Post on 14-Jun-2015
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 1
REFORMULASI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
(Kajian Pemikiran Mahmud Syaltut)
Oleh : Chamim Thohari, M.Ag.
Abstraksi
Sejalan dengan akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), jantung pemikiran
Islam telah mengalami pergeseran, terutama istinbath hukum yang lahir dari situasi dan
kondisi yang tradisonal dan linear. Sehingga pemikiran hukum Islam, terkadang sudah
kehilangan relevansinya dengan semangat zaman yang terus semakin berkembang ini. Atas
dasar itulah, tulisan ini ingin menghadirkan “kreasi baru” tentang reformulasi pemikiran
hukum Islam yang digagas oleh Mahmud Syaltut. Setidaknya, ada empat bidang pokok
persoalan yang mampu penulis hadirkan dalam tulisan ini.
Kata Kunci :
Reformulasi, Hukum Islam,
PENDAHULUAN
Mahmud Syaltut adalah seorang pakar di bidang hukum Islam Mesir yang pernah
menerima gelar kehormatan akademis (doktor honoris causa) dari IAIN Sunan Kalijaga
Yokyakarta. Sosok dan cakrawala pemikirannya telah benar-benar memancarkan kedalaman
pengetahuan dan kearifan dalam menangkap makna pesan ajaran Islam (al-Qur`ân dan as-
Sunnah) ketika menghadapi perubahan dan perkembangan zaman, terutama di bidang hukum
Islam.
Reformulasi pemikiran hukum Islam yang dilakukan Syaltut merupakan langkah yang
dinanti sejak lama dan sangat dibutuhkan hukum umat Islam untuk memberikan solusi
terhadap masalah-masalah kontemporer yang selalu berkembang, selaras dengan
perkembangan karakter budaya dan ilmu pengetahuan.
Sejak periode awalnya, hukum Islam merupakan suatu kajian yang dinamis dan
kreatif. Ia tumbuh dan berkembang sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 2
ada dalam al-Qur`ân dan as-Sunnah sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan
masyarakat saat itu, merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi di mana ia tumbuh dan
berkembang.
Berbicara masalah Reformulasi pemikiran hukum Islam, Mahmud Syaltut adalah
salah satu di antara sekian pemikir Muslim yang radikal dan liberal dalam memahami
konteks hukum Islam. Pokok-pokok pandangannya tentang hukum Islam sudah terlihat jelas
bahwa hasil produk pemikirannya telah merubah pandangan lama (tradisionalis) yang selama
ini berkembang dan mengakar serta mendarah daging di kalangan umat Islam. Dengan penuh
resiko yang pasti menimpa dirinya, Syaltut berusaha memberanikan diri untuk merubah pola
pandangan lama itu dengan pendekatan kontekstual (sosio historis), akan mudah ditemukan
kemaslahatannya, sekalipun harus bertentangan dengan teks (nash) yang tertera dalam al-
Qur`ân dan as-Sunnah. Dengan pendekatan sosio historis berarti mengandung arti
modernisasi pemikiran, dalam usaha merubah faham-faham lama, adat istiadat dan suasana
baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Tulisan ini ingin menyuguhkan gagasan Muhammad Syaltut yang berhubungan
dengan reformulasi pemikiran hukum Islam. Sebuah usaha awal untuk mencari model
pendekatan dalam memahami hukum Islam. Sekalipun sesungguhnya telah banyak pemikir
Muslim melakukan pembaruan, tetapi suhu dan gelombangnya belum signifikan jika
dibandingkan dengan khazanah ilmu keislaman lainnya, misalnya teologi Islam, filsafat
Islam, ilmu Tasawuf, ilmu Tafsir dan seterusnya. Sudah barang tentu diketahui bahwa Islam
semakin akan dapat bergelut dengan kehidupan modern sepanjangan wilayah pemikiran
Islam dapat tempat posistif ke arah sana. Dan salah satu upaya untuk memenuhi keinginan
ini, melalui paparan ini akan meyuguhkan sebuah reformulasi pemikiran hukum versi
Mahmud Syaltut.
âîû
PEMBAHASAN
Mahmud Syaltut merupakan salah seorang putra terbaik Mesir yang lahir pada tanggal
23 April 1893, ia memiliki tradisi yang sangat kental dalam memegangi sumber ajaran Islam,
terutama dalam “memelihara” bacaan al-Qur`ân. Sejak usia 13 tahun, ia sudah dikenal sebagi
hâfiz, dan sekaligus merupakan langkah awal dalam memasuki jenjang dan karier
pendidikannya. Setelah itu, ia masuk pada Lembaga Pendidikan Agama di Iskandariyah yaitu
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 3
al-Ma‟had ad- Dîni, suatu lembaga satu atap dan berafiliasi pada Universitas al-Azhar Mesir.
Semasa menjalani studinya di al-Ma‟had ad- Dîni, Mahmud Syaltut tergolong murid
yang banyak dikagumi oleh para gurunya, karena beberapa ide dan gagasan yang cerdas dan
menonjol. Bahkan, setiap jenjang studinya, prestasi yang dicapai peringkat pertama, termasuk
dalam menyelesaikan studinya di Universiats al-Azhar tahun 1918 M dengan meraih predikat
Syahadah al-alimiyah al-Nizâmiyah, suatu penghargaan tertinggi dari al-Azhar atas
prestasinya yang dicapainya selama studi.
Setelah tamat studinya di al-Azhar, ia meniti karir sebagai pengajar atau dosen di
almamaternya, di samping sebagai da’i ia juga aktif menulis di majalah dan jurnal yang
diterbitkan oleh al-Azhar. Selama 25 tahun, ia aktif mempelopori jama’ah al-Taqrîb baina al-
madzâhib, suatu organisasi non mazdhab atau lembaga netral yang berusaha untuk
mempertemukan antara kelompok ulama’ sunni dan Syi’ah, dengan demikin ia berusaha
keras ingin melepaskan atau menghilangkan “ fanatisme madzhab” dalam hukum Islam.
Semasa karirnya, Mahmud Syaltut banyak mengahabiskan waktunya untuk mengisi
kegiatan-kegiatan ilmiah, membuka konsultan hukum, menulis di berbagai masmedia, dan
selebihnya sebagai guru besar di al-Azhar. Sisi lain, yang menarik dari Mahmud Syaltut
sikapnya yang “ radikal” dalam memahami sumber hukum Islam. Ketika dipercaya sebagai
dosen di al-Azhar, ia sering terjadi kontra dengan teman-teman sejawatnya yang mereka dulu
mengabdi. Sebagai dosen muda, ia punya cita-cita untuk membuka “kegelapan” sebagaimana
yang dinyakini bahwa stagnansi pemikiran Islam selama ini menyelimuti al-Azhar, terutama
dalam menatap hukum Islam, upaya serupa juga tampak pada diri al-Marâghi, yang
keduanya menentang keras terhadap kalangan tradisional ulama fiqh. Akhirnya, al-Marâghi
ditendang dari jabatan Syaikh al-Azhar dan diganti Muhammad al-Ahmad al-Zahiri. Dalam
tempo yang tidak terlalu lama, nasib serupa juga menimpa pada diri Mahmud Syaltut, bahkan
lebih kejam lagi.
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
Sepanjang yang penulis ketahui, banyak pemikiran hukum Islam yang telah digagas
oleh Mahmud Bidang Akan tetapi, dalam tulisan ini, penulis batasi hanya empat persoalan
saja, yaitu persoalan kesaksian bidang muamalah, persoalan perkawinan beda agama, (laki-
laki Muslim dengan al- Kitâb) dan seputar hukum Pidana.
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 4
1. Persoalan Kesaksian
Kontekstual penafsiran Syaltut terhadap ayat al-Qur`ân telah memperlihatkan
kemajuan berfikir yang spektakuler. Menurut logika Syaltut, tidak ada ayat yang tidak
berlatar belakang sosiologis, terutama ayat-ayat yang berbicara seputar hukum. Maka sudah
semestinya menjadi tugas para cendekiawan Muslim, untuk mengubah pandangan klasik,
tradisioanal yang argumen-argumennya cenderung irasional itu, supaya kembali pada jiwa
dan semangat al-Qur`ân yang sesungguhnya.
Secara cerdas, Syaltut berusaha merombak argumen-argumen tafsir atas sejumlah ayat
sosiologis yang telah dipatenkan menjadi ayat-ayat yang bersifat absolut (memuat kandungan
ibadah dan aqidah) itu menjadi ayat-ayat yang sosiologis yang bersifat kontektual (Arief,
2003: 190). Penafsiran itu misalnya, ayat 282 surat Al-Baqarah, bahwa kesaksian “ satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan “, secara sosiologis pada waktu itu memang banyak para
perempuan yang tidak terjun dalam dunia perniagaan, sehingga ingatannya dikhawatirkan
agak lemah dibandingkan dengan kaum laki-laki yang saat itu menekuninya.
Sementara itu menurut jumhur ulama, dalam memahami ayat di atas, seringkali justru
mengarah ketidaksetaraan (inequality) antara laki-laki dan perempuan, bahwa perempuan itu
lebih rendah daripada laki-laki, oleh karena itu kesaksian orang perempuan bernilai separuh
dari kesaksian orang laki-laki. Para fuqaha dalam menetapkan masalah kesaksian perempuan
selalu dengan perbandingan dua orang saksi perempuan sama nilainya dengan kesaksian laki-
laki (al-Zuhaili, 1989:570).
Menurut Syaltut, latar belakang sosiologis ayat itu, adalah ketika kaum perempuan
tidak aktif dalam berbagai transaksi finansial dan kurang akrab dengan masalah perniagaan
dibanding dengan kaum laki-laki, oleh karenanya ingatan kaum perempuan dalam urusan
keuangan lemah, sebaliknya dalam urusan rumah tangga perempuan lebih unggul daripada
laki-laki. Lebih lanjut, kata Syaltut, memang sudah sifat manusia pada umumnya, bahwa
ingatannya itu kuat dalam persoalan yang ia tekun, berkosentrasi dan berakibat di dalamnya
(Syaltut, 1980:240). Dengan demikian, “jika kaum perempuan itu berada dalam posisi dan
tradisi ikut terlibat dalam urusan perdagangan, keuangan dan transaksi hutang piutang, maka
tentu saja mereka berhak mensejajarkan diri untuk mendapatkan kepercayaan dalam
kesaksian sebagaimana kepercayaan yang diperoleh seorang laki-laki".
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 5
Singkatnya, Syaltut berpandangan bahwa “persaksian perempuan” sejajar dengan
persaksian laki-laki. Ia menyelami bahwa hikmah atau asbâb an-nuzûl dari ayat 282 surat al-
Baqarah itu adalah bukan berkaitan dengan masalah saksi dalam persoalan peradilan, namun
lebih berbicara masalah interaksi perdagangan. Tetapi sekarang, telah terjadi perubahan yang
cukup berarti dalam kehidupan, karena mereka telah diberi kesempatan yang sama dengan
laki-laki untuk mengembangkan pribadinya. Dengan adanya perubahan yang cukup berarti
dalam kehidupan perempuan pada umumnya. Perempuan saat ini telah banyak pengalaman
dalam berbagai macam bidang kehidupan, karena mereka telah diberi kesempatan yang sama
dengan laki-laki untuk mengembangkan pribadinya. Dengan adanya perubahan kondisi sosial
yang ada, maka kaum perempuan untuk bertindak sebagai saksi dapat sejajar dengan pria.
Dalam masalah kesaksian ini, Syaltut tetap berpegang pada prinsip yang selalu ia
tegakkan, yakni persamaan hak atas nama keadilan dan kemanusiaan. Dalam bukunya “al-
Islâm Aqîdah wa Syarî‟ah”, ia menyatakan sebagai berikut:
“Dan pertimbangan dua orang perempuan memperoleh kepercayaan sama dengan
laki-laki, itu bukanlah kelemahan akal perempuan yang mengurangi nilai
kemanusiaannya dan berpengaruh untuk memperoleh kepercayaan. Dan yang
demikian itu, karena sesungguhnya perempuan tidak lazim saat itu berkecimpung
dalam transaksi keuangan. Dan manakalah mereka yang berkecimpung dalam bidang
bisnis, yang dalam kebiasaannya itu melibatkan perempuan yang aktif mengunjungi
sentral-sentral transaksi keuangan (seperti hutang-piutang), maka mereka berhak pula
menetapkan kepercayaan, kesaksian seorang perempuan, sebagaimana kepercayaan
kesaksian kepada seorang laki-laki. Dalam inilah keadilan Islam dalam membagi hak-
hak umum antara laki-laki dan perempuan, suatu keadilan yang benar-benar
membuktikan, bahwa keduanya itu sederajat dalam nilai kemanusiaan”.
Dengan demikian, jika kemajuan antara laki-laki dengan perempuan itu seimbang
dalam berbagai bidang, sudah seharusnya tidak ada lagi diskriminasi antara keduanya dalam
berbagai persoalan, termasuk hak menjadi saksi dan persamaan hak di hadapan hukum.
Syaltut memahami ayat 282 surat al Baqarah secara kontekstual dengan melihat sosiologis
saat turunya ayat tersebut.
Masih mengenai kesaksian, Syaltut juga berpandangan bahwa kesaksian non Islam
terhadap orang Islam adalah sah (tidak diharamkan) baik dalam masalah muamalah atau
jinayah (perdata dan pidana). Pendapat ini tentu bertentangan secara diametral dengan
pendapat yang berkembang di kalangan ulama ’fuqaha’ sebelumnya. Para fuqaha’, seperti
diungkap Wahbah al-Zuhaili, dalam “al-Fiqh al-Islâmi wa Adillah”, berpendapat bahwa
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 6
tidak bisa diterima kesaksian orang non Muslim. Mazhab Hanafi dan Hambali
memperbolehkan, tetapi sebatas soal wasiat dalam perjalanan saja, dengan mendasarkan pada
surat al Maidah ayat: 106. Memang sebagian besar Mazhab sepakat tidak memperbolehkan
saksi dari kalangan non Islam dalam kasus-kasus pidana atas orang Islam, pendapat ini
tampak jelas adalah kitab “ Bidâyatul Mujtahid” karya Ibnu Rusyd.
Bertolak dari pendapat mayoritas fuqaha’ Syaltut berusaha mencari terobosan baru
untuk mereformulasikan hukum Islam dengan tidak mendiskriminasikan orang Non Islam.
Dalam bukunya yang berjudul: “ Muqarab al-Mazâhib fi al-Fiqh” ia mengungkapkan dengan
tegas, “ bila diteliti lebih mendalam mengenai hal itu (pelarangan orang non Islam menjadi
saksi terhadap orang Islam, sesungguhnya tidak ada argumentasi yang melarang
diterimanya kesaksian orang non Islam terhadap orang Islam mengenai hal-hal yang berlaku
di antara mereka, baik dalam persoalan muammalah atau jinâyah”. Syaltut berusaha
menegakkan persamaan hak di hadapan hukum atas nama keadilan dan kemanusiaan tanpa
ada diskriminasi sedikitpun.
Menurut Syaltut, kesaksian non Islam itu boleh, karena atas dasar beberapa hal di
antaranya: pertama, bahwa orang Islam diperbolehkan bergaul dengan orang non Islam,
bahkan diperbolehkan memakan makanan dari kalangan mereka. Kedua, nash al-Qur`ân surat
al-Nisa` ayat 141 yang redaksinya berbunyi: “ Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan
jalan kepada orang kafir untuk menghinakan orang-orang yang beriman”, ayat ini, kata
Syaltut, tidak berkaitan dengan masalah persaksian dan peradilan, tetapi berkaitan dengan
masalah kemuliaan, kekuasaan dan kemenangan. Ketiga, untuk memutuskan sebuah perkara,
pasti memrlukan bukti-bukti yang mampu menyingkapkan suatu kebenaran, sehingga terbukti
bagi pelaku kejahatan. Ini tergantung dengan kebenaran yang diungkapkan saksi, dan bukan
berkaitan dengan siapa saksi itu.
Adapun metode ijtihad yang dipakai syaltut dalam masalah persaksian non Islam
(syahâdah ghair al-Muslim) ini, adalah dengan langsung memahmi teks nash yang tertera
pada surat al Baqarah ayat: 282. Menurut Syaltut, dalam persoalan kesaksian, secara implisit
maupun eksplisit tidak terdapat suatu larangan mengenai persaksian orang non Islam
terhadap orang Islam, baik dalam masalah perdata maupun pidana.
Dengan demikian, orang non Islam dapat memberikan kesaksiannya terhadap orang
Islam, sepanjang kesaksian itu mengandung kebenaran yang dapat diterima akal sehat. Lebih-
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 7
lebih, dalam masyarakat yang mejemuk, untuk menghindari diskriminasi hukum harus ada
upaya untuk membangun kebersamaan, kesetaraan dan persamaan hak dalam menjalin
kearifan kehidupna yang keberadaban dan kearifan.
2. Bidang Muamalah
Dalam bidang muamalah, Syaltut terlibat agak fleksibel. Menurutnya, prinsip syari’at
Islam dalam bidang muamalah adalah terpenuhinya maslahah dan terlindungi hak-hak serta
meningkatnya taraf hidup (Syaltut, 1980:391). Apalagi jika suatu masalah itu tidak ada
larangan jika suatu masalah itu menurutnya dalam nash, maka hal itu menurutnya
diperbolehkan. Dengan mengutip pendapat Jalaluddin Suyuti, Syaltut berpandangan bahwa
”hukum yang asal (dasar) atas segala sesuatu itu boleh sehingga ada adil yang
mengharamkannya”. Pendekatan maslahah yang digunakan Syaltut di bidang muamamlah itu
mengantarkan kepada suatu pendapat bahwa keuntungan dari Bank Tabungan Kantor Pos itu
boleh tidak bertentangan dengan syari’at Islam (Arief, 2003:194). Menurut Syaltut,
keuntungan yang diberikan oleh Bank Tabungan Kantor Pos adalah halal, karena uang yang
dititipkan oleh pemilik uang “ kemaslahatan” Bank Tabungan Kantor Pos. Dengan demikian,
secara logis Bank Tabungan Kantor Pos dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat dan lebih mempercepat terbentuknya jaringan Kantor Pos lebih luas lagi.
Pandangan demikian ini berbeda dengan pendapat kalangan ulama Mesir saat itu yang
menyatakan secara tegas bahwa keuntungan yang diberikan Bank Tabungan Kantor Pos
adalah haram. Akibat dari pendapat ini, lebih dari tiga ribu penabung menolak menerima
keuntungannya, karena keyakinan agama mereka. Perbedaan pendapat ini, karena berakar
dari cara melihat dan memahami konsep riba, suatu pelanggaran yang disebut dalam al-
Qur`ân. Kata riba dalam al-Qur`ân sering diulang-ulang, dan sampai pada kesimpulan bahwa
kategori yang disebut “riba” sesungguhnya adalah riba yang bersyarat adh‟âfa-mudhâ‟afat,
seperti yang tertera pada surat al Baqarah ayat: 275-278. Rasyid Ridha dan al-Maraghi
menafsirkan bahwa “riba bersyarat” itu tidak wajar, dengan cara melipatgandakan secara
belebihan.
Sementara Syaltut menanggapi fatwa larangan mengambil keuntungan Bank
Tabungan Kantor Pos karena diduga mengandung unsur riba seperti fatwa yag dikeluarkan
Mufti Mesir tanggal 13 Agustus 1989 yang harus dijauhi oleh masyrakat. Namun, setelah
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 8
ditelusuri ternyata tidak ditemukan unsur riba bersyarat tadi. Bahkan, dengan adanya Bank
Tabungan Kantor Pos justru menjamin kesejahteraan anggotanya dan bisa untuk memcahkan
kesulitan bersama.
Syaltut mengemukakan argumentasinya dengan cara mengiyaskan antara Bank
Tabungan Kantor Pos dengan aktifitas Syirkah al-mudhârabah, yaitu menabung uang di Bank
Tabungan Kantor Pos sebagai sâhib al-mâl al-mudhârib (yang menjalankan usaha) yaitu
bertindak sebagai pemegang dari pemilik modal.
Menurut Syaltut, metode qiyas harus perlu digunakan untk menyelesaikan persoalan
ini. Sehingga mengambil keuntungan Metode Bank Tabungan Kantor Pos adalah aktivitas
yang dipandang boleh, sebagaimana sistem Syirkah al-mudhârabah. Syaltut melihat bahwa
kesamaan 'illat, yakni” penyetoran modal usaha”. Bank Tabungan Kantor Pos terdapat
peraktek saling eksploitasi yang merugikan terhadap pihak-pihak yang melakukan transaksi,
yang dalam Islam sangat dilarang. Bahkan yang ada dalam aktivitas Bank Tabungan Kantor
Pos itu adalah terpenuhinya maslahah. Dengan demikian, kemaslahatan bersama dalam
bidang pos terpenuhi.
Ketetapan hukum digunakan Syaltut dalam masalah ini, yaitu dengan menggunakan
al-hajjah, dan adh-dhahûrrah. Sejalan dengan kaidah: kebutuhan itu dapat menempati posisi
darurat baik bersifat umum maupun khusus”. Sementara dalam al-Qur`ân juga ditegaskan:
Dan Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang telah diharamkannya”. Dari keterangan ini
Syaltut beralasan bahwa dalam keadaan terpaksa karena dharûrat, suatu obligasi itu dapat
dijalankan, walaupun seandainya ada elemen yang tidak dibolehkan oleh agama. Argumen ini
sesuai dengan suatu kaidah “Kemadharatan (Keadaan darurat) itu membolehkan suatu
larangan” .
3. Bidang perkawinan
Manusia diciptakan oleh Allah untuk saling berpasang-pasangan. Dengan hidup
berpasang-pasangan itulah maka manusia dapat meneruskan keturunannya. Islam
mengajarkan supaya terjadi rerproduksi, manusia diwajibkan untuk nikah dan kawin.
Perkawianan merupakan pintu sahnya “pergaulan “ lawan jenis yang sebelumnya
diharamkan.
Syaltut menggarisbawahi bahwa perkawinan merupakan tonggak yang menentukan
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 9
kualitas pembangunan bangsa. Karena kualitas bangsa dapat diukur dari masing-masing
kualitas keluarga. Jika dalam keluarga rapuh, maka bangsa juga ikut menjadi rapuh. Sehingga
soal perkawinan, harus dipandang penting oleh siapapun, terutama umat Islam. Syaltut punya
perhatian besar pada masalah ini. Sekalipun persoalan ini telah sejak lama menjadi
pembicaraa, misalnya sejajk masa Umar Bin Khottob.
Menurut Syaltut, seperti yang terungkap dalam kitabnya “al Fatawa”
menyatakan bahwa kawin beda agama (laki-laki Muslim dengan perempuan ahl
Kitab) adalah hubungan yang sebaiknya tidak perlu dilakukan, alias haram, sekalipun
ayat al-Qur`ân memberikan rambu-rambu boleh, sebgaimana terdapat pada surat al
Maidah ayat 5. sebelum membahas pikiran Syaltut , ada sebaiknya kita lihat beberapa
pendapat yang telah lahir sebelumnya. Ada tiga pendapat yang telah lahir
sebelumnya. Ada tiga pendapat yang berkembang di kalangan ulama’ dalam
menafsirkan ayat di atas, yaitu mengenai laki-laki Muslim mengawini perempuan ahl
kitab. Pendapat pertama menyatakan bahwa laki-laki Muslim haram menikahi
perempuan ahli Kitab. Pendapat ini seperti dikemukakan oleh abdullah Ibn Umar,
dengan menggunakan argumentasi ayat 221 surat al Baqarah . “ Dan janganlah kamu
mengawini perempuan musrik, sehingga mereka beriman”. Abdullah Ibn Umar
berpendapat, perempuan musyrik dari kalangan Nasrani dan Yahudi termasuk
kategori musyrik. Karena termasuk musyrik, maka tidak halal untuk dikawini. (al-
Razi, 1985:150, Ibn Katsir, 189; 22). Pendapat kedua menyatakan, bahwa mengawini
perempuan ahl kitab tidak diperlukan lagi dan otomatis hilanglah rukhsoh untuk
mengawininya. Pendapat ini dikemukakan jumhur ulama’ yang membolehkan
mengawini perempuan ahl kitab dengan dasar sumber ayat tersebut di atas. (al Razi,
1985; 151).
Syaltut berfatwa, bahwa perkawinan beda agama adalah haram. Larangan
Muslim mengawini perempuan ahl kitab, karena cenderung yang amat sangat
membahayakan keluarga, terutama kasus di Mesir. Menurutnya, suami-suami Muslim
yang kawin dengan perempuan kitabiyah itu, telah terpengaruh oleh budaya dan adat
istiadat istrinya, sehingga anak-anaknya dididik oleh istrinya menurut agamnya dan
adat istiadatnya. Dengan demikian, suami membiarkan anak-anaknya dan keluarganya
terlepas dari ajaran Islam, akibat dari pengaruh istrinya yang begitu dominan,
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 10
sehingga dikhawatirkan keturunannya beralih aqidah agamanya (Arief, 2003; 128).
Argumentasi Syaltut cukup beralasan ketika melihat kondis dan kasus
sedemikian merugikan umat Islam. Apalagi, penglihatan Syaltut terhadap proses
perkawinan menjadi tumpuan generasi yang harus dijaga dan junjung tinggi umat
Islam. Ia sangat memperhatikan keberadaan rumahtangga Muslim sebagai penyangga
keberadaan masyarakat Islam. Lebih lanjjut, Syaltut mengemukakan bahwa salah satu
tujuan perkawianan, seperti yang dikehendaki al-Qur`ân adalah mencari ketenangan,
dan ketenangan itu diperoleh jika terdapat kesamaan agama antara suami dan istri.
Perkawinan dalam persepsi Islam bukan sekedar menyalurkan seksual belaka, tetapi
juga merupakan embrional menuju terwujudnya masyarakat yang shaleh. Atas dasar
hakikat dari tujuan perkawinan itu, perkawinan dengan non Muslim tidak hanya akan
menimbulkan kesenjangan emosional spiritual dari kedua belah pihal suami istri, akan
tetapi pada gilirannya juga akan mereduksi nilai-nilai agama yang mereka yakini
(arief, 2003; 129).
Metode yang digunakan Syaltut dalam melihat persoalan di atas yaitu sadd al
dzari‟ah. Dalam pandangan syaltut, perkawinan beda agama tersebut mengandung
mafsadah (kerusakan), bahkan mafsadah itu pasti terjadi. Oleh karenanya, perkawinan
beda agama harus dicegah dan dihindari. Sebagai slah satu jalan untuk mencegah
datangnya mafsadah, kata Syaltut, ialah dengan cara melarang mengawini perempuan
ahl kitab, walaupun nash sendiri tidak melarang.
1. Bidang Pidana
Hakikat berlakunya hukum pidana adalah untuk menjagta kestabilan
masyarakat. Pelaksnaan hukum pidana tidak bisa dimonopoli oleh segelintir orang
atau kelompok, tetapi harus berlaku bagi komunitas yang berbeda tempat itu. Namun
dalam implementasinya, sering terjadi ketimpangan, dikriminasi dan ketidakadilan.
Karena hukum telah dijadikan oleh penguasa untuk menjamin status quo dan
menindas setiap tindakan meyimpang yang normanya ditentukan oleh mereka. Kasus
ini pernah terjadi pada pra Islam, ketika hukkum pidana hanya untuk menghukumi
hamba sahaya, kaum papa secara semena-mena.
Lalu, kehadiran Islam membawa ajaran yang menekankan keadilan, seperti
yang terungkap pada surat al Maidah ayat; 8 “ Berlakulah adil, karena adil itu lebih
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 11
dekat dengan taqwah”. Berpijak atas rasa keadilan dan persamaan hak di muka
hukum, Syaltut berpendapat bahwa seorang Muslim yang melakukan pembunuhan
terhadap seorang Non Muslim dengan sengaja harus dikenakan qiyas, bila keluarga
terbunuh tidak memaafkan. Berbeda dengan pendapat jumhur ulama’ yang
menyatakan bahwa orang muslim yang membunuh orang non Muslim hanya
dikenakan hukuman ta’zir, yaitu suatu hukuman yang kualitas dan kuantitas relatif
lebih ringan dibanding dengan hukuman qiyas (al jahiri, 1985:282-283).
Menurut Syaltut, hukum pidana harus berlaku sama, tidak ada pembedaan atas
agam. Sehingga ta’zir seperti yang menjadi kesepkatan jumhur ulama’ harus ditentang
dan perlu diluruskan demi menjaga keutuhan hukum itu sendiri. Syaltut memahami
surat al Baqarah ayat: 178 “ Kutiba alaikum al Qiyas” adalah persamaan dalam
melakukan pembalasan. Dari sinilah dapat dilihat, bhawa syaltut ingin meletakkan
nilai kemanusiaan sebgai prinsip kehidupan yang harus dihargai, dan dipandangnya
selaras dengan prinsip al Mashih al Khamsah yang salah satunya ialah hifdz al Nafs.
Di pihak lain, ssesungguhnya kahekat dasar kemanusiaan ialah termasuk di dalamnya
menegakkan keadilan ditegaskan dalam al-Qur`ân harus dijalankan dengan tegas,
sekalipun kerabatnya sendiri, dan janganlah kebencian kepada suatu golongan itu
membuat orang tidak mampu menegakkan keadilan.
Syaltut juga berpendapat bahwa seorang ayah membunuh anaknya, akan tetap
dikenakan qiyas secara mutlak (Syaltut, 1980: 372). Pandangan ini berada dengan
jumhur ulama’ yang menyatakan bahwa ayah yang membunuh anayknya
tidakdikenakan hukuman qiyas, tetapi cukup dengan ta‟zir.
Penutup.
Reformasi Pemikiran hukum Islam merupakan bagian dari kreasi manusia dalam
menangkap perubahan makna (konteks) zaman. Sebagai pemikir hukum Islam, Mahmud
Syaltut telah berusaha menafsirkan ulang ketetapan-ketetapan hukum terdahulu ke dalam
situasi dan kondisi yang baru. Dengan logika yang cerdas, Syaltut mengurai satu persatu
persoalan hukum yang ia rasa tidak sepenuhnya dapat menjawab permasalahan dan tantangan
kehidupan. Reformulasi hukum Islam seperti yang dikemukakan Syaltut, merupakan hukum
yang digali dari nilai-nilai normatif dengan cara mentafsirkan secara sosiologis.
Keempat pemikiran hukum di atas, merupakan konstribusi dan pengembangan
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 12
pembaharuan hukum Islam yang diberikan Syaltut. Ia telah meletakkan prinsip persamaan
hak di hadapan hukum demi sekat-sekat sosial agama, sosial kemasyarakatan dan perbedaan
gender. Keadilan dan nilai kemanusiaan tidak boleh dipraktekkan hanya secara sepihak.
Karena itu, keadilan harus berlaku di hadapan orang Islam dan Non Islam, laki-laki dan
perempuan, orang merdeka dan hamba sahaya seterusnya. Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa Mahmud Syaltut dalam melakukan ijtihad, dasar yang dijadikan rujukan
adalah al-Qur`ân, al Sunnah dan Al Ra’yu.
DAFTAR PUSTAKA
Reformulasi Pemikiran Hukum Islam
P u b l i s h b y : h t t p : / / b a k u l b u k u . c o m
Page 13
Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1985. al Fiqh „Al al-Mazahib al-Arba‟ah, Bairut Dar Fikr
Al-Razi, 1985. Tafsir al-Fakhr al-Razi al Musytahar bi Tafsir al Kabir wa Mafatih al
Ghaib, Bairut Dar Fikr
Arief, abd Salam, 2003. Pembaruan Pemikiran Hukukm Islam; Antara fakta dan
Realita, Yokyakarta: LESFEI
Bayumi, Abd al Rahman, 1968. Hayat al Imam al-Sayyid al-Fadillah al-Ustad al-
Syaikh Mahmud Syaltut, Bairut; dar al-Qalam
Ibn Katsir, 1989. Tafsir al-Qur`ân al-Azim Bairut: Dar Falah
Nabil, Abd Fatah, 1995. Al-Halah al-Diniyah Fi Misra, Mesir: Markaz Maktabah al-
Dirasah.
Syaltut, Mahmud, 1979. Tafsir al-Qur`ân al Karim, Kairo: Dar