Post on 25-Oct-2021
MEKANISME NYERI
Oleh :
Luh Putu Dea Sasmita Pralambari
dr. Ida Bagus Gde Sujana,SpAn.M.Si
SMF/BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
2.1 Definisi Nyeri ............................................................................................. 3
2.2 Klasifikasi Nyeri ........................................................................................ 3
2.3 Mekanisme Nyeri ....................................................................................... 5
2.4 Efek Samping Nyeri ................................................................................... 11
BAB III. SIMPULAN ...................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri yang pada umumnya merupakan manifestasi klinis dari suatu penyakit
adalah gejala awal yang membuat sebagian besar orang datang ke suatu pelayanan
kesehatan. Nyeri selalu bersifat subjektif dan bervariasi berdasarkan waktu dan
lamanya berlangsung (transient, intermittent, atau persistent), intensitas (ringan,
sedang, berat), kualitas (tajam, tumpul, terbakar), serta penjalarannya (superfisial,
dalam, difus).
Secara biologis, stimuli yang muncul akibat nyeri disebabkan oleh adanya
kerusakan jaringan. Nyeri adalah bentuk pengalaman yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau potensial. Hal ini tidak diragukan lagi
menyebabkan suatu sensasi pada satu atau lebih bagian tubuh. Sensasi tersebut
juga dapat mengakibatkan perasaan tidak enak pada diri sehingga dapat juga
dikatakan sebagai pengalaman emosional.
Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan, seperti contoh
yaitu menurut jenisnya (nosiseptik, neurogenik, dan psikogenik), menurut
timbulnya nyeri (akut dan kronik), menurut penyebabnya (onkologik dan non-
onkologik), dan menurut derajat nyerinya (ringan, sedang, dan benar).
Nyeri terkadang memberikan dampak serius bagi penderitanya. Dampak
yang ditimbulkan biasanya secara fisiologis dan psikologis. Riwayat nyeri yang
diderita seorang pasien harus digali dengan teliti termasuk identifikasi onset dan
progesivitas penyakit sehingga penyedia layanan kesehatan dapat fokus pada
bagaimana terjadinya nyeri, dari nyeri lokal hingga nyeri yang menyebar atau
pengalaman nyeri multipel. Semua pasien berhak atas pemeriksaan nyeri yang
adekuat termasuk lokasi, intensitas, kualitas, onset, durasi, obat penghilang nyeri,
faktor pemicu, efek nyeri, dan respon terhadap pengobatan sebelumnya.
Terapi nyeri dengan mengikuti “WHO Three Step Analgesic Ladder” adalah
garis besar strategi terapi farmakologi yang terdiri dari tiga tangga langkah
analgesik menurut WHO. Penggunaan obat analgesik non opiat adalah awal mula
dari pengobatan, apabila nyeri masih terasa, tambahkan obat opioid lemah
misalnya kodein, terakhir apabila nyeri masih belum reda atau menetap maka
2
2
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin. Umumnya, prinsip
“Three Step Analgesic Ladder” dapat diterapkan untuk nyeri akut maupun kronik
dengan tetap ada perbedaan. Pada nyeri kronis, mengikuti langkah tangga 1-2-3.
Sebaliknya pada nyeri akut mengikuti langkah tangga 3-2-1. Pada setiap langkah
dapat ditambahkan obat pembantu apabila dirasakan perlu.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Nyeri
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri
didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara aktual atau potensial.1
Nyeri sesungguhnya merupakan tanda yang bernilai subyektif, sebab seorang
tenaga kesehatan tidak bisa menilai seberapa nyeri tersebut mempengaruhi
kualitas seseorang serta mengetahui seperti apa nyeri tersebut dirasakan.
2.2 Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor, yaitu:
1. Nyeri berdasarkan jenis
Menurut jenisnya, nyeri dapat dibagi menjadi tiga yaitu nyeri nosiseptik
nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik.2 Nyeri nosiseptik adalah nyeri yang
diakibatkan oleh noksius (trauma, penyakit, atau proses radang). Nyeri neurogenik
adalah nyeri yang diakibatkan karena adanya lesi, disfungsi, atau gangguan pada
sistem saraf pusat atau perifer. Nyeri psikogenik adalah nyeri yang timbul
dipengaruhi oleh mental, emosi, dan perilaku seseorang.
2. Klasifikasi berdasarkan anatomi
Beberapa nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tubuh, contohnya
nyeri punggung, nyeri pelvis, sakit kepala, dan lainnya yang merujuk pada satu
lokasi pada bagian tubuh.3
3. Klasifikasi berdasarkan durasi
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasaran seberapa lama durasi nyeri tersebut
dirasakan. Hal tersebut dikarenakan nyeri memiliki hubungan dengan kerusakan
jaringan, inflamasi, atau proses dari suatu penyakit sehingga akan menimbulkan
suatu durasi yang dapat dihitung berdasarkan berapa jam, hari, maupun minggu.3
4. Klasifikasi berdasarkan etiologi
Cara lainnya untuk mengklasifikasikan nyeri adalah berdasarkan etiologi
nyeri itu sendiri. Cara ini dilakukan untuk membedakan apakah nyeri yang timbul
merupakan nyeri somatogenik atau nyeri psikogenik.3 Hal ini dapat dilakukan
4
dengan melakukan pemeriksaan fisik, imaging, dan laboratorium. Namun, apabila
semua hasil menunjukkan nilai normal, maka nyeri dapat dipastikan berasal dari
konflik fisik atau psikopatologi.
5. Klasifikasi berdasarkan keparahan
Kerap kali nyeri diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya.
Umumnya dasar yang digunakan untuk menilai adalah angka 0-10 dengan 0
diinterpretasikan dengan tidak dirasakannya nyeri dan 10 diinterpretasikan dengan
sangat nyeri.3 Selain itu, tingkat keparahan nyeri juga dapat dinilai menggunakan
skala pengukuran lainnya.
6. Klasifikasi berdasarkan timbulnya nyeri
Berdasarkan timbulnya, nyeri dapat dibedakan menjadi dua yaitu nyeri akut
dan nyeri kronik.3 Nyeri akut adalah nyeri disertai dengan kerusakan jaringan
yang nyata (pain with nociception). Sebaliknya nyeri kronis adalah nyeri yang
dapat terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain without
nociception).2 Nyeri akut dapat dibagi lagi menjadi dua tipe, yaitu somatik dan
viseral.
Nyeri somatik diklasifikasikan menjadi superfisial dan dalam. Nyeri
somatik superfisial adalah nyeri akibat nosiseptif yang timbul dari kulit, jaringan
subkutan, dan membran mukus.4 Sedangkan nyeri somatik timbul dari otot,
tendon, sendi, dan tulang. Nyeri viseral adalah nyeri yang timbul akibat proses
dari suatu penyakit atau fungsi abnormal organ dalam atau yang melindunginya.4
Subtipe nyeri viseral dibagi menjadi empat yaitu true localized visceral pain,
localized parietal pain, referred visceral pain, and referred parietal pain.
7. Klasifikasi berdasarkan kualitas nyeri
Berdasarkan kualitas, nyeri diklasifikan menjadi dua jenis yaitu nyeri cepat
dan nyeri lambat.5 Nyeri cepat adalah nyeri yang singkat dan memiliki tempat
yang jelas sesuai rangsang yang diberikan. Sebagai contoh misalnya nyeri tusuk,
nyeri pembedahan. Sedangkan nyeri lambat adalah nyeri yang sulit dilokalisir dan
tidak berhubungan dengan rangsang misalnya rasa terbakar, rasa berdenyut atau
ngilu.
5
2.3 Mekanisme Nyeri
Sistem saraf memiliki peran penting bagi manusia. Salah satu peran penting
tersebut adalah menghantarkan impuls yang nantinya diterjemahkan sebagai
sebuah informasi tentang adanya ancaman atau cedera. Sebelum mempelajari
bagaimana perjalanan nyeri, ada baiknya untuk mengetahui reseptor nyeri yang
merupakan awal sebelum impuls nyeri dihantarkan melalui sistem saraf. Reseptor
tersebut dinamakan nosiseptor.6 Nosiseptor merupakan aferen primer yang
menerima stimulus noksius pada saraf perifer. Stimulus noksius yang dimaksud
adalah suhu (>42oC), bahan kimia (pH), maupun mekanik.7 Nosiseptor dibagi
menjadi tiga tipe akson, yaitu akson Aβ, Aδ, dan C.4 Tipe pertama termasuk
mekanoreseptor yang berespon terhadap pinch dan pinprick. Tipe kedua adalah
silent nociceptors yang hanya merespon apabila terdapat inflamasi, dan tipe ketiga
yang merupakan nosiseptor polymodal mechanoheat. Ilustrasi letak dan jenis
noksius pada setiap akson dapat dilihat pada gambar 1.
Perbedaan diameter dan terbungkus atau tidaknya akson dengan mielin
menyebabkan perbedaan pada penghantaran impuls menuju kornu dorsalis. Akson
A merupakan akson yang bermielin dan memungkinkan potensial aksi berpindah
sangat cepat (20 m/s) ke sistem saraf pusat (SSP).6 Sedangkan akson C yang tidak
bermielin akan menghantarkan impuls lebih lambat (2 m/s).6 Selain itu, terdapat
pula perbedaan pada sifat dari nyeri yang ditimbulkan. Serabut A akan
Gambar 1. Perbedaan lokasi akson pada
terminal sentral.
6
dipersepsikan sebagai nyeri yang bersifat menusuk atau tajam, sedangkan
stimulus pada serabut C akan dipersepsikan sebagai nyeri tumpul dan seperti
terbakar.4
Secara umum, terdapat empat proses yang terjadi pada perjalanan impuls
nyeri, yaitu:
Transduksi : Penerimaan stimulus nyeri atau noksius oleh nosiseptor yang
selanjutnya diubah menjadi impuls elektrik.
Transmisi : Penghantaran impuls elektrik dari saraf perifer menuju kornu
dorsalis di medula spinalis kemudian ke talamus melalui traktus
spinotalamikus dan selanjutnya diterusnya ke korteks serebri.
Modulasi : Proses perubahan transmisi impuls nyeri yang melibatkan
Descending Modulatory Pain Pathways (DMPP) sehingga dapat
menyebabkan proses peningkatan impuls nyeri (eksitasi) atau
penurunan impuls nyeri (inhibisi).
Persepsi : Hasil akhir yang menimbulkan suatu perasaan subyektif yang
dikenal sebagai nyeri.
Transmisi nyeri dari nosiseptor perifer hingga CNS
Perjalanan nyeri sebenarnya adalah lalu lintas dua arah yang terdiri dari
jalur asenden dan desenden.7 Nyeri disalurkan melalui tiga jalur neuronal yang
mentrasmisikan stimulus noksius dari perifer menuju korteks serebri. Pada
awalnya, jalur proyeksi transmisi informasi nyeri menuju otak dimulai saat neuron
aferen primer yang disebut nosiseptor mendapatkan stimulus noksius dan
menyampaikannya pada neuron urutan kedua di pusat relay nosisepsi bernama
kornu dorsalis yang terletak di medula spinalis.6 Proses penerimaan stimulus
tersebut dinamakan transduksi.
Saat impuls telah diterima oleh nosiseptor, selanjutnya impuls tersebut akan
diubah menjadi aktivitas listrik. Aktivitas listrik yang timbul diakibatkan karena
adanya potensial aksi yang merupakan perubahan cepat pada potensial membarn
yang menyebar secara cepat di sepanjang membran serat saraf. Potensial aksi
dimulai dari tahap istirahat. Membran dikatakan menjadi terpolarisasi selama
tahap ini karena adanya potensial membran negatif. Kemudian, dilanjutkan
7
dengan tahap depolarisasi. Pada saat ini, membran menjadi permeabel terhadap
ion natrium, sehingga sejumlah besar ion natrium bermuatan positif berdifusi ke
dalam akson. Akibat hal tersebut, keadaan terpolarisasi dinetralisasi oleh ion
natrium bermuatan postif yang mengalir masuk dan potensial meningkat dengan
cepat ke arah positif. Keadaan ini disebut depolarisasi. Selanjutnya tahap yang
terakhir adalah tahap repolarisasi. Pada tahap ini, ketika membran sangat
permeabel terhadap ion natrium, kanal natrium mulai tertutup dan kanal kalium
terbuka yang kemudian menyebabkan difusi ion kalium yang berlangsung cepat
ke bagian luar dan membentuk kembali potensial membran istirahat negatif yang
normal.8
Aksi potensial yang melewati nosiseptor tersentisisasi menyebabkan
pelepasan neuropeptida seperti substansi P, cholecytokinin (CCK), dan calcitonin
gene-related peptide (CGRP) oleh ujung perifer yang berkontribusi pada
pengerahan faktor-faktor dari serum dan sel inflamatorik pada lokasi cedera.7
Substansi P berperan dalam pengeluaran bradikinin lebih lanjut dan sumber
pelepasan histamin dari sel mast serta serotonin (5-HT) dari trombosit, yang
selanjutnya meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan iritabilitas
nosiseptor. Saat rangsangan terjadi secara terus-menerus, eksitabilitas nosiseptor
akan meningkat sehingga menyebabkan ambang batas aktivasi menurun dan
respon terhadap rangsangan akan meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan
meningkatnya sensitivitas pada daerah cedera akibat mekanisme perifer yang
disebut sensitisasi perifer atau hiperalgesia primer.4
Gambar 2. Proses transduksi pada saraf perifer.
Gottschalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63;1981, and ehlet H et al . Anesth Anlg. 1993;77;1049
8
Setelah proses transduksi terjadi, neuron urutan pertama akan bersinap
dengan neuron urutan kedua. Selain bersinap dengan neuron urutan kedua, akson-
akson pada neuron urutan pertama mungkin juga bersinap dengan interneuron,
neuron simpatik, dan neuron ventral horn motor saat berada di kornu dorsalis.4
Terminal sentral aferen primer pada kornu dorsalis menduduki lokasi yang
berbeda. Skema representasi proyeksi spinal serat aferen primer dapat dilihat pada
gambar 2.
Setelah serat aferen memasuki medula spinalis, serat-serat tersebut
selanjutnya memisahkan diri sesuai dengan ukuran, lebar, serat bermielin terletak
lebih medial, dan serat yang tidak bermielin terletak di lateral. Serat-serat nyeri
Gambar 3. Serat C tidak bermyelin bersinap dengan interneuron di lamina I
(marginal layer) dan II (substantia gelatinosa of Rolando [SGR]). Serat
cutaneous Aδ berproyeksi pada lamina I, II, V, dan serat Aβ berterminasi
primer pada lamina III-V di kornu dorsalis.
Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shaver S. (2015). Handbook of Pharmacology and
Physiology in Anesthetic Practice Third Edition. Wolters Kluwer.
Gambar 3. Proses transmisi menuju traktus
spinothalamikus.
Gottschalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63;1981, and ehlet
H et al . Anesth Anlg. 1993;77;1049
9
memungkinkan untuk menaiki dan menuruni satu sampai tiga segmen medula
spinalis pada traktus Lissauer’s sebelum bersinap dengan neuron urutan kedua
dalam gray matter pada kornu dorsalis ipsilateral.4 Pada umumnya, serat-serat
nyeri berhubungan dengan neuron urutan kedua melalui interneuron. Jalur mayor
pada neuron urutan kedua adalah traktus spinothalamikus yang terletak
anterolateral di dalam white matter dari medula spinalis.
Traktus asenden ini dapat dibagi menjadi dua yaitu traktus lateral dan
traktus medial. Traktus spinotalamus lateral (neospinotalamus) berproyeksi
umumnya menuju nukelus posterolateral ventral pada talamus yang membawa
aspek nyeri seperti lokasi, intensitas, dan durasi. Sedangkan traktus spinotalamus
medial (paleospinotalamus) berproyeksi pada talamus medial dan bertanggung
jawab untuk mediasi autonomi dan persepsi emosional yang tidak menyenangkan
terhadap nyeri.4 Beberapa serat spinothalamus juga berproyeksi pada
periaqueductal grey dan medula rostral ventral sehingga dengan demikian
memungkinkan untuk menjadi hubungan yang penting antara jalur asenden dan
desenden. Serat-serat kolateral juga berproyeksi pada sistem pengaktifan retikuler
dan hipotalamus. Hal tersebut mungkin bertanggung jawab dalam timbulnya
respon pada nyeri.
Gambar 4. Proses modulasi yang menghantarkan
impuls asenden dan desenden.
Gottschalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63;1981, and ehlet H et
al . Anesth Anlg. 1993;77;1049
10
Neuron urutan ketiga terletak pada thalamus dan mengirimkan serat menuju
area somatosensori I dan II di postcentral gyrus pada korteks parietal dan dinding
superior pada fisura sylvian secara berturut-turut.6 Persepsi dan pemisahan
lokalisasi nyeri bertempat di area kortikal tersebut. Selain itu, neuron proyeksi
lainnya juga melibatkan korteks cingulate dan insular melalui hubungan dengan
brainstem dan amygdala yang berperan sebagai komponen afektif dari
pengalaman nyeri.6
Gambar 5. Proses perjalanan nyeri menuju CNS
Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shaver S. (2015). Handbook of
Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice Third Edition.
Wolters Kluwer.
Gambar 6. Proses persepsi pada korteks
somatosensori.
Gottschalk A et al. Am Fam Physician. 2001;63;1981, and ehlet H
et al . Anesth Anlg. 1993;77;1049
11
Dalam proses perjalan nyeri terdapat suatu teori yang dikenal sebagai gate
theory yang menyebutkan bahwa informasi stimulus nyeri akan diproyeksikan ke
regio supraspinal brain apabila pintu terbuka.6 Sedangkan stimulus nyeri tidak
akan terasa apabila pintu tertutup oleh impuls inhibisi. Teori ini berhubungan
dengan jalur asenden desenden pada proses transmisi nyeri. Jalur desenden
berasal dari korteks somatosensori dan hipotalamus. Neuron-neuron talamus
menurun ke midbrain dan bersinaps pada jalur asenden pada medula spinalis dan
menghambat sinyal-sinyal saraf yang menuju ke atas. Hasilnya akan terjadi
penurunan nyeri (analgesia). Beberapa sifat analgesia ini juga merupakan hasil
timulasi neurotransmiter opioid alami seperti endorfin, dinorfin, dan enkefalin.7
2.4 Efek Samping Nyeri
Nyeri merupakan suatu pertanda adanya suatu kerusakan pada jaringan, oleh
sebab itu nyeri harus ditangani untuk alasan hak asasi dan juga untuk
memodifikasi respon terhadapat cedera yang terjadi. Besar respon terhadap cedera
yang terjadi berbanding lurus terhadap kerusakan jaringan dan pada akhirnya akan
mengakibatkan perubahan fisiologis. Selain efek fisiologis, efek psikologis juga
dapat terganggu dan dapat menjadi berbahaya meskipun terkadang diremehkan.
1. Perubahan Fisiologis
Perubahan fisiologis yang disebabkan oleh nyeri dan cedera merupakan
akibat aktivasi sistem saraf pusat dan perifer. Respon stres yang ditimbulkan
meliputi respon sistem metabolik akibat dilepaskan hormon neuroendokrin,
pelepasan sitokin lokal seperti interleukin (IL), dan tumor necroting factor
(TNF) pada lokasi cedera yang menyebabkan perubahan fisiologis tubuh.7
Perubahan fisiologis pada sistem endokrin terjadi pada peningkatan
jumlah hormon katabolik seperti adrenocorticotrophic hormonr (ACTH),
antidiuretic hormone (ADH), kortisol, hormon pertumbuhan, katekolamin,
angiotensin II, aldosteron, glukoagon, IL-1, IL-6, dan TNF. Selain itu juga
terjadi penurunan jumlah hormon anabolik, yaitu insulin dan testosteron.
Peningkatan katekolamin, aldosteron, ADH, kortisol, angiotensin II, dan
prostaglandin akan mengakibatkan retensi air dan natriun, serta peningkatan
ekskresi kalium dan cairan ekstrasel fungsional serta perpindahan cairan ke
12
intrasel sehingga keseimbangan aliran air dan elektrolit tubuh juga akan
terganggu.
2. Perubahan Psikologis
Perubahan psikologis yang terjadi akibat nyeri berbeda-beda pada setiap
individu. Hal tersebut diakibatkan perbedaan seperti kultur budaya,
pengalaman, makna nyeri, tingkat rasa takut dan kecemasan, kepribadian,
dan kemampuan kontrol terhadap suatu kejadian. Beberapa contoh reaksi
psikologis akibat kegagalan dalam meredakan nyeri adalah ansietas,
insomnia, demoralisasi, depresi, sulit berkonsentrasi, dan berinteraksi sosial
hingga tidak mampu berkomunikasi terhadap orang lain.7
13
BAB III
SIMPULAN
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang disertai oleh kerusakan jaringan secara aktual dan potensial. Nyeri dapat
diklasifikasikan berdasarkan tujuh faktor, yaitu berdasarkan jenis, anatomi, durasi,
etiologi, keparahan, timbulnya nyeri, dan kualitas nyeri.
Secara umum, perjalanan nyeri terjadi melalui empat proses. Proses tersebut
adalah transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Apabila nyeri tidak ditangani
dengan baik, pasien dapat mengalami efek samping yaitu perubahan fisiologis dan
psikologis.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Ali N, Lewis M. (2015). Understanding Pain, An Introduction for Patients
and Caregivers. Rowman & Littlefield.
2. Mangku G, Senapathi TGA. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks.
3. Butler SH, Chapman CR, Turk DC. (2001). Bonica’s Management of Pain
Third Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. (2013). Morgan & Mikhail’s
Clinical Anesthesiology Fifth Edition. Mc Graw Hill Education.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. (2002). Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shaver S. (2015). Handbook of
Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice Third Edition. Wolters
Kluwer.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia.
(2009). Panduan Tatalaksana Nyeri Operatif. Jakarta: PP IDSAI.
8. Hall JE. (2014). Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
Keduabelas. Saunders Elsevier.