Post on 10-Feb-2021
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
i 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
2-TRIK: TUNAS-TUNAS RISET KESEHATAN
Diterbitkan oleh: WAHANA RISET KESEHATAN
Penanggungjawab: Ketua Wahana Riset Kesehatan
Ketua Dewan Redaksi: Heru SWN
Anggota Dewan Redaksi: Koekoeh Hardjito
Sunarto Subagyo
Tutiek Herlina
Sekretariat: Winarni
Nunik Astutik
Alamat: Jl. Raya Danyang-Sukorejo
RT 05 RW 01 Desa Serangan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo
Telp. 085235004462, 081335718040 E-mail: 2trik2trik@gmail.com Website: www.2trik.webs.com
Penerbitan perdana: Desember 2011 Diterbitkan setiap tiga bulan
Harga per-eksemplar Rp. 30.000,00
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL
Kami menerima artikel asli berupa hasil penelitian atau tinjauan hasil penelitian kesehatan, yang belum pernah dipublikasikan, dilengkapi dengan: 1) surat ijin atau halaman pengesahan, 2) jika peneliti lebih dari 1 orang, harus ada kesepakatan urutan peneliti yang ditandatangani oleh seluruh peneliti. Dewan Redaksi berwenang untuk menerima atau menolak artikel yang masuk, dan seluruh artikel tidak akan dikembalikan kepada pengirim. Dewan Redaksi juga berwenang mengubah artikel, namun tidak akan mengubah makna yang terkandung di dalamnya. Artikel berupa karya mahasiswa (karya tulis ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, dsb.) harus menampilkan mahasiswa sebagai peneliti utama.
Persyaratan artikel adalah sebagai berikut: 1. Diketik pada ukuran HVS A4 bermargin kiri, kanan, atas, dan
bawah masing-masing 3,5 cm, dalam satu kolom, menggunakan huruf Arial 9, maksimum 10 halaman.
2. Naskah dikirim berupa softcopy melalui 2trik2trik@gmail.com .
Isi artikel harus memenuhi sistematika sebagai berikut: 1. Judul ditulis dengan ringkas dalam Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris tidak lebih dari 14 kata, menggunakan huruf kapital dan dicetak tebal pada bagian tengah.
2. Nama lengkap penulis tanpa gelar ditulis di bawah judul, dicetak tebal pada bagian tengah. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis.
3. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Judul abstrak menggunakan huruf kapital di tengah dan isi abstrak dicetak rata kiri dan kanan dengan awal paragraf masuk 1 cm. Di bawah isi abstrak harus ditambahkan kata kunci.
4. Pendahuluan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan dan paragraf masuk 1 cm.
5. Metode Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Isi bagian ini disesuaikan dengan bahan dan metode penelitian yang diterapkan.
6. Hasil Penelitian ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Kalau perlu, bagian ini dapat dilengkapi dengan tabel maupun gambar (foto, diagram, gambar ilustrasi dan bentuk sajian lainnya). Judul tabel berada di atas tabel dengan posisi di tengah, sedangkan judul gambar berada di bawah gambar dengan posisi di tengah.
7. Pembahasan ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm. Pada bagian ini, hasil penelitian ini dibahas berdasarkan referensi dan hasil penelitian lain yang relevan .
8. Simpulan dan Saran ditulis dalam Bahasa Indonesia rata kiri dan kanan, paragraf masuk 1 cm.
9. Daftar Pustaka ditulis dalam Bahasa Indonesia, bentuk paragraf menggantung (baris kedua dan seterusnya masuk 1 cm) rata kanan dan kiri. Daftar Pustaka menggunakan Sistem Harvard.
Redaksi
Vol. V No. 1 Halaman 1 - 65 Februari 2015 ISSN: 2089-4686
http://gmail.com/mailto:2trik2trik@gmail.com
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
ii 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
EDITORIAL
Para pembaca yang berbahagia, kita bertemu kembali dengan 2-TRIK yang kini merupakan penerbitan Volume V Nomor 1 bulan Februari 2015. Kami sampaikan rasa terimaksih kepada para sejawat peneliti yang telah mempublikasikan karya-karya bermutu pada nomor ini antara lain dari Surabaya, Sidoarjo, Magetan, dan Bandung. Semoga karya-karya tersebut dapat menjadi sumber yang berguna bagi kemajuan IPTEK kesehatan di tanah air kita.
Anda dapat mengunduh isi jurnal ini melalui www.2trik.webs.com atau dalam bentuk ringkas dapat dilihat di portal PDII LIPI. Semoga kita bisa berjumpa kembali pada volume berikutnya pada bulan Mei 2015 mendatang. Terimakasih.
Redaksi
DAFTAR JUDUL
1 IDENTIFIKASI GEJALA KLINIK DAN RADIOLOGI TUMOR OTAK DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
M. Arief Ardanu, Sri Andreani U, Yudha Haryono
1-6
2 HUBUNGAN EFIKASI DIRI DENGAN STRES MAHASISWA MENJALANKAN PEMBELAJARAN KLINIK
Suprianto
7-11
3 FAKTOR USIA DAN PARITAS IBU HAMIL DALAM KEJADIAN BBLR Suparji, Deni Triasmorowati, Nurlailis Saadah
12-18
4 EFEK ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum) TERHADAP METHICILLIN-RESISTANT Staphylococcus aureus (MRSA)
Prita Aji Malinda, Arifa Mustika, Kuntaman
19-24
5 GAMBARAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI IBU HAMIL TRIMESTER III DALAM MELAKUKAN SENAM HAMIL
Anis Sitoresmi Anjasmoro, Tinuk Esti Handayani, Agung Suharto
25-28
6 KAJIAN FAKTOR-FAKTOR FERTILITAS YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEINGINAN WANITA DALAM MENAMBAH ANAK
Sehmawati
29-34
7 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN IBU BERSALIN DI POLINDES PLUMPINGREJO WONOASRI MADIUN
Siti Nurjanah, Astuti Setiyani, Subagyo
35-40
8 KAPORIT BAGI PERENANG Sri Poerwati
41-48
9 PENGARUH PIJAT BAYI TERHADAP PENINGKATAN BERAT BADAN BAYI USIA 3-5 BULAN DI BIDAN PRAKTEK MANDIRI (BPM) KABUPATEN MAGETAN
Tinuk Esti Handayani, Agung Suharto, N. Surtinah
49-54
10 PERANCANGAN “LABORATORIUM MAYA SDIDTK” DALAM PEMBELAJARAN STIMULASI, DETEKSI, DAN INTERVENSI DINI TUMBUH KEMBANG ANAK
Heru Santoso Wahito Nugroho, Sunarto, Suparji
55-65
http://www.2trik.webs.com/
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
1 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
IDENTIFIKASI GEJALA KLINIK DAN RADIOLOGI TUMOR OTAK DI RSUD DR.
SOETOMO SURABAYA
M. Arief Ardanu (Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Univeristas Airlangga, Surabaya)
Sri Andreani U (Departemen Radiologi
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya) Yudha Haryono
(Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Soetomo, Surabaya)
ABSTRACT
Introduction: Brain tumor is a mass that is the results of uncontrolled cell growth in the brain. Brain tumors are the second leading cause of death after stroke in a group of neurological diseases and it can be experienced by all ages. Objective: Studying overview of clinical symptoms and radiological examination in patients with brain tumor. Method: This is a descriptive study design at Departemen Saraf A RSUD Dr. Soetomo Surabaya, on brain tumor patients were diagnosed by Radiological and/or Pathological Anatomy examination. The data was collected from medical records of all brain tumor patients who appropriate with inclusion criteria during study period on 2011-2012. Result: There are 114 samples in this study, 63 are women and 51 are men. Brain tumor incidence was highest in the age range 45-65 years (43%). Clinical symptoms are most often perceived is a progressive chronic headache (84.21%), followed by gait ataxia (48.25%), nausea or vomiting (39.47%). CT-Scan is a more often used additional examination (90.35%) compared to MRI (8.77%). The percentage of compliance of radiological and Histo PA examination result in MRI is 66.67% and CT-Scan is 43.75%. Conclusion: Brain tumors are more common in women than men. The most clinical symptoms perceived are progressive chronic headache, gait ataxia, nausea or vomiting. Suitability of radiological and Histo PA examination result showed bigger percentage on MRI than CT-Scan. Keywords: Brain tumor, symptoms, radiological examination, MRI, CT-Scan
PENDAHULUAN Latar Belakang
Tumor otak adalah suatu massa dari pertumbuhan sel yang tidak diperlukan di otak. Ada dua jenis dasar tumor otak, tumor otak primer dan tumor otak metastasis (ABTA, 2004). Tumor otak merupakan penyebab kematian kedua setelah stroke dalam kelompok penyakit neurologis (Mahyuddin dan Setiawan, 2006). Tumor otak dapat dialami oleh semua umur. Tumor ini dapat diturunkan, ataupun dapat berasal dari perkembangan yang tidak normal (CDC, 2004). Diagnosa tumor otak ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi. Dengan pemeriksaan klinis kadang sulit menegakkan diagnosa tumor otak apalagi membedakan yang benigna dan yang maligna, karena gejala klinis yang ditemukan tergantung dari lokasi tumor, kecepatan pertumbuhan masa tumor dan cepatnya timbul gejala tekanan tinggi intrakranial serta efek dari masa tumor kejaringan otak yang dapat menyebabkan kompresi, infasi dan destruksi dari jaringan otak. Walaupun demikian ada beberapa jenis tumor yang mempunyai predileksi lokasi sehingga memberikan gejala yang spesifik dari tumor otak. Dengan pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi hampir pasti dapat dibedakan tumor benigna dan maligna (Enggariani, 2008).
Sebenarnya beberapa jenis tumor/kanker dapat dicegah dan disembuhkan. Menurut WHO, sepertiga sampai setengah dari semua jenis kanker dapat dicegah, sepertiga dapat disembuhkan bila ditemukan pada stadium dini. Namun, masalah penyakit kanker di Indonesia antara lain hampir 70% penderita penyakit ini ditemukan dalam keadaan stadium yang sudah lanjut (Oemiati et. al, 2011) . Dimana pada stadium tersebut sudah terjadi metastase ke organ tubuh lainnya serta sudah termasuk dalam stadium inoperable. Diagnosa dini dalam kasus tumor otak penting dilakukan karena dapat mencegah berkembangnya sel tumor dan memberikan harapan sembuh lebih besar kepada penderita tumor otak tersebut. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mempelajari gambaran gejala klinik dan pemeriksaan radiologi yang dilakukan oleh pasien dengan tumor otak di Departemen saraf A RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sehingga bisa didapatkan hasil gejala klinik apakah yang paling sering dirasakan dan pemeriksaan penunjang apakah yang sering dilakukan oleh pasien-pasien tersebut.
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
2 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain
penelitian deskriptif observasional dengan besar sampel 114 pasien yang didapatkan dengan cara total sampling pada semua pasien di Departemen Saraf A RSUD Dr. Soetomo dalam periode waktu 1 Januari 2011-31 Desember 2012 yang masuk dalam kriteria inklusi yaitu pemeriksaan klinik dan radiologi dari penderita didapatkan hasil diagnosa utama tumor otak. Bila pasien dioperasi, maka hasil pemeriksaan patologi anatomi dikonfirmasi dengan hasil dari pemeriksaan klinik dan radiologi.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yaitu berupa rekam medis pasien. Data yang diambil pada lembar pengumpulan berupa: nomor rekam medis, data dasar (nama, usia, jenis kelamin), gejala klinik yang dirasakan, pemeriksaan penunjang yang dilakukan (Radiologi dan Patologi Anatomi), dan hasil dari pemeriksaan penunjang tersebut. Analisa data dilakukan secara deskrptif.
HASIL PENELITIAN Karateristik Subjek Penelitian
Selama penelitian didapatkan 114 subjek kasus penderita tumor otak yang masuk kriteria inklusi.
Tabel 1. Distribusi jenis kelamin subjek
penelitian
Jenis Kelamin Persen
Perempuan Laki – laki
55.3 44.7
Total 100
Tabel 2. Distribusi umur subjek penelitian
Umur Frekuensi Persen
5-14 tahun 15-24 tahun 25-44 tahun 45-64 tahun ≥ 65 tahun
1 11 45 49 8
0.9 9.6
39.5 43 7
Total 114 100
Dari penelitian yang telah dilakukan
didapatkan penderita tumor lebih banyak pada pasien perempuan (63 orang) dibandingkan dengan pasien laki-laki (51 orang). Distribusi penderita tumor otak terbanyak didapatkan pada usia 45-64 tahun sebanyak 49 orang dan pada urutan kedua yaitu rentang usia 25-44 tahun sebanyak 45 orang. Usia 15-24 tahun menduduki urutan
ketiga sebanyak 11 orang. Pada usia ≥ 65 tahun didapatkan 8 orang. Sedangkan distribusi usia paling sedikit terdapat pada rentang usia 5-14 didapatkan 1 orang. Frekuensi Tumor Otak
Pada subjek penelitian tumor otak,
diagnosis jenis tumor ditegakkan berdasarkan hasil dari pemeriksaan Radiologi baik dari hasil CT-Scan maupun MRI. Namun, jika dilakukan operasi dan didapatkan hasil dari pemeriksaan Histo PA maka yang diuganakan untuk menegakkan diagnosis menggunakan hasil dari pemeriksaan Histo PA tersebut. Karena hasil dari pemeriksaan Histo PA merupakan gold standart dalam penegakan diagnosis.
Gambar 1. Distribusi Jenis Tumor Otak
Dari 114 penderita yang terdiagnosis tumor otak, jenis tumor otak yang paling banyak diderita pasien adalah Meningioma yaitu sebesar 34 orang (29.8%) dan urutan kedua yaitu Astrocytoma sebesar 30 orang (26.3%). Pada urutan ketiga, jenis tumor yang yang banyak diderita yaitu tumor otak metastase sebesar 22 orang (19.3%).
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
3 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
Selanjutnya, Glioblastoma Multiforme sebesar 7 orang (6.1%), Ependymoma sebesar 6 orang (5.3%), Schwanoma sebesar 4 orang (3.5%), Macroadenoma sebesar 2 orang (1.8%), dan Papiloma sebesar 2 orang (1.8%). Distribusi jenis tumor otak paling sedikit diderita adalah Hemangioblastoma, Craniopharyngioma, Oligodendroglioma, dan Primary Bone Tumor Os Calvaria yaitu masing-masing sebesar 1 orang (0.9%) penderita.
Gambar 2. Distribusi jenis tumor berdasarkan jenis kelamin
Pada penelitian ini didapatkan bahwa Meningioma, Glioblastoma Multiforme (GBM), Tumor Metastase, dan Schwanoma lebih banyak diderita oleh pasien perempuan dibandingkan dengan pasien laki-laki. Sedangkan Astrocytoma, dan Ependymoma lebih banyak diderita oleh pasien laki-laki dibandingkan dengan pasien perempuan. Hemangioblastoma, Cranio-pharyngioma, Oligodendroglioma, dan Primary Bone Tumor Os Calvaria hanya diderita pada pasien perempuan. Sedangkan Macroadenoma hanya diderita oleh pasien laki-laki. Selanjutnya, jumlah yang sama antara laki-laki dan perempuan didapatkan pada Papiloma.
Gejala Klinik Tumor Otak
Pada subjek penelitian tumor otak, gejala
klinik yang dirasakan dapat terdiri atas beberapa gejala dalam satu pasien. Sehingga pada satu pasien dapat mengalami lebih dari satu gejala klinik yang telah digolongkan. Gejala Klinik lain-lain yang dimaksud adalah kumpulan dari gejala-gejala penyerta yang dialami oleh pasien.
Gambar 3. Distribusi jenis keluhan tumor otak
Gejala klinik yang tersering dirasakan pada 114 pasien adalah Nyeri kepala kronik progresif sebanyak 96 pasien. Pada ururtan kedua, gejala kilinik yang tersering dirasakan adalah kelemahan atau hilangnya rasa di lengan/kaki separuh tubuh (Ataxia Gait) sebanyak 55 pasien. Pada urutan ketiga yang terbanyak adalah mual atau muntah yaitu sebanyak 45 pasien. Selanjutnya, secara berurutan yang sering diderita pasiena adalah gejala lain-lain sebesar 45 pasien, gerakan mata abnormal / perubahan dalam visus sebanyak 43 pasien, kejang sebanyak 36 pasien, mengantuk / penurunan kesadaran gradual sebanyak 33 pasien, perubahan dalam berbicara sebanyak 24 pasien, dan kebingungan atau perubahan perilaku sebanyak 5 pasien.
Pemeriksaan Penunjang
Tabel 3. Distribusi frekuensi pemeriksaan radiologi
Jenis Pemeriksaan Radiologi Persen
CT Scan MRI
Tidak Melakukan
90.35 8.77 0.88
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
4 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pemeriksaan Patologi Anatomi
Jenis Pemeriksaan PA Persen
Melakukan Tidak Melakukan
17.54 82.46
Hasil penelitian menunjukkan pasien
yang didiagnosis tumor otak lebih banyak melalukan pemeriksaan radiologi berupa CT-Scan dengan atau tanpa kontras yang sebesar 103 pasien dibandingkan pasien yang memilih pemeriksaan MRI dengan atau tanpa kontras yang sebesar 10 pasien. Namun, ada juga yang tidak melakukan pemeriksaan radiologi sebsesar 1 orang yang mungkin dikarenakan pasien datang dalam keadaan cito untuk dilakukan operasi sehingga tidak didapatkan dokumen hasil pemeriksaan radiologi pada rekam medis pasien tersebut. Untuk pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), pasien yang melakukan lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak melakukan. Perbedaan antara yang melakukan cukup jauh dikarenakan pasien yang melakukan pemeriksaan Patologi Anatomi ini sebesar 20 orang, sedangkan pasien yang tidak melakukan sebesar 94 orang.
Hasil Pemeriksaan yang didapatkan dari pemeriksaan Radiologi baik CT-Scan maupun MRI tersebut disesuaikan dengan hasil pemeriksaan PA/Operasi yang dimana sebagai gold standart dalam penegakan diagnosis suatu tumor otak. Tabel 5. Kesesuaian pemeriksaan radiologi
dengan pemeriksaan PA/operasi
Jenis Pemerik-
saan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dan PA/operasi
Hasil radiologi yang sesuai dengan hasil PA/operasi
Persentase Kesesuaian
CT-Scan 16 7 43.75
MRI 3 2 66.67
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
bahwa pemeriksaan CT-Scan dan PA yang keduanya sama-sama dilakukan pada 16 pasien, didapatkan 7 pasien yang memiliki kesesuaian hasil pemeriksaan. Sedangkan pada pemeriksaan MRI dan PA yang keduanya sama-sama dilakukan pada 3 pasien, didapatkan 2 pasien yang memiliki kesesuaian hasil pemeriksaan. Sehingga, pada penelitian ini didapatkan persentase kesesuaian pada hasil pemeriksaan CT-Scan yang sebesar 43.75%, lebih kecil dibandingkan persentase kesesuain hasil pemeriksaan MRI yaitu sebesar 66.67%.
PEMBAHASAN
Subjek penelitian secara keseluruhan
sebanyak 114 pasien dimana penderita tumor tersebut lebih banyak pada perempuan (63 orang) dibandingkan dengan laki-laki (51 orang). Hal ini tidak sesuai dengan data yang didapat oleh suatu penelitian sebelumya, yaitu penderita tumor otak lebih banyak pada laki-laki (60,74%) dibandingkan perempuan (39,26%) (Enggariani, 2008). Kemungkinan hasil yang berbeda ini dikarenakan periode waktu yang digunakan dalam peneltian ini kurang lama, dan juga subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi pada periode waktu tersebut tidak terlalu banyak.
Distribusi penderita tumor otak terbanyak didapatkan pada rentang umur 45-64 tahun (49 orang). Hal ini sesuai dengan dengan data pada penelitian sebelumnya yaitu kelompok usia terbanyak 51-60 tahun (Enggariani, 2008). Pernyataan tersebut diperkuat dengan data pada literatur yang didapatkan sebelumnya bahwa semua tumor otak primer rata-rata mulai timbul sekitar umur 54 tahun (M. Wrensch et al., 2002). Meski data pada literature tersebut menyebutkan hanya pada semua tumor primer, hasil dari penelitian ini menunjukkan kejadian tumor otak metastase tertinggi juga pada rentang umur 45-64 tahun.
Jenis tumor otak yang paling banyak diderita pasien adalah Meningioma yaitu sebesar 34 orang (29.8%) dan urutan kedua yaitu Astrocytoma sebesar 30 orang (26.3%). Hal ini sesuai dengan data statistic yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu Meningioma sebesar 34% dari seluruh tumor otak primer, sehingga membuat Meningioma ini menjadi jenis tumor yang paling umum pada seluruh tumor otak primer. Pada Glioma, yaitu sebuah istilah yang luas yang mencakup semua tumor yang timbul dari jaringan penyokong sel neuron otak, mewakili 30% dari semua tumor otak yang menempati urutan ke dua terbanyak dari semua tumor otak (ABTA, 2014). Astrocytoma sendiri termasuk dalam glioma karena termasuk jaringan penyokong sel neuron otak.
Hasil penelitian ini menunjukkan meningioma lebih sering terjadi pada pasien perempuan dibandingkan laki-laki, sedangkan Astrocytoma lebih sering terjadi pada pasien laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini diperkuat dengan data pada literatur yang ditemukan sebelumnya yaitu Meningioma mengenai sekitar 80% lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Sedangkan glioma mengenai 40% lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
5 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
perempuan (M. Wrensch et al., 2002) dimana Astrocytoma termasuk dalam glioma seperti penjelasan sebelumnya. Selain itu, peneilitian ini juga menunjukkan kejadian tumor otak metastase cukup besar dengan jumlah kasus lebih banyak terjadi pada pasien perempuan dibandingkan dengan pasien laki-laki. Hal ini sesuai dengan data yang didapatkan pada literature sebelumnya yaitu sebuah restropective review dari rekam medis yang mengidentifikasi 729 pasien (350 laki-laki dan 379 perempuan) dengan diagnosis tumor otak metastase yang dirawat di University of Minnesota Hospital and Clinic (UMHC) dari tahun 1973 sampai 1993 (Nussbaum et al., 1996).
Untuk gejala klinik yang paling sering dirasakan pasien, nyeri kepala kronik progresif merupakan gejala yang paling sering dirasakan (96 pasien). Hal tersebut sesuai dengan litertatur yang didapatkan sebelumnya bahwa nyeri kepala adalah gejala awal yang paling sering timbul pada tumor otak. Nyeri kepala yang dikarenakan oleh tumor otak tersebut biasanya menjadi lebih berat dirasakan seiring berjalannya waktu. Keadaan ini akan lebih buruk ketika dalam posisi berbaring atau pertama kali terbangun (The University of Texas MD Anderson Cancer Center, 2014). Selanjutnya diikuti oleh gejala kelemahan atau hilangnya rasa di lengan/kaki separuh tubuh (ataxia gait), mual atau muntah, dan gejala lain-lain yang juga tinggi kejadiannya pada hasil penelitian ini.
Gejala lain-lain yang dimaksud disini adalah kumpulan dari gejala-gejala penyerta yang dialami oleh pasien seperti wajah merot, bicara pelo, pendengaran menurun, sering lupa, gangguan BAK atau BAB, gangguan seksual, gangguan tidur, nyeri perut, batuk, panas atau demam, nafsu makan menurun, dan berat badan menurun. Angka kejadian gejala lain-lain tersebut cukup tinggi dikarenakan setiap pasien dapat merasakan salah satu atau lebih dari gejala lain-lain yang telah disebutkan diatas meski dalam satu jenis tumor yang sama sehingga dalam satu jenis tumor dapat muncul gejala penyerta yang dapat berbeda antara individu satu dengan individu lainnya.
Gejala klinik tersebut dapat timbul tergantung dari lokasi tumor, kecepatan pertumbuhan masa tumor, dan cepatnya timbul gejala tekanan tinggi intracranial, serta efek dari masa tumor kejaringan otak yang dapat menyebabkan kompresi, infasi dan destruksi dari jaringan otak. Walaupun demikian ada beberapa jenis tumor yang mempunyai predileksi lokasi sehingga memberikan gejala yang spesifik dari tumor otak (Enggariani, 2008).
Pada penelitian ini, didapatkan bahwa pemeriksaan radiologi berupa CT-Scan dengan atau tanpa kontras yang sebesar 103 pasien lebih besar dibandingkan pasien yang memilih pemeriksaan MRI dengan atau tanpa kontras yang sebesar 10 pasien. Hal ini mungkin dikarenakan beberapa keuntungan dari CT-Scan itu sendiri atau dapat juga dikarenakan keadaan finansial dari pasien. Pada literature yang didapatkan sebelumnya, disebutkan beberapa keuntungan yaitu CT-Scan dapat membantu dalam mendiagnosis beberapa jenis tumor otak, terutama yang dekat atau melibatkan tulang (John Hopkins Medicine, n.d.), serta CT-Scan mempunyai prosedur yang lebih cepat dan biaya yang lebih rendah dibandingkan MRI (Hess, 2012).
Selain itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang melakukan pemeriksaan Histo PA/Operasi yang sebesar 20 orang (17,54%) jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak melakukan pemeriksaan yang sebesar 94 orang (82,46%). Hal ini mungkin disebabkan karena selain membutuhkan biaya yang lebih besar, prosedur dari pemeriksaan Histo PA sendiri juga lebih invasif dan memiliki resiko yang cukup tinggi.
Karena melihat banyaknya pasien yang hanya melakukan pemeriksaan radiologi tanpa pemeriksaan Patologi Anatomi (PA)/Operasi, pada penelitian ini hasil pemeriksaan radiologi (CT-Scan atau MRI) disesuaikan dengan hasil pemeriksaan PA, yang dimana sebagai gold standart dalam penegakkan diagnosis suatu tumor otak. Pada beberapa pasien yang melakukan kedua pemeriksaan, baik pemeriksaan CT-Scan dengan PA maupun MRI dengan PA, penelitian ini menunjukkan persentase kesesuaian hasil pemeriksaan CT-Scan yang sebesar 43.75%, lebih kecil dibandingkan persentase kesesuain hasil pemeriksaan MRI yang sebesar 66.67%. Meski pada penelitian ini terdapat keterbatasan jumlah sampel dan ketidakseimbangan antara pasien yang melakukan pemeriksaan CT-Scan dengan PA dan MRI dengan PA, hasil ini didukung dengan literature yang didapatkan sebelumnya, bahwa pemeriksaan penunjang berupa MRI memiliki jangkauan yang jauh lebih besar terhadap kontras jaringan lunak yang ada, menggambarkan anatomi secara lebih detail, lebih sensitif dan spesifik untuk kelainan di dalam otak itu sendiri dibandingkan dengan CT-Scan (Hess, 2012) yang dimana tumor otak termasuk dalam kelainan yang terjadi pada jaringan lunak di dalam otak.
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
6 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
Keterbatasan penelitian yaitu adanya beberapa rekam medis yang tidak lengkap data gejala klinik yang dirasakan dari subjek penelitian. Terdapat beberapa pasien yang melakukan pemeriksaan penunjang radiologi tetapi tidak didapatkan hasil diagnosis tumor otak dari pemeriksaan tersebut sehingga tidak masuk dalam kriteria inklusi, serta banyaknya pasien yang tidak melakukan pemeriksaan Histo PA/Operasi yang dimana sebagai gold standart dalam menetukan diagnosis tumor otak beserta jenisnya. Selain itu, jumlah sample yang lebih banyak akan menghasilkan data yang lebih akurat. KESIMPULAN
Tumor otak lebih sering terjadi pada pasien perempuan dibandingkan pasien laki-laki dimana kejadian tumor otak itu sendiri paling tinggi pada rentang umur 45-65 tahun. Untuk Gejala klinik yang sering dirasakan, nyeri kepala kronik progresif, ataxia gait, mual atau muntah merupakan gejala yang paling sering muncul. Pada hasil pemeriksaan penunjang, penelitian ini menunjukkan persentase kesesuaian pemeriksaan MRI lebih besar dibandingkan dengan pemeriksaan CT-Scan. DAFTAR PUSTAKA
American Association of Neurological Surgeons (AANS). 2006. Anatomy of the Brain [online] Diakses pada 5 Juli 2013, dari: http://www.aans.org/en/Patient%20Information/Conditions%20and%20Treatments/Anatomy%20of%20the%20Brain.aspx
American Brain Tumor Association (ABTA). 2004. A Primer of Brain Tumor: A Patient‟s Reference Manual. 8
th ed. [E-
book] Illinois: ABTA. Diakses pada 3 Juli 2013, dari: http://www.cancerqld.org.au/icms_docs/61332_primer_brain_tumors.pdf
American Brain Tumor Association (ABTA). 2014. Brain Tumor Statistics [online] Diakses pada 28 Desember 2014, dari http://www.abta.org/about-us/news/brain-tumor-statistics/
Center of Disease Control and Pervention (CDC). 2004. Data Collection of Primary Central Nervous System. [E-book] Georgia: Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 3 Juli 2013, dari: http://www.cdc.gov/cancer/npcr/pdf/btr/braintumorguide.pdf
Enggariani. 2008. Tumor Otak (Brain Tumor) [online] Diakses pada 4 Juli 2013, dari:
http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/10/23/602/
Hess, Christopher P. 2012. Exploring the Brain: Is CT or MRI Better for Brain Imaging? [online] Diakses pada 15 Juli 2013, dari: http://blog.radiology.ucsf.edu/neuroradiology/exploring-the-brain-is-ct-or-MRI-better-for-brain-imaging/
Johns Hopkins Medicine. How to Diagnose Brain Tumor [online] Diakses pada 12 Juli 2013, dari: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/brain_tumor/diagnosis/how-to-diagnose-brain-tumors.html
Mahyuddin, Hilman dan Agus Budi Setiawan. 2006. Karakteristik Tumor Infratentorial Dan Tatalaksana Operasi Di Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran UI/RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2001 – 2005. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol 39 no. 4 409-410.
National Cancer Institute (NCI). 2013. General Information about Adult Brain Tumor [online] (Updated 14 Mei 2013) Diakses pada 8 juli 2013, dari: http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/adultbrain/patient/
Nussbaum, Eric S. 1996. Brain Metastases Histology, Multiplicity, Surgery, and Survival. Vol 78 no. 8 1782 – 1783.
Oemiati, Ratih et. al. 2011. Prevalensi Tumor dan Beberapa Faktor Yang Mempengaruhinya Di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. vol. 39 no.4 190 – 204
Srinivasan, R. 2011. Review of Brain and Brain Cancer Treatment. International Journal of Pharma and Bio Sciencse. ISSN 0975 – 6299, vol 2 issue 1 468 – 477
University of Rochester Medical Center. 2013 (URMC). Test That Help Evaluate a Brain Tumor [online] (Updated 15 Juli 2013) Diakses pada 16 Juli 2013, dari: http://www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?ContentTypeID=34&ContentID=BBraD2
World Health Organization (WHO). 2007. Cancer Control Knowledge into Action: Early Detection.[E-book] Geneva: WHO Press. Diakses pada 10 Juli 2013, dari: http://www.who.int/cancer/publications/cancer_control_detection/en/index.html
Wrensch, Margaret et al. 2002. Epidemiology of primary brain tumors: Current concepts and review of the literature. p279 – 280.
http://www.aans.org/en/Patient%20Information/Conditions%20and%20Treatments/Anatomy%20of%20the%20Brain.aspxhttp://www.aans.org/en/Patient%20Information/Conditions%20and%20Treatments/Anatomy%20of%20the%20Brain.aspxhttp://www.aans.org/en/Patient%20Information/Conditions%20and%20Treatments/Anatomy%20of%20the%20Brain.aspxhttp://www.abta.org/about-us/news/brain-tumor-statistics/http://www.abta.org/about-us/news/brain-tumor-statistics/http://www.cdc.gov/cancer/npcr/pdf/btr/braintumorguide.pdfhttp://www.cdc.gov/cancer/npcr/pdf/btr/braintumorguide.pdfhttp://yayanakhyar.wordpress.com/2008/10/23/602/http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/10/23/602/http://blog.radiology.ucsf.edu/neuroradiology/exploring-the-brain-is-ct-or-mri-better-for-brain-imaging/http://blog.radiology.ucsf.edu/neuroradiology/exploring-the-brain-is-ct-or-mri-better-for-brain-imaging/http://blog.radiology.ucsf.edu/neuroradiology/exploring-the-brain-is-ct-or-mri-better-for-brain-imaging/http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/brain_tumor/diagnosis/how-to-diagnose-brain-tumors.htmlhttp://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/brain_tumor/diagnosis/how-to-diagnose-brain-tumors.htmlhttp://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/brain_tumor/diagnosis/how-to-diagnose-brain-tumors.htmlhttp://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/brain_tumor/diagnosis/how-to-diagnose-brain-tumors.htmlhttp://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/adultbrain/patient/http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/adultbrain/patient/http://www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?ContentTypeID=34&ContentID=BBraD2http://www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?ContentTypeID=34&ContentID=BBraD2http://www.urmc.rochester.edu/encyclopedia/content.aspx?ContentTypeID=34&ContentID=BBraD2http://www.who.int/cancer/publications/cancer_control_detection/en/index.htmlhttp://www.who.int/cancer/publications/cancer_control_detection/en/index.html
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
7 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
HUBUNGAN EFIKASI DIRI DENGAN STRES MAHASISWA MENJALANKAN
PEMBELAJARAN KLINIK
Suprianto (Prodi Keperawatan Sidoarjo,
Poltekkes Kemenkes Surabaya)
ABSTRAK
Pendahuluan: Memasuki dunia kuliah merupakan suatu perubahan besar pada hidup seseorang. Hal ini terkait dengan perubahan status dari dari siswa menjadi mahasiswa, perubahan dalam sistem belajar serta perubahan hubungan dosen-mahasiswa sangat berbeda dengan hubungan guru-siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara efikasi diri dengan stres akademik. Metode: Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi D3 Keperawatan Kampus Sidoarjo sebanyak 75 orang, diambil dengan caraincidental sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan skala stres akademik dan efikasi. Data dianalisis menggunakan uji- T. Hasil: Analisis menunjukkan ada hubungan yang sangat signifikan antara efikasi diri dengan stres akademik. Efikasi diri berkorelasi negatif sangat singnifikan dengan stres akademik, berarti semakin tinggi efikasi diri semakin rendah stres akademik, sebaliknya semakin rendah efikasi diri semakin tinggi stres akademik. Kesimpulan: Ada hubungan antara efikasi diri dengan stress akademik. Kata kunci: stres akademik, efikasi diri
PENDAHULUAN Latar Belakang
Mahasiswa merupakan status yang disandang seseorang ketika mengikuti kuliah di perguruan tinggi. Memasuki dunia kuliah merupakan suatu perubahan besar pada hidup seseorang (Santrock, 2007).Hal ini terkait dengan perubahan status dari dari siswa menjadi mahasiswa, perubahan dalam sistem belajar serta perubahan hubungan dosen-mahasiswa sangat berbeda dengan hubungan guru-siswa (Gunarsa; Gunarsa 2000).
Selain harus menghadapi perubahan kondisi yang disebutkan di atas, mahasiswa Program Studi D3 Keperawatan Sidoarjo memiliki iklim persaingan yang tinggi.Data Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru jalur uji tulis Program Studi D3 Keperawatan Sidoarjo tahun 2011-2013 menunjukkan rata-rata jumlah pendaftar pertahun 341. Dengan kuota penerimaan dari seleksi uji tulis 80 orang atau hanya 23,5% dari pendaftar yang diterima sebagai mahasiswa dan 261 orang (76,5%) pendaftar tidak bisa diterima dalam setiap tahun.
Tuntutan akademik yang tinggi juga dirasakan mahasiswa Progam Studi D3 Keperawatan Sidoarjo mulai pada tahun pertama.Materi kuliah semester 1 70% merupakan merupakan materi baru yang belum pernah dipelajari semaa SMA. Di semester 2, mahasiswa sudah dihadapkan pada praktik klinik di rumah sakit untuk merawat pasien secara langsung, dimana mahasiswa harus bisa berperan sebagai perawat. Selain itu, evaluasi hasil belajar semester 1 dan 2 indeks prestasi minimal 2,00. Apabila mahasisw memperoleh IP kurang dari 2,00 atau ada mata kuliah yang mendapatkan nilai E, maka mahasiswa dapat mengalami putusan studi.
Kumalasari (2010) mengemukakan lima hal yang dapat menjadi penyebab stres bagi mahasiswa, meliputi : 1) Lingkungan yang baru. Masa kuliah sangat berbeda dengan masa SMA. Disinilah sangat diperlukan adanya suatu adaptasi pada diri seorang mahasiswa. Di bangku kuliah mahasiswa dituntut untuk selalu aktif dan fokus, jika lalai tidak masuk sehari saja misalnya, mahasiswa akan mendapatkan banyak ketertinggalan. 2) Jadwal kuliah yang padat, tidak ada waktu luang sedikitpun, sehari penuh dengan kuliah. Kuliah itu waktunya tidak pasti, beda halnya dengan sekolah. Kalau sekolah jadwal sudah diatur dari jam 7 sampai jam 2 misalnya, namun kalau kuliah jadwal bisa berubah-ubah tergantung dosen atau tenaga pengajar. 3) Perasaan sedih
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
8 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
yang tidak dapat diatasi misalnya sedih karena berpisah dengan orang tua, sedih berpisah dengan teman dan ditinggal pacar. 4) Kurang percaya diri. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan baik dari segi fisik maupun mental. Dari segi fisik, seseoang dapat mersa tidak percaya diri ataupun minder misalnya karena dia mempunyai kulit yang hitam atau rambut keriting sedang teman-temannya berambut lurus. Ini dapat menimbulkan ketidakpercayadirian seseorang muncul karena dia merasa berbeda dengan teman-temannya. 5) Terlalu berambisi dalam mencapai cita-cita. Setiap orang pasti mempunyai mimpi dan cita-cita ingin menjadi apa dia kelak, sehingga orang berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Kegagalan dari usaha ini dapat menimbulkan stres.
Santrock (2003) mengatakan bahwa stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya. Stres menurut Sarafino (2002) merupakan kondisi yang disebabkan ketika perbedaan seseorang atau lingkungan yang berhubungan dengan individu, yaitu antara situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis, psikologis atau sistem sosial individu tersebut. Stres bisa bersumber dari faktor pribadi, organisasi dan lingkungan (Wikipedia. 2014). Mahasiswa mengalami banyak stres dan penyebab stres berbeda antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya.Stres membuat seseorang yang mengalaminya berpikir dan berusaha keras dalam menyelesaikan suatu permasalahan atau tantangan dalam hidup (Nevid, 2005).
Mahasiswa merasakan adanya stres akademik pada tiap-tiap semester dengan stresor terbesar adalah ujian, kompetisi kelas dan keterbatasan waktu. (Purna Prabhakar,2011).Kondisi stres yang dialami mahasiswa memberikan dampak yang negatif pada kondisi fisik dan psikis.Akibat buruk dari stres pada mahasiswa adalah meningkatnya kelelahan sehingga mengakibatkan ketidakmampuan.Kondisi kelelahan mengakibatkan timbulnya penyakit fisik (seperti diare, gastritis) dan turunnya produktifitas dalam belajar maupun aktifitas pribadi.Seseorang juga dapat kehilangan motivasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari karena banyaknya stresor yang diterima.Kondisi ini rentan untuk membuat mahasiswa malas untuk melakukan kuliah, malas mengerjakan tugas penundaan masa studi (Rumiani, 2006) sampai terputusnya studi.
Stres menurut Seyle (Potter, 2005) adalah segala situasi dimana tuntutan non spesifik mengharuskan individu untuk berespon atau melakukan tindakan.Stres akademik adalah respon individu terhadap stresor akademik yang dihadapi berhubungan dengan aktivitas kuliah (Desmita, 2011). Respon ini menurut Potter (2005) meliputi meliputi dua aspek, yaitu (1) Fisiologis adalah peningkatan ketegangan otot di leher, bahu dan punggung, peningkatan denyut nadi dan frekuensi pernafasan, telapak tangan berkeringat, tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang tidak tegap, keletihan, sakit kepala, gangguan lambung, suara dengan nada tinggi, mual, muntah, diare, perubahan nafsu makan, perubahan berat badan, perubahan frekuensi berkemih, sulit untuk tidur atau sering terbangun saat tidur dan dilatasi pupil, (2) Psikologis adalah cemas, depresi, kehilangan minat, kehilangan motivasi, marah, mudah lupa, sulit konsentrasi, sering sakit, perhatian menurun, kehilangan minat.
Efikasi diri adalah keyakinanseseorang pada kemampuan yang dimiliki untuk melakukan kontrol terhadap diri sendiri dan kejadian dalam lingkungan (Bandura dalam Feist, 2008). Menurut Bandura, efikasi diri terdiri atas tiga dimensi, yaitu magnitude, generality dan strength.Magnitude adalah upaya untuk mengerjakan tugas kuliah, ujian, tugas praktik tertentu yang dipersepsikan bisa dikerjakan secara mandiri dan menghindari situasi dan aktivitas yang tidak bisa dikerjakannya. Generality adalah keragaman ketrampilan, tugas kuliah dan ujian yang diyakini mampu dikerjakan. Strength adalah pengharapan, kemantaban, kegigihan individu dalam mengerjakan tugas kuliah, ujian dan praktik. METODE PENELITIAN
Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang terpilih sebagai
rensponden penelitian diambil diambil dengan caraincidental samplingsejumlah 75 mahasiswa, terdiri atas mahasiswa semester, 4 dan 6.
Penelitian ini terdiri atas dua variabel, variabel independen yaitu efikasi diri dan variabel dependen adalah stres akademik. Alat ukur untuk variabel stress akademik dikembangkan peneliti, kemudian diuji validitas dan reliabilitasnya dengan cara uji coba kepada 50 mahasiswa Program Studi D3 Keperawatan Sidoarjo. Hasil uji daya diskriminasi aitem dan uji reliabilitas alat ukur menggunakan progam SPSS terhadap 82 aitem alat ukur variabel stress akademik
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
9 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
menunjukkan 50 aitem memenuhi syarat indeks daya diskriminasi dengan koefisien kolerasi aitem antara 0, 296-0,723 dan reliabilitas sebesar 0,925. Sebanyak 32 aitem gugur. Alat ukur efikasi diri menggunakan skala efikasi diri yang dikembangkan oleh Born (1995) yang terdiri atas 10 aitem dengan koefisien korelasi aitem 0,32-0,74 dan reliabilitas 0,82. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi D3 Keperawatan Kampus Sidoarjo sebesar 75 orang, diambil dengan cara accidental sampling kepada mahasiswa yang ditemui peneliti di lokasi penelitian. HASIL PENELITIAN
Setelah pengukuran validitas, reliabilitas dan asumsi klasik (normalitas, linieritas, dan multikolinearitas) telah dilakukan maka penelitian dilanjutkan untuk diuji menggunakan Regresi Linier. Model pengujian menggunakan analisis regresi linier bertujuan untuk menguji hubungan (korelasi) antara dua variabel independen yaitu efikasi diri terhadap stres akademik (Y), serta untuk memprediksi seberapa besar hubungan variabel-variabel independen tersebut terhadap variabel dependen stres akademik.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa ada hubungan antara efikasi diri dengan stres akademik pada mahasiswa Prgoram Studi D3 Keperawatan Sidoarjo. Untuk menguji hipotesis kedua, digunakan analisis uji parsial untuk mengetahui hubungan efikasi diri dengan stres akademik. Hasil uji diperoleh nilai t = -3,044 dan taraf signifikansi 0,003 (P< 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa secara parsial efikasi diri berkorelasi negatif sangat singnifikan dengan stres akademik. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara efikasi diri dengan stres akademik diterima.Korelasi negatif berarti semakin
tinggi efikasi diri semakin rendah stres akademik, sebaliknya semakin rendah efikasi diri semakin tinggi stres akademik. PEMBAHASAN
Mahasiswa program Studi D3
Keperawatan Sidoarjo yang menjadi subyek penelitian ini adalah mahasiswa semester 2, 4 dan 6. Aktivitas kuliah pada semester tersebut meliputi kuliah kelas, laboratorium dan praktik klinik di pelayanan kesehatan baik rumah sakit, puskesmas maupun di masyarakat.Dalam menjalankan praktik klinik di pelayanan kesehatan tersebut mahasiswa dituntut mencapai kompetensi klinik yaitu ketrampilan bekerja sebagai
perawat. Terjadi gejolak dalam diri mahasiswa terutama yang bagi mahasiswa semester 2 yang baru pertama kali praktik di rumah sakit, yaitu antara ketakutan tidak mampu melakukan prosedur dengan benar dan tuntutan harus melakukan tindakan itu. Kondisi ini tentunya menjadi stressor tersendiri bagi mahasiswa.
Berdasarkan hasil analisa data diatas, menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara efikasi diri dengan stres akademik.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efikasi diri mahasiswa sangat berhubungan dengan stress akademik yang dialami mahasiswa.
Bandura (Feist, 2008) mengatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan manusia pada kemampuan untuk melatih fungsi-fungsi diri dan pengendalian terhadap kejadian-kejadian di lingkungan. Keyakinan ini akan mengarahkan tindakan yang dipilih untuk diupayakan dalam menghadapi kejadian-kejadian yang dialami, termasuk dalam aktivitas akademik mahasiswa. Dengan efikasi diri mahasiswa mempunyai keyakinan untuk memilih aktivitas mana yang relevan dilakukan untuk menghadapi kuliah, ujian, praktik klinik. Keyakinan ini juga menentukan intensitas kegiatan yang akan dilakukan. Apabila merasa yakin belum mampu, maka mahasiswa akan mengulanginya sampai merasa bisa. Apabila merasa belum paham, mahasiswa akan berkonsultasi dengan pembimbing dan sebagainya.
Efikasi diri menumbuhkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri yang dimiliki mahasiswa membuat mudah menyesuaikan diri dalam suasana yang penuh dengan tekanan sehingga ia akan melakukan aktivitas tenang. Seorang mahasiswa yang percaya diri dalam aktivitas praktik klinik akan mencoba untuk melakukan suatu ketrampilan klinik dengan tenang. Ia juga bisa menjalankan ujian dengan penuh keyakinan. Efikasi diri bukanlah ekspektasi terhadap hasil tindakan.Demikian pula pada aktivitas kuliah maupun praktik mahasiswa. Mahasiswa lebih ditekankan untuk mengikuti proses dulu, baru berpikir tentang hasil. Mencoba dan berbuat salah pada praktik klinik di rumah sakit lebih ditekankan kepada mahasiswa, tetapi tetap berpedoman pada standar operasional prosedur yang ada.Ketika SOP sudah dilakukan tetapi hasilnya kurang memuaskan, kemudian dilakukan evaluasi. Yang dihadapi mahasiswa keperawatan adalah manusia yang tidak ada yang sama satu dengan yang lainnya.
Bandura (Feist, 2008), bahwa efikasi diri dapat diperoleh, dipelihara atau
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
10 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
dikembangkan melalui satu atau kombinasi dari empat sumber, yaitu (1) pengalaman-pengalaman tentang penguasaan, (2) pemodelan sosial, (3) persuasi sosial dan (4) kondisi fisik dan emosi. Sebelum mahasiswa diberikan kesempatan mencoba melakukan tindakan klinik langsung kepada pasien, mahasiswa dilibatkan dalam aktivitas keperawatan sebagai asisten dalam melakukan tindakan tersebut.Dalam aktivitas ini, mahasiswa secara tidak langsung mengingat kembali teori yang didapatkan dalam kuliah dan melihat secara nyata tindakan yang sebenarnya.Kemudian mahasiswa diberi kesempatan untuk melakukannya sendiri dengan dibantu oleh pembimbing klinik. Apabila mahasiswa mampu melakukan prosedur dengan benar, maka kepercayaan dirinya akan meningkat dan begitu pula efikasi dirinya.
Pada beberapa kondisi yang peneliti temui, mahasiswa selama praktik merasa bingung terhadap apa yang akan dilakukan dan takut untuk mencoba melakukan suatu tindakan. Pada situasi inilah dibutuhkan persuasi pembimbing di lapangan.Seorang pembimbing maupun sesama mahasiswa dengan persuasi, nasihat dan dorongannya dapat berarti sebagai sumber efikasi dan dukungan emosional bagi mahasiswa. Ketika mahasiswa mengalami ketakutan, kecemasan yang berlebihan sampai bingung terhadap apa yang akan dilakukan, maka dukungan sosial sangat dibutuhkan.
Efikasi diri berkontribusi terhadap terjadinya stres akademik pada mahasiswa Program Studi D3 Keperawatan Sidoarjo. Penelitian Occaesar (2009), pengaruh efikasi diri terhadap stres mahasiswa sebesar 20,5% dan 79,5% stres mahasiswa dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Penelitian Hasmi (2012) tentang pengaruh manajemen waktu dan dukungan sosial terhadap stres akademik, didapatkan manajemen waktu dan dukungan sosial berpengaruh terhadap stres akademik sebesar 15% dan sisanya 85% stres akademik dipengaruhi oleh faktor lain. Penelitian Asmarasari (2010) menyimpulkan dukungan sosial berpengaruh terhadap stres sebesar 9,6% sedangkan 90,4% stres stress dipengaruhi oleh faktor lain. Merujuk pada hasil-hasil penelitian ini, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan stres akademik diantaranya adalah perilaku belajar, kecerdasan emosi kecerdasan spiritual dan manajemen waktu. Faktor-faktor ini dapat menjadi kajian untuk peneliti berikutnya.
Hasil penelitian menunjukkan efikasi diri berkorelasi negatif sangat signifikan dengan stress akademik. Hasil ini relevan dengan
penelitian Sari (2013) tentang pengaruh perilaku belajar, efikasi diri dan kecerdasan emosional terhadap stres mahasiswa, dimana pada penelitian ini secara parsial diperoleh t = -2,913. Penelitian Fitriandi (2013) tentang pengaruh perilaku belajar, efikasi diri, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual terhadap stres kuliah mahasiswa menyimpulkan pula bahwa efikasi diri berpengaruh negatif terhadap stres.Penelitian Nurmalitasari (2010) tentang stres ditinjau dari efikasi diri dan jenis kelas, disimpulkan bahwa terdapat hubungan negativf sangat signifikan antara efikasi diri akademik dan stres akademik. Semakin tinggi efikasi diri mahasiswa maka stress akademik semakin rendah.
Efikasi diri adalah kepercayaan bahwa “saya bisa”. Mahasiswa dengan efikasi diri yang tinggi akan merasa mampu mempelajari materi kuliah, mampu melakukan aktivitas dengan baik. (Santrock, 2007). Pemodelan sosial yang dilakukan oleh dosen, pembimbing klinik di lahan praktik, tuntutan menjadi kompeten dalam praktik yang mendorong mahasiswa untuk melakukan berulang-ulang ketrampilan praktik akan meningkatkan efikasi diri dan menurunkan stress sehingga pada sebagian besar mahasiswa praktik klinik merupakan hal yang menyenangkan.
Penelitian ini juga tidak lepas dari keterbatasan.Pengambilan sampel kurang merata dan jumlah sampel yang terbatas.Hal ini terjadi karena pada saat penyebaran kuisioner mahasiswa sedang praktik yang tersebar di rumah sakit, puskesmas dan panti jompo di kabupaten Sidoarjo dan Pasuruan dengan shift kerja pagi, siang dan malam. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan ada
berkorelasi negatif sangat signifikan dengan stres akademik. Semakin tinggi efikasi diri maka stres akademik semakin rendah.Semakin tinggi dukungan sosial maka stres akademik semakin rendah. DAFTAR PUSTAKA
Asmarasari N. (2011) Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stres Menghadapi SNPTN Pada Lulusan SMU Di Kabupaten Ciamis. Skripsi Thesis, Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta. http://digilib.uin-suka.ac.id/5705/
Bandura, A. (1997) Self-Efficacy: The Exercise of Control. Diakses dari http: //books.google.co.id/books/about/Self_Efficacy.html
http://digilib.uin-suka.ac.id/5705/
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
11 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. PT. Remaja Rosdakarya.Bandung.
Feist J. (2008) Theories of Personality. McGraw-Hill Education
Fitriandi, N. (2013) Pengaruh Perilaku Belajar, Efikasi Diri, Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual Terhadap Stres Kuliah Mahasiswa Akuntansi Perguruan Tinggi Swasta Di Karisidenan Pati. Tesis http://eprints.umk.ac.id/2057/
Gunarsa S.D. dan Gunarsa Y.S.D. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Gunung Mulia. Jakarta
Hasmi J.N. (2012). Pengaruh manajemen waktu dan dukungan sosial terhadap stres akademik mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi
Kumalasari D. (2010) Stres di Kalangan Mahasiswa. http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2010/11/02
Nevid, J.S. (2008). Abnormal Psychology in A Changing World, sevent edition. Pearson Education.
Occaesar, P. (2009). Pengaruh Efikasi Diri terhadap Stres Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang yang sedang Menyusun Skripsi. Skripsi http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan Anak, edisi ke-11. Erlangga Jakarta.
Sarafino, E.P. (2002). Health Psychology: Biopsychosocial Intervention. Third edition. New York: John Wiley & Sons Inc.
Sari A.N. (2013) Pengaruh Perilaku Belajar, Efikasi Diri dan Kecerdasan Emosional terhadap Stres Mahasiswa Tesis . Diakses dari http://pasca.uns.ac.id/ ?p=3546
http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2010/11/02http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2010/11/02http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/BK-Psikologi/article/view/2691http://pasca.uns.ac.id/%20?p=3546http://pasca.uns.ac.id/%20?p=3546
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
12 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
FAKTOR USIA DAN PARITAS IBU HAMIL DALAM KEJADIAN BBLR
Suparji
(Prodi Kebidanan Magetan, Poltekkes Kemenkes Surabaya)
Deni Triasmorowati (Prodi Kebidanan Magetan,
Poltekkes Kemenkes Surabaya) Nurlailis Saadah
(Prodi Kebidanan Magetan, Poltekkes Kemenkes Surabaya)
ABSTRAK
Pendahuluan: Kasus BBLR ternyata masih cukup tinggi dan telah menjadi masalah kesehatan karena dapat menimbulkan berbagai dampak, antara lain yang disebabkan karena usia ibu yang tergolong masih terlalu muda atau terlalu tua maupun dari ibu yang multipara. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara usia dan paritas ibu dengan kejadian BBLR. Penelitian ini mengambil lokasi di RSU dr. Sayidiman Magetan. Metode; Jenis penelitian ini adalah survey analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasinya adalah bayi baru lahir di RSU dr. Sayidiman Magetan berjumlah 379 bayi. Sampel diambil dengan teknik simple random sampling sebesar 195 bayi. Variabel bebas penelitian ini adalah usia dan paritas ibu. Sedangkan variabel terikatnya adalah kejadian BBLR. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Register Persalinan Tahun 2006-2008 di RSU dr. Sayidiman Magetan.Untuk mengetahui hubungan usia dan paritas ibu dengan kejadian BBLR digunakan uji statistik Chi Square dengan taraf signifikansi 0,05. Untuk mengetahui tingkat hubungan digunakan uji koefisien kontingensi. Hasil: Untuk faktor usia ibu, p=0,000 dan nilai koefisien kontingensi (C) = 0,351, sedangkan untuk paritas ibu, p=0,000 dan nilai koefisien kontingensi (C) = 0,350. Kesimpulan: Ada hubungan antara usia dengan kejadian BBLR dan ada hubungan antara paritas ibu dengan kejadian BBLR di RSU dr. Sayidiman Magetan Tahun 2009. Saran: Diharapkan masyarakat lebih memperhatikan kesehatan ibu hamil dengan melakukan pemeriksaan rutin kehamilan (ANC) juga sebagai acuan dalam pemahaman usia sehat dalam reproduksi dan pembatasan paritas untuk menekan kelahiran.
Kata kunci: usia, paritas, BBLR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada tahun 2000 dicanangkanlah
Indonesia sehat 2010, artinya pada tahun 2010 diharapkan seluruh masyarakat Indonesia mempunyai derajat kesehatan yang optimal dengan mengacu pada perbaikan dari indikator-indikator yang telah ditetapkan (Kompas, 2008). Indikator derajat kesehatan dapat dinilai dari Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu (AKI), Umur harapan Hidup dan Angka Kematian Balita. Oleh karena itu, persalinan harus mendapatkan fasilitas dan partisipasi seperti tenaga profesional, pelayanan kesehatan, partisipasi masyarakat setempat dan lainnya (Novita, 2008). Salah satu yang menjadi penyebab kematian ibu adalah kondisi-kondisi tertentu. Kematian ibu hamil/melahirkan yang beresiko tinggi (high risk pregnancy) yang disebabkan karena
kondisi sang ibu yaitu kehamilan atau persalinan pada usia terlalu muda, kehamilan atau persalinan yang terjadi pada usia yang tua, dan kehamilan atau persalinan yang terlalu sering (kehamilan paritas tinggi) (Prasetyo, 2008).
Pembangunan Kesehatan yang telah dicapai sampai tahun 2007 yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) berhasil diturunkan dari 270/100.000 KH . Angka Kematian Bayi (AKB) telah dapat diturunkan 26,9/1.000 KH pada tahun 2007(Depkes, 2008). Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 untuk wilayah Jawa Timur AKI menurun dari 334/100.000 KH tahun 1997, menjadi 262/100.000 KH tahun 2005. Sedangkan AKB menurun dari 44,64/1.000 KH tahun 2002-2003, menjadi 35,32/1.000 KH pada tahun 2005-2006. Menurut Rahmawati upaya penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia khususnya Jatim belum maksimal karena angka kematiannya masih terlalu tinggi, setidaknya AKI normal 70/100.000 KH dan AKB 10/1.000 KH (Opik, 2007).
Berat bayi lahir rendah merupakan suatu kondisi yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Hassan (2005:1052) penyebab kelahiran prematur terdiri atas faktor ibu meliputi usia, penyakit, keadaan sosial ekonomi dan faktor janin yaitu hidramnion dan kehamilan ganda. Sedangkan menurut AJ (2007) faktor yang dapat mempengaruhi kehamilan yaitu faktor fisik, faktor psikologis, dan faktor sosial budaya dan ekonomi. BBLR dapat terjadi pada kehamilan usia muda karena kurang matangnya alat reproduksi terutama rahim yang belum siap dalam suatu proses kehamilan. Sedangkan pada
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
13 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
kehamilan di atas 35 tahun adanya penurunan kualitas reproduksi wanita, terutama berhubungan dengan kondisi sel telur mulai dari kemampuannya untuk dapat hamil, keamanan kandungan, dan janin yang dikandungnya, serta kondisi kesehatan tubuhnya yang sudah menurun. Dampak yang dapat terjadi pada bayi BBLR adalah IQ pada anak BBLR pada usia 6-8 tahun lebih rendah sekitar 10 point dibandingkan anak seusianya dengan berat lahir normal, kemampuan dasar yang rendah dalam berhitung dan membaca huruf, juga adanya gangguan neurologik seperti hiperaktif. Pertumbuhan bayi BBLR lebih lambat dibanding bayi normal sehingga anak tumbuh menjadi lebih kurus dan pendek, selain itu bayi BBLR juga mempunyai respon imunitas yang sangat rendah sehingga bayi BBLR lebih rentan sakit. Dampak serius dapat berkesinambungan sampai usia dewasa. Selain itu risiko bayi meninggal atau sakit pada persalinan prematur naik hingga 23% dan risiko kelahiran yang sangat prematur naik hingga 59% (Torikin, 2009).
Salah satu cara yang efektif untuk menurunkan angka kematian perinatal ialah mencegah terjadinya prematuritas (Hassan, 2005:1052). Selain itu juga perlu memeriksakan diri kepada petugas kesehatan agar mendapatkan perawatan sebelum melahirkan, dan setiap kelahiran harus dibantu oleh bidan terlatih, selain itu kesehatan ibu dan anak dapat lebih terjaga dengan cara menjarangkan kelahiran paling sedikit antara 2 tahun, dan mencegah kehamilan sebelum usia 18 tahun dan membatasi kehamilan hingga empat kali (Novita, 2008). Pendidikan tentang kesehatan reproduksi bagi remaja juga patut diperhitungkan untuk diberikan, bisa meliputi dari pengetahuan tentang alat kesehatan reproduksinya dan fungsinya, mitos-mitos yang berkaitan dengan seksualitas, serta penyakit menular seksual. Langkah lanjut diperlukan dukungan nyata akan upaya-upaya yang telah direncanakan dengan memasukkan kesehatan reproduksi menjadi muatan lokal yang diajarkan pada remaja (Widjanarko, 2002).
Tujuan penelitian
1. Mengidentifikasi usia ibu dari bayi baru lahir
2. Mengidentifikasi paritas ibu dari bayi baru lahir
3. Mengidentifikasi kejadian BBLR 4. Menganalisis hubungan antara usia ibu
dengan kejadian BBLR 5. Menganalisis hubungan antara paritas
ibu dengan kejadian BBLR
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah cross sectional yaitu mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada satu saat (point time approach) Pengumpulan
data diambil secara bersamaan melalui data sekunder.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah data seluruh bayi baru lahir mulai tanggal 1 Januari 2006-31 Desember 2008 sejumlah 379 subjek. Besar sampel dalam penelitian ini adalah :195, yang diambil menggunakan teknik simple random sampling. Pengumpulan dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan pendekatan studi dokumentasi dari Register Persalinan Tahun 2006-2008 di RSU dr. Sayidiman Magetan. Analisa statistik digunakan untuk menjelaskan hubungan usia dan paritas ibu dengan kejadian berat bayi lahir rendah adalah uji koefisien kontingensi dengan taraf
signifikansi (=0,05). Koefisien Kontingensi atau C dapat dihitung dalam Chi-Square . HASIL PENELITIAN
Usia Ibu Bersalin
Pada 195 subjek didapatkan bahwa bayi
baru lahir dengan usia ibu beresiko sebanyak 104 (53,3%), sedangkan bayi baru lahir dengan usia ibu tidak beresiko sebanyak 91 (46,7%). Distribusi frekuensi usia ibu bersalin dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Distribusi usia ibu bersalin Paritas Ibu Bersalin
Pada 195 subjek didapatkan bahwa bayi
baru lahir dengan paritas ibu beresiko
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
14 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
sebanyak 94 (62,6%), sedangkan bayi baru lahir dengan paritas ibu tidak beresiko sebanyak 101 (37,4%). Distribusi frekuensi paritas ibu bersalin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Distribusi paritas ibu bersalin
Berat Bayi Lahir
Pada 195 subjek diperoleh data bahwa
bayi yang lahir dengan berat badan lahir amat sangat rendah sebanyak 14 (6,2%), bayi lahir dengan berat badan sangat rendah sebanyak13 (4,6%), bayi lahir dengan berat badan cukup rendah sebanyak 61 (21,5%) dan bayi lahir dengan berat badan normal sebanyak 107 (67,7%).
Gambar 3. Distribusi berat bayi lahir
Hubungan Antara Usia dengan Kejadian BBL
Hasil uji Chi-Square didapatkan hasil
sebagai berikut: X2 hitung 27.406, X2 tabel 7,815 dan nilai probability (p)= 0,000 dengan
taraf signifikan =0,05 dan df =3. Berdasarkan hasil uji tersebut maka Ho ditolak. Dengan demikian terdapat hubungan antara usia ibu dengan kejadian BBLR di RSU dr. Sayidiman Magetan tahun 2009.
Uji Koefisien Kontingensi diperoleh nilai koefisien (C) = 0,351 yang berarti antara variabel usia ibu dengan variabel kejadian BBLR di di RSU dr. Sayidiman Magetan tahun 2009 menunjukkan tingkat keeratan hubungan yang rendah.
Hubungan Antara Paritas Ibu dengan Kejadian BBL
Hasil uji Chi-Square didapatkan hasil
sebagai berikut: X2 hitung 27.169, X2 tabel 7,815 dan nilai probability (p)= 0,000 dengan
taraf signifikan =0,05 dan df =3. Berdasarkan hasil uji tersebut maka Ho ditolak. Dengan demikian terdapat hubungan antara paritas ibu dengan kejadian BBLR di RSU dr. Sayidiman Magetan tahun 2009.
Uji Koefisien Kontingensi diperoleh nilai koefisien (C) = 0,350 yang berarti antara variabel paritas ibu dengan variabel kejadian BBLR di di RSU dr. Sayidiman Magetan tahun 2009 menunjukkan tingkat keeratan hubungan yang rendah.
PEMBAHASAN
Usia Ibu
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa dari 195 bayi baru lahir di RSU dr. Sayidiman Magetan yang diperoleh dari Register Persalinan Tahun 2006-2008 sebagian besar ibu melahirkan dengan usia beresiko. Melahirkan dengan resiko tinggi merupakan salah satu penyebab tingginya AKI (Prasetyo, 2008). Menurut Wiknjosastro (2006:23) dalam kurun waktu reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Angka kejadian tertinggi BBLR adalah dibawah 20 tahun dan di atas 30 tahun. Karena banyaknya faktor yang mempengaruhi terjadinya bayi berat lahir rendah wajar bila tidak semua ibu yang melahirkan dengan usia beresiko akan melahirkan bayi berat lahir rendah.
Menurut Hassan (2005) penyebab kelahiran prematur terdiri atas faktor ibu meliputi usia, penyakit, keadaan sosial ekonomi dan faktor janin yaitu hidramnion dan kehamilan ganda. Hal ini sesuai pernyataan Wiknjosastro (2006) bahwa faktor yang merupakan predisposisi terjadinya kelahiran prematur diantaranya faktor ibu meliputi riwayat kelahiran prematur sebelumnya, perdarahan antepartum, malnutrisi, kelainan uterus, hidramnion, penyakit jantung/penyakit kronik lainnya, hipertensi, umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, jarak dua kehamilan yang terlalu dekat, infeksi, trauma, dan lain-lain. Sehingga upaya yang dapat dilakukan yaitu penyuluhan gizi bagi ibu hamil sehingga zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh maupun janin dapat terpenuhi dengan prinsip gizi seimbang dan keanekaragaman pangan (Hardinsyah, 2008).
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
15 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
Paritas Ibu
Berdasarkan pengumpulan data yang
telah dilakukan diperoleh hasil bahwa dari 195 bayi baru lahir ibu dengan paritas beresiko lebih banyak melahirkan bayi dengan BBLR. Ini dapat dibenarkan melihat pada multiparitas lebih resiko terjadi anemia. Sedangkan pada ibu hamil diperlukan kebutuhan zat gizi yang meningkat selain untuk menutupi kebutuhan basal (kehilangan zat gizi melalui keringat, urine dan kulit) juga dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel darah merah yang bertambah banyak serta untuk kebutuhan plasenta dan janin dalam kandungan. Sehingga pada ibu hamil yang menderita anemia dapat beresiko melahirkan bayi BBLR (Anonim, 2007).
Berat Bayi Baru Lahir Rendah
Berdasarkan pengumpulan data yang
telah dilakukan diperoleh hasil bahwa dari 195 bayi baru lahir sebagian besar bayi lahir dengan kondisi normal. Wiknjosastro (2006) bayi BBLR lebih banyak mengalami kesulitan untuk hidup di luar uterus ibunya. Makin pendek masa kehamilannya makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya terjadi komplikasi dan makin tingginya angka kematiannya.
Ternyata pada tahun 2006-2008 masih banyak bayi lahir dengan BBLR. Ini sesuai fakta yang ditemukan di RSU dr. Sayidiman Magetan. Hal ini bisa dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai reproduksi sehat dan rendahnya pengawasan nakes pada ibu hamil. Hubungan Antara Usia Ibu dengan Berat Bayi Baru Lahir Rendah
Berdasarkan hasil tabulasi silang
didapatkan pada usia beresiko, 39 (57,1%) bayi lahir dengan berat badan normal, 44 (32,5%) bayi lahir dengan berat badan cukup rendah, 10 (6,9%) bayi lahir dengan berat badan sangat rendah, dan 11 (7,5%) bayi lahir dengan berat badan amat sangat rendah. Pada usia tidak beresiko, 68 (49,9%) bayi lahir dengan berat badan normal, 17 (28,5%) bayi lahir dengan berat badan cukup rendah, 3 (6,1%) bayi lahir dengan berat badan sangat rendah, dan 3 (6,5%) bayi lahir dengan berat badan amat sangat rendah.
Berdasarkan uji analisis Chi Square didapatkan hasil ada hubungan antara usia ibu dengan kejadian BBLR di RSU dr. Sayidiman Magetan. Sedangkan berdasarkan uji Koefisien Kontingensi didapatkan hubungan yang rendah antara
usia ibu dengan kejadian BBLR dan mempunyai korelasi yang positif, artinya semakin ibu melahirkan dengan usia reproduksi sehat maka kondisi bayi baru lahir juga akan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian BBLR salah satunya dipengaruhi oleh usia ibu.
Terkait dengan BBLR dalam Wiknjosastro (2006:775) faktor yang merupakan predisposisi terjadinya kelahiran prematur diantaranya faktor ibu, faktor janin, keadaan sosial ekonomi yang rendah, kebiasaan merokok dan pekerjaan yang melelahkan. Dari faktor ibu meliputi riwayat kelahiran prematur sebelumnya, perdarahan antepartum, malnutrisi, kelainan uterus, hidramnion, penyakit jantung/penyakit kronik lainnya, hipertensi, umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 30 tahun, jarak dua kehamilan yang terlalu dekat, infeksi, trauma, dan lain-lain. Sedangkan dari faktor janin yaitu cacat bawaan, kehamilan ganda, hidramnion, dan ketuban pecah dini. Sedangkan menurut Prasetyo (2008). kehamilan atau persalinan pada ibu yang belum berumur 18 atau 20 tahun dapat mengakibatkan BBLR karena belum siap secara mental atau fisik. Karena secara kejiwaan pikiran ibu belum siap dan mampu merawat janinnya. Secara fisik, pada usia yang terlalu muda organ reproduksi ibu belum mencapai pertumbuhan yang optimal untuk mengandung apalagi melahirkan. Sedangkan kehamilan atau persalinan yang terjadi pada usia di atas 35 tahun adanya penurunan kualitas reproduksi wanita, terutama berhubungan dengan kondisi sel telur mulai dari kemampuannya untuk dapat hamil, keamanan kandungan, dan janin yang dikandungnya, serta kondisi kesehatan tubuhnya yang sudah menurun.
Masih banyaknya ditemukan ibu yang melahirkan dengan usia resiko memperbesar kemungkinan lahirnya bayi dengan BBLR, karena itu pentingnya pemahaman bagi masyarakat tentang usia reproduksi sehat sehingga terjadinya BBLR dapat juga diminimalkan. Hubungan Antara Paritas Ibu dengan Berat Bayi Baru Lahir Rendah
Berdasarkan hasil tabulasi silang
didapatkan pada paritas beresiko 34 (51,6%) bayi lahir dengan berat badan normal, 44 (29,4%) bayi lahir dengan berat badan cukup rendah, 7 (6,3%) bayi lahir dengan berat badan sangat rendah, dan 9 (6,7%) bayi lahir dengan berat badan amat sangat rendah. Pada paritas tidak beresiko 73 (55,4%) bayi lahir dengan berat badan normal, 17 (31,6%) bayi lahir dengan berat badan cukup rendah,
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
16 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
6 (6,7%) bayi lahir dengan berat badan sangat rendah, dan 5 (7,3%) bayi lahir dengan berat badan amat sangat rendah.
Berdasarkan uji analisis Chi Square didapatkan hasil ada hubungan antara paritas ibu dengan kejadian BBLR di RSU dr. Sayidiman Magetan. Sedangkan berdasarkan uji Koefisien Kontingensi didapatkan hubungan yang rendah antara paritas ibu dengan kejadian BBLR dan mempunyai korelasi yang positif, artinya semakin ibu melahirkan dengan paritas rendah maka kondisi bayi baru lahir juga akan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian BBLR salah satunya dipengaruhi oleh paritas ibu.
Salah satu penyebab angka kematian maternal yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar kesehatan. Untuk faktor luar kesehatan ibu hamil dan melahirkan pada usia rawan (30 tahun), terlalu banyak melahirkan anak, terlalu dini atau rapat jarak kehamilan, dan terbatasnya frekuensi penyuluhan kesehatan reproduksi (Josepina, 2006). Pada multiparitas resiko terjadi anemia. Sedangkan pada ibu hamil diperlukan kebutuhan zat gizi yang meningkat selain untuk menutupi kebutuhan basal (kehilangan zat gizi melalui keringat, urine dan kulit) juga dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel darah merah yang bertambah banyak serta untuk kebutuhan plasenta dan janin dalam kandungan. Sehingga pada ibu hamil yang menderita anemia dapat beresiko melahirkan bayi BBLR (Anonim, 2007).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Terdapat hubungan antara usia ibu
dengan berat bayi lahir rendah di RSU dr. Sayidiman Magetan dengan tingkat hubungan rendah dan korelasi yang positif sehingga semakin ibu melahirkan dengan usia reproduksi sehat maka kondisi bayi baru lahir juga akan baik. Dari fakta di RSU dr. Sayidiman Magetan ibu dengan usia beresiko lebih beresiko melahirkan bayi dengan BBLR.
Terdapat hubungan antara paritas ibu dengan berat bayi lahir rendah di RSU dr. Sayidiman Magetan dengan tingkat hubungan rendah dan korelasi yang positif artinya semakin ibu melahirkan dengan paritas rendah maka kondisi bayi baru lahir juga akan baik. Dari fakta di RSU dr. Sayidiman Magetan ibu dengan paritas tinggi lebih beresiko melahirkan bayi dengan BBLR.
Saran
Instansi pendidikan hendaknya bersedia berperan aktif untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan bayi selama masa kehamilan melalui proses pembelajaran dengan cara menggunakan penelitian ini sebagai acuan bagi instansi pendidikan untuk dapat melaksanakan asuhan kebidanan sesuai dengan standar.
Instansi terkait menggunakan penelitian ini sebagai acuan dalam penatalaksanaan perawatan ibu hamil utamanya pemeriksaan kehamilan sebagai kegiatan promotif dan preventif dari kejadian BBLR.
Masyarakat sadar bahwa dalam proses kehamilan memiliki resiko yang dapat terjadi sehingga masyarakat lebih memperhatikan kesehatan ibu hamil dengan melakukan pemeriksaan rutin kehamilan (ANC) juga sebagai acuan dalam pemahaman usia sehat dalam reproduksi dan pembatasan paritas untuk menekan kelahiran.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S, 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Alvintasari Berlina. 2007. Anemia Pada Kehamilan Sebagai Faktor Risiko BBLR di RSU Roemani Muhammadiyah Semarang Periode 1 Januari-31 Desember 2007. www.unissula.ac.id. Diakses 24 Juni 2010.
Anderson,MA. 2003. The Relationship Between Maternal Nutrition and Child Growth in Rural India. PhD.Dissertation, Tufts University.
Anggraini Rozi, 2007. Pengaruh Jarak Kehamilan Terhadap Risiko Kematian Perinatal di kabupaten Agam. Tesis, PPS IKM FK UGM Yogyakarta. www.litbang.ugm.ac.id. Diakses 17 Januari 2010
Besral, 2008. Pengaruh Pemeriksaan Kehamilan Terhadap Pemilihan Penolong Persalinaan. www.lib.ui.ac.id diakses 24 Juni 2010.
Bhargava, A. 2000. Modelling the Effect of Maternal Nutritional Status and Socioeconomic Variables on The Antrhopometric and Psycologic Indicator of Kenya Infant From Age 0-6 Month, Journal: Am J Physiologi Anthropologi, 2000 Januari:89-104, Houston, Texas: University of Houston.
Bondeviks, GT:Lie, RT: Ulstein, M. 2000. Maternal Hematological Status and Risk of Low Birth Weight Preterm Delivery in Nepal. Journal: Acta Obstetri Gynecologi
http://www.unissula.ac.id/http://www.litbang.ugm.ac.id/http://www.lib.ui.ac.id/
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
17 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
2001 May: 402-408. Bergen, Norway: University Of Bergen.
Budijanto, Didik, Astuti Dwi, Ismono Hadi, 2000. Risiko Terjadinya BBLR di Puskesmas Balerejo Kabupaten Madiun. Majalah, Medika Vol.XXVI/9.p.566-569.
-------, 2000. Program Perbaikan Gizi Menuju Indonesia Sehat 2010. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan RI. Jakarta
-------, 2009. Pedoman Umum Manajemen Penerapan Buku KIA. Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta.
Hanafiah TM, 2006. Perawatan Antenatal dan Peranan Asam Folat dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Ibu Hamil dan Janin. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap. www.usu.ac.id , Akses 17 Desember 2009.
Hanafiah Lilik (2008). Hubungan Antara Status Gizi Ibu Hamil dengan Berat Bayi Lahir di RB Pokasi. www.gizi.net. Diunduh 17 April 2010.
Handini Novi, 2007. Hubungan Frekuensi dan Kunjungan Pertama ANC dengan Kejadian BBLR di Kulon Progo.PPS IKM FK UGM. www.litbang.ugm.ac.id Diakses 17 Januari 2010.
Hercberg G, Galan P. 2000. Consequences of Iron Defisiensy in Pregnant Woment. Clin Drug Invest; 19 Suppl. 1:1-17.
Husaini JK, Husaini, MA, Musa MS, 1998. Keterbatasan Penggunaan Lingkaran Lengan Atas Dalam Memonitor Status Gizi Wanita Hamil Berisiko Tinggi Melahirkan Bayi Berat Lahir Rendah. www.ipb.ac.id Akses 24 Juli 2009.
Indahsari, 2009. Pengaruh Paritas, Usia ibu, Penyakit Penyerta Kehamilan, Anemia dan Usia Kehamilan terhadap BBLR. www.adln.lib.unair.ac.id. Diakses, 17 Janauri 2010.
Karjati S, 1985. Aspek Kesehatan dan Gizi Anak Balita. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Lubis Bidasari, 2008. Pencegahan Anemia Defisiensi Besi Sejak bayi Sebagai Salah Satu Upaya Optimalisasi Fungsi Kognitif Anak pada Usia Sekolah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap. Universitas Sumatera Utara. www.usu.ac.id. Akses 19 Juli 2009.
Lubis Zulhaida, 2003. Status Gizi Ibu Hamil Serta Pengaruhnya Terhadap Bayi Yang Dilahirkan. www.gizi.net. Diunduh 17 Juni 2009.
Lutfiana Binti, 2008. Hubungan usia ibu dengan BBLR di Kecamatan Kebonagung Pacitan tahun 2008. KTI, Prodi Kebidanan Magetan.
Milmann N, Agger A, Nielsen O. 1994. Iron Status markers and Serum erythropoietin in 120 Mothers and newborn Infant, Effect of Iron Supplementation in Normal Pregnancy. Acta Obstet Gynecol Scand: 73;200-4
Mutalazimah, 2005. Hubungan Lingkar Lengan Atas dan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Berat Bayi Lahir di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Jurnal Penelitian Sains&Teknologi, Vol.6 No.2 .p. 114-126.
Nasution AH, 2000. Gizi Untuk Kebutuhan Fisiologis Khusus. Jakarta. PT Gramedia.
Ngare DK, Newman C, 1998. Predictor of Low Birthweight at Community Level. East Africa Med. J. 1998. May;75(5):296-299. Eldoret, Kenya, Departemen Of Behavioral Science, Moi University.
Notobroto, Hari Basuki, 2004. Penggunaan Pertambahan Berat Badan dan Ukuran Lingkar Lengan Atas Ibu Hamil untuk Memprediksi Berat Badan Lahir Bayi. www.adln.lib.unair.ac.id. Diunduh 24 Pebruari 2009.
Paluttri S, Nurhayani, Mandak N, 2007. Determinan Kinerja Bidan Di Puskesmas Tahun 2006. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol.10, 4 desember 2007 p;195-200.
Peranginangin H, 2007. Telaah Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan Antenatal Care pada Sarana Kesehatan. Makalah PPS702 IPB Bogor. www.rudyct.com/pps702 Akses 24 Desember 2009.
Profil Kesehatan Kabupaten Magetan Tahun 2008. Dinkes Kab. Magetan.
Purdyastuti, 1994. Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Inpartu dengan Kehamilan Aterm dan Berat Bayi yang Dilahirkan di RS Fatmawati, Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 45;7 Juli 1995.
Rozi Anggraini, 2007. Pengaruh Jarak
Kehamilan terhadap Risiko Kematian Perinatal di Kabupaten Agam. www.lib.ugm.ac.id. Diakses 16 April 2010.
Roesmeri, 2000.Hubungan Status Gizi Ibu Hamil dengan Berat Bayi Lahir Rendah. www.gizi.net. Diakses 18 April 2009.
Samsudin, Tjokronegoro A, 1986. Gizi Ibu dan Bayi; Peningkatan Mutu. Jakarta; FKUI.
Setiyaningrum, 2005. Hubungan Antara Kenaikan Berat Badan, LILA dan Kadar Hemoglobin Ibu hamil Trimester III dengan BBL di Boyolali. Skripsi. UNNES. Semarang.
http://www.usu.ac.id/http://www.gizi.net/http://www.litbang.ugm.ac.id/http://www.ipb.ac.id/http://www.adln.lib.unair.ac.id/http://www.usu.ac.id/http://www.gizi.net/http://www.adln.lib.unair.ac.id/http://www.rudyct.com/pps702%20Akses%2024%20Desember%202009http://www.rudyct.com/pps702%20Akses%2024%20Desember%202009http://www.lib.ugm.ac.id/http://www.gizi.net/
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
18 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
Sitorus, 1999. Hubungan Kadar Hemoglobin dengan Berat Bayi Lahir. www.gizi.net. Diakses tanggal 12 Juni 2007.
Soeharyo, Palarto, Budi, 1999. Masalah Kurang Gizi Pada Ibu hamil, Ibu Menyusui, dan Anak balita serta Akibatnya. Seminar; Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan Gizi Keluarga di Masa Krisis, Semarang, 27 Oktober 1999. www.gizi.net. Akses 17 Juli 2009.
Solihin Pudjiaji, 2003. Ilmu Gizi Klinik pada Anak. Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
Sjahmien M, 2003. Ilmu Gizi II, Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta; Papas Sinar Sinarti Bharata.
Supariasa IDN, 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta, EGC.
Surtiati E, 2009. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah. www.poltekkes.bandung.ac.id Diakses 19 Januari 2010.
Thomsnon C, Syddal H, Rodin I, Osmond C, Barker DJ. Birth Weight and The Risk of Depressive Disorder in Late Life. Br.J Psychiatry. 2001. Nov.;179-450-5 UK, MRC environment Epidemiology Unit and Community Clinical Science Research Division, University of Southampton.
Thorn Gill, 2003. Healthy Pregnancy. Hamyln Octopus, Part of Octopus Publising, Docklands, London.
Wiknjosastro, dkk, 1994. Ilmu Kebidanan. Jakarta; YBPSP.
Wahidah Nor, Hasanbasri M, 2006. Making Pregnancy Safer Policy Implementation in Banjar Distric, South Kalimantan Province. Working Paper Series No.4 November 2006. PPS KMKP UGM Yogyakarta.
Yayan, 2008. Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah. www.yayankhyar.worldpress.com , Akses 15 Januari 2009.
http://www.gizi.net/http://www.gizi.net/http://www.poltekkes.bandung.ac.id/http://www.yayankhyar.worldpress.com/
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
19 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
EFEK ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN
KEMANGI (Ocimum sanctum) TERHADAP METHICILLIN-RESISTANT
Staphylococcus aureus (MRSA)
Prita Aji Malinda (Mahasiswa Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga) Arifa Mustika
(Departemen Farmasi Kedokteran, FK Universitas Airlangga)
Kuntaman (Departemen Mikrobiologi Kedokteran,
FK Universitas Airlangga)
ABSTRACT
Introduction: In the use of antibacterial drug clinically, sensitive bacteria will killed while resistant bacteria will survive and replicate. Several strains of Staphylococcus have been resistant to antibiotics, e.g. methicillin. The resistance in Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) is due to the presence of mecA gene. This gene may be freely distributed among Staphylococcus species. The rapid spreading of antibiotic resistance urged people to find active antibacterial compound. Basil (Ocimum sanctum) contains eugenol, flavonoids, saponins, and tannins known to have antibacterial effects. Methods: This was an observational laboratory study. To control the method of diffusion susceptibility test, was used 30 mcg linezolid disk that was applied on Mueller Hinton agar inoculated with MRSA as positive control and DMSO 40% that was used to dilute basil leaves extract as negative control. Basil leaves extract with concentration of 100 mg ml
-1, 200 mg ml
-1,
400 mg ml-1
, 800 mg ml-1
, and 1600 mg ml-1
was applied with diffusion method to determine antibacterial effects of basil leaves extract against MRSA. It was replicated 6 times. Results: This study showed that the antibacterial effect of basil (Ocimum sanctum) leaves extract can be identified at the concentration of 1600 mg ml
-1, by
laboratory disk diffusion method. From the observations, inhibition zone was shown at concentration of 1600 mg ml
-1. Qualitatively,
it’s known that basil (Ocimum sanctum) leaves extract has an antibacterial effect against MRSA. Conclusion: Basil (Ocimum sanctum) leaves extract has the effect of inhibiting the growth of MRSA at a concentration of 1600 mg ml
-1.
Keywords: Ocimum sanctum, basil leaves extract, MRSA
PENDAHULUAN Latar Belakang
Stafilokokus merupakan flora normal manusia yang banyak terdapat pada mulut, saluran pernapasan bagian atas, dan juga kulit (Entjang, 2003). Sebagai flora normal, Staphylococcus aureus berperan mempertahankan keseimbangan ekosistem mikroorganisme pada permukaan tubuh. Staphylococcus aureus juga memiliki sifat sebagai patogen oportunis, artinya pada keadaan daya tahan tubuh yang menurun dapat menyebabkan infeksi yang lebih serius (Stapleton and Taylor, 2002).
Beberapa jenis stafilokokus telah menjadi kebal terhadap antibiotika methicillin yang disebut Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Galur ini sering menimbulkan masalah di klinik karena sifatnya yang resisten terhadap berbagai antibiotika golongan β-laktam, tetapi biasanya masih peka terhadap vankomisin atau golongan aminoglikosida (Dzen et al., 2003).
Dalam studi oleh Lestari et al. (2008), ditemukan bahwa kejadian MRSA adalah 2/361 (0,6%) isolat dari Indonesia. Dan dari spesimen yang dikumpulkan bulan Juli-Oktober 2001 di Surabaya dan Januari-Mei 2002 di Semarang oleh Severin et al. (2008), ditemukan prevalensi MRSA yang rendah (0,3%). Prevalensi yang rendah ini tidak boleh dianggap remeh, karena dalam pemakaian obat antibakteri secara klinis akan terjadi seleksi antara kuman sensitif dan kuman resisten. Kuman sensitif akan mati sedangkan kuman resisten akan tetap hidup dan berkembang biak. Selain itu, elemen genetik ini dapat ditransfer dari kuman resisten kepada kuman sensitif (Tenover, 2006). Determinan sifat resistensi ini diduga dapat disebarkan secara bebas di antara spesies Staphylococcus (Katayama et al., 2000). Oleh karena itu, sifat resistensi ini dapat menyebar dengan cepat.
Cepatnya perambatan resistensi antibiotika telah mendesak umat manusia untuk melakukan upaya penemuan bahan aktif antibakteri, misalnya yang bersumber dari tanaman, yang dapat memberikan manfaat jangka panjang dalam tatalaksana dan kontrol infeksi pasien dengan kasus resistensi antibiotika (Shokeen et al., 2008; Geeta et al., 2001). Salah satu tanaman obat tradisional yang banyak dimanfaatkan di Indonesia adalah kemangi (Ocimum sanctum Linn) (Umar, 2011).
Telah banyak penelitian mengenai fitokimia dari tanaman kemangi (Ocimum sanctum). Ekstrak air daun kemangi
Volume V Nomor 1, Februari 2015 ISSN: 2086-3098
20 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan
(Ocimum sanctum) mengandung berbagai isolasi flavonoid (Ali and Dixit, 2012). Ekstrak heksana daun kemangi mengandung eugenol (Shokeen et al., 2008). Ekstrak minyak atsiri daun kemangi mengandung eugenol, β-caryophyllene, flavonoids, dan komponen-komponen lain (Das and Vasudevan, 2005). Tanaman kemangi (Ocimum sanctum) baik yang berwarna hijau maupun ungu dan berasal dari berbagai habitat yang berbeda memiliki kandungan eugenol atau metil eugenol yang tinggi. Minyak atisiri mengandung eugenol (27-83%) sebagai unsur utama, metil eugenol (3-24%), methyl chavicol (10-15%) serta hidrokarbon seskuiterpen (Bariyah, 2013). Eugenol adalah kandungan terbanyak dari minyak atsiri daun kemangi yang juga merupakan zat antibakteri dan digunakan pada bidang farmasi sebagai bahan pembuatan senyawa antibakteri (Prakash and Gupta, 2005).
Eugenol merupakan komponen monoterpen, yaitu sebagian besar golongan fenolik, yang terdapat pada ekstrak daun Ocimum sanctum. Komponen ini memiliki efek merusak membran mikroba dan merangsang kebocoran ion-ion kalium selular yang menyebabkan kerusakan membran sitoplasma dan berakhir dengan kematian mikroba (Mahmood et al., 2008).
Flavonoid mempunyai efek antibakteri dengan mekanisme menghambat sintesis asam nukleat, fungsi membran sitoplasma, dan metabolisme energi sel (Cushnie and Lamb, 2005). Selain itu, flavonoid menghambat konsumsi oksigen pada bakteri sehingga akan mengganggu metabolisme energinya (Haraguchi et al., 1998 dalam Cushnie and Lamb, 2005). Flavonoid juga menyebabkan pengikatan hidrogen dengan basa pada asam nukleat (intercalation) sehingga menyebabkan penghambatan pada sintesis DNA dan RNA (Mori et al., 1987 dalam Cushnie and Lamb, 2005).
Saponin mampu berintegrasi dengan membran sel, dan integrasi ini diduga dapat memacu terbentuknya stuktur menyerupai pori-pori yang dapat mengubah permeabilitas membran, serta mengubah keseimbangan ion intraselular dan ekstraselular (Melzig et al., 2001).
Tannin bekerja dengan cara kelasi zat besi yang tersedia di medium sehingga zat besi tak dapat digunakan oleh mikroorganisme (Akiyama et al., 2001). Selain itu, kerja tannin dalam menghambat pertumbuhan bakteri diduga dengan menghambat kerja enzim dari bakteri, serta diduga berhubungan dengan aktivitas pada membran sel. Tannin juga berfungsi sebagai mekanisme pertahanan alami terhadap
infeksi mikroba pada suatu tanaman (Chung et al., 1998).
Sampai saat ini, penelitian tentang efek antibakteri ekstrak daun kemangi terhadap MRSA masih belum banyak dilakukan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang efek antibakeri ekstrak daun kemangi terhadap MRSA.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observasional laboratorik untuk mengetahui efek antibakteri ekstrak daun kemangi (Ocimum sanctum) terhadap Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Penelitian ini menggunakan metode difusi dengan agar well diffusion (AWD).
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya pada bulan Maret 2014 hingga April 2014.
Bahan dan cara
Ekstrak Ocimum sanctum didapatkan dari Balai Materia Medika, Jalan Labor No. 87, Kota Batu, pada bulan Agustus-September 2013. Dari 3000 gram daun basah didapatkan 30 gram ekstrak kering/ serbuk simplisia, kemudian dari ekstrak kering dimaserasi kinetik dengan pelarut etanol 80%, dan didapatkan 70 gram ekstak kental/ pasta.
Jumlah MRSA yang digunakan adalah satu, yaitu isolat bakteri MRSA yang didapat dari stok Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Penelitian ini dilakukan dengan metode agar well diffusion (AWD) atau difusi dengan sumuran yang berdiameter 8 mm pada media Muller Hinton agar plate yang telah diinokulasi dengan suspensi bakteri MRSA, disesuaikan dengan 0,5 McFarland (1,5x108 CFU/ml). Ekstrak diteteskan pada sumuran dengan menggunakan mikropipet 100 µl. Lima konsentrasi dari esktrak daun kemangi (Ocimum santum) yang digunakan yaitu 100 mg ml-1, 200 mg ml-1, 400 mg ml-1, 800 mg ml-1, dan 1600 mg ml-1 sebagai kelompok uji, kemudian cakram linezolid sebagai kontrol positif dan DMSO 40% sebagai kontrol negatif. DMSO 40% merupakan pelarut yang digunakan untuk mengencerkan ekstrak d