materi hukum

Post on 13-Sep-2015

28 views 6 download

description

hukum

Transcript of materi hukum

41

BAB IITINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PIDANA, TINDAK PIDANA PERBANKAN DAN PERTANGGUNG JAWABAN KORPORASI A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Pidana1. Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab Undang-undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem tertentu. Aturan-aturan pidana yang ada diluar wetboek ini. Semuanya tunduk kepada sistem yang dipakai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal mana ternyata dan Pasal 103 KUHP, yang berbunyi: Ketentuan-ketentuan dalam Bab I s.d Bab VIII dan buku ke-1 (aturan-aturan umum), juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh aturan-aturan dalam perundangan lain diancam dengan pidana, kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang.

Menurut Prof. Moeljatno, SH, Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :a. Menentukan perbuatan mana yang boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana yang sebagaimana yang telah diancamkan.c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

2. Pengertian Tindak Pidana

Sebelum membahas mengenai kejahatan perbankan maka terlebih dahulu menjelaskan tentang perumusan arti tindak pidana secara umum yang telah dikemukakan oleh para sarjana. Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia bersumber dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, sehingga istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar feit.

Timbullah masalah dalam menerjemahkan istilah strafbaar feit itu kedalam bahasa Indonesia. Dalam pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit tersebut.

a. Pengertian Tindak Pidana menurut Sarjana Indonesia

Para sarjana Indonesia memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana : Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subyek tindak pidana.

b. Pengertian Tindak Pidana menurut Sarjana Barat

Oleh karena pembentuk undang-undang kita tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah dimaksud dengan perkataan strafbaar feit, maka timbullah berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. 1. van Hamel, merumuskan tindak pidana dengan istilah Delik (strafbaar feit) sebagai kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang atau melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

2. Simons, merumuskan bahwa strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.3. Vos, mengatakan suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberi pidana; jadi suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam rumusan Vos ini tidak dirinci dengan melawan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah, dan dapat dipertanggung jawabkan.

3. Unsur-unsur Tindak PidanaIstilah tindak dan tindak pidana adalah singkatan dan tindakan atau penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan penindak.

Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia). Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dan si pelaku, harus diperhatikan syarat-syarat yang muncul dari bagian umum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau azas hukum pada umumnya dapat diterima. Syarat ini dinamakan unsur tindak pidana.

a. Menurut Wirjono, unsur-unsur tindak pidana adalah :

1. Perbuatan (yang dilarang)

2. Akibat (dari perbuatan yang dilarang)

3. Sifat melanggar hukum (rangkain sebab-akibat)

b. Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana adalah :

1. Kelakuan

2. Sifat melawan hukum

3. Ada kesalahan

4. Mampu bertanggung jawab

c. Menurut van Hamel, unsur-unsur tindak pidana adalah :

1. Kelakuan

2. Sifat melawan hukum

3. Ada kesalahan

d. Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana adalah :

1. Kelakuan

2. Perbuatan yang dilarang

3. Diancam dengan pidana

Kemudian unsur-unsur diatas terbagi lagi menjadi 2 yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif melekat pada diri petindak. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang berada diluar diri petindak.

Yang termasuk unsur subyektif adalah :

1. Adanya subjek atau pelaku.

2. Adanya kesalahan.

Yang termasuk unsur objektif adalah :

1. Bersifat melawan hukum.

2. Tindakan serta diancam dengan pidana oleh undang-undang.

3. Faktor-faktor objektif lainnya (waktu, tempat, keadaan).

Selain unsur-unsur tindak pidana di atas, terdapat juga unsur-unsur tindak pidana menurut doktrin. Unsur-unsur tindak pidana menurut doktrin terdiri dari Unsur Subjektif dan Unsur Objektif. Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Unsur Subjektif

Unsur yang berasal dari dalam diri pelaku, asas hukum menyatakan Tidak ada hukuman pidana kalau tidak ada kesalahan, kesalahan yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan yang diakibatkan oleh kesengajaan dan kealpaan.

b. Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsir dari luar diri pelaku atas :

1) Perbuatan manusia, berupa :

a) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif.b) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.2) Akibat perbuatan manusia.Akibat yang membahayakan kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan.

3) Keadaan.

Pada umumnya keadaan tersebut dibedakan antara lain :

a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan.

b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.

Sifat dapat melawan hukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukum, adapun sifat melawan hukum oleh perbuatan itu bertentangan dengan larangan atau perintah.

4. Tujuan PemidanaanPara ahli hukum Indonesia telah memberikan pendapatnya mengenai tujuan dari pemidanaan. Dalam literatur berbahasa Inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu ialah Reformation, Restrain dan Restribution, sedangkan satu D ialah Deterrence yang terdiri atas individual deterrence dan general deterrence (pencegahan khusus dan pencegahan umum).

Berikut ini mengenai arti-arti dari istilah-istilah diatas :

a. ReformationMemperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Maksudnya masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorang pun yang merugi jika penjahat menjadi baik.

b. RestrainMengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar hukum itu dari masyarakat berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman.

c. RetributionPembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan.

d. DeterrenceMenjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang sudah dijatuhkan kepada terdakwa.

5. Azas Lex Specialis Derogat Legi Generali

Secara tradisional dalam buku-buku hukum pidana, bahwa hukum pidana dibagi atas hukum pidana umum dan hukum pidana khusus seperti hukum pidana ekonomi, hukum pidana fiskal, hukum pidana militer. Berhubung dengan makin populernya pembagian hukum pidana umum (yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan hukum pidana khusus (yang tercantum didalam perundang-undangan di luar KUHP) di Indonesia, maka perlu hal ini diuraikan tersendiri. Perundang-undangan pidana umum ialah KUHP beserta semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP itu.

Sedangkan perundang-undangan pidana khusus ialah semua perundang-undangan di luar KUHP beserta perundang-undangan pelengkapnya, baik perundang-undangan pidana maupun yang bukan pidana tetapi bersanksi pidana. Didalam hukum pidana dikenal Lex Specialis Derogat Legi Generali, yakni aturan khusus yang mengesampingkan aturan umum. Mengenai azas Lex Specialis Derogat Legi Generali diatur dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan bahwa Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.

Menurut Nolte ada 2 macam pengecualian berlakunya Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :

a. Undang-undang lain itu menentukan dengan tegas pengecualian berlakunya Pasal 103 KUHP.

b. Undang-undang lain itu menentukan secara diam-diam pengecualian seluruh atau sebagian artikel Pasal 103 KUHP itu. Hal ini sesuai dengan adagium Lex Specialis Derogat Legi Generali (aturan khusus mengesampingkan aturan umum). Sesuai pula dengan Pasal 284 KUHAP yang menyebutkan Perundang-undangan pidana khusus yang mempunyai acara tersendiri. Disini KUHAP menambah yang mempunyai acara tersendiri, maksudnya memberi wewenang secara khusus kepada jaksa untuk menyidik sesuai acara khusus tersebut.

6. Jenis-Jenis Tindak PidanaMoeljatno, membedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:

1. Delik Dolus dan Delik Culpa, dalam delik Delik Dolus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal 338 KUHP, Pasal 354 KUHP, Pasal 187 KUHP, Pasal 231 KUHP. Sedangkan dalam Delik Culpa orang sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya, Pasal 360 KUHP, Pasal 189 KUHP, Pasal 231 ayat (4) KUHP, Pasal 232 KUHP.

2. Delik Commissionis, Delik Ommissionis, dan Delik Commissionis Per omissionen commissa. Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362 KUHP), menggelapkan (Pasal 372 KUHP), menipu (Pasal 378 KUHP). Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat, misalnya mengetahui permufakatan jahat (Pasal 165 KUHP), tidak mengindahkan kewajiban sebagai saksi (Pasal 224 KUHP). Delik commissionis peromissionen commissa, adalah delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat. Misalnya: seorang ibu merampas nyawa anaknya-anaknya dengan cara tidak memberikan makan kepada anaknya.

3. Delik Biasa dan Delik yang dikualifisir (dikhususkan), delik dikualifisir adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Dapat berkenaan dengan cara yang khas dalam melakukan perbuatan delik, atau objeknya khas, kadangkala mengenai akibat yang khas dari delik biasa tadi. Misalnya: Pasal 362 KUHP (pencurian biasa), 363 KUHP (delik dikualifisir dari Pasal 362 KUHP), Pasal 351 KUHP, Pasal 353, 354, 355, dan 356 KUHP.

4. Delik menerus dan tidak menerus. Delik Menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Misalnya: Pasal 333 KUHP, orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah, keadaan yang dilarang berjalan terus sampai korban dilepaskan atau mati.

7. Subjek Tindak PidanaUnsur subjektif yaitu unsur yang melekat di dalam diri pelaku, yang termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam batin atau hati si pelaku tindak pidana. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana meliputi:

a. Mampu Bertanggung Jawab

Mampu bertanggung jawab artinya keadaan jiwa si pelaku harus normal, baik secara fisik maupun psikis. Menurut Prof. Simons, orang yang mampu bertanggung jawab adalah orang yang sehat jiwanya atau orang yang tahu akibat hukum dari perbuatan yang telah ia lakukan terhadap kesalahannya. Sedangkan menurut Prof. Moeljatno, kemampuan bertanggung jawab diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yakni apabila:

1) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.

2) Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.

Pasal yang mengaturnya terdapat pada Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:

Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum. Ini merupakan faktor akal (intelektual faktor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.

2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Ini merupakan faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

b. Kesalahan Atau SchuldKesalahan atau schuld yaitu kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu (dikehendaki dan diketahui). Kesalahan yakni sengaja (dolus), terbagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu :

1) Kesengajaan yang bersifat suatu tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk). Pembuat menghendaki akibat perbuatannya, ia tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pembuat mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi.

2) Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi (opzet bij zekerheidsbewustzijn atau kesengajaan secara keinsafan kepastian). Pembuat yakin bahwa akibat yang dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud.

3) Kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi, tetapi dengan disertai keinsafan hanya ada kemungkinan (bukan kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn atau kesengajaan secara keinsafan kemungkinan).

B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Perbankan1. Pengertian Bank

Secara umum pengertian bank adalah tempat untuk menyimpan dan mengambil uang serta untuk meminjam uang. Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian bank adalah badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.

Sedangkan pengertian bank menurut (Pasal 1 angka 2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan adalah:

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pengertian bank secara otentik telah dirumuskan di dalam Undang-Undang Perbankan 1967 Pasal 1 huruf a Undang-Undang Perbankan 1967, menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu-lintas pembayaran dan peredaran uang.

Sedangkan pengertian Bank menurut para sajana Indonesia :

1. H.A.K Moch. Anwar, Bank adalah suatu jenis badan lembaga keuangan. Berhubung tidak semua badan lembaga keuangan dapat menyatakan diri sebagai bank.

2. Marulak Pardede, mengatakan Bank adalah suatu usaha yang dibangun atas kepercayaan dan integritas dengan memperdagangkan jasa layanan usaha.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencangkup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sebelumnya menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

2. Fungsi dan Tujuan Bank

Dalam Pasal 3 yaitu: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menyebutkan bahwa: Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dana masyarakat dan penyalur dana dari masyarakat. Sedangkan tujuan bank terdapat pada Pasal 4 yaitu: Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat.3. Asas-Asas Hukum Perbankan

Dalam melaksanakan kemitraan antara bank dan nasabahnya, untuk terciptanya sistem perbankan yang sehat, kegiatan perbankan perlu dilandasi dengan beberapa asas hukum (khusus), yaitu :

a. Asas Demokrasi Ekonomi

Asas ini ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perbankan yang telah diubah. Pasal tersebut menyatakan, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.

b. Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya.

c. Asas Kerahasiaan

Asas kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan (wajib) dirahasiakan. Kerahasiaan ini adalah untuk kepentingan bank sendiri karena bank memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Namun ketentuan rahasia bank dapat dikecualikan dalam hal tertentu, yakni untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank, peradilan pidana, perkara perdata, antara bank dan nasabahnya, tukar menukar informasi antara bank atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan dana.

d. Asas Kehati-hatian

Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya.

4. Pengertian Tindak Pidana di Bidang Perbankan

Bank identik berurusan dengan uang. Karena itu, tidak mengherankan jika bank selalu diincar oleh para penjahat yang tergiur dengan uang tersebut, tetapi tanpa mau berusaha untuk mendapatkannya secara halal dan wajar. Di sepanjang manusia mengenal sistem perbankan, sejak saat itu pula kejahatan perbankan sudah terdeteksi dan modus operandi kejahatan perbankan perbankan terus berkembang mengikuti perkembangan kecanggihan dunia perbankan itu sendiri.

Oleh karena kecanggihannya itulah diperlukan hukum acara khusus untuk menanganinya dan asas berlakunya hukum pidana perlu diperluas sehingga pelaku yang ada di luar negeri dapat dipidana. Andi hamzah berpendapat bahwa dipergunakannya istilah kejahatan di bidang perbankan adalah untuk menghindari adanya pendapat bahwa delik perbankan atau kejahatan perbankan itu hanya dilakukan oleh orang bank atau hanya diatur oleh Undang-undang Perbankan. Kejahatan atau delik di bidang perbankan yang dimaksud disini meliputi ruang lingkup yang luas, termasuk pula kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memakai jasa bank sebagai sarananya.

Bank merupakan lembaga keuangan yang penting sekali yang mempunyai peranan yang sangat vital dalam pelaksanaan pembangunan nasional pada umumnya, dan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi pada khususnya. Dalam berbagai peraturan yang mengatur pembinaan dan pengembangan usaha bank masih terdapat kelemahan dan kekurangan, khususnya dalam pengamanannya. Kekurangan dan kelemahan dalam peraturan-peraturan itu memberikan kesempatan bagi segolongan orang yang mempunyai itikad tidak baik untuk melakukan pelanggaran hukum dan diancam dengan peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya.

Istilah tindak pidana di bidang perbankan dipergunakan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank, hingga terhadap perbuatan-perbuatan tersebut dapat diperlakukan peraturan-peraturan yang mengatur kegiatan-kegiatan perbankan yang memuat ketentuan pidana maupun peraturan-peraturan hukum pidana umum atau khusus, selama belum ada peraturan-peraturan hukum pidana yang secara khusus dibuat untuk mengancam dan menghukum perbuatan-perbuatan tersebut.

Ditinjau dari segi yuridis, tidak satu pun ditemukan peraturan perundang-undangan yang memberikan pengertian tentang tindak pidana di bidang perbankan dan tindak pidana perbankan. Pada umumnya perbedaan pengertian kedua istilah tersebut adalah dalam hal luas cakupan tindak pidana tersebut. Yang dimaksud dengan tindak pidana perbankan adalah suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan, baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan lembaga, perangkat, dan produk perbankan, sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau immaterial bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya.

Istilah tindak pidana di bidang perbankan dimaksudkan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Sedangkan istilah tindak pidana di bidang perbankan adalah suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan orang di dalam bank atau keduanya.

Dalam seminar Tindak Pidana Bidang Perbankan yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang bekerja sama dengan Kejaksaan Agung pada tanggal 11-12 Juni 1990, di identifikasikan bahwa semua tindak pidana yang berhubungan dengan kegiatan dan usaha perbankan, baik yang diatur dalam undang-undang tentang perbankan maupun terdapat didalam KUHP dan Peraturan Hukum Pidana Khusus.

Dalam uraian tersebut di atas, maka terdapat 2 (dua) pengertian, yaitu :

a. Tindak pidana perbankan adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan.

b. Tindak pidana di bidang perbankan adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam UndangUndang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan, KUHP, dan peraturan hukum pidana khusus, seperti UndangUndang Tindak Pidana Korupsi, UndangUndang Subversi, dan UndangUndang Tindak Pidana Ekonomi.

Undang-undang mengenai perbankan yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan menetapkan 12 (dua belas) perbuatan sebagai tindak pidana perbankan, yaitu :

a. Pasal 46 mengenai Usaha Bank Tanpa Izin Menteri.

b. Pasal 47 ayat (1), mengenai memaksa bank untuk memberikan keterangan tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain yang wajib dirahasiakan tanpa izin Menteri Keuangan.

c. Pasal 47 ayat (2), mengenai anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain yang wajib dirahasiakan.

d. Pasal 48 ayat (1), mengenai anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya menyampaikan kepada Bank Indonesia segala keterangan atau penjelasan mengenai usahanya, neraca, perhitungan rugi/laba yang telah diaudit akuntan public.

e. Pasal 48 ayat (2), mengenai anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank yang lalai memenuhi kewajibannya untuk menyampaikan kepada Bank Indonesia segala keterangan mengenai usahanya, neraca, perhitungan laba/rugi.

f. Pasal 49 ayat (1), mengenai anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank yang dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu, menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau merusak catatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.

g. Pasal 49 ayat (2), mengenai anggota komisaris, direksi, pegawai bank yang dengan sengaja meminta, atau menerima imbalan atau keuntungan pribadi sehubungan dengan menjalankan jabatannya.

h. Pasal 49 ayat (2) butir b, mengenai anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi bank.

i. Pasal 30, mengenai terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi bank.

j. Pasal 31 ayat (1), mengenai tindak pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 30 adalah kejahatan.

k. Pasal 31 ayat (2), mengenai tindak pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 49 ayat (2) adalah pelanggaran.

l. Pasal 32, mengenai Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif pada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada Menteri untuk mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.

5. Penggolongan Tindak Pidana di Bidang Perbankan

Sejauh ini belum ada keseragaman didalam menggolongkan tindak pidana di bidang perbankan, hal itu dikemukakan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan tidak secara tegas menyebutkan penggolongan tindak pidana di bidang perbankan.

Menurut Moch. Anwar, penggolongan tindak pidana di bidang perbankan dibagi dalam 2 (dua) kelompok, pembagian tersebut didasarkan pada perbedaan perlakuan peraturan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah melanggar hukum yang sehubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tindak pidana tersebut adalah :

a. Tindak pidana perbankan yang terdiri atas perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan di dalam Undang-undang Tentang Perbankan, pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang itu.

b. Tindak pidana di bidang perbankan lainnya yang terdiri atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha pokok bank, terhadap perbuatan mana yang dapat diperlukan peraturan-peraturan pidana diluar Undang-undang tentang perbankan, misalnya KUHP, Undang-undang yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa, dan lain-lain.

Selain itu suatu kejahatan perbankan dapat dikategorikan dalam beberapa kategori sebagai berikut :

a. Kategori I: Kejahatan Fisik

Jenis kejahatan ini merupakan kejahatan konvensional yang berhubungan dengan perbankan. Terhadap kejahatan fisik ini berlaku sepenuhnya KUHP. Contoh dari kejahatan fisik adalah perampokan bank, penipuan dan lain-lain.

b. Kategori II: Kejahatan Pelanggaran Administrasi Perbankan

Beberapa pelanggaran pada ketentuan administrasi perbankan oleh hukum dianggap sebagai tindak pidana. Tindak pidana perbankan yang berkenaan dengan pelanggaran administrasi ini sepenuhnya diatur oleh Undang-undang Perbankan yang berlaku dan Undang-undang Bank Sentral ke dalam kejahatan pelanggaran perbankan ini termasuk tindakan-tindakan berikut :

1) Operasi bank tanpa izin yang benar (bank gelap).

2) Tidak memenuhi pelaporan kepada bank sentral.

3) Tidak memenuhi ketentuan bank sentral tentang modal, batas maksimum pemberian kredit, persyaratan pengurus, dan komisaris, merger, akuisisi, konsolidasi bank, dan lain-lain.

c. Kategori III: Kejahatan Produk Bank

Sehubungan dengan banyaknya produk perbankan, maka kejahatan yang berhubungan dengannya juga beraneka ragam. Kejahatan yang tergolong ke dalam kategori ini :

1) Pemberian kredit yang tidak benar, misalnya tanpa agunan atau agunan fiktif.

2) Pemalsuan warkat, seperti cek, wesel, dan Letter of Credit. 3) Pemalsuan kartu kredit.

4) Transfer uang kepada bank yang tidak berhak.

d. Kategori IV: Kejahatan Profesional Perbankan

Kejahatan profesional perbankan adalah kejahatan perbankan yang berkenaan dengan profesi sebagai banker. Karena itu hanya dapat dilakukan oleh orang dalam bank. Yang sudah dilarang oleh undang-undang dan sudah dianggap sebagai perbuatan pidana, misalnya membuka rahasia bank, tidak menaati keharusan menerapkan prinsip know you costumer, sehingga memuluskan money loundring, dan lain-lain.

e. Kategori V: Kejahatan Likuiditas Bank Sentral

Secara besar-besaran Bank Indonesia pernah mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Masih banyak lagi penggolongan terhadap tindak pidana di bidang perbankan, selain penggolongan diatas, Andi Hamzah juga mengelompokkan tidak pidana di bidang perbankan sesuai dengan Undang-undang sebagai berikut :

a. Tindak Pidana yang Berkaitan Dengan Perizinan

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 46 Undang-undang No.10 tahun 1998. Masalah perizinan penghimpunan dana masyarakat erat kaitannya dengan masalah pengawasan kegiatan oleh Bank Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam kegiatan tersebut terkait dengan kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut.

b. Tindak Pidana yang Berkaitan Dengan Kegiatan Usaha

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 10 tahun 1998. Tindak pidana tersebut dapat dilakukan dalam seluruh kegiatan bank, baik dalam rangka penghimpunan dana, penyaluran dana, maupun dalam kegiatan usahanya.

c. Tindak Pidana yang Berkaitan Dengan Ketentuan Rahasia Bank

Hal tersebut diatur dalam Pasal 47 Undang-undang No. 10 tahun 1998. Kewajiban menjaga rahasia bank diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan dananya di bank.

d. Tindak Pidana yang Berkaitan Dengan Pengawasan oleh Bank Indonesia

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, bank wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia. Selain itu, bank juga harus memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada pada bank serta menyampaikan laporan-laporan sesuai dengan waktu dan bentuk yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hal tersebut ditetapkan didalam Pasal 48 Undang-undang No. 10 tahun 1998.

e. Tindak Pidana yang Berkaitan Dengan Pihak Yang Terafiliasi

Hal ini diatur dalam Pasal 50 Undang-undang No. 10 tahun 1998. Pada dasarnya mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh pemegang saham atau pemilik suatu bank.

6. Ketentuan Pasal 49 Undang-Undang 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-undang mengenai perbankan yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 49 memberikan ketentuan, yaitu :

a. Pasal 49 ayat (1), mengenai anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank yang dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu, menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau merusak catatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.

b. Pasal 49 ayat (2), mengenai anggota komisaris, direksi, pegawai bank yang dengan sengaja meminta, atau menerima imbalan atau keuntungan pribadi sehubungan dengan menjalankan jabatannya.

c. Pasal 49 ayat (2) butir b, mengenai anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi bank.

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korporasi

1. Pengertian Korporasi

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh ahli hukum para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body, pada mulanya dikembangkan pada hukum Romawi, lebih daari seribu tahun yang lalu, tetapi hingga abad VIII, tidak mengalami perkembangan.

Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata yang tumbuh akibat perkembangan masyarakat. Pengertian korporasi dalam hukum pidana Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum perdata. Menurut beberapa peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi itu adalah kumpulan teroganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan.

Korporasi dapat dibagi berdasarkan macamnya, badan hukum (korporasi) dapat dibedakan badan hukum yang orisinil (murni,asli), dan badan hukum yang tidak orisinil. Menurut jenisnya, badan hukum dapat dibagi menjadi badan hukum (korporasi) publik, dan badan hukum privat. Sedangkan menurut sifatnya, badan hukum dapat dibedakan menjadi korporasi (corporatie) dan yayasan (stichting).Menurut Subekti dan Tjitrosudiro, yang dimaksud dengan korporasi, adalah: suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Senada dengan pendapat tersebut, Utrecht dan M. Soleh Djindang, mengemukakan bahwa: korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.

Menurut Moenaf H. Regar korporasi adalah :badan usaha yang keberadaan dan status hukumnya disamakan denga manusia (orang), tanpa melihat bentuk orgnisasinya. Korporasi dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan, dan dapat dituntut di depan pengadilan. Oleh karena korporasi adalah buatan manusia yang tidak sama dengan manusia, maka harus dijalankan oleh manusia, yang disebut pengelola atau pengurus. Suatu korporasi biasanya mempunyai 3 (tiga) organ yaitu RUPS, Dewan Komisaris, dan Dewan Direksi (misalnya Perseroan Terbatas). Batas umur korporasi itu ditentukan dalam anggran dasarnya, pada saat korporsi itu mengakhiri kegiatannya dan bubar.

2. Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi

Permasalahan akan segera muncul sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana dari korporasi, karena asas utama dari pertanggungjawaban pidana adalah harus ada kesalahan (schuld) pada pelaku, sehingga bagaimanakah harus mengkonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi, serta bagaimana pertanggungjawaban pidana dan unsur kesalahan pada korporasi, apakah tetap dapat dipertahankan seperti halnya pada manusia. Konsekuensi dari persoalan tersebut menjadikan peraturan perundang-undangan yang tidak spesifik merumuskan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi sulit untuk diaplikasikan sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran. Pertanggungjawaban korporasi meliputi, perumusan perbuatan yang dilarang (dalam hal apa dan bagaimana suatu kejahatan dikatakan sebagai kejahatan korporasi) dan penentuan kesalahan pelaku masih kurang jelas, begitu juga dalam menentukan siapa-siapa yang dapat melakukan tindak pidana tersebut. Penentuan kesalahan korporasi, yang merupakan urat nadinya hukum pidana juga sangat sulit, karena kesalahan yang dilimpahkan kepada korporasi bukanlah korporasi secara pribadi, sebab pada hakikatnya yang melakukan tindak pidana adalah orang (pengurus korporasi). Begitu juga masalah sanksi pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pertanggung jawaban korporasi, belum tertata secara jelas mana yang pidana pokok, pidana tambahan serta tindakan. Akibat dari ketidak jelasan tersebut akan terjadi keragu-raguan pada majelis hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana, sehingga kecil kemungkinan terealisasinya kepastian hukum dan peraturan hukum yang ideal.

15

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 17

Ibid. hal. 1

Andi Hamzah, Op.Cit, hal.86

Wirjono Prodjodikiro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2003), hal. 59

Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 88

Wirjono Prodjodikiro, Op.Cit, hal. 64

Ibid.

Leden Marpaung, Asas teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 9

Ibid,. Hal. 12

Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 28

Andi Hamzah, Op.Cit,hal. 12

Ibid, hal.13

Moeljatno, Op.Cit., h.75.

Moeljatno, Cet Ke-9, Op.Cit., h. 179.

Moeljatno, Cet Ke-7, Op.Cit., h. 165.

Ibid., h. 166.

Ibid., h. 171.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1989), h. 61.

Ibid.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal.104

H.A.K Moch. Anwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 4

Marulak Pardede, Op.Cit, hal. 92

Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 14-19

H.A.K Moch. Anwar, Op.Cit, hal. 44

Munir Fuadi, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 74

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace & Library, 2005), hal. 264

Marulak Pardede, Op.Cit, hal. 14

Ibid. hal. 14

Moch. Anwar, Op.Cit, hal. 45

Munir Fuady, Op.Cit, hal. 74-77

Andi Hamzah, Kejahatan Perbankan Yang Berkaitan Dengan BMPK, dalam Kumpulan Tulisan Untuk Mengenang R. Pratikto Sastrohadikoesoemo, (Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 1999), hal. 159

H.Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bayumedia Publishing,Malang) 2005,hal. 2

Remy Syahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Grafitipers, Jakarta), 2006, hal.43

Chaidir Ali, Badan Hukum ,(Alumni,Bandung),1987, hal.64

Moenaf H. Regar, Dewan Komisaris, Peranannya sebagai Ogan Perseroan, (Bumi Aksara, Jakarta,) 2000, hal. 9.

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta Timur, 2003, hal. 13

Ibid., hal. 13