Post on 17-Oct-2021
i
PEMANFAATAN KERANG (BIVALVIA) DAN PERANANNYA DI
EKOSISTEM LAUT
OLEH
GEDE SURYA INDRAWAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya
tulis yang berjudul “Pemanfaatan Kerang (Bivalvia) dan Peranannya di Ekosistem
Perairan Laut”. Untuk itu penulis sampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuannya.
Tidak ada yang dapat penulis berikan kepada mereka selain iringan doa yang
tulus dan ikhlas semoga amal baik mereka diterima dan mendapat balasan yang lebih
baik dari Tuhan Yang Maha Esa. Tidak lupa saran dan kritik yang konstruktif sangat
penulis harapkan dari pembaca demi kesempurnaan laporan karya ilmiah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
II. KERANG (BIVALVIA) ........................................................................... 2
2.1 Ciri-ciri Umum Kerang ...................................................................... 2
2.2 Habitat Kerang .................................................................................. 6
III. PEMANFAATAN KERANG .................................................................. 8
3.1 Jenis-jenis Kerang Bernilai Ekonomis ............................................... 8
3.1.1 Kerang hijau (Perna viridis) .................................................... 8
3.1.2 Kerang darah (Anadara granosa) ............................................. 11
3.1.3 Kerang simping (Amusium pleuronectes) ................................ 14
3.1.4 Kerang mutiara (Pintanca sp.) .................................................. 16
3.1.5 Kerang kima (Hippopus dan Tridacna)..................................... 21
3.2 Pemanfaatan Sumberdaya Kerang secara Berkelanjutan ................... 25
IV. PERANAN KERANG .............................................................................. 27
4.1 Kerang sebagai Biondikator Lingkungan .......................................... 27
4.2 Parameter Lingkungan yang mempengaruhi Kerang ........................ 31
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 37
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbandingan dari tiga jenis Pinctada penghasil mutiara yang
terpenting ............................................................................................ 17
Tabel 2. Status perlindungan kima ................................................................... 24
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Morfologi kerang ........................................................................... 2
Gambar 2. Penambang melintang tubuh, cangkang, mantel kerang ................ 3
Gambar 3. Anatomi kerang ............................................................................. 4
Gambar 4. Siklus pembuahan kerang............................................................... 5
Gambar 5. Kerang hijau (Perna viridis) .......................................................... 8
Gambar 6. Pemanfaatan kerang hijau oleh masyarakat ................................... 9
Gambar 7. Pembudidayaan kerang ................................................................. 10
Gambar 8. Kerang darah (Anadara granosa) .................................................. 12
Gambar 9. Pemanfaatan cangkang kerang darah sebagai pasta gigi ............... 13
Gambar 10. Kerang Simping (Amusium pleuronectes).................................... 15
Gambar 11. Kerajinan dari kerang simping .................................................... 16
Gambar 12. Macam-macam kerang mutiara ................................................... 18
Gambar 13. Pearls and shells .......................................................................... 19
Gambar 14. Morfologi dan Anatomi Kima ..................................................... 22
Gambar 15. Jenis-jenis kima ........................................................................... 23
1
I. PENDAHULUAN
Salah satu sumberdaya laut yang dimanfaatkan oleh masyarakat dan bernilai
ekonomis adalah kerang-kerangan. Kerang-kerangan termasuk kelas Bivalvia dari
filum Moluska (Dharma, 1992). Kelas Bivalvia yang umumnya berbentuk simetri
lateral, cangkang terdiri dari dua katup dan kedua katup cangkang dihubungkan oleh
suatu engsel pada bagian dorsal (ligament) (Gosling, 2004). Kelompok hewan kerang
mempunyai cara makan dengan menyaring (filter feeding) bahan organik yang
tersuspensi di perairan (Bachok et al., 2006). Kerang mempunyai sebaran yang luas
sehingga dapat ditemukan di berbagai ekosistem perairan (estuaria, terumbu karang,
padang lamun, dan mangrove). Hewan kerang termasuk kelompok hewan infauna yang
dominan ditemukan di dasar perairan atau di dalam sedimen (Hutabarat dan Evans,
1985; Gosling, 2004).
Masyarakat pesisir memanfaatkan kerang sebagai sumber makanan, obat
tradisional dan bahan hiasan dekorasi (Soeharmoko, 2010). Kerang dapat
dikembangkan sebagai sumber daya perikanan yang bernilai gizi tinggi untuk
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, baik dikonsumsi secara langsung dalam
kondisi segar maupun dalam bentuk olahan. Kerang di beberapa negara merupakan
sumber makanan bergizi dengan harga yang murah dan kandungan protein yang tinggi.
Beberapa jenis kerang yang sering dikonsumsi oleh masyarakat antara lain kerang
darah (Anadara granosa), kerang bulu (Anadara antiquata), kerang simping (Amusium
pleuronectes, Placuna placenta), kerang totok (Polymesoda erosa) dan kerang hijau
(Perna viridis).
Selain kerang memiliki nilai ekonomis, secara ekologis kerang juga
mempunyai peranan penting di perairan. Kerang dapat menjadi salah satu hewan
indikator terhadap kualitas perairan (Putri et al., 2012). Kerang dapat hidup di
lingkungan yang bersih maupun tercemar. Bila hidup di lingkungan perairan yang
tercemar maka ia akan memiliki sistem pertahanan tubuh yang spesifik termasuk
melawan zat-zat yang bersifat racun dan karsinogenik. Oleh sebab itu artikel berikut
akan membahas tentang pemanfaatan kerang dan peranannya di ekosistem perairan.
2
II. KERANG (BIVALVIA)
2.1. Ciri-ciri Umum Kerang
Kerang merupakan kelompok hewan bertubuh lunak dan tidak mempunyai
tulang belakang (Barnes, 1994). Kerang memiliki dua buah cangkang simetris dengan
variasi ukuran maupun bentuknya dan memiliki umbo pada bagian dorsal, mempunyai
kaki otot berbentuk seperti kapak berfungsi untuk menambatkan diri atau menggali dan
insang tipis berlapis-lapis yang terletak pada mantel cangkang (Campbell et al., 2003
(Gambar 1 dan 3). Hewan ini banyak ditemukan pada perairan laut, mempunyai
mobilitas yang lambat, termasuk hewan menetap, tidak memiliki kepala yang jelas,
bereproduksi dengan fertilisasi eksternal dan memiliki kelamin terpisah tetapi beberapa
diantaranya hermaprodit (Gosling, 2004).
Gambar 1. Morfologi kerang
Cangkang kerang disatukan oleh satu engsel yang bersifat elastis disebut
ligamen dan mempunyai dua otot yaitu aduktor dan reduktor, yang berfungsi untuk
membuka dan menutup kedua belahan cangkang (Barnes, 1994). Menurut
Prawirohartono (2003) cangkang kerang terdiri dari 3 lapisan (Gambar 2), antara lain:
1) Periostrakum adalah lapisan terluar, tipis, gelap dan tersusun atas zat tanduk yang
berfungsi untuk melindungi organ tubuh;
2) Prismatik adalah lapisan tengah yang tebal, tersusun atas kristal-kristal CaCO3
berbentuk prisma;
3
3) Nakreas adalah lapisan terdalam disebut juga lapisan mutiara, tersusun atas kristal
CaCO3 yang halus dan berbeda dengan kristal-kristal pada lapisan prismatik.
Lapisan tipis tersebut membuat cangkang menebal saat hewan bertambah tua.
Gambar 2. A. Penampang melintang tubuh B. Penampang melintang cangkang dan
mantel
Mantel dalam cangkang kerang dilekatkan oleh sederetan otot yang
meninggalkan bekas melengkung yang disebut garis mantel. Fungsi dari permukaan
luar mantel adalah mensekresi zat organik cangkang dan menimbun kristal-kristal
kalsit atau kapur. Perbedaan yang khas dari masing-masing permukaan cangkang,
lekukan dan tonjolan yang tersusun sedemikian rupa dapat menjadi petunjuk
identifikasi morfologi kerang sampai ke tingkat jenis (Barnes, 1994).
Kelompok hewan kerang mempunyai cara makan dengan menyaring (filter
feeding) bahan organik yang tersuspensi di perairan dengan menggunakan sifons yang
ada pada insangnya. Fungsi lain pada insang kerang dapat sebagai organ untuk
pertukaran gas atau alat pernafasan. Kerang dapat menyeleksi partikel makanan yang
akan difiltrasi dan dimakan, hal ini dikarenakan masing-masing sifons kerang memiliki
sensor dan perilaku berbeda terhadap partikel makanan (Bachok et al., 2006).
4
Gambar 3. Anatomi kerang
Beberapa jenis kerang yang hidup di tipe habitat berbeda akan memiliki
adaptasi alat gerak berbeda. Alat gerak kerang yang sesil atau menempel pada substrat
akan mempunyai benang byssus yang berfungsi untuk menempel dengan sangat erat
pada substrat. Sedangkan kerang yang hidup di substrat dasar perairan, organ kaki akan
lebih berkembang dan tidak memiliki byssus. Kakinya berbentuk seperti kapak yang
lebar untuk membenakan diri dan bergerak. Adaptasi alat gerak hewan kerang
mengalami perkembangan yang tergantung pada kedalaman hidup di bawah substrat
(Campbell et al., 2003).
Kerang memiliki peredaran darah terbuka yaitu darah dari jantung ke sinus
organ, ginjal, insang dan kembali ke jantung. Darah kerang biasanya tidak berwarna,
kecuali kerang darah (Anadara sp.) dari famili Arcidae karena spesies ini memiliki
darah yang mengandung hemoglobin (Gosling, 2004).
Pembuahan kerang umumnya eksternal yang di pengaruhi oleh beberapa faktor
seperti suhu air, salinitas, pasang surut dan zat yang dihasilkan oleh gamet lawan
jenisnya. Pembuahan eksternal menghasilkan larva trochopore, kemudian menjadi
veliger yang berenang bebas sebagai meroplankton. Veliger mempunyai dua keping
5
cangkang, masa hidup larva veliger sebagai plankton bervariasi dari beberapa hari
hingga beberapa bulan sebelum menempel atau menetap di substrat (Barnes, 1994)
(Gambar 4).
Gambar 4. Siklus pembuahan kerang
Rekrutmen adalah penambahan anggota baru ke dalam suatu kelompok. Dalam
suatu perikanan, rekruitmen ini dapat diartikan sebagai penambahan suplai baru (yang
sudah dapat dieksploitasi) ke dalam stok lama yang sudah ada dan sedang dieksploitasi.
Suplai baru ini ialah hasil reproduksi yang telah tersedia pada tahapan tertentu dari daur
hidupnya dan telah mencapai ukuran tertentu sehingga dapat tertangkap dengan alat
penangkapan yang digunakan dalam perikanan. Rekuit ini berasal dari sejumlah stok
reproduktif yang dewasa, sehingga ada hubungan stok dewasa dengan stok rekruitnya
(Setyono, 2006).
Selanjutnya Setyono (2006) menyatakan, hubungan yang umum antara stok
dewasa dengan rekruitnya yaitu antara jumlah pemijah (spawner). Rekruit, dihadapkan
pada tiga faktor yang berasal dari konsep pertumbuhan populasi satu spesies
diantaranya bila tidak ada pemijahan tidak ada rekrutmen, semua populasi mempunyai
kapasitas untuk tumbuh, kecuali yang akan punah dan populasi itu jumlahnya terbatas,
karena faktor alam yang dapat menambah kecepatan mortalitas, demikian pula populasi
6
itu tumbuh. Apabila jumlah stok ikan dewasa sedikit, mungkin produksi rekuit rendah.
Rekrutmen dapatterjadi apabila jumlah stok dewasa banyak mungkin produksi rekuit
rendah pula.
Siklus hidup bivalvia pada tahap pertama mengalami fertilisasi yaitu telur
menetas menjadi larva trochophore dan secara bertahap akan berubah menjadi larva
veliger yang di sebut sebagai tahap straigh thinge. Menurut Setyobudiandi (2004)
Selama beberapa minggu larva bersifat planktonik hingga saatnya menetap dan
bentuknya berubah seperti individu dewasa. Sebagian kecil dari jumlah telur yang
dipijahkan dapat terfertilisasi dan berkembang menjadi larva. Selama fase planktonik
larva sangat rentan terhadap predator.
Pada saat larva memasuki tahap akhir (post larva), larva memerlukan subtrat
untuk menunjang proses penempelan (settlement). Sebagian biota umumnya, seluruh
proses dalam daur hidup kerang memerlukan habitat dengan kondisi tertentu agar dapat
menunjang pertumbuhan, pematangan gonad, ganetogenesis dan metamorfosis pre-
larva menjadi trochophore. Daya tahan hidup setelah menempel (post settling survival)
akan optimal jika kondisi lingkungan hidupnya terpenuhi, sehingga kerang dapat
tumbuh berkembang menjadi individu dewasa (Sitorus, 2008).
2.2. Habitat Kerang
Kerang mempunyai sebaran yang luas sehingga dapat ditemukan di berbagai
ekosistem kawasan perairan yaitu estuaria, pantai berpasir, pantai berbatu, terumbu
karang, padang lamun, danau, sungai dan mangrove. Beragamnya tipe habitat dari
jenis-jenis kerang merupakan upaya mempertahankan kelangsungan hidup agar dapat
tumbuh dan berkembang biak sehingga akan terjadi interaksi dengan lingkungannya
untuk memilih kondisi lingkungan yang terbaik. Kelimpahan biota laut yang rendah
pada suatu kawasan menjadikan salah satu indikasi tidak sesuainya bagi biota tersebut.
Selain itu, faktor ketersediaan makanan (fitoplankton, zooplankton, zat organik
tersuspensi) dalam kawasan perairan menjadi faktor penting untuk keberlangsungan
hidup serta pertumbuhan biota laut misalnya kerang-kerangan (Dame, 1996).
7
Hewan kerang termasuk kelompok makrozoobentos infauna yang dominan
ditemukan di dasar perairan atau di dalam sedimen (Hutabarat dan Evans, 1985). Pada
umumnya kerang menetap di dasar perairan dengan cara membenamkan diri di dalam
lumpur, pasir dan patahan terumbu karang yang sudah mati. Beberapa jenis kerang juga
mempunyai cara hidup dengan menempel pada substrat keras yaitu pada bebatuan dan
ada yang dapat berenang aktif di dasar perairan dengan cara mengepakkan
cangkangnya (Campbell et al., 2003; Gosling, 2004).
Kerang lebih menyukai habitat dengan tipe sedimen berlumpur dan berpasir
(Nybakken, 1988). Tekstur sedimen dalam perairan berbeda-beda dan mempunyai
ukuran bervariasi dari yang besar sampai halus. Perbedaan sedimen ini mempengaruhi
ketersediaan oksigen dan makanan di dalam kawasan perairan. Tipe sedimen dapat
mempengaruhi penyebaran, morfologi fungsional dan tingkah laku organisme.
Sedimen yang memiliki butiran lebih kecil seperti lumpur mampu menyimpan nutrien
lebih besar dibandingkan pasir dan gravel (Nybakken, 1988). Adanya faktor lain yaitu
arus mempunyai dampak terhadap tipe sedimen yang ditempati oleh hewan kerang.
Bila arus yang lemah akan membuat sedimen dominan lumpur, tanah organik dan pasir
halus, sedangkan arus yang kuat tipe sedimennya dominan berbatu dan koarsa.
Karakteristik sedimen yang berbeda di setiap lokasi akan mempengaruhi sebaran
organisme bentik di dalamnya dan akan terjadi pengelompokan hewan bentik yang
berbeda (Riniatsih dan Kushartono, 2009; Sitorus 2008).
Di daerah intertidal kehidupan bivalvia dipengaruhi oleh pasang surut. Adanya
pasang surut menyebabkan daerah ini kering dan faunanya terkena udara terbuka secara
periodik. Bersentuhan dengan udara terbuka dalam waktu lama merupakan hal yang
penting, karena fauna ini berada pada kisaran suhu terbesar akan memperkecil
kesempatan memperoleh makanan dan akan mengalami kekeringan yang dapat
memperbesar kemungkinan terjadinya kematian. Oleh karena itu perlu melakukan
adaptasi untuk bertahan hidup dan harus menunggu pasang naik untuk memperoleh
makanan. Bivalvia dapat mati bila kehabisan air yang disebabkan oleh meningkatnya
suhu. Gerakan ombak berpengaruh pula terhadap komunitasnya dan harus beradaptasi
8
dengan kekuatan ombak. Perubahan salinitas turut juga mempengaruhinya, ketika
daerah ini kering oleh pasang surut kemudian digenangi air atau aliran air hujan
salinitasnya akan menurun. Kodisi ini dapat melewati batas toleransinya dan akan
mengakibatkan kematian (Nybakken, 1988).
III. PEMANFAATAN KERANG
3.1 Jenis-Jenis Kerang yang Bernilai Ekonomis
3.1.1. Kerang hijau (Perna viridis)
Kerang Hijau (Perna viridis) dikenal sebagai green mussels adalah binatang
lunak (moluska) yang hidup di laut, bercangkang dua dan berwarna hijau (Gambar 5).
Kerang hijau merupakan organisme yang termasuk kelas Pelecypoda, kelas ini selalu
mempunyai cangkang katup sepasang maka disebut sebagai Bivalvia. Hewan ini
disebut juga pelecys yang artinya kapak kecil dan podos yang artinya kaki. Pelecypoda
berarti hewan berkaki pipih seperti mata kapak. Hewan kelas ini pun berinsang
berlapis-lapis sering disebut Lamelli branchiata (Fitriah, 2018).
Gambar 5. Kerang hijau (Perna viridis)
Kerang hijau juga memiliki nama-nama lokal antara lain kijing (Jakarta), Ijoan
(Cirebon). Kerang hijau memiliki morfologi dengan Panjang tubuh antara 6,5 – 8,5 cm
dan diameter sekitar 1,5 cm. Ciri khas kerang hijau terletak pada warna cangkangnya
9
yang menimbulkan gradasi warna gelap ke gradasi warna cerah kehijauan. Kerang ini
tidak memiliki kepala (termasuk otak), organ yang terdapat dalam kerang adalah ginjal,
jantung, mulut, dan anus.
Kerang hijau (Perna viridis) merupakan salah satu komoditi perikanan yang
telah lama dibudidayakan sebagai salah satu usaha sampingan masyarakat pesisir
(Gambar 6). Teknik budidayanya mudah dikerjakan, tidak memerlukan modal yang
besar dan dapat dipanen setelah berumur 6 – 7 bulan. Hasil panen kerang hijau per
hektar per tahun dapat mencapai 200 – 300 ton kerang utuh atau sekitar 60 – 100 ton
daging kerang. Tersebar luas di perairan Indonesia dan ditemukan melimpah pada
perairan pesisir, daerah mangrove dan muara sungai. Di Indonesia jenis ini ditemukan
melimpah pada bulan Maret hingga Juli pada areal pasang surut dan subtidal, hidup
bergerombol dan menempel kuat dengan menggunakan benang byssusnya pada
benda-benda keras seperti kayu, bambu, batu ataupun substrat yang keras
(Cappenberg, 2008).
Gambar 6. Pemanfaatan kerang hijau oleh masyarakat
Kerang hijau merupakan salah satu biota laut yang mampu bertahan hidup dan
berkembang biak pada tekanan ekologis yang tinggi tanpa mengalami gangguan yang
berarti. Dengan sifat dan kemampuan adaptasi tersebut, maka kerang hijau telah
banyak digunakan dalam usaha budidaya (Gambar 7). perikanan. Dengan hanya
10
menggunakan/menancapkan bambu/kayu ke dalam perairan yang terdapat banyak
bibit kerang hijau, maka kerang tersebut dengan mudah menepel dan berkembang
tanpa harus memberi makan (Cappenberg, 2008).
Gambar 7. Pembudidayaan kerang
Kerang hijau merupakan salah satu jenis kerang yang digemari masyarakat,
memiliki nilai ekonomis dan kandungan zat gizi yang baik untuk dikonsumsi. Dari
sekian banyak potensi kerang yang dihasilkan di Indonesia, kebanyakan masyarakat
hanya memanfaatkan daging kerangnya saja sedangkan cangkang kerang belum
dimanfaatkan secara optimal. Hal ini menimbulkan permasalahan berupa cangkang
kerang yang menumpuk di daerah pesisir pantai.
Selama ini limbah padat kerang berupa cangkang hanya dimanfaatkan sebagai
hiasan dinding, hasil kerajinan, atau bahkan sebagai campuran pakan ternak namun
belum dimanfaatkan secara maksimal di bidang kesehatan padahal potensinya sebagai
sumber kalsium tinggi dapat dijadikan sebagai terobosan baru dalam menangani
masalah terkait tulang termasuk osteoporosis. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa cangkang kerang hijau mengandung senyawa kalsium yang berpotensi sebagai
suplemen tulang alamiah pencegah osteoporosis.
11
Pemanfaatan cangkang kerang hijau diharapkan dapat mengurangi sampah
cangkang kerang yang menjadi sumber permasalahan bagi lingkungan. Melalui teknik
pengolahan yang benar cangkang kerang hijau dapat dibuat tepung dan diolah menjadi
beraneka produk olahan makanan tinggi calsium. Kandungan cangkang kerang hijau
sebagian besar tersusun atas kalsium karbonat, kalsium fosfat, Ca(HCO3)2, Ca3S,
dan kalsium aktif yang terbuat dari sumber kulit kerang dan jenis-jenis kalsium yang
termasuk kalsium non-organik yang tersusun dari lapisan calcite dan aragonite
(Karnowska, 2004).
Daging dan tepung dari cangkang kerang hijau juga dapat dimanfaatkan untuk
pengolahan beberapa makanan seperti mpek-mpek, baso, nughet,cookies dan es krim.
Dengan adanya pemanfaatan cangkang kerang yang dibuat menjadi tepung kalsium
dan diaplikasikan sebagai bahan tambahan dalam produk makanan, diharapkan dapat
meningkatkan nilai tambah yang berguna bagi masyarakat, khususnya bagi penderita
defisiensi kalsium dan penderita gangguan tulang (osteoporosis) (Fitriah et al., 2018).
3.1.2. Kerang darah (Anadara granosa)
Kerang darah mempunyai cangkang yang tebal, berbentuk seperti ellips dan
terdapat 20-21 garis vertikal pada permukaan yang di mulai pada bagian ventral sampai
dengan bagian dorsal (Gambar 8). Terdapat duri-duri yang pedek, berwarna putih
seperti kecoklatan pada lapisan periostrakum. Warga Anadarinae mempunyai organ
siphon yang tidak berkembang dengan sempurna, aliran air masuk (Inhalent) dan
keluar (exhalent) terjadi melalui organ yang berada di bagian butiran (pesterior margin)
dari cangkangnya. Tipe habitat yang berupa lumpur akan dengan mudah diserap oleh
kerang darah, sehingga kerang memperoleh pakan yang terkandung di lumpur dalam
bentuk detritus.
Disebut kerang darah karena kelompok kerang ini memiliki pigmen darah
merah/haemoglobin yang disebut bloody cockles, sehingga kerang ini dapat hidup
pada kondisi kadar oksigen yang relatif rendah, bahkan setelah dipanen masih bisa
hidup walaupun tanpa air.
12
Gambar 8. Kerang darah (Anadara granosa)
Kerang darah (Anadara granosa) merupakan salah satu jenis kerang yang
berpotensi dan bernilai ekonomis untuk dikembangkan sebagai sumber protein dan
mineral untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Kerang darah
banyak ditemukan pada substrat yang berlumpur di muara sungai dengan tofografi
pantai yang landai sampai kedalaman 20 m. Kerang darah bersifat infauna yaitu hidup
dengan cara membenamkan diri di bawah permukaan lumpur di perairan dangkal
(PKSPL, 2004; Nurjanah et al., 2005).
Kerang darah merupakan bahan makanan sumber protein kadar tinggi dengan
kandungan gizi kerang darah kering terdiri atas (8,74%) abu, (76%) protein, dan
(9,75%) lemak (Nurjanah et al.,2004). yang berasal dari laut dengan kandungan asam
amino esensial yang lengkap dan seimbang, juga mengandung beberapa jenis mineral
dan vitamin. Kerang darah bermanfaat sebagai antioksidan dalam sistem pertahanan
tubuh terhadap reaksi oksidasi radikal bebas. Kerang darah diduga memiliki komponen
mineral tertentu yang berguna sebagai antioksidan, diantaranya adalah tembaga (Cu),
zat besi (Fe), Seng (Zn) dan Selenium (Se). Cu dan Zn merupakan mineral penting
pada berbagai sistem enzim dan hormon. Fe berperan penting untuk tubuh manusia.
Apabila kekurangan Fe, maka akan menyebabkan anemia, sedangkan selenium
meupakan mineral yang cukup esensial,sebagai enzim yang paling penting antioksidan.
13
Kerang darah juga mengandung Ca yang berguna sebagai mineral untuk pembentukan
tulang dan gigi terutama pada masa pertumbuhan dan ibu hamil (Nurjanah et al., 2005).
Menurut Awang et al (2005), limbah cangkang kerang mengandung kalsium
karbonat yang tinggi yakni sebesar 98% yang berpotensi untuk dimanfaatkan. Oleh
karena itu dari kalsium karbonat yang terkandung pada cangkang kerang maka
dilakukan isolasi kalsium oksida (CaO) dan kemudian senyawa ini dapat diolah lebih
lanjut menjadi hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2) yang merupakan komponen
anorganik utama pada tulang dan gigi sehingga bahan ini merupakan salah satu bahan
aktif yang dapat ditambahkan pada produk pasta gigi untuk perlindungan terhadap
demineralisasi gigi (Kehoe, 2008) (Gambar 9).
Gambar 9. Pemanfaatan cangkang kerang darah sebagai pasta gigi
Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2017) mengenai pengaruh
penambahan bubuk cangkang kerang terhadap mutu dan karakteristik pada gigi yang
dihasilkan serta mencari formulasi penambahan bubuk cangkang kerang yang terbaik.
Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsentrasi bubuk cangkang kerang
terbaik pada uji organoleptik adalah aroma A (50%) dengan nilai 4, warna B (25%)
nilai 4.11, kekentalan A (50%) nilai 3.83, busa B (25%) dengan nilai 3.7 dan rasa A
14
(50%), B (25%) sama-sama bernilai 3.5. Jumlah mikroba terbaik yaitu B (25%)
dengan jumlah 5,4x105 koloni, dan kadar karbohidrat pada sampel A (50%) dengan
nilai 0,009 dan sampel B (25%) dengan nilai 0,007. Nilai pH kedua pasta gigi adalah
A (50%) dengan nilai 8.37 dan B (25%) dengan nilai 8.69. Nilai tersebut berada dalam
kisaran nilai pH yang terdapat pada SNI 12-3524-1995, yaitu 4.5 – 10.5 sebagai syarat
mutu pasta gigi sehingga pasta gigi eksperimen yang dihasilkan relatif aman
digunakan.
Selain digunakan sebagai salah satu bahan aktif yang dapat ditambahkan
pada pasta gigi, limbah cangkang kerang darah juga dapat dimanfaatkan sebgai katalis
dalam pembuatan metil ester dari minyak jelantah. Cangkang kerang darah
mengandung kalsium karbonat (CaCO3), pembakaran cangkang kerang selain
menghasilkan abu akan mengubah kandungan yang terdapat di abu cangkang yang
mengandung CaO sebesar 69,02%. Abu kerang yang mengandung CaO direaksikan
dengan metanol (CH3OH) akan membentuk kalsium metoksida (Ca(OCH3)2) yang
dapat mempercepat reaksi transesterifikasi minyak nabati pada pembuatan metil ester
(Tobing, 2009).
3.1.3 Kerang simping (Amusium pleuronectes)
Amusium pleuronectes atau kerang simping adalah salah satu biota yang
dijumpai di perairan laut terlindung seperti di pantai utara Jawa Tengah (Brebes,
Pekalongan, Pemalang, Kendal) dan pantai utara Jawa Timur (Suprijanto et al., 2007).
Di perairan tropis dan subtropis beberapa spesies dari genus Amusium ditangkap
sebagai tangkapan komersial. Jenis kerang ini memiliki distribusi yang sangat luas,
tersebar dari Laut India, Laut Cina Selatan, Indo-Cina, Jepang, Philipina, Papua New
Guinea, Indonesia dan Australia (Poutiers, 1988 dalam Carpenter and Niem, 2002).
Shumway dan Parsons (2006), menyatakan bahwa terdapat lebih dari 400 spesies di
dalam family Pectinidae, yang umumnya disebut dengan scallops. Scallops tersebar
diseluruh perairan di dunia mulai dari perairan subtropis sampai perairan tropis.
Amusium pleuronectes termasuk kedalam superfamili Pectinoidea, dimana
15
masyarakat setempat sering menyebut dengan kerang simping atau kerang merah
putih. Habitat kerang ini dapat dijumpai pada berbagai substrat dari pasir sampai
lumpur berpasir pada kedalaman 5-50 m (Widowati et al., 2008).
Gambar 10. Kerang Simping (Amusium pleuronectes)
Kerang simping memiliki bentuk tubuh sedikit bundar, pipih dan cangkangnya
cenderung transparan (Gambar 10). Bentuknya yang unik membuat cangkangnya
sering dijadikan bahan kerajinan tangan dan asesoris wanita. Ukuran cangkang juvenil
kerang simping berdiameter sekitar 40 mm, ukuran dewasa dapat mencapai 150 mm
(Dharmaraj et al., 2004). Seperti pada umumnya Moluska, kerang simping bersifat
filter feeder sehingga dapat dijadikan indikator suatu keadaan lingkungan karena
kemampuan adaptasinya yang tergolong tinggi.
Di antara berbagai macam jenis kerang yang terdapat di Indonesia, kerang
simping memiliki potensi besar yang dapat dimanfaatkan mulai dari isi daging sampai
cangkangnya. Kerang simping saat ini menjadi salah satu sumber daya perikanan
yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Berdasarkan data statistik perikanan
tangkap di Indonesia tahun 2000-2010, produksi kerang simping di Indonesia
mengalami peningkatan sebesar 19,79% (DJPT, 2011). Peningkatan tersebut juga
berdampak pada kenaikan jumlah limbah cangkang kerang.
16
Di Indonesia, limbah cangkang kerang simping telah dimanfaatkan sebagai
bahan kerajinan untuk hiasan dinding atau sebagai elemen estetika bangunan
(Armando, 2013) (Gambar 11). Sementara itu, di negara lain seperti Thailand, limbah
cangkang kerang simping telah dimanfaatkan untuk industri pakan ternak (Tongchan
et al., 2009). Alternatif untuk menangani limbah cangkang kerang ini salah satunya
adalah dengan mengubah limbah cangkang kerang menjadi produk lain yang
bermanfaat, atau yang dikenal dengan waste to product.
Gambar 11. Kerajinan dari kerang simping
Beberapa penelitian telah dilakukan dengan memanfaatkan cangkang kerang
simping. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Tri et al (2011) yaitu dengan
memanfaatkan kerang simping sebagai sumber kalsium pada produk ekstrudat.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa daging kerang simping diduga memiliki
kandungan antioksidan yang tinggi. Aktivitas antioksidan (IC50) tertinggi pada
ekstrak kasar daging kerang simping yang diekstraksi dengan metanol sebesar
1.648,45 ppm (Pipih et al., 2013)
3.1.4 Kerang mutiara (Pintanca sp.)
Kerang mutiara merupakan salah satu biota laut yang hampir semua bagian
dari tubuhnya mempunyai nilai jual, baik mutiara, cangkang, daging dan organisme
17
kerang itu sendiri (benih maupun induk). Jenis-jenis kerang mutiara yang ada di
Indonesia adalah Pinctada maxima, Pinctada margaritifera, Pinctada chimnitzii,
Pinctada fucata dan Pteria penguin. Beberapa daerah Pinctada fucata dikenal juga
sebagai Pinctada martensii. Dari kelima spesies tersebut yang dikenal sebagai
penghasil mutiara terpenting yaitu Pinctada maxima, Pinctada margaritifera dan
Pteria penguin (Taufiq et al., 2007 (Tabel 1) (Gambar 12). Untuk membedakan jenis
tiram mutiara tersebut, perlu dilakukan pengamatan morfologi, seperti warna
cangkang dan cangkang bagian dalam (Nacre), ukuran serta bentuk.
Tabel 1. Perbandingan dari tiga jenis Pinctada penghasil mutiara yang terpenting
18
Gambar 12. Macam-macam kerang mutiara
Kerang mutiara merupakan salah satu komoditas perikanan yang
menghasilkan butiran mutiara yang cukup penting sebagai penghasil devisa. Jenis
kerang mutiara yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah Pintada maxima,
sebab produk mutiara yang dihasilkannya bernilai ekonomis tinggi dan merupakan
salah satu komoditas ekspor di bidang perikanan. Indonesia merupakan negara
beriklim tropis, sehingga pertumbuhan dan proses pelapisan mutiara dapat terjadi
sepanjang tahun. Kerang yang dapat digunakan untuk memproduksi mutiara adalah
kerang yang berukuran panjang cangkang 18 - 20 cm.
Perairan Indonesia sendiri memiliki potensi kerang mutiara (Pinctada
maxima) yang begitu besar di wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian Jaya,
19
Sulawesi dan gugusan Laut Arafuru. Di beberapa daerah tersebut, usaha penyelaman
kerang mutiara merupakan mata pencaharian bagi penduduk setempat. Begitu juga
untuk perairan Aceh memiliki potensi untuk mengembangkan budidaya kerang
mutiara. Keelokan warna mutiara yang dihasilkan oleh kerang jenis ini menyebabkan
permintaan pasar domestik maupun manca negara akan mutiara yang berasal dari P.
maxima terus mengalami peningkatan. Permintaan pasar yang meningkat
mengakibatkan semakin banyaknya individu kerang P. maxima yang dibutuhkan
untuk menghasilkan mutiara (Gambar 13).
Gambar 13. Pearls and shells. (A) Nacreous pearls. (B) Shell of the silver-lip pearl
oyster, Pinctada maxima (p: prismatic layer; n: nacreous layer).
Berdasarkan morfologi cangkang, tiram mutiara Pinctada maxima yang dikenal
sebagai penghasil south sea pearl diketahui ada empat tipe warna nacre yaitu putih
(silver), emas (gold), abu-abu (grey) dan kuning (yellow) (Lind et al., 2009). Indonesia
termasuk negara penghasil mutiara putih terbesar di dunia, menempati posisi ketiga
setelah Australia dan Myanmar (Poernomo, 2008). Saat ini, dikembangkan program
pemuliaan pada kegiatan budidaya yang diutamakan pada target khusus yaitu satu atau
dua sifat yang memungkinkan untuk meningkatkan produktivitas dan memiliki nilai
jual tinggi (Elliot, 2000). Salah satu sifat yang menarik untuk dijadikan target dalam
20
program pemuliaan tiram mutiara adalah warna mutiara yang dihasilkan. Warna
mutiara yang akan dihasilkan ditentukan oleh keragaman warna nacre tiram mutiara.
Nacre adalah cangkang bagian dalam yang merupakan lapisan induk mutiara yang
berkilau dengan warna putih keperakan. Wada (2000) menyatakan bahwa keragaman
nacre pada tiram sangat penting dalam industri tiram mutiara, karena dengan
keberagaman nacre tiram akan menghasilkan warna mutiara yang beragam yang
diminati oleh pasar.
Tiram mutiara dengan nacre warna putih dan kuning paling banyak
dibudidayakan, karena menghasilkan kualitas mutiara yang baik dengan ukuran yang
relatif besar (Rose et al., 1990; Supii et al., 2009). Tiram dengan nacre putih
menghasilkan mutiara warna putih, sementara tiram dengan nacre kuning
menghasilkan mutiara warna kuning keemasan, akan tetapi mutiara warna putih
memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan warna keemasan. Dalam proses
insersi nukleus untuk memperoleh mutiara dengan warna putih diperlukan mantel
sebagai saibo dari individu tiram dengan nacre putih, dan apapun tipe warna nacre tiram
mutiara, apabila diimplant dengan saibo dari individu yang memiliki nacre putih akan
tetap menghasilkan mutiara warna putih. Sementara individu tiram dengan nacre putih
sangat jarang diperoleh dari alam, sehingga pemijahan induk tiram tersebut perlu
dilakukan untuk membantu melestarikan dan membudidayakannya.
Secara umum komposisi dari cangkang kerang terdiri dari Ca, Mg, Na, P, dan
mineral lain berupa Fe, Cu, Ni, B, Zn, serta Si. Kandungan kalsium karbonat pada
cangkang kerang ini merupakan sumber kalsium yang dapat dimanfaatkan sebagai
Hidroksiapatit (Khairil, 2012) Hidroksiapatit (HAp) merupakan senyawa yang
mengandung ion kalsium (Ca2+) yang mengubah ion logam beracun dan menyerap
unsur kimia organik dalam tubuh (Dahlan, 2013). Senyawa ini banyak dimanfaatkan
sebagai tempat tumbuh kembangnya jaringan apabila ada jaringan yang rusak. Setiap
tahun, kebutuhan senyawa ini semakin meningkat terutama dalam bidang kedokteran
seperti tulang, gigi, kosmetik, dan kultur jaringan.
21
Sintesis HAp dapat dilakukan dengan beberapa metode: a) Metode basah
(presipitasi), menggunakan reaksi cairan. b) Metode kering, menggunakan reaksi
padat. c) Metode hidrotermal, menggunakan reaksi hidrotermal. d) Metode alkoksida,
menggunakan reaksi hidrolisa e) Metode fluks, menggunakan reaksi peleburan garam.
Metode lain yang biasa digunakan yaitu sol gel. Metode ini dapat menghasilkan serbuk
HAp dengan ukuran butir yang relative homogen dan derajat kristalinitas tinggi
(Gergely et al., 2009). Berbagai metode sintesis dengan beberapa jenis cangkang
kerang telah banyak dilakukan. Sintesis HAp dari cangkang kerang kepah
menggunakan metode presipitasi (kimia basah-). Cangkang kerang darah direaksikan
dengan diamonium hydrogen fosfat menghasilkan HAp 71% dengan waktu
pengadukan 90 menit (Ningsih et al, 2014). Cangkang kerang ranga disintesis dengan
metode presipitasi pada suhu 80° dan sintering suhu 900° menghasilkan HAp (Balgies
et al., 2011). Metode hidrotermal digunakan untuk mensitesis HAp dari cangkang
kerang lokan. Kandungan kalsium karbonat pada kulit kerang merupakan sumber
kalsium yang dapat digunakan sebagai bahan sintesis hidroksiapatit (Khairil, 2012).
3.1.5 Kerang Kima (Hippopus dan Tridacna)
Kima termasuk kelas Bivalvia dalam Famili Cardiidae dan Sub famili
Tridacninae, terdiri dari dua genus yaitu Hippopus dan Tridacna, dan terbagi dalam 10
spesies. Genus Hippopus terbagi menjadi dua spesies, yaitu H. hippopus dan H.
porcellanus. Sedangkan untuk genus Tridacna terbagi menjadi 8 spesies, antara lain T.
gigas, T. maxima, T. crocea, T. squamosa, T. derasa, T. rosewatari, T. tevoroa, dan T.
costata. (Gambar 15) (Zakaria, 2009).
Kima mempunyai organ utama yang terdiri cangkang, mantel, penyedot
(siphon), kelenjar byssus, dan benang byssal (Gambar 14) (Kumajayati, 2015). Berikut
di bawah ini adalah penjelasan masing-masing organ utama dari kima:
1. Cangkang: kima memiliki dua cangkang simetris bilateral
2. Mantel: perbedaan paling menonjol antara kerang biasa dengan kima adalah
adanya zooxanthellae pada mantelnya. Mantel tersebut meningkatkan luas permukaan
22
untuk menerima paparan cahaya. Mantel merupakan perpanjangan dari penyedot
(siphon) inhalant and exhalant, dan juga disebut sebagai jaringan siphonal. Mantel
berisi mayoritas zooxanthellae yang nantinya akan memberikan warna pada kima.
3. Penyedot (siphon)
Penyedot inhalant: penyedot inhalant berbentuk bukaan yang memanjang.
Terkadang helai-helai tentakel mengelilingi bukaan ini. Penyedot exhalant: penyedot
exhalant berbentuk kerueut sedikit naik, yang dapat dilihat sepanjang mantel dari
penyedot inhalant. Air keluar dari rongga tubuh melalui penyedot exhalant setelah
disaring melalui insang.
4. Kelenjar byssus: berfungsi sebagai pembentuk kaki.
Kelenjar byssus menghasilkan filamen yang disebut dengan benang byssal yang
memanjang melalui bukaan kedua kanip, dan kemudian untuk menempel pada substrat.
5. Benang byssal: kima yang lebib besar, T. gigas, T. derasa, T. tevoroa, dan
Hippopus spp., akan melepaskan kelenjar ketika tumbuh. Sebagai gantinya, biota
tersebut akan menempel pada substrat dengan menggunakan benang byssal. Biota ini
akan bergantung pada ukuran dan berat untuk menahannya tetap di tempat.
Gambar 14. Morfologi dan anatomi Kima
23
Kima merupakan sumberdaya perikanan yang bernilai ekonomis tinggi,
dagingnya dapat dikonsumsi dn cangngnya dapat digunakan sebagai hiasan.
Permintaan terhadap kima (Tridacnidae) sebagai sumber protein hewani sampai saat
ini terus meningkat, sehingga populasinya di alam menurun drastis hampir di seluruh
dunia akibat pengambilan tanpa batas, termasuk juga di Indonesia (Ambriyanto, 2002).
Selain itu, Kima yang memiliki warna yang bagus, cemerlang, memiliki nilai jual yang
cukup tinggi untuk hiasan akuarium laut, pada ukuran 5-7 cm, berumur sekitar 1-2
tahun dalam kondisi kima hidup. Bahkan Lesmana dan Wahyudi (2016) mengatakan
bahwa nilai jual kima hidup berada pada kisaran US$ 4 hingga US$ 15 juta. \Bagi
negara-negara maju, akuarium laut menjadi kebangaan pada berbagai sektor sehingga
terbuka peluang besar pasar kima hidup. Negara tersebut adalah Amerika Serikat,
Jepang dan Uni Eropa, mengimpor kima hidup beserta karang dan ikan hiasnya. Kima
yang diambil dari habitatnya dimanfaatkan dalam bentuk dijual secara illegal.
Gambar 15. Jenis-jenis Kima
24
Secara total, status keberadaan kima untuk semua jenis, dikategorikan menjadi
hewan langka yang dilindungi undang-undang, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun
1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa. Konvensi
perdagangan dunia untuk jenis tanaman dan hewan liar yang terancam punah (CITES)
memasukkan golongan binatang ini dalam daftar binatang yang dilindungi sejak tahun
1983. Pada saat ini, 7 jenis kima masuk dalam Red List (terancam punah) dari
International Union for Conservation and Natural Resources (IUCN) (Tabel 2).
Tabel 2. Status perlindungan kima
25
Berbagai cara pengelolaan kima telah dilakukan, baik lokal, nasional ataupun
global. Beberapa usaha lokal diantaranya adalah pelaksanaan sosialisasi dan
penyuluhan di tingkat lokal tentang pentingnya mengelola kima agar populasinya di
alam dapat diselamatkan. Upaya perlindungan habitat dan pengawasan dilakukan
melalui kegiatan konservasi, baik secara nasional maupun daerah, sebagai salah satu
cara untuk menekan pemanfaatan yang dilakukan di area yang telah ditetapkan sebagai
kawasan konservasi. Selain konservasi, dilakukan juga upaya pemulihan stok
(restocking). Upaya pengelolaan kima juga dilakukan secara global melalui konvensi
perdagangan global bagi jenis tumbuhan dan binatang liar yang terancam punah
(CITES) dengan memasukkan kima dalam daftar hewan yang dilindungi sejak tahun
1983. Di tingkat lokal, sudah sejak lama dilakukan upaya pemanfaatan kima
berkelanjutan yang dikenal sebagai kearifan tradisional berbasis Sasi. Tradisi Sasi ini
melekat sebagai upaya lokal bersama untuk menekan pemanfaatan kima secara
besarbesaran. Tradisi Sasi memperkenalkan bagaimana pola pengaturan waktu panen
dengan metode closed-open season.
3.2 Pemanfaatan Sumberdaya Kerang secara Berkelanjutan
Masyarakat pesisir telah lama menggunakan kerang sebagai bahan obat
tradisional misalnya untuk obat penurun panas dan obat sakit kuning. Berdasarkan
pengalaman masyarakat dapat juga meningkatkan libido dan rata-rata menopause
wanita yang sering mengkonsumsi kerang masa menopausenya sangat lambat.
Beberapa jenis kerang yang dapat dimanfaatkan antara lain sebagai obat peningkatan
libido (Semele crenulata, Semele cordiformis, Isognonom isognonom, Ostrea sp.), obat
panas (Meretrix meretrix, Pitar manillae, Hiatula sinensis, Septifer bilocularis), obat
penambah darah (Barbatia decussate, Musculus cuneatus) dan obat penyakit kuning
(Lioconcha polita, Pintada maxima) (Sjafaraenan dan Umar, 2009).
Produksi sumberdaya kerang-kerangan di Indonesia terutama untuk ekspor ke
negara-negara lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2002-2013, data dari
perikanan jumlah yang diekspor mencapai 22.487 – 100.444 ton/tahun (BPS, 2015).
26
Negara China merupakan pengekspor kerang terbesar di dunia dengan rekor produksi
mencapai 13,6 juta ton/tahun sehingga menguasi 70 % penjualan perikanan di pasar
internasional. Selain itu, negara Asia lainnya yaitu Jepang, Korea Selatan dan Thailand
memberikan kontribusi yang besar pula terutama di pasar Asia. Negara-negara lainnya
yang budidaya penghasil kerang antara lain Amerika Serikat, Kanada, Chili, Perancis,
Italia dan Spanyol. Produk kerang-kerangan dalam pasar global dapat diperdagangkan
dalam keadaan segar, beku dan dalam bentuk kering (Gosling, 2004).
Peningkatan permintaan akan berbagai macam kebutuhan diikuti pula oleh
peningkatnya jumlah penduduk. Peningkatan tersebut akan mempengaruhi
peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam yang merupakan bahan baku dari
kebutuhan manusia. Pemanfaatan sumberdaya alam tanpa meperhatikan dampak
lingkungan dan cadangan dari sumberdaya alam serta aspek berkelanjutannya dapat
mengakibatkan terjadinya eksploitasi sumberdaya alam. Selain itu, upaya untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia menyebabkan perubahan atas unsur atau
komponen lingkungan hidup beserta sumberdaya alamnya (Yulianto, 2012).
Kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam menciptakan
hubungan antara sistem ekologi (ekosistem) dengan sistem sosial (masyarakat),
hubungan ini dikenal dengan sebutan sistem sosial-ekologi. Sistem sosial-ekologi
merupakan sebuah sistem ekologi yang berkaitan erat dan terpengaruh dengan satu atau
lebih sistem sosial (Anderies et al., 2004). Pengaruh sistem tersebut, dapat menjadikan
sumberdaya alam mempunyai sifatnya milik bersama. Hal ini memberi kesempatan
semua orang dapat masuk untuk memanfaatkannya dan mengakibatkan terjadi tragedi
kebersamaan karena sifat manusia ingin mendapatkan manfaat sebesar-besarnya.
Keadaan tersebut dapat mengakibatkan adanya konflik yang menyebabkan
sumberdaya alam menjadi rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi (Priyanto, 2010).
Ketersediaan sumberdaya alam sangat dibutuhkan untuk kehidupan generasi
mendatang. Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang secara berkelanjutan
diperlukan upaya pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan
mempunyai pengertian yang beragam. Undang-undang no 32 Tahun 2009 tentang
27
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi dari pembangunan
berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan
hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan. Menurut Sugandhy dan Hakim (2007)
pembangunan berkelanjutan adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak
mengabaikan sistem ekologi dan sosial di mana masyarakat bergantung kepadanya.
Suhartini (2009) menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah usaha untuk
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga pilar penting yaitu perlunya
koordinasi dan integrasi sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sumberdaya
manusia (Sugandhy dan Hakim, 2007). Beberapa hal yang dibahas dalam
pembangunan berkelanjutan antara lain yang berkaitan dengan upaya peningkatan
mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkannya, upaya
memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan daya dukung
ekosistem, meningkatkan sumberdaya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada
masa mendatang dan mempertemukan kebutuhan-kebutuhan manusia secara antar
generasi (Suhartini, 2009).
IV. PERANAN KERANG
4.1. Kerang sebagai Bionindikator Lingkungan
Bioindikator lingkungan dapat didefinisikan sebagai organisme penanda yang
kehadiranya atau perilakunya di alam berkorelasi dengan kondisi atau perubahan
komponen lingkungan. Pencemaran merupakan dampak negatif atau pengaruh yang
membahayakan terhadap kehidupan organisme dan kekayaan ekosistem serta
kesehatan manusia (Wiley, 1990). Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang
telah berubah dari bentuk asal pada keadaan yang lebih buruk. Pergeseran bentuk
tatanan dari kondisi asal pada kondisi yang buruk ini dapat terjadi sebagai akibat
28
masukan dari bahan-bahan pencemar atau polutan. Bahan polutan tersebut pada
umumnya mempunyai sifat racun atau toksik yang berbahaya bagi organisme.
Toksisitas atau daya racun dari polutan itulah yang kemudian menjadi pemicu
terjadinya pencemaran (Palar, 1994).
Dalam undang-undang lingkungan hidup dijelaskan bahwa suatu tatanan
lingkungan hidup dikatakan tercemar apabila dalam tatanan lingkungan hidup itu
masuk atau dimasukkan suatu benda lain yang kemudian memberikan pengaruh buruk
terhadap bagian-bagian yang menyusun tatanan lingkungan hidup itu sendiri, sehingga
tidak dapat lagi hidup sesuai dengan aslinya (Kristanto, 2002). Pada tingkat lanjutnya
bahkan dapat menghapuskan satu atau lebih dari mata rantai dalam tatanan tersebut.
Sedangkan suatu pencemar atau polutan adalah setiap benda, zat, ataupun organisme
hidup yang masuk dalam suatu tatanan alami dan kemudian mendatangkan perubahan-
perubahan yang bersifat negatif terhadap tatanan yang dimasukinya (Palar, 1994).
Bila ditinjau dari asalnya, maka bahan pencemar yang masuk ke ekosistem laut
dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1. Berasal dari laut itu sendiri, misalnya pembuangan sampah air ballas dari
kapal, lumpur, buangan dari kegiatan pertambangan di laut.
2. Berasal dari kegiatan-kegiatan di daratan. Bahan pencemar dapat masuk ke
ekosistem laut melalui udara atau terbawa oleh air (sungai, sistem drainase)
Semakin meningkatnya perkembangan sektor industri dan transportasi baik
industri minyak dan gas bumi, pertanian, industri kimia, industri logam dasar, industri
jasa dan jenis aktivitas manusia lainnya, maka semakin meningkat pula tingkat
pencemaran pada perairan, udara, dan tanah akibat berbagai kegiatan tersebut. Pada
saat ini, pencemaran terhadap lingkungan berlangsung di manamana dengan laju yang
sangat cepat. Sekarang ini beban pencemaran dalam lingkungan sudah semakin berat
dengan masuknya limbah industri dari berbagai bahan kimia termasuk logam berat.
Kerang merupakan salah satu biota laut yang dapat sebagai monitoring
pencemaran logam berat pada lingkungan perairan. Dalam memonitor pencemaran
logam, analisis biota air sangat penting (Gosling, 2004). Spesies monitor kimiawi
29
biasanya digunakan untuk makhluk yang membioakumulasi zat beracun yang berada
dalam jumlah runutan dalam lingkungan. Analisis kimia spesies ini kemudian
mencirikan adanya zat beracun dalam lingkungan secara efektif daripada analisis
langsung suatu sampel lingkungan.
Indikator biologis merupakan petunjuk ada tidaknya kenaikan keadaan
lingkungan dari garis dasar, melalui analisis logam atau kandungan senyawa kimia
tertentu yang terdapat dalam hewan atau tanaman. Indikator biologis dapat ditentukan
pada hewan atau tanaman yang terletak pada daur pencemaran lingkungan sebelum
sampai kepada manusia (Putri et al., 2012). Mokogouw (2008) telah membahas secara
seksama penggunaan spesies monitor kimiawi, menyatakan bahwa mollusca
(Gastropoda, Bivalvia) dan Makroalgae merupakan indikator yang paling tepat dan
efesien untuk pencemaran logam berat, ia melaporkan bahwa sifat dasar suatu spesies
monitor adalah sebagai berikut:
1. Makhluk hidup harus mengakumulasi pencemaran tanpa terbunuh pada kadar
yang dihadapi dalam lingkungan.
2. Makhluk hidup harus yang senang menggali lubang agar supaya mewakili
daerah studinya.
3. Makhluk hidup harus banyak jumlahnya dalam seluruh daerah tersebut.
4. Makhluk hidup harus cukup panjang waktu hidupnya untuk memungkinkan
pengambilan sampel lebih dari satu tahun bila dikehendaki.
5. Makhluk hidup harus cukup besar, memberikan jaringan yang cukup dianalisis.
6. Makhluk hidup harus mudah disampel dan cukup kuat untuk selamat dalam
laboratorium, yang memungkinkan pembersihan sebelum dianalisis bila
dikehendaki, dan studi laboratorium terhadap pengambilan (up-take).
7. Makhluk hidup harus toleran terhadap air payau.
8. Suatu korelasi yang sederhana harus ada antara pencemaran yang ada dalam
mahkluk hidup dan rata-rata kepekatan pencemaran dalam air sekelilingnya.
30
9. Seluruh mahkluk hidup dari spesies tertentu yang digunakan dalam survey harus
memiliki korelasi yang sama antara kandungan pencemarannya dengan rata-rata.
Kepekatan pencemar dalam air sekelilingnya pada seluruh lokasi yang dipelajari.
Penggunaan kerang sebagai biomonitoring karena jenis kerang tersebut hidup
menetap (sessil), organisme penyaring makan (filter feeder) dan mempunyai sifat
mengakumulasi bahan-bahan pencemar seperti pestisida, hidrokarbon, logam berat dan
lain-lain kedalam jaringan tubuh. Selain itu kerang yang hidup di daerah intertidal juga
merupakan organisme yang eurihaline (organisme yang mampu hidup pada kisaran
lebar salinitas), teradaptasi serta mempunyai toleransi yang besar terhadap berbagai
variasi dan perubahan parameter atau sifat lingkungan.
Logam berat dapat masuk kedalam tubuh kerang melalui saluran pernapasan
dan pencernaan. Absorbsi logam melalui saluran pernapasan biasanya lebih cukup
besar dan absorbsi melalui saluran pencernaan hanya beberapa persen saja, tetapi
jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya cukup besar, meskipun
persentasi absorbsinya relatif kecil (Darmono, 2001).
Kerang yang bersifat stasioner dapat di pakai sebagai bioindikator lingkungan.
Kondisi perairan tercemar dapat diteliti melalui pengukuran berbagai jenis kontaminan
yang terakumulasi dalam organisme laut misalnya kerang. Kawasan perairan yang
tercemar logam berat dalam jangka panjang akan mengakibatkan akumulasi pada
insang kerang yang berfungsi menyaring partikel organik dan pada hepatopankreas
yang bertugas dalam detoksifikasi tubuh (Beldi et al., 2006).
Menurut kriteria yang digunakan Fitriyah (2007) bahwa pemilihan hewan
kerang dapat dijadikan sebagai indikator biologis antara lain karena mobilitas dari
hewan kerang yang terbatas sehingga kerang relatif menetap di suatu kawasan secara
terus menerus, mudah diidentifikasi karena ukuran tubuhnya relatif besar, mempunyai
distribusi yang luas, termasuk hewan yang menetap didalam sedimen dan dapat
mengakumulasi logam berat, serta perubahan lingkungan yang tidak sesuai dengan
habitat hewan kerang akan mempengaruhi keanekaragaman jenis dan sebarannya.
31
Perubahan lingkungan perairan yang tercemar akan mempengaruhi
kelangsungan hidup hewan kerang karena hewan ini mempunyai mobilitas yang
terbatas dan mudah terpengaruhi oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemar
fisik (suhu, pH, tekstur sedimen salinitas, dan kandungan bahan organik di sedimen),
serta kimia (pH, O2, CO2) (Indriana et al., 2011). Menurut Riniatsih dan Widianingsih
(2007) dengan mempelajari komposisi jenis pada suatu perairan dapat menggambarkan
kondisi perairannya telah tercemar atau belum tercemar.
Keanekaragaman organisme perairan terutama kerang dapat menunjukkan
kondisi perairan. Bila kualitas air dalam suatu perairan rendah atau tidak baik akan
menyebabkan penurunan akan keanekaragaman jenis, sebaliknya perairan dengan
kualitas air yang masih baik dapat mendukung keanekaragaman jenis yang menempati
lingkungan tersebut. Di kawasan perairan yang belum tercemar akan menunjukkan
jumlah individu yang seimbang dari hampir jumlah jenis yang ada, sebaliknya bila
perairan tercemar penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada jenis
yang mendominansi (Iswanti et al., 2012).
4.2 Parameter Lingkungan yang mempengaruhi Kerang
Parameter lingkungan perairan seperti parameter fisika kimia pada umumnya
mempengaruhi keberadaan, distribusi, dan merupakan penunjang kehidupan kerang
pada suatu lingkungan perairan. Beberapa parameter tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Suhu
Suhu merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital, yang secara umum
disebut metabolisme, hanya berfungsi di dalam kisaran suhu yang relatif sempit.
Karena sebagian besar organisme laut juga bersifat poikilometrik dan suhu air laut
bervariasi menurut garis lintang, maka penyebaran organisme laut sangat mengikuti
perbedaan suhu lautan secara geografik (Nybakken, 1988).
32
Peningkatan suhu mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air, seperti
gas O2, CO2, N2, CH4, dan sebagainya (Effendi, 2003). Selain itu peningkatan suhu
juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme
akuatik, dan selanjutnya menyebabkan pengingkatan konsumsi oksigen. Peningkatan
suhu juga disertai dengan penurunan kelarutan kadar oksigen terlarut sehingga
keberadaan oksigen seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi
organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Suhu
permukaan air laut cenderung homogen. Hal ini dikarenakan adanya proses
pencampuran massa air yang diakibatkan oleh adanya angin, arus, dan pasang-surut
(Nontji, 2006). Kerang-kerangan dapat tumbuh dengan baik di area yang memiliki
suhu 24,5-30ºC (Dharmaraj et al., 2004).
2. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan. Salinitas
menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi
menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan
organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (‰)
(Effendi, 2003). Menurut Nybakken (1988), salinitas memiliki peranan penting dalam
kehidupan organisme, misalnya dalam distribusi biota akuatik dan salinitas merupakan
salah satu besaran yang berperan dalam lingkungan ekologi laut. Salinitas pada
kedalaman 100 meter pertama, dapat dikatakan konstan walaupun terdapat sedikit
perbedaan, tetapi tidak mempengaruhi ekologi secara nyata. Salinitas yang baik bagi
perkembangan simping adalah 18-38 ‰ (Dharmaraj et al., 2004).
3. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan secchi disk. Keadaan cuaca, kekeruhan air, dan waktu
pengamatan sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Pengukuran sebaiknya
dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003). Kecerahan pada perairan turbulen
ini lebih kecil dibandingkan daerah laut terbuka. Kumpulan partikel-partikel sisa baik
dari daratan, dari potongan-potongan klep dan rumput laut, ditambah kepadatan
33
plankton yang tinggi akibat melimpahnya nutrien menyebabkan terhambatnya
penetrasi cahaya matahari sampai beberapa meter (Nybakken, 1988). Nilai kecerahan
≥ 3 m merupakan baku mutu air laut yang diperbolehkan untuk biota laut (Kep.Men
LH no 51 tahun 2004).
4. Ph
Ph sangat penting sebagai parameter kualitas air karena mengontrol tipe dan laju
kecepatan reaksi beberapa bahan air. selain itu ikan dan makhluk-makhluk akuatik
lainnya hidup pada selang Ph antar 7-8.5. besar ph berkisar 0 (sangat asam) sampai
dengan 14 (sangat basa). nilai ph kurang dari 7 menunjukkan lingkungan asam, nilai
diatas 7menunjukkan lingkungan basa, dan ph =7 disebut sebagai netral. penambahan
kadar organik ke dalam perairan akan menurunkan nilai air ph yang disebabkan
penguraian bahan organik yang menghasilkan CO2 (Sastrawijaya, 1991).
5. Total Suspended Solid (TSS)
Padatan tersuspensi total adalah bahan bahan yang tersuspensi (diameter > 1
μm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama
disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Bahan-
bahan tersuspensi dalam perairan alami tidak bersifat toksik, namun jika berlebihan
akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom perairan dan akhirnya akan
berpengaruh terhadap proses fotosintesis perairan (Effendi, 2003).
6. Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang larut dalam air. Oksigen
sangat essensial untuk respirasi dan merupakan salah satu komponen utama bagi
metabolisme ikan dan organisme lain yang berasal dari proses fotosintesis fitoplankton
dan tanaman air serta difusi udara. Menurut Odum (1993) kandungan oksigen terlarut
sangat penting bagi makrozoobenthos, terutama dalam proses respirasi dan
dekomposisi bahan organik. Menurunnya kandungan oksigen akan menyebabkan
kematian spesies-spesies yang sensitif terhadap penurunan oksigen dan digantikan
spesies yang lebih adaptif. Kerang simping dapat tumbuh dengan baik pada kadar
oksigen terlarut antara 2.5-5 mg/l.
34
7. Chemical Oxygen Demand (COD)
COD mengambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara
biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis menjadi CO2 dan H2O. Pada
prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat
(Cr2O7) yang diperlukan untuk mengoksidasi air sampel. Nilai COD pada perairan
yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang
tercemar dapat lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000
mg/l (Effendi, 2003).
8. Nitrat-nitrogen
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien
utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Senyawa ini dihasilkan dari proses
oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Kadar nitrat-nitrogen pada perairan
alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l
menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas
manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan
terjadinya pengayaan perairan, yang selanjutnya dapat menstimulir pertumbuhan algae
(blooming).
Nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik (Effendi, 2003).
Nitrogen anorganik dalam laut yang dimanfaatkan oleh tumbuhan berupa nitrat, nitrit
dan ammonia. Beberapa senyawa organik yang mengandung nitrogen dapat langsung
dimanfaatkan oleh fitoplankton. Namun pada umumnya senyawa organik tersebut
pada umumnya cepat terurai menjadi ammonia. Dari ketiga senyawa organik tersebut,
nitrat cenderung memiliki kadar yang paling tinggi. Nitrat merupakan nutrien utama
bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi
sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi, 2003).
9. Ortofosfat
Salah satu bentuk fosfat yang terdapat di perairan adalah ortofosfat (PO4P).
Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang paling sederhana di perairan. Ortofosfat
35
merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan akuatik.
Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai keberadaan nitrogen dapat
menstimulir ledakan pertumbuhan algae di perairan. Dalam perairan alami kadar
ortofosfat tidak boleh lebih dari 0,1 mg/l (Effendi, 2003).
10. Plankton
Fitoplankton adalah tumbuhan yang melayang dilaut dan memiliki ukuran
mikroskopik. Fitoplankton pada umumnya berupa individu bersel tunggal, namun ada
beberapa yang juga yang membentuk rantai. Fitoplankton mengandung klorofil yang
membuatnya memiliki kemampuan berfotosintesis, yaitu menyadap energi matahari
untuk mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik. Bahan organik inilah yang
menjadi makanan fitoplankton serta sebagai sumber energi yang menghidupkan
seluruh fungsi ekosistem di laut. Kelimpahan fitoplankton tidak hanya merupakan
respon terhadap cahaya matahari dan suhu tetapi tak kalah pentingnya adalah hara nitrat
(Nontji, 2006).
Zooplankton terdiri dari bermacam larva yang bersifat planktonik dan bentuk
dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan (Nybakken, 1988). Sesuai dengan
daur hidupnya zooplankton terdiri dari dua kelompok yaitu meroplankton dan
holoplankton. Meroplankton ialah zooplankton yang menghabiskan sebagian daur
hidupnya berupa plankton, khususnya pada tingkat larva. Sedangkan holoplankton
merupakan zooplankton yang seluruh daur hidupnya bersifat planktonik seperti
Copepoda, Rotaria, dan Chaetognatha.
11. Substrat
Pergerakan ombak dapat menentukan tipe partikel yang terkandung.
Pergerakan ombak yang kuat memindahkan partikel halus sebagai suspensi dan
menyisakan pasir. Jadi sedimen lumpur yang baik hanya dapat terbentuk pada dasar
yang pergerakan ombaknya rendah atau letaknya lebih dalam sehingga tidak terlalu
terpengaruh oleh ombak (Nybakken, 1992). Kerang banyak ditemukan di perairan
yang bersubstrat pasir maupun berlumpur.
36
12. Arus
Arus mempunyai pengaruh positif maupun negatif terhadap biota perairan. arus
dapat mengakibatkan jaringan-jaringan jasad hidup yang tumbuh di daerah itu dan
partikel-partikel dalam suspesi dapat menghasilkan pengikisan. Di perairan dengan
dasar lumpur, arus dapat ,emhaduk endapan lumpur sehingga mengakibatkan
kekeruhan air dan mematikan biota laut. arus yang mengakibatan kekeuruhan
meningkat dapat menyebabkan pengurangan penetrasi sinar matahari dan mengurangi
aktivitas fotosintesa (Nybakken, 1988).
37
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, I. 2017. Pemanfaatan Limbah Cangkang Kerang Darah (Anadara Granosa)
Sebagai Bahan Abrasif Dalam Pasta Gigi. Jurnal Galung Tropika, 6 (1) April:
49 – 59.
Ambariyanto. 2002. Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan populasi alam kima di
Indonesia. Prosiding Konas III Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan,
Denpasar, Bali. 21-24 Mei 2002.
Anderies, J. M., M. E. Janssen. and E. Ostrom. 2004. A Framework To Analyze The
Robustness Of Social-Ecological System From An Institutional Perspective.
Journal Ecology and Society. 9 (1):1-9.
Armando, A. W. 2013. Pemanfaatan Limbah Kulit Kerang Simping menjadi Elemen
Estetika Bangunan. Artikel Ilmiah. Universitas Brawijaya. Malang.
Awang-Hazmi A.B.Z, Zuki M. M, Nurdin A,. Jalila, and Norimah Y. 2005. Mineral
Composition of the Cokle (Anadara granosa) Shells of West Coast of Peninsular
Malaysia and It’s Potential as Biomaterial for Use in Bone Repair. J. Anm. Vet.
Adv., 6 (5): 591-594.
Bachok, Z., P. L. M. Linge. and M. Tsuchiya. 2006. Food Sources of Coexisting
Suspension Feeding Bivalves as Indicated by Fatty Acid Biomarkers, Subjected
to the Bivalves Abundance on a Tidal Flat. Journal of Sustainability Science and
Management. 1: 92-111.
Balgies, S. U. D. and Dahlan, K. 2011. Sintesis dan Karakterisasi Hidroksiapatit
Menggunakan Analisis X-Ray Diffraction. In Prosiding Seminar Nasional
Hamburan Neutron dan Sinar-X ke (Vol. 8). Serpong.
Barnes, R. D. And E. E. Ruppet. 1994. Invertebrata Zoology. Sixth Edition. Unites
States of Amerika.
Beldi, H., F. Gimbert, S. Maas., R. Scheifl. and N. Soltani. 2006. Seasonal Variations
of Cd, Cu, Pb and Zn in the Edible Mollusc Donax Trunculus (Mollusca,
Bivalvia) from the gulf of Annaba, Algeria. Africa Journal Agric. 1 (4): 85-90.
BPS, 2015. Ekspor Kepiting Dan Kerang-kerangan. Available:
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1020. Openend: 10 Oktober 2015.
Campbell, N. A., J. B. Reece. and L. G. Mitchell. 2003. Biologi Edisi Kelima Jilid II.
PT Gelora Aksara Pratama. Jakarta.
Cappenberg, H. A. W., A. Aznam. dan I. Aswandy. 2006. Komunitas Moluska Di
Perairan Teluk Gilimanuk, Bali Barat. Jurnal Oseanologi dan Limnologi. 40: 53-
64.
38
Carpenter, K.E. and Volker H. Niem. 2002. The Living Marine Resources Of The
Western Central Atlantic Vol. 1. Food And Agriculture Organization Of The
United Nations, Roma. Pp 25-92.
Dahlan, K. 2013. Potensi Kerang Ranga Sebagai Sumber Kalsium Dalam Sintesis
Biomaterial Subtitusi Tulang. Prosiding Semirata FMIPA, Universitas Lampung
Dame, R.F. 1996. Ecology Marine Bivalves An Ecosystem Approach. CRC Press. New
York.
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungannya dengan
Toksikologi Senyawa Logam. UI Press. Jakarta.
Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia Indonesian Shell. Jakarta. PT. Sarana
Graha.
Dharmaraj, S. K. S and C. P . Suja. 2004. Larva Rearing and Spat Production of
Windowpane Shell Placuna placenta. Aquacultur Asia. Vol 9 : 20 – 24
DJPT. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2010. Direktorat Jendral Perikanan
Tangkap.Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Effendie. 2003. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama: Bogor.
Elliot, N.G. 2000. Genetic improvement programs in Abalone: what is the future.
Aquaculture Research, 31: 51-59.
Fitriah, E., Maryuningsih, Y., Roviati, E., 2018. Pemanfaatan Daging dan Cangkang
Kerang Hijau (Perna Viridis) Sebagai Bahan Olahan Pangan Tinggi Kalsium.
The 7th University Research Colloqium 2018 STIKES PKU Muhammadiyah
Surakarta.
Fitriyah, K. R. 2007. Studi Pencemaran Logam Berat Kadmium (Cd), Merkuri (Hg)
dan Timbal (Pb) Pada Air Laut, Sedimen dan Kerang Bulu (Anadara aniquata) di
PerairanPantai Lekok Pasuruan (skripsi). Malang: Universitas Islam.
Gergely, G., Wéber, F., Lukács, I., Tóth, A. L., Horváth, Z. E., Mihály, J., & Balázsi,
C. 2009. Preparation and characterization of hydroxyapatite from eggshell.
Ceramics International, 36 (2), 803-806.
Gosling, E. 2004. Bivalve Mollusc Biology, Ecology and Culture. Fishing News Books
An imprint of Blackwell Science.
Hutabarat, S. dan S. M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Indriana, L. F., S. Anggoro. dan I. Widowati. 2011. Studi Kandungan Logam Berat
Pada Beberapa Jenis Kekerangan Dari Perairan Pantai Di Kabupaten Flores
Timur. Jurnal Perikanan. 8 (1): 44-50.
39
Iswanti, S., S. Ngabekt. dan N. K. T. Martuti. 2012. Distribusi dan Keanekaragaman
Jenis Makrozoobentos di Sungai Damar Desa Weleri Kabupaten Kendal. Unnes
Journal of Life Science. 1 (2): 86-93.
Karnkowska EJ. 2004. Some aspects of nitrogen, carbon and calcium accumulation in
mollusks from the Zegrzynski reservoir ecosystem. Polish Journal of
Environmental Studies 14 (2):173-177
Kehoe, S. 2008. Optimisation of Hydroxyapatite (HAp) for Orthopaedic Application
via the Chemical Precipitation Technique, Thesis, School of Mechanical and
Manufacturing Engineering, Dublin City University.
Kristanto. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: AndiYogyakarta.
Kumajayanti, B. 2015. Kima Biota Eksotik Perairan Indo-Pasifik. Osea na, Volume
XL, Nomor4, Tabun 2015: 11-21
Lesmana, D. dan Y. Wahyudin. 2016. Pemanfaatan Kima secara Berkelanjutan. Jurnal
Mina Sains ISSN: 2407-9030 Volume 2 Nomor 1: 1-16.
Lind, C.E., Evans, B.S., Knauer, J., Taylor, J.J.U., and Jerry, D.R. 2009. Decreased
genetic diversity and a reduced effective population size in cultured silver-lipped
paerl oysters (Pinctada maxima). Aquaculture, 286: 1219.
Mokoagouw, D. 2008. Indeks Keanekaragaman Biota Perairan Sebagai Indikator
Biologis Pencemaran Logam Berat di Perairan Pantai Bitung, Sulawesi Utara.
Jurnal Ekoton. 8 (2): 31-40.
Ningsih, R. P., Wahyuni, N., and Destiarti, L. 2014. Sintesis Hidroksiapatit dari
Cangkang Kerang Kepah (Polymesoda Erosa) dengan Variasi Waktu
Pengadukan. Jurnal Kimia Khatulistiwa, 3(1), 22-26.
Nontji, A. 2007. Laut nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nurjanah. Zulhansyah. dan Kustiyariyah. 2005. Kandungan Mineral dan Proksimat
Kerang Darah (Anadara granosa (L.)) yang Diambil dari Kabupaten
Boalemo, Gorontalo dalam Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol. 8
Nybakken, J. W. 1988. Ekologi Laut Suatu Pendekatan Ekolgi. PT. Gramedia. Jakarta.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Penerjemahan: Samingan, T dan B.
Srigandono. Gajahmada University Press. Yogyakarta. 697 p.
Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.
Pertanian Bogor.
Pipih, S., Yanuarizki O., dan Nurjanah. 2013. Aktivitas Antioksidan dan Komponen
Bioaktif Kerang Simping (Amusium pleuronectes). Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia. Vol 16, No 3. Hal 242-248.
40
PKSPL. 2004. Penelitian dan Pengembangan Budidaya Perikanan (Kerang darah) di
Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Kerjasama BAPPEDA dan PKSPL.
Laporan Penelitian
Poernomo, S.H. 2008. Mengangkat mutiara yang terbenam. Majalah Samudra, Edisi
10. http://majalahsamudra.at.ua/news/200812-10-4 diakses tanggal 19 Maret
2012.
Prawirohartono, S. 2003. Sains Biologi 1. PT. Bumi Aksara. Jakarta
Priyanto, D. A. 2010. “Analisis Pengembangan Desa-desa Pantai Bagi Pengelolaan
Konflik Penangkapan Ale-ale (Meretrix spp.) di Perairan Ketapang Kalimantan
Barat” (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro.
Putri, R A.,T. Haryono. dan S. Kuntjoro. 2012. Keanekaragaman Bivalvia dan
Peranannya Sebagai Bioindikator Logam Berat Kromium (Cr) di Perairan
Kenjeran, Kecamatan Bulak Kota Surabaya. Jurnal Lentera Biologi. 1 (2): 87-
91.
Riniatsih, I. dan E. W. Kushartono. 2008. Substrat Dasar dan Parameter Oseanoghrafi
Sebagai Penentu Keberadaan Gastropoda dan Bivalvia di Pantai Sluke
Kabupaten Rembang. Jurnal Ilmu Kelautan, 14(1):50-59.
Riniatsih, I. dan Widianingsih. 2007. Kelimpahan Dan Pola Sebaran Kerang-Kerangan
(Bivalve) di Ekosistem Padang Lamun, Perairan Jepara. Jurnal Kelautan. 12 (1):
53-58.
Rose, R.A., Dybdahl, R.E., & Harders, S. 1990. Reproduktive cycle of the western
Australian Silver Lip pearl oyster Pinctada maxima (Jameson) (Mollusca;
Pteriidae). J. Shellfish Res., 9: 261-272.
Sanusi H. S. 2006. “Kimia Laut (Proses Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan)
” (tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sastrawijaya, A. Tresna. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Setyobudiandi. 2004. Sumberdaya Hayati Moluska Kerang Mytilidae. Laboratorium
Manajemen Sumberdaya Perikanan. Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institusi Pertanian Bogor.
Bogor. 88 hal.
Setyono, D. E. D. 2006. Karakteristik Biologi dan Produk Kekerangan Laut. Jurnal
Oseana. 31 (1) :1–7.
Shumway, S.E and G.J. Parsons. 2006. Scallop: Biology, Ecology and Aquaculture
Second Edition. Elsevier. Pp 1439.
Sitorus, D. B. 2008. “Keanekaragaman Dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya
Dengan Faktor Fisik-Kimia Di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang”
(tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara.
41
Sjafaraenan. dan M. R. Umar. 2009. Kajian Keragaman Genetik Jenis-jenis Kerang
Yang Digunakan Sebagai Obat Tradisional Masyarakat Kabupaten Musa
Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Pemberdayaan Sains MIPA Dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam. 1 : 1-12.
Soeharmoko. 2010. Inventaris Jenis Kekerangan Yang Di Konsumsi Masyarakat Di
Kepulauan Riau. Jurnal Dinamika Maritim. 2 (1): 45-52.
Sugandhy, A. dan H. Hakim. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhartini. 2009. Peran Konservasi Keanekaragaman Hayati Dalam Menunjang
Pembangunan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta.
Supii, A.I dan I.W. Arthana. Studi Kualitas Perairan Pada Kegiatan Budidaya Tiram
Mutiara (Pinctada Maxima) Di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali.
Ecotrophic 4 (1) : 1 – 7. ISSN: 1907-5626
Suprijanto, J dan I. Widowati. 2007. Karakteristik Biometrika Kerang Simping
Amusium pleuronectes dari Beberapa Daerah di Pantai Utara Jawa Tengah.
Dalam: Prosiding Seminar Nasional Moluska Dalam Penelitian, Konservasi dan
Ekonomi di Semarang 17 Juli 2007. Pp. 207-214
Taufiq, N , Retno H, Justin C dan Jussac MM. 2007. Pertumbuhan Tiram Mutiara
(Pinctada maxima) pada Kepadatan Berbeda. Ilmu Kelautan UNDIP. Maret
2007. Vol. 12 (1) : 31 – 38 ISSN 0853 – 7291.
Tobing. E.R Mangisi, CaO dan MgO Sebagai Katalisator Terhadap Reaksi
Transesterifikasi Minyak Jarak (Ricinus Communis) Menjadi Metil Ester Asam
Lemak, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sumatera Utara, 2009.
Tongchan, P., Prutipanlai, S., Niyomwas, S., and Thongraung, C. 2009. Effect of
Calcium Compound Obtained from fish by-product on Calcium Metabolism in
Rats. Journal Food Agriculture-Industry. Vol. 2, No. 4. pp 669-676.
Tri, A.W., Ratnawati, Wibowo, B. A., Hutabarat, J. 2011. Pemanfaatan Cangkang
Kerang Simping (Amusium pleuronectes) Sebagai Sumber Kalsium Pada Produk
Ekstrudat. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol XIV. No 2. Hal
134-142.
Wada, K.T. 2000. Genetic improvement of stocks of the pearl oyster. In: Fingerman,
M. & Nagabhusanam (eds). Recent Advance in Marine Biotechnology. Volume
IV, Aquaculture Part A, Seaweeds and Invertebrates. Science Publisher Inc.,
New Hampshire, USA, p. 75-85.
42
Widowati, I., J. Suprijanto, I. Susilowati, T. W. Agustini and A. B. Raharjo. 2008.
Small Scale Fisheries of The Asian Moon Scallop Amusium pleuronectes in the
Brebes Coast, Central Java, Indonesia. ICES CM 2008/K:08. Pp 17. View
Wiley, W. A. 1990. Water Pollution Biology. Ellis Horwood Limited. New York.
Yulianto, A. R. 2012. ”Pemanfaatan Bulu Babi Secara Berkelanjutan Pada Kawasan
Padang Lamun” (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.
Zakaria, 2009. Kajian Bio-ekologi Kima (Tridacnidae) dan Teknologi Budidayanya di
perairan Sumatara Barat. Laporan Penelitian Hibah Kompetensi Unggulan
Strategis Nasional. UNAND