |
suxwigb perc=99
Lampiran 6
Koreksi NMO
hp@hp-HP-Notebook:~$sunmo
vnmo=2000,2500,3000,3500,4000,4800,5000,5500,6000 tnmo=1.0, 1.2,
1.26,1.48,1.85,2.7,3.6,3.64,3.33, <cmp4_2.su > cmp4_2nmo.su
hp@hp-HP-Notebook:~$suwind <cmp4_2nmo.su key=cdp min=1000 max=1005
| suxwigb perc=99
74
Lampiran 7
Proses Brute Stack
hp@hp-HP-Notebook:~$ sustack <cmp4_2.su > cmp4_2brutestack.su
hp@hp-HP-Notebook:~$ suximage < cmp4_2brutestack.su cmap=hsv17 perc=90