Post on 16-Jun-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sistem Pendidikan Pesantren Saat Ini
Pesantren adalah institusi pendidikan yang berada di bawah pimpinan
seorang atau beberapa kiai dan dibantu oleh sejumlah santri senior serta beberapa
anggota keluarganya. Pesantren menjadi bagian yang sangat penting bagi
kehidupan kiai sebab ia merupakan tempat bagi sang kiai untuk mengembangkan
dan melestarikan ajaran tradisi, dan pengaruhnya di masyarakat. Menurut
Nurcholish Madjid, pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang ikut
mempengaruhi dan menentukan proses pendidikan nasional. Dalam perspektif
historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga
mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) sebab lembaga yang serupa
pesantren ini sudah ada di Nusantara sejak zaman kekuasaan Hindu-Budha.
Dalam hal ini, para kiai tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga-lembaga
tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia
yang memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ajaran Islam bersifat komprehensif.
Selain itu, produk pesantren juga dikonstruksi untuk memiliki kemampuan yang
tinggi dalam merespons tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan
waktu, dalam ranah nasional maupun internasional. Sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 3).
Di tengah kompetisi sistem pendidikan yang ada, pesantren sebagai
lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini tentu saja harus sadar
bahwa penggiatan diri yang hanya berorientasi pada wilayah keagamaan tidak lagi
memadai. Maka pesantren harus proaktif dan memberikan ruang bagi
pembenahan dan pembaharuan sistem pendidikan pesantren dengan senantiasa
harus selalu apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespons
perkembangan dan pragmatisme budaya yang kian menggejala. Hal ini bisa
dijadikan pertimbangan lain bagaimana seharusnya pesantren mensiasati
fenomena tersebut.
Sistem pendidikan pesantren yang ada sekarang begitu bervariasi hal ini
terjadi karena pesantren harus selalu waspada terhadap pargamatisme budaza
dalam mengembangkan sistem pendidikanya agar tidak keluar dari ruh pesantren
itu sendiri dan tujuan dari sistem pendidikan nasional. Disamping itu,
bervariasinya sistem pendidikan pesantren terjadi karena beberapa faktor
Pertama, kolonialisme dan sistem pendidikan liberal. Sebagaimana diketahui,
pada dasawarsa terakhir abad ke-19, Belanda mulai memperkenalkan sistem
pendidikan liberal. Tentu saja, dengan hadirnya lembaga pendidikan tersebut,
posisi pesantren semakin terancam. Meskipun demikian, kecurigaan pesantren
terhadap ancaman lembaga pendidikan kolonial tidak selalu berwujud penolakan
yang a priori. Karena, di balik penolakannya, ternyata diam-diam pesantren
melirik metode yang digunakannya untuk kemudian mencontohnya. Fenomena
“menolak sambil mencontoh”, demikian Karel Steenbrink (1994)
mengistilahkannya, tampak dalam perkembangan pesantren di Jawa. Ini terlihat,
misalnya, dengan diajarkannya pengetahuan umum semisal bahasa Melayu dan
Belanda, sejarah, ilmu hitung, ilmu bumi, dan sebagainya.
Kedua, perubahan orientasi keilmuan pendidikan pesantren. Tidak seperti
pada abad XVI-XVIII, orientasi keilmuan pesantren abad XX tidak lagi terpusat
ke Hijaz, melainkan merambah ke wilayah Timur Tengah lainnya, semisal Mesir,
Baghdad, atau bahkan ke Eropa. Perluasan jaringan intelektual yang tidak saja ke
Hijaz ini, tetapi juga ke wilayah lainnya, turut mewarnai produk keilmuan
pesantren dan diversivikasi literatur yang dihasilkannya. Lahirnya karya-karya
intelektual dengan ragam disiplin keilmuan, misalnya, menjadi bukti luasnya
cakupan keilmuan pesantren abad ini. Tidak seperti pada abad-abad sebelumnya
di mana intelektual pesantren hanya melahirkan karya-karya tentang akidah, fiqih,
dan tasawuf, intelektual pesantren abad ini di samping tiga disiplin itu telah
menghasilkan khazanah intelektual yang kaya, meliputi ilmu falak, mantiq,
sejarah, kritik sosial, dan semacamnya.
Ketiga, gerakan pembaharuan Islam. Munculnya gerakan pembaharuan
Islam di tanah air sebagai pengaruh pembaharuan Islam di belahan dunia lainnya
mulai tampak pada awal abad ke-20 ini lagi-lagi menjadikan pesantren sebagai
sasaran kritik. Sebagai dampak dari situasi ini, pesantren meresponsnya secara
beragam, mulai dari penolakan dan konfrontasi hingga kekaguman dan peniruan
naif terhadap pola pendidikan Barat. Oleh karena itu, tidak sedikit pesantren yang
tetap pada pola lamanya dengan menolak segala hal yang berbau Barat.
Bertahannya pesantren-pesantren dengan sistem salaf, misalnya, dapat dijadikan
contoh fenomena ini. Sebalikya, di pihak lain, munculnya sejumlah pesantren
dengan label dan simbol-simbol yang tampak modern menjadi contoh lain
kuatnya pengaruh pendidikan Barat yang diusung para pembaharu bagi dunia
pesantren. Namun juga jangan dilupakan, ada respon lain di mana pesantren tetap
mempertahankan keunikankannya yang masih relevan (al-muhafadzah ‘ala al-
qadim al-shalih), namun di pihak yang lain, ia secara selektif mengadaptasi pola-
pola baru yang bisa menopang kelanggengan sistem pendidikan pesantren (al-
akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
Akibat dari 3 faktor tersebut dan perbedaan cara merespon keadaan tersebut,
munculah variasi sistem pendidikan pesantren yang terjadi sekarang ini ke dalam
3 bagian; Pertama, Sistem pendidikan pesantren salafiyah (pesantren-pesantren
yang berada di pedalaman pedesaan). Kedua, sistem pendidikan pesantren modern
(Pesantren Gontor). Ketiga, Sistem pendidikan pesantren kombinasi/gabungan
(Pesantren Tebu Ireng Jombang). Lunturnya pamor Hijaz sebagai pusat kosmik
ngelmu -yang bisa jadi karena mundurnya sistem madrasah di tanah Arab selama
abad ke18 dan abad ke-19 (Van Bruinesen, 1995)- juga dapat dijadikan faktor
munculnya beragam variasi sistem pendidikan pesantren berikut diversifikasi
kurikulum yang diajarkannya. Dan ternyata, dalam perkembangannya, pesantren
(diharapkan) mampu melerai kesenjangan, atau bahkan pertentangan, antara
pendidikan agama di satu pihak dan pendidikan umum di pihak yang lain.
B. Perkembangan Zaman
Dalam perkembanganya pondok pesantren di Indonesia dewasa ini tidak
terlepas dari perkembangan pondok pesantren dari jaman ke jaman, hal ini bisa
dilihat dari seluruh sejarah Indonesia. Enam Abad sebelum berkembangnya
imperium Sriwijaya dan Mataram Kuno, penduduk wilayah nusantara dikenal
sebagai bangsa bahari dan mampu meramu peradaban dari luar menjadi bagian
dari peradaban nusantara yang hebat. Bisa dilihat dari peninggalan-
peninggalannya, yakni: Candi Borobudur, Prambanan, kekayaan peradaban
melayu dan jawa kuno, huruf sanskrit menjadi huruf honocoroko, sistem
pemerintahan kepulauan, dan sistem pertahan kelautan yang sangat tangguh.
Tahun 1400 – 1600, Indonesia menjadi pusat kegiatan perdagangan muslim yang
terakhir ini tak lepas dari peranan pesantren, yang mulai dikembangakan pada
masa kesultanan di Malaka, Demak, Cirebon, Banten, Lampung, Banjar, Ternate,
Bone, Bima, dan Kesultanan Islam lainnya. Masa penjajahan Belanda, Indonesia
diisolasikan dari percaturan peradaban bangsa-bangsa lain sehingga pesantren
tidak mengenal sains dan teknologi serta dinamikanya juga melemah.
Melemahnya perkembangan pesantren berimbas pada melemahnya ketangguhan
bangsa Indonesia. Bangsa yang dulunya dikenal sebagai bangsa bahari dan
pedagang menjadi bangsa petani. Disadari betapa besar peran pesantren dalam
kancah perkembangan bangsa ini.
Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai jaman
modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran
secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya
peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor
politik Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga, fungsi dan peran
pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tapi, penjelasan di atas kiranya
cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya
modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang
masih tetap dipertahankan.Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan
pesantren di Indonesia pada saat itu sama sekali belum testandardisasi secara
kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang
sistemik.
Setelah kemerdekaan negara Indonesia, terutama sejak transisi ke Orde
Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan
pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih
tetap. Misalnya, selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga
menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang
melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio yang
ditetapkannya, yaitu 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran
agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini
kebanyakan di Madrasah. Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam
membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren
secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri.
C. Kebutuhan Sumber Daya Manusia
Kiprah Pesantren dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) bagi
Negara Indonesia tercinta ini sudah dimulai dari sejak pra kolonial. Kemunculan
Pesantren pada masa pra kolonial kira-kira awal abad ke 16, menjadi awal
munculnya pencerdasan bangsa Indonesia, Dari kemunculan Pesantren inilah
bangsa Indonesia mulai mengenyam pembelajaran baik keagamaan dan cara
bermasyarakat dan bernegara. Pada masa kolonial Pesantren juga mengambil
peran yang jelas, banyak para lulusan pesantren menjadi tokoh-tokoh perjuangan
bangsa Indonesia, kita kenal Pangeran Dipenogoro, Imam bonjol, Cut Nyak Dien,
dan bahkan KH. Zenal Mustofa dari tasik Malaya dengan santrinya memberontak
penjajah Jepang, sehingga banyak diantara mereka yang gugur di medan perang
menjadi syuhada. Pada masa pasca Kemerdekaan Indonesia, munculah para tokoh
pendidikan seperti Ki Hasyim ‘Asy’ary dari Nahdlatul Ulama, Mohammad
Dahlan dari Muhammadiyyah, Ki Agus Salim, HS, Cokro Aminoto dan banyak
lagi yang lainnya. Mereka semua adalah para tokoh jebolan Pesantren yang begitu
besar jasanya terhadap kemerdekaan dan pengembangan pendidikan di Indonesia.
Semua ini terus berlanjut tanpa ada hentinya sampai zaman sekarang ini.
Untuk mengetahui bagaimana pesantren mencetak dan memenuhi sumber
daya manusia di setiap jaman dengan sistem pendidikannya yang berlaku pada
masing-masing pesantren, marilah kita lihat apa yang sebenarnya berlangsung di
dunia pesantren. Pada tingkat pertama dapat dikatakan secara pasti bahwa
pesantren tak lain adalah suatu lembaga keagamaan yang mengajarkan,
mengembangkan, dan menyebarkan ilmu agama Islam bagi para santrinya.
Setelah terjadi banyak perubahan dalam masyarakat, sebagai akibat dari
pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya pesantren
tetap berada pada fungsinya yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah
arus perubahan yang deras, hal itulah pihak luar justru melihat keunikannya
sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak
modernisasi, sebagaimana dahulu, lembaga ini sudah berperan dalam menentang
kolonialisme, walaupun dengan cara uzlah (menghindar dan menutup diri)
(Dawam, 1985). Dari sekian banyak pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia,
terutama di Jawa Timur dan Madura, di Minangkabau disebut surau, di Aceh
rangkang meunasah dan di Pasundan disebut pondok sebagian besar memang
hamya mengajarkan agama. Jika langgar dan masjid merupakan tempat anak-anak
muda belajar rukun iman dan rukun Islam, maka pesantren adalah tempat belajar
para santrinya secara lebih mendalam dan lebih lanjut ilmu agama Islam yang
diajarkan secara sistematis, langsung dari dalam bahasa Arab serta berdasarkan
pembacaan kitab-kitab klasik karangan ulama-ulama besar untuk mencetak
sumber daya manusia yang berilmu dan berimtaq.. Mereka yang berhasil dalam
belajarnya, memang kemudian diharapkan menjadi kiai, ulama, muballigh atau
setidak-tidaknya sebagai guru agama. Deskripsi ini mempertegas bahwa sumber
daya manusia yang lahir dari pesantren mempunyai fungsi tertentu dalam proses
perkembangan masyarakat, setidak-tidaknya dalam proses sosialisasi anggota-
anggota masyarakat Indonesia “zaman dulu” atau masyarakat pedesaan yang
terbelakang, terpencil atau masyarakat di sekeliling pesantren dimana lembaga itu
berada serta lingkungan masyarakat yang jauh dari lokasi pesantren tetapi
mempunyai komunitas dan berada di bawah pengaruh pesantren besar. Dengan
kata lain, apa yang diajarkan di pesantren walaupun belum berkembang menjadi
ilmu yang lebih mapan, namun mampu menghasilkan para alumninya
memberikan dasar pada hidup berkebudayaan serta peradaban. Mereka yang
berada di lingkungan pesantren memang mempelajari agama, namun dalam
paham keagamaan itu mereka secara sadar mengetahui adanya pengertian “ilmu”,
sesuatu yang merupakan pangkal tolak dari penguasaan manusia pada alam fisik
dan lingkungan sosialnya. Masyarakat Indonesia yang pada umumnya beragama
Islam, lebih-lebih di daerah pedesaan jelas membutuhkan kepemimpinan
rohaniah. Pesantren sebagai pusat kegiatan spirituil, mampu memenuhi kebutuhan
ini. Kepemimpinan rohaniah dibutuhkan dalam masyarakat untuk menjaga
keharmonisan yang selalu didambakan di lingkungan itu. Kegiatan-kegiatan
keagamaan seperti shalat berjamaah di masjid, slametan atau syukuran,
melakukan upacara doa, sesorah atau kuliyah agama yang berisikan nasehat-
nasehat, berpuasa dan tarawih beramai-ramai pada bulan Ramadhan dan
kemudian berpesta Hari Raya Idul Fitri, menabuh bedug atau kenthongan di
masjid, upacara perkawinan dan seterusnya, adalah hal-hal yang mengisi dan
memberi makna hidup dalam masyarakat desa yang sering kali masih amat
pastoral. Mereka membutuhkan kepemimpinan yang dapat dipatuhi, tempat
meminta nasehat dan pertimbangan, meminta keputusan mengenai masalah yang
mereka perselisihkan dan wahana melempar tanya serta melimpahkan hormat.
Pesantren yang merupakan pusat pendidikan, sumber kepemimpinan informil dan
juga ruang bagi kegiatan masyarakatnya, sudah pasti mengandung berbagai
kemungkinan untuk menjalankan peranannya yang lebih luas. Gambaran tentang
kiai memang seringkali diasosiasikan sebagai tokoh yang kolot, fanatik, sulit
diajak berdialog dan juga mungkin puritan, suatu gambaran yang sebenarnya
bersifat a-priori, dan prasangka. Candraan seperti itu sebenarnya mengandung
aspek pribadi dan bukan aspek kelompok sosial, karena setiap kiai memiliki sikap
dan kepribadian yang tak sama.
Tuntutan abad pengetahuan dan teknologi modern dewasa ini pesantren
dituntut untuk mampu melahirkan sebagian alumninya menjadi ulama intelek
yang tidak hanya pandai dan paham tentang ilmu agama, melainkan pandai pula
dalam bidang ilmu pengetahuan umum lainnya, sehingga ke-ulama-annya
berimbang. Tidak hanya pandai mengaji dan berdakwah melainkan mampu diajak
diskusi di forum ilmiah di tengah-tengah para ilmuwan maupun cerdik pandai
lainnya sehingga predikat ke-ulama-annya mampu memberikan sumbangan
pemikiran dalam problem solving masalah masalah sosial yang timbul dalam
masyarakat modern sekarang ini. Bahkan lebih jauh lagi pesantren sekarang ini
dituntut untuk mampu melahirkan alumninya memiliki keterampilan di berbagai
bidang disiplin ilmu di samping ilmu keagamaanya, yang sudah tentu sangat
dibutuhkan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat yaitu
terwujudnya suatu masyarakat yang bertaqwa dan beriman serta memiliki tungkat
kesejahteraan yang cukup baik.
BAB II
PEMBAHARUAN PESANTREN
MENYONGSONG KEBUTUHAN ZAMAN
A. Pembaharuan Dalam Sistim Management Pengelolaan
Menurut Prof. DR. Sayid Agil Siroj, MA, terdapat beberapa hal yang selalu
ada dan sangat sulit diatasi dan dihadapi oleh Pesantren dalam melakukan
pengembangannya, salah satunya adalah manajemen kelembagaan. Manajemen
merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih
terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara sederhana dan tradisional.
Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya
ditangani oleh kiainya, apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang
masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian
(data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur.
Dalam hal ini, pesantren perlu menata ulang dan terus berusaha berbenah diri..
Mengutip Sayid Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan
dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak
pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih
bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini,
pesantren perlu menata ulang dan terus berusaha berbenah diri.
Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat
Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam.
Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya.
Padahal zaman sudah menuntut mereka agar mereka bisa akrab dengan komputer
dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana
budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap
mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di
tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi dan terus berupaya
menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.
Manajemen pendidikan pesantren tidak lagi bisa dianggap sebagai
“manajemen sosial” yang bebas dari keharusan pencapaian target dan
dikendalikan oleh subyek yang berwawasan “sempit”, misalnya dengan
pendekatan kekeluargaan seperti yang penulis jumpai di sebagian pesantren di
Indonesia Sesuatu yang dapat dikembangkan mengenai peran madrasah, pesantren
bahkan sekolah Islam sekalipun, adalah pada peran strategisnya dalam mengelola
pola manajemen strategik yang dapat menghasilkan rumusan (formulasi) dan
pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai sasaran-sasaran
perusahaan dalam hal ini disebut dengan Madrasah, Pesantren dan Sekolah Islam
(Agus Maulana, 1997: 20). Sesuatu yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan
pendidikan Islam ( pesantren, madrasah dan sekolah Islam) adalah pola
manajemen srategik keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan
(formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai
sasaran sasaran perusahaan dalam hal ini disebut madrasah (Agus Maulana, 1997:
20) Dalam konteks pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah Islam, apabila
penerapan “manajemen instruksional” dirumuskan dalam pola-pola praktis yang
kaku oleh pemegang kebijakan, akan mengakumulasikan kerawanan masalah.
Seperti proses pembelajaran yang kurang memadai, pengembangan sumber daya
manusia (SDM) yang tidak profesional dan lain sebagainya. Membiarkan pola
seperti ini berkembang (tanpa ada solusi alternatif menuju perkembangan
pesantren, madrasah dan sekolah Islam ke depan) pada saatnya akan mengancam
eksistensi pesantren, madrasah dan sekolah Islam itu sendiri. Yang terpenting dari
semua ini dalam melaksanakan pengelolaan manajemen madrasah terutama pada
perannya yang seluruh potensi yang dimiliki stakeholder dan kemudian secara
bersama menyusun program dan rencana pengembangan pesantren, madrasah dan
sekolah Islam secara bertahap serta meneguhkan kembali komitmen stakeholder
kepada pentingnya pendidikan Islam (madrasah) dalam rangka mempersiapkan
subyek didik yang cerdas, bermoral dan memiliki ketrampilan, sehingga dapat
memberikan kontribusi pemikiran perkembangan zaman. Sekilas apabila
diperhatikan, era globalisasi yang dijumpai masyarakat ternyata lebih memperkuat
perhatian orang terhadap pesantren. Di antara penyebabnya adalah dimungkinkan
karena adanya semangat untuk mencari pendidikan alternatif . Era global seakan
mengharuskan seseorang atau bahkan kepada komunitas masyarakat secara luas
untuk mencari , menggali dan mengembangkan pendidikan alternatif tersebut dan
sekaligus untuk memperbesar peluang keunggulan terutama yang terkait dengan
peran pesantren ,madrasah dan sekolah Islam yang ada di Indonesia ini.
B. Pembaharauan Sistem Pendidikan Yang Ada
Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren 'dipaksa'
memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan
sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin
ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian
ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put
pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat
Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan
pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu
pendidikannya. Tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang
memiliki kesadaran yang tinggi bahwa ajaran Islam bersifat komprehensif. Selain
itu, produk pesantren juga dikonstruksi untuk memiliki kemampuan yag tinggi
dalam merespons tantangan dan tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu,
dalam ranah nasional maupun internasional. Dengan demikian, ada tiga hal yang
bisa dilakukan oleh pesantren untuk mewujudkan visi transformasi sosial tersebut:
Pertama, tamaddun, yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola
secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan
dan semuanya ditangani oleh sang kiai. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah
diri. Kedua, tsaqâfah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat
Islam, agar kreatif dan produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran
Islam. Salah satu contoh keberhasilan adalah pesantren Sidogiri di Pasuruan.
Mereka masih setia memakai sarung, mencium tangan kiai, dan tradisi lainnya.
Namun, mereka sudah memanfaatkan komputer, memiliki badan usaha sendiri
yang sukses, aset yang besar dan kiainya tidak ikut campur tangan. Ketiga,
hadhârah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat
diwamai oleh jiwa dan tradisi Islam. Kita bisa menjumpai kata-kata dalam bahasa
Indonesia banyak yang mengadopsi ribuan kata dari bahasa Arab seperti adil,
musyawarah, hal ihwal, dewan, rahmat, dan lezat. Di sini, pesantren diharapkan
mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam
ditengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya
menyeragamkan budaya melalui produk-produk sains dan teknologi.
Pada tahun 1934, KH. Wahid Hasyim atas restu ayahnya, Hadratus Syekh
Hasyim Asy’ari, mendirikan madrasah Nidhomiyah di mana pengajaran
pengetahuan umum mencapai 70 persen dari keseluruhan kurikulum yang
diajarkan (Dhafier, 1994). Ini merupakan salah satu respons pesantren dalam
mensiasati tuntutan zaman yang tujuannya bukan mengurangi keunikan pesantren
itu sendiri, melainkan justru melengkapi dan memperluas cakupan keilmuannya.
Dalam konteks inilah pesantren di samping mempertahankan kurikulum yang
berbasis agama, juga melengkapinya dengan kurikulum yang menyentuh dan
berkait erat dengan persoalan dan kebutuhan kekinian umat. Perlu ditegaskan di
sini bahwa modifikasi dan improvisasi yang dilakukan pesantren semestinya
hanya terbatas pada aspek teknis operasional-nya, bukan substansi pendidikan
pesantren itu sendiri. Karena, apabila improvisasi itu menyangkut substansi
pendidikan, maka pesantren yang mengakar ratusan tahun lamanya akan
tercerabut dan kehilangan elan vital sebagai penopang moral yang menjadi citra
utama pendidikan pesantren. Teknis operasional yang dimaksud bisa berwujud
perencanaan pendidikan yang rasional, pembenahan kurikulum pesantren dalam
pola yang mudah dicernakan, dan tentu saja adalah skala prioritas dalam
pendidikan. Dengan pola perencanaan yang matang, terstruktur sembari
mempetimbangkan skala prioritas dan pembentukan kurikulum yang efektif dan
efisien dapat dipastikan pesantren mampu terus menancapkan pengaruhnya di
tengah-tengah masyarakat yang belakangan tampak mulai apatis, untuk tidak
mengatakan alergi dengan sistem pendidikan pesantren.
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial
keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena
pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus
dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan
perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren. Secara
khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30
Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk
agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan
berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli
ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan
berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
1. Penambahan Pendidkan Formal Melalui Paket A, B dan C
Bila melihat klasifikasi Zamahsyari Dlofir, Pesantren dibagi kedalam
beberapa tipe, yang kesemuannya bisa dijadikan alternative penambahan program
dan pengembangan Pesantren, kecuali tipe “A”, karena tipe “A” merupakan tipe
Pesantren Salafiyah sebagaimana yang ada sekarang ini yang belum mendapatkan
perubahan. Klasifikasi menurut beliau adalah sebagai berikut;
“Type A – (pesantren) Is that which retains the most traditional
characteristicswhere the students (santri) stay in boarding house (pondok) around
the kiyai’shouse; there is no set curriculum and thus the kiyai holds full authority
over theteaching-learning process including the type and depth of the offered
subjectmatter. The method of teaching is typically “traditional”, relying on the
(individualised instruction) and the bandongan (collective learning) methods.
Ineither one, the santri sits around the kiayi who reads, translates and explains
hislessons, which are repeated or followed by his students. The lessons only of
religious subjects and Arabic language, usually taken from or using
classicalreligious texts.
Type B – (pesantren) includes those which, besides offering the
traditionalinstructions in classical texts with sorongan and bandongan, have
madrasah (modern religious school) where both religious and secular subjects
are taught. The madrasah hasa curriulum of its own or adoptsthe curriculum set
by theMinistry of Religious Affairs.
Type C – (pesantren) is a pesantren which, along with providing
religiouseducation of a type B model with both traditional instruction
(sorogan,bandongan and madrasah system), has also an ordinary public
schooladministered by the Ministry of Education and Culture such as a
Primary(SD)and Secondary (SLTP and SLTA). Thus, a type-C pesantren is a type-
B pluspublic school.
Type –D (pesantren) is that which provides only boarding
accommodation tostudents. These students go to either madrasah or public
schools somewhereoutside this boarding complex. No formal instruction is given
in this type of pesantren. The function of kiayi is only as a counselor and spiritul
guide to create a religious atmosphere at the complex”9.
Dalam rangka mengembangkan pesantren, para Kiyai atau pengelola
Pesantren bisa mengembangkannya melalui model-model diatas dengan secara
bertahap. Bisa dari tipe A ke tipe B atau ke tipe C dan atau ke tipe D. Namun
tentu perubahan ini disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat
sekitar. Dengan demikian, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi
tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya.
Yaitu dengan cara mempertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab
kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan
mengimbanginya dengan pengajian tambahan, serta dengan cara lain yang bisa
dilakukan adalah dengan cara penambahan program paket A, B dan C. Program
ini diadakan agar para santri bisa mendapatkan Ijazah formal shingga mereka
tatkala keluar dari pesantren bisa melanjutkan belajar di lembaga formal yang
lebih tinggi. Jika hal ini bisa dilakukan maka Pesantren bisa memunculkan para
Ustadz, Ulama dan Fuqoha yang mumpuni.
2. Pengembangan Keterampilan Komputer dan Akses Pengetahuan
Melalui Internet
Peningkatan penguasaan teknologi komputer dan akses serta networking
merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan
teknologi komputer dan akses serta networking dunia pesantren masih terlihat
lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan
kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat
dengan jelas. Apalagi sekarang ini perkembangan Teknologi dan Informasi
mengalami kemajuan yang sangat pesat dan semaking dekatnya era globalisasi,
dimana jarak tidak merupakan hambatan, komunikasi bisa dilakukan kapan saja,
di mana saja, maka perlu suatu alat dan media yang dapat mendukung ke arah itu
yaitu pemanfaatan teknologi yang berbasis komputer dan peningkatan
pengetahuan dalam penguasaan akses dan networking (inertenet). Untuk
menjawab semua itu pesantren dituntut untuk mengembangkan kurikulumnya
dalam bidang keterampilan komputer dan penguasaan aksebilitas net working
yang dirasakan sangat perlu bagi pengembangan pesantren saat ini.
Penguasaan akan teknologi komputer dan aksebilitas networking (internet)
merupakan sarana bagi pesantren untuk dapat mengembangkan komunikasi
dengan dunia luar. Disamping itu juga merupakan salah satu sarana praktek untuk
memperkenalkan para santrinya dengan dunia teknologi maju dan sebagai media
untuk pengajaran, bukan hanya membuka wawasan regional tetapi juga go
international.
3. Pengembangan Life Skill Melalui Pendidikan Keterampilan
Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman
keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang
semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup
dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang
bersifat keahlian. (Saifuddin Amir, 2006). Pada saat Pesantren tidak hanya
berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam
perkembangannya ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana
pendidikan nonformal, dimana para santrinya dibimbing dan dididik untuk
memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para
santrinya.
Pengembangan life skill melalui pendidikan keterampilan bisa
dimplementaskian melalui berbagai bidang disiplin ilmu diantaranya :
keterampilan di bidang pertanian, keterampilan di bidang perikanan dan
keterampilan di bidang peternakan. Pengembangan keahlian dan keterampilan
dibidang pertanian telah dilaksanakan oleh sebagian pesantren salah satunya
adalah Pesantren Al-ittifaq Ciwidey Kab. Bandung di bawah pengasuhan KH.
Fu’ad. Pesantren Al-ittifaq merupakan pesantren yang memberikan pengajaran
keagamaan dan pengetahuan umum dari kurikulum yang dilaksanakannya, di
samping itu pesantren Al-ittifaq juga mengembangkan kurikulum pendidikan
keterampilan di bidang pertanian, di mana para santrinya diajarkan tentang tata
cara pertanian mulai dari penaman, pengolahan, produksi sampai kepada
pemasaran.
Pada saat ini Pesantren Al-ittifaq telah melakukan kerjasama dengan
departemen pertanian, departemen koperasi dan UKM dan departemen
perindustrian dan perdagangan, juga dengan pihak swasta. Apalagi sekarang ini
banyak program pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat
pedesaan bekerjasama dengan pesantren melalui bidang pertanian, peternakan dan
perikanan salah satunya adalah program LM3.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial
keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena
pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus
dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan
perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren
Pembaharuan dan pengembangan pesantren dalam menjawab tuntutan
perubahan jaman akan trelisasi apabila :
1. pengelolaannya tidak secara sederhana dan tradsional melainkan dengan pola
manajemen strategik yang dapat menghasilkan rumusan (formulasi) dan
pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai sasaran-sasaran
pesantren.
2. Sistem pendidikan yang dilaksanakan harus melakukan pembenahan internal
dan inovasi baru, di samping mempertahankan kurikulum yang berbasis
agama, juga melengkapinya dengan kurikulum yang menyentuh dan berkait
erat dengan persoalan dan kebutuhan kekinian umat agar tetap mampu
meningkatkan mutu pendidikannya.
B. Penutup
Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam yaitu pesantren merupakan
khazanah yang perlu dilestarikan. Setiap pesantren mempunyai ciri khas dan
orientasi masing-masing, namun demikian harus ada satu komitmen, yaitu
memberi pemahaman Islam secara kaffah. Dan hal ini juga harus didorong oleh
kemauan dari para pengelola pesantren itu sendiri untuk melakukan pembaharuan
pada aspek teknis operasional-nya, bukan pada substansi pendidikan pesantren itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Jakarta. 1982.
Ismail, S.M (et al). Dinamika Pesantren dan Madrasah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2002.
Lukens-Bull, Ronald A. Teaching Morality: Javanese Islamic Education in a Globalizing Era. Journal of Arabic and Islamic Studies. University of North Florida, Jacksonville.2004.
Rahardjo, Dawam M (Ed). Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Jakarta. 1985.
Suryo, Djoko Dr. Tradisi Santri Dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam di Jawa. (diluncurkan pada acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 31 Nopember 2000)
Thomas, Murray R. The Islamic Revival and Indonesian Education. Asian Survey, University of California Press.Vol. 28, No.9 (Sept. 1988).
Van Bruinessen, Martin. ‘Traditionalist’ and ‘Islamist’ pesantren in contemporary Indonesia. Paper presented at the ISIM workshop in ‘The Madrasah in Asia’, 23-24 Mei 2004.
Agus Maulana,MSM dalam Pearce Robinson,1997, Manajemen S trategik,Formulasi,Implementasi dan Pengenalian, Binarupa Aksara:Jakarta
Amin Haedari, dalam Jurnal Mihrab Vol. II, no 1 Juli 2007
Amin Haedari dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 1 Juli 2007 ,Mas’ud Abdurrahman; Dinamika Pesantren dan Madrasah;2002, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mastuhu, 1999, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam Ciputat : PT Logas Wacana Ilmu
Maksum,1999, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya , PT Logas Wacana Ilmu Mifathul Haq,2002,Bakti, No.130.Th XI
Azyumardi Azra dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 2 November 2007
Nurcholis Madjid, 1977, perjalanan; Jakarta:Paramadina.
Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana, 2004
Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi: menyingkap kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004.
Holger R. Stub, The Sosiology of Education, A Source Book, the Dorsey Press. London. 1975
J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
Jalaluddin dan Said, U. (1996). Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan. Jakarta: Grafind Lukens-Bull,
Ronald A. Teaching Morality: Javanese Islamic Education in aGlobalizing Era. Journal of Arabic and Islamic Studies. University of North Florida, Jacksonville.2004.
Maclaine and Selby Smisth, Fundamental Issues in Australian Education, Ian Novak Publishing, Sydney, 1971
Nashir, H. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Pavalco. Ronald M. Sosiology of Education. Seccond Edition. F.E Peaccok Publisher INC. Ittasca Illions. Plorida State University.
Suryo, Djoko Dr. Tradisi Santri Dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam di Jawa. (diluncurkan pada acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa,
Sarane Spence Boocock, Sosiology of Education, Seccond Edition, Houghton Miffin Company, New Jersy. 1980
Sarijo, M. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti, 1980Sternbrink. K.APesantren, Madrasah dan Sekolah. Jakarta: LP3ES. 1986. Soeprapto, H.R. Riyadi, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern, Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasinal (UU RI, No.2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya, (1994). Jakarta: Sinar Grafika.