Case Dewi Sasmita Kumala Sari

53
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846, berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani: An berarti tidak, dan Aesthesis berarti persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit. Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan. 1 Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversibel. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi oto tanpa menimbulkan risiko yang tidak diinginkan dari pasien. 1 Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap 1

description

referat anestesi

Transcript of Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Page 1: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell

Holmes pada tahun 1846, berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata

Yunani: An berarti tidak, dan Aesthesis berarti persepsi, kemampuan untuk

merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika

melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan

rasa sakit. Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan

menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya

kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan

dengan pembedahan.1

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversibel. Anestesi umum yang

sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi oto tanpa

menimbulkan risiko yang tidak diinginkan dari pasien.1 Anestesi umum

merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan

diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi

yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya

ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan

hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran

(unconsciousness).2

Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu

Anestetik Inhalasi dan  Anestetik Intravena.  Terlepas dari cara

penggunaannya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus memperlihatkan 3

efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesi”, yaitu efek

hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih

baik lagi kalau terjadi juga penekanan refleks otonom dan sensoris, seperti

yang diperlihatkan oleh eter.2

1

Page 2: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel).1,2,3

Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan

hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui

penekanan sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau

penekanan sensori pada syaraf. Agen anestesi umum bekerja dengan cara

menekan sistem syaraf pusat (SSP) secara reversibel.3

2.2 Tujuan Anestesi Umum4

Tujuan anestesi umum yang ideal adalah trias anestesi yang terdiri dari :

Hipnotik, Hipnotik didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran,

isofluran, sevofluran).

Analgesia, Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID

tertentu.

Relaksasi otot, Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya

tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan

2.3 Keuntungan dan Kerugian Anestesi Umum4

Keuntungan :

Membuat pasien lebih tenang

Untuk operasi yang lama

Dilakukan pada kasus-kasus yang memiliki alergi terhadap agen anestesia

lokal

Dapat dilakukan tanpa memindahkan pasien dari posisi supine

(terlentang)

Dapat dilakukan prosedur penanganan (pertolongan) dengan cepat dan

mudah pada waktu-waktu yang tidak terprediksi

2

Page 3: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Kerugian :

Membutuhkan pemantauan ekstra selama anestesi berlangsung

Membutuhkan mesin-mesin yang lengkap

Dapat menimbulkan komplikasi yang berat, seperti: kematian, infark

miokard, dan stroke

Dapat menimbulkan komplikasi ringan seperti: mual, muntah, sakit

tenggorokan, sakit kepala. Risiko terjadinya komplikasi pada pasien

dengan anestesi umum adalah kecil, bergantung beratnya komorbit

penyakit pasiennya

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum5

a. Faktor respirasi

Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesi akan masuk ke dalam

paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial

tertentu. Kemudian zat anestesi akan berdifusi melalui membran alveolus.

Berikut hal-hal yang mempengaruhi nya antara lain adalah:

Konsentrasi zat anestesi yang dihirup/ diinhalasi, makin tinggi

konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam

alveolus.

Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat

meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada

hipoventilasi.

b. Faktor sirkulasi

Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena, faktor-faktor yang

mempengaruhi:

1. Perubahan tekanan parsial zat anestesi yang jenuh dalam alveolus dan

darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesi diserap jaringan dan

sebagian kembali melalui vena.

2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesi dalam

darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan

seimbang.

3

Page 4: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak

aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesi yang diambil

dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan

makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anestesi

yang adekuat.

c. Faktor jaringan

1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara darah arteri dan

jaringan.

2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat

anestesika, kecuali halotan.

3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:

a) Jaringan kaya pembuluh darah : otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-

organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial

zat anestesika meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini.

b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.

c) Lemak : jaringan lemak

d) Jaringan sedikit pembuluh darah : relatif tidak ada aliran darah :

ligament dan tendon.

d. Faktor zat anestesika

Bermacam-macam zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda-beda.

Untuk menentukan derajat potensi ini dikenal adanya MAC (Minimal

Alveolar Concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu

konsentrasi terendah zat anestesi dalam udara alveolus yang mampu

mencegah terjadinya respon terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah

nilai MAC, makin tinggi potensi zat anestesi tersebut.

2.5 Penilaian dan Persiapan Pra Bedah1,3,6,7

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya

kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan

kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien

dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk

4

Page 5: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

2.5.1 Penilaian Prabedah

Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia

sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang

perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri

otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang

anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan

obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya

jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam

waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan

juga jangan diulang.

Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya

untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi system kardiosirkulasi,

dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan

dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum

alkohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar

sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan

laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan

umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan

auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan

dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang

mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat

untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa

5

Page 6: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas

50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.

Kebugaran untuk anestesia

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk

menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi

sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik

seseorang adalah yang berasal dari The American Society of

Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko

anestesia, karena efek samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari efek

samping pembedahan.

a. Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

b. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang baik

karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya: pasien

batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien

appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.

c. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang diakibatkan

karena berbagai penyebab, sehingga aktivitas rutin terbatas.

Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septikemia, atau

pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.

d. Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat

melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman

kehidupannya setiap saat. Contohnya: Pasien dengan syok atau

dekompensasi kordis.

e. Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Contohnya: pasien

tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur

hepatik.

Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

6

Page 7: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi

isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan

risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk

meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk

operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral

(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam

dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam

sebelum induksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3

jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas

boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

2.5.2 Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi

anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun

dari anestesia diantaranya :

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anestesi

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestesi

Mengurangi mual-muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan

pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien

dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien.

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam waktu 1 jam,

sedangkan secara intramuskular minimum harus ditunggu 40 menit.

7

Page 8: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan

yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena.

Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan

pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua

obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan

sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi

dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Adapun obat pereda kecemasan yang bisa digunakan yaitu:

Gol. Transquilizer

Diazepam (Valium) : Merupakan golongan benzodiazepine.

Pemberian dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar

hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM. Dosis peroral

10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia.

Gol. Analgetik narkotik

Morfin : Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan

menjelang operasi. Dosis premedikasi dewasa 10–20 mg. Kerugian

penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan

bronkus pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.

Pethidin : Dosis premedikasi dewasa 25–100 mg IV, 50 mg IM.

Diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernapasan serta

merangsang otot polos. Pethidin juga berguna mencegah dan

mengobati menggigil pasca bedah.

Gol. Antagonis reseptor H2 histamin

Simetidin oral 600 mg atau ranitidin (zantac) oral 150 mg 1-2 jam

sebelum jadwal operasi. Untuk meminimalkan kejadian aspirasi

cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 yang dapat menyebabkan

pneumonitis asam.

Gol. Antikolinergik

Atropin : Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah,

antimual dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ–organ dan

menurunkan spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja

setelah 10–15 menit.

8

Page 9: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg (zofran, narfoz) IM.

Gol. Hipnotik – sedatif

Barbiturat (Penobarbital dan Sekobarbital): Diberikan untuk efek

sedasi dan mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat

diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100–200 mg, pada bayi

dan anak 3–5 mg/kgBB. Keuntungannya adalah masa pemulihan

tidak diperpanjang dan efek depresannya yang lemah terhadap

pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan

muntah.

2.6 Stadium Anestesi Umum4,5

Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama

berupa analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi

teratur, stadium 3 dan stadium 4 sampai henti napas dan henti jantung.

1. Stadium I : Stadium I (St. Analgesia/ St. Disorientasi) dimulai dari

saat pemberian zat anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini

pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya

rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan

biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir

dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata (untuk mengecek

refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).

2. Stadium II : Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir

stadium I dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar

dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi

(+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan

dan kelopak mata.

3. Stadium III : Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi

pernapasan hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai

oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan

dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.

4. Stadium IV : Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang

kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan

9

Page 10: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini

karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

2.7 Induksi dan Rumatan Anestesi Umum1,2,6

A. Induksi Anestesia

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak

sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.

Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau

rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan

dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S= Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai

dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T= Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)

dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A= Airway Pipa mulut faring (Guedel, oropharyngeal airway) atau pipa

hidung-faring (naso-pharyngeal airway). Pipa ini untuk

menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya

lidah tidak menyumbat jalan napas.

T= Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I= Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel)

yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa

trakea mudah dimasukkan.

C= Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi

S= Suction penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

a. Induksi intravena

Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena

dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.

Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.

Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah

10

Page 11: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien

yang kooperatif. Obat-obat induksi intravena:

Tiopental (pentotal, tiopenton) (amp 500 mg atau 1000 mg)

Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai

kepekatan 2,5% (1ml= 25mg). hanya boleh digunakan untuk

intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan

dihabiskan dalam 30-60 detik. Efek thiopental bergantung dosis dan

kecepatan suntikan yang akan menyebabkan pasien berada dalam

keadaan sedasi, hipnosis, anestesi atau depresi napas. Tiopental

menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor dan tekanan

intrakranial.

Propofol (diprivan, recofol)

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat

isotonik dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). suntikan intravena

sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya

dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.

Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi

intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan

intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%.

Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.

Ketamin (ketalar)

Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi,

hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesi dapat menimbulkan mual-

muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian

sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam

(valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi

salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg

dan untuk intramuskular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan

bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml

= 100 mg).

11

Page 12: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)

Diberikan dosis tinggi. Tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga

banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung.

Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg

dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

b. Induksi intramuskular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan

secara intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit

pasien tidur.

c. Induksi inhalasi

N2O

Gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida, tak

berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali

berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat

anastesi lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk

mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi

jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu

cairan anastesi lain seperti halotan.

Halotan (fluotan)

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan

anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan

analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.

Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus

simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi

vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.

Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat

pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula darah.

Enfluran (etran, aliran)

Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih

iritatif di banding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat

12

Page 13: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek

relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.

Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.

Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat

dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran

banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung

dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi

teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan

gangguan koroner.

Desfluran (suprane)

Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat

simptomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek

depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan

napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

Sevofluran (ultane)

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.

Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,

sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping

halotan.

d. Induksi per rektal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau

midazolam.

e. Induksi mencuri

Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi

biasa hanya sungkup muka yang tidak kita tempelkan pada muka

pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien

tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.

13

Page 14: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

B. Rumatan Anestesi

Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi

dengan cara mengatur konsentrasi obat anestesi dalan tubuh pasien. Jika

konsentrasi obat tinggi, maka akan dihasilkan anestesi yang dalam.

Sebaliknya, jika konsentrasi obat rendah, maka didapatkan anestesi yang

dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu

perlu dipantau secara ketat indikator-indikator kedalaman anestesi.

Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan secara intravena atau

dengan inhalasi atau campuran keduanya. Rumatan anestesi mengacu

pada tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,

diusahakan selama pasien dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi

otot lurik yang cukup.1,3,4

Rumatan intravena misalnya menggunakan opioid dosis tinggi,

fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur

dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi

pelumpuh otot. Rumatan intravena juga dapat menggunakan opioid dosis

biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/KgBB/jam.

Bedah lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid,

pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan

inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.1,3

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O + O2 3 :1

ditambah halotan 0,5-2vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol

% atau sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,

dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).1,3

2.8 Jenis-Jenis Anestesi

1. Anestesi Inhalasi

Anestesi inhalasi yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan

anestesi yang mudah menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik

melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran

gas (dengan oksigen) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari

tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentukan

14

Page 15: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

kekuatan daya anestesi, zat anestetik disebut kuat bila dengan tekanan

parsial yang rendah sudah dapat memberi anestesi yang adekuat.

Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan

aktivitas neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi

digunakan gas dan cairan terbang yang masing-masing sangat berbeda

dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat melemaskan otot maupun

menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang secepat-

cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang

kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan

antara pemberian dan pengeluaran. Keuntungan anestesi inhalasi

dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat

lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi

dari gas / uap yang diinhalasi.3,4 Halotan, enfluran, isofluran, sevofluran,

desflurane, dan methoxyflurane merupakan cairan yang mudah menguap.

Obat-obat ini diberikan sebagai uap melalui saluran napas. Cara pemberian

anestesi inhalasi:

Open drop method: zat anestesi diteteskan pada kapas yang diletakkan

di depan hidung penderita sehingga kadar zat anestesi yang dihisap tidak

diketahui dan pemakaiannya boros karena zat anestesi menguap ke udara

terbuka.

Semiopen drop method: cara ini hampir sama dengan open drop, hanya

untuk mengurangi terbuangnya zat anestesi maka digunakan masker.

Semiclosed method: udara yang dihisap diberikan bersamaan oksigen

yang dapat ditentukan kadarnya. Keuntungan cara ini adalah dalamnya

anestesi dapat diatur dengan memberikan zat anestesi dalam kadar

tertentu dan hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.

Closed method: hampir sama seperti semiclosed, hanya udara ekspirasi

dialirkan melalui NaOH yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang

mengandung anestesi dapat digunakan lagi. Cara ini lebih hemat, aman,

dan lebih mudah, tetapi harga alatnya cukup mahal.

Jenis-jenis anestesi inhalasi generasi pertama seperti ether,

cyclopropane, dan chloroform sudah tidak digunakan lagi di negara-negara

15

Page 16: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

maju karena sifatnya yang mudah terbakar (misalnya ether dan

cyclopropane) dan toksisitasnya terhadap organ (chloroform).1

2. Anestesi Intravena

Beberapa obat digunakan secara intravena ( baik sendiri atau

dikombinasikan dengan obat lain) untuk menimbulkan anestesi, atau

sebagai komponen anestesi berimbang (balanced anesthesia), atau untuk

menggunakan propofol. Digunakan untuk tindakan yang singkat atau

induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus

tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang

lama anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain. Pemakaian obat

anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anestesi, induksi dan

pemeliharaan anestesi bedah singkat, suplementasi hipnosis pada anestesia

atau tambahan pada analgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan

medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental,

ketamin dan propofol.3

Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol

mempunyai mula kerja anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap

senyawa gas inhalasi yang terbaru, misalnya desflurance dan sevoflurance.

Senyawa intravena ini umumnya digunakan untuk induksi anestesi.

Kecepatan pemulihan pada sebagian besar senyawa intravena juga sangat

cepat.1,4

2.9 Tatalaksana jalan nafas1,2,8

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:

1. Hidung : Menuju nasofaring

2. Mulut : Menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan

palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring

menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea.

Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang

aritenoid, kornikulata dan kuneiform.

Manuver tripel jalan napas, Terdiri dari:

16

Page 17: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.

2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula

3. Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas

bebas, sehingga gas atau udara lancar masuk ke trakea lewat hidung

atau mulut.

Jalan napas faring

Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas

mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas

lewat hidung (naso-pharyngeal airway).

Sungkup muka

Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke

jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika

digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak

bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.

Sungkup laring (Laryngeal mask)

Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar

berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat

dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA

dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk

menjaga supaya tetap paten. Dikenal 2 macam sungkup laring:

1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas

2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan

lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan

esophagus.

Pipa trakea (endotracheal tube)

Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat

dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui

mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).

Laringoskopi dan intubasi

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop

merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung

17

Page 18: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara

garis besar dikenal dua macam laringoskop:

1. Bilah, daun (blade) lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa

2. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal

dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4

gradasi.

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle

1 + + +

2 - + +

3 - - +

4 - - -

Indikasi intubasi trakea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea

melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira

dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi

sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:

1. Menjaga potensi jalan napas oleh sebab apapun.

18

Page 19: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan

sekret jalan napas, dan lain-lainnya.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan

efisien, ventilasi jangka panjang.

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan intubasi

1. Leher pendek berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tak terlihat

5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

6. Gerak vertebra servikal terbatas

Komplikasi intubasi

1. Selama intubasi

a. Trauma gigi geligi

b. Laserasi bibir, gusi, laring

c. Merangsang saraf simpatis

d. Intubasi bronkus

e. Intubasi esophagus

f. Aspirasi

g. Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasi

a. Spasme laring

b. Aspirasi

c. Gangguan fonasi

d. Edema glottis-subglotis

e. Infeksi laring, faring, trakea

Ekstubasi

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:

a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan

19

Page 20: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi

2. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anestesi sudah ringan dengan

catatan tak akan terjadi spasme laring.

3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan

cairan lainnya.

2.10 Obat pelumpuh otot6

Fungsi obat pelumpuh otot adalah memudahkan cedera pada tindakan

laringoskop dan intubasi trakea, membuat relaksasi otot selama pembedahan,

serta menghilangkan spasme laring dan refleks jalan nafas.

Atrakurium

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Keunggulan obat ini

adalah metabolisme terjadi di darah, tidak bergantung fungsi hati dan

ginjal. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang

bermakna, Dosis intubasi yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dosis relaksasi otot

yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dan dosis pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kgBB/iv.

Suksametonium (succinyl choline)

Indikasi dari suksametonium adalah sebagai pelumpuh otot jangka pendek,

dosis untuk intubasi ialah 1-2 mg/kgBB/iv.

2.11 Tatalaksana nyeri1,6

Metode untuk menghilangkan nyeri biasanya digunakan analgetik

golongan opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi non steroid

(NSAID) untuk nyeri sedang atau ringan.

Morfin

Dosis anjuran untuk menghilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB

dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dapat diberi 1-2 mg

intravena dan diulang sesuai keperluan.

Petidin

Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB dapat diulang tiap 3-4 jam.

Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. petidin menyebabkan kekeringan

mulut, kekaburan pandangan dan takikardi.

20

Page 21: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Fentanil

Pada fentanil efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek

analgesianya. Dosis 1-3 µg/kgBB efek analgesianya hanya berlangsung

30 menit.

Nalokson

Nalokson ialah antagonis murni opioid. Nalokson biasanya digunakan

untuk melawan depresi nafas pada akhir pembedahan dengan dosisi 1-2

µg/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5 menit.

2.12 Mempertahankan Anestesi dan Pengakhiran Anestesi

1. Mempertahankan anestesi9

Pemantauan minimal harus dilakukan saat operasi : EKG, tekanan

darah, oksimetri nadi, kapnometri, gas napas, pengukuran gas

anestesi

Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan

opioid (misalnya remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi

(misalnya 0,5 MAC defluran) atau sebagai anestesi intravena total

(TIVA) dengan opioid dan propofol.

Segera rencanakan terapi nyeri pasca operasi, bila perlu pemberian

analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kgmetamizol) dan pemberian

opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritamid)

Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :

Peningkatan tekanan darah

Peningkatan frekuensi denyut jantung

Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai

Terdapat pergerakan

Berkeringat

2. Pengakhiran anestesi9

Pengakhiran anestesi dilakukan sesaat sebelum operasi berakhir (pada

penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit)

FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana

ekstubasi.

21

Page 22: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Penyedotan sekret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.

Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan

telah kembali (antagonisasi dan relaksasi otot)

Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di

dalam ruangan pasca bedah

2.13 Skor Pemulihan Pasca Anestesi6

Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi

terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan

penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat

dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di Recovery room

(RR).

Aldrete Score, dinilai dari :

Nilai Warna

Merah muda, 2

Pucat, 1

Sianosis, 0

Pernapasan

Dapat bernapas dalam dan batuk, 2

Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1

 Apnoea atau obstruksi, 0

Sirkulasi

Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2

Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1

Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0

Kesadaran  

Sadar, siaga dan orientasi, 2

Bangun namun cepat kembali tertidur, 1

Tidak berespons, 0

Aktivitas  

Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2

Dua ekstremitas dapat digerakkan,1

22

Page 23: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Tidak bergerak, 0

Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

Steward Score (anak-anak), dinilai dari :

Pergerakan

Gerak bertujuan 2

Gerak tak bertujuan 1

Tidak bergerak 0

Pernafasan

Batuk, menangis 2

Pertahankan jalan nafas 1

Perlu bantuan 0

Kesadaran

Menangis 2

Bereaksi terhadap rangsangan 1

Tidak bereaksi 0

Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

2.14 Fibroadenoma Mammae3

Fibroadenoma adalah suatu tumor jinak yang merupakan pertumbuhan yang

meliputi kelenjar dan stroma jaringan ikat.

2.15 Tanda & Gejala3

1. Secara makroskopik : tumor bersimpai, berwarna putih keabu-abuan,

pada penampang tampak jaringan ikat berwarna putih, kenyal

2. Ada bagian yang menonjol kepermukaan

3. Ada penekanan pada jaringan sekitar

4. Ada batas yang tegas

5. Bila diameter mencapai 10 – 15 cm muncul Fibroadenoma raksasa

( Giant Fibroadenoma )

6. Memiliki kapsul dan soliter

7. Benjolan dapat digerakkan

8. Pertumbuhannya lambat

23

Page 24: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

9. Mudah diangkat dengan lokal surgery

10. Bila segera ditangani tidak menyebabkan kematian

2.16 Diagnosa3

Fibroadenoma dapat didiagnosis dengan tiga cara, yaitu dengan

pemeriksaan fisik (phisycal examination), dengan mammography atau

ultrasound, dengan Fine Needle Aspiration Cytology (FNAC).

a. Pada pemeriksaan fisik dokter akan memeriksa benjolan yang ada

dengan palpasi pada daerah tersebut, dari palpasi itu dapat diketahui

apakah mobil atau tidak, kenyal atau keras,dll.

b. Mammography digunakan untuk membantu diagnosis, mammography

sangat berguna untuk mendiagnosis wanita dengan usia tua sekitar 60

atau 70 tahun, sedangkan pada wanita usia muda tidak digunakan

mammography, sebagai gantinya digunakan ultrasound, hal ini karena

fibroadenoma pada wanita muda tebal, sehingga tidak terlihat dengan

baik bila menggunakan mammography.

c. Pada FNAC kita akan mengambil sel dari fibroadenoma dengan

menggunakan penghisap berupa sebuah jarum yang dimasukkan pada

suntikan.

Dari alat tersebut kita dapat memperoleh sel yang terdapat pada

fibroadenoma, lalu hasil pengambilan tersebut dikirim ke laboratorium

patologi untuk diperiksa di bawah mikroskop. Dibawah mikroskop tumpor

tersebut tampak seperti berikut :

1. Tampak jaringan tumor yang berasal dari mesenkim (jaringan ikat

fibrosa) dan berasal dari epitel (epitel kelenjar) yang berbentuk lobus-

lobus

2. Lobuli terdiri atas jaringan ikat kolagen dan saluran kelenjar yang

berbentuk bular (perikanalikuler) atau bercabang (intrakanalikuler)

3. Saluran tersebut dibatasi sel-sel yang berbentuk kuboid atau kolumnar

pendek uniform

2.17 Penatalaksanaan

24

Page 25: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Terapi untuk fibroadenoma tergantung dari beberapa hal sebagai berikut:

1. Ukuran

2. Terdapat rasa nyeri atau tidak

3. Usia pasien

4. Hasil biopsy

Terapi dari fibroadenoma mammae dapat dilakukan dengan operasi

pengangkatan tumor tersebut, biasanya dilakukan general anaesthetic pada

operasi ini. Operasi ini tidak akan merubah bentuk dari payudara, tetapi hanya

akan meninggalkan luka atau jaringan parut yang nanti akan diganti oleh

jaringan normal secara perlahan.

2.18 Pencegahan Dan Deteksi Dini

1. Faktor-faktor resiko

2. Pemerikasaan payudara sendiri (sadari)

3. Pemeriksaan klinik

4. Mammografi

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : LS

Umur : 23 tahun

25

Page 26: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Berat badan : 60 Kg

Tinggi badan : 160 cm

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Tanjung Alai

Agama : Kristen

Tanggal masuk RS : 8 Desember 2014

No.RM : 11-09-36

II. ANAMNESIS

a. Keluhan Utama

Benjolan di payudara kanan sejak 1 tahun terakhir.

b. Riwayat Penyakit Sekarang:

Benjolan di payudara kanan sejak 1 tahun terakhir. Awalnya benjolan

kecil seperti kelerang tapi lama-kelamaan benjolan semakin membesar

berukuran sebesar telur bebek. Nyeri yang dirasakan hilang timbul.

Ketika diraba benjolan di payudara kanan, benjolan menetap,

permukaan licin, teraba lunak, dan nyeri tekan (+). Keluhan pasien

pernah di periksa di Rumah Sakit Pekanbaru. Riwayat alergi obat dan

makanan disangkal. Riwayat memakai gigi palsu disangkal. Riwayat

asma disangkal. Pasien tidak demam.

c. Riwayat Penyakit Dahulu:

- Tidak ada riwayat alergi obat

- Tidak ada riwayat alergi makanan

- Tidak ada riwayat penyakit asthma

d. Riwayat Penyakit Keluarga:

- Tidak ada

e. Riwayat penggunaan obat-obatan :

- Tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya

f. Riwayat Anastesi/Operasi sebelumnya :

- Tidak ada riwayat anestesi atau operasi sebelumnya

26

Page 27: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

III. PEMERIKSAAN FISIK

a. Vital sign

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

GCS :15

E : 4

M: 5

V: 6

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Respirasi : 18x/menit

Nadi : 60x/menit

Suhu : 36,70C

b. Status Generalis :

Kepala : Normochepal, simestris, tanda trauma (-),tumor (-)

Mata : Status lokalis

Telinga : Discharge (-), deformitas (-)

Hidung : Discharge (-) epistaksis (-), deviasi septum (-)

Mulut : Bibir kering(-), hiperemis(-), pembesaran tonsil (-)

Gigi : Gigi palsu (-), gigi goyang (-)

Leher :

Inspeksi : Simestris, trakea ditengah

Palpasi : Pembesaran tiroid dan limfe (-)

Thorax :

Pulmo : vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Cor : BJ I-II reguler, bising (-)

Abdomen :

Inspeksi : Perut datar, tidak ada bekas luka

Auskultai : Bunyi usus + normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Abdomen supel, Tidak ada nyeri tekan, tidak ada

masa

Vertebrae : Tidak ada kelainan

27

Page 28: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Ekstremitas : Tidak ada kelainan

c. Status Lokalis

Regio Mammae Dextra

Inpeksi : Payudara kanan tampak membesar daripada payudara

kiri tetapi tidak ada kemerahan. Discharge (-)

Nipple inverted (-), peau d’orange (-)

Palpasi : Pada saat diraba benjolan di payudara kanan menetap,

permukaan licin, mobile (+), teraba lunak, ukuran sebesar

telur bebek, tidak tampak menonjol, dan nyeri tekan (+).

Auskultasi thorak : SD : vesikuler (+/+) normal

ST : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Cor : BJ I-II reguler, bising (-)

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 15 Februari 2015

Pemeriksaan darah lengkap :

Hb : 13,3 g/dl

Leukosit : 6900 ul

Ht : 39,0 %

Eritrosit : -

Trombosit : 307000/ul

LED : 15

Eusinofil : 0

Basofil : 0

Neutrofil Stab : 8

Neutrofil Seg : 55

Limfosit : 30

Monosit : 7

Selmuda : -

V. DIAGNOSIS KLINIS

Diagnosis praoperasi : FAM Dextra

28

Page 29: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Diagnosis post operasi : Post Operasi Mastektomi Subkutan FAM

Dextra

VI. STATUS ANASTESI

ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia

VII. TINDAKAN

Dilakukan : Mastektomi Subkutan FAM Dextra

Tanggal : 17 Februari 2015

VIII. LAPORAN ANESTESI PREOPERATIF

Persiapan Anestesi

Informed concent :Ada

Surat izin operasi : Ada

Puasa : Pasien puasa sejak 00.00 WIB

Pemasangan IV line : Sudah terpasang

Pemeriksaan penunjang : Terlampir

Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi

O2

Pemeriksaan pasien di ruangan operasi :

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi : 83 x/menit

Suhu : 36,70C

Pernafasan : 18 x/ menit

IX. LAPORAN ANESTESI INTRAOPERATIF

Penatalaksanaan Anestesi

- Tanggal operasi : 17 Februari 2015

- Jam rencana operasi : 08.00 WIB

- Mulai operasi : 10.15 WIB

29

Page 30: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

- Selesai operasi : 11.15 WIB

- Lama operasi : 1 jam

- Diagnosa pra bedah : FAM Dextra

- Diagnosa pasca bedah : Post Operasi Mastektomi Subkutan

FAM Dextra

- Macam operasi : Mastektomi

- Ahli bedah : Dr. Amdasmar Sp.B

- Ahli anestesi : Dr. Lasmaria Flora Sp.An

- Teknik anestesi : General Anestesi

- Ekstubasi : Oro-pharyngeal airway (OPA)

- Mulai induksi : 10.15 WIB

- Obat induksi : Sedacum IV 10 mg, fentanyl IV

0,25 mg, recofol IV 70 mg

Premedikasi :

Dexamethason IV 10 mg

Medikasi Intra Operatif:

Kombinasi N20 7 vol % dan O2 2 vol %, Isoflurance 2 L/menit

Medikasi Post Operatif:

Ketorolac 30 mg

Tramadol 200 mg

Teknik anestesi :

Pasien dalam posisi berbaring, dilakukan menyuntikan obat induksi

anestesi secara bolus melalui IV line yang sebelumnya tempat

penyuntikan telah di desinfeksi dengan kapas alkohol. Beberapa menit

kemudian, pasien mulai tidak sadar, pada pasien dilakukan triple

airway maneuver untuk memudahkan melakukan ekstubasi dengan

pemasangan oropharingeal airway untuk membantu pembebasan jalan

nafas pasien dan diberikan anastesi inhalasi dengan sungkup muka (

face mask) ukuran 4, anastesi inhalasi menggunakan kombinasi N20 7

vol %, O2 2 vol % dan Isoflurance 2 L/menit .Selain itu dipasang juga

tensimeter dan oksimetri untuk memantau tekanan darah dan

pernafasan.

30

Page 31: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Jumlah cairan yang masuk :

Kristaloid = 1500 cc

Cairan keluar selama operasi : ± 50 cc

Pemantauan selama anestesi :

Waktu Tekanan darah Saturasi oksigen Nadi

10.15 120/80 mmHg 100% 83 x / Menit

10.30 122/70 mmHg 100% 70 x / Menit

10.45

11.00

11.15

119/60 mmHg

125/66 mmHg

120/80 mmHg

100%

100%

100%

75 x / Menit

80x/ Menit

89x/ Menit

LAPORAN ANESTESI POST OPERATIF

Pasien Sadar :11.25 WIB

Aldrete Score : 9 (merah muda, dapat bernapas dalam dan batuk,

Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, Bangun namun

cepat kembali tertidur, Seluruh ekstremitas dapat digerakkan)

Pasien diantar keruangan : 11.40 WIB

Terapi cairan post operatif : Analgetik drip 20 tpm ( Ketorolac 30

mg + Tramadol 200 mg dalam RL 500 cc)

Saturasi oksigen post operatif : 100%

X. PROGNOSA

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad functionam : Bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

Quo ad kosmetikum : Bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

A. PRE OPERATIF

Persiapan anestesi dan pembedahan harus lengkap karena dalam

pemberian anastesi dan operasi selalu ada risiko. Persiapan yang dilakukan

31

Page 32: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien, dan persiapan obat

anestesi yang diperlukan. Penilaian dan persiapan penderita diantaranya

meliputi :

informasi penyakit

anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit

riwayat alergi, riwayat sesak napas atau asthma, diabetes mellitus,

riwayat trauma, dan riwayat operasi sebelumnya.

riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesia)

makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena

regurgitasi atau muntah pada saat anestesi)

Persiapan operasi yang tidak kalah penting yaitu informed consent,

suatu persetujuan medis untuk mendapatkan izin dari pasien sendiri

dan keluarga pasien untuk melakukan tindakan anestesi dan operasi,

sebelumnya pasien dan keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai

risiko yang mungkin terjadi selama operasi dan post operasi. Setelah

dilakukan pemeriksaan pada pasien, maka pasien termasuk dalam

klasifikasi ASA I

B. INTRA OPERATIF

Anastesi pada pasein dengan usia 23 tahun ini menggunakan

anastesi inhalasi sungkup muka yaitu anastesi menggunakan kombinasi

obat berupa gas melalui sungkup muka dengan pola nafas spontan.

Komponen trias anastesi yang dicapai adalah hipnotik, analgesi, dan

relaksasi otot ringan.

Anastesi menggunakan anastesi inhalasi dengan sungkup muka

karena durasi operasi tidak lama. Pasien dalam posisi berbaring, dilakukan

menyuntikan obat induksi anestesi secara bolus melalui IV line yang

sebelumnya tempat penyuntikan telah di desinfeksi dengan kapas alkohol.

Beberapa menit kemudian, pasien mulai tidak sadar, pada pasien dilakukan

triple airway maneuver untuk memudahkan melakukan ekstubasi dengan

pemasangan oropharingeal airway untuk membantu pembebasan jalan

nafas pasien dan diberikan anastesi inhalasi dengan sungkup muka ( face

32

Page 33: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

mask), anastesi inhalasi menggunakan kombinasi N20 7 vol %, O2 2 vol

% dan Isoflurance 2 L/menit .Selain itu dipasang juga tensimeter dan

oksimetri untuk memantau tekanan darah dan pernafasan.

Pada pasien ini berikan cairan infus RL sebagai cairan fisiologis

untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pasien sudah tidak

makan dan minum ± 8 jam, maka kebutuhan cairan pada pasien dengan

BB = 60 kg:

• Pemeliharaan cairan per jam:

(4 X 10) + (2 X 10) + (1 X 24) = 84 mL/jam

• Pengganti defisit cairan puasa:

7 X 84 mL = 588 mL

• Kebutuhan kehilangan cairan saat pembedahan:

6 X 60 = 360 mL

• Jumlah terapi cairan:

84 + 588 + 360 = 1,032 mL 2 kolf RL (kristaloid)

C. POST OPERATIF

Setelah operasi selesai, pasien di bawa ke ruang observasi. Pasien

berbaring dengan posisi terlentang karena efek obat anestesi masih ada dan

tungkai tetap lurus untuk menghindari edema. Observasi post operasi

dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan vital sign (tekanan

darah, nadi, suhu dan respiratory rate) setiap 30 menit. Oksigen tetap

diberikan 2-3 liter/menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien

dibawa ke ruangan bedah untuk dilakukan tindakan perawatan lanjutan.

BAB V

KESIMPULAN

Wanita usia 23 tahun dengan diagnosis pra operasi FAM dextra dan

diagnosis post operasi Post Operasi Mastektomi Subkutan FAM Dextra, dilakukan

33

Page 34: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

Mastektomi Tanggal 17 Februari 2015 mulai anestesi 10.15, mulai operasi 10.25,

selesai operasi 11.15 dengan durasi anastesi 1 jam.

Pasien dalam posisi berbaring, dilakukan menyuntikan obat induksi anestesi

secara bolus melalui IV line yang sebelumnya tempat penyuntikan telah di

desinfeksi dengan kapas alkohol. Beberapa menit kemudian, pasien mulai tidak

sadar, pada pasien dilakukan triple airway maneuver untuk memudahkan

melakukan ekstubasi dengan pemasangan oropharingeal airway untuk membantu

pembebasan jalan nafas pasien dan diberikan anastesi inhalasi dengan sungkup

muka ( face mask) , anastesi inhalasi menggunakan kombinasi N20 7 vol %, O2 2

vol % dan Isoflurance 2 L/menit .Selain itu dipasang juga tensimeter dan

oksimetri untuk memantau tekanan darah dan pernafasan., danalgetik post operasi

menggunakan ketololac 30 mg IV dan drip Tramadol 200 mg dalam RL. Evaluasi

post operatif dilakukan di ruangan bedah, puasa post operasi selama 2 jam dan

boleh makan minum selama tidak ada mual dan muntah dengan mengawasi tanda-

tanda vital setiap 30 menit selama 24 jam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.Petunjuk Praktis Anestesiologi.

Ed.2.Cet.V.Jakarta:Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.2010.

2. Dobson MB. editor: Dharma A.Penuntun Praktis Anestesi.Jakarta: EGC.2011.

34

Page 35: Case Dewi Sasmita Kumala Sari

3. Sabiston, DC. Buku Ajar Bedah Bagian 1.Jakarta:EGC.2009.

4. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC.2010.

5. Nugroho dkk, 2012 Perkembangan Sirkuit Anestesi . Jurnal Anestesiologi

Indonesia. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr.

Kariadi, Semarang

6. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy

Pharmacology). Jakarta:Bagian Farmakologi FKUI.2006.

7. Soerasdi E.Satriyanto MD.Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia

Sehari-hari. Bandung.2010.

8. Redjeki, Ike Sri. 2013. Perbandingan lnsidensi Post Dural Puncture Headache

(PDPH) Pascaseksio Sesarea Anestesi Spinal antara Tirah Baring 24jam

dengan Mobilisasi Dini. Jurnal Anestesi Perioperatif. Unpad.

9. Miller RD, Pardo M.C. 2011. Basic of Anestesia. Ed 6. Philadelpia. Elsevier.

35