Post on 29-Jun-2015
MODUL/TOPIK 5
FERTILISASI AWAL
A. PENDAHULUAN
Modul 5 ini menjelaskan mengenai proses fertilisasi dan macam-macam fertilisasi yang
dilakukan oleh hewan-hewan Invertebrata maupun Vertebrata. Selain itu dalam mengkaji
mekanisme fertilisasi awal ada 2 aktivitas utama, yaitu pengenalan (kontak awal) antara
sperma dan sel telur, dan pengaturan pemasukkan sperma ke sel telur,
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang
fertilisasi baik macam, mekanisme, dan periodanya pada beberapa hewan dari golongan
Invertebrata maupun Vertebrata. Kemudian mahasiswa dapat menjelaskan mekanisme
fisiologis pada saat terjadi kontak awal antara spema dan sel telur, serta dapat
mendiskusikan masalah kecenderungan bahwa hanya satu sperma saja yang mampu
menembus sel telur, dan akan melengkapi diskusi tersebut dengan bahan-bahan yang
diperoleh dari internet.
B. URAIAN
Fertilisasi adalah proses peleburan 2 macam gamet, sehingga terbentuk individu baru
dengan sifat genetik yang berasal dari kedua induknya. Prefertilisasi atau fertilisasi awal
secara garis besar meliputi 2 aktivitas utama, yaitu (1) Pengenalan (kontak awal) sperma
dan sel telur dan (2) Pengaturan pemasukkan sperma ke sel telur (Bruc, 1988; Syahrum,
Kamaludin, dan Arjatmo,1994 ; Sugiyanto, 1996).
(1) Pengenalan (kontak Awal) Sperma dan Sel Telur. Untuk mengetahui kontak awal
antara sperma dan sel telur, terlebih dahulu diketahui cara fertiliasinya. Pada hewan yang
hidup di perairan, sebagian besar melakukan fertilisasi eksternal, artinya sel telur dan
sperma sama-sama dikeluarkan di dalam air dan keduanya akan bertemu dengan
mekanisme tertentu. Ada 2 mekanisme fertilisasi eksternal yaitu
a. Daya tarik spesies spesifik sperma
Daya tarik ini adalah semacam kemotaksis dimana sel telur dapat mengeluarkan
suatu zat yang mempunyai daya tarik (atraktan). Saat ini telah ditemukan 2 macam
atraktan pada spesies spesifik seperti speract dari Strongylocerntrotus purpuratus dan
resact dari Arbicia punctulata. Zat-zat ini merupakan polipeptida pendek dan
terdapat di dalam selaput lendir telur.
b. Reaksi akrosoma
Reaksi akrosoma ini merupakan interaksi yang kedua antara sperma dan sel telur
menyangkut aktivasi sperma oleh selaput lendir telur. Reaksi akrosoma ada 2 bagian
1. Gelembung akrosoma pecah mengeluarkan enzim pencerna.
2. Pembentukan prosessus akrosoma
Kedua bagian tersebut menyebabkan kepala sperma dapat menembus selaput lendir
dan prosessus akrosoma akan mencapai membran telur. Protein dari prosessus
akrosoma yang berperan dalam proses ini adalah bindin. Beberapa uji biokimia dari
bindin menunjukkan bahwa bindin dari masing masing species dari satu genus
sangat berbeda, karena pada membran vitelin sel telur terdapat reseptor yang species
specifik bagi bindin. Jadi pada tahap ini terjadi pengenalan atau kontak awal yang bersifat
species spesifik.
Pada hewan mamalia, sebagian besar melakukan fertilisasi internal artinya fertilisasi
terjadi di dalam saluran genital betina bagian anterior, sehingga proses fertilisasi
disesuaikan dengan lingkungannya. Mekanisme fertilisasi pada mamalia ada 3 perioda:
a. Perioda Kapasitasi
Perioda ini terjadi setelah terjadi ejakulasi sperma untuk waktu cukup lama di dalam
saluran reproduksi betina, dan waktu ini untuk masing-masing species berbeda.
Sperma yang baru diejakulasi belum mampu melakukan reaksi akrosoma.
b. Perioda enzimatik
perioda ini terjadi setelah terjadi reaksi akrosoma pada sperma, maka sperma dapat
mengkonsentrasikan enzim proteolitiknya yaitu akrosin (enzim hialuranidase)secara
langsung pada tempat dimana sperma terikat (Bruc, 1988)
c. Perioda pelekatan sperma dan sel telur.
Menurut (Syahrum, Kamaludin, dan Arjatmo, 1994) pada perioda ini terjadi antara sel
telur dan sperma sama-sama menghasilkan zat yang saling memberi pengaruh satu
sama lain yaitu ginogamon (dikeluarkan oleh sel telur) dan androgamon (dikeluarkan
oleh sperma). Ada 2 macam ginogamon yaitu ginogamon 1 fungsinya mempercepat
jalannya sperma dan ginogamon 2 yang menyebabkan permukaan ovum mudah
melekatkan kepala sperma. Proses pelekatan antara sperma dan sel telur dapat terjadi
dengan bantuan enzim akrosin dan ginogamon 2.
(2) Pengaturan Pemasukkan Sperma ke Sel Telur, pengaturan tersebut mulai dari
masuknya kepala sperma ke dalam telur biasanya Monospermi artinya
hanya satu sperma yang masuk ke dalam telur. Pada proses ini satu sperma bersatu
dengan nukleus haploid telur, agar kromosom yang normal bagi suatu spesies dapat
dicapai kembali. Namun bila sperma yang masuk lebih dari satu, disebut Polispermi,
dan keadaan ini abnormal, umumnya mati atau tidak terbentuk zigot (Bruc, 1988).
Kebanyakan hewan akan melakukan pencegahan agar polispermi tidak terjadi dengan
melalui 2 cara yaitu dengan pencegahan cepat (temporer) dan lambat (permanen)
(Sudarwati,S; L.A. Sutasurya 1994). Pencegahan secara cepat terjadi dalam waktu 2-3
detik dan berlangsung selama 60 detik. Depolarisasi membran terjadi karena ada
influks Na+ ke dalam sel, sehingga mengakibatkan terjadi perubahan potensial
membran. Pencegahan secara lambat ditandai dengan terjadi reaksi korteks dan
didahului dengan proses demobilisasi Ca 2+ ke daerah tempat masuknya sperma.
Reaksi korteks mulai dengan pecahnya granula korteks dan dengan cepat granula
melepaskan isinya berupa cairan ke dalam rongga yang mengelilingi telur sehingga
terbentuk rongga privitelin. Cairan tersebut oleh granula korteks akan melarutkan
ikatan antara membran vitelin dengan membran korteks. Pada waktu yang sama air
akan masuk dan melepaskan membran vitelin, dan membran vitelin yang lepas disebut
membran fertilisasi (Sudarwati,S; L.A. Sutasurya 1994;Sugiyanto, 1996).
Di alam terdapat berbagai cara untuk mencegah polispermi. Pada Mamalia, kemungkinan
terjadi polispermi sangat kecil dengan sedikitnya sperma yang dapat mencapai tempat
fertilisasi (Bruc, 1988). Pada telur-telur yang mengandung banyak yolk seperti pada
burung, reptilia, dan salamander, beberapa sperma sebenarnya masuk ke dalam telur,
namun dengan mekanisme yang belum diketahui semua sperma yang masuk mengalami
disintegrasi di dalam sitoplasma, sehingga hanya satu sperma yang dapat melebur dengan
pronukleus. Pada saat sperma masuk atau penetrasi ke dalam sel telur yang tidak kuat akan
tertinggal dan mati pada corona radiata, dan hanya satu yang dapat menembus zona
pelusida (Syahrum, Kamaludin, dan Arjatmo,1994; Sugiyanto, 1996). Disini terlihat
bahwa hanya satu sperma haploid yang dapat berfusi dengan nukleus haploid telur.
C. PENUTUP
Uraian mengenai awal terjadi fertilisasi meliputi mekanisme kontak awal antara sperma
dan sel telur, serta mekanisme yang cukup kompleks dengan mengkaji mengenai proses
pengaturan pemasukkan sperma ke dalam sel telur. Pada proses ini menunjukkan bahwa
hanya satu sperma saja yang dapat menembus membran sel telur, meskipun pada keadaan
tertentu ada kemungkinan beberapa sperma mampu menembus beberapa sel telur.
C. PERTANYAAN/TUGAS
1. Mengapa anda mempelajari fertilisasi pada struktur perkembangan hewan II ?
2. Jelaskan maksud dengan pengenalan atau kontak awal yang bersifat
species spesifik secara fisiologis pada fertilisasi eksternal.
3. Buatlah skema mekanisme fertilisasi eksternal, agar lebih mudah difahami!
4. Jelaskan 3 perioda mekanisme fertilisasi internal pada mamalia, mana paling lama?
5. Mungkinkah terjadi polispermi pada mamalia, jelaskan alasannya?
TUGAS
1. Buatlah uraian singkat kecenderungan hanya satu sperma saja yang dapat
menembus sel telur ?.
2. Setiap mahasiswa diwajibkan menyerahkan artikel ilmiah (dari jurnal/majalah
ilmiah/internet edisi 3 tahun terakhir) yang berkaitan dengan fertilisasi:
monospermi/polispermi dan diserahkan setelah melalui diskusi kelompok paling
lambat seminggu setelah ujian tengah semester.
E. DAFTAR PUSTAKA
1. Bruc, M.C. 1988. Patten’s Foundations of Embryology. 5th ed. “gametogenesis and
fertilization, cleavage and formation of the blastula” McGraw-Hill Book
Company. New York San Fransisco Mexico Milan Montreal Panama Singapore
Sydney Tokyo Toronto. Pp. 73—185
2. Syahrum; M. H Kamaludin; T Arjatmo. 1994. Reproduksi dan Embryologi . Dari
Satu Sel Menjadi Organisme: Fertilisasi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. Hal. 63 – 87.
3. Sugiyanto, J. 1996. Perkembangan Hewan. Fakultas Biologi, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Direktorat Jenderal
Pendidikan tinggi, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Jakarta. Hal.
95—210.
4. Sudarwati,S; L.A. Sutasurya 1994. Dasar-dasar Struktur Perkembangan Hewan.
Diktat kuliah Jurusan Biologi FMIPA- ITB. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Hal.120 – 222
MODUL/TOPIK 6
FERTILISASI AKHIR
A. PENDAHULUAN
Modul 6 ini menjelaskan mengenai proses fertilisasi akhir yang membahas mengenai
peleburan bahan genetik yang terjadi setelah masuknya kepala sperma ke dalam telur, yang
dilanjutkan dengan proses aktivasi metabolik sel telur yang baru saja dibuahi. Pada proses
ini satu sperma bersatu dengan nukleus haploid telur, agar kromosom yang normal bagi
suatu spesies dapat dicapai kembali. Selain itu juga membahas mengenai adanya
penyimpangan dari fertilisasi antara lain partenogenesis.
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang
mekanisme dari akhir dari fertilisasi baik secara morfologis, chemis, dan fisiologis
terutama saat terjadi peleburan bahan genetik dan aktivasi metabolik dari sel telur.
Kemudian mahasiswa juga dapat memahami penyimpangan proses fertilisasi melalui
diskusi kelompok .
B. URAIAN
Pada akhir dari proses fertilisasi menurut Sudarwati dan Sutasurya (1994) meliputi
peleburan bahan genetik yang terjadi setelah kepala sperma masuk ke dalam sel telur.
Kemudian diteruskan dengan proses aktivasi metabolik telur yang membran intinya akan
melakukan disintegrasi. Bahan inti berinteraksi dengan sitoplasma telur, dan kromatin
mulai meregang. Menjelang berakhirnya peregangan kromatin membran inti yang baru
mulai terbentuk dan membran ini disebut pronukleus jantan. Bersamaan dengan proses
terbentuknya pronukleus jantan, granula mitokondria dan aparatus golgi dari sperma akan
menyebar di dalam sitoplasma sel telur dan inti telur, kemudian akan menjadi haploid yang
disebut pronukleus betina (Gillbert,1994).
Dari bagian sperma lainnya hanya sentriol yang dipertahankan dan akan menjadi aster.
Aster adalah semacam bintang yang muncul pada saat terjadi pembelahan sel baik secara
mitosis maupun meiosis, dan aster ini berada di ujung kutub animalis dan kutub
vegetatuvus (Gillbert,1994). Aster tersebut berperan penting dalam mendekatkan
pronukleus jantan dan pronukleus betina. Dengan bantuan aster dari sperma, pronukleus
betina bergerak ke bagian tengah telur dan mendekati pronukleus jantan. Setelah kedua
pronukleus bertemu, kedua membran pronukleus tersebut akan melakukan proses
peleburan, yang dalam hal ini akan menyatukan 2 kromosom paternal dan kromosom
maternal di dalam satu membran.
Setelah peleburan pronukleus terjadi, DNA kromosom berreplikasi sebagai persiapan
pembelahan pertama dari zigot. Pada proses replikasi tersebut diawali dengan tersusunnya
kromosom pada keping metafase yang dilanjutkan proses anafase dan telofase, maka
proses fertilisasi telah berakhir dan zigot siap memasuki masa perkembangannya atau
proses embriogenesis (Bruc, 1988;. Sudarwati dan Sutasurya 1994) .
Selain terjadi peleburan sperma dan sel telur dalam fertilisasi, ada keadaan lain dari sperma
dan sel telur yang tidak fertil yang disebut infertilitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses infertilitas atau sterilitas antara lain disebabkan oleh kelainan genetik atau kelainan
hormonal. Selain itu juga disebabkan oleh penyakit yang mengganggu fungsi organ seks,
misalnya alkoholisme, gangguan endokrin, peradangan, penutupan saluran kelamin yang
disebabkan oleh penyakit gonorehoe, dan tuberculosis. Selain factor penyakit dan
gangguan fungís organ, infertilitas juga dapat terjadi oleh faktor kejiwaan seperti ejaculatio
precox pada pria, atau disebut dengan sex maniak (Syahrum, dkk.1994).
PARTENOGENESIS
Menurut Bruc (1988) partenogenesis adalah proses dari telur yang tidak difertilisasi dapat
diaktivasi dan berkembang menjadi individu normal atau dengan kata lain proses fertilisasi
tanpa kehadiran pejantannya. Kondisi ini terjadi pada beberapa kelompok hewan
Invertebrata dan beberapa spesies Vertebrata. Partenogenesis biasanya terjadi pada kondisi
lingkungan yang tidak normal antara lain kemarau panjang atau musim dingin atau salju
(Bruc, 1988; Gillbert,1994). Partenogenesis dapat dilakukan secara buatan di laboratorium
melalui beberapa cara. Cara yang paling sederhana adalah memasukkan jarum yang telah
dicelup di dalam darah katak lalu di masukkan atau disuntikkan ke dalam telur katak.
Apabila dalam penyuntikan tidak tepat, dengan kata lain pada kutub vegetativus, maka
telur katak tersebut akan bereaksi dengan mengeluarkan darah tersebut dari dalam telur,
sehingga bila diamati akan terjadi telur di dalam genangan darah (Gillbert,1994).
Meskipun penyuntikan darah berhasil ditembuskan dari kutub animalis, namun sebagian
besar telur yang dirangsang untuk partenogenesis sebagian gagal untuk hidup normal. Hal
ini mungkin disebabkan oleh terbebasnya gen-gen resesif yang mengganggu di dalam
tubuh embrio dari hasil partenogenesis. Sebagian lagi yang mampu hidup normal
biasanya embrio yang diploid, hal ini mungkin karena badan polar ke duanya
dipertahankan didalam telur. Pada umumnya individu hasil dari partenogenesis adalah
betina (Bruc, 1988).
C. PERTANYAAN/TUGAS
1. Jelaskan arti peleburan bahan genetik dan proses aktivasi metabolik?
2 Jelaskan mengapa sampai terjadi infertilitas, faktor apa saja yang
mempengaruhinya?
3. Dalam kondisi seperti apa hewan tertentu dapat melakukan partenogenesis?
4. Tuliskan proses partenogenesis pada 3 hewan Invertebrata dan 2 hewan Vertebrata
lengkap dengan rincian prosesnya.
TUGAS
1. Kaitkan kegiatan fertilisasi akhir dengan pembelahan mitosis dan meiosis!
2. Diskusikan mengapa terjadi infertilitas atau sterilitas pada hewan dan manusia.
bahan diskusi bisa dari bahan ajar, literatur, dan internet. Tugas dikumpulkan
sebelum ujian tengah semester
D. PENUTUP
Pada proses akhir dari fertilisasi adalah peleburan bahan genetik. Selain itu juga terjadi
penyimpangan proses fertilisasi seperti partenogenesis. Dalam proses ini sperma dan sel
telur yang bergabung masing-masing mempunyai kekurangan, tetapi saling komplementer.
E. DAFTAR PUSTAKA
1. Bruc, M.C. 1988. Patten’s Foundations of Embryology. 5th ed. “gametogenesis and
fertilization, cleavage and formation of the blastula” McGraw-Hill Book
Company. New York San Fransisco Mexico Milan Montreal Panama Singapore
Sydney Tokyo Toronto. Pp. 73—185
2. Gillbert, S.F. 1994. Developmental Biology. 4th ed. Sinauer Associates Inc.,
Sunderland, Massachusetts. USA. Pp.121 –198.
3. Syahrum; M. H Kamaludin; T Arjatmo. 1994. Reproduksi dan Embryologi . Dari
Satu Sel Menjadi Organisme: Fertilisasi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. Hal. 63 – 87.
4. Sudarwati,S; L.A. Sutasurya 1994. Dasar-dasar Struktur Perkembangan Hewan.
Diktat kuliah Jurusan Biologi FMIPA- ITB. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Hal.120 – 222
5. Sugiyanto, J. 1996. Perkembangan Hewan. Fakultas Biologi, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Direktorat Jenderal
Pendidikan tinggi, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Jakarta. Hal.
95—210.
MODUL/TOPIK 7
EMBRIOGENESIS: PEMBELAHAN ATAU SEGMENTASI
A. PENDAHULUAN
Embriogenesis adalah perkembangan setelah terjadi zigot dari hasil fertilisasi.
Ada 2 cara perkembangan dari zigot yaitu secara pembelahan (segmentasi) dan blastulasi
dan akan dilanjutkan dengan perkembangan embryo secara gastrulasi. Pada proses
pembelahan sangat dipengaruhi oleh tipe telur dan juga jumlah yolk, sehingga terjadi tipe
pembelahan secara holoblastik dan meroblastik. Selain tipe pembelahan tersebut, bentuk
pembelahan akan bersifat radial dan bilateral simetris. Pada blastulasi tidak terjadi
pertumbuhan, sebaliknya pada gastrulasi terjadi perubahan bentuk embrio dan terjadi
pertumbuhan embrio.
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang
mekanisme, macam, dan pembentukan alur-alur pembelahan atau segmentasi dari beberapa
hewan baik Invertebrata maupun Vertebrata melalui diskusi kelompoknya. Selain itu
mahasiswa juga akan mampu menjelaskan proses-proses pembelahan yang bersifat radial
dan bilateral simetris pada beberapa hewan.
B. URAIAN
1. Mekanisme Pembelahan
Proses pembelahan atau segmentasi, menurut Weichert (1970) dan Bruc (1988) adalah
proses pada setiap organisme multiseluler yang memperbanyak diri melalui pembelahan
sel-selnya, karena di dalam tubuh organisme itu sendiri mempunyai keterbatasan fungsi
dalam melaksanakan kegiatan hidupnya, dimana sel-sel itu muncul melalui proses mitosis
maupun meiosis. Pembelahan mitosis dimaksudkan untuk membangun tubuh, sedangkan
pembelahan meiosis untuk membentuk membentuk generasi berikutnya. Organisme itu
dibangun dari satu sel yaitu sel telur yang sudah dibuahi yang disebut zigot, melalui
serangkaian pembelahan mitosis yang berjalan cepat dan perkembangan selnya. Ciri
umum dari pembelahan zigot (Bruc, 1988; Gillbert, 1994) adalah
1. Zigot yang bersifat uniseluler akan diubah dengan adanya pembelahan mitosis yang
berangsur-angsur akan membentuk yang multiseluler
2. Tidak terjadi pertumbuhan
3. Bentuk embrio tidak berubah, kecuali dengan terbentuknya suatu rongga di dalam
embrio yang disebut blastosoel.
4. Tidak terjadi pembelahan kuantitatif dalam komposisi kimia telur, meskipun
transformasi cadangan makanan menjadi sitoplasma yang aktif dan substansi
sitoplasma menjadi substansi inti yang berlangsung.
5. Bagian-bagian sitoplasma telur tidak terjadi perubahan posisi secara mencolok dan
pada umumnya tetap pada posisi yang sama seperti halnya dalam telur pada
permulaan pembelahan.
6. Rasio inti sitoplasma yang pada permulaan pembelahan sangat rendah tetapi pada
akhir pembelahan rasionya menjadi seperti yang terdapat pada sel somatis biasa.
Seperti pada mitosis umumnya, pembelahan dari sel telur yang sudah dibuahi. Mula-
mula terjadi pembelahan inti yang diikuti dengan pembelahan sitoplasma. Sel anak
yang terbentuk disebut blastomer. Dan sel-sel ini selanjutnya akan membelah lagi
menjadi 4 blastomer, 8 blastomer, 16 blastomer, 32 blastomer dan seterusnya.
Mula-mula pembelahan ini terjadi secara simultan pada semua blastomer, tetapi
kemudian sinkronisasi ini menghilang dan blastomer membelah pada waktu yang
berlainan, bebas satu terhadap yang lainnya. Pembelahan blastomer ini merupakan
pembelahan khusus dan struktur kromosomnya seperti pada sel somatis. Ada
perbedaan yang penting antara pembelahan mitosis pada perkembangan akhir
organisme dewasa dengan mitosis selama pembelahan pada perkembangan awal. Pada
organisme dewasa pembelahan sel tersebut sangat erat hubungannya dengan tumbuh,
artinya setiap kali membelah, sel-sel anak akan tumbuh sampai ukurannya menjadi dua
kali lipat dari sel yang baru membelah, dan kondisi ini selalu terjadi saat pembelahan
berikutnya. Namun sel-sel tersebut akan selalu mempertahankan ukurannya saat
membangun jaringan (Sudarwati dan Sutasurya, 1994).
Berbeda dengan perioda pembelahan awal zigot, pembelahan yang terjadi secara
berurutan dari masing-masing blastomer tidak dipisahkan oleh perioda tumbuh. Satu
blastomer tidak bertambah ukurannya menjelang pembelahan berikutnya (Gillbert,
1994). Akibatnya adalah pada setiap pembelahan blastomer yang terbentuk ukurannya
hanya setengah dari sel asal. Pembelahan dimulai dengan sebuah sel yang besar dan
berakhir dengan jumlah sel yang masing-masing tidak lebih besar ukurannya dari sel
jaringan dewasa. Kenyataannya pada akhir pembelahan sel-sel biasanya justru lebih
kecil dari sel-sel yang telah berdiferensiasi seluler yang sering disertai dengan
bertambah besarnya ukuran masing-masing sel.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelahan
Ritme pembelahan yang dihitung oleh waktu antara dua mitosis tidak sama pada
beberapa hewan. Kecepatan pembelahan ini nampaknya bergantung pada suhu,
walaupun pada dasarnya tetap bergantung pada faktor genetik. Pada mamalia, sel
somatis yang membelah cepat untuk membentuk suatu populasi tertentu membutuhkan
waktu 15-20 jam pada suhu 37oC. Pada telur bulu babi, dapat mencapai blastula ±
1000 sel (10 generasi) dalam waktu beberapa jam pada suhu yang jauh lebih rendah
(Syahrum, dkk.1994; Gillbert, 1994).
Selain suhu ada faktor lain yang mempengaruhi pembelahan, sehingga menyebabkan
tipe pembelahan yang berbeda-beda. Faktor-faktor tersebut seperti adanya tipe telur
yang berdasarkan jumlah yolk
a. Oligolesital adalah telur yang mempunyai sedikit yolk, misalnya: pada amphioxus
dan mamalia.
b. Mesolesital adalah telur dengan yolk sedang, misalnya pada Amphibia.
c. Polilesital adalah telur yang mempunyai banyak yolk, misalnya pada Aves, reptilia,
dan mamalia yang bertelur.
Faktor lain adalah dengan penyebaran yolk, maka telur dapat dibedakan menjadi
a. Isolesital yaitu telur dengan yolk yang tersebar merata, misal pada mamalia.
b. Sentrolesital yaitu telur yang yolknya terdapat pada bagian tengah, seperti pada
insekta.
c. Telolesital yaitu telur yang yolknya terdapat pada salah satu kutub dan biasanya
kutub vegetativus, misal pada Aves.
Telur atau zigot membelah menjadi blastomer yang masing-masing dipisahkan oleh bidang
yang dapat disetarakan dengan bidang geometrik. Telur dapat dianggap sebagai bentuk
bola bumi yang mempunyai 2 kutub yaitu kutub animalis dan kutub vegetativus (Weichert,
1970; Bruc, 1988; Gillbert, 1994).
3. Alur Pembelahan
Bidang meridional yang melalui sumbu panjang telur nantinya akan menjadi bidang
median embrio disebut bidang sagital. Bidang ekuatorial merupakan bidang yang dibuat
sesuai dengan alur keliling telur yang membagi telur menjadi bagian yang masing-masing
kutub yang berbeda. Letak alur itu tepat di ekuator telur atau tepat di tengah jarak kutub
animalis dan kutub vegetativus. Bidang ini juga tegak lurus sumbu animal-vegetal.
Bidang ekuator ini jarang tepat terjadi pada posisinya, karena seringkali bidang ini
menggeser ke arah kutub animalis atau ke kutub vegetativus.
Bidang vertikal merupakan bidang yang mengikuti alur tegak lurus pada sumbu bidang
animal – vegetal atau bidang yang sejajar dengan bidang ekuatorial mendekati kutrub
animal atau kutub vegetativus (Weichert, 1970).
Berdasarkan alurnya pembelahan pada beberapa hewan ada 2 jenis yaitu
3.1 Pembelahan Holoblastik
Menurut (Sudarwati dan Sutasurya, 1994) dan Sugiyanto (1996) dengan adanya
perbedaan distribusi dan jumlah yolk, maka terdapat perbedaan dalam pembentukan
alur pembelahan. Alur ini muncul sebagai suatu cincin di sekitar sel. Cincin ini akan
membagi sel menjadi 2 dengan suatu gerakan dari semua arah ke bagian dalam sel. Pada
telur oligolesital, seluruh sel akan terbelah secara sempurna menjadi 2 blastomer, karena
alur pembelahan ini memotong seluruh bagian telur, dan pembelahan ini disebut
holoblastik. Pembelahan ini dapat terjadi secara ekual atau secara tidak ekual.
3.1.1 Pembelahan holoplastik secara ekual
Pembelahan ini biasanya terjadi pada Amphioxus atau pada katak. Pada Amphioxus, alur
bidang pembelahan pertama dan melalui bidang meridional, dan pembelahan kedua
melalui bidang meridional lagi dan posisinya tegak lurus dengan bidang pertama.
Pembelahan ketiga adalah bidang ekuatorial yang sedikit ke arah kutub animalis, sehingga
blastomer di bagian polus animalis lebih kecil dari pada blastomer dibagian kutub
vegetativus. Blastomer kecil disebut mikromer, sedang yang besar disebut makromer.
Letak mikromer tergeser 45o atau di bagian atas antara 2 mikromer yang berdekatan.
Pembelahan keempat adalah 2 bidang meridional yang saling tegak lurus (Bruc, 1988;
Syahrum, dkk. 1994).
Pembelahan kelima adalah pada 2 bidang latitudinal, satu bidang di bagian polus animalis,
dan 4 yang lain di bagian kutub vegetativus. Mikromer yang paling dekat dengan polus
animalis berukuran paling kecil, sebaiknya di dekat kutub vegetativus makromer yang
paling besar dan paling banyak mengandung yolk. Bidang keenam adalah meridional yang
terjadi secara simultan yang menghasilkan 64 sel. Ketika terjadi bidang pembelahan ke
delapan, sudah terbentuk blastosoel yang berisi cairan. Tiap-tiap blastomer tidak ada
perbedaan pigmen (Sugiyanto, 1996).
Cara pembelahan yang serupa dengan pada amphioxus adalah pada telur kelinci. Bidang
pembelahan pertama meridional dan membentuk 2 blastomer yang bilateral simetris.
Bidang pembelahan kedua juga meridional yang memotong tegak lurus bidang pertama.
Kedua blastomer pertama mengandung belahan gray crescent yang sama. Pada tingkat 4
sel, kedua blastomer tidak mengandung belahan gray crescent.
Bidang pembelahan ketiga adalah latitudinal yang mengahsilkan 4 mikromer dan 4
makromer. Bidang pembelahan ke 4 adalah 2 bidang meridional, alur bidang pembelahan
pada permulaannya hanya terjadi pada kutub animalis. Sampai pembelahan ke empat ini
masih serupa dengan pada Amphioxus dan mulai pembelahan ke lima, mikromer akan
membelah lebih cepat dari makromer. Mikromer lebih banyak mengandung pigmen hitam
(Gillbert, 1994; Sudarwati dan Sutasurya, 1994).
3.1.2 Pembelahan holoplastik tidak ekual
Pembelahan ini terjadi pada mamalia dan akan menghasilkan blastomer yang tidak sama
besar. Pada kebanyakan telur mamalia, tingkat dua sel terdiri dari blastomer kecil sebagai
sel formatif dan blastomer besar sebagai calon jaringan tambahan atau tropoblast. Pada
telur mamalia, stadium dua sel , bagian kutub animalis terdapat blastomer berukuran kecil,
sedangkan pada kutub vegetativus terdapat blastomer yang berukuran besar. Polosit
mamalia terletak diantara ke dua blastomer tersebut, sebaliknya untuk polosit pada
chordata rendah, cenderung merupakan indikasi bagian kutub animalis. Mikromer pada
chordata rendah lebih cepat membelah, sebaliknya pada mamalia yang cepat membelah
adalah makromernya. Pada stadium 2 sel, makromer membelah lebih dahulu sampai
menjadi stadium 3 sel, kemudian diikuti oleh mikromer menjadi stadium 4 sel. Demikian
seterusnya pembelahan selalu berurutan menjadi stadium 5 sel, 6 sel, 7 sel, 8 sel, dan
seterusnya. Blastula mamalia disebut blastosis dan membentuk blastocoel disebabkan oleh
pergantian tropoblast (Sudarwati dan Sutasurya, 1994; Sugiyanto, 1996).
3. 2 Pembelahan Meroblastik
Beberapa telur Telolesital seperti pada amphibia, pembelahannya secara holoblastik, tetapi
yolk berpengaruh pada kecepatan pertumbuhan alur. Pada katak, yolk terkonsentrasi pada
kutub vagitatus pembelahan terjadi secara bertahap pada bagian ini. Akibatnya pada kutub
animalis akan terbentuk sel yang lebih banyak, maka pembelahan terbatas pada suatu
diskus, yaitu sitoplasma yang tidak mengandung yolk disebut blastodiskus. Pada tipe
telur ini alur pembelahan tidak sempurna dan pembelahannya disebut meroblastik (Bruc,
1988; Syahrum, dkk. 1994)
Pembelahan meroblastik menghasilkan sel-sel yang akan tumbuh embrio yaitu yang
terletak di tengah atau disebut sel formatif. Sel-sel yang akan menjadi selaput embio
berasal dari sel-sel marginal. Pembelahan terjadi di sekitar inti dan ooplasma yang
berbentuk cakram yang disebut blastodis. Bidang pembelahan pertama adalah miridional
yang memotong blastodis, tetapi tidak pernah mencapai kutub vegetativus. Bidang
pembelahan kedua juga meridional dan tegak lurus pada bidang pertama. Bidang
pembelahan ketiga meridional di kanan kiri bidang ke dua. Pembelahan keempat adalah
vertikal yang sejajar dengan bidang pertama dan memotong bidang kedua. Setelah bidang
keempat pembelahan menjadi tidak teratur lagi, kemudian diorientasikan ke dalam 3 pola
pembelahan, yaitu:
(a) Terjadi pada alur pembelahan vertikal yang melingkar (radier).
(b) Memotong alur-alur bidang radier, sampai terjadi sel baru dan menambah
jumlah sel sentral.
(c) Bidang latitudinal atau horizontal memotong bidang vertikal, sehingga
terbentuk sel permukaan dan sel bagian bawah.
Batas sel-sel yang jelas hanya terjadi pada permukaan saja, sedangkan di bagian bawah
tidak terdapat batas-batas yang jelas dan sitoplasma saling berhubungan.
Setelah terbentuk bidang horizontal dan terbentuk 60 – 100 sel, maka terdeapat sel-sel
sentral (sentroblast) dan sel periblast. Diantara sentroblast dan periblast terdapat blastosoel.
Pada telur sentrolesital, pembelahan inti mula-mula terjadi pada bagian tengah telur dan
tidak disertai denga pembelahan sitoplasma. Akibatnya akan dihasilkan sejumlah nukleus
yang terdapat pada bagian tengah sel. Setelah beberapa kali, inti mulai bergerak keluar ke
arah permukaan. Jika inti sudah mencapai permukaan telur, sitoplasma yang
mengelilinginya bercampur dengan sitoplasma dari lapisan permukaan (Syahrum, dkk.
1994; Sudarwati dan Sutasurya,1994; Sugiyanto, 1996).
Pada tahap berikutnya, sitoplasma membelah dan alur pembelahan bergerak dari
permukaan ke bagian dalam sebanyak inti yang dibentuk, dan bagian ini yang kemudian
disebut sel, meskipun pada awalnya sel ini masih berhubungan dengan yolk. Akhirnya
sel-sel ini terpisah sama sekali dari yolk dan kemudian yolk ini merupakan massa padat
dan berguna sebagai sumber makanan bagi embrio. Tipe pembelahan ini disebut
superfisial
Pembelahan telur menjadi blastomer, biasanya sangat teratur dan pola pembelahannya
ditentukan oleh susunan aparatus mitosis. Aparatus mitosis ini bergantung pada susunan
sitoplasma yang diprogram selama oogenesis, sehingga pembelahan pertama biasanya
vertikal melalui sumbu utama telur. Bidang pembelahan kedua juga vertikal juga melalui
sumbu utama tetapi tegak lurus terhadap bidang pembelahan pertama. Bidang pembelahan
ketiga tegak lurus terhadap bidang pembelahan pertama dan kedua, juga terhadap sumbu
utama. Oleh sebab itu pembelahan ini termasuk horizontal atau paralel terhadap ekuator
telur. Hasil dari pembelahan ini adalah terbentuk 8 sel dengan 4 sel terletak di bagian atas,
dan yang 4 sel lagi terletak dibagian bawah. Pada pembelahan radial tiap-tiap blastomer
dari deretan bagian atas letaknya sesuai dengan blastomer dari deretan bagian bawah,
sehingga dihasilkan embrio yang radial simetri (Syahrum, dkk. 1994; Sudarwati dan
Sutasurya,1994; Sugiyanto, 1996).
Pada pembelahan secara spiral, blastomer dari deretan bagian atas terletak pada bagian atas
dari batas antara dua blastomer dari deretan bagian bawah. Sususnan demikian disebabkan
oleh kumparan pembelahan arahnya miring. Keempat kumparan pada pembelahan ketiga
tersusun bentuk spiral, yang arah spiral jika dilihat dari atas sesuai dengan arah jarum jam
dan sebaliknya. Jika arah spiral sesuai dengan jarum jam disebut dekstral, jika arah spiral
bertentangan dengan jarum jam disebut sinistral (Sudarwati dan Sutasurya, 1994;
Sugiyanto, 1996))
Semua pembelahan dari tipe spiral ini siklus pembelahannya berganti-ganti, atau kalau satu
pembelahan searah dengan jarum jam, maka pembelahan selanjutnya akan berlawanan
arah. Tipe pembelahan secara keseluruhan, baik dekstral maupun sinistral bergantung
pada arah spiral yang terjadi pada pembelahan ketiga.
Pada Lymnea (keong sawah) suatu lokus gen bertanggung jawab terhadap pembelahan ini.
Baik dekstral atau sinistral dapat ditemukan pada jenis keong ini, tetapi yang dekstral lebih
dominan. Oleh sebab itu kalau induk homozigot sinistral dikawinkan dengan jantan
homozigot dekstral, semua keturunannya langsung sinistral. Hal ini disebabkan oleh
induknya yang mempunyai gen sinistral, sehingga oosit dibentuk dibawah panduan gen
sinistral. Akibatnya sitoplasma diprogram untuk membelah sinistral. Genom sperma disini
tidak berpengaruh karena sudah ditentukan pada pembelahan awal (Gillbert, 1994).
Pembelahan yang hampir menyerupai pembelahan radial adalah tipe bilateral. Pada
stadium 4 sel, 2 buah blastomer mempunyai ukuran lebih besar dari lainnya. Pada
pembelahan ini, bagian kiri dan kanan embrio serupa dan dipisahkan oleh suatu bidang
yang disebut bilateral simetri. Kegiatan pembelahan pada satu bagian merupakan cermin
dari bagian lainnya. Salah satu contoh pembelahan bilateral pada nematoda, Pada
pembelahan pertama terbentuk 2 sel dan salah satu selnya mempunyai ukuran lebih besar.
Sel yang lebih besar diberi tanda AB, dan sel yang lebih kecil ditandai dengan P1.
Kemudian sel-sel ini membelah lagi, sel AB menjadi sel A dan sel B, sedangkan sel P1
akan membelah menjadi P2 dan EM St, sehingga stadium ini menyerupai huruf T
(Sugiyanto, 1996). Susunan seperti ini hanya untuk sementara, karena kemudian sel-sel P2
bergerak ke arah sel B. Pada pembelahan ketiga sel A dan sel B membelah ke kanan dan ke
kiri, sedangkan sel lainnya membelah ke arah depan dan belakang, selanjutnya sel-sel
tersebut akan membelah lagi menjadi:
1. Sel A menjadi sel α dan sel a
2. Sel B menjadi sel β dan sel b
3. sel P2 dan M St menjadi sel P3, C, E, dan Mst.
Pembelahan pada nematoda ini juga merupakan contoh pembelahan determinate, dimana
suatu blastomer membentuk bagian tertentu dari embrio yaitu:
1. Blastomer A, B, C membentuk kulit dan saluran pencernaan makanan
2. Blastomer E membentuk endokrin
3. Blastomer M St membentuk mesoderm dan Stomodeum
4. Blastomer P3 membentuk sel-sel reproduksi
Yolk yang terdapat di dalam telur sejak mulai pembelahan berpengaruh pada prosesnya.
Komponen sel seperti kromosom, bagian-bagian sitoplasma, mitokondria dan lapisan
permukaan sel, semuanya turut aktif dalam pembelahan sel, sedangkan yolk bersifat pasif.
Jika jumlah yolk ini terlalu banyak, maka dapat menghambat atau menghalangi proses
pembelahan. Akibatnya blastomer yang menerima yolk lebih banyak, pembelahannya
lebih lambat dan ukurannya lebih besar dibandingkan dengan blastomer yang menerima
yolk lebih (Gillbert, 1994; Syahrum, dkk. 1994; Sudarwati dan Sutasurya, 1994).
Pada telur katak, pengaruh yolk ini dapat dilihat pada pembelahan pertama. Selama
anafase terbentuk alur pembelahan pada permukaan telur dan akan memisah menjadi 2
blastomer. Alur ini terbentuk tidak serentak di sekeliling telur tetapi hanya pada kutub
animalis yang hanya berisi sedikit yolk. Secara bertahap akan terbentuk alur ke arah kutub
vegetativus sampai akhirnya telur terpisah menjadi 2 blastomer. Proses yang sama
terulang kembali pada pembelahan kedua. Pada pembelahan ketiga, bidang pembelahan
arahnya horizontal, alur terbentuk simultan di sekeliling telur.
C. PERTANYAAN/TUGAS
1. Benarkah pembelahan dari setiap embrio ditentukan oleh gen induk? Berikan bukti
2. Buatlah intisari dari ciri umum dari pembelahan zigot menurut Gillbert (1994)
3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pembelahan pada setiap hewan sama?
Berilah contoh dan penjelasannya.
4. Mengapa terjadi perbedaan alur pembelahan pada masing-masing hewan?
5. Bandingkan antara pembelahan holoblastis dan meroblastis.
6. Jelaskan mekanisme pembelahan radial, spiral, dan bilateral pada hewan tertentu.
dan dimana letak kesamaannya
7. Jelaskan hubungan antara pembelahan determinate dengan pembentukan fungsi organ
TUGAS
1. Hubungkan bentuk pembelahan radial, spiral dan bilateral dengan kategori taksonomi.
2. Gambarkan hal prinsip dalam proses pembelahan atau cleavage dari beberapa hewan
baik Invertenrata maupin Vertebrata. Tugas harus didiskusikan antar kelompok dan
laporan juga dalam kelompok yang harus diserahkan sebelum ujian tengah semester.
D. PENUTUP
Akhir dari pembahasan ini terlihat kompleksitas dari pembelahan atau segmentasi baik dari
mekanisme, alur, tipe, dan hasilnya. Setiap hewan ada yang sama mekanisme, alur
maupun tipe pembelahannya, akan tetapi banyak yang berbeda karena pengaruh dari faktor
eksternal maupun internalnya. Bila mampu mengkaji kompleksitas segmentasi dengan
cermat, maka akan menemukan pemahaman yang retensi.
E. PUSTAKA
1. Bruc, M.C. 1988. Patten’s Foundations of Embryology. 5th ed. “gametogenesis and
fertilization, cleavage and formation of the blastula” McGraw-Hill Book
Company. New York San Fransisco Mexico Milan Montreal Panama Singapore
Sydney Tokyo Toronto. Pp. 73—185
2. Gillbert, S.F. 1994. Developmental Biology. 4th ed. Sinauer Associates Inc.,
Sunderland, Massachusetts. USA. Pp.121 –198.
3. Syahrum; M. H Kamaludin; T Arjatmo. 1994. Reproduksi dan Embryologi . Dari
Satu Sel Menjadi Organisme: Fertilisasi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. Hal. 63 – 87.
4. Sudarwati,S; L.A. Sutasurya 1994. Dasar-dasar Struktur Perkembangan Hewan.
Diktat kuliah Jurusan Biologi FMIPA- ITB. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Hal.120 – 222
5. Sugiyanto, J. 1996. Perkembangan Hewan. Fakultas Biologi, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Direktorat Jenderal
Pendidikan tinggi, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Jakarta. Hal.
95—210.
6. Weichert, C.K. 1970. Anatomy Of The Chordates: Early Development and
Histogenesis. 4th ed. MC Graw-Hill Company. New York, St. Louis,
San Fransisco, Toronto, London. Pp.52 – 63
MODUL/TOPIK 8
EMBRIOGENESIS: BLASTULASI
A. PENDAHULUAN
Proses blastulasi terjadi setelah proses segmentasi berakhir, kemudian akan terbentuk
blastoderm.. Kemudian bagian tepinya terbentuk blastomer yang melekat erat pada yolk
membentuk periblast, yang diduga berperan dalam memecah yolk untuk pertumbuhan
embrio. Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang
mekanisme dan macam-macam proses blastulasi. Mahasiswa juga diharapkan tahu faktor-
faktor baik eksternal maupun internal yang mempengaruhi blastulasi.
B. URAIAN
Proses blastulasi ini terjadi jika proses segmentasi berakhir mulai dari kumpulan blastomer
yang merupakan proses akhir dari segmentasi blastodiskus, kemudian akan terbentuk
blastoderm atau termasuk dalam stadium 32 sel. Pada stadium 32 sel, bidang pembelahan
terbentuk pada bagian bawah dan paralel terhadap permukaan, sehingga terbentuk lapisan
sel permukaan yang terletak pada bagian atas dari lapisan sel yang berhubungan dengan
yolk. Sitoplasma yang terdapat pada kutub animalis, bagian tegaknya membelah menjadi
sejumlah blastomer bebas. Kemudian bagian tepinya terbentuk blastomer yang melekat
erat pada yolk dan merupakan lapisan yang saling berhubungan, membentuk kelompok sel
yang disebut periblast. Periblast ini tidak berperan langsung dalam pembentukan tubuh
embrio, tetapi diduga berperan dalam memecah yolk untuk pertumbuhan embrio (Bruc,
1988; Gillbert, 1994; Syahrum, dkk, 1994; Sudarwati dan Sutasurya 1994 ;Sugiyanto,
1996).
Blastomer pada pembelahan awal berbentuk bulat seperti telur, karena tekanan permukaan
blastomer yang saling bersentuhan menjadi rata, tetapi permukaan bebas nya tetap bundar,
bentuk embrio pada stadium ini disebut morula. Penyusunan kembali blastomer dalam
stadium morula dapat berbeda-beda tergantung dari kelompok hewannya. Berdasarkan atas
bentuk dan susunan blastomernya, blastula dibedakan menjadi 3 macam yaitu:
(1) Soelo blastula (blastula bundar)
Bentuk seperti bola, berasal dari telur yang bertipe oligolesital dan mesolesital dengan
pembelahan secara holoblastik teratur, misalnya terdapat pada Amphioxus dan Amphibia.
(2) Disko blastula (blastula pipih)
Bentuk seperti cakram, berasal dari telur yang bertipe oligolesital yang mengalami
pembelahan secara holoblastik tidak teratur dan telur polilesital yang membelah secara
meroblastik. Blastula terdapat di atas yolk atau jaringan penyalur makanan. Misalnya
terdapat pada ikan, reptil, burung dan monotremata, yang menyebut blastula dengan
germinal disk, yang terdiri dari jaringan embrio dan periblast. Pada eutheria blastula
disebut dengan blastokist, yang mempunyai 2 kelompok sel yaitu embrioblast atau massa
sel dalam (” inner cell mass ”) dan tropoblast (Bruc, 1988; Gillbert, 1994).
(3) Stereoblastula (blastula bulat masif)
Blastula berbentuk bulat seperti bola seperti pada soeloblastula tetapi lebih masif, yang
terdapat pada Gymnophiona dan Ganoidea (Sugiyanto, 1996).
Menurut Sudarwati dan Sutasurya (1994), pada prinsipnya blastula dari Chordata terdiri
dari blastoderm dan blatocoel. Semua blastula seperti kuntum pada tubuh hewan yang
akan membentuk bagian-bagian tubuh hewan, seperti:
a. Neuroektodermal
Daerah ini akan tumbuh dan berkembang menjadi sistem saraf
b. Notokordal
Daerah ini nantinya akan berkembang menjadi korda dorsalis
c. Mesodermal
Daerah ini biasanya sepasang, sehingga apabila terjadi pertumbuhan, akan menjadi
organ-organ yang berpasangan
d. Endodermal
Daerah ini akan menjadi sistem pencernaan dan pernafasan
e. Germinal
Daerah yang mengandung plasma germinal yang akan menjadi sel kelamin induk
f. Prekordal (lamina prekordalis) daerah ini akan menjadi organisator di daerah kepala
Lokasi calon-calon itu diatur pola dari masing-masing golongan hewan. Calon itu masih
pula diorganisasi dan penyusunan lokasi baru dalam proses gastrulasi. Reorganisasi atau
penggeseran dan pergerakan menuju ke posisinya yang terakhir, sehingga perkembangan
menjadi organ dan calon satu terhadap yang lain akan saling berintegrasi. Bentuk blastula
berhubungan erat dengan pola proses gastrulasi. Hal tersebut disebabkan oleh blastosoel
yang memberi kesempatan kepada calon-calon organ menuju ke posisi dalam tubuh embrio.
Tingkat blastula dalam perkembangan berperan untuk mempersiapkan susunan calon-calon
yang disangka akan membentuk organ tubuh (Sugiyanto, 1996; Sudarwati dan Sutasurya
1994) .
Blastomer bertambah besar, akan mempengaruhi bentuk, sifat maupun kelompok sel
tertentu mempunyai struktur yang berbeda dengan keadaan semula. Potensi merupakan
kemampuan sel baru yang spesifik dalam proses deferensiasi. Kemampuan sel untuk
membentuk suatu calon organ berangsur-angsur menurun setelah proses pembelahan.
Kemampuan pada stadium 2 sel lebih besar daripada stadium 4 sel, stadium 4 sel lebih
besar dari stadium 8 sel dan seterusnya. Hal ini lebih jelas seperti pada Echinodermata,
pada stadium 2 sel dapat terbentuk embrio yang lengkap, demikian pula pada stadium 4 sel.
Pada stadium 8 sel keadaannya lain, blastomer di kutub vegetativus berkembang menjadi
gastrula. Sedangkan totipotensi lebih menyatakan tingkat perkembangan blastomer yang
masih mampu berperan sebagai calon dari berbagai macam sel atau struktur yang akan
terbentuk (Bruc, 1988; Sugiyanto, 1996).
Dengan adanya proses perkembangan, maka akan terjadi pembatasan potensi. Suatu
keadaan yang menyatakan bahwa dalam suatu tingk atau sebelum terjadi pembatasan
potensi disebut pleuripoten (Sugiyanto, 1996). Determinasi suatu sel atau kelompok sel
akan terarah dan hasil-hasilnya akan mempunyai penentu (determinant). Determinant
dapat berupa bentuk, letak atau kandungan bahan yang ada dalam sel. Lebih spesifik lagi
determinant berupa gen dalam kromosom. Potensi sel dari hasil proses determinasi adalah
terbatas, artinya sel tersebut tidak mampu lagi manjadi calon dari bermacam-macam
jaringan.
Pada tingkatan yang totipoten, maka tiap blastomer dapat berkembang menjadi embrio atau
sampai terbentuk individu baru dalam tiap-tiap blastomer. Kembar untuk menyatakan
terbentuknya 2 individu baru atau lebih. Menurut proses kejadiannya, maka kembar
dibedakan menjadi kembar fraternal (dizigotik) dan kembar identik (monozigotik)
(Syahrum, dkk, 1994). Pada individu baru yang terbentuk pada kembar fraternal berasal
dari ovum yang berbeda. Supervolusi pada manusia dapat terjadi kembar apabila masing-
masing ovum dibuahi. Pada kucing, anjing, atau babi, ovum yang masak secara berurutan
dapat membentuk beberapa embio dalam satu kebuntingan. Tiap-tiap individu baru yang
terbentuk dari satu ovum disebut kembar identik atau kembar sejati. Pemisahan yang
sempurna dari blastomer akan terjadi pemisahan embio yang sempurna pula. Bila
pemisahan tidak sempurna, maka akan terjadi kembar siam (dampit). Kembar
monozigotik berkembang dalam satu bungkus embrio, sedangkan kembar fraternal
berkembang dalam bungkus embrio yang terpisah (Bruc, 1988; Gillbert, 1994; Syahrum,
dkk, 1994).
C. PERTANYAAN
1. Jelaskan hal-hal yang sangat prinsip dan mekanisme pada proses blastulasi
2. Jelaskan mekanisme terjadi kembar identik atau kembar sejati dan kembar siam.
3. Jelaskan faktor-faktor yang mendukung kelancaran proses blastulasi
4. Hubungkan proses blastulasi dengan pembentukan sistema organ hewan
5. Dimana kesulitan anda dalam memahami prinsip-prinsip blastulasi.
D. PENUTUP
Pada proses blastulasi mekanismenya berbeda oleh susunan blastomernya. Semua
blastula seperti kuntum pada tubuh hewan yang akan membentuk bagian-bagian dari
suatu sistema. Pada proses determinasi suatu sel atau kelompok sel mempunyai
penentu (determinant). Determinant yang spesifik lagi determinant berupa gen dalam
kromosom. Sebenarnya bentuk blastula berhubungan erat dengan pola proses
gastrulasi.
E. PUSTAKA
1. Bruc, M.C. 1988. Patten’s Foundations of Embryology. 5th ed. “gametogenesis and
fertilization, cleavage and formation of the blastula” McGraw-Hill Book
Company. New York San Fransisco Mexico Milan Montreal Panama Singapore
Sydney Tokyo Toronto. Pp. 73—185
2. Gillbert, S.F. 1994. Developmental Biology. 4th ed. Sinauer Associates Inc.,
Sunderland, Massachusetts. USA. Pp.121 –198.
3. Syahrum; M. H Kamaludin; T Arjatmo. 1994. Reproduksi dan Embryologi . Dari
Satu Sel Menjadi Organisme: Fertilisasi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. Hal. 63 – 87.
4. Sudarwati,S; L.A. Sutasurya 1994. Dasar-dasar Struktur Perkembangan Hewan.
Diktat kuliah Jurusan Biologi FMIPA- ITB. Fakultas Matematika dan Ilmu
Institut Teknologi Bandung. Hal.120 – 222
5. Sugiyanto, J. 1996. Perkembangan Hewan. Fakultas Biologi, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta. Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Direktorat Jenderal
Pendidikan tinggi, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Jakarta. Hal.
95—210. Institut Teknologi Bandung. Hal.
120 – 222