Post on 25-Oct-2015
Benjolan Karsinoma Tiroid
Farella Kartika Huzna
102011408
A-4
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
e-mail: faerella@ymail.com
Pendahuluan
Masalah yang sering dialami seorang pria usia lanjut yang berhubungan dengan sistem
perkemihan adalah Benign Prostatic Hyperlasia (BPH). Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH
memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari
pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya
obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi
yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction
(BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal
sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.1
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract
symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang
meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan
antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan
sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan
dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang
menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron.
Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor
lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor
tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya
protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor
yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan
protein growth factor dikenal sebagai factor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat.
Sehingga, istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis,
yaitu karena terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.1
1
Anamnesis
Merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan memperhatikan
petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien. Anamnesis bisa
dilakukan pada pasien itu sendiri yang disebut Auto Anamnesa apabila pasien dalam kondisi
sadar dan baik, bisa juga melalui keluarga terdekat atau orang yang bersama pasien selama ia
sakit apabila pasien dalam kondisi tidak sadar atau kesulitan berbicara disebut dengan Allo
Anamnesa.2
Dengan dilakukanya anamnesis maka 70% diagnosis dapat ditegakkan. Sedangkan
30%nya lagi didapatkan dari pemeriksaan fisik, lab, dan radiologi (kalau diperlukan). Hal
yang perlu ditanyakan dokter pada saat anamnesis antara lain:2
Keluhan utama yakni gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan
penderita sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan
serta menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut. Hal ini merupakan dasar untuk
memulai evaluasi pasien.
Riwayat pribadi merupakan segala hal yang menyangkut pribadi pasien seperti data
diri pasien seperti nama, tanggal lahir, umur, alamat, suku, agama, dan pendidikan.
Riwayat sosial mencakup keterangan mengenai pekerjaan, aktivitas, perkawinan,
lingkungan tempat tinggal, dan lain-lain.
Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah di derita pasien
pada masa lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang dialami
sekarang.
Riwayat keluarga meliputi segala hal yang berhubungan dengan peranan herediter
dan kontak antara anggota keluarga mengenai penyakit yang dialami.
Pada riwayat penyakit sekarang dapat menanyakan mengenai:
sejak kapan muncul gangguan atau gejala-gejala tersebut
frekuensi serangan atau kualitas penyakit
sifat serangan atau kuantitas penyakit
lamanya penyakit tersebut diderita
perjalanan penyakitnya, riwayat pengobatan sebelumnya
lokasi sakitnya
akibat yang timbul
2
Anamnesis dilakukan untuk menggali keluhan utama serta gejala BPH. Di samping itu
ditanya juga riwayat kesehatan pada umumnya seperti riwayat pembedahan, riwayat penyakit
saraf, penyakit metabolik seperti diabetes melitus, dan riwayat pemakaian obat-obatan. Untuk
menilai gejala obstruktif dan iritatif dapat diperoleh melalui kuesioner, dimana yang
umumnya dipakai saat ini adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). Pada kasus
BPH, hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain :2
Bagaimana perasaan setelah buang air kecil? Lampias atau tidak lampias (vesika urinaria
tidak kosong setelah miksi)
Seberapa sering dalam sehari buang air kecil? Sering / tidaknya miksi
Bagaimana pancuran air kemih waktu berkemih? Terdapat arus kemih yang berhenti saat
miksi / tidak?
Bagaimana arus buang air kecil lancar, setetes-setetes? (lemah saat miksi / tidak)
Dapatkah menahan buang air kecil? Tidak dapat menahan miksi / dapat
Apakah terjadi kesulitan saat memulai buang air kecil / tidak?
Apakah sering buang air kecil pada waktu malam hari atau terbangun pada malam hari
(Nokturia)?
Hasil anamnesis berdasarkan dari skenario antara lain : Laki-laki berusia 60 tahun
dengan keluhan sering BAK, terutama pada malam hari. Pasien selalu merasa tidak lampias
dan pancaran urinnya lemah. Sudah dirasakan selama 6 bulan terakhir dan makin memberat.2
Pemeriksaan fisik3,4
a. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi
urin serta urosepsis sampai syok - septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya
hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan
menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Pada pemeriksaan abdomen
ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis
akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.
3
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra,
karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim
persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui
derajat dari BPH, yaitu :
i. Derajat I = beratnya ± 20 gram.
ii. Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
iii. Derajat III = beratnya > 40 gram.
Pemeriksaan fisik diagnostik yang paling penting untuk BPH adalah colok dubur (digital
rectal examination). Pada pemeriksaan ini akan dijumpai pembesaran prostat teraba simetris
dengan konsistensi kenyal, Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang
keadaan tonus sfingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti
benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus
diperhatikan:4
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
2. Adakah asimetris
3. Adakah nodul pada prostat
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostat
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar, konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak
didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat,
batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada karcinoma prostat, konsistensi prostat
keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu
prostat akan teraba krepitasi.3,4
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-
kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan
nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah
inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.3,4
4
Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang
lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra
anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.3,4
Jika pada colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi keras, harus dicurigai
suatu karsinoma. Franks pada tahun 1954 mengatakan: BPH terjadi pada bagian dalam kelenjar
yang mengelilingi urethra prostatika sedangkan karsinoma terjadi di bagian luar pada lobus
posterior.3,4
Pemeriksaan penunjang
Urinalisis
Bertujuan untuk menyingkirkan adanya infeksi atau hematuria dan pengukuran kadar
serum ureum kreatinin untuk menilai fungsi ginjal dari pasien. Insufisiensi ginjal dapat
ditemukan pada 10% pasien dengan prostatism dan memerlukan pemeriksaan radiologi saluran
kemih bagian atas. Pasien dengan insufisiensi ginjal mempunyai risiko yang tinggi mengalami
komplikasi post-operasi setelah pembedahan BPH. Kadar PSA serum biasanya dapat dilakukan,
namun sebagian besar ahli memasukkan pemeriksaan PSA ke dalam pemeriksaan awal,
dibandingkan dengan pemeriksaan RT saja.3,4
PSA
Disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specifik tetapi bukan kanker specifik.
Serum PSA dapat dipakai untuk mengetahui perjalanan penyakit dari BPH. Apabila kadar PSA
tinggi berarti : 3,4
(a) Pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) Keluhan akibat BPH atau laju pancaran urin lebih buruk,
(c) Lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA, makin
tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-
rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar
PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.18
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat,
dan usia yang makin tua. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:
A) 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml B) 50-59 tahun :0-3,5 ng/ml
5
C) 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml D) 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml
Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi
kelompok usia BPH mempunyai resiko terkena karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan
dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi
adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA menjadi sangat
penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat. 3,4
Pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan
syarat yang berhubungan dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien. Usia sebaiknya
tidak melebihi 70-75 tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang
terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya. 3,4
Pielogram intravena (IVP) atau USG ginjal dianjurkan bila ditemukan adanya kelainan
saluran kemih atau komplikasi dari BPH (misal: hematuria, ISK, insufisensi ginjal, dan
riwayat batu saluran kemih). 3,4
Sistometrogram dan urodinamik diperlukan pada pasien yang diduga mengalami kelainan
neurologis atau pada pasien dengan riwayat kegagalan operasi prostat. 3,4
Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH
bergejala.Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini merupakan
pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu
meramalkan keberhasilan suatu tindakan pembedahan. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas
87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan urodinamika
pada BPH adalah: 3,4
Berusia < 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual urine>300 mL,
Qmax>10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis,
Setelah gagal dengan terapi invasif, atau
Kecurigaan adanya buli-buli neurogenik
6
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang
tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. 78% pria normal mempunyai residual urine kurang
dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL. 3,4
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan
pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non
invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui
kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia.11,12
Peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine
atau beratnya obstruksi. Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang
cukup banyak dan volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-
buli sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. 3,4
Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai bagian
dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena variasi
intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan
sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal. 3,4
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara elektronik.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah
yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi,
pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran. 3,4
Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejala
obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil uroflometri tidak
spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang
lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor. Demikian pula Qmax
(pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO. Namun demikian sebagai patokan, pada IC-
BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai Qmax dengan derajat BOO sebagai berikut: 3,4
Qmax < 10 ml/detik 90% BOO
Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO
7
Qmax >15 ml/detik 30% BOO
Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua yang
mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan karena BPH dan keluhan
tersebut tidak berubah setelah pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik
biasanya disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik. Penilaian ada
tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan
pemeriksaan lain. Menurut Steele et al (2000) kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat,
dan Qmax cukup akurat dalam menentukan adanya BOO. 3,4
Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta terdapat variasi
induvidual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume
urine >150 mL dan diperiksa berulangkali pada kesempatan yang berbeda. Spesifisitas dan nilai
prediksi positif Qmax untuk menentukan BOO harus diukur beberapa kali. Reynard et al (1996)
dan Jepsen et al (1998) menyebutkan bahwa untuk menilai ada tidak-nya BOO sebaiknya
dilakukan pengukuran pancaran urine 4 kali. 3,4
Bila pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai pancaran
urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure
flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi leher
buli-buli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk
pasien yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien
bukan disebabkan oleh obstruksi prostat (BPO) melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi
otot detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat. 3,4
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologi, seperti foto
polos abdomen, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan seperti batu saluran
kemih, hidronefrosis, atau difertikel saluran kemih. Pembesan prostat dapat dilihat lesi profusio
prostat kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung pembesaran prostat dapat
diperkirakan apabila dasar kandung kemih pada gambaran sistogram tampak terangkat atau
ujung distal ureter membengkok ke atas berbentuk seperti mata kail. 3,4
Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal (trans rectal
ultrasography = TRUS). Untuk mengetahui pembesaran prostat, pemeriksaan ini dapat pula
8
menentukan volume kandung kemih, mengukur sisa urin dan keadaan patologi lain seperti
defertikel, tumor dan batu. 3,4
Pemeriksaan CT Scan atau MRI jarang dilakukan. Pemeriksaan sitoskopi dilakukan
apabila pada anamesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan
mikrohematuria. Sitoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan
mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat di dalam uretra. 3,4
Manifestasi klinis
Hiperplasia prostat hampir mengenai semua orang tua tetapi tidak semuanya disertai
dengan gejala-gejala klinik. Gejala klinis yang menonjol dan hiperplasia prostat adalah sumbatan
saluran kencing bagian bawah. Terjadinya gejala tersebut dapat disebabkan oleh dua komponen,
pertama adanya penekanan yang bersifat menetap pada uretra (komponen statik) dimana terjadi
peningkatan volume prostat yang pada akhirnya akan menekan uretra pars prostatika dan
mengakibatkan terjadinya hambatan aliran kencing. Kedua disebabkan oleh peningkatan tonus
kelenjar prostat yang diatur oleh sistem saraf otonom (komponen dinamik) yang akhimya dapat
meninggikan tekanan dan resistensi uretra, hal tersebut selanjutnya menyebabkan terjadinya
sumbatan aliran kencing. 5
Tanda dan gejala hiperplasia prostat antara lain sering buang air kecil, nocturia, pancaran
urin lemah, urin yang keluar menetes-netes pada bagian akhir masa buang air kecil. Gejala
hiperplasia prostat biasanya memperlihatkan dua tipe yang saling berhubungan, obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau
gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. 5
Tanda obstruksi:
1. Menunggu pada permulaan miksi
2. Pancaran miksi terputus-putus (intermitten)
3. Rasa tidak puas sehabis miksi
4. Urin menetes pada akhir miksi (terminal dribling)
5. Pancaran urin jadi lemah
Gejala iritasi biasanya lebih memberatkan pasien dibandingkan obstruksi. Gejala iritasi
timbul karena pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada akhir miksi atau
9
pembesaran prostat menyebabkan ransangan pada kandung kemih, sehingga kandung kemih
sering berkontraksi meskipun belum penuh. Bila terjadi dekompensasi akan terjadi retensi urin
sehingga urin masih berada dalam kandung kemih pada akhir miksi. 5
Retensi urin kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan
gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi.5
Tanda iritasi :5
1. Rasa tidak dapat menahan kencing (urgensi)
2. Terbangun untuk kencing pada saat tidur malam hari (nocturia)
3. Bertambahnya frekuensi miksi
4. Nyeri pada waktu miksi (disuria).
Gejala dan tanda ini diberi skoring untuk menentukan berat keluhan klinik. Pada waktu
miksi penderita hampir selalu mengedan, sehingga lama kelamaan akan menyebabkan hernia
atau hermoroid. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam kandung
kemih.5
Adanya batu saluran kemih menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria.
Hematuria bisa juga terjadi karena ruptur dari vena-vena yang berdilatasi pada leher vesika
uninaria. Selain itu, batu tersebut bisa menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk dapat terjadi
pyelonefritis. Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui penderita sama sekali tidak dapat miksi
sehingga harus dikeluarkan dengan kateter.5
Dengan pemeriksaan colok dubur, dapat memberi kesan keadaan tonus spingter anus,
kelainan yang berada di mukosa rektum dan pembengkakan dalam rektum dan prostat. Pada
pemeriksaan ini harus diperhatikan konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya
kenyal) apakah simetris, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas teraba. Apabila batas atas
masih bisa diraba biasanya diperkirakan berat prostat kurang dan 60 gram. Tentu saja penentuan
berat prostat dengan cara ini tidak akurat. Sebaliknya colok dubur cukup baik untuk mengetahui
adanya keganasan prostat.5
Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang konsistensinya
lebih keras dari sekitarnya atau letaknya asimetris dengan bagian yang lebih keras.Retensi urin
dapat teriadi dengan kelenjar yang dirasakan normal pada pemeniksaan colok dubur, sebaliknya
kelenjar yang dirasakan membesar bisa tidak menimbulkan gejala obstruksi saluran keluar vesika 10
urinaria. 5
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah
penderita miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar
dengan kateterisasi. Volume sisa urin setelah miksi normal pada pria dewasa sekitar 35 ml. Sisa
urin dapat juga diketahui dengan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi, sisa urin lebih dari
100 ml,biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hiperplasia.5
Diagnosis kerja
Dari hasil anamnesis & pemeriksaan fisik yang didapat, pasien diduga menderita BPH
(benign prostat hyperplasia). 1,3,5
Pada banyak pasien dengan usia di atas 50 tahun, kelenjar prostatnya mengalami
pembesaran, memanjang ke arah kandung kemih dan penyumbatan aliran urin dengan dengan
menutup orifisium uretra. Hipertrofi prostat adalah pertumbuhan dari nodula-nodula
fibroadematosa majemuk dalam prostat. Sebenarnya istilah hipertrofi kurang tepat karena yang
terjadi adalah hiperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer
dan menjadi simpai bedah. 1,3,5
Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh
penambahan jumlah sel pembentuknya. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang
jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertrofi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia. 1,3,5
Daerah yang sering terkena adalah lobus lateral bagian tengah dan lobus medial. Berat
prostat bisa mencapai 60-100 gram (normal 20 gram). Pernah juga dilaporkan pembesaran
prostat yang beratnya melebihi 200 gram. Secara mikroskopik gambaran yang terlihat tergantung
pada unsur yang berproliferasi. Bila kelenjar yang banyak berproliferasi maka akan tampak
penambahan jumlah kelenjar dan sering terbentuk kista-kista yang dilapisi oleh epitel silindris
atau kubis dan pada beberapa tempat membentuk papila-papila ke dalam lumen. Membrana
basalis masih utuh. 1,3,5
Kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar kecil-kecil sehingga menyerupai
adenokarsinoma. Di dalam lumen sering ditemukan deskuamasi sel epitel, sekret yang granuler
dan kadang-kadang corpora arnylacea (hyaline concretion). Dalam stroma sering ditemukan
infiltrasi sel limfosit. Bila unsur fibromuskuler yang bertambah maka tampak jaringan ikat atau
11
jaringan otot dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya berjauhan, disebut hiperplasia fibromatosa. 1,3,5
Ketergantungan sejumlah relatif elemen stroma dan kelenjar, maka tipe hiperplasia
prostat yang sering ditemukan adalah fibromyoglandular dan fibromyomatosa. Perubahan
sekunder yang terjadi adalah infark akibat nodul menekan pembuluh darah. 1,3,5
Diagnosis banding
o Ca Prostat
Merupakan suatu keganasan pada prostat yang paling banyak pada pria. Angka
kejadiannya meningkat seiring dengan usia pasien. Sebagian besar etiologinya belum
diketahui pasti, riwayat keluarga, paparan radiasi dan polutan lingkungan mungkin
berperan dalam penyakit ini. Sejumlah sel tumor pada prostat antara lain :1,4,5
Adenokarsinoma yang paling banyak ditemukan, timbul pada epitel asinar
pada daerah perifer kelenjar.
Etiologi
Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab timbulnya adenokarsinoma
prostat adalah predisposisi genetik, pengaruh hormonal, diet, pengaruh lingkungan,
dan infeksi. Kanker prostat ternyata lebih banyak diderita oleh bangsa Afro-Amerika
yang berkulit hitam daripada berkulit putih. Sedangkan penduduk Jepang mempunyai
insidens yang lebih rendah. Sedangkan yang pindah ke Amerika mendapat
kemungkinan yang lebih besar menderita penyakit ini dibanding di negara asalnya.
Ini menunjukkan pengaruh lingkungan dan kebiasaan hidup sehari-hari juga berperan
dalam patogenesis penyakit ini. 1,4,5
Manifestasi Klinis
Pada kanker prostat stadium dini, sering kali tidak menunjukkan gejala atau
tanda klinis. Tanda itu muncul setelah kanker berada pada stadium yang lebih lanjut.
12
Kanker prostat stadium dini biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan colok dubur
berupa nodul keras pada prostat atau secara kebetulan ditemukan adanya
peningkatan kadar tumor marker PSA (Prostate Spesific Antigens) pada saat
pemeriksaan laboratorium. 1,4,5
Kebanyakan penderita baru datang pada stadium lanjut dengan keluhan
obstruksi berupa kesulitan miksi, nyeri kencing, atau hematuria, yang menandakan
bahwa kanker telah menekan uretra atau tanda metastase ke tulang atau organ lain,
seperti gejala lesi medulaspinalis, nyeri pada tulang, fraktur patologik. 1,4,5
Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan fisik yang penting adalah melakukan colok dubur. Pada stadium dini
seringkali sulit untuk mendeteksi kanker prostat melalui colok dubur sehingga
harus dibantu dengan pemeriksaan USG transrektal (TRUS). Keganasan prostat
biasanya timbul bila ditemukan kelainan konsistensi, yaitu bagian prostat yang
keras, nodul, ketidakrataan, atau asimetri pada pemeriksaan colok dubur,
meskipun baik untuk diagnosis, tidak tepat untuk penentuan derajat penyebaran
karena bersifat subjektif. Diagnosis pasti hanya dengan pemeriksaan patologik.
o Untuk keganasan prostat dikenal petanda tumor, yaitu fosfatase asam prostat
(prostate acid phosphatase, PAP) dan antigen khas prostat (prostate spesific
antigen, PSA) yang sensitivitasnya tinggi dan spesifisitasnya tidak terlalu tinggi,
tetapi lebih tinggi dibandingkan PAP. Pada metastasis tulang biasanya kadar
fosfatase di darah meningkat.
o Ultrasonografi transrektal memberikan gambarn hipoekoik pada kira-kira 60%
karsinoma prostat. Ultrasonografi juga dapat dipakai untuk menentukan
penyebaran ke vesika seminalis dan kelenjar limfe yang dekat penuntun biopsi
jarum.
o Sensivitas CT-Scan untuk menentukan pembesaran kelenjar getah bening berkisar
antara 50-75% dan spesifitasnya sekitar 85-100%. MRI tidak memberi banyak
manfaat dalam diagnosis karsinoma prostat. Untuk menentukan metastasis jauh ke
tulang, biasanya dilakukan pemeriksaan radioisotop yang dapat menentukan
tingkat penyebaran ke tulang secara tepat. 1,4,5
13
o Striktur Uretra
Striktur uretra dapat disebabkan oleh setiap peradangan kronik atau cedera.
Kebanyakan striktur ini terletak di uretra pars membranasea, walaupun juga bisa ditempat
lain. Trauma uretra dapat terjadi pada fraktur panggul dan karena cedera langsung,
misalnya pada pasien ini pernah jatuh terpeleset dari pohon dan terbentur benda keras
sehingga terjadi cedera pada selangkangannya. Yang juga tidak jarang terjadi ialah cedera
iatrogenik akibat kateterisasi atau instrumentasi.
Etiologi
1. Infeksi
Merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti
infeksi oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non
gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya namun sekarang
sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini terletak di pars
membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi chlamidia sekarang
merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.1-3
2. Trauma
Fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars membranasea, trauma tumpul
pada selangkangan (straddle injuries) yang mengenai uretra pars bulbosa, dapat
terjadi pada anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda sehingga
jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda pria, trauma langsung pada penis,
instrumentasi transuretra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti pemasangan
kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah. 1-3
3. Iatrogenik
a. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia
b. Post operasi
14
Beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur uretra,
seperti operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi. 1-3
4. Tumor
5. Kelainan Kongenital,misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra posterior1-3
Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik atau
iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan atau infeksi,
keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya merupakan gejala
sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum di beberapa populasi berisiko
tinggi. 1,4,5
Manifestasi klinik
1. Pancaran air kencing lemah
2. Pancaran air kencing bercabang
Pada pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan bagaimana pancaran urinnya.
Normalnya, pancaran urin jauh dan diameternya besar. Tapi kalau terjadi
penyempitan karena striktur, maka pancarannya akan jadi turbulen. Mirip seperti
pancaran keran di westafel kalau ditutup sebagian.
3. Frekuensi
Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih dari tuiuh
kali. Apabila sering krencing di malam hari disebut nocturia. Dikatakan nocturia
apabila di malam hari, kencing lebih dari satu kali, dan keinginan kencingnya itu
sampai membangunkannya dari tidur sehingga mengganggu tidurnya.
4. Overflow incontinence (inkontinensia paradoxal)
Terjadi karena meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang
terus menerus. Tekanan di vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan di uretra.
Akibatnya urin dapat keluar sendiri tanpa terkontrol. Jadi disini terlihat adanya
perbedaan antara overflow inkontinensia (inkontinesia paradoksal) dengan flow
incontinentia. Pada flow incontinenntia, misalnya akibat paralisis musculus
spshincter urtetra, urin keluar tanpa adanya keinginan untuk kencing. Kalau pada
overflow incontinence, pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh),
15
namun urin keluar tanpa bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut inkontinensia
paradoxal.
5. Disuria dan hematuria
6. Pengosongan vesica urinaria yang tidak puas
Derajat penyempitan uretra:a. Ringan: jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen.b. Sedang: oklusi 1/3 s.d 1/2 diameter lumen uretra.c. Berat: oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra. Ada derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.
Etiologi
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen
karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada
jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat
sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik. Karena proses pembesaran prostat
terjadi secara perlahan, efek perubahan juga terjadi secara perlahan.1,3,5
Etiologi dari BPH belum dimengerti sepenuhnya, tetapi kemungkinan multifaktor dan
hormonal. Prostat tersusun oleh bagian stroma dan epitel, dan masing-masing maupun
keduanya, dapat menjadi nodul hiperplastik dan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan
BPH. .1,3,5
Beberapa penelitian menemukan adanya bukti bahwa BPH diatur oleh sistem
endokrin. Penelitian lanjutan menunjukkan adanya korelasi positif antara kadar testosteron
dan estrogen bebas dengan volume dari BPH. Hubungan antara pertambahan usia dengan
BPH mungkin akibat dari peningkatan kadar estrogen yang merangsang reseptor androgen,
yang selanjutnya meningkatkan sensitivitas kelenjar prostat terhadap testosteron bebas. Ada
beberapa teori yang menjelaskan penyebab terjadinya hipertrofi prostat ini, yaitu: .1,3,5
Teori dehidrotestosteron (DHT), bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron
menjadi dehidrotestosteron dalam sel prostat menjadi faktor risiko terjadinya penetrasi
DHT ke dalam inti sel yang dapat menyebabkan inkripsi pada RNA sehingga
menyebabkan terjadinya sintesis protein. Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-
reduktase.
16
Teori Hormon, estrogen berperan pada inisiasi dan maintenance pada prostat manusia.
Faktor interaksi stroma dan epitel, hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth Factor.
Basic Fibroblast Growth Factor (β-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan
dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. β-FGF
dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
Teori kebangkitan kembali yaitu reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital
utuk berprolferasi membentuk jaringan prostat.
Epidemiologi
BPH merupakan tumor jinak paling sering pada laki-laki, dan insidensinya berhubungan
dengan bertambahnya usia. Faktor risiko BPH masih belum jelas. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya predisposisi genetik, dan beberapa kasus dipengaruhi oleh ras. Prevalensi
BPH secara histologi pada otopsi didapatkan peningkatan dari sekitar 20% pada pria usia 41-50
tahun, menjadi 50% pada pria usia 51-60 tahun, dan >90% pada pria usia lebih dari 80 tahun. 1,3,5
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia
40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai
pubertas, dimana pada selang waktu tersebut terjadi peningkatan cepat dalam ukuran yang
berkelanjutan sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami
perubahan hiperplasia. 1,3,5
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan
pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan
patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun
sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda
klinik1,3,5.
Dari beberapa autopsi dalam ukuran prostat dan insiden histologi hiperplasia prostat,
mereka melaporkan bahwa prostat tumbuh dengan cepat selama masa remaja sampai ukuran
dewasa dalam tiga dekade dan pertumbuhan melambat sampai laki-laki mencapai usianya yang
ke 40 dan 50 tahun, mulai memasuki pertumbuhan yang makin lama makin besar. Mereka juga
menetapkan insiden hiperplasia prostat makin meningkat dengan meningkatnya usia dimulai dari
dekade ke-3 kehidupan dan menjadi sangat besar pada waktu usia 80-90 tahun. 1,3,5
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan diperkirakan
ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan hidup rata-rata di
17
Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria
Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk Indonesia
yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60 tahun
atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita
BPH. 1,3,5
Patofisiologi
BPH berawal dari zona transisi yang mengalami proses hiperplasia akibat peningkatan
jumlah sel. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan adanya pola pertumbuhan nodular yang
tersusun oleh stroma dan epitel. Stroma disusun oleh jaringan kolagen dan otot polos. 1,3,5
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan
daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam
kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi. Mukosa
dapat menerobos keluar di antara serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula,
sedangkan yang besar disebut divertikulum. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi
otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. 1,3,5
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi
saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes
pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala
iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yang berarti bertambahnya frekuensi miksi,
nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-
putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika sering
berkontraksi meskipun belum penuh. 1,3,5
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir
miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita
tidak mampu lagi miksi. 1,3,5
Produksi urin yang terus terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung
urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi
18
dibanding tekanan sfingter dan obstruksi akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan
ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu
endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. 1,3,5
Obstruksi akibat BPH dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan dinamik. Saat terjadi
pembesaran prostat, obstruksi mekanik mungkin merupakan akibat adanya penekanan ke lumen
uretra atau leher vesika urinaria, yang menyebabkan tahanan pelepasan kandung kemih yang
lebih tinggi. Sebelum adanya pembagian zona prostat, ahli urologi sering membagi prostat
menjadi 3 lobus yaitu lobus median dan 2 lobus lateral. Ukuran prostat pada pemeriksaan rectal
touche (RT) kurang begitu berhubungan dengan keluhan yang dirasakan pasien. 1,3,5
Komponen dinamik dari obstruksi prostat menjelaskan sifat dari keluhan yang dirasakan
pasien. Stroma prostat, terdiri dari otot polos dan kolagen, yang kaya dengan persarafan
adrenergik. Penggunaan penghambat -adrenergik menurunkan tonus dari uretra pars prostatika,
yang menurunkan tahanan pada kandung kemih. 1,3,5
Obstruksi saluran kandung kemih menyebabkan hipertrofi muskulus detrusor, hiperplasia
serta penumpukan kolagen. Penebalan muskulus detrusor dapat menjadi trabekulasi pada
pemeriksaan sistoskopi. Jika dibiarkan, terjadi herniasi mukosa antara muskulus detrusor,
selanjutnya terrbentuk divertikula (yang tersusun oleh lapisan mukosa dan serosa). 1,3,5
Tatalaksana
Medika mentosa1,3,5,6
Penghambat alfa-adrenergik1,3,5,6
Pada prostat dan basis vesika urinaria mengandung alfa-1-adrenoreseptor, dan
prostat menunjukkan respon kontraksi pada pemberian agonis alfa adrenergik. Fungsi
kontraksi dari prostat dan leher kandung kemih dimediasi oleh reseptor subtipe alfa-1a.
Penghambat alfa-adrenergik menunjukkan adanya perbaikan keluhan objektif maupun
subjektif pada pasien BPH.
5--reduktase inhibitor
Finasteride merupakan penghambat 5--reduktase yang mencegah perubahan
testosteron menjadi dihidrotestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel dari
19
prostat, yang menyebabkan berkurangnya ukuran kelenjar prostat dan perbaikan gejala.
Terapi selama 6 bulan diperlukan untuk mendapatkan efek maksimal obat terhadap
ukuran prostat (berkurang 20%) dan perbaikan keluhan. Namun, perbaikan keluhan
hanya terlihat pada pasien dengan ukuran prostat > 40 cm3.
Efek samping obat antara lain penurunan libido, penurunan volume ejakulasi,
dan impotensi. Kadar serum PSA berkurang menjadi sekitar 50% pada pasien yang
diterapi dengan finasteride (bervariasi pada masing-masing individu). 20,21,22
Dutasteride berbeda dari finasteride karena menghambat isoenzim dari 5--
reduktase. Mirip dengan finasteride, dutasteride mengurangi kadar serum PSA dan
ukuran prostat. Efek samping utamanya antara lain disfungsi ereksi, penurunan libido,
ginekomastia, dan kelainan ejakulasi.
Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat
aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti.
Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen,
menurunkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast
growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme
prostaglandin, efek antiinflamasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil
volume prostat. Di antara fito-terapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum
africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.
Terapi Pembedahan
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
diantaranya sebagai berikut :
Retensi urine karena BPO
Infeksi saluran kemih berulang karena obstruksi prostat
Hematuria makroskopik
Batu buli-buli karena obstruksi prostat
Gagal ginjal yang disebabkan obstruksi prostat, dan
20
Divertikulum buli buli yang cukup besar karena obstruksi
Transurethral resection of the prostate (TURP) 1,3,5,6
95% prostatektomi sederhana dapat dilakukan secara endoskopi. Sebagian besar
prosedur ini menggunakan teknik anestesi spinal dan memerlukan 1-2 hari perawatan di
rumah sakit. Skor keluhan dan perbaikan laju aliran urine lebih baik dibandingkan terapi
lain yang bersifat minimal invasive. Risiko TURP meliputi ejakulasi retrograd (75%),
impotensi (5-10%), dan inkontinensia (<1%).
TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan
memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat
memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
Komplikasi operasi antara lain perdarahan, striktur uretra, atau kontraktur pada
leher kandung kemih, perforasi dari kapsul prostat dengan ekstravasasi, dan pada kondisi
berat terjadi sindroma TUR yang disebabkan oleh keadaan hipervolemik dan
hipernatremia akibat absorbsi cairan irigasi yang bersifat hipotonis. Manifestasi klinis
sindroma TUR antara lain nausea, muntah, hipertensi, bradikardi, confusing, dan
gangguan penglihatan. Risiko terjadinya sindroma TUR meningkat pada reseksi yang
lebih dari 90 menit. Penatalaksanaan meliputi diuresis dan pada kondisi berat diberikan
larutan hipertonis.
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) 1,3,5,6
Pria dengan keluhan sedang sampai berat dan ukuran prostat yang kecil sering
didapatkan adanya hyperplasia komisura posterior (terangkatnya leher kandung kemih).
Pasien tersebut biasanya lebih baik dilakukan insisi prostat.
Prosedur TUIP lebih cepat dan morbiditasnya lebih rendah dibandingkan TURP.
Teknik TUIP meliputi insisi dengan pisau Collin pada posisi jam 5 dan 7. Insisi dimulai
di arah distal menuju orifisium ureter dan meluas ke arah verumontanum.
Prostatektomi Terbuka Sederhana1,3,5,6
Ketika ukuran prostat terlalu besar untuk direseksi secara endoskopi, enukleasi
terbuka dapat dilakukan. Kelenjar prostat yang lebih dari 100 g biasanya merupakan
21
indikasi enukleasi terbuka. Prostatektomi terbuka juga dilakukan pada pasien dengan
disertai divertikulum atau batu buli atau jika posisi litotomi tidak mungkin dilakukan.
Non-medika mentosa
Berikut ini beberapa tips untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain: 1,3,5,6
1. Mengurangi makanan kaya lemak hewan
2. Meningkatkan makanan kaya lycopene (dalam tomat), selenium (dalam makanan laut),
vitamin E, isoflavonoid (dalam produk kedelai)
3. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari
4. Berolahraga secara rutin
5. Pertahankan berat badan ideal
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi akibat hipertrofi prostat jinak adalah :1,3,5,7
1. Perdarahan (Gross hematuria).
2. Pembentukan bekuan
3. Obstruksi kateter
4. Disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan.
5. Batu buli-buli
6. Retensi urin yang dapat menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter (ureter yang
melebar), hidronefrosis (ginjal yang melebar), hingga penurunan fungsi ginjal sampai
gagal ginjal.
7. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi saat miksi.
8. Insufisiensi ginjal
9. Infeksi saluran kemih berulang
10. Inkontinensia (akibat sumbatan total urin sehingga isi vesika urinaria terlalu penuh).
11. Komplikasi yang lain yaitu perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan
ejakulasi retrogard yaitu setelah ejakulasi cairan seminal mengalir kedalam kandung
kemih dan diekskresikan bersama urin.
Prognosis
22
Prognosis BPH tidak selalu sama dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun
gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditanggulangi memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.1,3,7
Penutup
Pasien laki – laki 60 tahun dengan keluhan sering BAK tertutama pada malam hari, dan
slalu merasa tidak lampias setelah selesai BAK dan pancaran urinnya melemah diduga menderita
BPH ( Benign prostat hyperplasia) dimana terjadi pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan
oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar /
jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya
usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron menjadi
Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT ke
dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya
sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia kelenjar prostat.
Daftar pustaka1. Purnomo B.B ; ‘Dasar-dasar Urologi’. 2000. Jakarta : CV.Infomedika. h. 200-2142. Gleadle, Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Erlangga ;
2003. h. 150-1.3. Sjabani Mochammad. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Batu Saluran Kemih.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2009.h.1025-31.4. Rani aziz, Soegondo sidartawan, Uyaninah anna, Nasir, Wijaya prasetya, Mansjoer arif.
Panduan Pelayanan Medik PAPDI. Batu saluran kemih. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006.h.179.
5. Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta : EGC ; 2005.
6. Jong WD, Sjamsuhidayat R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. H.782-6.7. Lepor H dan Lowe FC. Evaluation and nonsurgical management of benign prostatic
hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co ; 2002. h.1337-1378
23