Post on 01-Jan-2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perkembangan ilmu di bidang kesehatan pada masa sekarang ini semakin meningkat.
Pada cabang ilmu kedokteran mengalami kemajuan yang sangat pesat diantaranya
adalah dibidang radiodiagnostik yang perkembangannya diawali dengan
ditemukannya sinar-X oleh seorang ahli fisika berkebangsaan Jerman yang bernama
Prof. Dr. Wilhelm Conrad Rontgen pada tanggal 8 November 1895. Dengan
berjalannya waktu, Pemeriksaan radiologi colon juga mengalami perkembangan yang
pesat. Pemeriksaan dengan menggunakan media kontras ganda, sebagaimana halnya
pada saluran pencernaan khususnya pada colon, ternyata mampu menampilkan
mukosa colon secara rinci. Salah satu pemeriksaan radiodiagnostik yang sering
dilakukan untuk mendiagnosa adanya kelainan atau penyakit pada penderita yang
mengalami gangguan pencernaan pada usus besar (colon) dikenal dengan
pemeriksaan Colon InLoop. Pemeriksaan Colon In Loop adalah pemeriksaan secara
radiologis sistim pencernaan dengan memasukkan bahan kontras kedalam usus besar
(Colon), Media kontras yang biasa digunakan adalah larutan barium dengan
konsentrasi untuk metode kontras ganda lebih tinggi dibandingkan dengan metode
kontras tunggal, untuk metode kontras tunggal menggunakan barium sulfat dengan
konsentrasi 12-25 % Weigh/Volume, sedangkan metode kontras ganda
dengankonsentrasi 75-95 % Weigh/Volume. Proyeksi yang biasa digunakan dalam
2
pemeriksaan colon in loop adalah proyeksi AP, PA, Obliq AP/PA, AP Aksial, PA
Aksial. Colon atau usus besar merupakan salah satu organ penting yang terdapat
dalam rongga abdomen yang berfungsi menyerap air dari makanan, tempat tinggal
bakteri koli dan tempat feses. Usus besar juga terdiri dari beberapa bagian yaitu
caecum, colon asenden, appendiks (usus buntu), colontransversum, colon descendens,
colon sigmoid, rectum dan anus. Kelainan-kelainan yang biasa terjadi pada colon ini
adalah carsinoma(keganasan), divertikel, megacolon, obstruksi atau illeus, stenosis,
volvulus,atresia dan colitis yang diangkat penulis dalam penulisan laporan kasus
ini.colitis merupakan penyakit yang etiologinya belum diketahui, ditandaioleh
peradangan dan ulcerasi colon. Penyakit ini selalu melibatkan rectum, bila lebih luas
ia meluas secara kontinu mengelilingi colon, kadang-kadang mengenai seluruh colon.
Maka untuk mengetahui lebih jelas kelainan inidiadakan pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan radiologi standar atas usus besar dengan menggunakan larutan barium
yang dialirkan ke colon melalui kanulayang dipasang ke dalam rectum sehingga dapat
memperlihatkan susunan anatomi dan fisiologi serta kelainan pada organ tersebut.
1 . 2 . R u m u s a n M a s a l a h
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan laporan kasus
ini, penulis perlu membatasi masalah-masalah yang akan dibahas
sehingga akan terfokus pada pokok pembahasan. Penulis menyajikan rumusan
masalah sebagai berikut:
3
1. Bagaimana anatomi radiologi struktur usus besar.
2. Bagaimana teknik pemeriksaan kolon inloop.
3. Bagaimana gambaran fisiologis dan patologis usus besar pada pemeriksaan
kolon inloop.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini yaitu :
1. Untuk mengetahui anatomi radiologi usus besar
2. Untuk mengetahui teknik pemeriksaan kolon inloop.
3. Untuk mengetahui gambaran fisiologis dan patologis usus besar pada
pemeriksaan kolon inloop.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan referat ini menambah wawasan serta memperdalam
pengetahuan tentang teknik pemeriksaan BNO-IVP, baik untuk penulis maupun
pembaca.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Anatomi inestinum crassum
Panjang usus besar (kolon dan rectum) 1.500cm, yang terdirI dari sekum,
apendik viriformis, asenden, kolon tranversum, kolon desenden, kolon sigmoid dan
rektum. Kolon normal akan terlihat bangunan haustrae sepanjang kolon. Mulai dari
distal kolon desenden sampai sigmoid, haustrae semakin tampak berkurang. Dalam
keadaan normal garis garis haustrae haruslah dapat diikuti dengan jelas dan normal.
Kaliber kolon berubah secara perlahan,mulai dari sekum sampai sigmoid ( 8,5 cm)
sampai sigmoid (2,5 cm). Mukosa kolon terlihat sebagai garis garis tipis dan halus,
melingkar teratur yang dinamakan linea innominata.1
Gambar 1. Panjang keseluruhan kolon.
5
1.secum
Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung
sekum. Sekum menepati dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup
ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan
mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal ke dalam usus halus. Normal
seccum menunjukan kontur yang rata dan licin. Appendik merupakan saluran
mirip umbai cacing dengan panjang antara 2,5-22,5 cm. Caecum sering
terenggang oleh gas dan dapat diraba melalui dinding anterior abdomen pada
orang hidup. Pars terminalis masuk ke intestinum crassum pada tempat
pertemuan caecum dengan kolon ascenden. Lubangnya mempunyai dua katup
yang membentuk sesuatu yang dinamakan papilla lienalis. Appendik
vermiforis berhubungan dengan rongga caecum melalui lubang yang terletak
di bawah dan belakang ostium ileale 1.
Hubungan kenaterior yaitu berhubungan dengan lengkung lenkung intestinum
majus, tenue dan dinding anterior abdomen pada region iliaca dextra. Pada
bagian posterior berhubungan dengan dengan musculus psoas major,
musculus iliacus, nervus femoralis, dan nervus cutaneus femoris lateralis.
Appendik vermiformis sering ditemukan dibelakang caecum. Sedangkan pada
bagian medial berhubungan dengan appendik vermiformis.
6
Perdarahan dari kolon caecum berasal dari arteri caecalis anterior dan
posterior membentuk arteri ileocolica,sebuah cabang arteri mesentrica
superior sedangkan vena mengalir ke vena mesentrika superior.
Aliran limfe berjalan sampai ke nodi mesentrika superior dan persarafan
berasl dari vervus vagus.2
2.Apendik vermiformis
Apendik vermiformis adalah organ yang sempit,berbentuk tabung yang
mempunyai otot dan banyak mengandung limfoid. Panjang appendik
vermiformis 8-13 cm. dasarnya melekat pada permukaan postero medial
caecum sekitar 2,5 cm dibawah junctura ileocalis. Bagian Apendik
vermiformisdiliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan
bawah mesentirum intestinum tenue melalui mesentriumnya sendiri yang
pendek,mesoappendik. Mesoappendik berisi arteria, vena appendikularis dan
saraf saraf. Appendik vermiformis terletak di region iliaca dextra, dan pangkal
proyeksinya ke dindin anterior abdomen yang disebut titik mc burney1.
Ujung Apendik vermiformis mudah bergerak dan mungkin ditemukan pada
a. Tergantung di bawah ke dalam pelvis berhubungan dengan dinding
pelvis dextra.
b. Melengkung di belakang caecum
c. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral caecum
7
d. Di depan atau di belakang ileum terminalis.
Perdarahan dari Apendik vermiformis berasal dari arteri appendikularis dan
vena appendikularis. Sedangkan aliran limfe masuk ke nodi mesentirici
superior. Apendik vermiformis dipersarafi saraf yang berasal dari nervus
vagus 2.
Gambar 2 appendik
3.Colon Ascenden
Kolon ascenden melintas dari caecum ke arah cranial pada sisi kanan cavitas
abdominalis ke hepar, dan membelok ke kiri sebagai flexura coli dextra.
Colon ascenden terletak retroperitoneal sepanjang sisi kanan dinding abdomen
8
dorsal,tetapi sebelah ventral dan pada sisi sisinya tertutup oleh peritoneum.
Peritoneum sebelah kanan dan kiri kolon ascenden membentuk fossa
paracolica. Colon ascenden biasanya terpisah dari dinding abdomen ventral
oleh liku-liku intestinum tenue dan majus 2.
Perdarahan kolon ascenden dan flexura colli dextra terjadi melalui arteri
ileocolica dan arteri colica dextra, cabang dari arteri mesentrika superior.
Vena ileocolica dan vena colica dextra anak cabang evna mesentrika superior
mengalirkan balik darah dari kolon ascenden 1.
Gambar 2. Anatomi kolon
4.Colon Transversum
9
Colon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis darifleksura coli
dekstra sampai fleksura coli sinistra. Colon transversum membentuk lengkungan
seperti huruf U. Pada posisi berdiri, bagian bawahU dapat turun sampai pelvis. Colon
transversum, waktu mencapai daerah limpa, membelok ke bawah membentuk
fleksura coli sinistra (fleksuralienalis) untuk kemudian menjadi Colon descendens.
Hubungan dengan organ sekitarnya
Ke anterior berhubungan dengan pmentum majus, dan dinding anterior abdomen
sedadangkan ke posterior berhubungan denngan pars descenden duodenum, caput
pancreas,lengkung jejunum dan ileum. Perdarahan Arteriae dua pertiga bagian
proximal kolon transversum diperdarahi arteri kolika1
5.Colon Descendens
Colon descendens terletak pada regio illiaca kiri dengan panjangsekitar 25 cm. Colon
descendens ini berjalan ke bawah dari fleksura lienalis sampai pinggir pelvis
membentuk fleksura sigmoideum dan berlanjutsebagai colon sigmoideum. Batas
yang tegas antara kolon descenden dengan sigmoid sukar ditentukan, namun Krista
iliaka mungkin dapat dianggap sebagai batas peralihannya1.
Hubungan kesekitarnya Ke anterior berhubungan dengan lengkung intestininum
tenue, omentum majus dan dinding anterior abdomen sedangan dinding posterior
berhubungan dengan mago lateralis ren sinistra,origo musculus rnsvrsalis abdominis,
usculus quadraus luborum,rista iliaca, musclus iliopsoas 2.
10
Perdarahan colon descenden di perdarahi arteri colica sinistrayang merupakan cabang
arteri mesentrica inferior.
6.Colon Sigmoideum
Colon sigmoideum mulai dari pintu atas panggul. Colon sigmoideum
merupakan lanjutan kolon desenden dan tergantung ke bawah dalam rongga
pelvis dalam bentuk lengkungan. Colon sigmoideum bersatu dengan rectum di
depan. Dalam perkembangan embriologik kadang terjadi gangguan rotasi usus
embrional sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesenterium yang
bebas. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar
usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang panjang pada
kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit .1
Kolon sigmoid meluas dari tepi pelvis sampai segmen sakrum ketiga untuk
beralih menjadi rectum.berakhirnya taenia coli menunjukan permulaan rektum.
Peralihan rectosigmoid kira kira 15 cm dari anus. Kolon sigmoid biasanya
mempunyai mesentrium.2
7.Rectum
Rectum menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum merupakan lanjutan dari
kolon sigmoideum dan berjalan turun di depan caecum, meninggalkan pelvis dengan
menembus dasar pelvis. Setelah itu rektum berlanjut sebagai anus dalam perineum.
Menurut Pearce (1999), rektum merupakan bagian 10 cm terbawah dari usus besar,
11
dimulai pada colon sigmoideum dan berakhir ke dalam anus yang dijaga oleh otot
internal dan eksternal.
Gambar 1.haustra kolon
Fungsi usus besar adalah :
1) Absorbsi air dan elektrolit
air dan elektrolit sebagian besar berlangsung diseparuh atas colon. Dari
sekitar 1000 ml kimus yang masuk ke usussetiap hari, hanya 100 ml cairan
dan hampir tidak ada elektrolit yangdiekskresikan. Dengan mengeluarkan
sekitar 90 % cairan, colon mengubah 1000-2000 ml kimus isotonik menjadi
sekitar 200-250 mltinja semi padat). Dalam hal ini colon sigmoid berfungsi
sebagai reservoir untuk dehidrasi masa feases sampai defekasi berlangsung 4.
2).Sekresi mukus.
Mukus adalah suatu bahan yang sangat kental yang membungkusdinding
usus. Fungsinya sebagai pelindung mukosa agar tidak dicernaoleh enzim-
12
enzim yang terdapat didalam usus dan sebagai pelumasmakanan sehingga
mudah lewat. Tanpa pembentukan mukus,integritas dinding usus akan sangat
terganggu, selain itu tinja akanmenjadi sangat keras tanpa efek lubrikasi dari
mukus. Sekresi usus besar mengandung banyak mukus. Hal ini menunjukkan
banyak reaksi alkali dan tidak mengandung enzim. Padakeadaan peradangan
usus, peningkatan sekresi mukus yang banyak sekali mungkin bertanggung
jawab dan kehilangan protein dalam feases 4.
Keterangan :
1.Appendiks
13
2.Caecum
3.Persambungan ileosekal
4.Apendises epiploika
5.Colon ascendens
6.Fleksura hepatika
7.Colon transversal
8.Fleksura lienalis
9.Haustra
10.Colon descendens
11.Taenia koli
12.Colon sigmoid
13.Canalis Ani
14.Rectum
15.Anus
3). Menghasilkan bakteri
Bakteri usus besar melakukan banyak fungsi yaitu sintesisvitamin K dan
beberapa vitamin B. Penyiapan selulosa yang berupahidrat karbon di dalam
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayuran hijaudan penyiapan sisa protein
yang belum dicernakan merupakan kerja bakteri guna ekskresi.
Mikroorganisme yang terdapat di colon terdiri tidak saja dari eschericia coli
dan enterobacter aerogenes tetapi juga organisme-organisme pleomorfik
seperti bacteriodes fragilis. Sejumlah besar bakteri keluar melalui tinja. Pada
14
saat lahir colon steril, tetapi flora bakteri usus segera tumbuh pada awal masa
kehidupan 4.
4).Defikasi (pembuangan air besar)
Defikasi terjadi karena kontraksi peristaltik rektum. Kontraksi inidihasilkan
sebagai respon terhadap perangsangan otot poloslongitudinal dan sirkuler
oleh pleksus mienterikus. Pleksusmienterikus dirangsang oleh saraf
parasimpatis yang berjalan disegmen sakrum korda sinalis. Defekasi dapat
dihambat denganmenjaga agar spingter eksternus tetap berkontraksi atau
dibantudengan melemaskan spingter dan mengkontraksikan otot-otot
abdomen 4.
1.2 KELAINAN INTESTINUM CRASSUM
1.kolitis
a.Kolitis Ulserativa
1.DEFINISI
Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar
mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram
perut dan demam. Kolitis ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi
biasanya dimulai antara umur 15-30 tahun.Tidak seperti penyakit Crohn,
15
kolitis ulserativa tidak selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus
dan tidak pernah mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di
rektum atau kolon sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya
menyebar ke sebagian atau seluruh usus besar. Sekitar 10% penderita
hanya mendapat satu kali serangan. Proktitis ulserativa merupakan
peradangan dan perlukaan di rektum.Pada 10-30% penderita, penyakit ini
akhirnya menyebar ke usus besar. Jarang diperlukan pembedahan dan
harapan hidupnya baik.
2.PENYEBAB
Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan respon
sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga berperan dalam
terjadinyakolitisulserativa.
3.GEJALA
Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat,
demam tinggi, sakit perut dan peritonitis (radang selaput perut). Selama
serangan, penderita tampak sangat sakit. Yang lebih sering terjadi adalah
serangannya dimulai bertahap, dimana penderita memiliki keinginan untuk
buang air besar yang sangat, kram ringan pada perut bawah dan tinja yang
berdarah dan berlendir.
Jika penyakit ini terbatas pada rektum dan kolon sigmoid, tinja mungkin
normal atau keras dan kering. Tetapi selama atau diantara waktu buang air
16
besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung banyak sel darah merah
dan sel darah putih. Gejala umum berupa
demam,bisaringanataumalahtidakmuncul.
Jika penyakit menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang
air besar sebanyak 10-20 kali/hari. Penderita sering mengalami kram perut
yang berat, kejang pada rektum yang terasa nyeri, disertai keinginan untuk
buang air besar yang sangat. Pada malam haripun gejala ini tidak berkurang.
Tinja tampak encer dan mengandung nanah, darah dan lendir. Yang paling
sering ditemukan adalah tinja yang hampir seluruhnya berisi darah dan
nanah. Penderita bisa demam, nafsu makannya menurun dan berat
badannyaberkurang.
4.KOMPLIKASI
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia karena
kekurangan zat besi. Pada 10% penderita, serangan pertama sering menjadi
berat, dengan perdarahan yanghebat,perforasiataupenyebaraninfeksi.
b. Kolitis Toksik
terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus. Kerusakan ini
menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding usus terhenti,
sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya. Perut tampak
menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan ototnya dan akhirnya
17
mengalami pelebaran. Rontgen perut akan menunjukkan adanya gas di
bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar sangat melebar, keadaannya
disebut megakolon toksik. Penderita tampak sakit berat dengan demam
yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan jumlah sel darah putih meningkat.
Dengan pengobatan efektif dan segera, kurang dari 4% penderita yang
meninggal. Jika perlukaan ini menyebabkan timbulnya lubang di usus
(perforasi), maka resiko kematian akan meningkat.
c.Kanker Kolon (Kanker Usus Besar).
Resiko kanker usus besar meningkat pada orang yang menderita kolitis
ulserativa yang lama dan berat. Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus
besar terkena dan penderita telah mengidap penyakit ini selama lebih dari
10 tahun, tanpa menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar)
secara teratur, terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker,
selama periode bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan
untuk diperiksa dibawah mikroskop.
5.DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan tinja.
1.Pemeriksaan darah menunjukan adanya:
18
-anemia
-peningkatanjumlahseldarahputih
-peningkatanlajuendapdarah.
2. Sigmoidoskopi
Pemeriksaan sigmoid akan memperkuat diagnosis dan memungkinkan
dokter untuk secara langsung mengamati beratnya peradangan. Bahkan
selama masa bebas gejalapun, usus jarangterlihatnormal. Contoh jaringan
yang diambil untuk pemeriksaan mikroskopik menunjukansuatu peradangan
menahun.
3. Barium enema dan kolonoskopi
Biasanya tidak dikerjakan sebelum pengobatan dimulai, karena adanya
resiko perforasi (pembentukan lubang) jika dilakukan pada stadium aktif
penyakit. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran
penyakit dan untuk meyakinkan tidak adanya kanker.
PENGOBATAN
Pengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi
gejala dan mengganti cairan dan zat gizi yang hilang.Penderita sebaiknya
19
menghindari buah dan sayuran mentah untukmengurangi cedera fisik pada
lapisan usus besar yang meradang.
Diet bebas susu bisa mengurangi gejala. Penambahan zat besi bisa
menyembuhkan anemia yang disebabkan oleh hilangnya darah dalam tinja.
Obat-obatan antikolinergik atau dosis kecil loperamide atau difenoksilat,
diberikan pada diare yang relatif ringan.Untuk diare yang lebih berat,
mungkin dibutuhkan dosis yang lebih besar dari difenoksilat atau Opium
yang dilarutkan dalam alkohol,loperamide atau codein.
Pada kasus-kasus yang berat, pemberian obat-obat anti-diare ini harus
secara ketat, untukmenghindariterjadinyamegakolontoksik. Sulfasalazine,
olsalazine atau mesalamine sering digunakan untuk mengurangi
peradangan pada kolitis ulserativa dan untuk mencegah timbulnya gejala
Obat-obatan ini biasanya diminum namun bisa juga diberikan sebagai
enema (cairan yang disuntikkan ke dalam usus) atau supositoria (obat yang
dimasukkan melaluidubur). Penderita dengan kolitis berat menengah yang
tidak menjalani perawatan rumah sakit, biasanya mendapatkan
kortikosteroid per-oral (melalui mulut), seperti prednisone. Prednisone
dosis tinggi sering memicu proses penyembuhan. Setelah prednisone
mengendalikan peradangannya, sering diberikan sulfasalazine, olsalazine
atau mesalamine. Secara bertahap dosis prednisone diturunkan dan
akhirnya dihentikan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang menimbulkan
20
efek samping, meskipun kebanyakan akan menghilang jika pengobatan
dihentikan.
Bila kolitis ulserativa yang ringan atau sedang terbatas pada sisi kiri usus
besar (kolon desendens) dan di rektum, bisa diberikan enema dengan
kortikosteroidataumesalamine.
Bila penyakitnya menjadi berat, penderita harus dirawat di rumah sakit dan
diberikan kortikosteroid intravena(melaluipembuluhdarah). Penderita
dengan perdarahan rektum yang berat mungkin memerlukan transfusi
darah dan cairan intravena.Untuk mempertahankan fase
penyembuhan, diberikan azathioprine dan merkaptopurin.
Siklosporin diberikan kepada penderita yang mendapat serangan berat dan
tidak memberikan respon terhadap kortikosteroid. Tetapi sekitar 50% dari
penderita ini, akhirnya memerlukan terapi pembedahan.
PEMBEDAHAN
Kolitistoksik merupakansuatu keadaan gawat darurat. Segera setelah
terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-
diare dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam
lambung atau usus kecil dan semua cairan, makanan dan obat-obatan
diberikan melalui pembuluhdarah. Pasien diawasi dengan ketat untuk
menghindari adanya peritonitis atau perforasi. Bila tindakan ini tidak
berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera dilakukan
21
pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besa
rdiangkat.
b.krohn disease
b.1 definisi
Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada
saluran cerna dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease
dapat melibatkan setiap bagian dari saluran cerna mulai dari mulut
hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan colon (6).
b.1.1 Aspek sejarah crohn’s disease
Kasus Crohn’s disease pertama kali didokumentasikan dan
dideskripsikan oleh Morgagni pada tahun 1761. Pada tahun 1931,
Dalziel, seorang ahli bedah berkebangsaan Skotlandia,
mendeskripsikan sembilan kasus penyakit inflamasi saluran cerna.
Deskripsi mengenai gambaran klinis dan patologis yang terperinci
mengenai penyakit ini dilakukan oleh Crohn, Ginzburg, dan
22
Oppenheimer pada tahun 1932 (6). Meskipun penyakit ini akhirnya
diberi nama Crohn’s disease, namun masih belum dibedakan secara
sempurna dari penyakit colitis ulcerativa hingga tahun 1959 ([7]).
Saat ini, diagnosis Crohn’s disease mencakup aspek klinis, radiologis,
endoskopis, patologis, dan pemeriksaan spesimen faeces. Radiografi
dengan menggunakan zat kontras dapat menentukan luasnya kelainan,
tingkat keparahan dan perjalanan penyakit. Pencitraan computed
tomography (CT scanning) memungkinkan pencitraan potong lintang
untuk menentukan keterlibatan mural dan ekstramural. Endoskopi
memungkinkan visualisasi langsung ke mukosa dan memungkinkan
pengambilan spesimen biopsi untuk kepentingan pemeriksaan
histologis. Ultrasonografi and MRI memberikan alternatif pencitraan
potong lintang terhadap individu-individu yang tidak memungkinkan
menerima paparan radiasi (7).
b.3. EPIDEMIOLOGI
Secara umum Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer usus
halus, dengan insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens
tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan Eropa Utara (6). Di Amerika
Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohn’s disease mencapai 2 kasus
per 100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 – 40 kasus per
23
100.000 populasi (7). Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan
insidens Crohn’s disease secara dramatis di Amerika Serikat antara
tahun 1950-an hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada
tahun 1980-an ([8]).
Menurut jenis kelamin, insidens Crohn’s disease lebih tinggi pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 – 1,8 : 1.
Beberapa ahli percaya bahwa distribusi jenis kelamin ini berhubungan
dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohn’s disease (7).
Crohn’s disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok
usia. Puncak insidens pertama adalah pada 18 – 25 tahun. Puncak usia
berikutnya adalah antara 60 – 80 tahun. Pada pasien yang berusia lebih
muda dari 20 tahun Crohn’s disease lebih banyak menyerang usus
halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohn’s disease
lebih banyak menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit
ini tidak diketahui (7,8).
Meskipun Crohn’s disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran
cerna, namun terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun
anatomis yang paling sering, yaitu hanya usus halus saja (30%), usus
halus bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja (25%). 30%
dari seluruh kasus Crohn’s disease terjadi bersamaan dengan penyakit
24
rektal, dan 33 – 50% terjadi bersamaan dengan penyakit perianal
seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula perianal (6,7).
b.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO
Etiologi dari Crohn’s disease masih belum diketahui (6,7,8,[9]). Terdapat
beberapa penyebab potensial yang diperkirakan secara bersama-sama
menimbulkan Crohn’s disease, yang paling mungkin adalah infeksi,
imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan,
diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial. (6,7,8,[10]).
b.4.1. Faktor Infeksi
Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga
merupakan penyebab potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua
agen infeksi yang paling menarik perhatian yaitu mycobacteria,
khususnya Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles (6).
Infeksi lain yang diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease
adalah Chlamydia, Listeria monocytogenes, Pseudomonas sp, dan
retrovirus (8).
b.4.2. Faktor Imunologis
25
Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-
pasien dengan Crohn’s disease mencakup reaksi-reaksi imunitas
humoral dan seluler yang menyerang sel-sel saluran cerna, yang
menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga
berperanan pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s disease
mencakup sitokin-sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan
TNF (tumor necroting factor). Peranan respons imun pada Crohn’s
disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari
proses penyakit dan bukan merupakan penyebab penyakit (6).
b.4.3. Faktor Genetik
Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam
patogenesis Crohn’s disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk
timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat keluarga dengan
Crohn’s disease (6). Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohn’s disease
(20%) mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit
yang sama (8). Pada berbagai penelitian didapatkan bahwa Crohn’s
disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen HLA-DR1 dan
DQw5 (7).
b.4.4. Faktor-faktor Lain
26
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan
faktor proteksi terhadap timbulnya Crohn’s disease (8). Merokok dan
penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko timbulnya Crohn’s
disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan
(7).
b.5. PATOLOGI
Stadium dini Crohn’s disease ditandai dengan limfedema obstruktif
dan pembesaran folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan
submukosa. Ulserasi mukosa yang menutupi folikel-folikel limfoid
yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa. Pada
pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus
kecil yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm
dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa
menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi
tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus (8,10).
Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih
dalam dan sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin
buruknya penyakit, dinding usus menjadi semakin menebal dengan
27
adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan
pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga
mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi
saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga
keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan
usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus
yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang
peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum (10).
b.6. DIAGNOSIS
b.6.1. Anamnesis
Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri
abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen
merupakan gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan per rectal lebih
jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang
menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen (6,7,10).
b.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah
abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien
28
juga dapat menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan
LED (7).
Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi. Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat
edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan dengan makin
memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat
menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi
sebagai akibat penyempitan lumen usus (7).
Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses,
malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap,
atau pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi perforasi usus
sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini (6,7).
b.6.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto
kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus
halus atau enteroclysis dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda
usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika
terdapat masalah dengan penggunaan kontras.
29
Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang
berguna dalam diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan
dengan aktivitas klinis penyakit.
b.7. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding
Crohn’s disease antara lain (7):
Cholangitis
Colitis iskemik
Colitis pseudomembranosa
Diverticulitis colon
Tuberculosis gastrointestinalis
Colitis ulserativa
Enteritis infeksiosa
Colitis infeksiosa
b.8. PENATALAKSANAAN
30
b.8.1. Terapi Medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa Crohn’s disease dapat dibagi menjadi
terapi terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam
terapi terhadap kekambuhan akut, pemicu-pemicu seperti infeksi yang
mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus
dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya ter7api
glukokortikoid intravena (7).
Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohn’s disease
mencakup antibiotika, aminosalisilat, kortikosteroid, dan
imunomodulator (8).
Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau
metilprednisolon intravena sering digunakan sebagai tambahan
terhadap metronidazole dan pengistirahatan usus. Penggunaan terapi
steroid terbatas untuk mencapai respons yang cepat dalam waktu
singkat karena pada penggunaan jangka lama mempunyai berbagai
efek samping, seperti osteonekrosis, myopati, osteoporosis, dan
gangguan pertumbuhan. Dapat pula digunakan inhibitor imunitas yang
diperantarai sel yaitu cyclosporine secara intravena jika pasien
menunjukkan respons yang buruk terhadap terapi kortikosteroid (6,7).
31
Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus.
Aminosalisilat merupakan terapi pilihan karena aktivitas
antiinflamasinya. Berbagai obat telah digunakan, yang masing-masing
mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus. Sulfasalazine dan
balsalazide terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan Asacol
terutama dilepaskan di ileum distal dan colon. Pentasa dapat
dilepaskan di duodenum hingga colon bagian distal, sementara
Rowasa secara spesifik digunakan untuk rectum dan colon bagian
distal (6,7).
Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator
sistem imun non-steroid yang dapat ditoleransi dengan baik.
Azathioprine, yang secara non-enzymatis dikonversi di dalam tubuh
menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme menjadi asam
thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin. Efek samping
dari azathioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan
dengan steroid (6,7).
Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan
respons terhadap azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping
utamanya mencakup leukopenia, nyeri pada saluran cerna, dan
pneumonitis hipersensitivitas (6,7).
32
Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang
merupakan anti TNF-α, yang semakin luas dipergunakan dan
menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan adanya peningkatan
tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu terapi dan dengan
penutupan fistula secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari
pemberian infliximab. Obat-obat lain seperti mycophenolate telah
dikembangkan untuk menghambat sintesa nukleotida guanin dan oleh
karena itu menghambat limfosit B dan T (6,7).
b.8.2. Terapi Bedah
Antara 70 – 80% pasien dengan Crohn’s disease membutuhkan terapi
bedah. Indikasi terapi bedah pada Crohn’s disease mencakup
kegagalan terapi medikamentosa dan/atau timbulnya komplikasi,
seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan
fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna,
komplikasi-komplikasi urologis, kanker, dan penyakit-penyakit
perianal (6,7). Terapi bedah pada pasien dengan Crohn’s disease harus
ditujukan kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat
33
dalam komplikasi saja yang direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk
menghindari terjadinya short bowel syndrome (6).
Anak-anak penderita Crohn’s disease dengan gejala-gejala sistemik
seperti gangguan tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan
dengan menjalani terapi bedah reseksi usus. Meskipun komplikasi
ekstraintestinal Crohn’s disease bukan merupakan indikasi utama
terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus
(6).
Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti
dengan anastomosis merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah
Crohn’s disease. Alternatif prosedur lain dari reseksi segmental dari
lesi-lesi yang mengobstruksi adalah stricturoplasty. Teknik ini
memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan usus dan terutama
cocok untuk pasien dengan penyakit yang menyebar luas dan telah
mengalami striktura fibrotik yang mungkin telah pernah menjalani
operasi sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel
syndrome. Namun teknik stricturoplasty mempunyai risiko
kekambuhan yang cukup tinggi. Prosedur-prosedur bypass usus
kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi abses-abses
intramesenterial atau jika usus yang sakit telah bersatu membentuk
34
massa inflamasi yang padat, yang tidak memungkinkan dilakukannya
mobilisasi usus. Prosedur bypass (gastrojejunostomy) juga digunakan
jika telah terjadi striktura duodenum, dimana prosedur stricturoplasty
maupun reseksi segmental sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an, telah
dilakukan prosedur operasi laparoskopik terhadap pasien-pasien
dengan Crohn’s disease, namun hasilnya masih belum memuaskan dan
teknik operasinya sulit (8).
b.9. KOMPLIKASI
Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral,
ulkus, eritema nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari
malabsorpsi kronis; osteonekrosis sebagai akibat terapi steroid kronis;
pembentukkan batu empedu sebagai akibat keterlibatan ileus yang
menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal
sebagai akibat dari penyakit colon; pancreatitis sebagai akibat dari
terapi sulfasalazine, mesalamine, azathioprine atau 6-mercaptopurine;
pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah;
dan manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi
tromboembolik, penyakit hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis
primer (6,7,8,10).
b.9.1. Abses
35
Abses terbentuk pada sekitar 15 – 20% pasien dengan Crohn’s disease
sebagai akibat dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai
komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan di mesenterium,
cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi
ekstraperitoneal. Lokasi tersering abses retroperitoneal adalah fossa
ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas. Ileum terminal
merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses merupakan salah satu
penyebab utama kematian pada Crohn’s disease (7).
b.9.2. Obstruksi
Obstruksi terjadi pada 20 – 30% pasien dengan Crohn’s disease. Pada
awal perjalanan penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan
hilang timbul pada saat setelah makan, yang disebabkan oleh edema
dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi yang menetap ini
akan secara bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur
lumen akibat fibrostenotik (7).
36
b.9.3. Fistula
Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohn’s
disease pada colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau
penyakit berat paling sulit ditangani. Hal ini terjadi pada pasien
dengan Crohn’s disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah
untuk mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses supuratif
sebelum dilakukannya terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu
dilakukan operasi untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada
kontraindikasi berupa sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang
sakit. Fistula dapat berakibat perforasi usus spontan pada 1 – 2%
pasien (7).
b.9.4. Keganasan
Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada
Crohn’s disease. Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah
dimana terjadi penyakit kronis. Sayangnya, sebagian besar kanker
yang berhubungan dengan Crohn’s disease tidak terdeteksi hingga
tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan
saluran cerna, keganasan ekstraintestinal (misalnya, squamous cell
37
carcinoma pada pasien dengan penyakit kronis di daerah perianal,
vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga
terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan Crohn’s disease
(7).
1.10. PROGNOSIS
Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohn’s disease
yang sudah menjalani terapi bedah adalah antara 15 – 30%.
Komplikasi bedah yang paling sering terjadi adalah infeksi luka
operasi, pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan kebocoran
anastomosis (6,8).
Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami
kekambuhan penyakit, yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi
dan 85% dalam waktu 3 tahun setelah operasi. Kekambuhan klinis
ditandai dengan berulangnya gejala-gejala Crohn’s disease. Sekitar ⅓
pasien membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun setelah
operasi yang pertama (6,8).