Post on 05-Feb-2016
description
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan kedalam
parenkim otak yang dapat meluas kedalam ventrikel, dan pada keadaan
jarang, dapat meluas ke dalam ruang subarakhnoid. Setiap tahunnya,
hampir 37.000 sampai 52.400 orang di Amerika Serikat mengalami
perdarahan intraserebral.
Perdarahan intraserebral merupakan 10 sampai 15 persen dari
keseluruhan kasus stroke dan menimbulkan angka kematian yang paling
tinggi, dimana hanya 38% dari penderita yang mengalaminya dapat
bertahan melewati tahun pertama. Tergantung kausa perdarahan yang
melatarbelakanginya, perdarahan intraserebral dibagi menjadi PIS primer
dan PIS sekunder. PIS primer (PIS spontan), yang merupakan 78 sampai 88
persen kasus, ditimbulkan oleh adanya ruptur spontan dari pembuluh darah
berukuran kecil yang mengalami kerusakan oleh hipertensi kronis atau
angiopati amiloid (amyloid angiopathy). PIS sekunder dialami pada
sebahagian kecil penderita yang ditimbulkan oleh adanya abnormalitas
vaskular (seperti: arteriovenous malformations dan aneurisma), tumor, atau
gangguan koagulasi.
Hipertensi hingga saat ini disebut sebagai faktor resiko utama PIS.
Data penelitian yang ada menunjukkan kontrol terhadap tekanan darah akan
mengurangi resiko stroke. Hipertensi akan mengganggu aliran darah
serebral dan akan berperan pada kejadian penyakit serebrovaskuler.
Meskipun hypertensive intracerebral hemorrhage (PIS yang
ditimbulkan oleh hipertensi) masih merupakan bentuk PIS yang paling
sering dijumpai, namun abnormalitas vaskular yang melatarbelakanginya
perlu juga ditelusuri oleh karena tingginya risiko perdarahan ulangan dan
telah tersedianya pilihan terapi.1
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan karya tulis ini ditujukan untuk mempelajari kasus
perdarahan intraserebral yang berlandaskan teori guna memahami
bagaimana cara mengenali, mengobati dan mencegah perdarahan
intraserebral terutama yang disebabkan oleh hipertensi, sehingga dapat
mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam merawat pasien yang
menderita penyakit tersebut.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 Definisi
Stroke hemoragik adalah stroke yang diakibatkan oleh perdarahan
arteri otak didalam jaringan otak (perdarahan intraserebral (PIS)) dan/atau
perdarahan arteri diantara lapisan pembungkus otak, piamater dan
arachnoidea (WHO, 2005).
2.2 Epidemiologi
Sekitar 10-15% dari seluruh kasus stroke disebabkan oleh PIS.
Angka kejdian PIS berkisar antara 10-2-/100.000 penduduk per tahun.
Angka kematian PIS dalam 30 hari setelah serangan mencapai 35-52%.
Dari jumlah ini, separuh di antaranya meninggal dalam 2 hari pertama
setelah serangan. Salah satu laporn di Amerika Serikat menyebutkan bahwa
dari 67.000 pasien stroke, hanya 20% diantaranya mandiri atau tidak
mengalami keccatan yang berarti, dalam 6 bulan setelah mengalami PIS.
Dalam salah satu studi populasi yang melibatkan 1041 pasien
PIS., 50% perdarahan terjadi di daerah subkortikal dalam, 35% di
substansia alba (lobar), 10% di serebelum, dan 6% di batang otak.
Sedangkan kematian yang terjadi dalam selang 1 tahun setelah serangan
dialami oleh 65% PIS di batang otak, 57% PIS di substansia alba (lobar),
51% PIS di subkortikal dalam, dan 42% PIS di serebelum.
2.3 Anatomi
Otak menerima darah yang dipompa dari jantung melalui arkus
aorta yang terdiri atas 3 cabang, yaitu A. brachiocephalica, A. carotis
communis kiri dan A. subclavia kiri. A. brachiocephalica kanan selanjutnya
bercabang dalam A. carotis communis kanan dan A. subclavia kanan. A.
carotis communis kiri dan kanan masing-masing bercabang menjadi A.
carotis interna dan eksterna (kiri dan kanan) dan A. subklavia kiri dan
3
kanan masing-masing mempunyai salah satu cabang yaitu vertebralis kiri
dan kanan.
Aliran darah ke otak yang melalui A. carotis interna beserta
cabang-cabangnya disebut sistem carotis, sedangkan aliran yang melalui A.
vertebralis berserta cabang-cabangnya disebut sistem vertebrobasiler.
Gambar 1.
Anatomi Peredarah
Darah Arteri (Sumber: Google.com)
4
Gambar 2. Sistem Karotis Ekstrakranial (Sumber: Baehr & Frotscher, 2005)
Sistem carotis yang memperdarahi 2/3 anterior otak dan sistem
vertebrobasiler yang memperdarahi 1/3 posterior otak, termasuk batang
otak dan cerebellum. Sistem carotis terdiri dari sepasang A. cerebri anterior
dan media sedangkan sistem vertebrobasiler terdiri dari A. vertebra yang
bergabung membentuk A. basilaris dan kemudian bercabang menjadi
sepasang A. cerebri posterior.
Keduanya merupakan sistem yang saling terpisah namun
disatukan oleh pembuluh-pembuluh anastomosis yang membentuk sirkulus
arteriosus Willisi. A. cerebri posterior dihubungkan dengan A. cerebri
media (dan A. cerebri anterior) lewat A. communican posterior. Kedua A.
5
cerebri anterior dihubungkan oleh A. communican anterior sehingga
terbentuk lingkaran yang lengkap.
Dalam keadaan normal, aliran darah dalam A. communican
hanyalah sedikit. Arteri ini merupa kan penyelamat bila terjadi perubahan
tekanan arteri yang dramatis dengan kata lain mengkompensasi
berkurangnya aliran darah pada salah satu cabang arteri. Cabang-cabang
sistem carotis dan vertebrobasiler juga mempunyai pembuluh-pembuluh
penghubung.
6
Gambar
3.
Vaskularisasi Otak Tampak Kaudal (Sumber: Netter, 2006)
7
Gambar 4. Sirkulus Willisi (Sumber: Baehr & Frotscher, 2005)
a. Sistem Arteri
A. carotis interna dan A. carotis eksterna bercabang dari A. carotis
komunis setinggi tulang rawan carotid. A. carotis eksterna memperdarahi
wajah, tiroid, lidah dan taring. Cabang dari A. carotis eksterna yaitu A.
meningea media, memperdarahi struktur-struktur di daerah wajah dan
mengirimkan satu cabang yang besar ke daerah duramater. A. carotis
interna sedikit berdilatasi tepat setelah percabangannya yang dinamakan
sinus karotikus. Dalam sinus karotikus terdapat ujung-ujung saraf
khususnya berespon terhadap perubahan tekanan darah arteri, yang secara
reflex mempertahankan suplai darah ke otak dan tubuh. A. carotis interna
masuk ke otak dan bercabang kira-kira setinggi kiasma optikum, menjadi
A. serebri anterior dan media.
8
A. serebri media adalah lanjutan langsung dari A. carotis interna.
Setelah masuk ke ruang subarakhnoid dan sebelum bercabang-cabang A.
carotis interna mempercabangkan A. ophtalmica yang memperdarahi orbita.
A. cerebri anterior menyuplai darah pada nucleus kaudatus, putamen,
bagian-bagian kapsula interna dan korpus kalosum dan bagian-bagian lobus
9
frontalis dan parietalis. A. cerebri media menyuplai darah untuk bagian
lobus temporalis, parietalis dan frontalis. Arteri ini sumber darah utama
girus presentralis dan postsen
10
Gambar 5. Arteri Otak Tampak Frontal & Lateral (Sumber: Netter, 2006)
b. Sistem Vertebrobasilaris
A. vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum,
setinggi perbatasan pons dan medulla oblongata. Kedua arteri tersebut
bersatu membentuk A. basilaris. Tugasnya mendarahi sebagian diensefalon,
sebaian lobus oksipitalis dan temporalis, apparatus koklearis dan organ-
organ vestibular.
Gambar 6. Sistem Vertebrobasilar (Sumber: Google.com)
2.4 Etiologi
PIS primer biasa terjadi pada kapsul internal dan hematoma
meluas ke medial ke substansi grisea dalam dan ke lateral melalui substansi
alba yang relatif aseluler korona radiata. Pembuluh yang ruptur adalah satu
dari arteria perforating kecil yang meninggalkan arteria serebral media
dekat pangkalnya dikarotid internal dan sering dijelaskan sebagai arteria
lentikulostriata.
Pada arteria lentikulostrita pasien hipertensif terdapat banyak
dilatasi aneurismal yang sangat kecil yang diduga rupturnya menjadi
11
sumber perdarahan. Lebih jarang perdarahan terjadi pada fossa posterior
yang dimulai pada pons atau hemisfer serebeler.
PIS akut sering terjadi saat atau setelah aktivitas. Sekitar
duapertiga akan mengalami perburukan neurologis progresif dan
sepertiganya dalam kondisi defisit neurologis maksimal saat datang ke
rumah sakit. Penurunan kesadaran terjadi pada 60% dan duapertiganya
jatuh koma.
Nyeri kepala dan mual dengan muntah terjadi pada 20-40% kasus.
Gejala ini karena peninggian TIK akibat perdarahan. Kejang kurang umum
terjadi, sekitar 7-14%. Gejala dan tanda lainnya tergantung ukuran dan
lokasi spesifik dari bekuan darah. Perubahan pupil terjadi akibat herniasi
unkal lobus temporal akibat peninggian TIK dan pergeseran garis tengah.
Gejala afasik bila hemisfer dominan terkena.
Perdarahan menyebabkan kerusakan neurologis melalui dua cara:
a. Kerusakan otak yang nyata terjadi saat perdarahan. Ini terutama pada
kasus dimana hematoma meluas ke medial dan talamus serta ganglia
basal.
b. Hematoma yang membelah korona radiata menyebabkan kerusakan yang
kurang seluler namun mungkin berukuran besar dan menyebabkan
penekanan serta gangguan fungsi neurologis yang mungkin reversible.
80% pasien adalah hipertensif dan biasanya dalam eksaserbasi akut dari
hipertensinya pada saat datang.
Kebanyakan kasus hematoma memecah ke sistema ventrikuler
atau rongga subarakhnoid menimbulkan gambaran klinis PSA. Pasien
dengan koagulopatia lebih berrisiko terhadap PIS seperti juga penderita
yang mendapat antikoagulan terutama Coumadin.
Trombositopenia dengan platelet <20.000, penyakit hati,
leukemia, dan obat-obat seperti amfetamin meninggikan risiko terjadinya
PIS. PIS terjadi pada teritori vaskuler arteria perforating kecil seperti 12
lentikulostriata pada ganglia basal, talamoperforator diensefalon, cabang
paramedian basiler pada pons. Karenanya kebanyakan terjadi pada struktur
dalam dari hemisfer serebral.
PIS merupakan sekitar 10% dari semua stroke. Seperti dijelaskan
diatas, ia disebabkan oleh perdarahan arterial langsung ke parenkima otak.
Ruptur vaskuler dikira terjadi pada aneurisma milier kecil, dan/atau pada
arteria lipohialinotik yang sering tampak pada otopsi pasien dengan
hipertensi. Minoritas kasus PIS disebabkan aneurisma, AVM, malformasi
kavernosa, amiloid serebral, atau tumor. Glioblastoma adalah tumor otak
primer yang paling sering mengalami perdarahan, sedangkan melanoma,
khoriokarsinoma dan ipernefroma adalah tumor metastatik yang tersering
menimbulkan perdarahan. Kausa PIS disajikan pada Tabel 1.
13
a. Hipertensi Arterial
Kelainan serebrovaskuler hipertensif merupakan 70-90 % PIS
spontan. Sumber tersering perdarahan adalah arteria penetrating kecil (80-
300um), yaitu arteria lentikulostriata dan talamo-perforating serta cabang 14
para-median arteria basiler. Tampak degenerasi yang diinduksi oleh
hipertensi pada media dinding arterial, nekrosis fibrinoid, yang berakibat
kelemahan progresif dan/atau terbentuknya mikroaneurisma. Apa yang
mempresipitasi perdarahan tidak jelas, walau peninggian tekanan darah
mendadak karena aktivitas umum terjadi. Predileksi perubahan patologis
yang diinduksi hipertensi pada arteria subkortikal dan perforating kecil
menjelaskan lokasi anatomik khas perdarahan ini. Daerah paling sering
terkena adalah kaudat dan putamen, diikuti substansi alba subkortikal,
talamus, pons. 90 % perdarahan pons adalah akibat hipertensi, dan 60-75 %
perdarahan putaminal, talamik, dan serebelar adalah hipertensif. Hipertensi
tak jelas sebagai faktor etiologis pada perdarahan lobar. Perdarahan ulang
jarang. Penyebab utama perburukan adalah edema serebral dan nekrosis
iskemik jaringan otak sekitar atau hidrosefalus.
b. Aneurisma Intrakranial
Perdarahan akibat aneurisma yang ruptur biasanya ke ruang
subarakhnoid dan jarang ke ventrikel lateral atau parenkim otak. Aneurisma
yang pecah merupakan 18-23 % kasus. Perdarahan biasanya pada lobus
frontal dan temporal, diakibatkan oleh aneurisma arteria karotis internal
atau serebral media. Lesi aneurism ini diperkirakan sebagai kelemahan
kongenital pada lapisan muskuler yang memungkinkan intima menonjol
diantaranya, akhirnya merobek membrana elastik. Pendapat lain, lesi ini
adalah didapat dan perubahan degeneratif membrana elastik internal
memungkinkan intima mengalami herniasi melalui area yang lemah.
c. Angiopati Amiloid Serebral
Penyebab tersering ketiga PIS setelah hipertensi arterial dan
aneurisma, sekitar 10 % dari PIS spontan. Kelainan ini khas dengan deposit
fibril amiloid pada media dan intima arteria ukuran kecil dan sedang pada 15
otak dan leptomening pasien tua. Perdarahan mungkin akibat robeknya
dinding pembuluh yang lemah atau mikroaneurisma. Berbeda dengan
perdarahan hipertensif, angiopati amiloid mempunyai predileksi pada
lapisan superfisial dari korteks serebral, terutama pada lobus parietal dan
oksipital, dan jarang tampak pada substansi alba atau grisea dalam.
Perdarahan spontan berganda pada pasien tua normotensif lebih mungkin
karena angiopati amiloid.
d. Malformasi Vaskuler
Malformasi vaskuler intrakranial umumnya dibagi empat jenis
kelainan patologis:
- malformasi arteria venosa (AVM),
- telangiektasia kapiler,
- malformasi kavernosa,
- malformasi venosa.
AVM merupakan suatu kelainan kongenital yang terjadi minggu
keempat hingga kedelapan kehidupan embrio. Terdapat hubungan persisten
antara sistema arterial dan vena tanpa adanya bed kapiler. Nidus pembuluh
yang berkelok-kelok oleh arteri, membesar progresif sesuai waktu karena
volume yang beraliran kuat akibat tahanan perifer yang rendah dari pintas
arteria-venosa. Peninggian tekanan vena dan volume dengan aliran deras
menyebabkan pembesaran vena yang progresif. Terjadinya hambatan aliran
vena atau varises menambah risiko perdarahan. AVM terletak terutama di
hemisfer serebral (70-93 %) dan lebih sering mengenai cabang arteria
serebral media.
Malformasi kavernosa adalah anomali vaskuler sinusoid yang
berdilatasi tanpa mengintervensi jaringan neural kecuali pada tepinya.
Bervariasi dalam ukuran, terkadang berganda, dan ditemukan terutama
pada hemisfer serebral. Lesi ini paling sering tampil dengan nyeri kepala,
bangkitan, atau defisit neurologis fokal. 16
e. Tumor Otak
Perdarahan spontan ke dalam tumor otak kurang dari 1 %
kejadian tumor otak sendiri. Jenis tumor yang paling sering berdarah
adalah glioma malignan dan metastase, tersering adalah melanoma,
karsinoma sel renal, khoriokarsinoma, dan karsinoma bronkhogenik.
Kecenderungan tumor malignan berdarah disebabkan nekrosis spontan
akibat pertumbuhannya yang cepat dan vaskulatur yang kaya namun mudah
rusak. Tumor jinak jarang pecah spontan.
f. Antikoagulan
Sodium warfarin, antikoagulan oral, sering digunakah mencegah
embolisme venosa atau arterial. Sekitar 8% pasien yang mendapat sodium
warfarin akan mengalami komplikasi perdarahan. Walau perdarahan
intrakranial hanya 0.5-1.5 % dari semua komplikasi, namun biasanya
mematikan. Pasien dengan antikoagulan oral memiliki risiko perdarahan 11
kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa antikoagulan pada faktor risiko
yang sama. Pasien dengan antikoagulan yang mengalami PIS mempunyai
waktu protrombin yang sangat memanjang (>16-18 dt). Lokasi tersering
perdarahan adalah ruang subdural, diikuti parenkima otak dan kemudian
perdarahan subarakhnoid.
g. Kelainan Perdarahan Herediter
Hemofilia dan kelainan von Willebrand merupakan 90% dari
defek perdarahan herediter yang berat. Hemofilia adalah defisiensi faktor
VIII (hemofilia A) atau yang lebih jarang, faktor IX (hemofilia B), yang
resesif X-link. Terdapat pemanjangan waktu tromboplastin parsial.
Tampilan klinis bervariasi berdasar derajat faktor defisiensi yang
didapat dari pemeriksaan pembekuan invitro. Perdarahan intrakranial dapat
terjadi spontan atau akibat cedera kepala tak berarti.
h. Trombositopenia
17
Trombositopenia (jumlah platelet <80.000/mm3) adalah penyebab
tersering dari perdarahan abnormal karena produksi platelet yang
menurun, ataupun peninggian sekuestrasi atau destruksi yang bertambah.
Penyebab penurunan produksi platelet antaranya anemia aplastik,
leukemia, keadaan gagal sumsum tulang lain, dan setelah terapi kemoterapi
sitotoksik.
i) Obat-obatan Simpatomimetik
Amfetamin, fenil propanolamin, dan kokain adalah obat
simpatomimetik yang paling sering berhubungan dengan stroke
hemoragik.
Peninggian transien tekanan darah setelah pemakaian obat ini
bertanggungjawab atas rupturnya pembuluh darah serebral, termasuk
anurisma dan AVM intrakranial. Sebagai tambahan, perdarahan akibat
vaskulitis yang tampak pada angiografi sebelumnya, menambah
kemungkinan dari angiopati yang diinduksi obat-obatan.
2.5 Patofosiologi
Autoregulasi serebral adalah kemampuan otak untuk menjaga
aliran darah otak relatif konstan terhadap perubahan tekanan perfusi. Batas
atas dan bawah dari mekanisme autoregulasi individu normotensi masing 18
masing terjadi pada MAP antara 150-160 mmHg dan 50-30mmHg.
Resistensi serebrovaskuler menurun atau meningkat dengan perubahan
tekanan perfusi rata-rata dari otak dan memungkinkan ADO tetap konstan.
Perubahan dari resistensi sebagai akibat vasodilatasi dan vasokontriksi dari
arteri dan arteriol. Banyak faktor seperti hipertensi kronik, aktivitas
simpatis, tekanan CO2 arteri dan obat obat farmakologik akan mengubah
batas atas dan bawah autoregulasi. Pada individu dengan hipertensi baik
batas atas dan bawah kurva autoregulasi akan bergeser ke MAP dengan
nilai absolut yang lebih tinggi. Gejala-gejala dari iskemia serebral secara
signifikan terjadi pada MAP yang lebih tinggi pada mereka dengan
hipertensi dan selanjutnya kerusakan yang berat oleh karena iskemia
serebral terjadi pada beberapa penderita setelah penurunan mendadak
tekanan darah ke level normotensi dan pada studi observasi menunjukkan
pasien dengan accelerated hipertensi dapat berkembang menjadi perburukan
gejala neurologik setelah terapi anti hipertensi yang agresif. Pergeseran dari
autoregulasi dikaitkan dengan peningkatan tonus miogenik yang diinduksi
oleh peningkatan sensitivitas Ca terhadap sel-sel miosit, remodeling dan
hipertrofi juga berperan pada pergeseran tersebut karena terjadinya
penurunan diameter lumen dan peningkatan resistensi pembuluh darah
serebrovaskuler
2.6 Manifestasi Klinis
a. Gejala khas terjadinya perdarahan intraserebral, yaitu (Ropper,
2005):
Hipertensi reaktif akut19
Tekanan darah tinggi yang jauh melampaui level hipertensi kronik yang
dialami pasien, merupakan suatu sangkaan kuat terjadinya pendarahan.
Muntah
Muntah pada saat onset pendarahan intraserebral jauh lebih sering terjadi
dibandingkan pada infark serebral.
Nyeri kepala
Nyeri kepala hebat secara umum terjadi pada perdarahan serebral akibat
peninggian tekanan intrakranial, namun pada 50% kasus sakit kepala absen
ataupun ringan.
Kaku kuduk
Kaku kuduk juga sering ditemukan pada perdarahan intraserebral, namun
hal ini pun sering absen ataupun ringan, terutama jika terjadi penurunan
kesadaran yang dalam.
Kejang
Kejang yang terjadi biasanya fokal, terjadi pada beberapa hari pertama dari
10% kasus perdarahan supratentorial. Kejang sering terjadi belakangan,
beberapa bulan bahkan tahun setelah kejadian
b. Sindroma utama yang menyertai perdarahan intraserebral,
dibagi menurut tempat perdarahannya, yaitu (Smith, 2005):
Berikut ini struktur beserta frekuensi kejadiannya: putamen 30-
50%, substansi putih subkortikal 30%, serebelum 16%, thalamus 10-15%,
serta pons 5-12%. Arteria yang paling sering menimbulkan perdarahan
adalah cabang lentikulostriata lateral dari arteria serebral media
Putaminal Hemorrhages
Putamen merupakan tempat yang paling sering terjadi perdarahan, juga
dapat meluas ke kapsula interna. Hemiparesis kontralateral merupakan
gejala utama yang terjadi. Pada perdarahan yang ringan, gejala diawali
dengan paresis wajah ke satu sisi, bicara jadi melantur, dan diikutii
20
melemahnya lengan dan tungkai serta terjadi penyimpangan bola mata.
Pada perdarahan berat dapat terjadi penurunan kesadaran ke stupor ataupun
koma akibat kompresi batang otak.
Thalamic Hemorrhages
Gejala utama di sini adalah terjadi kehilangan sensorik berat pada seluruh
sisi kontralateral tubuh. Hemiplegia atau hemiparesis juga dapat terjadi
pada perdarahan yang sedang sampai berat akibat kompresi ataupun
dekstruksi dari kapsula interna di dekatnya. Afasia dapat terjadi pada lesi
hemisfer dominan, dan neglect kontralateral pada lesi hemisfer non-
dominan. Hemianopia homonim juga dapat terjadi tetapi hanya sementara.
Pontine Hemorrhages
Koma dalam dengan kuadriplegia biasanya dapat terjadi dalam hitungan
menit. Sering juga terjadi rigiditas deserebrasi serta pupil "pin-point" (1
mm). Terdapat kelainan refleks gerakan mata horizontal pada manuver
okulosefalik (doll's head) ataupun tes kalorik. Kematian juga sering terjadi
dalam beberapa jam. Perdarahan pontin paling umum menyebabkan
kematian dari semua perdarahan otak.
Cerebellar Hemorrhages
Perdarahan serebellar biasanya ditandai dengan gejala-gejala seperti sakit
kepala oksipital, muntah berulang, serta ataksia gait. Dapat juga terjadi
paresis gerakan mata lateral ke arah lesi, serta paresis saraf kranialis VII.
Seiring dengan berjalannya waktu pasien dapat menjadi stupor ataupun
koma akibat kompresi batang otak.
Lobar Hemorrhages
Sebagian besar perdarahan lobar adalah kecil dan gejala yang terjadi
terbatas menyerupai gejala-gejala pada stroke iskemik.
2.7 Diagnosis
21
Pemeriksaan saat serangan dan riwayat medis sebelumnya
memberi nilai penting akan penyebab perdarahan. Sebagai tambahan,
pemeriksaan fisik umum dengan teliti serta pemeriksaan neurologis adalah
esensial. Berdasar temuan tersebut dan pengetahuan akan tampilan klinis
PIS, harus mewaspadakan kita akan adanya lesi massa intrakranial, namun
juga kemungkinan etiologi dan lokasi.
a. Pungsi lumbar
Walau gambaran klinis sering cukup untuk memperkirakan diagnosis, ia
tak dapat ditegakkan dengan pasti hingga adanya ruptur aneurisma
disingkirkan. Pungsi lumbar dilakukan pada semua kasus yang
diperkirakan tidak disertai peninggian tekanan intrakranial.
b. Tomografi terkomputer
Hematoma intraserebral segar tampak jelas, juga ukuran dan
lokasi terhadap substansi putih dan kelabu dari otak. Distribusi anatomis
hematoma sendiri memberi pengarahan yang kuat akan etiologinya. CT
scan memungkinkan diagnosis yang cepat dan akurat atas PIS spontan.
Tampilan sering mengarahkan pada lesi spesifik. CT scan dengan kontras
intravena mungkin menunjukkan adanya tumor atau AVM, pengenalan atas
kemungkinan penyebab perdarahan.
c. Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
Dengan gadolinium intravena diindikasikan untuk pasien yang
klinis stabil bila perdarahan spontan terjadi pada pasien nonhipertensif
dengan pemeriksaan koagulasi normal, perdarahan pada lokasi yang tidak
biasa pada pasien hipertensif, tampilan klinis mengarah pada penyebab
nonhipertensif, atau CT scan inisial menunjukan lesi yang
bertanggung-jawab seperti tumor.
d. Angiografi
Angiografi serebral haus dilakukan pada semua pasien yang
diduga mempunyai PIS akibat aneurisma, fistula arteriovenosa, 22
malformasi vaskuler, atau vaskulitis. Terkadang, angiogram inisial
mungkin negatif akibat penekanan oleh hematoma pada kelainan
vaskuler. Bila lesi vaskuler yang bertanggung-jawab sangat diduga,
angiografu ulang harus dilakukan 2-3 minggu setelah hematoma
berkurang serta edema berkurang. Hanya angiografi yang dapat
memberikan jawaban pasti atas pertanyaan akan kelainan vaskuler yang
mendasari.
2.8 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Penatalaksanaan meliputi menghilangkan atau mengurangi
perdarahan pada jam pertama. Mengevakuasi darah dari parenkim atau
ventrikel dan menghilangkan faktor mekanik maupun kimia yang bisa
menyebabkan jejas otak. Penatalaksanaan komplikasi akibat adanya darah
di otak meliputi penatalaksanaan terhadap peningkatan tekanan
intraserebral, penurunan napas, oksigenasi, sirkulasi, kadar gula darah,
panas dan nutrisi dan profilaksis terhadap deep vein trombosis. Perdarahan
yang berlangsung 3-4jam pertama sangat berpengaruh terhadap prognosis
penderita. Berikut Penatalaksanaan Perdarahan intraserebral.
1. Recombinant activated factor VIIa
Faktor ini bisa menurunkan Perdarahan pada penderita yang
tidak memiliki gangguan pembekuan darah. Faktor ini bisa menyebabkan
pembentukan trombin pada lokasi jejas. Pada Perdarahan Intraserebral
beberapa peneliti memakai dosis 40-16-ug/kg.
Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat
hemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemophilia yang resisten
terhadap pengobatan factor VII replacement dan juga bermanfaat untuk
penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.
Aminocaproic acid terbukti tidak mempunyai efek yang menguntungkan.23
Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-
significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah
lebih dari 3 jam.
2. Anti hipertensi
Dalam praktiknya perdarahan intraserebral (PIS) sering
disebabkan oleh hipertensi. Penatalaksanaan hipertensi saat terjadi serangan
akut harus diperhatikan dengan seksama karena jika tidak, akan
menyebabkan turunnya aliran darah ke otak.
Penatalaksanaan kegawatdaruratan hipertensi secara umum
MAP tidak lebih dari 25% dalam 1 jam. Bila konsidi stabil maka tekanan
bisa diturunkan supaya mencapai 160/100 sampai 110 dalam 2 sampai 6
jam berikutnya. Penurunan darah yang terlalu tajam akan memicu iskemia
pada serebrum, ginjal, dan koroner.
Pada penderita hipertensi yang secara klinis stabil dalam arti
penderita sudah terbiasa dengan kondisi pada tekanan darah tersebut maka
penurunan tekanan bisa dilakukan secara bertahap sampai normal dalam
waktu 24 sampai 48 jam ke depan.
Penurunan tekanan darah pada penderita stroke akut prinsipnya
adalah penghentian atau pengurangan dosis obat anti hipertensi oral
secepatnya. Hindari penggunaan obat anti hipertensi yang bisa menurunkan
aliran darah ke otak, juga hindari pengguraan diuretic kecuali pada kasus
CHF. Perawatan dilakukan di ICU dengan menggunakan obat secara
intravena yang bekerja cepat.
Pada penderita stroke intraserebral yang spontan, tekanan darah
harus diturunkan bila tekanan sistolik di atas 180, distolik di atas 100, dan
MAP di atas 145. Rekomendasi penanganan tekanan darahnya adalah
sebagai berikut:
Apabila tekanan darah sistolik >200 mmHg atau MAP >150 mmHg
maka harus dipertimbangkan penurunan tekanan darah yang agresif 24
dengan menggunakan infus dan dengan melakukan monitoring tekanna
darah setiap 5 menit sekali
Apabila tekanan darah sistolik >180 mmHg atau MAP >130 mmHg dan
didapatkan kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intracranial,
maka dilakukan monitoring tekanan intrakranial dan gunakan preparat
intravena untuk mempertahankan tekanan perfusi otak pada ≥60 mmHg
Apabila tekanan darah sistolik >180 mmHg atau MAP >130 mmHg dan
tidak didapatkan adanya peningkatan tekanan intrakranial, maka
dipertimbangkan penurunan tekanan darah yang sedang (misal MAP 110
mmHg atau target tekanan darah berkisar 169/90 mmHg) dengan
menggunakan obat intravena untuk mengontrol tekanan darah dan
dilakukan evaluasi ke penderita setiap 15 menit. Pada studi INTERACT
2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.
Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220
mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg
cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Setelah
kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg.
Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan
darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta
(labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan
diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas.
Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena
mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan
kontraindikasi mutlak.
Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga
lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam
target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema
paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan 25
tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg
dalam 6 jam pertama.
Obat-obatan yang dipakai secara intravena pada penderita PIS
adalah Labetolol 5-20 mg tiap 15 menit secara bolus dilanjutkan dengan
infus 2 mg/menit (dosis maksimum 300 mg/hari); infus Nikardipin 5-15
mg/jam; Esmolol bolus 250 µg/kg dilanjutkan dengan infus 25-300
µg/kg/menit; Enapril bolus awal 0,625 mg dilanjutkan 1,25-5 mg tiap 6
jam; Hydralazine bolus 5-20 mg setiap 30 menit dilanjutkan dengan infus
1,5-5 µg/kg/menit; Nipride infus 0,1-10 µg/kg/menit; Nitrogliserin 20-400
µg/menit.
Tabel 1. Obat HT pada PIS Akut Berdasar EUSI 2006
Obat DosisMulai Kerja Obat
Lama Bekerja
Keterangan
Inhibitor Adrenergik
Labetolol Bolus 20-80 mg tiap 10 menit, 5-10 sampai 300 mg; infus dengan menit kecepatan 0,5-2
5-10 menit
3-6 jam I: stroke infark dan hemoragik
KI: gagal jantung akut
26
mg/mnt
Esmolol
Bolus 250-500 µg/kgBB/mnt, kemudian dilanjut infus 50-100 µg/kgBB/mnt
10-30 menit
I: stroke dan diseksi aorta
KI: bradikardi, AV blok, gagal jantung, bronkospasm
UrapidilBolus 12,5-25 mg, dilanjut infus 5-40 mg/jam
4-6 jam
I: pada sebagian besar kaus KGD HT termasuk stroke
KI: iskemik koroner
Vasodilator
NitroprusideInfus: 0,2-10 µg/kgBB/mnt
Dalam detik
2-5 menit
I: pada sebagian besar kasus KGD HT termasuk stroke saat TDD >140 mmHg
KI: TTIK
Nicardipine Infus : 5-15 mg/jam5-10 menit
0,5-4 jam
I: stroke
KI: AHF, iskemia koroner, stenosis aorta
Enalaprilat1,25-5 mg tiap 6 jam
15-30 menit
6-12 jam
I: acute left ventricular failure,
KI: MI akut, hipotensi
Hydralazine Bolus 10-20 mg10-20 menit
1-4 jam
I: eklamsia
KI: takikardia dan iskemia koroner
FenoldopamInfus 0,1-0,3 µg/kgBB/mnt
<5 menit
30 menit
I: sebagian besar kasus KGD HT termasuk stroke
KI: glaukoma, takikardia, hipertensi portal
Diuretik
Furosemide Bolus 20-40 mg 2-5 2-3 jam KI: hipokalemia,
27
meniteklamsia, pheochromocytoma
Tabel 2. Obat Injeksi Parenteral yang dapat Digunakan untuk KGD HT Berdasar JNC 7
Obat Dosis Onset Duration of action
Sodium Nitropruside
0,25-10 µg/kgBB/mnt
Segera 1-2 menit setelah infus dihentikan
Sodium Nitropruside
5-500 µg/mnt 1-3 menit 5-10 menit
Labetolol HCl 2-80 mg tiap 10-15 mnt atau 0,5-2 mg/mnt
5-10 menit 3-6 menit
Fenoldopam HCl 0,1-0,3 µg/kgBB/mnt
<5 menit 30-60 menit
Nicardipine HCl 5-15 mg/jam 5-10 menit 15-90 menit
Esmolol HCl 250-500 µg/kgBB/mnt IV bolus, kemudian 50-100 µg/kgBB/mnt melalui infus, bolus dpt diulang setrlah 5 mnt atau infus dinaikkan 300 µg/mnt
1-2 menit 10-30 menit
Table 3. Obat yang Digunkan untuk KGD HT Chest
Manifestasi Klinis DOC
Edema Paru akut/disfungsi sistolik Nicardipine, fenoldopam atau nitropruside dikombinasi dg nitroglicerine dan loop diuretic
Edema Paru akut/disfungsi diastolik Esmolol, metoprolol, labetalol, verapamil, dikombinasi dg
28
nitroglicerine dosis rendah dan loop diuretic
Penyakit jantung koroner iskemik akut Labetalol/ esmolol dikombinasi dengan diuretic
Ensefalopati HT
Diseksi aorta akut
Nicardipine, labetalol, fenoldopam
Labetalol atau kombinasi dg nicardipine dan esmolol atau kombinasi nitropruside dg esmolol atau IV metoprolol
Preeklamsia, eklamsia
Gagal ginjal akut/anemia mikroangiopati
Krisis simpatis/overdosis kokain
Labetalol atau nicardipine
Nicrdipen atau fenoldopam
Verapamil, diltiazem, atau nicardipin dikombinasi dg benzodiazepine
HT post oprasi akut
Stroke iskemik akut/perdarahan intraserebral
Esmolol, nicardipine, labetalol
Nicardipin, labetalol, fenoldopam
Pada banyak penelitian Nicardipine terbukti efektif untuk mengontrol
tekanan darah pada perdarahan intraserebral. Nicardipine memiliki sifat
antihipertensi yang cepat dan stabil, bisa menurunkan tekanan darah
secara bertahap <25% dalam 2 jam. Di samping itu obat ini sebagai
vasodilator juga meningkatkan aliran darah ke organ vital seperti otak,
ginjal dan jantung.
Pada penelitian lain terapi nicardipine IV digunakan untuk
mempertahankan tensi antara 120 sampai 160 mmHg dalam 24 jam.
Penurunan tekanan sistolik sampai dengan ≤160 mmHg ditoleransi
dengan baik oleh penderita PIS akut. Selain itu, statistik pemberian
nicardipine IV pada 88 kasus PIS menyebabkan tekanan darah sistolik
dan diastolic rata-rata pasien dari awalan 170/100 menjadi 120/65 mmHg
dalam 6 jam hasilnya baik. Jadi penurunan tekanan darah secara agresif
29
kasus hipertensi akut pada penderita PIS adalah aman dan efektif dengan
angka penurunan gejala neurologis dan perluasan hematom yang rendah.
Tabel 4. Perbandingan Antara 3 Macam Kalsium Antagonis
DrugCoronary
Vasodilation
Supression
of Cardiac
Contractility
Supression
of SA
Node
Supression
of AV
Node
Verapamile
(phenylalkylamine)++++ ++++ +++++ +++++
Diltiazem
(benzhotiazepine)+++ ++ +++++ ++++
Nicardipine
(dihydropyridine)+++++ 0 + 0
Nicardipine dimulai dengan dosis kecil 0,5 ug/kgBB/mnt, 15 tetes,
dilakukan monitor 5-15 menit. Bila tidak terjadi penurunan tekanan
darah secara signifikan naikkan dosis sampai 20 tetes dan kemudian
naikkan secara bertahap sampai tercapai dosis yang diinginkan (naikkan
3-5 tetes per kali) sesering mungkin dilakukan monitor pada tekanan
darah dan detak jantung. Sebelum memutuskan beralik ke pemberian oral
maka obat oral diberikan dulu satu jam sebelum nicardipine dihentikan
dan setelah itu nicardipine diturunkan dosisnya. Nicardipine diberikan
bersamaan dengan larutan Sodium Chloride/NaCl 0,9%, Dextrose 5%,
Glucose 5%, Potacol-R’ Ringer Asetat, KN 1A/1B/4A. Nicardipine tidak
bias digunakan bersama Sodium Bicarbonat dan RL.
3. Elevasi kepala
Elevasi kepala terhadap tempat tidur sekitar 30 derajat dengan
manfaat menurunkan tekanan intraserebral. Harus diperhatikan bahwa
kepala harus berada ditengah.30
4. Pengaliran cairan serebrospinal
Peran ventrikulostomi kurang banyak diteliti dan hasilnya
sering dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi. Bila drainase
dilakukan dengan pengawasan yang ketat tekanan intracranial melalui
kateter maka drainase bisa dilakukan dengan efektif dan aman.
5. Analgesik dan sedasi
Obat yang sering dipakai adalah propofol, etomidate,
midazolam untuk sedasi dan morfin atau alfentanil untuk analgesik dan
antitissif.
6. Blokade neuromuskular
Apabila penderita tidak memberikan respon terhadap analgesik
dan sedasi mungkin bisa dipertimbangkan penggunaaan obat yang
menghambat neuromuskuler, sehingga bisa menutupi kejang, namun
meningkatkan resiko terjadinya pneumoni.
7. Terapi osmotic
Obat yang sering dipakai adalah manitol yang efektif untuk
menarik caoran dari jaringan otak yang mengalami edema ataupun tidak.
Manitol menurunkan viskositas darah dan bisa menyebabkan reflek
vasokonstriksi dan menurunkan volume vaskuler darah otak. Komplikasi
pemakaian obat ini adalah hipovolemi dan hiperosmotik. Osmolalitas serum
harus dipertahankan antara 300-320 mOSM/kg tetapi data mengenai
ambang batas tersebut belum diketahui.
Osmoterapi atas indikasi: manitol 0,25-0,50 gr/kgBB, selama
>20 menit, diulangi setiap 4-6 jam, kalau perlu diberikan furosemide
dengan dosis inisial 1 mg/kgBB IV.
8. Hiperventilasi
Cara ini merupakan cara yang efektif untuk menurunkan
tekanan intraserebri dengan reaktovasi CO2 pada pembuluh dara
intraserebral adalah mekanisme yang terlibat dalam pengaturan aliran darah 31
otak. Teatpi metode ini kurang disukai Karena dapat menyebabkan
berkurangnya aliran darah diotak. Target CO2 untuk merangsang
hiperventilasi adalah 30-35mmhg.
9. Barbiturat
Barbiturat dosis tinggi sangat efektif untuk menurunkan
hipertensi intraserebral yang refrakter tetapi tidak efektif dan sangat
merugikan bila dipakai sebagai obat utama pada kasus cedera otak. Cara
kerjanya adalah dengan menurunkan kerja metabolic otak, dan menurunkan
aliran darah otak sehingga menurunkan tekanan intracranial. penggunaan
obat ini harus dimonitpr Karena efek sampingnya adlah hipotensi.
10. Pengaturan kadar glukosa
Menurut AHA guidelines 2003 bahwa untuk penanganan
hiperglikemi dianjurkan untuk menjaga kadar gula darah tetap dibawah
300mg/dL (kurang dari 16,63 mmol/L)
11. Obat anti epilepsi
Kejang pada Perdarahan otak berhubungan dengan terdesaknya
jaringan otak yang menggeser garis tengan setelah terjadi Perdarahan
didalam jaringan otak. Obat yang digunakan dalam kasus tersebut adalah
benzodiazepin seperti lorazepam atau diazepam dilanjutkan dengan fos-
fenitoin atau fenitoin intravena. Pemberian obat antiepilesi setelah
terjadinya Perdarahan intraserebral akan mengurangi resiko terjadinya
kejang awal terutama pada penderita yang mengalami Perdarahan didaerah
lobus. Pemberian sebaiknya secara intravena lalu dilanjutkan dengan per
oral setelah Pasien pulang.
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 5-20 mg dan
diikuti phenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50 mg/menit.
32
Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat
antiepilepsi profilaksis, selama 1 bulan dan kemudian diturunkan dan
dihentikan bila kejang tidak ada.
12. Penatalaksanaan suhu tubuh
Suhu otak diketahui adalah sebagai faktor yang bisa
menyebabkan iskemi pada otak. Penelitian menunjukan bahwa hipotermi
menyebabkan pengurangan insiden kerusakan pada otak. Mekanismenya
adalah dengan menurunkan metabolisme otak sehingga penggunaan
glukosa juga berkurang pada kasus yang membutuhkan oksigenasi.
Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati
dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya. Beri asetaminophen 650 mg
bila suhu lebih dari 38,5ºC
b. Rekomendasi untuk Pencegahan Deep Vein Trombosis dan
Emboli Paru
Deep vein trombosis (DVT) dan emboli paru merupakan
penyebab kematian dan kesakitan yang bisa dicegah pada penderita dengan
perdarahan intraserebral akut. Yang menjadi masalah adalah bagaimana
mencegah atau mengobati DVT tanpa meningkatkan resiko terjadinya
Perdarahan ulang. Sebelum melakukan DVT harus dipastikan bahwa
hipertensi sudah bisa dikontrol. Setelah ada tanda Perdarahan berhenti,
maka bisa diberikan low molecular weight heparin dosis rendah secara
subkutan atau unfractionated heparin pada penderita dengan hemiplegi pada
hari ke3 dan ke4. Penderita dengan Perdarahan intraserebral dan terjadi
trombosis vena proksimal yang akut dan klinisnya sesuai dengan emboli
paru harus dipasang filter vena cava.
33
c. Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral Akut Akibat
Koagulasi dan Fibrinolisis dan Pemberian Kembali Terapi
Antitrombosis
Perdarahan intraserebral akibat warfarin biasanya berhubungan
dengan umur, riwayat hipertensi dan ontensitas dari antikoagulasi.
Peningkatan INR antara 2-3 berubungan dengan peningkatan angka
kejadian Perdarahan intracranial. resiko meningkat setiap kali peningkatan
0,5. Penatalaksanaan yang cepat untuk mengatasi gangguan koagulasi untuk
memperlkecil Pertumbuhan hematom dan kemungkinan pemberian obat
anti koagulasi lagi. Tindakan untuk menanggulangi efek warfarin adalah
dengan vitamin K, fresh frozen plasma (FPP) protrombin complex
concentrate dan r-FVIIa. Vitamin K dibveri secara intravena dengan dosis
10mg. Sebaiknya vitamin dikombinasi dengan FPP dengan dosis 15-
20mm/kg dalam beberapa jam. protrombin complex concentrate
mengandung kadar vitamin K dependen factors (II.,VII, X). Preparat ini
mempunyai volume lebih kecil dari FPP dan bisa mengoreksi masalah
koagulasi lebih cepat. Kerugiannya meliputi induksi tromboemboli,
merangsang terjadinya DVT dan emboli paru dan juga trombosis arteri
sampai dessiminated intravascular coagulation.
Kemampuan r-FVIIa untuk menormalkan INR pada penderita
yang mendapat warfarin bisa menjadi pertimbangan untuk menggunakan
obat tersebut pada Perdarahan intraserebral spontan akibat warfarin
Keputusan untuk memberi terapi antitrombotik setelah terjaidnya
Perdarahan intraserebral tergantung dari resiko terjadi emboli dan
perdarahan.
d. Perdarahan Intraserebral Akibat Fibrinolisis
Pengobatan obat trombolitik untuk penderita stroke infark
seringkali diikuti dengan Perdarahan intraserebral sebanyak 3-9% penderita
yang diberikan tisu type plasminogen activator (tPA) dan sebanyak 6% 34
penderita yang diterapi dengan tPA intravena dan intraarterial. Perdarahan
intraserebral akibat penggunaan fibrinolisis kurang baik prognosanya
Karena Perdarahan yang bersifat massif dan multifocal DNA kematian
dalam 30 hari lebih dari 60.
e. Rekomendasi untuk Penatalaksanaan Perdarahan intraserebral
akibat penggunaan obat antikoagulan dan fibrinolisis
Protramin sulfat sebaiknya digunakan untuk mengatasi efek heparin
dengan dosis tergantung dari kapan pemberian heparin dihentikan.Penderita
dengan oerdarahan akibat warfarin harus diberi vitamin K dahulu ditambah
obat untuk mengganti faktor pembekuan. Protrombin kompleks konsentrat,
faktor IX komplek/X konsentrat dan r-FVIIa bekerja dengan menormalkan
nilai INR dengan jmlah volume yang tidak terlalu banyak bila dibandingkan
dengan aengunaan FPP. Keputusan untuk memberikan obat anti trombotik
lagi setelah Perdarahan tergantung dari Pasien keseluruhan. Pada Pasien
yang sangat memerlukan terapi terutama yang bisa terjadi tromboemboli
bisa diberikan warfarin mulai dari 7 sampai 10 hari setelah terjadinya stroke
perdarahan.
f. Terapi bedah untuk Perdarahan intraserebral
Rekomendasinya dalah sebagai berikut :
- Penderita dengan Perdarahan otak kecil >3cm yang mengalami
penurunan neurologis
- Pada penderita yang mengalami kompresi dan hidrosefalus akibat
obstruksi ventrikel sebaiknya dilakukan tindakan bedah secepat mungkin
Meskipun pemberian urokinase secara infus stereostatik kedalam
rongga bekuan dalam 72 jam pertama bisa mengurangi bekuan darah dan
resiko kematian tetapi resiko terjadinya Perdarahan ulang masih besar
sehingga terapi akhir belum diketahui. Terapi minimal invasuf adalah untuk
membuang bekuan darah masih dipertanyakan hasilnnya. Pada penderita
dengan bekuan darah dijaringan otak yang berada 1cm dari permukaan 35
maka dilakukan evakuasi supratentoral dengan cara kraniotomi dalam
waktu 96 jam setelah onset tidak dianjurkan.
g. Rekomendasi yang Tepat untuk Melakukan Pembedahan
Tidak ada bukti yang kuat bahwa dengan melakukan tindakan
kraniotomi akan menurunkan angka kematian. Kraniotomi kurang dari 12
jam dengan menggunakan metode non invasive terbukti efektif. Kraniotomi
dini akan meningktkan resiko perdarahan ulang. Kraniotomi semakin lama
akan semakin memperburuk keadaan pasien.
2.9 Pencegahan
Pencegahan stroke adalah hal yang sangat penting pada kelompok
umur muda demi masa depan mereka. Tidak ada salah satu cara yang
efektif dalam mencegah stroke pada tingkat umur ini. Pada umumnya
mengubah faktor resiko adalah pencegahan terbaik. Pencegahan utama
adalah dengan periksa rutin hipertensi, gula darah, berhenti merokok,
olahraga, turunkan berat badan, makan makanan bergizi sehat. (Furie et al,
2011). Tidak ada rekomendasi khusus untuk kelompok umur ini.
Pengobatan hioertensi adalah cara terbaik untuk mencegah Perdarahan
ulang. Beberapa faktor seperti alcohol, merokok, dan penggunaan kokain
adalah faktor resiko yang harus dihilangkan untuk mencegah perdarahan
ulang.
2.10 Diagnosis Banding
Meliputi penyakit yang menyebabkan kelumpuhan :
- Hipo/hiperglikemi
- Hematom subdural
- Periodik paralisis
36
- Multiple sclerosis
- Kejang fokal
- KOntusio serebri
- Ensefalitis
- migrain hemiplegik
- Radikulopati
- Neuropati
- Kelainan NMJ
- Wernicke ensefalopati
2.11 Prognosis
Prognosis tergantung dari letak dan luasnya lesi. Besarnya volume
Perdarahan dan nilai GCS saat masuk rumah sakit sangat menentukan
prognosis kematian dalam 30 hari. Lokasi di kortex, disfungsi neurologis
sedang dan kadar fibrinogen rendah akan menghasilkan prognosis yang
baik (Broderick et al, 2007) Beberapa faktorr yang menetukan prognosis
adalah tingkat kesadaran saat kejadian, ukuran hematom, penyebaran
intraventrikuler (Daverat et al, 1991)
Angka kematian stroke Perdarahan dalam 30 hari berkisar antara 20-
36 % untuk Perdarahan otak (Jacobs et al, 2002) Broderik dkk menyatakan
bahwa angksa kematian 30 hari pertama adalah 35-52% setngah dari angka
tersebut terjadi pada dua hari pertama. Angka kematian 1 tahun pertama
untuk Perdarahan intraserebral bervariasi tergantung lokasi, 51% untuk
lokasi dalam, 57% untuk lobar, 42% untuk serebelar, dan 65% untuk batang
otak (Flaherty et al, 2006)
Prognosis diseksi aorta lebih baik daripada diseksi vertebra. 10%
penderita dengan diseksi arteri vertebra meninggal pada fase akut sekunder
akibat PIS. Biasanya disebabkan pseudoaneurisma dan prognosisnya lebih
37
buruk disbanding diseksi ekstrakranial Karena bisa menyebabkan
Perdarahan subaraknoid di fossa posterior dan kemungkinan terjadinya
Perdarahan ulang. (Hart and Easton, 1985; Blunt and Galton, 1997).
2.12 Komplikasi
Komplikasi pada PIS sering terjadi dan menyebabkan gejala
kliniknya menjadi semakin memburuk. Tanda-tanda komplikasi harus
dikenali sejak dini sehingga dapat dicegah agar tidak semakin buruk
dan dapat menentukan terapi yang sesuai.
Komplikasi pada stroke yaitu:
1. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama):
Edema serebri: Merupakan komplikasi yang umum terjadi,
dapat menyebabkan defisit neurologis menjadi lebih berat,
terjadi peningkatantekanan intrakranial, herniasi dan akhirnya
menimbulkan kematian.
Abnormalitas jantung: Kelaianan jantung dapat menjadi
penyebab, timbul bersama atau akibat PIS, merupakan
penyebab kematian mendadak pada stadium awal. Sepertiga
sampai setengah penderita PIS menderita gangguan ritme
jantung.
Kejang: kejang pada fase awal umumnya akan memperberat
defisit neurologis.
Nyeri kepala
Gangguan fungsi menelan dan asprasi
2. Komplikasi jangka pendek (1-14 hari pertama):
Pneumonia: Akibat immobilisasi yang lama, merupakan salah
satukomplikasi stroke pada pernafasan yang paling sering,
terjadi kurang lebihpada 5% pasien dan sebagian besar terjadi
pada pasien yang menggunakanpipa nasogastrik.38
Emboli paru: Cenderung terjadi 7-14 hari pasca serangan,
seringkali pada saat penderita mulai mobilisasi.
Perdarahan gastrointestinal: Umumnya terjadi pada 3% kasus
stroke. Dapat merupakan komplikasi pemberian
kortikosteroid. Dianjurkan untuk memberikan antagonis H2
pada pasien ini.
Stroke rekuren.
Abnormalitas jantung
Stroke dapat menimbulkan beberapa kelainan jantung berupa:
-Edema pulmonal neurogenik
-Penurunan curah jantung
-Aritmia dan gangguan repolarisasi
Deep vein Thrombosis (DVT)
Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia urin
3. Komplikasi jangka panjang
Stroke rekuren
Abnormalitas jantung
Kelainan metabolik dan nutrisi
Depresi
Gangguan vaskuler lain: penyakit vaskuler perifer.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baehr, M. Frotscher, M. 2005. Diagnosis Topik Neurologi
DUUS. New York. Thieme.
2. Broderick JP, Adams HP, Barsan W, et al. Guidelines for the
management of spontaneous intracerebral hemorrhage: a
39
statement for healthcare professionals from a special writing
group of the Stroke Council, American Heart Association. Stroke
1999;30:905-915.[Full Text]
3. Copstead, Lee-Ellen. C., dan Banasik, Jacquelyn. L. 2005,
Pathophysiology Third Edition, Elsevier Inc. Saunders
4. Netter FH. 2006. Atlas of Human Anatomy, 4th edition. USA :
Saunders, 2006.136
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2007. Guideline
Stroke 2007. Jakarta: PERDOSSI.
6. Ropper, A.H., Brown, R.H., 2005. Adams and Victor's Principles
of Neurology. 8th Ed. New York: McGraw-Hill.
7. Sugianto P, 2014. Management Hemorrhagic Stroke In Young
Adult Patients. Clinical practice in neurology. Surabaya.
8. Sugianto P, 2014. Management of Hypertension in Acute
Hemorrhagic Stroke. Surabaya.
9. Taylor TN, Davis PH, Torner JC. Projected number of strokes by
subtype in the year 2050 in the United States. Stroke
1998;29:322-322.abstract
10. World Health Organization, 2005. WHO STEPS Stroke Manual:
The WHO STEPwise Approach to Stroke Surveillance. World
Health Organization.
40