Definisi Usaha Pembaharuan Islam
-
Upload
mukaffi-ali-azuar -
Category
Documents
-
view
44 -
download
0
description
Transcript of Definisi Usaha Pembaharuan Islam
Definisi Usaha pembaharuan Islam
Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam
dengan dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
madern. Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdîd, secara
harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Dalam pengertian itu, sejak
awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika
menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas
doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah. Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa
“sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini (Islam) pada permulaan setiap abad
orang-orang yang akan memperbaiki –memperbaharui- agamanya” (HR. Abu Daud). Meskipun
demikian, istilah ini baru terkenal dan populer pada awal abad ke-18. tepatnya setelah
munculnya gaung pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam, menyusul kontak politik dan
intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, baik secvara politis maupun secara intelektual, Islam
telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat dianggap telah maju dan modern. Kondisi
sosiologis seperti itu menyebabkan kaum elit muslim merasa perlu uintuk melakukan
pembaharuan.
Dari kata tajdid ini selanjutnya muncul istilah-istilah lain yang pada dasarnya lebih
merupakan bentuk tajdid. Diantaranya adalah reformasi, purifikasi, modernisme dan sebagainya.
Istilah yang bergam itu mengindikasikan bahwa hal itu terdapat variasi entah pada aspek
metodologi, doktrin maupun solusi, dalam gerakan tajdid yang muncul di dunia Islam.
Secara geneologis, gerakan pembaharuan Islam dapat ditelusuri akarnya pada doktrin
Islam itu sendiri. Akan tetapi, ia mendapatkan momentum ketika Islam berhadapan dengan
modernitas pada abad ke-19. pergumulan antara Islam dan modernitas yang berlangsung sejak
Islam sebagai kekuatan politik mulai merosot pada abad ke-18 merupakan agenda yang menyita
banyak energi dikalangan intelektual muslim. Kaitan agama dengan modernitas memang
merupakan masalah yang pelik, lebih pelik dibanding dengan masalah-masalah dalam kehidupan
lain. Hal ini karena agama doktrin yang bersifat absolut, kekal, tidak dapat diubah, dan mutlak
benar;. Sementara pada saat yang sama perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar dan
tuntutan modernitas atau lebih tepatnya lagi ilmu pengerahuan dan teknologi
B. Pembaharuan di dunia islam
Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam timbul terutama sebagai hasil
kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya kontak itu, umat Islam abad
XIX sadar bahwa mereka telah mengalami kemunduran diperbandingan dengan Barat. Sebelum
periode modern, kontak sebenarnya sudah ada, terlebih antara Kerajaan Usmani yang
mempunyai daerah kekuasaan di daratan Eropa dengan beberapa negara Barat.
Pembaharuan yang diusahakan pemuka-pemuka Usmani abad kedelapan belas tidak ada
artinya. Usaha dilanjutkan di abad kesembilan belas dan inilah kemudian yang membawa kepada
perubahan besar di Turki. Seoarang terpelajar Islam memberikan gambaran pada abad
kesembilan belas, Ia mengatakan betapa terbelakangnya umat Islam ketika itu.
Kontak dengan kebudayaan Barat yang lebih tinggi ini ditambah dengan cepatnya
kekuatan Mesir dapat dipatahkan oleh Napoleon, membuka mata pemuka-pemuka Islam Mesir
untuk mengadakan pembaharuan. Dimana usaha pembaharuan dimulai oleh Muhammad Ali
Pasya (1765-1848 M) seorang perwira Turki.
Hal ini dilakukan karena betapa pun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama
atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh
kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di
masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin
sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Selain itu pembaharuan dalam islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar
mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Al-Qur’an & Al-Sunnah. Hal ini perlu dilakukan karena
terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Qur’an dengan kenyataan yang terjadi di
masyarakat. Dengan demikian, maka pembaharuan islam mengandung maksud mengembalikan
sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an & Al-Sunnah.
C. Latar belakang munculnya pembaharuan pada islam
Dalam usaha pembaruan ala barat (sekulerisme), usaha pembaruan malah menjadi usaha
pendangkalan dan pemusnahan ajaran Islam. Sedangkan pembaruan dimaksud Islam adalah
kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan tetap menjaga esensi dan karakteristik ajaran
Islam.
Periode modern (1800 M dan seterusnya) adalah zaman kebangkitan bagi umat islam.
Ketika mesir jatuh ketangan barat (Perancis) serentak mengagetkan sekaligus mengingatkan
umat islam bahwa ada peradaban yang maju di barat sana (eropa) dan merupakan ancaman bagi
islam. Sehingga menimbulkan keharusan bagi raja-raja islam dan pemuka-pemuka islam itu
untuk melakukan pembaharuan dalam islam.
Dalam kenyataanya (ironis memang) selain radiasi modernisasi yang kuat dari luar,
kekeroposan di dalam islam sendiri juga terjadi. Mengakibatkan gerakan-gerakan perlunya
pembaharuan dalam islam. Namun, dalam perjalanannya di dalam islam terjadi perbedaan
pandangan tentang bagaimana menyikapi dan menindaklanjuti pembaharuan dan atau
modernisasi dalam islam.
Hal sedemikian itu menyebabkan munculnya istilah kaum medernis dan kaum
tradisionalis. Basis Islam tradisional dan legitimasi masyarakat kaum Muslim perlahan-lahan
berubah sejalan dengan makin disekularkannya ideologi, hukum dan lembaga-lembaga negara.
Secara kasat mata terjadi dua sudut pandang yang berbeda, lambat laun terlihat adanya benang
merah yang bisa ditarik (muncul titik temu) dari dua pandangan tersebut yang bisa ditarik
(tentunya masih menyisakan pandangan yang berbeda pula),Yaitu, yang dimaksud dengan
pembaharuan dalam islam, bukan mengubah Al-quran dan Al-hadis, tetapi justru kembali kepada
Al-quran dan Al-hadis, sebagai sumber ajaran islam yang utama. Dengan pengamalan-
pengamalan yang murni tanpa terkontaminasi paham-paham yang bertentangan dengan Al-quran
dan Al-hadis itu sendiri.
D. Tokoh-tokoh pembaharu
Adapun tokoh-tokoh gerakan pembaharuan dalam Islam adalah :
Mesir :
1. Muhammad Ali Pasya dengan usahanya menterjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa
Arab.
2. Al-Tahtawi yang berpendapat bahwa penterjemahan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab
penting, agar umat Islam dapat mengetahui ilmu-ilmu yang membawa kemajuan Barat. Dia juga
aktif mengarang dan menerbitkan surat kabar resmi " المصرية ئع dan "الوقا
mendirikan majallah " المدارس yang bertujuan memajukan bahasa Arab dan "روضة
menyebarkan ilmu-ilmu pengetahuan modern kepada khalayak ramai. Dia berpendapat bahwa
ulama harus mengetahui ilmu-ilmu modern agar mereka dapat menyesuaikan syari’at dengan
kebutuhan-kebutuhan modern. Ini mengisyaratkan bahwa pintu ijtihad masih terbuka, tapi dia
belum berani mengatakan secara terang-terangan.Dia juga mencela paham fatalisme.
Menurutnya, disamping orang harus percaya pada qadha dan kadar Tuhan, ia harus berusaha
3. Jamaluddin Al Afghani dengan usahanya mendirikan perkumpulan “Urwatul Wusqo” .
Pemikirannya : Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua
keadaan. Pintu ijtihad masih terbuka, kemunduran Islam karena meninggalkan ajaran Islam yang
sebenarnya. Paham qadha dan kadar dirusak oleh paham fatalisme yang membawa umat Islam
pada keadaan statis, lemahnya rasa persaudaraan umat Islam.
4. Muhammad Abduh dengan pemikirannya bahwa, kemunduran-kemunduran disebabkan
oleh paham jumud di kalangan umat Islam yaitu keadaan membeku, statis, tidak ada perubahan,
dan juga masuknya bid’ah dalam Islam yang membuat umat Islam lupa akan ajaran Islam yang
sebenarnya, pintu ijtihad perlu dibuka kembali, memerangi taklid, merubah cara pandang/faham
jumud/fatalisme menjadi faham dinamika (kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan).
5. Rasyid Ridha dengan usahanya menerbitkan majalah “ Al Manar” yang bertujuan mengadakan
pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayul, bid’ah,
menghilangkan paham fatalisme. Pemikirannya bahwa umat Islam mundur sebab tidak
mengamalkan ajaran yang sebenarnya. Perlu dihidupkan paham jihad, persatuan umat Islam,
ijtihad.
Turki
1. Sultan Mahmud II dengan mengadakan perubahan : dalam organisasi pemerintahan, bidang
pendidikan antara lain menambahkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum madrasah,
mendirikan sekolah militer, sekolah teknik, kedokteran dan sekolah pembedahan, mengirim
siswa-siswa ke Eropa.
2. Tanzimat yaitu pembaharuan sebagai lanjutan dari usaha-usaha sultan Mahmud II, dengan
tokohnya Mustafa Rasyid Pasya.
3. Usmani muda yaitu golongan intelegensia kerajaan Usmani yang banyak menentang kekuasaan
absolut Sultan, dengan tokohnya Ziya Pasya.
4. Turki muda
5. Mustafa Kemal Pasya dengan ide westernisme, sekularisasi, nasionalisme.
India-Pakistan
1. Gerakan mujahidin dengan tokohnya sayyid Ahmad Syahid dengan pemikirannya : bahwa umat
Islam India mundur karena agama yang mereka anut tidak lagi murni, tetapi bercampur dengan
faham dari Persia dan India, Animisme dan adat istiadat Hindu. Yang boleh disembah hanya
Tuhan tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebihan, tidak boleh memberikan sifat yang
berlebihan pada makhluk, sunnah yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunnah Khalifah
yang empat, dan larangan bid’ah, menentang taklid.
2. Sayyid Ahmad Khan dengan pandangan bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak
mengikuti perkembangan zaman, harus menghargai kekuatan akal, menentang paham fatalisme,
menolak taklid, pendidikan merupakan satu-satunya jalan bagi umat Islam India untuk mencapai
kemajuan.
3. Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali. Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Abul Kalam
Azad, dll.
Indonesia
Salah satunya adalah Muhammadiyah, dengan pemimpinnya KH. Ahmad Dahlan
E. Landasan teologis gerakan pembaharuan
1. Pemurnian ajaran Islam dari syirik takhayul, bid’ah, khurafat, animisme, kembali pada Al
Qur’an dan Hadits.
2. Menghargai akal.
3. Pembukaan ijtihad.
4. Menolak taklid.
5. Persatuan umat islam / ukhuwah islamiyah.
6. Penolakan paham fatalisme.
F. Tahapan pembaharuan Islam
Gerakan pembaharuan Islam telah melewati sejarah panjang. Secara historis,
perkembangan pembaharuan Islam paling sedikit telah melewati empat tahap. Keempatnya
menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara satu dengan lainnya dapat
dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity) daripada pergeseran dan perubahan yang
terputus-putus. Hal ini karena gerakan pembaharuan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase
kemoderenan yang telah cukup lama melanda dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan
terus berekspansi hingga sekarang.
Tahap-tahap gerakan pembaharuan Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai
berikut:pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis
(premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). Model gerakan ini
timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam
diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak
revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan saksama untuk
melakukan transormasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial
masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari
segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah
“kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw”.
Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk
melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan
praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali.
Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga
mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka embali pintu ijtihad yang
selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaharu. Ciri
lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah. Wahhabiyah
berangkali merupakan contoh yang paling refresentatif untuk menggambarkan model gerakan ini
dalam realitas.
Model kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Di sini pembaharuan Islam
termanifestasikan dalam pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini tampaknya
didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk
mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga merupakan media untuk “mencetak”
generasi baru yang berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama sehingga mampu
menghadapi tantangan zaman. Model gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran
kolonialisme dan imperialisme Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Implikasinya,
kaum pembaharu pada tahap ini mempergunakan ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan.
Meskipun demikian, bukan berarti pembaru mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk
seruan yang makin senter untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pada tahap ini juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena
mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an, sedangkan kaum muslim mundur karena
meniggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan melancarkan
reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran wanita dalam masyarakat,
dan melakukan pembaharuan politik melalui bentuk pemerintahan konstitusional dan perwakilan.
Jelas pada tahap kedua ini, terjadi kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi Islam
dengan corak lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya.
Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh hambatan
kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki kebebasan gerakan
pembaharuan. Mereka ingin mempertahankan status quomasyarakat Islam pada masa itu agar
tetap dengan mudah dapat dikendalikan.
Tahap ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut revivalisme pascamodernis
(posmodernist revivalist), atau disebut juga neorevivalist (new revivalist). Pada tahap itu
kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan ide-ide Barat,
terutama di bidang sosial politik, sistem politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah
Islam. Gerakan –gerakan sosial dan politik yang merupakan aksentusi utama dari tahap ini mulai
dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap
sebagai lembaga pendidikan modern –untuk dibedakan dengan madrasah yang tradisional- juga
dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga
mulai bermunculan. Tak heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran
sekularistik yang agaknya akan merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya.
Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan dikalangan muslim, bahwa Islam di
samping merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai
dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya,
pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya arus “pemBaratan” di kalangan kaum
muslim. Tak heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang
berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya.
Dalam ketiga tahap itulah muncul gerakan tahap keempat yang disebut neomodernisme.
Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur
Rahman sebagai “pengibar bendera” neomodernisme menegaskan bahwa gerakan ini
dilancarkan berdasarkan krtik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurut Fazlur Rahman,
gerakan-gerakan terdahulu hanya mengatasi tantangan Barat secara ad hoc. Karena mengambil
begitu saja istilah Barat dan kemudian mengemasnya dengan simbol-simbol Islam tanpa disertai
sikap kritis terhadap Barat dan warisan Islam. Dengan sikap kritis, baik terhadap Barat maupun
warisan Islam sendiri, maka kaum muslim akan menemukan soludi bagi masa depannya.
G. Upaya-upaya pembaharuan di dunia islam
Tanggapan kaum muslim terhadap kemajuan yang diberikan oleh negara barat yang
sering disebut modern itu berbeda-beda. Karena tidak bisa di pungkiri lagi kemajuan Barat dalam
segala bidangnya sebagai indikasi sederhana bahwa “genderang” modernisasi yang “ditabuh” di
dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari mata rantai dan tranmisi terhadap prestasi kemajuan
yang diukir oleh dunia Barat. Baik modernisasi yang dilakukan hari ini sebagai langkah negara
barat yang ingin menguasai negara dan meyebarkan ideologinya.
Sebagaimana contoh dalam pendidikan , modern dianggap sebagai sesuatu yang asing,
berlebihan dan mengancam kepercayaan agama. Kaum Muslim tidak perlu jauh-jauh dalam
menemukan orang-orang Eropa yang mempunyai pendapat yang memperkuat rasa takut mereka.
Seorang penulis Inggris yaitu William Wilson Hunter berkata: “Agama-agama di Asia yang
begitu agung akan berubah bagaikan batang kayu yang kering jika berhubungan dengan
kenyataan dinginnya ilmu-ilmu pengetahuan Barat”.
Bagi banyak orang, kenyataan akan keungulan Eropa harus diakui dan dihadapi dari
pelajaran-pelajaran yang harus diperhatikan demi kelangsungan hidup. Seperti contoh para
pengusaha Muslim zaman kerajaan Utsmaniyah, Mesir dan Iran berpaling ke Barat
mengembangkan program-program modernisasi politik, ekonomi dan militer yang berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi Eropa.
Meraka berusaha menyaingi kekuatan Barat, mengembangkan militer dan birokrasi yang
modern dan piawai dan mencari ilmu pengetahuan yang menyangkut persenjataan modern.
Guru-guru Eropa didatangkan, misi-misi pendidikan dikirim ke Eropa, dimana kaum Muslim
belajar bahasa, ilmu pengetahuan dan politik. Biro-biro penerjemah dan penerbit didirikan untuk
menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya Barat.
Generasi elite intelektual pun lahir-modern, terpelajar dan terbaratkan, keadaan inilah
yang mengakibatkan perubahan tersebut, dan kelompok kecil kaum elite-lah yang melaksanakan
hal ini serta merupakan pewaris utama perubahan. Hasilnya adalah sederetan reformasi militer,
administrasi, pendidikan ekonomi, hukum dan sosial, yang sangat dipengaruhi dan diilhami oleh
Barat untuk “Memodernkan” masyarakat Islam.
Modernisasi melalui model-model Barat yang diaplikasikan oleh penguasa Muslim
terutama motivasinya adalah keinginan untuk memperkuat dan memusatkan kekuasaan mereka,
bukan untuk berbagi. Akibat utama modernisasi adalah timbulnya kaum elite baru dan
perpecahan umat Islam, yang tampak dalam sistem-sistem pendidikan dan hukum.
Di kalangan orientalis sendiri (Gibb dan Smith), menilai reaksi modernisasi yang
dilakukan di dunia Islam lebih cenderung bersifat “Apologetis” terhadap Islam dari berbagai
tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misioneris. Kristen dengan menunjukkan
keunggulan Islam atas peradaban barat, dan juga modernisasi dipandang sebagai “Romantisisme”
atas kegemilangan peradaban Islam yang memaksa Barat untuk belajar di dunia Islam.
Akan tetapi, sesudah itu Barat bangun dan maju, bahkan dapat mengalahkan dan
mengusai dunia Islam sehingga menarik perhatian ulama dan pemikiran Islam untuk mengadopsi
kemajuan Barat tersebut termasuk modernisasinya.
Dari data historis inilah nampaknya di kalangan sarjana Muslim tidak sepakat kolektif
atau meminjam istilah Yusril “acapkali digunakan secara tidak seimbang dan jauh dari sikap
netral”, kalau modernisasi itu dikaitkan apalagi dikatakan sesaui dengan ajaran Islam karena
alasan sejarah bahwa lahirnya modernisasi pada awalnya bukan berasal dari “rahim” ajaran Islam
melainkan muncul dan perkembangan keagamaan di kalangan Kristen, sehingga tidak
mengherankan kalau umpamanya kalangan fundamentalis, seperti Maryam Jameelah
menganggap modernisasi adalah usaha “Membaratkan” dan “Mensekulerkan” dengan menuduh
tokoh modernis, seperti Afghani (1838-1897), Abduh (1849-1905) hingga Thaha Husayn sebagai
agen Barat.
Demikian juga sebaliknya di kalangan tokoh-tokoh yang menyebut dirinya sebagai
modernis menuduh kalangan yang menolak modernisasi sebagai “orang-orang yang dangkal dan
anti intelektual, bahkan menurut kesimpulan ‘Ali Syariati “kemacetan pemikiran yang
diakibatkan kalangan fundamental menghasilkan Islam dekaden”, sehingga dapat dikatakan
konotasi modernisasi sangat tergantung kepada siapa yang menggunakan dan dalam konteks apa
digunakan modernisasi tersebut.
Penetrasi dan Perkembangan Modernisasi di Dunia Islam Dapat dipastikan bahwa
penetrasi dan perkembangan modernisasi di dunia Islam terjadi setelah adanya koneksasi dengan
Barat dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Koneksasi yang diduga kuat mengilhami lahirnya modernisasi di dunia Islam dengan
dikenalnya seperangkat gagasan Barat pada permulaan abad ke-XIX yang dalam sejarah Islam
disebut sebagai permulaan periode modern. Koneksasi ini juga membawa fenomena baru bagi
dunia Islam seperti diperkenalkannya rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya
yang semuanya menimbulkan “Goncangan Hebat” bagi para pemimpin dunia Islam, bahkan
diantara sebagiannya ada yang tertarik dengan gagasan yang “dihembuskan” Barat tersebut yang
secara pelan-pelan mulai mempelajarinya dan pada akhirnya berubaha untuk mewujudkannya
dalam realitas kehidupan umat Islam.
H. Pemikiran Islam Sebelum Periode Modern
Pada periode pertengahan, telah muncul pemikiran dan usaha pembaharuan Islam
dikerajaan Usmani di Turki. Akan tetapi usaha itu gagal karena ditentang golongan militer dan
ulama. Pada abad ke-17, kerajaan Usmani mulai mengalami kekalahan dalam peperangan
dengan Negara Eropa. Kekalahan itu mendorong raja dan pemuka kerajaan Usmani untuk
menyelidiki sebab-sebabnya. Kemudian diketahui bahwa penyebabnya adalah ketertinggalan
mereka dalam teknologi militer. Mereka selidiki pula rahasia keunggulan Barat. Mereka temukan
bahwa rahasianya adalah karena Barat memiliki sains dan teknologi tinggi yang diterapkan
dalam kemiliteran.
Karena itulah, pada 1720, kerajaan Usmani mengangkat Celebi Mehmed sebagai utusan
kerajaan untuk Perancis. Dia bertugas mempelajari benteng-benteng pertahanan, pabrik-pabrik,
serta institusi-institusi Perancis lainnya. Laporan Celebi Mehmed tertuang dalam
bukunya, seferetname. Berdasarkan laporan itu, diupayakanlah pembaharuan di Kerajaan
Usmani.
Usaha pembaharuan itu mendapat tantangan. Tantangan pertama datang dari tentara tetap
yang disebut Janissary. Janissary mempunyai hubungan erat dengan Tarekat Bektasyi yang
berpengaruh besar dalam masyarakat. Tantangan kedua datang dari pihak ulama. Ide-ide baru
yang didatangkan dari Eropa itu dianggap bertentangan dengan paham tradisional yang dianut
masyarakat Islam ketika itu. Karena itu, usaha pembaharuan pertama di Kerajaan Usmani tidak
berhasil seperti yang diharapkan.
Di India, sebelum periode modernisasi, muncul juga ide dan usaha pembaharuan. Pada
awal abad ke-18, kesultanan mogul memasuki zaman kemunduran. Perang saudara untuk
merebut kekuasaan sering terjadi. Golongan hindu yang merupakan mayoritas, ingin melepaskan
diri dari kekuasaan mogul. Selain itu, inggris juga telah mulai memperbesar usahanya untuk
memperoleh daerah kekuasaan di India.
Suasana itu menyadarkan para pemimpin Islam India akan kelemahan umat Islam. Salah
seorang yang menyadari hal itu ialah Syah Waliyullah (1703-1762) dari Delhi. Ia berpendapat
Salah satu penyebab kelemahan umat Islam ialah perubahan system pemerintahan dari system
khilafah ke system kerajaan. System pertama bersifat demokratis, sedang system kedua bersifat
otokratis. Karena itu system ke Khalifahan seperti pada masaal- Khulafa al-Rasyidun perlu
dihidupkan kembali.
Di Arab Saudi juga ada usaha pembaharuan sebelum periode modern yang dipelopori
oleh Mohammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Menurut Wahab, penyebab kelemahan umat
Islam saat itu ialah tauhid umat Islam yang tidak lagi murni. Kemurnian tauhid mereka telah
dirusak oleh ajaran tarekat. Tarekat menurut Muhammad bin Abdul Wahab, mengajarkan
pemujaan kepada syekh dan wali. Umat Islam menunaikan haji dan meminta pertolongan
kekuburan-kuburan syekh dan wali itu. Karenanya, semua hal itu harus diberantas. Ia juga
menganjurkan ijtihad. Inti pemikirannya adalah al-Quran dan hadislah sumber ajaran Islam,
taqlid kepada ulama tidak dibenarkan dan pintu ijtihad tidak tertutup.
Gerakan pembaharuan Islam juga muncul melalui tasawwuf. Gerakan ini disebut neo
sufisme, yaitu tasawwuf yang di perbaharui dan tampil dalam bentuk aktifis. Neo sufisme
berawal di Afrika Utara melalui tarekat sanusiyah. Sanusiyah adalah cabang Ordo Idrisiyah yang
didirikan di Arab Saudi oleh Ahmad Ibnu Idris (w. 1837). Tarekatnya ini dinamakan juga
Tariqah Muhammadiyyah.
Tujuan tarekat ini ialah memperbaharui moral kaum muslim melalui tindakan politik.
Tarekat ini membangun banyak tempat peribadatan. Yang paling penting diantaranya adalah Di
Kafra dan Jaghbub. Disana orang tidak hanya diajari agama, tetapi juga dilatih menggunakan
senjata dan didorong untuk melibatkan diri dalam usaha professional seperti bertani dan
berdagang.
Tarekat ini tidak bermaksud untuk menghilangkan ide tradisional tentang kehidupan
akhirat. Kehidupan akhirat itu tetap penting. Ide pembaharuan mereka berada dalam batas
pembaharuan moral dan kesejahteraan social. Mereka hanya melakukan pergeseran dan
penekanan, pergeseran inilah yang menandai fenomena pembaharuan sufisme pada periode pra
modern.
I. Pemikiran Islam Modern
Pemikiran dan pembaharuan Islam di Mesir pada periode modern ditokohi oleh cukup
banyak pemikir, antara lain: Muhammad Ali Pasya (1765-1849) yang bermodel reformisme
Barat. Dia mempertautkan ekonomi Mesir dengan Eropa. at-Tahtawi (1801-1873) memiliki
pandangan bahwa rahasia pertumbuhan Eropa terletak pada pikiran orang-orangnya yang bebas
untuk berfikir secara kritis, mengubah kebijakan lama dan menerapkan ilmu dan teknologi
modern untuk menyelesaikan masalah. Jamaluddin al-Afgani (1839-1897)yang mencoba
menanamkan kembali kepercayaan kepada kekuatan sendiri dengan melepas baju apatis dan
putus asa, Muhammad Abduh (1849-1905) yang mengumandangkan panggilan jihad melawan
penjajah , dan muridnya Rasyid Ridha (1865-1935) yang membangkitkan ruh jihad dan ijtihad,
mengumandangkan kembali kepada Quran dan Sunnah, sebagai satu-satunya jalan untuk keluar
dari kelemahan dan kehinaan posisi.
Secara garis besar isi pemikiran mereka diantaranya mengadakan pembaharuan dalam
bidang agama, social, dan ekonomi, memberantas tahayul dan bid’ah yang masuk kedalam
ajaran Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dikalangan umat Islam,
menghilangkan faham salah yang dibawa oleh tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan
dan membela umat Islam terhadap permainan politik Negara Barat.
J. Pembaharuan Islam di Indonesia
Pada awal abad ke-20, ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran
dan gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya,
sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak
dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah), Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat
menimba ilmu di Mekkah dan melalui media publikasi dan korespondensi mereka
berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir. Tokoh
lainnya seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi gerakannya dari
ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India.
Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat
dibaca berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur:
1. Jalur haji dan mukim, yakni tradisi (pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah
haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu
keagamaan atau pengetahuan lainnya. Sehingga ketika mereka kembali ke tanah air, kualitas
keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka umumnya semakin meningkat. Ide-ide baru yang
mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah
mereka di tanah air
2. Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan
Islam baik dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media tersebut kemudian
menarik muslim nusantara untuk mentransliterasikannya ke dalam bahasa lokal, seperti pernah
muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di Singapura. Di Sumatera Barat juga terbit
al-Munir yang sebagian materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam bahasa Jawa agar
mudah dikonsumsi anggota masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini
3. Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri, para
pemimpin gerakan pembaharuan Islam awal di Indonesia hampir merata adalah alumni
pendidikan Mekah.
secara umum kelahiran dan perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia merupakan
wujud respon terhadap kemunduran Islam sebagai agama karena praktek-praktek penyimpangan,
keterbelakangan para pemeluknya dan adanya invansi politik, kultural dan intelektual dari dunia
Barat.
gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk
yang sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini penting dipahami
bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad ke-20 diusung
sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui kendaraan gerakan yang
berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Islam ternyata hanya
menjadi salah satu alternatif yang mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di Indonesia
sebagai sumber rujukan teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan nasionalismenya.
Sekalipun demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan antara dimensi
penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di masyarakat. Dengan kata lain,
kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing tampaknya memikat
mereka untuk bersama-sama menempatkan prioritas nasional sebagai ujud kepeduliannya.
Dengan kian massifnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-
tengah masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan
Islam di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam sebagai berikut: (1) Tradisionalis-
konservatis, yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan
mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi
yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat dan
penduduk pedesaan; (2) Reformis-modernis, yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk
semua lapangan kehidupan baik privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter
fleksibilitas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman; (3) Radikal-puritan, seraya sepakat
dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan memakai kecenderungan
kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka lebih percaya pada penafsiran yang
disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga mengkritik pemikiran dan cara-cara
implementatif kaum tradisionalis. Sebagai pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan
dengan kasus gerakan Islam yang berkembang di Turki.
K. Intepretasi
Seperti kita ketahui bahwa kita sudah berada pada peradaban yang
semakin maju, dimana pemikiran dan kebutuhan dari segala aspek
meningkat pesat. Oleh karena itu sebagai muslim kita perlu mengadakan
pembaharuan dalam memahami Islam secara utuh agar dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari di zaman modern. Tetapi satu hal yang harus
kita ingat dan garis bawahi adalah agar dalam melakukan pembaharuan
islam untuk disesuaikan dengan zaman modern ini agar tidak meninggalkan
atau melupakan dasar-dasar islam yang kita harus kita pegang teguh yaitu
dari Al-quran dan hadist-hadist Nabi Saw karena Islam tetaplah Islam, yang
kita butuhkan adalah sudut pandang baru bukan Islam yang baru.
L. Kesimpulan
Dalam bahasa Arab, gerakan pembaharuan Islam disebut tajdîd, secara
harfiah tajdîd berarti pembaharuan. Kemunculan gerakan pembaharuan
Islam tidak bisa dipisahkan dari kondisi obyektif kaum muslim di satu sisi dan
tantangan Barat yang muncul di hadapan Islam di sisi lain. Dari sudut
pandang ini, Islam memang menghadapi tantangan dari dua arah, yaitu dari
dalam dan dari luar. Dengan demikian, Pengertian pembaharuan bukan
hanya mencakup perbaikan kondisi obyektif masyarakat muslim, tetapi juga
mencakup jawaban Islam atas tantangan modernitas.
Pembaharuan Islam juga mngindikasikan ketidakpuasan atas kondisi Islam historis yang
berkembang sejak abad ke-18. oleh karena itu, kaum pembaru ingin membangun cita ideal Islam
yang maju dan modern.
Periode modern (1800 M dan seterusnya) adalah zaman kebangkitan bagi umat islam.
Ketika mesir jatuh ketangan barat (Perancis) serentak mengagetkan sekaligus mengingatkan
umat islam bahwa ada peradaban yang maju di barat sana (eropa) dan merupakan ancaman bagi
islam. Sehingga menimbulkan keharusan bagi raja-raja islam dan pemuka-pemuka islam itu
untuk melakukan usaha pembaharuan dalam islam.
Dalam kenyataanya (ironis memang) selain radiasi modernisasi yang kuat dari luar,
kekeroposan di dalam islam sendiri juga terjadi. Mengakibatkan gerakan-gerakan perlunya
pembaharuan dalam islam. Namun, dalam perjalanannya di dalam islam terjadi perbedaan
pandangan tentang bagaimana menyikapi dan menindaklanjuti usaha pembaharuan dan atau
modernisasi dalam islam.