Post on 02-Dec-2015
description
TUGAS
MAKALAH ULUMUL HADIST
TENTANG
SEJARAH HADIST PRA-KODIFIKASI
MASA ROSULULLAH DAN SAHABAT
Oleh
EKO SUPRIADI
NIM.088121637
Desen pemimbing
Prof. Dr. H. EDI SYAFRI
KOSENTRASI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
2012 M / 1433 H
SEJARAH HADITS MASA PRA KODIFIKASI
A. Pendahuluan
Sejarah adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari peristiwa penting masa
lalu. Pengetahuan sejarah meliputi pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah
lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara histories. Hadits adalah segala
perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW.
Masa pra kodifikasi hadits berarti masa sebelum hadis dibukukan, dimulai dari
sejak munculnya hadits pertama yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dengan
rentang waktu yang dilalui masa pra kodifikasi ini mencakup dua periode penting
dalam sejarah transmisi hadits, yaitu periode rasulullah saw dan periode Sahabat.
Pada dua periode ini metode transmisi yang digunakan kebanyakan adalah metode
lisan. Meskipun demikian, tidak sedikit juga para Sahabat yang melakukan
pencatatan hadits secara personal, walaupun pada permulaan turunnya wahyu,
Rasulullah Saw pernah melarang para sahabat untuk mencatat selain al-Quran. Akan
tetapi larangan tersebut bukanlah larangan yang bersifat mutlak, atau larangan
tersebut merupakan larangan yang bersifat sementara, sampai para Sahabat benar-
benar dapat membedakan antara Al-Quran dan Al-Hadis. Hal itu terbukti dengan
adanya beberapa Sahabat yang mendapatkan izin dari beliau untuk melakukan
pencatatan hadits, seperti Abdullah bin Amr ra, Rafi' bin Khadij ra, dan Abu Syah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada masa pra kodifikasi ini sebagian besar
hadits telah ditransmisikan melalui lisan dan hafalan. Namun hal ini sama sekali
tidak mengurangi tingkat keotentikan hadits-hadits tersebut. Karena para Sahabat
yang menjadi agen transmiter dalam hal ini, disamping sosok mereka yang sangat
loyal terhadap Rasul SAW dan terpercaya, mereka juga dikaruniai hafalan yang kuat,
sehingga dengan itu, kemampuan mereka untuk mentransmisikan hadits dari
Rasulullah Saw secara akurat tidak diragukan lagi.
Kajian terhadap hadits terutama sejarahnya dalam dunia Islam, tidak terlepas
dari upaya umat Islam dalam melakukan pembelaan atau pemeliharaan dan
sanggahan terhadap sangkaan-sangkaan negative dari kalangan orientalis terhadap
2
keaslian hadits. Sehubungan dengan itu, kita harus melakukan kajian terhadap as-
Sunnah dan meneliti aspek sejarahnya. Yaitu sejarah perkembangan hadits mulai dari
zaman Rasulullah SAW sampai dibukukan seperti yang terdapat pada masa sekarang
ini. Proses pembukuan hadits ini disebut dengan kodifikasi (tadwin).
B. Sejarah Hadits Pra Kodifikasi
Sejarah hadits pra kodifikasi maksudnya adalah sejarah hadits sebelum
dibukukan, mulai dari zaman Rasul sampai pada masa ditetapkannya pembukuan
hadits secara resmi (tadwin). Masa ini dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu, hadits
periode Rasulullah SAW dan periode shahabat.
Pada dua periode ini metode transmisi yang digunakan kebanyakan adalah
metode lisan. Meskipun demikian, tidak sedikit juga para Sahabat yang melakukan
pencatatan hadits secara personal, walaupun pada permulaan turunnya wahyu,
Rasulullah Saw pernah melarang para sahabat untuk mencatat selain al-Quran. Akan
tetapi larangan tersebut bukanlah larangan yang bersifat mutlak, atau larangan
tersebut merupakan larangan yang bersifat sementara, sampai para Sahabat benar-
benar dapat membedakan antara al-Quran dan al-Hadis. Hal itu terbukti dengan
adanya beberapa Sahabat yang mendapatkan izin dari beliau untuk melakukan
pencatatan hadits, seperti Abdullah bin Amr ra, Rafi' bin Khadij ra, dan Abu Syah.
Dari sini dapat pahami bahwa pada masa pra kodifikasi ini sebagian besar
hadits telah ditransmisikan melalui lisan dan hafalan. Namun hal ini sama sekali
tidak mengurangi tingkat keotentikan hadits-hadits tersebut. Karena para Sahabat
yang menjadi agen transmiter dalam hal ini, disamping sosok mereka yang sangat
loyal terhadap Rasul Saw dan terpercaya, mereka juga dikaruniai hafalan yang kuat,
sehingga dengan itu, kemampuan mereka untuk mentransmisikan hadits dari
Rasulullah SAW secara akurat tidak diragukan lagi. Selain itu sejumlah Sahabat juga
telah mentransmisikan hadits melalui catatan-catatan yang mereka buat hal itu dapat
dibuktikan dengan adanya bebrerapa shahifah yang pernah ditulis pada rentang masa
tersebut.
1. Hadits Periode Rasulullah SAW.
Urgensi hadis dalam penentuan sikap terhadap berbagai makna yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Quran atau sebagai kewenangan tersendiri bagi
3
Rasulullah SAW, bagi para sahabat, memiliki kedudukan yang khas dan sejarah
tersendiri yang tidak bisa lepas dari aspek budaya dan peradaban saat itu. Sikap
para sahabat tersebut, ditinjau dari aspek kebudayaan saat itu, meliputi dua titik
persoalan yang utama, yakni perhatian dan tradisi mereka terhadap budaya lisan
dan tulisan. Kedua aspek ini, dalam salah satu tinjauan riwayat Abu Hurairah,
berlaku secara bersamaan dan menjadi tradisi yang mengakar bagi generasi
selanjutnya. Dalam Shahih al-Bukhari Kitab al-Ilmu, Bab Kitabah al-ilm
dinyatakan bahwa Abu Hurairah pernah berkata, "Tidak ada seorang pun sahabat
Nabi Saw yang lebih banyak hadisnya daripada diriku selain Abdullah bin Amr,
karena ia menulis sedangkan aku tidak". (Shahih al-Bukhari)
Pada periode ini sejarah hadits disebut masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat Islam1. Hasbi Ash Shiddiqiey mengatakan bahwa pada
saat itulah hadits lahir berupa sabda aqwal, af’al dan taqrir yang berfungsi
menerangkan al-Qur’an dalam rangka menegakkan syari’ah Islam dan
membentuk masyarakat Islam. 2
Segala hal yang berkaitan dengan umat Islam, yang kecil maupun yang
besar, dan segala yang menyangkut pribadi dan jamaah dalam berbagai lapangan
kehidupan yang tidak disebut dalam al-Qur’an, tercakup dalam As-Sunnah:
amaliyah (perbuatan), qauliyah (ucapan), atau taqririyah (izin).3
Dari sinilah kita menemukan hukum-hukum, norma-norma akhlak, ibadah-
ibadah, dan cara mendekatkan diri kepada Allah yang disyari’atkan, dipraktekkan
dan disunnahkan selama seperempat abad.
Dalam membina para shahabat, Rasulullah SAW menjadikan rumah al-
Arqam sebagai tempat pembinaan para shahabat pada masa-masa dakwah secara
sembunyi-sembunyi. Kaum muslimin generasi awal berkerumun di sekeliling
beliau, jauh dari kaum musyrikin untuk mempelajari kitab Allah SWT. Kepada
mereka beliau mengajarkan dasar-dasar Islam dan menyampaikan wahyu al-
Qur’an. Setelah itu tempat tinggal Rasulullah SAW di Makkah menjadi tempat
1 Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 332 Ibid3 M. Ajaj aL-Khatiib: penterjemah AH. Akrom Fahmi, Sunnah Qabla Tadwin,(Jakarta: Gema
Insani Press, 1999), Cet. 1, h. 724
barkumpul (nadwah) dan institusi (ma’had) mereka untuk menerima al-Qur’an dan
menyerap hadits yang mulia, lansung dari Rasulullah SAW.4
Segala gerak gerik beliau mereka jadikan pedoman hidup. Oleh karena itu
para shahabat sangat bersungguh-sungguh dalam menerima segala yang diajarkan
Nabi SAW baik berupa wahyu al-Qur’an maupun haditsnya. Dan disamping
dorongan keagamaan, mereka juga mempunyai hafalan yang kuat, ingatan yang
teguh serta mempunyai kecerdasan dan kecepatan dalam memahami sesuatu.5
Penerimaan hadits secara lansung misalnya sewaktu nabi memberikan
ceramah, pengajian, khutbah dan penjelasan terhadap pertanyaan para shahabat.
Adapun yang tidak lansung, seperti mendengar dari shahabat lain atau dari utusan-
utusan, baik dari utusan Nabi SAW ke daerah-daerah atau utusan daerah yang
datang kepada Nabi SAW.6 Para shahabat setelah menerima hadits Nabi SAW
dalam memelihara hadits-hadits yang mereka terima, mereka berpegang pada
kekuatan hafalan.7
Adapun Para shahabat yang banyak menerima hadits dari Nabi SAW
antara lain8:
1. Yang mula-mula masuk Islam (assabiqunal awwalun), seperti: Abu Bakar,
Umar, Usman, Ali, Abdullah bin Mas’ud. Mereka banyak menerima hadist
dari Rasull SAW.
2. Yang selalu menyertai Nabi SAW dan berusaha keras menghafalnya,
sepertia; Abu Hurairah; yang mencacatnya, seperti : Abdullah ibn Amr ibn
Ash.
3. Yang lama hidupnya sesudah Nabi SAW., dapat menerima hadits dari sesame
shahabat, seperti: Anas ibn Malik, Abdullah ibn Abbas.
4. Yang erat hubungannya dengan Nabi SAW, yaitu ummu al-Mu’minin, seperti
Aisyah, Ummu Salamah.
Pada masa Nabi dalam rangka memelihara al-Qur’an, Nabi SAW
menyuruh para shahabat menghafal dan menulisnya, serta secara resmi mengankat
4 Ibid, h. 735 Endang Soetari, op.cit, h. 346 Ibid7 Raja’ Mushthafa Hazin, A’lam al-Muhaddisin wa nahijuhum. (Kairo: Univesitas al-Azhar, t.th),
h. 208 Ibid, h. 35
5
penulis wahyu yang bertugas mencatat setiap ayat al-Qur’an yang turun atas
petunjuk lansung dari Nabi SAW, sehingga sepeninggal Nabi SAW seluruh ayat
al-Qur’an sudah tercatat walau belum terkumpul dalam suatu mush-haf.
Terhadap Hadits, Nabi memerintahkan untuk dihafal dan ditablighkan
dengan tidak boleh sama sekali mengubahnya, tapi tidak menyelenggarakan
penulisan secara resmi seperti penulisan al-Qur’an.
Sebab-sebab penulisan Hadits tidak diselenggarakan secara resmi pada
masa Nabi SAW. adalah:
1. Agar tidak ada kesamaran terhadap al-Qur’an dan menjaga agar tidak
bercampur antara catatan al-Qur’an dengan hadits. Karena al-Qur’an dihafal
dan ditulis sedangkan hadits dihafal juga.
2. Pencatatan al-Qur’an yang beransur-ansur turunnya memerlukan perhatian dan
pengerahan tenaga penulis yang kontinyu, sedang shahabat yang pandai
menulis sangat terbatas, maka tenaga yang ada dikhususkan untuk menulis al-
Qur’an.
3. Menyelenggarakan pemeliharaan hadits dengan hafalan tanpa tuliasan secara
keseluruhan berarti memlihara kekuatan hafalan di kalangan umat islam atau
bangsa Arab yang sudah terkenal kuat hafalannya.
4. Penulisan hadits dengan segala ucapan, amalan, muamalah dan sebagainya
merupakan hal yang sulit sekali secara teknis, dibutuhkan adanya penulis yang
harus terus menerus menyertai Nabi SAW dalam segala hal.9
2. Masalah larangan dan kebolehan menulis hadits
M. Ajaj Al-Khatib di dalam bukunya As-Sunnah qabla at-Tadwin
mengemukakan hadits-hadits Rasulullah SAW, tentang penulisan hadits, baik
yang melarang penulisan maupun yang membolehkannya.
1. Hadits-hadits yang melarang Penulsan Hadits
a. Abu Sa’id al-Hudzri meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
�ىتالتك ان القر غير سيئا عّن�ى كتب فمن القران غير سيئا بواعّن
.فليمحه
9 Ibid6
Artinya: “Janganlah kalian menulis (hadits) dariku, dan barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya.”
Ini adalah hadits Rasulullah SAW yang paling shahih tentang larang
menulis hadits.10
b. Abu Sa’id al-Khudzri berkata, Kami memohon kepada Rasulullah SAW.
agar beliau mengizinkan kami menulis, namun beliau tidak mengizinkan.
Dalam suatu riwayat dikatakan, Kami meminta izin Kepada Nabi SAW.
untuk menulis hadits, namun beliau tidak mengizinkan.
c. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW mendatangi
kami dan kami sedang menulis hadits. Kemudian beliau bertanya: Apa yang
dengang kelian tulis ini? Kami menjawab, Kami menulis hadits yang kami
dengar dari engkau, ya Rasulullah SAW. beliau bersabda:
Artinya :“Tulisan selain kitab Allah? Apakah kalian mengetahui? Bangsa-bangsa sebelum kalian tidak sesat kecuali karena menulis tulisan lain bersama Kitab Allah SWT”.
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasulullah SAW berpesan
kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Hadist
serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya :
�ه نبي وسّنة الله كتاب بهما تمّس�كم ما �وا تمل لن يى أمر فيكم تركت
Artinya "Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Qur'an) dan sunnahku (al-Hadist) " H.R Malik
Pesan-pesan Rasul SAW sangat mendalam pengaruhnya kepada para
sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk
melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada
Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.
2. Hadits yang membolehkan menuliskan hadist
Disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang
membolehkan penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
10 M. Ajaj AL-Khatiib: penterjemah AH. Akrom Fahmi, loc. cit, h. 3457
االالحق فمن من خرج ما بيده نفس الذى فو �ى عّن .اكتب
Artinya: “Tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam
kekuasaanNYA, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak".
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama
mengkompromikannya sebagai berikut:
a. Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk
memelihara agar hadist tidak tercampur dengan al-Qur'an. Tetapi setelah itu
jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal al-
Qur'an, maka hukum larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah
yang membolehkannya.
b. Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan
menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis
menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan
dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin Ash.
c. Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya
dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang
yang tiak kaut hafalannya.
3. Periode sahabat (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali)
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat,
khususnya masa Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn
Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa
ini juga disebut dengan sahabat besar.11
Para shahabat mengetahui kedudukan as-Sunnah sebagai sumber syari’ah
pertama setelah al-Qur’an. Mereka tidak mau menyalahi as-Sunnah jika as-
Sunnah itu mereka yakini kebenarannya, sebagaimana mereka tidak mau
berpaling sedikitpun dari as-Sunnah warisan beliau. Mereka berhati-hati dalam
meriwayatkan hadits dari Nabi SAW karena khawatir berbuat kesalahan dan takut
as-Sunnah yang suci itu ternodai oleh kedustaan atau pengubahan. Oleh karena itu
mereka menempuh segala cara untuk memelihara hadits, mereka lebih memilih
bersikap “sedang dalam meriwayatkan hadits” dari Rasulullah., bahkan sebagian
11 Muzier Suparta. Ulumul Hadist (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 79 8
dari mereka lebih memilih bersikap “sedikit dalam meriwayatkan hadits”.12
Periode shahabat disebut dengan Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwayah
yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat.13
Dalam prakteknya, cara shahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni14:
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW
yang mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi SAW
(Redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para
sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar
periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat
Ibnu Umar
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan
lafazhnya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi SAW.
Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak persis
sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau
maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasul SAW tanpa ada perubahan.
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan
hadits Nabi.
a. Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M),
Abu Bakar merupakan shahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-
hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan
atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang
nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifah Abu
Bakar, meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar
menjawab, bahwa ia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan prektek Nabi yang
memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada
para shahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar,
bahwa Nabi telah memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar
12 M. Ajaj AL-Khatiib: penterjemah AH. Akrom Fahmi, loc. cit, h. 12413 Endang Soetari, loc. cit. 3014 Ibid, h. 46
9
seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetabkan
kewarisan nenek itu. Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar
al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah
memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya
Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam
bagian berdasarkan hadits Nabi SAW yang disampaikan oleh al-Mughirah
tersebut.15
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadits
terlihat pada tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits
miliknya. Putri Aisyah, menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan
yang berisi sekitar lima ratus hadits. Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar
menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu karena dia khawatir berbuat
salah dalam periwayatan hadits.16 Hal ini menjadi bukti sikap kehati-hatian
Abu Bakar dalam periwayatan hadits.
Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits dikalangan umat Islam
pada masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi,
karena pada masa pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan
pada berbagai ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan
Negara. Berbagai ancaman dan kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan
pemerintah.
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu
Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan
umat Islam. Walaupun demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam
dalam periwayatan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar,
yakni sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada
pemerikasaan hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat.
b. Umar bin al-Khatthab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadits. Hal ini terlihat,
misalnya, ketika umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin
Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para
15 Ibid. h. 4216 Ibid, h.43
10
shahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula
hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar
berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah
berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam
periwayatan hadits ini.
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh
Abu Musa al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain.17 Kesemua itu
menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan hadits. Disamping itu,
Umar juga menekankan kepada para shahabat agar tidak memperbanyak
periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu
konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an.
Kebijakan Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak
periwayatan hadits, sesungguhnya tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang
para shahabat meriwayatkan hadits. Larangan umar tampaknya tidak tertuju
kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan agar masyarakat lebih
berhati-hati dalam periwayatan hadits, agar perhatian masyarakat terhadap al-
Qur’an tidak tergangu. Hal ini diperkuat oleh bukti-bukti berikut ini18:
1) Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari
hadits Nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih menetahui tentang
kandungan al-Qur’an.
2) Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi, Ahmad bin Hanbal
telah meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga
ratus hadits. Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama
shahabat dan tabi’in terkenal yang telah meneriam riwayat hadits Nabi dari
Umar. Ternyata jumlahnya cukup banyak.
3) Umar pernah merencanakan menghimpun hadits nabi secara tertulis. Umar
meminta pertimbangan kepada para shahabat. Para shahabat menyetujuinya.
Tetapi satu bulan umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan
melakukan shalat istikharah, akahirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia
khawatir himpunan hadits itu akan memalingkan perhatian umat Islam dari
17 Ibid18 Ibid, h .46
11
al-Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak nenampakkan larangan
terhadap periwayatan hadits. Niatnya menghimpun hadits diurungkan bukan
karena alas an periwayatan hadits, melainkan karena factor lain, yakni takut
terganggu konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada
zaman Umar bin al-Khatthab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila
dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Hal ini bukan hanya disebabkan
karena umat islam telah lebih banyak menghajatkan kepada periwayatan hadits
semata, melainkan juga karena khalifah Umar telah pernah memberikan
dorongan kepada umat islam untuk mempelajari hadits Nabi. Dalam pada itu
para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam melakukan periwaytan
hadits, karena Umar telah melakukan pemeriksaan hadits yang cukup ketat
kepad para periwayat hadits. Umar melakukan yang demikian bukan hanya
bertujuan agar konsentrasi umat Islam tidak berpaling dari al-Qur’an,
melainkan juga agar umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam
periwayatan hadits. Kebijakan Umar yang demikian telah menghalangi orang-
orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan-pemalsuan hadits.
c. Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya.
Hanya saja, langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar bin Khatthab.
Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits.
Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat Usman
sekitar empat puluh hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang terulang,
karena perbedaan sanad. Matan hadits yang banyak terulang itu adalah hadits
tentang berwudu.19 Dengan demikian jumlah hadits yang diriwayatkan oleh
Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin
Khatthab.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman Usman bin
Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak
dibandingkan bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman
19 Ibid, h. 47 12
Umar bin Khatthab. Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada
umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu
tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap
“longgar” dalam periwaytan hadits. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi
Usman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah makin
luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan
pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.
d. Ali bin Abi Thalib.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan sikap para
khalifah pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah
bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang
bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu
benar-benar dari Nabi SAW hanyalah terhadap yang benar-benar telah
diparcayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah
dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat muthlak keabsahan
periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang
menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi.
Hadits yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk
tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman
denda (diyat), pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan
larang melakukan hukum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang
membunuh orang kafir 20.
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat Ali bin
Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits. Sebagian mant dari hadits tersebut
berulang-ulang karena perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad
Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadits yang terbanyak bila
dibandingkan dengan ke tiga khalifah pendahulunya.21
Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan
periwayatan hadits pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib sama dengan pada
20 Ibid, h. 4821 Ibid
13
zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah
berbeda dengan siatuasi pada zaman sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentang
politik dikalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan antara
kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini
membawa dampak negative dalam bidang kegiatan periwayatan hadits.
Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.22
Para shahabat tidak melakukan penulisan hadits secara resmi, karena
pertimbang-pertimbangan:23
a. Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian
shahabat masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak
pada urusan pengumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi mush-haf.
b. Para shahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis
hadits
C. Penutup
1. Dalam masalah penulisan hadits terdapat larangan menulis hadits yang berlaku
secara umum karena dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’an, sementara
bagi orang yang tidak dikhawatirkan terjadinya percampuran maka menulis
hadits dibolehkan secara perorangan.
2. Ada dua cara shahabat menerima hadits dari Rasulullah SAW yaitu secara
lansung (musyaddah), dan secara tidak lansung (musyafahah),
3. Sejarah hadits pada masa shahabat tidak jauh berbeda dengan sejarah hadits pada
masa rasulullah SAW, bahkan pada masa shahabat dilakukan penyedikitakan
riwayat , dengan tujuan memlihara kemurnian hadits.
4. Pada masa shahabat, dalam menerima hadits mereka sangat teliti. Dalam
membuktikan kebenaran hadits, dibuktikan dengan saksi dan sumpah.
22 Ibid, h. 4923 Endang Soetari, loc. cit, 41-46
14
DAFTAR PUSTAKA
AL-Khatiib,M. Ajaj, Sunnah Qabla Tadwin,(Jakarta: Gema Insani Press, 1999),
Cet. 1
al-Khattan, Manna, Mabahits fi Ulum al-Hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1992).
Ash Shiddieqy, Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Yogyakarta: Bulan
Bintang, 1974)
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya; Pustaka
M. Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2003)
Ibn Muthar al-Zahrani, Muhammad, Tadwin As-Sunnah An-Nabawiyah (Madinah:
Dar el-Khudairy, 1998)
Ismail, Syuhudi, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995)
Saputra, Munzier, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
Soetari AD, Endang, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997)
Yudianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung:[ttp], 2006).
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989)
Progresif, 1997)
15